TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA

BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA

Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT), haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE 2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005).

Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease, virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein hemaglutinin), yang mampu berikatan dengan reseptornya (yang

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas, virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004). Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi sel darah merah.

Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi

40 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc). Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Sumur 1 –12 dari microplate diisi dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet kapasitas 10-100 l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyang- goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Contoh hasil uji HA terlihat pada Gambar 7.

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test

Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial (Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga kompleks akan mengendap dan terjadi presipitasi yang

42 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 42 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Gambar 8. Pembentukan presipitasi pada uji AGPT

Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Presipitat terbentuk apabila antara

dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, hal ini disebut postzone effect. Sementara jika antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan, kondisi ini disebut prozone effect.

konsentrasi

antigen

Uji ini dapat juga digunakan dalam penentuan hubungan antara dua antigen. Pada percobaan ini menggunakan tiga lubang di media agar, satu sumur diisi antibodi dan dua sumur lainnya diisi antigen (Gambar 9). Bila kedua garis presipitasi yang terbentuk tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik (9a) Garis-garis presipitasi yang bersilangan menunjukkan

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Gambar 9. Interpretasi hasil AGPT

Metode uji AGPT

Pada identifikasi virus AI, uji AGPT lebih spesifik dibandingkan uji HA. Karena uji AGPT dapat digunakan untuk menentukan subtipe virus AI, meskipun masih sangat kasar sehingga pelu dilakukan uji subtipe lebih lanjut secara molekuler. Jika sampel cairan alantois yang positif berdasarkan uji HA, akan kita identifikasi subipenya menggunakan uji AGPT, maka kita harus memiliki antibodi spesifik terhadap virus subtipe yang dimaksud. Misalnya kita akan uji virus subtipe H5N1, maka kita harus punya antibodi terhadap H5N1.

44 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Pertama disiapkan agarnya. Caranya adalah Agar Nobel atau Agarose(0,4gram), Polyethylene Glikol (PEG) 6000 (1,2 gram), Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7,2 (25 ml) dan Aquadest (25 ml) dicampur sampai larut menggunakan magnetic stirer. Selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan terlihat bening semua, yang berarti agar sudah larut sempurna. Kemudian, 4 ml agar yang masih hangat dituang di atas objek gelas secara merata. Selanjutnya dibiarkan sampai dingin dan membeku. Setelah dingin, dibuat sumur-sumur dengan cara melubangi agar menggunakan cetakan khusus untuk AGPT (Gel Puncher). Diusahakan supaya pinggiran sumur tidak retak/pecah.

Setelah terbentuk sumur-sumur pada agar, setiap sumur diisi dengan antigen (cairan alantois) dan serum (berisi antibodi spesifik H5N1 misalnya). Pengisisan pada sumur-sumur dilakukan sesuai dengan jumlah sampel yang akan kita uji. Jika memiliki 6 sampel, maka antibodi dimasukkan pada sumur yang di tengah, dan masing-masing sampel dimasukkan pada sumur di tepinya sehingga semua sampel punya kesempatan berinteraksi dengan antibodi yang posisinya di tengah. Jika sampel sedikit, polanya disesuaikan dengan kebutuhan, namun yang perlu diingat bahwa setiap sampel berkesempatan untuk berinteraksi dengan antibodi. Media agar yang telah diisi (sampel dan antibodi) tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang diberi alas kertas yang dibasahi PBS. Baskom ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar selama 20-48 jam. Kelembapan dijaga dengan membasahi alas.kertas. Hasil percobaan diketahui dengan mengamati terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Jika

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Gambar 10. Contoh hasil AGPT

Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler

Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, diisolasi RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Seperti disebutkan sebelumnya bahwa virus influenza dikelompokkan berdasarkan tipe A, B dan C. Masing-masing tipe dikelompokkan lagi berdasarkan sub-sub tipe gen HA dan NA. Sampai saat ini telah diketahui ada 9 subtipe N (N1 s/d N9) dan 16 subtipe H (H1 s/d H16). Secara garis besar, identifikasi subtipe virus AI adalah

46 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 46 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Metode Isolasi RNA Virus

Mengapa RNA, dan bukan DNA? Karena material genetik virus AI adalah RNA, dan bukan DNA. Isolasi RNA virus dapat dilakukan dengan kit/reagen yang telah dikomersialkan secara luas. Contoh yang ditampilkan dalam buku ini menggunakan

Trizol ® LSReagent, sesuai dengan petunjuk produsen. Sebanyak 250 μl cairan alantois dan 750 μl Trizol dimasukkan dalam tabung

1,5 ml, dan dicampur sampai homogen. Setelah diinkubasi 5 menit pada suhu ruang (15-30 o C), ditambah 200 μl kloroform,

kemudian dikocok dan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-

30 o C). Larutan selanjutnya disentrifus 12000 g selama 15 menit pada suhu 4 o

C. Supernatan (fase aqueous) diambil dan dimasukkan pada tabung 1,5 ml baru (jangan sampai endapan dan lapisan berwarna merah ikut terambil). Setelah ditambah isopropanol 500 μl dan dicampur sampai homogen, larutan

diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-30 o C). Larutan selanjutnya disentrifus 15 menit dengan kecepatan 12000 g pada

suhu 4 o

C. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan endapannya dicuci dengan 1000 μl etanol 70% (dalam H 2 O dietylpirocarbonat (DEPC)). Setelah divorteks beberapa menit, larutan disentrifus 12000 g pada suhu 4 o

C selama 20 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet RNA dikeringkan pada suhu ruang selama 15-20 menit. Setelah pelet kering,

disuspensi kembali dengan 30μl H 2 O bebas nuklease (ultrapure

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

2 O). Larutan RNA selanjutnya disimpan pada suhu -20 C sampai dilakukan RT-PCR (Susanti et al. 2008b).

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Reverse transcription (RT) adalah pembuatan cDNA yang bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim reverse transcriptase. Mengapa RT-PCR dan bukan PCR biasa? Perlu diingat bahwa material genetik virus AI adalah RNA, bukan DNA. Setelah reaksi pembentukan cDNA dari RNA (melalui reverse transcription), cDNA selanjutnya diperbanyak pada sekuen gen

spesifik menggunakan sepasang primer oligonukleotida menggunakan teknik PCR. PCR merupakan metode alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun material genetik virus hanya terdapat dalam jumlah sedikit (WHO 2002; Payungporn et al. 2004; OIE 2005). Dengan metode ini, berbagai subtipe virus dapat didentifikasi, tergantung primer yang digunakan.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

(polymerase chain reaction/PCR), yang ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu tonggak revolusi dalam genetika molekuler. Teknik ini memungkinkan pendekatan- pendekatan baru dalam studi dan analisis gen. Di masa lalu, masalah utama dalam analisis molekuler adalah gen dalam genom suatu makhluk yang dianggab sangat rumpil, lebih-lebih pada mamalia. Mamalia dapat mempunyai sampai lebih dari

Reaksi rantai

polimerase

48 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 48 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperatur mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan tujuan penelitian. Inilah keunggulan PCR yang pertama, yaitu polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu.

Kedua serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masing- masing serat. Sepasang primer dapat dipilih untuk membatasi (“flanking“) wilayah DNA yang akan diperbanyak, sehingga serat DNA yang baru akan disintesis dari posisi primer membentang sampai melewati posisi primer dari serat lainnya. Dengan demikian, tempat ikatan primer baru akan dibuat pada serat DNA

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

setelah n kali siklus, campuran reaksi mengandung sebanyak 2 molekul DNA serat ganda, yang merupakan salinan dari urutan DNA di antara kedua primer. Ini merupakan keunggulannya PCR yang kedua, yaitu PCR menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu.

PCR merupakan teknik laboratorium yang relatif mudah, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang kajian makhuk hidup. Bahan awal dari PCR adalah DNA yang mengandung urutan yang akan diampliflikasi. Jumlah DNA yang diperlukan juga relatif kecil. Pada percobaan yang biasa, kurang dari 1 μg DNA dari seluruh DNA genom sudah cukup digunakan untuk PCR. Bahkan PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi dari satu molekul DNA. Selain DNA, untuk PCR diperlukan primer oligonuklotida yang ditujukan sebagai posisi awal untuk sintesis serat baru, polimerase-DNA, dan campuran keempat dNTP ditambahkan ke dalam tabung yang mengandung DNA. Volume keseluruhan biasanya 25-100 μl.

Langkah berikutnya adalah pemanasan dari campuran reaksi pada temperatur 94°C selama beberapa menit. Pada temperatur ini, molekul DNA yang berserat ganda terpisah dengan sempurna, menjadi serat tunggal. Temperatur kemudian diturunkan agar primer oligonukleotida menempel pada posisi yang sesuai pada cetakan. Temperatur penempelan (“annealing“)

50 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 50 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Langkah berikutnya adalah peningkatan temperatur pada 72°C, sebagai temperatur optimum dari enzim polimerase-DNA Taq. Kondisi ini dipertahankan beberapa menit untuk penyelesaian sintesis DNA. Setelah satu siklus berakhir, temperatur ditingkatkan lagi sampai 94°C selama beberapa puluh detik, sehingga DNA serat ganda yang pendek (serat awal dan serat baru) terpisah. Serat tunggal tersebut kemudian berfungsi sebagai cetakan untuk siklus sintesis DNA berikutnya. Satu siklus, yang terdiri dari pemanasan untuk pemisahan serat, penempelan primer, dan sintesis oleh polimerase-DNA, diulang sampai 30-40 kali.

Polimerase Taq menyederhanakan dan meningkatkan penampilan PCR. Pada mulanya, Polimerase-DNA dari E. coli digunakan dalam PCR. Tetapi, karena enzim ini sangat peka

pada panas dan rusak pada temperatur 94 o

C, enzim segar harus selalu ditambahkan pada setiap siklus. Ini merupakan proses yang memerlukan tenaga dan tidak praktis. Dengan ditemukannya bakteri yang hidup pada sumber air panas, merupakan penemuan penting untuk mempermudah PCR. Bakteri ini mempunyai polimerase-DNA yang bekerja optimum pada temperatur tinggi. Bakteri ini adalah Thermus aquaticus, yang hidup dalam air dengan temperatur 75°C. Polimerase-DNA- nya (disebut polimerase Taq) mampunyai temperatur optimum 72°C dan masih stabil pada 94°C. Polimerase Taq cukup

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Metode RT-PCR

Identifikasi subtipe H5 dan N1 dapat dilakukan berturut- turut menggunakan pasangan primer H5-1 dan H5-3 (WHO 2005a) serta CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004). Sementara, untuk isolat yang bukan subtipe H5 dan bukan N1 identifikasi lebih lanjut terhadap Newcastle disease virus (NDV) menggunakan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al. 2002). Besaran produk PCR dari ketiga pasang primer tersebut relatif kecil (yaitu 219bp untuk H5, 131bp untuk N1 dan 202bp untuk NDV) sehingga lebih sensitif dan spesifik (Payungporn et al. 2004). Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat diamplifikasi dengan primer H5 dan N1. Isolat yang positif berdasarkan uji hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan N1, dilakukan PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV (Creelan et al. 2002) (Susanti et al. 2008b). Sekuen primer gen H5, N1 dan ND terlihat pada Tabel 3. Selain menggunakan primer tersebut, dapat juga menggunakan pasangan primer lain yang direkomendasikan oleh peneliti-peneliti lain, atau didesain berdasarkan pustaka genom virus ini yang tersedia di GenBank.

52 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Tabel 3. Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, N1 dan ND serta besaran produk PCR yang diharapkan

Primer

Sekuen basa

Fragmen Produk

Gen

(bp)

1 a H5- 1: 5‟GCC ATT CCA CAA CAT H5 219 ACA CCC‟3

(basa 915- H5- 3: 5‟CTC CCC TGC TCA TTG

CTA TG‟3 2 b CU-N1F:

131 5‟GTTTGAGTCTGTTGCTTGGTC‟

N1

(basa 3 479-609) CU-N1R: 5‟TGATAGTGTCTGTTATTATGCC‟

3 3 c NDVF:

202 5‟GGTGAGTCTATCCGGARGATA (basa 4829-

NDVR: 5‟TCATTGGTTGCRGCAATGCTCT ‟3*

a b *R=(A/G) c WHO (2005b), Payungporn et al (2004), Creelan et al (2002)

Metode RT-PCR sangat bervariasi tergantung pada primer dan reagen kit yang digunakan. Salah satu cara RT-PCR untuk

virus AI adalah menggunakan Superscript TM

III One-step RT- PCR system. Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 l dengan komposisi 25 l 2x reaction mix, 2 l primer forward (10 M), 2 l primer reverse (10 M), 2 l Superscript III RT/Platinum Taq Mix,

3 l sampel RNA dan ultrapure H 2 O sampai volume 50 l. Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen H5 dan N1 terlihat pada Tabel 3. Program RT-PCR adalah reverse transcription 45

C selama 60 menit predenaturasi 95 o

C selama 5 menit, 35

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

C 30

detik, ekstensi 72 o C 40 detik, dan post ekstensi 72

C 10 menit (Payungporn et al. 2004; WHO 2005a; Susanti et al. 2008b). Untuk identifikasi subtipe virus, setiap isolat diamplifikasi dengan primer H5 dan N1. Isolat yang positif berdasarkan uji hemaglutinasi, namun hasil PCR negatif H5 dan N1, dilakukan PCR menggunakan primer spesifik untuk NDV (Tabel 3) dengan

anneling 48 o

C (Creelan et al. 2002). Adanya pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2%.

Elektroforesis

Elektroforesis merupakan salah satu teknik pemisahan molekul yang banyak digunakan dalam ilmu-ilmu hayati. Dasar teknik pemisahan ini adalah molekul yang memiliki gugus bermuatan memiliki perbedaan migrasi jika diletakkan dalam suatu medan listrik. Pemisahan terjadi berdasarkan pada perbedaan kecepatan bergerak dari masing-masing substansi, tanpa terjadi pengaruh timbal balik secara kimiawi atau absorbsi antara gel dengan sampel. Molekul biologis yang memiliki gugus bermuatan antara lain adalah asam amino, peptida, protein dan asam nukleat.

Gerak medan listrik pada elektroforesis (katoda/anoda) dapat terjadi karena adanya arus listrik yang berlawanan. Kation akan bergerak ke arah kutub bermuatan (-) atau anoda, sedangkan anion akan bergerak ke arah kutub bermuatan (+) atau anoda. Kecepatan gerak dari masing-masing substansi

54 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya 54 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Agar elektroforesis dapat berjalan lancar, sampel harus dilarutkan atau disuspensikan dalam larutan buffer supaya arus dapat diantarkan, medium pendukung harus dijenuhkan dengan buffer. Selama elektroforesis, arus dapat dipertahankan karena ada elektrolit pada elektroda yang tercelup dalam tendon buffer. Deteksi dasil pemisahan proses elektroforesis dapat dilakukan langsung pada gel pewarna, dengan reagen spesifik, enzim substrat reaction system, immunopresipitasi, autoradiografi, fluorografi atau secara langsung dengan immunoprint (bloting teknik).

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 2%

DNA hasil PCR yang diperoleh dianalisa dengan teknik elektroforesis menggunakan ultrapure TM agarose 2%. Sebanyak 2

g agarose dilarutkan dengan 100 ml Tris Buffer EDTA (TBE) 1x, kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larutan menjadi jernih. Larutan didinginkan pada suhu kamar sampai dingin (hangat-hangat kuku), kemudian dimasukkan 3 µl ethidium bromide (10mg/ml) dan dicampur sampai homogen. Agarose kemudian dituang pada cetakan gel yang telah dipasang sisir, dan dibiarkan sampai membeku. Setelah membeku, gel dimasukkan bak elektroforesis yang telah diisi larutan buffer TBE 1x sampai semua gel terendam. Sebanyak 7 µl produk PCR dicampur dengan 2 µl loading dye kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur pada gel. Running dilakukan pada 135 volt selama 20 menit. Keberadaan pita-pita DNA produk PCR diamati di atas UV transluminator. Hasil positif ditunjukkan adanya pita berwarna jingga pada gel agarose (Susanti et al. 2008b). Contoh hasil elektroforesis produk RT-PCR dengan primer H5-1 dan H5-3 (WHO 2005a), CU-N1F dan CU-N1R (Payungporn et al. 2004), dan pasangan primer NDVF dan NDVR (Creelan et al. 2002) berturut-tururt terlihat pada Gambar 11-13. Jika ada sampel positif H5 tetapi negatif N1, hal ini menunjukkan isolat virus yang diisolasi subtipe H5 tetapi bukan subtipe N1 (kemungkinan subtipe N2, N3, N4 dst). Demikian juga jika negatif H5 tetapi positif N1, isolat yang diisolasi subtipe N1 tetapi bukan H5 (kemungkinan subtipe selain H5). Jika sampel positif H5 dan positif N1, sampel ini positif subtipe H5N1.

56 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

M P 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

219bp

Gambar 11. Elektroforegram RT-PCR gen H5 menggunakan primer H5-1 dan H5-3 (produk 219bp). Sumur M: DNA ladder

100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe H5. Sumur 4, 8-11: Sampel positif subtipe H5. Sumur 1-3, 5-7: Sampel negatif

subtipe H5

Gambar 12. Elektroforegram RT-PCR gen N1 menggunakan primer CU-N1F dan CU-N1R (produk 131bp). Sumur M: DNA

ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif subtipe N1. Sumur 2, 4: Sampel positif subtipe N1. Sumur 1, 3: Sampel negatif subtipe N1

Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya

Gambar 13. Elektroforegram RT-PCR menggunakan primer NDVF dan NDVR (produk 202bp). Sumur M: DNA ladder 100bp. Sumur P: Kontrol positif virus ND. Sumur 3-5: Sampel positif virus ND. Sumur 1, 2: Sampel negatif virus ND

58 Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya