Hak Ulayat sebagai Hak Asasi Manusia

III. Hak Ulayat sebagai Hak Asasi Manusia

Pengemban hak ulayat adalah masyarakat adat yang sering juga disebut indigenous peoples atau penduduk asli. Menurut James Anaya, 7 mereka disebut indigenous karena akar turun temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisah dengan tanah dan wilayah yang mereka huni. Mereka juga disebut peoples karena mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka yang berkelanjutan secara turun temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku, atau bangsa dari sejarah masa lampau. Senada dengan pandangan James Anaya,

beberapa pakar hukum adat, seperti Van Dijk 8 juga menyatakan bahwa faktor yang menjadi unsur utama masyarakat adat adalah faktor genealogis dan faktor teritorial. Faktor Genealogis secara umum dapat dilihat dari sistem pewarisan, misalkan matrilineal, patrilineal, dan parental. Faktor Teritorial menunjukkan dalam bentuk apa masyarakat adat mengorganisir diri di kampung halamannya. Bentuk-bentuk dari teritorial itu misalnya desa, nagari, marga, subak, dan bentuk lainnya.

Pada dasarnya, hubungan antara masyarakat adat dengan wilayah kehidupan mereka bukanlah hubungan ‘hak’, melainkan lebih tepat disebut sebagai hubungan ‘kewajiban’. Hal ini sesuai dengan pandangan kosmologis yang menempatkan wilayah kehidupan masyarakat adat yang terdiri dari tanah, air dan sumberdaya alam lainnya sebagai satu kesatuan dengan sistem kehidupan mereka. Sehingga memanfaatkan dan menjaga alam merupakan suatu kewajiban untuk kelangsungan kehidupan mereka sendiri. Masyarakat adat di Papua menganggap alam sebagai ‘ibu’ mereka sendiri, sehingga mereka wajib menjaganya

7 S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1996) dalam Eddie Riyadi Terre, Loc.cit.

8 Van Dijk, Op. cit. hlm. 19.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Hak Ulayat: Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia

dari kerusakan. Masyarakat Baduy di Provinsi Banten mempercayai bahwa mereka diperintahkan oleh “Adam Tunggal” untuk menjaga

alam dan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa dari kerusakan. 9 Ketika mereka menjaga alam, maka hal itu merupakan wujud dari kewajiban mereka memenuhi perintah yang maha kuasa.

Marianus Kleden 10 menyebutkan ada empat cara pandang masyarakat komunal 11 atau masyarakat adat yang menyebabkan mereka menganggap bahwa hubungan mereka dengan wilayah hidup merupakan hubungan kewajiban, tidak hanya sebagai hak. Pertama, totalitas. Masyarakat adat tidak memandang sesuatu secara parsial melainkan dalam keseluruhan, kelengkapan dan simetri. Segala sesuatu dipandang sebagai hal yang komplementer: ada kiri ada kanan, ada wadah ada tutupan, dan begitu seterusnya. Demikian pula kalau ada hak maka ada pula kewajiban sebagai satu kesatuan, dan sebaliknya, kalau kita sudah menjalankan kewajiban, maka hak-hak kita akan dipenuhi.

Kedua, altruisme. Secara positif altruisme berarti mendahulukan kepentingan orang lain. Secara negatif altruisme berarti ketakutan menjadikan diri sebagai pusat perspektif. Dalam logika masyarakat adat: Dahulukan kepentingan orang lain maka hak-hak anda akan terpenuhi. Mendahulukan hak orang lain ini merupakan bentuk tanggungjawab dalam masyarakat adat dalam stuktur-struktur sosial yang dibangun di dalam komunitas. Misalkan tanggungjawab orang tua kepada anak, tanggungjawab mamak kepada kemenakan, tanggungjawab individu dalam mengadakan acara adat, menyumbang untuk kepentingan komunitas, tanggungjawab menjaga alam demi kepentingan bersama generasi sekarang dan untuk anak cucu

Ketiga, panteisme. Masyarakat adat melihat keseluruhan alam semesta: laut, sungai, gunung, daratan, hutan, rumah adat, kampung halaman, sebagai satu tertib kosmik yang mengatur hidup manusia

9 Penuturan seorang Jaro pamarentah atau Kepala Desa Kanekes dalam buku: Suhada, Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah, (Banten: Dinas Pendidikan

Provinsi Banten, 2003), hlm. 48-54. 10 Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian atas Konsep

HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945, Cetakan II, (Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009), hlm. xvi – xix.

11 Marius Kleden menggunakan istilah masyarakat komunal untuk menyebut masyarakat adat.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Wacana Hukum dan Konstitusi

– dan karena itu pada sebagian masyarakat adat, alam semesta disamakan dengan Tuhan. Dalam tertib kosmik tersebut, wilayah kehidupan atau kampung halaman menjadi sentral dan diseru menjadi sumber perlindungan.

Keempat, kolektivitas. Sistem kekerabatan dalam masyarakat adat yang komunal tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi seseorang untuk tampil sebagai individu yang cuek terhadap kehidupan komunal dan kepentingan kolektif. Seorang individu tidak akan terelakkan untuk berada dalam jejaring peran dan jejaring kepentingan antarwarga, yang membuat pemenuhan kebutuhan hidupnya hanya mungkin terlaksana berkat kehadiran individu lain. Sehingga pemenuhan hak seseorang individu hanya bisa dimungkinkan kalau seseorang memenuhi hak-hak warga komunitas yang lain, dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota komunitas. Kolektivitas ini salah satunya diikat dengan kepemilikan bersama terhadap wilayah hidup atau kampung halaman.

Hubungan ini menjadi ‘hak’ ketika masyarakat adat berhubungan dengan pihak luar. Hubungan dengan pihak luar bukan lagi berdimensi kosmologis, melainkan berdimensi politis karena terkait dengan perebutan manfaat atas sumberdaya. Ketika kolonialisme datang, masyarakat adat tidak sepenuhnya berdaulat atas wilayahnya karena pemerintahan kolonial merampas tanah-tanah masyarakat adat. Kaum kolonialis dan penyebar agama (Kristen) dari Eropa beranggapan bahwa tanah-tanah yang mereka datangi adalah tanah tak bertuan yang tidak berpemilik (terra nullius) dan manusia mereka jumpai pada tanah atau negeri yang mereka

datangi adalah “makhluk yang perlu ditobatkan dan diadabkan”. 12 Doktrin kepemilikan (doctrine of dispossesion) 13 yang mereka bawa

12 Eddie Sius Riyadi, Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia: Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia.

Makalah dalam Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22) Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta.

13 Van Vallenhoven menyebutkan bahwa hubungan yang utama antara masyarakat adat dengan wilayah dan sumberdaya alamnya adalah untuk menarik hasil

dari pengelolaan (genotrecht), daripada disebut sebagai hubungan berbentuk hak kepemilikan, meskipun pada beberapa komunitas seperti Aceh, Madura, Bewean dan Jawa Barat hak kepemilikan itu hidup di dalam masyarakatnya.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Hak Ulayat: Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia

ini berimplikasi pada teralienasinya masyarakat adat dari tanah dimana mereka hidup.

Munculnya negara-negara merdeka menggantikan kolonialisme di belahan dunia ketiga juga tidak menyelesaikan persoalan. Negara baru merdeka ini yang mengandaikan diri menjadi negara modern melalui perangkat hukum negara melanjutkan perampasan itu secara lebih halus melalui aturan yang dibuat dalam bentuk tertulis, dibuat secara sadar oleh institusi negara, dan berlaku umum untuk seluruh teritori tanpa menandang kapasitas sosial kelompok-kelompok yang

ada di dalam masyarakat. 14

Baik kolonialisme dan negara modern menganggap hubungan masyarakat adat dengan wilayahnya sebagai hubungan hak. Hak tersebut diakui disamping mengakui hak-hak milik atas sumberdaya lainnya yang diemban oleh individu (privat property) dan hak milik negara (state property). Dalam pandangan demikian, negara adalah wadah besar dimana individu, masyarakat dan korporasi berada di dalamnya. Negara kemudian menjadi instansi yang paling ekstensif untuk melakukan penguasaan sumberdaya dan kemudian membagi-bagi tanah, air dan sumberdaya alam lainnya dalam bentuk konsep-konsep hukum seperti hak milik, hak ulayat, hak guna usaha, hak pengusahaan hutan dan hak-hak lainnya.

Dalam perkembangan hak asasi manusia, hak atas sumberdaya alam sebagai hak asasi manusia sudah muncul sejak abad XVII di Eropa dari pemikiran John Locke tentang hak milik. Menurut Locke, hak milik merupakan kodrat alamiah manusia, bagian

dari manusia dan bagian dari penegasan diri manusia. 15 Namun pemikiran Locke tersebut hadir dalam upaya untuk mengairmasi

hak-hak individu warga dan borjuis berhadapan dengan dominasi raja dan gereja. Pada belahan dunia lain di luar Eropa, hak milik ini tidak dapat direduksi hanya sebagai hak individu. Hal ini karena struktur masyarakat pada negara-negara non eropa tersebut masih memiliki watak komunal yang kuat.

Lihat Cornelis Van Vallenhoven, “De Indinesier Enzujn Grond”, hlm 5-11, dalam Van Dijk, op.cit. hlm, 124.

14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 213-214.

15 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 18.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Wacana Hukum dan Konstitusi

Masyarakat komunal yang kemudian dikenal dengan indigenous people atau masyarakat adat ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan sumberdaya alam sebagai wilayah kehidupan dan sekaligus sebagai penanda keberadaan mereka. Dalam semua pengertian yang ada tentang masyrakat adat, hubungan antar masyarakat dengan tanah, air atau wilayah hidupnya adalah salah satu faktor kunci untuk mengidentiikasi suatu komunitas disebut sebagai masyarakat adat. Tanpa hubungan itu, suatu komunitas tidak akan pernah disebut sebagai masyarakat adat. Dengan demikian, hubungan kepemilikan kolektif masyarakat adat dengan wilayah kehidupan merupakan kodrat alamiah masyarakat adat.