Pendidikan dan Reproduksi
3. Pendidikan dan Reproduksi
Perhatian Bourdieu pada konteks pendidikan cukup besar. Ia menulis lebih dari 5 buku dan puluhan artikel khusus untuk mengulas berbagai persoalan dalam arena pendidikan. 144 Ketika ditanya tentang apa kontribusi pemikiran Bourdieu terhadap sosiologi pendidikan Perancis, ia menjawab bahwa pendidikan harus mengurangi reproduksi perbedaan kelas. 145 Kajian Bourdieu tentang pendidikan dianggap autentik, sebab titik tolak pembentukan teori tindakan Bourdieu, selain untuk melihat realitas sosial budaya di Algeria, adalah untuk memeriksa relasi pendidikan dan budaya dalam reproduksi sosial yang melahirkan kelas-kelas sosial dan perbedaan selera. Pada arena
Richard Jenkins, 1992, “Pierre Bourdieu…”, hlm. 88.
Indi Aunullah, 2006, “Bahasa dan…”, hlm. 53.
Richard Harker dkk (eds.), 2009, “(Habitus x Modal)…”, hlm. 68.
M. Najib Yuliantoro
55 pendidikan pula, Bourdieu mengembangkan teori kekerasan simbolik,
sebagai konsekuensi logis dari teori strukturalisme genetik, dan mengem bangkan teori reproduksi sosial sebagaimana terjadi dalam masyarakat industri. 146 Jelaslah bahwa ketika hendak menelaah praktik dan dominasi dalam arena pendidikan, maka tidak mungkin lolos dari pem bahasan teori kekerasan simbolik dan reproduksi sosial.
Kekerasan simbolik, menurut Bourdieu, “berlaku di berbagai formasi sosial, dipahami sebagai sistem relasi-relasi kekuasaan, dan relasi yang masuk akal dalam kelompok-kelompok dan kelas- kelas”. 147 Bentuknya adalah imposisi (pemaksaan) makna dan sistem- sistem simbolisme ke dalam kelompok-kelompok dan kelas-kelas, namun secara serentak imposisi tersebut oleh kelompok dan kelas diakui secara absah. Karena pengakuan itulah kekerasan simbolik berpotensi mengaburkan relasi-relasi kekuasaan dalam arena, sehingga memudahkan agen mencapai posisi yang dihargai dalam arena. Berbasis pada penerimaan, pengakuan, dan keabsahan itu pula, kuasa simbolik berperan secara efektif sebagai sumbu sistem reproduksi. Pada konteks inilah budaya menjadi sewenang-wenang — Bourdieu menyebutnya “arbitrasi budaya”. Di satu sisi, terutama terkait isinya, arbitrasi budaya tampak bersifat alami, tetapi di sisi lain, melalui kekerasan simbolik, ia bersifat imposisi. 148
Pendidikan, sebagai suatu arena, cukup kental dengan kekerasan simbolik dan imposisi arbitrasi budaya; pada setidaknya tiga bentuk: pertama, pendidikan yang membaur (diffuse education), terjadi dalam proses interaksi dengan anggota formasi sosial yang dianggap
kompeten dalam bidang-bidang tertentu, contohnya, kelompok studi informal; kedua , pendidikan keluarga, pada ruang sosial terkecil agen; ketiga, pendidikan institusional, seperti sekolah atau perguruan tinggi. 149 Pada ketiga bentuk tersebut, kekuatan simbolik dibentuk,
Richard Jenkins, 1992, “Pierre Bourdieu…”, hlm. 65.
Pierre Bourdieu & Jean-Claude Passeron, 1977a, Reproduction in Education, Society and Culture , terj. dari Bahasa Perancis oleh Richard Nice, London: Sage Publications, hlm. 5.
Richard Jenkins, 1992, “Pierre Bourdieu…”, hlm. 66.
Pierre Bourdieu & Jean-Claude Passeron, 1977a, “Reproduction in…”, hlm.5.
Ilmu dan Kapital
diarahkan, disempurnakan, melalui penanaman karakter makna dan keberhasilan. Tetapi tanpa disadari, dengan cara itu pulalah struktur
relasi kuasa simbolik menguat. Dengan kata lain, bentuk reproduksi sosial dari praktik pendidikan adalah melakukan reproduksi praktik- praktik dominasi kelas dominan kepada kelas di bawahnya, seraya mempertahankan posisi dan status kelasnya melalui mekanisme simbolik. Fungsi pendidikan, dengan demikian, tiada lain kecuali sebagai media reproduksi sosial atas reproduksi budaya. 150
Praktik-praktik kekerasan simbolik dalam pendidikan semakin kokoh dengan dibentuknya perangkat-perangkat simbolis yang secara khusus diciptakan untuk melancarkan proses reproduksi relasi kekuasaan. Perangkat-perangkat tersebut diantaranya adalah etos, karya, dan otoritas. Melalui perangkat-perangkat tersebut, proses inkulkasi (penanaman) pendidikan, bisa dalam bentuk pelatihan, dilakukan secara terus-menerus, memakan waktu cukup panjang, dan membutuhkan konsistensi, sehingga memungkinkan bahwa hasil pendidikan menjadi habitus dan stabil bagi kontinuitas kekerasan simbolik. Jadi, dapat dikatakan, pendidikan selain menjadi arena untuk reproduksi sosial dan kekerasan simbolik, juga arena untuk membentuk dan mengakumulasi sistem disposisi dalam diri agen. Kebenaran objektif habitus, dengan demikian, merupakan prinsip- prinsip yang lahir dari proses internalisasi arbitrasi budaya melalui proses inkulkasi. 151
Perlu segera ditambahkan bahwa proses inkulkasi pendidikan tidak dimulai dari nol. 152 Fungsi pendidikan sekadar melatih, men- didik, menyempurnakan, pada konteks tertentu ‘memilih’, sistem disposisi dan modal tertentu yang dimiliki oleh agen, sehingga agen mendapatkan pengakuan dan kualiikasi simbolik dari sistem relasi dan legitimasi kekuasaan otoritas pendidikan. Selain mendidik dan melegitimasi, pendidikan juga menciptakan legitimasi hierarki sosial
Richard Jenkins, 1992, “Pierre Bourdieu…”, hlm. 66.
Richard Jenkins, 1992, “Pierre Bourdieu…”, hlm. 67-68.
Indi Aunullah, 2006, “Bahasa dan…”, hlm. 54-55.
M. Najib Yuliantoro
57 dalam masyarakat modern. Melalui bekal disposisi dan modal yang
dimiliki oleh agen, pendidikan bekerja untuk memantapkan posisi- posisi yang telah dimiliki untuk merengkuh dan menukarkannya dengan posisi-posisi dalam arena-arena yang lain. Selain itu, pendidikan sebagai strategi kekuasaan, juga dapat diwariskan meski- pun bersifat statis. Berbeda dengan pewarisan dalam keluarga yang bersifat otomatis, pewarisan statis mengandung maksud: per- tahanan diri oleh kelas sosial cenderung dilanggengkan tanpa perlu mengusahakan reproduksi diri dari segenap anggotanya. Tetapi, bukan berarti pewarisan tersebut tidak efektif. Pewarisan melalui pendidikan, menurut Bourdieu, jauh lebih efektif karena kemampuannya untuk melegitimasi — dalam konteks tertentu melanggengkan — reproduksi hierarki sosial, menjamin kemapanan kelas, serta mendapatkan pengakuan simbolik dari negara.