Ilmu sebagai Modal Budaya

2. Ilmu sebagai Modal Budaya

Ilmu dalam konteks Bourdieu dapat diterjemahkan sebagai modal budaya berdasarkan setidaknya tiga pandangan ini. Pertama, ilmu terintegrasi sebagai sistem disposisi yang melekat dan tahan lama dalam tubuh dan pikiran pemiliknya. Ilmu dalam arti objektif dan institusional boleh jadi dapat diwariskan secara mudah, tetapi ilmu dalam arti individual tidak mudah dipindahkan kecuali atas kerelaan dan persetujuan pemiliknya. Pada tipologi pertama ini, ilmu bersifat personal dan relatif independen. Secara simbolik, pemiliknya akan mendapatkan status dan prestise karena dianggap cerdas, pandai, intelektual. Karena anggapan-anggapan inilah modal-modal lain, selain modal budaya, dimungkinkan untuk direngkuh oleh agen. Semakin tinggi kualitas intelektualnya, semakin tinggi pula peluang memperoleh posisi-posisi yang dihargai dalam modal budaya maupun modal-modal lain.

Kedua, ilmu bersifat objektif, dalam arti selalu dianggap baik oleh masyarakat berbudaya. Produk ilmu secara objektif senantiasa diperlakukan positif dan bahkan dirayakan dalam kontestasi seminar, pameran ilmiah, buku, atau jurnal. Bahkan bukan hanya bersifat material saja keuntungannya, tetapi juga pengakuan simbolik juga didapatkan oleh pemiliknya. Berbasis pada objektivitas ini pula, ilmu dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu realitas

Ilmu dan Kapital

dianggap baik atau tidak secara politik, seperti terjadi dalam polling, survei, tren pasar ekonomi, serta pendidikan calon pelaku ekonomi.

Ketiga, mengutip pandangan Stenmark dan Ziman, ilmu meru- pakan bentuk praktik sosial. 224 Secara internal, ilmu terikat oleh

mekanisme sosial yang berlaku dalam komunitas ilmiah, seperti keahlian, penemuan ilmiah, publikasi, dan dokumentasi. Secara

ekster nal, ilmu merupakan bagian dari arus pergerakan teknologi dan industri. Pada konteks terakhir inilah, sebagaimana dipaparkan di Bab I dan III, produk praktik internal ilmu digiring untuk bersentuhan dan bersenyawa dengan praktik-praktik politis. Bahkan, sering kali pragmatis dan kapitalistis, yakni sebagai instrumentasi praktik-praktik industri. Jika menggunakan kerangka tipologi modal budaya Bourdieu, maka ilmu merupakan modal budaya yang dilembagakan.

Kehidupan intelektual profesional, menurut Bourdieu, secara umum memiliki dua dimensi penting, yakni dimensi pertunjukan dan kompetensi teknis. Dimensi pertunjukan adalah kemampuan untuk menyampaikan hasil pemikirannya kepada publik, bisa dalam bentuk tulisan jurnal, buku, atau dalam bentuk oral presentasi, seperti seminar dan konferensi. Adapun dimensi kompetensi teknis adalah kemampuan ilmuwan dalam hal pengerjaan penelitian sesuai kaidah- kaidah teknis ilmiah. Keinginan untuk mengerahkan terlalu banyak energi ke arah salah satu dimensi, kata Bourdieu, memiliki berbagai konsekuensi negatif. Terlalu banyak keterampilan teknis dan terlalu sedikit pertunjukan, imbalan dari arena yang lain tidak akan datang. Terlalu banyak pertunjukkan dan terlalu sedikit kompetensi, berarti karyanya dangkal. 225

Berdasarkan pandangan tersebut, ilmu sebagai sumber daya imaterial baik secara objektif, individual maupun institusional, memiliki aspek material dan simboliknya. Secara material, ia mesti

mampu menunjukkan hasil penelitiannya dalam bentuk karya konkret

Mikael Stenmark, 2004, “How to Relate…”, hlm. 16; John Ziman FRS, 1984, “An Introduction to…”, hlm. 12.

Richard Harker dkk (eds.), 2009, “(Habitus x Modal)…”, hlm. 42.

M. Najib Yuliantoro

113 seperti buku atau jurnal, sehingga komunitas ilmiah sebidang dapat

secara mudah dan proporsional terlibat dalam percaturan dialektika ilmiah, sebagaimana digeluti ilmuwan. Pertukaran gagasan — sesuatu yang dihargai dalam modal budaya ilmiah — pun akan berlangsung

objektif. Di sisi lain, secara simbolik, ilmuwan perlu menunjukkan kemampuan publiknya dengan cara menyampaikan berbagai hasil penelitiannya kepada publik yang memerlukan. Dengan strategi ini, maka ilmuwan akan mendapatkan posisi, status, dan prestise. Kesan- kesan simbolik dari anggota masyarakat sosial dapat direngkuh dan dimanfaatkan sebagai basis mendapatkan imbalan modal-modal lain.

Sama halnya dengan kapital. Berdasarkan genesis asal-usulnya, ilmu juga mengalami pergeseran-pergeseran. Kelahiran ilmu, pada awalnya, menurut Habermas, merupakan artikulasi dari ritual religius, bertujuan mengolah dan mendidik jiwa untuk membebaskan diri dari dominasi doxa (pendapat). Pada saat kemunculannya, ilmu memiliki kekuatan emansipatoris. Cita-cita etis ilmu (theoria) selalu berpijak pada asas utilitas dalam kehidupan manusia. Konkretnya, ilmu diraih semata-mata untuk merealisasikan kebahagiaan, kebaikan, kebijaksanaan, dan kehidupan sejati. 226 Tetapi dalam perjalanannya, sebagaimana dipaparkan di Bab III, wajah ilmu justru bergeser menjadi instrumentasi kekuasaan baik dalam bentuk kolonialisme maupun kapitalisme. Ilmu tidak lagi bernilai emansipatoris, tetapi justru bernilai eksploitatif. Ilmu telah menjadi bagian dari sumbu praktik-praktik dominasi dalam ruang-ruang sosial. Karena itulah, sebagaimana kapital, ilmu mengandung kontradiksi. Di satu sisi, ia berfungsi sebagai pembebasan pelakunya yang secara objektif melahirkan kemanfaatan sosial. Di sisi lain, sebagai suatu praktik sosial, ilmu justru bertentangan dengan fungsi utamanya, yakni theoria. Persinggungan ilmu dengan praktik sosial ekstra-ilmiah kenyataannya selalu memiliki konsekuensi politis, kapitalistis, dan semakin menjauh dari cita-cita pembebasan.

Jürgen Habermas, 1972, “ Knowledge and…”, hlm.301-302; bdk. F. Budi Hardiman, 2009, “ Kritik Ideologi…”, hlm. 21-22.

Ilmu dan Kapital

Berdasarkan paparan di atas, maka cukup jelas bahwa ber- dasarkan genesis sistem disposisi yang terbentuk, ilmu sebagai modal budaya mengandung sisi-sisi problematik. Habitus ilmu yang terbentuk bukan lagi bertolak pada basis genesisnya, namun sudah mengalami perluasan makna sesuai dengan struktur sosial pemben- tuknya. Dengan kata lain, ilmu bebas nilai, pada konteks Bourdieu,

tidak lagi dapat dipercaya. Pasalnya pembentukan habitus ilmu secara genealogis menunjukkan ketidaknetralannya secara transparan. Ilmu bisa dikatakan telah terikat dengan nilai-nilai pembentuknya. Ketika ilmu berada dalam struktur pembentuk yang lebih menghargai esensi pengetahuan, seperti konsistensi proses dan kemanfaatan substantif, maka habitus agen yang terbentuk akan seperti struktur pembentuknya. Sebaliknya, tatkala ilmu dikembangkan dalam struktur pembentuk yang lebih menghargai kapital, seperti untuk mencari kerja, mengembangkan industri yang berwatak kapitalistis dan pragmatis, maka habitus agen yang terbentuk juga akan mengarah pada sifat-sifat tersebut. Berdasarkan pandangan ini, pembahasan ilmu dan kapital pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari unsur relasional disposisi dan posisi keduanya dalam arena.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2