OPTIMALISASI PENGAWASAN TERHADAP HAKIM S

OPTIMALISASI PENGAWASAN TERHADAP HAKIM SEBAGAI PENEGAK HUKUM DAN KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA LOMBA KARYA TULIS ILMIAH LAW ENFORCEMENT FAIR 2017

Disusun oleh:

Ely Nurmawati (NIM. 1111142814) Eka Amelia

(NIM. 1111141806) Dwi Astuti Nurjanah

(NIM. 1111140963)

BABELTETA 2017

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis

PENGAWASAN TERHADAP HAKIM SEBAGAI PENEGAK HUKUM

OPTIMALISASI

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA

DAN

2. Peserta:

a. Ketua Kelompok Nama

: Ely Nurmawati

: Ilmu Hukum

b. Anggota Kelompok : 2 (dua) Nama

: Eka Amelia

: Ilmu Hukum

Nama

: Dwi Astuti Nurjanah

: Ilmu Hukum

3. Dosen Pembimbing Nama

: Dr. Azmi Polem, S.Ag., S.H., M.H. NIP

Serang, 20 Januari 2017

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Ketua Kelompok

Dr. Azmi Polem, S.Ag.,S.H., M.H. Ely Nurmawati NIP. 197402282005011003

NIM. 1111142814

Mengetahui, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan

Pipih Ludia Karsa, S.H., M.H. NIP. 198208252008121002

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam dikirimkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan di bawah naungan dienul Islam. Searah dengan itu, karya tulis ilmiah ini berjudul “ Optimalisasi Pengawasan Terhadap Hakim Sebagai Penegak Hukum dan Keadilan dalam Perspektif Hukum Progresif di Indonesia ” dapat terselesaikan dengan baik berkat pertolongan-Nya, meskipun masih terdapat kekurangan- kekurangan di dalamnya, tetapi akhirnya dapat diselesaikan secara seksama.

Karya tulis sebagaimana tersebut di atas, dibuat dengan tujuan untuk memberi jawaban terhadap permasalahan isu-isu hukum terkait dengan pengoptimalan pengawasan terhadap hakim. Maka dari itu, diperlukan kajian- kajian dan telaahan mendalam, terutama berkenaan dengan perlunya pengawasan terhadap hakim pada peradilan di Indonesia. Di samping itu juga diperlukan kajian mendalam mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk pengoptimalan pengawasan terhadap hakim di Indonesia.

Atas rangkaian tersebut di atas, sudikiranya karya tulis ilmiah ini dapat menambah wawasan keilmuwan bagi diri penulis dan bagi pembacanya, juga diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan bagi pemecahan masalah hukum berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim.

Serang, 19 Januari 2017 Tim Penyusun

OPTIMALISASI PENGAWASAN TERHADAP HAKIM SEBAGAI PENEGAK HUKUM DAN KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA

Ely Nurmawati, Eka Amelia, Dwi Astuti Nurjanah

ABSTRAK

Secara normatif, amandemen ketiga UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) meneُaskan bahwa “Neُara Indonesia adalah neُara hukum”. Ketentuan ini

menunjukkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang didasarkan pada kekuasaan semata, tetapi negara yang dilaksanakan berdasarkan atas hukum. Prinsip penting dalam negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak luar untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan kepastian dan keadilan hukum yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintah yang bersih, sehingga siapapun aparatur penegak hukum tidak boleh menolak untuk diawasi termasuk hakim. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun dalam ketentuan UUD 1945 kedudukan Komisi Yudisial dalam lingkup kekuasaan kehakiman berada dengan kewenangan ( authority/gezag ) bukan dengan kekuasaan ( Power/macht ). Hakim

disebut sebaُai “wakil Tuhan di dunia” dikarenakan kewenanُannya yanُ sanُat besar dalam hal menentukan hak dan kewajiban, nasib orang, bahkan nyawa orang. Hakim sebagai profesi yang mulia, terhormat, yang hanya layak, sah, dan absah diberikan kepada mereka yang memiliki integritas serta merupakan profesi yang tidak boleh timpang, itu sebabnya hakim tidak dapat dipegang oleh sembarang orang. Untuk itulah, perlu adanya pengawasan sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran kode etik bahkan kejahatan jabatan. Namun di Indonesia saat ini kita sepertinya terpaksa harus mengakui bahwa masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang ideal terhadap hakim. Hampir dimana-mana dapat dijumpai kerendahan budi makin merajalela, yang semakin menyengsarakan masyarakat banyak. Bukan merupakan hal yang tabu lagi, dunia peradilan dijadikan bahan produksi penghasil uang oleh hakim. Hal ini tentu sangat sulit dirubah hanya dengan undang-undang, karena undang-undang hanya sebagai bagian dari upaya perubahan. Tidak hanya terbatas pada kebijakan hakim sebagai profesi namun juga pada hakim sebagai individu. Untuk itu, perlu adanya perbaikan etika, moral, dan teologal dalam diri seorang hakim. Penulisan karya tulis ilmiah menggunakan metode normatif-empiris dengan bentuk kualitatif, menggunakan pendekatan hukum historis, hukum sinkronisasi, dan hukum eksplanasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis yang bersifat deduktif. Karya tulis ilmiah ini merupakan sebuah karya tulis yang nantinya diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

Kata kunci : Hakim, Keadilan, Hukum Progresif, Pengawasan, dan Optimalisasi.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara normatif, amandemen ketiga UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) meneُaskan bahwa “Neُara Indonesia adalah neُara hukum”. Ketentuan neُara hukum ini menunjukkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang didasarkan pada kekuasaan semata ( machtsstaat ), tetapi negara yang dilaksanakan berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat ). Sebutan lain untuk negara hukum yang berdasar pada kedaulatan hukum adalah “ rule of law ”, yanُ mana adanya unsur

equality before the law, supremacy of law, dan hak-hak asasi manusia yang tidak bersumber pada undang-undang. Secara formal, istilah negara hukum dapat

rule of law dipersamakan dengan 1 ataupun . Prinsip penting dalam negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak luar ( extrayudisial ) untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan kepastian hukum dan keadilan hukum yang mampu memberikan perlindungan ( advokasi ) kepada masyarakat. Sejalan dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka prinsip kekuasaan kehakiman di Indonesia berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia; dan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 harus bebas dari segala bentuk campur tangan, kecuali yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Namun dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan

rechstaat

1 Muhammad Tahir Azhary, 2012, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam: Menyambut 73 Tahun Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, S.H. Akademisi,

Praktisi, dan Politisi, Kencana, Jakarta, Hal. 223.

salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintah yang bersih, sehingga siapa pun aparatur penegak hukum tidak boleh menolak untuk diawasi termasuk hakim. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 kedudukan Komisi Yudisial dalam lingkup kekuasaan kehakiman berada dengan kewenangan ( authority/gezag ) bukan dengan kekuasaan ( Power/macht ).

Hakim disebut sebaُai “wakil Tuhan di dunia” dikarenakan kewenanُannya yang sangat besar, seperti dalam hal menentukan hak dan kewajiban, nasib orang, dan bahkan dalam menentukan nyawa orang. Hakim sebagai profesi yang mulia, terhormat, yang hanya layak, sah, dan absah diberikan kepada mereka yang memiliki integritas dan berkompetensi. Integritas yakni mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuanyang memancarkan keweibaawaan; kejujuran. 2 Kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. 3 Sehingga

dapat dikatakan bahwa integritas adalah pribadi yang integral atau utuh, seorang yang bermoral dan berkarakter, sedangkan orang yang berkompetensi dalam hal ini meliputi knowledge, intellect , dan skill . Hakim juga merupakan profesi yang tidak boleh timpang dan tidak diperbolehkan kepada orang yang tidak amanah, itu sebabnya hakim tidak dapat dipegang oleh sembarang orang. Untuk itulah, perlu adanya pengawasan sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap kode etik bahkan kejahatan jabatan oleh aparatur penegak hukum, khususnya hakim. Aparatur penegak hukum sebagai penguasa yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum harus profesional yang beretika. Pentingnya penegakan kode etik atau pedoman perilaku bagi para pejabat publik untuk mencegah terjadinya korupsi, termasuk oleh hakim dalam bentuk korupsi

peradilan ( Judicial Corruption 4 ). Jadi, penegakan hukum akan sangat mudah dicapai dan bahkan berhasil apabila penegakan kode etik ditegakkan.

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia 3 Ibid.

4 Dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatann Bangsa – Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Namun, di Indonesia saat ini kita sepertinya terpaksa harus mengakui bahwa masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang ideal terhadap aparatur penegak hukum, khususnya hakim. Kerendahan budi hakim makin merajalela, yang semakin menyengsarakan masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada tahun 2016 (sampai 31 Agustus 2016) dari 1092 laporan yang masuk, hanya 38 laporan yang

terbukti melanggar Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim. 5 Bukan merupakan hal yang tabu lagi, dunia peradilan dijadikan sebagai bahan produksi penghasil

uang oleh hakim. Hal ini tentu sangat sulit untuk dirubah hanya dengan undang- undang, karena undang-undang hanya sebagai bagian dari upaya perubahan.

Hukum yang baik menurut Lawrence Meier Friedman harus selalu memuat unsur-unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum ( legal structure ), subtansi hukum ( legal subtance ) dan budaya hukum ( legal culture ). 6 Ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam upaya perubahan menuju hukum progresif. Oleh karena itu penulisan karya tulis ilmiah ini berjudul “Optimalisasi Pengawasan terhadap Hakim Sebagai Penegak Hukum dan Keadilan dalam Perspektif Hukum Progresif di Indonesia ”.

B. Identifikasi Masalah

Mengingat cukup luasnya pembahasan mengenai pengawasan terhadap hakim, maka untuk memberi ruang lingkup, permasalahan dibatasi sebagai berikut:

1. Apa perlunya pengawasan terhadap hakim sebagai penegak hukum dan keadilan pada peradilan di Indonesia?

2. Bagaimana pengawasan terhadap hakim dalam perspektif hukum progresif di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan yang ingin dicapai melalui karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji:

5 M. Purwadi, 2016, ‘Irisan Perilaku Hakim denُan Teknis Yudisial’, Majalah Komisi Yudisial Media Informasi Hukum dan Peradilan, Edisi September-Oktober, Hal. 7.

6 Yopi Gunawan, Kristian, 2015, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Hukum Pancasila , PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 15.

1. Perlunya pengawasan terhadap hakim sebagai penegak hukum dan keadilan pada peradilan di Indonesia; dan

2. Pengawasan terhadap hakim dalam perspektif hukum progresif di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Selain untuk mendalami dan menambah wawasan keilmuan bagi penulis, penulisan ini diharapkan secara teoritis dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim sebagai penegak hukum dan keadilan. Sedangkan secara praktis diharapkan dapat memberi acuan dan bahan bagi pemecahan masalah hukum berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim sebagai penegak hukum dan keadilan di Indonesia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Hukum Progresif

Di dalam hukum progresif terkandung moralitas kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak tercapai, sehingga membangun masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia tidak akan terwujud. Pembangunan pondasi dari kesadaran mental ini adalah dengan perbaikan akhlak, pembinaan moral atau pembinaan karakter diri masyarakat sosial yang bermoral tinggi. Sehingga dapat dibangun masyarakat yang damai sejahtera, adil dan makmur.

Terdapat empat pilar penting dalam konsep negara hukum menurut F.J. Stahl, yaitu: 7 adanya pengakuan hak-hak asasi manusia ( grondrechten ), pemisahan kekuasaan ( schediding van machten ), pemerintahan berdasarkan peraturan- peraturan ( wetmatigeheid van bestuur ), dan peradilan tata usaha negara ( administrative rechtspraak ).

Hukum yang baik menurut Lawrence Meier Friedman harus selalu memuat unsur-unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum ( legal structure ), subtansi hukum ( 8 legal subtance ) dan budaya hukum ( legal culture ).

Unsur-unsur hukum tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pertama, struktur hukum ( Legal Structure ) merupakan rangka atau kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap

keseluruhan. 9 Jadi, struktur hukum dapat dikatakan sebagai pondasi terbentuknya suatu sistem hukum. Namun tidak dapat serta merta hanya dengan struktur

hukum, sehingga perlu adanya unsur elemen lainnya, yakni substansi hukum dan budaya hukum. Kedua, Substansi hukum ( Legal Substance) adalah sistem yang mepunyai aturan-aturan hukum atau norma-norma untuk mengatur elemen-elemen

7 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara -Perkara Pidana , Alfabeta,

Bandung, Hal. 1. 8 Yopi Gunawan, Op.Cit., Hal. 1.

9 Jaenal Aripin, 2012, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta, Hal. 117.

sistem hukum, yang bersumber pada keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi. 10 Jadi, substansi hukum merupakan sebuah sistem dalam struktur hukum yang mana

berfungsi sebagai pengatur elemen-elemen sistem hukum yang saling berhubungan dan besumber pada keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi. Ketiga, budaya hukum ( Legal Culture ) merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau

disalahgunakan. 11 Dapat dikatakan, budaya hukum merupakan elemen terpenting dalam unsur-unsur hukum. Hal ini dikarenakan hubungannya dengan opini-opini,

kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari organ masyarakat yang mempengaruhi keberlakuan hukum selanjutnya.

B. Hakim Sebagai Penegak Hukum dan Keadilan

Hakikat tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Tugas dan kewajiban hakim terbagi baik secara normatif maupun secara konkret. Secara normatif ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara konkret, dilakukan melalui tiga tindakan secara bertahap, yaitu:

a. Mengonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkret.

b. Mengualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya.

c. Mengkonstituir yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. 12

Hakim dalam tugasnya harus mengikuti ilmu pengetahuan, hakim harus mengikuti nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena hakikat masyarakat meminta ke pengadilan adalah keadilan. Konsep keadilan secara umum yang tumbuh dalam masyarakat adalah keadilan menurut hukum dan

keadilan berasal dari hukum. 13 Keadilan menurut hukum merupakan keadilan yang diatur oleh hukum ( Legal Justice ). Sedangkan, keadilan yang berasal dari

10 Ibid., Hal. 118. 11 Ibid., Hal. 119.

12 Wildan Suyuthi Mustofa, 2013, Kode Etik Hakim Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, Hal.107.

13 H. P. Panggabean, 2014, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia , PT Alumni, Bandung, Hal. 244.

hukum hanya berfokus pada perilaku-perilaku yang bersifat impersonal yang diciptakan oleh hukum itu sendiri.

W. J. S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan:

1. Tidak berat sebelah (tidak memihak) pertimbangan yang adil; putusan itu dianggap adil.

2. Sepatutnya; tidak sewenang-wenang, misalnya: mengemukakan tuntutan yang adil; masyarakat adil, masyarakat yang sekalian anggotanya mendapatkan perlakuan (jaminan dan sebagainya)

yang sama. 14 Plato merumuskan bahwa konsep keadilan adalah keunggulan yang bersifat

ganjil yang berasal dari pikiran, sedangkan ketidakadilan adalah kekurangan. Plato berusaha menyeimbangkan antara keadilan dengan hukum kosmis. 15

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari kebajikan.

Dia juga membagi teori keadilan menjadi 3 (tiga) yaitu: 16

a. Keadilan umum dan khusus ( universal and particular justice ) Keadilan umum adalah keadilan yang muncul dalam hubungan sesama manusia. Keadilan khusus adalah bagian dari keadilan umum yang lebih mengkhususkan bahwa menjalin hubungan sesama manusia untuk menghindari tindakan saling merugikan.

b. Keadilan distributif dan korektif ( distributive and rectefictory jusctice ) Keadilan distributif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Keadilan korektif adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal.

c. Keadilan politik Keadilan politik lebih berfokus pada konstitusi dan aturan keadilan. Aristoteles menggambarkan bahwa konstitusi adalah suatu lembaga negara dan penerapan hukum itu sendiri tidak selalu sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Semua itu harus disesuaikan tugas dan wewenang peradilan ( rechtpraakwetenschap ).

Beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan antara lain,

۞ ّ رم أيا علب س ح ْا ء تي يذٰىب رق ل ٰى ني نع ء ش حف لا ر ن لا ۚ ي غب لا م ظعي م عل ركذت “Sesungguhnya Alla h menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

14 Suhrawadi K. Lubis, 2012, Cet. Ke-6, Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 49.

15 H. P. Panggabean, Op. Cit., Hal. 246. 16 Ibid., Hal. 246-247.

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An -Nahl: 90)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS . An-Nisa: 58).

ي ي نيذلا ا نمآ انك نيما ق ّ ءا ش ط سق ل ب ۖ ّ م نمر جي نش قٰى ع ّ ا ل عت ۚ ا ل عا ه رق ۞ ٰ قت ل ۖ ا قتا ّا ۚ ّا ريبخ ب عت “Hai orang -orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al -Maidah: 8).

Berdasarkan hal demikian, bahwa keadilan merupakan perintah Allah. Keadilan secara umum dapat bersumber dan berasal dari hukum. Sehingga, harus ada suatu hal yang dijadikan sebagai pedoman terhadap nilai-nilai keadilan. Dalam hal ini hakim selain sebagai penegak hukum juga sebagai penegak keadilan mempunyai peranan yang sangat penting demi tegaknya keadilan sesuai marwah hukum.

C. Pengawasan Terhadap Hakim

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; dan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; dan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintah yang bersih, sehingga siapa pun aparatur penegak hukum tidak boleh menolak untuk diawasi termasuk hakim. Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan ketetapan dan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian

diambil langkah perbaikan. 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi, namun dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 kedudukan Komisi Yudisial dalam lingkup kekuasaan kehakiman berada dengan kewenangan ( authority/gezag ) bukan dengan kekuasaan ( Power/macht ).

Pasal 24A ayat (1) menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 24B ayat (4) menegaskan bahwa susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang- undang. Pengertian Mahkamah Agung dalam konsep pembangunan hukum

nasional dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu: 18

a. Penerapan peranan bersifat yuridis konstitusional yang mengacu pada “ rechts idee ” dan nilai-nilai hukum global yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

b. Penerapan peranan bersifat yuridis normatif yang mengacu pada sarana penegakan hukum berdasar hukum positif Indonesia.

c. Penerapan peranan bersifat yuridis operasional yang mengacu pada hukum acara, Buku Petunjuk Teknis Mahkamah Agung, dan Yurisprudensi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial, yang berdasarkan Pasal 24B ayat 1 bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan

17 Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial: Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta Press, Yogyakarta, Hal. 70.

18 H.P. Pangabean, Op. Cit., Hal. 240.

memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pasal 24B ayat (4) juga menegaskan bahwa susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat didampingi oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang ( auxiliary state

sistem dan mekanisme penyelenggaranan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia, Komisi Yudisial berfungsi sebagai perekrut Hakim Agung dan pengawas kode etik hakim.

commission 19 ). Dengan

demikian, dalam

Komisi Yudisial merupakan institusi pengawasan terhadap hakim menurut Undang-Undang Dasar, baik Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Hakim Agung. Latar belakang dibentuknya Komisi Yudisial dalam

struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia, sebagai berikut: 20

a. Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring internalnya saja.

b. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh keuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah.

c. Tingkat efisiensi dan efektifitas kekuasaaan kehakiman akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekrutmen maupun monitoring hakim agung dan pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.

d. Terjadinya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang tepat dari sebuah lembaga khusus (komisi yudisial).

e. Kemandirian kekuasaan kehakiman dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya komisi yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak memiliki kepentingan politik.

Selanjutnya pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan: (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;

19 Jaenal Aripin, Op.Cit., Hal. 141. 20 Ibid., Hal. 202.

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim;

c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim; dan

d. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. (3) Dalam rangka dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim oleh hakim. (4) Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, logis dan konsisten untuk mencari kebenaran atau pengetahuan yang benar. Penulisan pada karya tulis ilmiah ini merupakan penulisan dengan bentuk kualitatif yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.

B. Metode Penelitian

Penulisan pada karya tulis ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif-empiris yang pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dan aksinya ada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum historis, hukum sinkronisasi, dan hukum eksplanasi. Pendekatan historis bertujuan untuk mencari aturan hukum dari waktu ke waktu dalam rangka memahami filosofi dari aturan

hukum tersebut dan mempelajari perkembangan aturan hukum tersebut. 21 Pendekatan hukum sinkronisasi yaitu hukum berfungsi untuk memberi

sinkronisasi antara hubungan subjek hukum dengan objek hukum dalam norma hukum. Dalam hal ini memberikan sinkronisasi antara hakim dengan pihak yang berperkara. Pendekatan hukum eksplanasi yaitu menerangkan atau menjelaskan kondisi-kondisi yang mendasari terjadinya peristiwa atau persoalan berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim.

21 Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Eَendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 126.

C. Sumber Data dan Bahan Hukum

Data pada penulisan karya tulis ilmiah ini diperoleh dari data sekunder, yaitu data yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan perundang-undangan. Unsur pokok dari peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan perundang- undangan bersifat atau mengikat secara umum. 22

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa:

• Buku-buku terkait namun tidak semua buku teks hukum dapat menjadi bahan hukum sekunder. Buku-buku teks hukum yang dapat

menjadi bahan hukum sekunder adalah buku-buku teks yang sesuai dan relevan dengan topik permasalahan yang akan dibahas. Buku teks

hukum dapat berwujud cetakan ( print out ) maupun online ( e-book ). 23 • Artikel dalam majalah atau media elektronik, berupa artikel yang

berkaitan dengan judul dan tema dalam karya tulis ilmiah ini. • Laporan penelitian atau jurnal hukum. Jurnal hukum menyediakan

informasi hukum yang lebih update jika dibandingkan dengan buku teks, karena jurnal hukum terbit secara rutin. 24

• Makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah. • Bahan Hukum Internet untuk mempermudah mendapatkan bahan

hukum. Melalui mesin pencari ( search engine ) pada internet, maka peneliti akan dengan mudah menemukan bahan-bahan hukum (baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder).

22 Ibid., Hal. 57. 23 Ibid., Hal. 93. 24 Ibid., Hal. 96.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris, dan sebagainya.

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan penulisan yang menggunakan metode hukum normatif-empiris, maka studi kepustakaan ( library research ) digunakan dalam teknik pengumpulan data. Data diperoleh melalui penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel dan jurnal hukum yang relevan dengan penulisan karya tulis ilmiah ini, kemudian dikaitkan dengan isu-isu permasalahan hukum dan dikaji untuk memecahkan suatu permasalahan dan keresahan masyarakat berkaitan dengan penyimpangan etika dan perilaku hakim.

E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data terhadap karya tulis ilmiah ini dilakukan dengan mendeskripsikan, mensistematiskan, dan memberi analisis searah dengan bentuknya yaitu kualitatif, melalui tiga kegiatan analisis. Pertama, reduksi data yaitu dengan melakukan penyeleksian terhadap data-data berupa penajaman data, pengarahan data, pembuangan data yang tidak perlu, serta penggolongan data yang akan dijadikan sebagai bahan untuk menarik kesimpulan. Kedua, penyajian data berupa kumpulan informasi yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, verifikasi yaitu tindakan berupa penarikan kesimpulan dengan metode deduktif dari perkembangan perolehan data.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Perlunya Pengawasan Terhadap Hakim Sebagai Penegak Hukum dan Keadilan pada Peradilan di Indonesia

Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila dalam implementasi penegakan hukumnya masih carut marut. Harus diakui secara jujur bahwa dalam kenyataannya, bobroknya dunia peradilan di Indonesia bukan semata-mata dipengaruhi oleh politik dan kekuatan eksekutif; dan malah porsi terbesar, lebih banyak disebabkan oleh persoalan moral. 25 Saat ini kita sepertinya

terpaksa harus mengakui bahwa masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang ideal terhadap hakim. Putusan hakim yang sering dianggap tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara hukum menjadi penyebab ketidakpuasan bagi masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan pelanggaran etik hakim dari Januari sampai April 2016, dari laporan masyarakat 448 aduan, 58 laporan masuk ke dalam sidang pleno yudisial. 8 laporan terbukti pelanggaran etik: 26

1. 5 hakim dijatuhi sanksi ringan (teguran lisan dan tertulis);

2. 2 hakim dijatuhi sanksi sebagai hakim non palu paling lama 3 bulan;

3. 1 hakim dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat. Data di KY ada sekitar 50 persen atau lebih 100 perkara yang

direkomendasikan KY ke MA namun tidak ditanggapi, yang benar-benar dieksekusi oleh MA hanya 12, dua direndahkan hukumannya, 66 ditolak karena dianggap masuk teknis yudisial, dan 28 kasus tidak jelas

jawabannya”, ujar Sukma kepada Majalah Komisi Yudisial di Jakarta. 27 Putusan merupakan mahkota dari profesi hakim, berbobot atau tidaknya

suatu putusan mencerminkan bagaimana integritas seorang hakim. Karena setiap putusan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak yang berperkara; masyarakat luas; ilmu pengetahuan; serta pada pengadilan selanjutnya yang lebih

25 Moh. Mahfud MD, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Depok, Hal. 102.

Kode Etik, Website, http://www.mediaindonesia.com, tanggal 18 Januari 2017 pukul 20:48 WIB.

26 Uta/Pol/p-1,

27 Ariane Meida, 2016, ‘Soal Teknis Yudisial dan Perilaku Hakim Harus Ada Kesepahaman KY dan MA’, Majalah Komisi Yudisial Media Informasi Hukum dan Peradilan, Edisi September- Oktober, Hal. 20.

tinggi. Sehingga dalam menetapkan suatu keputusan harus mempunyai dasar ilmu yang jelas.

Prancis Bacon dalam Essays Or Counsels Civil and Moral: of Judicature, sebagaimana diterjemahkkan oleh Arief Sidharta, mengatakan sebagai berikut, 28

para hakim seyogianya lebih terpelajar (berkecindikiawan) daripada pandai bersilat lidah, lebih bermanfaat daripada sekedar bersikap wajar, dan lebih menghayati serta mengetahui pelbagai faktor relevan dari masalah yang dihadapinya daripada sekedar keyakinan. Di atas segalanya itu mereka wajib memiliki integritas dan bermartabat.

Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, pertama , pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung) dan Majelis Kehormatan (Mahkamah Konstitusi). Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal. Kedua , Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Pasal 19A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menegaskan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim yang ditetapkan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.

Hakim Indonesia di lingkungan Mahkamah Agung diikat oleh kode etik dan pedoman perilaku hakim yang tertuang dalam bentuk Keputusan Bersama Ketua

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Tahun 2009. 29 Untuk melaksanakan keputusan tersebut, maka perlu menetapkan peraturan bersama tentang panduaan

penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Terkait dengan Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku yang termuat dalam Pasal 4 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia

28 Suhrawadi K. Lubis, Op. Cit., Hal. 27.

29 Jimly Asshidiqqie, 2014, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi Perspektif Baru Tentang ‘Rule of Law and Rule of Ethics’ & Constitutional Law and Contitutional Ethics’, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.158.

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku, yaitu:

1. Hakim Berperilaku adil, seorang Hakim dalam melaksanakan tugas atau profesinya di peradilan memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar, harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang yang diadili.

2. Berperilaku jujur, sikap pribadi seorang hakim yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.

3. Berperilaku arif dan bijaksana, perilaku arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi hakim yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar serta santun.

4. Bersikap mandiri, sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.

5. Berintegritas tinggi, integritas tinggi akan medorong terbentuknya pribadi hakim yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan menerapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu berusaha untuk melakukan tugas dengan baik demi mencapai tujuan terbaik.

6. Bertanggung jawab, hakim harus memiliki sifat kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan wewenang dan tugas sebaik-baiknya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang yang diberikan.

7. Menjunjung tinggi harga diri, hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.

8. Berdisiplin tinggi, disiplin akan mendorong pribadi hakim yang tertib dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.

9. Berperilaku rendah hati, hakim harus memiliki sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, 9. Berperilaku rendah hati, hakim harus memiliki sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain,

10. Bersikap profesional, hakim harus menjadi pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga mutu hasil kerja, efektif, dan efisien dapat tercapai. Menanggapi terhadap keputusan bersama tersebut, jelaslah bahwa terbitnya

keputusan bersama kedua lembaga itu untuk memenuhi ketentuan Pasal 32A juncto Pasal 81 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu:

(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim. (4) Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman salah satunya dilakukan

melalui pengawasan secara internal, namun yang sering terjadi adalah kurang efektifnya pengawasan internal tersebut. Hal ini dikarenakan berbagai sebab yang

digambarkan sebagai berikut: 30

a. Lemahnya integritas moral hakim dan pejabat lembaga penegak hukum.

b. Putusan pengadilan yang kontroversial, dan banyaknya keputusan yang bertentangan dengan masyarakat.

c. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).

d. Semangat membela sesama korps ( esprit the corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan.

e. Tidak terdapat kehendak yang kuat dari lembaga peradilan tertinggi sampai dengan terendah untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

30 Wildan Suyuthi Mustofa, Op. Cit., Hal. 138.

Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak cukup dilakukan hanya dengan pengawasan internal. Pengawasan internal di lingkungan Mahkamah Agung apalagi terhadap hakim agung, sudah sangat tumpul sehingga diperlukan pengawasan oleh lembaga pengawas fungsional-eksternal yang lebih khusus, mandiri, dan independen. Oleh karena itulah pembentukan Komisi Yudisial dimaksudkan. Komisi yudisial merupakan lembaga mandiri yang mempunyai kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim. 31 Jadi, fokus Komisi Yudisial adalah pada pengawasan eksternal. Pengawasan terhadap perilaku hakim dalam melaksanakan fungsi pengawasan, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mempunyai peran penting

dalam mewujudkan peradilan yang 32 fair dan akuntabel. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim mengindikasi

setiap perbuatan hakim yang termasuk kategori pelangaran kode etik atau bahkan kejahatan jabatan. Hal ini termaktub dalam Pasal 18 Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai berikut:

1. Pelanggaran ringan, meliputi pelanggaran atas:

a. Tidak berperilaku jujur, melakukan perbuatan yang tercela dan perbuatan yang menimbulkan kesan tercela (Pasal 6 ayat (2) huruf a dan b).

b. Melakukan tindakan tercela; dalam hubungan pribadinya yang menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan; dan dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak lepas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya (Pasal 7 ayat (2) huruf a, b, dan c).

c. Menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi atau pihak ketiga lainnya; memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas perkara atau putusan pengadilan

31 Supriana dan Yusrizal, 2015, Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Agama dalam Sistem Peradilan Indonesia , PT Refika Aditama, Bandung, Hal. 6.

32 Idul Rishan, Op. Cit., Hal. 7.

baik yang belum atau sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun, dikecualikan lain; dan terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan hakim mendukung partai politik (Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k).

d. Tidak menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan tidak bebas dari pengaruh tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung atau tidak langsung dari pihak manapun; tidak berperilaku mandiri untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan (Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c).

e. Tidak membatasi hubungan yang akrab baik langsung atau tidak langsung pada pihak yang sering berperkara di pengadilan tempat hakim menjabat; tidak bersikap terbuka dan tidak memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani perkara; dan tidak mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban keuangan lainnya dan tidak berupaya untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya (Pasal 9 ayat (4) huruf c, d, dan e).

f. Mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugasnya; mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya masih atau pernah melibatkan hakim tersebut; dan mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan lain bahwa seseorang seakan-akan berada di posisi khusus yang akan memperoleh keuntungan finansial; mengadili suatu perkara yang mana hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara; dan menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, pinjaman, atau manfaat lainnya, khususnya yang bersifat rutin atau terus menerus dari pemerintah daerah, walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi tugas-tugas yudisial (Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m).

g. Hakim bertindak sebagai arbiter dan mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang; dan menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya kecuali ditentukan lain (Pasal 9 ayat (4) huruf d, e, dan f).

h. Tidak berperilaku rendah hati (Pasal 13 ayat (1), (2), (3), dan (4)).

2. Pelanggaran sedang, meliputi pelanggaran atas:

a. Memberikan kesan bahwa salah satu pihak berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan; dan berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, dikecualikan dalam hal lain (Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e).

b. Tidak melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada KPK, Ketua muda pengawasan MA, dan Ketua KY paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima; dan tidak menyerahkan laporan kekayaan kepada KPK sebelum, selama dan setelah menjabat serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat (Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e).

c. Tidak mencegah keluarga hakim dan menyuruh/mengijinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang dibawah pengaruh petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman, atau fasilitas dari pihak lain (Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b).

d. Mengijinkan tempat kediamannya oleh seorang anggota suatu profesi untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi tersebut; mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses pengadilan yang adil, independen, dan tidak memihak; memberi keterangan atau pendapat mengenai subtansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain; dan secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik (Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f, dan j).

e. Tidak menghindari hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan advokat dengan penuntut dan pihak-pihak suatu perkara yang tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan; dan tidak meminta pertimbangan ketua apabila muncul keraguan bagi hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan mengadili suatu perkara (Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g).

f. Mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan ( reasonable ) patut diduga mengandung konflik kepentingan; mengadili suatu perkara apabila hakim memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, penuntut, advokat yang menangani kasus tersebut; dan menggunakan wibawa jabatan untuk mengejar keuntungan pribadi dalam hubungan finansial (Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j).

g. Tidak menganjurkan anggota keluarganya tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi jabatan hakim tersebut (Pasal 11 ayat (3) huruf b).

h. Bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang advokat kecuali jika hakim tersebut menjadi pihak di persidangan, memberikan nasihat cuma-cuma kepada anggota keluarga atau teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah hukum (Pasal 11 ayat (4) huruf c).