Mempertahankan Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi

2. Mempertahankan Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi

Seperti dijelaskan di atas, pasca Mahkamah Konstitusi memutus perkara Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada tanggal 19 Desember 2006, eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi seperti berada di ujung tanduk. MK memberikan jangka waktu tiga tahun pada Presiden dan DPR-RI untuk merumuskan Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara terpisah dengan UU KPK.

Dari amar putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 012-016-019PUU-IV/2006 tersebut, terdapat dua poin krusial. Pertama, MK menyatakan Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Dan, kedua, Pasal 53 masih mempunyai kekuatan mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun

sejak putusan diucapkan. 25 Karena putusan diucapkan pada hari

25 Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Hlm. 290. Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Analisis Putusan

Selasa, 19 Desember 2006, maka selang tiga tahun akan jatuh pada 19 Desember 2009, tepat satu hari setelah tahun baru 1431 Hijriah.

Banyak perdebatan terjadi seputar putusan tersebut. Di internal hakim sendiri, salah satu Hakim Konstitusi, H.M. Laica Marzuki menyatakan pendapat berbeda ( dissenting opinion). Demikian juga dengan sejumlah akademisi hukum yang pada prinsipnya menilai antara amar putusan pertama dengan kedua saling bertentangan, dan bahkan MK dapat dikatakan sudah melampaui wewenangnya ketika tetap memberlakukan Pasal 53 UU KPK selama 3 tahun sejak putusan dibacakan.

Tetapi, tulisan ini tidak akan mengupas perdebatan tersebut. Untuk kepentingan pemberantasan korupsi yang lebih kuat, ICW bersama koalisi dan jaringan anti korupsi di Jakarta dan seluruh daerah di Indonesia justru mencoba terus mendorong agar waktu 3 tahun dimanfaatkan secara maksimal oleh Eksekutif dan Legislatif untuk mempertahankan Pengadilan Tipikor.

Namun sayangnya, pasca Presiden menyerahkan draft RUU Pengadilan Tipikor pada DPR sejak 20 Oktober 2008, 26 Panitia Khusus pembahasan RUU ini dinilai terlalu lamban, dan bahkan terkesan menghambat penyelesaian RUU. Komitmen DPR yang lemah tentu saja sangat berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi. Bukan saja akan mematikan Pengadilan Tipikor, tapi juga berpotensi melemahkan KPK. Bahkan, jika DPR tidak bisa selesaikan dan Pemerintah tidak menerbitkan aturan darurat, mereka dapat disebut sebagai pihak yang menjadi otak dibalik delegitimasi pemberantasan korupsi.

Mencermati putusan MK, poin-poin krusial dalam pertimbangan putusan MK sebagai bagian dari aktualisasi fungsi the guardian of constitution yang dijalankan MK, dapat dilihat sebagai “tafsir resmi dan tafsir aksi” dari UUD 1945. Kekhawatiran MK bahwa putusan tersebut akan berimplikasi pada ketidakpastian hukum ( rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam

penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, 27 sesungguhnya menyampaikan pesan penting bagi advokasi antikorupsi. MK sebenarnya menempatkan pemberantasan korupsi

26 Presiden Republik Indonesia, Keterangan Presiden terhadap Rancangan Undang- undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (disampaikan oleh Menteri

Hukum dan HAM, atas nama Presiden), 20 Oktober 2008. 27 Ibid. Hlm. 286.

32 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor

sebagai salah satu cara penting menegakkan moral konstitusional, dan peneguhan prinsip konstitusionalisme. Kendati Pasal 53 inkonstitusional, akan tetapi institusi Pengadilan Tipikor harus tetap ada, karena itu munculah terminologi “ smooth transition” dengan tujuan, peralihan dari aturan yang lama pada aturan baru. Yaitu, sebuah aturan hukum setingkat Undang-Undang demi memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

MK seharusnya sadar, instrumen pemberantasan korupsi di lingkungan pengadilan umum seringkali menyisakan ketidakadilan, kesedihan mendalam bagi korban, dan “suara kemenangan” bagi pelaku koruptif. Indikasi banyaknya vonis bebas dan ringan dapat menjadi rujukan, betapa lemahnya pemberantasan korupsi tanpa Pengadilan Tipikor. Mungkin, karena itulah diberikan waktu 3 tahun bagi pemerintah dan DPR. Akan tetapi, smooth transition tidak dapat dipahami hanya sekedar rekomendasi. Ia adalah perintah konstitusi.

Posisi MK sebagai “penafsir resmi” konstitusi menjadikan ia punya kekuasaan besar bahkan untuk menegasikan “suara rakyat” di Parlemen ketika MK menilai sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Tujuannya adalah untuk memastikan semua aturan dibuat berdasarkan konstitusi. Dalam logika sebaliknya, memastikan cita-cita, tujuan dan “perintah” konstitusi dilaksanakan tentu juga merupakan kewenangan lembaga ini. Meskipun relatif terbatas, akan tetapi, ia bisa menggunakan putusannya sebagai sarana menegaskan cita UUD 1945 tersebut. Dikaitkan dengan moral konstitusi, bahwa sebuah pemerintahan negara harus dilakukan dengan bersih, melindungi hak asasi warga negaranya, melakukannya secara terbuka dan bertanggungjawab serta “tidak mencuri”/tidak korupsi, maka pertimbangan putusan MK itu menjadi relevan disebut sebagai penegasan makna dan cita konstitusi. Demikian juga dengan prinsip konstitusionalisme, dimana upaya pemberantasan korupsi merupakan turunan nyata untuk menjaga hak asasi rakyat dari tangan-tangan kotor penyelenggara korup. Sehingga, jika pertimbangan itu tidak diwujudkan oleh Pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor, secara teoritis agaknya mereka dapat disebut telah secara terbuka “melawan konstitusi”. Penggunaan istilah “melawan konstitusi”

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Analisis Putusan

mungkin dianggap berlebihan bagi beberapa kalangan. Terutama pihak yang ingin percaya, bagian yang mengikat dari sebuah putusan hanyalah amar, bukan bagian pertimbangan.

Tentu saja tidak terlalu sulit membantah argumentasi tersebut. Jauh-jauh hari pendapat yang berkembang di Hakim Agung pada Mahkamah Agung sudah menyatakan bahwa Pertimbangan Putusan merupakan hal yang juga mengikat selain amar putusan. Seperti ditulis oleh M. Yahya Harahap, ratio decidendi merupakan tolak ukur untuk memahami sebuah putusan. Dalam paparannya disebutkan, sebuah putusan mengandung Deskripsi Obiter Dicta,

Ratio Decidendi dan amar putusan. 28 Dua bagian terakhir adalah bagian yang mengikat dan harusnya dipatuhi oleh para pihak (dalam kasus perdata) dan semua rakyat indonesia yang terikat dengan undang-undang tersebut (dalam kasus publik).

Ratio Decidendi itu sendiri kurang lebih berarti the ground or reason of decision, or the point in a case which determinisme the judgment. 29 Oleh karena itulah, sebuah pertimbangan putusan tidak

dapat dilepaskan dari amar putusan. Konsekuensi logis dari cara berpikir ini, pertimbangan dan amar putusan tersebut merupakan bagian dari aktualisasi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengawal UUD 1945.

Di bawah ini, ada 10 penegasan konstitusionalitas Pengadilan Tipikor dan urgenitas pemberantasan korupsi sebagai bagian niscaya dari moral konstitusi.

Tabel 6

10 Penegasan Konstitusionalitas Pengadilan Tipikor No.

Pertimbangan Hukum

Hal.

1. Akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU 286 KPK tersebut harus cukup mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan hukum.

28 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa (Bandung: Citra Aditya, 1997). Hlm. 101.

29 Ibid. 34 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor

No.

Pertimbangan Hukum

Hal.

2. Putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai 286 menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum ( rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Putusan Mahkamah tersebut jangan sampai pula 286 menimbulkan implikasi melemahnya semangat ( disinsentive) pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat Indonesia.

4. Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya 286 menyediakan waktu bagi proses peralihan yang mulus ( smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru.

5. Tujuan perlindungan hak asasi yang hendak dicapai 287 melalui pengujian ketentuan dimaksud di depan Mahkamah dipandang skalanya lebih kecil dibanding dengan perlindungan hak asasi ekonomi dan sosial rakyat banyak yang dirugikan oleh tindak pidana korupsi.

6. Hal demikian juga sekaligus dimaksudkan agar pembuat 288

undang-undang secara keseluruhan memperkuat dasar- dasar konstitusional yang diperlukan bagi keberadaan KPK dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

7. Menurut Mahkamah pembuat undang-undang harus 289 sesegera mungkin melakukan penyelarasan UU KPK dengan UUD 1945 dan membentuk undang-undang tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dihilangkan.

8. Untuk menyelesaikan kedua hal tersebut, beserta 289 penataan kelembagaannya, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama tiga tahun.

9. Sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru 289 hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Analisis Putusan

No.

Pertimbangan Hukum

Hal.

10. Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun sejak putusan 289 ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Sumber: ICW, 2009. Diolah dari: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/ PU-IV/2006

Dalam sepuluh poin ratio decidendi Hakim Mahkamah Konstitusi, sangat terlihat kekhawatiran Putusan MK akan berkibat melemahnya pemberantasan korupsi. Atas dasar itulah diberikan sejumlah “jalan keluar”. Salah seorang mantan hakim MK, tepatnya Ketua Mahkamah Konstitusi yang memimpin sidang Uji Materi UU KPK saat itu, dalam keterangannya di RDPU Pansus RUU Pengadilan Tipikor kembali menegaskan sikapnya tentang pemberantasan korupsi. Meskipun beberapa pandangan Jimly tentang alasan “kegentingan memaksa” sebagai dasar penerbitan Perpu masih patut dipertanyakan dan didiskusikan, akan tetapi penegasannya tentang pentingnya pengadilan tipikor patut diapresiasi.

Dalam poin ketiga, keterangan RDPU tersebut ia menyatakan: “Pengadilan Tipikor harus tetap ada, mengingat masalah korupsi sudah menjadi masalah besar diseluruh dunia disamping HAM dan Linkungan Hidup. Kebijakan yang sudah ada dalam penganganan korupsi sebaiknya ditata dan diperkuat karena dalam penyelenggaraan Negara perlu dukungan dan legitimasi” 30

Poin krusial lainnya terkait dengan pernyataan bahwa semangat yang ada dalam RUU seharusnya semangat memperkuat. 31 Karena itulah, sikap pemerintah dalam draft RUU yang mengecilkan komposisi hakim ad hoc dibanding hakim karier juga tak luput dari kritikan.

Selain dari aspek konstitusional dan tafsir hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi, pendekatan analisis Ekonomi-Politik terhadap

30 Set. Pansus Pengadilan Tipikor, Rangkuman Tanggapan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. terhadap RUU tentang Pengadilan Tipikor. (disampaikan di RDPU Pansus

RUU Pengadilan Tipikor, 3 Juni 2009) 31 Ibid.

36 Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari Pengadilan Tipikor

korupsi selayaknya semakin menegaskan premis, bahwa lembaga pemberantasan korupsi harus diperkuat. Jika sudah ada yang efektif seperti KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka tidak dibenarkan segala upaya untuk melemahkan, mendelegitimasi apalagi membubarkan melalui jalur legislasi. Dari pemetaan tipologi perkara yang sudah ditangani KPK dan diputus di Pengadilan Tipikor, tampak bahwa dua institusi ini sudah mulai mengobati kerinduan publik dengan keadilan, sekaligus mengurangi kebencian publik pada kejahatan korupsi yang seringkali tidak tersentuh oleh penegak hukum lainnya.

Meskipun memang harus diakui, kinerja Pengadilan Tipikor dan KPK ternyata membuat resah kelompok-kelompok oligarkhi politik-bisnis dan para kleptokrat yang sebagian besar ada di jabatan penyelenggara negara ini. Karena itulah, kita patut khawatir dan hati-hati terhadap serangan balik kelompok korup semacam itu. Di ICW, kami percaya pihak yang ingin mematikan KPK dan Pengadilan Tipikor adalah bagian dari jaringan kleptokrat yang berkaki banyak di struktur oligarki politik, imperium bisnis dan aktor pemburu rente yang semakin mewabah bak cendawan di musim hujan.