Kepastian Hukum Atau Kepastian Investasi Atas Tanah Ulayat

A.1.1. Kepastian Hukum Atau Kepastian Investasi Atas Tanah Ulayat

RPJM 2006-2010 menaruh perhatian penting terhadap kepastian hukum kepemilikan tanah ulayat. Bab II, tentang gambaran umum kondisi daerah, pada point perekonomian daerah diulas tentang penataan ruang, pertanahan dan integrasi pembangunan antar kawasan. Beberapa hal yang dikemukanan sebagai masalah adalah;

1. Tanah-tanah di desa (nagari)/perkotaan yang masih belum banyak bersertifikat memperlemah status kepemilikan dan menghambat proses pembangunan yang membutuhkan kepastian kepemilikan.

2. Belum jelasnya batas antara tanah negara dengan tanah ulayat dan tanah milik.

3. Maraknya okupasi tanah negara, baik di kawasan hutan maupun tanah-tanah bekas erfpacht yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan terancamnya kepentingan negara atas tanah negara.

4. Banyaknya konflik antara masyarakat adat dengan investor (skala besar, kecil dan menengah) akibat dari pelanggaran perjanjian oleh masyarakat adat yang berdalih 4. Banyaknya konflik antara masyarakat adat dengan investor (skala besar, kecil dan menengah) akibat dari pelanggaran perjanjian oleh masyarakat adat yang berdalih

Keempat point diatas menyiratkan persfektif pemerintah daerah dalam dua hal. Pertama adalah besarnya luasan tanah-tanah yang belum disertifikatkan (khususnya tanah ulayat) kontraproduktif terhadap kepastian hukum atas tanah sekaligus menghambat proses pembangunan. Kedua, Masyarakat adat dituding sebagai pihak yang menyemai konflik agraria dengan melakukan okupasi dan pelanggaran lainnya atas tanah negara dan tanah- tanah yang dikuasai oleh investor. Persfektif ini terang berlawanan dengan pengalaman nyata masyarakat adat, dimana pemerintah dan investor adalah pihak yang bersalah karena mengambil tanah-tanah ulayat mereka. Persfektif pemerintah daerah yang demikian memberi pengaruh kuat bagi pilihan program pengelolaan pertanahan untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah ulayat, melalui dorongan sertifikasi massal atas tanah ulayat dengan proses yang partisipatif dan transparan. Kelahiran perda TUP berkaitan erat dengan pelaksanaan program tersebut.

Bila di telaah secara cermat - sertifikasi tanah yang berkarakter individual tidaklah tepat bagi tanah-tanah ulayat yang berkarakter kolektif - sehingga sertifikasi tanah bukanlah solusi yang bisa menjawab konflik hak ulayat. Sertifikasi justru bisa menjadi penyebab utama konflik hak ulayat, karena sertifikasi tanah ulayat dapat mendorong konversi hak ulayat menjadi hak milik, terutama pada hak ganggam bauntuak. Sertifikasi tanah ulayat juga mendorong penyerahan hak ulayat kepada pihak lain melalui jual beli maupun agunan kepada lembaga perbankan. Sertifikasi akan mempercepat liberalisasi tanah ulayat dan menjebak nagari menjadi pendukung struktur ekonomi kapitalistik/neoliberalistik yang mengagungkan kepastian hukum hak-hak individual. Dengan sertifikasi tanah ulayat akan terintegrasi ke dalam karakter produksi kapitalisme, yang akan menggeser tanah ulayat sekedar komoditi dalam pusaran arus perdagangan bebas. Sertifikasi tanah ulayat hanya akan menyenangkan pelaku investasi, karena adanya tanah-tanah dalam jumlah besar untuk diusahakan dengan jaminan hukum yang kuat. Bagi petani, sertifikasi bisa menjadi awal kehidupan tanpa tanah, karena niat utama dari penciptaan pasar tanah di pedesaan (nagari) adalah, untuk membuat petani kecil (masyarakat adat) menjual lahan mereka dan keluar dari sektor pertanian.. Dengan posisi yang demikian, sertifikasi bukanlah alat yang tepat untuk menjamin hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat.

Fenomena konflik hak ulayat di nagari, ternyata tidak melulu pada tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, namun juga pada tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal. Penyebab konflik pada ranah ini adalah persinggungan antara kuasa modal yang didukung penuh oleh kebijakan dengan nilai kultural-kolektif pengelolaan ulayat oleh masyarakat nagari. Fenomena okupasi tanah negara oleh masyarakat dan konflik antara pemilik modal dengan masyarakat adat (nagari) yang disebutkan oleh RPJM, merupakan konsekuensi logis dari persinggungan tersebut, yang melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan pemilikan dan perolehan manfaat tanah ulayat. Fenomena ini memperlihatkan perlunya penyelesaian konflik, melalui program:

1. Program pendistribusian secara selektif tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan UUPA.

Program pendistribusian tanah bagi masyarakat petani (masyarakat nagari) di lihat sebagai bagian dari agenda reforma agraria, bukan untuk memperlancar proses individualisasi tanah ulayat terutama pada tanah-tanah perkebunan. Agenda ini tidak boleh terjebak pada perangkap pasar bebas tanah (Bank Tanah). Perlu kasadaran bahwa tanah-tanah perkebunan di Sumatera Barat adalah tanah ulayat yang terokupasi oleh perkebunan besar, sehingga konflinya berkarakter vertikal. Ada empat aspek yang Program pendistribusian tanah bagi masyarakat petani (masyarakat nagari) di lihat sebagai bagian dari agenda reforma agraria, bukan untuk memperlancar proses individualisasi tanah ulayat terutama pada tanah-tanah perkebunan. Agenda ini tidak boleh terjebak pada perangkap pasar bebas tanah (Bank Tanah). Perlu kasadaran bahwa tanah-tanah perkebunan di Sumatera Barat adalah tanah ulayat yang terokupasi oleh perkebunan besar, sehingga konflinya berkarakter vertikal. Ada empat aspek yang

2. Program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria.

Program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria sinergi dengan dukungan perangkat hukum dalam pendistribusian tanah seperti yang dijabarkan pada program pertama. Artinya dukungan hukum dalam penataan ulang atas hak (hak ulayat) diperkuat dengan perangkat penyelesaian sengketanya, yaitu program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria.

Dua kebutuhan ini tidak terwadahi oleh pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa didalam Perda TUP, yang hanya mengatur penyelesaian sengketa tanah ulayat secara terbatas pada konflik internal nagari dan atau antar nagari. Padahal konflik tanah ulayat jamak terjadi secara vertikal. Disinilah kelihatan ketidakmampuan Perda TUP menjawab permasalahan utama konflik hak ulayat yang terjadi di Sumatera Barat. Kepastian hukum atas tanah ulayat yang semestinya di dukung oleh perangkat penyelesaian sengketa, akhirnya terbias kepentingan investasi (modal) dan abai terhadap kepentingan masyarakat adat (nagari).