Istilah Masyarakat Adat

II. Istilah Masyarakat Adat

Saat ini perdebatan tentang peristilahan “masyarakat adat” masih berlangsung. Dokumen internasional seperti Konvensi ILO 169 membedakannya dalam dua kategori, yaitu indigenous peoples

dan tribal peoples. Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng 4 mengusulkan penerjemahannya dua istilah tersebut sebagai berikut: indigenous peoples diterjemahkan menjadi “bangsa pribumi” dan tribal peoples diterjemahkan menjadi “masyarakat adat”. Istilah masyarakat adat lebih dekat dengan tribal peoples daripada indigenous peoples. Namun berbagai diskursus dan dokumen HAM internasional setelah Konvensi ILO 169 lebih banyak menggunakan istilah indigenous peoples dari pada tribal peoples dan istilah indigenous peoples dipakai untuk menunjuk kedua-duanya.

Dalam dokumen hukum di Indonesia lebih banyak digunakan istilah “Masyarakat Hukum Adat” daripada “Masyarakat Adat”. Istilah masyarakat hukum adat lahir dari bentuk kategori pengelompokkan masyarakat yang diajarkan oleh pemikir hukum adat seperti Van Vallenhoven dan Ter Haar. Kategori kelompok sosial itu yang kemudian dikenal dengan bentuk masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen) adalah masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan oleh hukum yang

3 Ulayat berasal dari bahasa arab Wilayatun, artinya suatu areal yang berada di bawah kekuasaan sekelompok orang. Van Vallenhoven yang disebut-sebut sebagai bapak hukum adat menggunakan istilah beschikkingsrecht untuk menyebutkan hak ulayat. Demikian juga dengan muridnya yang kemudian menjadi pengajar hukum di Indonesia, B. Ter Haar. Oleh Soepomo, yang merupakan murid Ter Haar, hak masyarakat adat atas wilayah hidupnya disebut dengan istilah “hak pertuanan”. Lihat Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1982), hlm. 13-14. Sedangkan Hazairin menyebutnya hak bersama.

4 Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng, Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, (Jakarta: ELSAM dan

LBBT, 2000).

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Hak Ulayat: Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia

dipakai, yaitu hukum adat. Bahkan Van Vallenhoven 5 membagi wilayah di Indonesia (Nederlandsh Indie dahulu) ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskringen) yang setiap lingkar hukum dapat dibagi lagi ke dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen). Jelas sekali bahwa pakar hukum adat dari Belanda menekankan pengategorian masyarakat adat berdasarkan hukum. Bahkan selain membagi berdasarkan teritori, hukum adat juga dibagi berdasarkan lapangan-lapangan yang berkembang dalam hukum barat, misalkan hukum waris adat, hukum tanah adat, hukum adat mengenai tata negara, hukum hutang-piutang, hukum delik adat dan bidang hukum lainnya.

Istilah masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat” dengan “masyarakat hukum- adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu hukum, sedangkan masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi.

Sedangkan Departemen Sosial menggunakan istilah “masyarakat terasing” atau “masyarakat suku terasing” yang kemudian diganti dengan istilah “komunitas adat terpencil” untuk menyebut

masyarakat adat. 6 Tulisan ini menghindari perdebatan lebih jauh tentang deinisi yang ada dengan memilih menggunakan istilah

“Masyarakat Adat” karena istilah masyarakat adat yang paling umum dipakai oleh komunitas untuk menyebut komunitasnya setelah menyebutkan nama khas komunitas mereka seperti Orang Dayak, Urang Kanekes (Masyarakat Baduy), Orang Dani, Orang Amungme, Orang Kaili dan lainnya.

5 Lihat Van Dijk, Op. Cit. hlm. 15-16. 6 Lihat Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, 1998, dalam

Sugeng Bahagio dan Asmara Nababan (editor), Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, (Jakarta: Komnas HAM, 1999), hlm. 135-136. Lihat juga Arianto Sangaji, The Masyarakat Adat Movement in Indonesia: A Critical insider’s view, dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, (New York: Roudledge, 2007), hlm. 321.

Jurnal Konstitusi , Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Wacana Hukum dan Konstitusi

Dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pertama tahun 1999, Masyarakat Adat diartikan sebagai berikut: ”Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geograis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.”