Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan K
Penulis:
Nurul Firmansyah Yance Arizona
Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar Padang 2008
BAB I Pendahuluan
Di Indonesia, perjuangan pengakuan masyarakat adat acap terbentur dengan kebijakan negara yang tidak mengakui hubungan hukum masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Pengingkaran yang tersebar dalam berbagai hukum nasional, telah menjadi modus yang efektif untuk menumpuk penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya secara sentralistik di tangan negara. Dimulai dengan pelintiran terhadap “Hak Menguasai Negara”, berlanjut
dengan pengabaian hak-hak tradisional, baik yang terkait dengan kekuasaan politik maupun kekuasaan atas wilayah. Tatanan politik lokal seperti nagari, marga, subak, kampung dan nama lainnya dirombak dan diseragamkan menjadi desa sebagai satu- satunya bentuk pemerintahan terendah yang boleh diterapkan. Dalam suasana politik hukum pemerintahan yang seperti itu, kedudukan nagari di Sumatera Barat terdesak.
Era desentralisasi melalui UU No. 22/1999, yang memberi ruang untuk mengekspresikan karakteristik daerah, di Sumatera Barat disambut dengan pembentukan Perda No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yang kemudian diganti dengan Perda No. 2/2007. Walaupun dimaksudkan sebagai kritik terhadap model Pemerintahan Desa, kebijakan ini belum mampu merekonstruksi nagari dari kerusakan-kerusakan akibat pemberlakuan sistem pemerintahan desa. Terutama dalam hal tumpang tindih wilayah nagari yang adat dengan wilayah nagari yang administratif dan tumpang tindih pengelolaan ulayat nagari antara KAN dengan Pemerintahan Nagari, sebagai akibat dari ketidak-utuhan sistem pemerintahan nagari yang diterapkan.
Perda No. 9/2000 yang kemudian diganti dengan Perda No. 2/2007 menempatkan tanah ulayat sebagai kekayaan nagari, yang pengaturan lebih lanjut tentang pemanfaatannya dibentuk dalam Perda tersendiri. Perda yang dimaksudkan untuk mengatur tanah ulayat tersebut sudah dibahas sejak tahun 2001 dan baru berhasil ditetapkan pada bulan Maret 2008, yaitu Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (selanjutnya disebut Perda TUP). Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan pembahasan perda ini, menyiratkan adanya dinamika tersendiri yang menarik untuk disigi. Perda ini kemudian menjadi titik perjumpaan antara hukum adat dengan hukum nasional dibidang pertanahan, yang memungkinkan terjadinya integrasi atau penggabungan sebagian hukum negara dan hukum lokal, atau penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau juga bisa menimbulkan konflik karena antara hukum negara dan hukum lokal saling bertentangan.
Bagi pemerintah Sumatera Barat potensi tanah ulayat dipandang sebagai aset kekayaan nagari yang pengelolaannya belum maksimal. Ini kelihatan dari isi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menyebutkan:”Persoalan yang cukup mendasar berkenaan dengan gerak pembangunan nagari sangat ditentukan dengan pengelolaan aset nagari, berupa ulayat nagari. Hingga saat ini, masih belum jelas diketahui potensi ulayat dari 533 nagari yang ada di Propinsi Sumatera Barat karena luas tanah ulayat belum pernah secara akurat didata mengingat keterbatasan informasi tata batas yang dapat dipercaya, namun menurut prediksi Badan Pertanahan Nasional Sumatera Barat, luas tanah ulayat lebih kurang seluas 2.760.800 Ha”.
Pada bagian lain, RPJM juga menyebutkan “belum jelasnya batas kepemilikan antara tanah ulayat dengan tanah negara dan hak milik. Batas kepemilikan ulayat sering tidak dapat ditunjukkan secara jelas di lapangan, sehingga sukar dipetakan dengan posisi geografi yang benar. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan terutama dalam hubungannya dengan tanggung jawab penggunaan dan pengelolaannya.
Banyaknya tanah ulayat yang belum terdaftar tersebut mendorong Pemerintah Daerah Sumatera Barat untuk memberikan kepastian hukum atas tanah ulayat. Pemberian kepastian hukum dan penyelesaian konflik penguasaan tanah ulayat sepertinya merupakan concern pemerintah, yang coba direspon dengan melahirkan Perda tentang tanah ulayat. Hal ini terbaca dari perintah Perda No. 9/2000 tentang Pemerintahan Nagari yang merekomendasikan agar dibentuk suatu peraturan daerah tentang tanah ulayat. Demikian pula dengan Rekomendasi RPJM untuk Program Pengelolaan Pertanahan yang secara tegas merekomendasikan “Pembuatan peraturan daerah dan sertifikasi bagi perlindungan tanah ulayat”.
Kehadiran Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menghadirkan sejumlah tantangan terutama terkait dengan struktur hukum pertanahan nasional, kepentingan investasi dan konflik tanah ulayat yang sudah berlangsung lama di Sumatera Barat. Kajian ini bermaksud menyigi beberapa tantangan dalam pemberlakuan Perda No. 6/2008. Kajian ini bersifat deskriptif analitis agar dapat menggambarkan potensi dampak perda ini bagi masyarakat. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan melalui diskusi- diskusi kampung, wawancara, penelusuran dokumen dan konsultasi publik.
Sistematika kajian ini terdiri dari bagian pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum penguasaan tanah ulayat di Sumatera Barat dalam sistem hukum adat. Termasuk pertemuan antara hukum adat dengan hukum negara di Sumatera Barat yang diinstitusionalisasi dalam kebijakan daerah. Bagian Kedua menceritakan advokasi kebijakan Perda TUP oleh kalangan masyarakat sipil di Sumatera Barat. Pada bagian ini juga dibicarakan inisiatif dan tujuan dikeluarkannya Perda TUP oleh Pemda Sumatera Barat. Bagian ketiga berisi analisa tekstual terhadap substansi pengaturan tanah ulayat di dalam Perda. Beberapa hal yang dijelaskan meliputi tujuan, cakupan atau objek Perda TUP, jenis- jenis tanah ulayat yang diatur, pendaftaran tanah ulayat, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat, dan sengketa tanah ulayat. Bagian keempat berisi analisa kontekstual dalam pemberlakuan Perda TUP yang dilakukan dengan mengaitkannya pada program-program Pemerintah (RPJM) bidang lingkungan dan sumberdaya alam. Kemudian membahas kemungkinan penerapan konsep Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam proses pengambilan kebijakan serta aspek kelembagaan dan pendanaan yang direncanakan oleh Pemda dalam implementasi Perda TUP. Bagian Kelima berisi kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian.
Bab II Jalan Panjang Menuju Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
A. 2001 -2003, Masa Inisiasi dan Penyusunan Rancangan
Meskipun baru berhasil ditetapkan pada tahun 2008, usulan dan saran untuk membuat perda tanah ulayat telah bergulir sejak tahun 1968. Berlarutnya wacana peyusunan perda Meskipun baru berhasil ditetapkan pada tahun 2008, usulan dan saran untuk membuat perda tanah ulayat telah bergulir sejak tahun 1968. Berlarutnya wacana peyusunan perda
Sesuai persyaratan yang diberikan oleh Permenag No. 5/1999, dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Hasil penelitian ini memberikan kecukupan alasan untuk melanjutkan kerja penyusunan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat (RPTU) yang rancangannya berhasil diselesaikan pada tahun 2001.
Bersamaan dengan penyusunan Ranperda Tanah Ulayat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) juga mengadakan penelitian di desa Tigo Jangko Kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini terutama bertujuan untuk mengetahui seberapa besar masyarakat menginginkan pendaftaran tanah ulayat. Hasil penelitian ini direspon dengan pembentukkan tim pembahasan perumusan dan sosialisasi tentang pengaturan pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Propinsi Sumatera Barat oleh Pemerintah propinsi.
B. 2003, Kemunculan Resistensi Masyarakat Sipil
Banyaknya sengketa hak ulayat, menyebabkab RPTU memperoleh perhatian serius dari NGO, akademisi, mahasiswa, organisasi rakyat dan tokoh masyarakat lainnya. Forum- forum diskusi kritis atas RPTU bergulir, yang pada gilirannya dapat mengorganisir sikap penolakan terhadap bahaya yang mengintai dibalik RPTU. Terutama bahaya yang
disodorkan oleh pasal 11 yang menyatakan ”terhadap tanah hak ulayat yang telah diganti
atas haknya menurut UUPA dan apabila masanya berakhir, maka tanah tersebut menjadi
tanah yang langsung di kuasai oleh negara (tanah negara) . Pasal tersebut menegaskan niatnya untuk menegarakan tanah-tanah ulayat, yang sebelumnya melalui proses kekerasan dan manipulasi, telah beralih menjadi salah satu hak menurut UUPA. Selain berlaku terhadap tanah ulayat yang sudah dibebani HGU, ketentuan ini juga akan mengalihkan tanah-tanah ulayat yang akan dibebani HGU menjadi tanah negara. Selain tidak memberikan solusi, rumusan pasal tersebut terasa sekali menentang arus tuntutan masyarakat adat di Sumatera Barat, yang pada waktu itu lantang menyuarakan pengembalian hak-hak ulayat yang menjadi konsesi-konsesi HGU dan hak-hak lainnya berdasarkan UUPA. Hal lain yang juga ditolak adalah isinya yang meneruskan dan memperdalam sektoralisasi kekayaan alam, karena hanya tidak mengaturannya hak ulayat
yang utuh.
Advokasi penolakan pertama dilakukan oleh LBH Padang, Warsi Sumatera Barat, LP2M, ELLANS Institute, P2TANRA dan LARA Institute, yang kemudian diikuti dengan lembaga- lembaga lain seperti Qbar, FMN, SPSB, KPI dan LAM & PK FHUA. Sinergitas kerja advokasi terbangun melalui diskusi pada tanggal 26 maret 2003 di kantor LP2M. Diskusi ini merupakan titik penting bagi konsolidasi kelompok masyarakat sipil untuk mengawal advokasi RPTU, karena selain membahas substansi RPTU, diskusi ini juga membentuk tim inti advokasi yang yang beranggotakan Syafrizaldi (KKI Warsi), Andiko (LBH Padang), Lani verayanti (LP2M), Isma rossy (ELLANS), Jomi suhendri (Qbar), Yesky (Mahasiswa) dan Taufik (P2TANRA), yang bekerja untuk melakukan kampaye, analisis Ranperda, membangun konsolidasi dengan kelompok lain dan merancang strategi aksi.
Kerja tim inti ini berlangsung intensif pada bulan Maret sampai dengan April 2003. Intensifitas gerakan ini tidak terlepas dari besarya dukungan pers dan respon masyarakat di daerah atas bahaya keberadaan RPTU bagi eksistensi hak ulayat. Beberapa pertemuan penting dilakukan. Diantaranya pertemuan Maninjau yang merekomendasikan bahwa pengaturan ulayat seharus diatur oleh pemerintah kabupaten atau kota, bukan oleh provinsi, sedangkan penjabaran lebih teknis diatur di nagari dalam bentuk Peraturan Nagari (Pernag). Juga pertemuan di Genta Budaya yang menghasilkan pernyataan sikap bersama tentang penolakan keberadaan RPTU, karena berimplikasi pada hilangnya tanah ulayat.
Kebutuhan terhadap adanya sebuah koalisi yang lebih berbentuk, untuk mengoptimalkan pengorganisasian kelompok-kelompok penolak raperda melatari terbentuknya koalisisi PALAM pada bulan Juni 2003. Melalui PALAM, berhasil membangun sinerjitas kerja-kerja antar anggota PALAM dan dengan BP PALAM. Aksi-aksi penolakan RPTU semakin sering muncul baik melalui pernyataan-pernyataan tokoh di media massa maupun penolakan- penolakan masyarakat nagari dengan cara mengirimkan petisi kepada Pansus, seperti yang dilakukan oleh nagari-nagari di Solok dan pasaman. Meskipun bukan merupakan variabel tunggal, tekanan-tekanan tersebut ternyata dapat menghambat pembahasan RPTU sampai dengan diagendakannya pembahasan kembali pada pertengahan 2004, yang oleh PALAM disambut dengan aksi penolakan tanggal 7 Juli 2004 di kantor DPRD Sumatera Barat. Karena persiapan menghadapi pemilu 2004, sekitar bulan Agustus 2004, ketua Pansus RPTU menyatakan pembahasan dan pengesahan RPTU akan diteruskan oleh anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009. Draft kemudian dikembalikan kepada eksekutif.
C. 2005, Memperluas Wilayah dan Mandat PALAM
Sampai tahun 2007, eksekutif belum lagi menyampaikan kembali RPTU kepada DPRD. Ternyata untuk sementara waktu RPTU tidak lagi diprioritaskan. Sepanjang tahun 2005 – 2007, Pemda Sumatera Barat justru memproses perubahan Perda Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari, yang memperoleh momentum dengan keluarnya UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU 22 tahun 1999. Upaya perubahan ini muncul sejak diselesaikannya kajian pelaksanaan perda No. 9 tahun 2000 pada tahun 2004. Untuk persoalan hak ulayat kajian ini memperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan asset nagari (kekayaan nagari) belum dialihkan dari KAN kepada nagari sebagaimana diamanatkan oleh Perda No. 9 tahun 2000.
Wacana dan proses perubahan perda ini diperhatikan secara serius oleh PALAM. Hal ini berangkat dari refleksi dan kajian bahwa regulasi tentang pemerintahan nagari terkait erat dengan penguasaan tanah ulayat, sehingga penggantian perda No. 9/2000 bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap penguasaan dan pengelolaan hak ulayat. PALAM yang semula adalah Paga Alam Minangkabau, yang khusus untuk advokasi RPTU, disepakati menjadi Pagar Alam Sumatera Barat. Perubahan ini sebagai bentuk kesadaran bahwa yang hendak dibentengi adalah alam masyarakat adat di Sumatera Barat, yang tidak hanya berkultur Minagkabau.
Upaya advokasi perubahan perda No.9/2000 oleh PALAM bergulir melalui diskusi-diskusi antar stakholder, kerja-kerja pengorganisasian di nagari, kampanye, lobby dan negosiasi dengan eksekutif dan legislatif. sepanjang tahun 2004 – 2007. Kegiatan yang paling intens, berlangsung antara bulan Desember 2005 sampai bulan Mei 2006, seiring dengan dikeluarkannya Draft Perda Pemerintahan Nagari oleh pemerintah propinsi Sumatera Barat. Terkait dengan hak ulayat, perda ini tidak membuat lebih jelas pengaturan kewenangan tentang harta kekayaan nagari yang berupa hak ulayat dengan harta kekayaan yang tidak Upaya advokasi perubahan perda No.9/2000 oleh PALAM bergulir melalui diskusi-diskusi antar stakholder, kerja-kerja pengorganisasian di nagari, kampanye, lobby dan negosiasi dengan eksekutif dan legislatif. sepanjang tahun 2004 – 2007. Kegiatan yang paling intens, berlangsung antara bulan Desember 2005 sampai bulan Mei 2006, seiring dengan dikeluarkannya Draft Perda Pemerintahan Nagari oleh pemerintah propinsi Sumatera Barat. Terkait dengan hak ulayat, perda ini tidak membuat lebih jelas pengaturan kewenangan tentang harta kekayaan nagari yang berupa hak ulayat dengan harta kekayaan yang tidak
Draft perda ini akhirnya disetujui dan selanjutnya ditetapkan oleh gubernur menjadi Perda No. 2 Tahun 2007. Analisis PALAM menyebutkan bahwa Perda ini:
1. Menyeragamkan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat bagi semua masyarakat hukum adat yang ada di Sumatera Barat. Sebuah kekeliruan besar, karena selain Minangkabau, di Sumatera Barat juga ada etnis Mentawai di wilayah kepulauan, yang sistem dan kesejarahan masyarakat hukum adatnya berbeda dengan masyarakat hukum adat Minangkabau di daratan Sumatera Barat. Penyeragaman ini merupakan pengingkaran dan diskriminasi terhadap masyarakat hukum adat Mentawai, karena tidak diberikannya ruang bagi ekspresi bentuk pemerintahan berdasarkan sisten sosial dan adat mereka, seperti yang diberikan kepada masyarakat hukum adat Minangkabau.
2. Mencoba memisahkan antara nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan. Pola ini mengikuti sistem desa berdasarkan UU No.5 Tahun 1979, yang oleh masyarakat Minangkabau justru ditentang.
3. Berusaha memperkuat posisi pemerintahan propinsi terhadap kabupaten dan kota. Akibatnya perda pemerintahan nagari sebagai payung untuk mengembalikan keutuhan pemerintahan nagari, berubah menjadi kebijakan yang teknis dan administratif.
D. 2007, Reinkarnasi RPTU
Setelah pengesahan perda No. 2/2007, Pemda Sumatera Barat mengajukan kembali RPTU yang tertunda sejak tahun 2004 ke DPRD, yang segera memulai pembahasannya pada pertengahan tahun 2007. RPTU yang diajukan ini telah merobah ketentuan pasal 11 pada rancangan tahun 2001, dimana tanah-tanah ulayat yang telah diganti dengan hak atas tanah oleh UUPA, setelah masanya berakhir, tidak lagi dikuasai langsung oleh negara, tetapi kembali kepada masyarakat hukum adat, yang Pengaturan dan pemanfaatan selanjutnya dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) bersama dengan pemerintahan Nagari. Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya bertindak sebagai mediator.
Namun secara keseluruhan pengaturan RPTU ini tidak jauh berbeda dengan RPTU yang diajukan pada inisitif awal. Dari segi materi, RPTU tetap melakukan sektoralisasi hak ulayat dengan hanya mengatur soal tanah. Konsern utama RPTU adalah semangat pemanfaatan, yang notabene merupakan kepentingan investasi pemilik modal, sehingga tidak terlalu bersemangat untuk melindungan hak ulayat. RPTU ini juga tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat.
Pengajuan kembali RPTU oleh Pemda Sumatera Barat kembali membangkitkan PALAM. Rangkaian diskusi yang berlangsung, memutuskan agar PALAM mengajukan draft tandingan yang menekankan semangat pengukuhan dan perlindungan hak ulayat. Untuk kebutuhan tersebut, Neni Vesna Madjid, Nurul Firmansyah dan Rifai Lubis dibebani tugas untuk menyempurnakan naskah akademik yang telah terlebih dahulu diinisiasi oleh LBH Padang. Naskah akademik ini selesai disusun pada bulan Februari 2008, yang berisi 3 (tiga) hal pokok berikut:
Pertama , gambaran tentang realitas kondisi tanah ulayat sebagai bagian dari hak ulayat, yang tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol masyarakat adat, karena peralihan hak melalui berbagai menipulasi dan tindakan kekerasan, yang kemudian menyemai dan menyuburkan konflik hampir di seluruh tempat di Sumatera Barat. Kedua, analisis kebutuhan terhadap kehadiran peraturan daerah, dimana dengan realitas kondisi hak Pertama , gambaran tentang realitas kondisi tanah ulayat sebagai bagian dari hak ulayat, yang tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol masyarakat adat, karena peralihan hak melalui berbagai menipulasi dan tindakan kekerasan, yang kemudian menyemai dan menyuburkan konflik hampir di seluruh tempat di Sumatera Barat. Kedua, analisis kebutuhan terhadap kehadiran peraturan daerah, dimana dengan realitas kondisi hak
Rampungnya naskah akademik PALAM dilanjutkan dengan penyusunan naskah peraturan Ranperda tandingan usulan PALAM, yang selesai disusun pada bulan Maret 2008 oleh Neni Vesna Majid, Rifai Lubis dan Veri junaidi. Draft tandingan ini diserahkan kepada Pansus RPTU DPRD Propinsi Sumatera Barat dalam sebuah hearing pada tanggal 17 Maret 2008, yang dihadiri oleh anggota Pansus RPTU, Badan Pekerja dan Tim Perumus PALAM serta pengurus LKAAM Sumatera Barat. Draft tandingan PALAM berjudul Pengukuhan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat di Sumatera Barat.
Pada intinya draft RPPHU mengatur tentang pengukuhan dan perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat di Sumatera Barat. Pengukuhan dan perlindungan melalui perda ini terasa sekali sangat perlu karena keberadaaa masyarakat adat beserta hak ulayatnya yang hingga saat ini masih tetap hidup dan bertahan di Sumatera Barat, perlu dikukuhkan, dihormati dan dilindungi sesuai dengan pernyataan pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pernyataan pengukuhan dan perlindungan ini akan mengakhiri tarik ulur dan ketidakpastian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai perundang-undangan nasional, yang dalam banyak hal mengakibatkan terjadinya konflik hak ulayat, yang dapat bermuara pada instabilitas dan disintegrasi sosial.
Untuk memperkuat dan melindungi hak ulayat, draft RPPHU ini menawarkan pengukuhan dan perlindungan hak ulayat, melalui penetapan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam pengelolaan hak ulayat, pilihan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat, dan perlindungan eksistensi hak ulayat dari perbuatan-perbuatan hukum oleh negara dan atau pihak lain melalui persetujuan sukarela dari masyarakat adat. Dalam koteks perlindungan hak ulayat, draft RPPHU membebankan kewajiban kepada pemerintah daerah, untuk mengejawantahkan kewajiban negara terhadap perlindungan hak ulayat, sebagai bagian dari hak asasi manusia dan hak konstitusional masyarakat adat, seperti kewajiban untuk menfasilitasi penyelesaian sengketa ulayat yang melibatkan pihak diluar masyarakat adat, kewajiban merumuskan kebijakan dan program untuk mendukung pengelolaan ulayat oleh masyarakat adat, kewajiban melakukan konsultasi publik kepada masyarakat adat tentang program dan kebijakan yang terkait dengan hak ulayat. Juga tentang keharusan untuk melakukan persepakatan ulang atas hak-hak ulayat yang saat berlakunya perda, berada pada penguasaan pihak lain. Pernyataan bahwa hak-hak ulayat yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan dengan status/fungsi tertentu (seperti konservasi, lindung dan lain-lain) tetap diakui sebagai hak ulayat, yang fungsinya dapat ditetapkan sesuai dengan karakteristik ekologinya.
Saat penerimaan usulan PALAM ini, pansus berkomitmen untuk selalu mengkomunikasikan proses penyusunan ranperda pemanfaatan tanah ulayat kepada PALAM dan LKAAM Sumatera Barat. Paska hearing tanggal 17 Maret 2008, PALAM membangun komunikasi-komuikasi informal dengan Pansus. Komunikasi informal ini memunculkan komitmen pansus untuk melakukan konsultasi publik ranperda dengan semua stake holder yang ada di Sumatera Barat. Komitmen yang sampai pada saat penetapannya menjadi Perda No. 6 Tahun 2008, tidak pernah direalisasikan.
BAB III Telaah Substansi Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
A. Tujuan Perda
Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumberdaya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannnya secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Pada penjelasan umum disebutkan selain untuk kepentingan masyarakat adat, Perda TUP juga hadir untuk menunjang pelaksanaan pembangunan yang berskala nasional maupun regional dan lokal. Dengan demikian, disamping berorientasi ke dalam masyarakat adat, juga berorientasi ke luar untuk membuka akses bagi program pembangunan dan investasi. Meskipun demikian Perda TUP bukan merupakan Perda yang terkait langsung dengan investasi atau dunia usaha.
Selanjutnya disebutkan bahwa sasaran utama pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat (Pasal 3 ayat 1). Sedangkan pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak luar dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaidah “adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah mufakat. Adat diisi limbago dituang maksudnya adalah pengakuan dan penundukan pihak luar terhadap hukum adat yang berlaku di masyarakat.
B. Cakupan Tanah Ulayat dan Sumberdaya Alam
Perda TUP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Tanah Ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya, diperoleh secara turun-temurun yang merupakan hak masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Menyatakannya sebagai pusaka berarti tanah ulayat tidak hanya memiliki fungsi ekonomi sebagai alat produksi, tetapi juga sebagai sarana perekat kesatuan sosial masyarakat hukum adat secara geneologis-teritorial. Sebagai pusaka, tanah ulayat harus dirawat, dilindungi dan tidak boleh punah sebab tanah ulayat merupakan identitas masyarakat adat.
Objek utama dari pengaturan Perda TUP adalah tanah, sebagaimana dikupas agak panjang pada bagian penjelasan umum Perda. Meskipun demikian, di dalam beberapa ketentuan disebutkan bahwa cakupan Perda tersebut juga termasuk sumberdaya alam lainnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Meskipun menyatakan bahwa sungai, laut, danau, angkasa, tambang, hutan dan rumput sebagai objek sumberdaya alam yang diaturnya, Perda TUP tidak menyebutkan UU Sumberdaya Air, UU Pertambangan, UU Kehutanan, sebagai landasan hukum pembentukannya. Ketidaklengkapan dasar hukum tersebut menunjukkan dua hal: Pertama, secara sistematis, Perda TUP mewarisi sektoralisasi pengaturan sumberdaya alam yang dibuat pemerintah pusat. Sehingga Perda TUP hanya mengkonstruksi pelaksanaan rezim hukum pertanahan. Perda ini tidak berusaha mengkonstruksi hak masyarakat adat atas air, tambang dan hutan yang juga dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat berdasarkan UU Sumberdaya Air, UU Pertambahan dan UU Kehutanan. Dalam kacamata ilmu perundang-undangan, ketiadaan landasan yuridis dari UU Sumberdaya Air, UU Pertambangan dan UU Kehutanan mempersempit cakupan pengaturan Perda TUP hanya kepada tanah saja.
Kedua, sektoralisasi tidak sejalan dengan pandangan masyarakat Minangkabau yang dalam praktik kesehariannya menggunakan ungkapan tanah ulayat untuk menunjuk kepada sebidang tanah dan sumberdaya yang ada diatas dan didalamnya sebagai objek yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Minangkabau memandang tanah ulayat (ungkapan untuk menyebutkan hak ulayat) sebagai penguasaan oleh masyarakat adat atas sumberdaya secara holistik.
Selain mereduksi diri untuk mengatur sektor tanah saja, dijadikannya Permenag No. 5/1999 sebagai salah satu landasan yuridisnya, menjadikan Perda TUP tidak bisa menjawab dan menyelesaikan konflik tanah ulayat yang sudah berlangsung lama sebelum Permenag tersebut keluar. Pasal 3 Pemenag No. 5/1999 secara tegas membatasi keberlakuan Perda tentang hak ulayat masyarakat adat yang tidak berlaku bagi (a) tanah-tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria; dan (b) Tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
C. Jenis-jenis Tanah Ulayat
Menurut Budi Harsono, hak ulayat di dalam UUPA dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik; (b) hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat yang beraspek publik, serta (c) hak-hak atas tanah individual yang baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari hak
ulayat.
Berbeda dengan tipologi hak ulayat yang disampaikan Budi Harsono. Perda TUP membagi tanah ulayat di Sumatera Barat dalam empat jenis (Pasal 5 Perda TUP). Pertama, Tanah Ulayat Nagari yaitu tanah ulayat berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya, merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan Pemerintah Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya.Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai cadangan bagi masyarakat adat nagari, penguasaan serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama pemerintah nagari sesuai dengan hukum adat Minangkabau dan dapat dituangkan dalam bentuk peraturan nagari.
Sebagai cadangan, tanah ulayat nagari merupakan lahan yang diperuntukkan bagi perluasan pertanian dan perluasan nagari. Disamping itu, karena strukturnya yang berbentuk hutan, tanah ulayat nagari menjadi sumber pasokan air dan sebagai tempat masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti rotan. Dalam fungsinya sebagai cadangan, maka tanah ulayat nagari bukan merupakan penyangga utama bagi perekonomian nagari.
Perda TUP menetapkan kewenangan pengurusan (penguasaan) tanah ulayat berada pada KAN, dan Pemerintah Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur pemanfaatannya. Ketentuan ini potensial konflik dengan ketentuan dalam Perda Sumatera Barat No. 2/2007 tentang Pemerintahan Nagari yang menyatakan pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari dilaksanakan oleh Pemerintahan Nagari berdasarkan Peraturan Nagari, yang dalam proses pembuatannya telah dikonsultasikan dengan KAN. Potensi konflik kewenangan ini yang hendak dijembatani oleh ketentuan pasal 7 ayat (1) Perda TUP yang menyatakan Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama Pemerintah Nagari sesuai dengan hukum adat Minangkabau dan dapat dituangkan dalam Peraturan Nagari.
Kedua, Tanah Ulayat Suku yaitu hak milik atas tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pengaturannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Tanah ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adat Minangkabau.
Tanah ulayat suku sebagai tanah cadangan bagi kepentingan anggota suku, berarti tanah ulayat nagari bukanlah sebagai sandaran atau sasaran utama untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, baik bagi kepentingan anggota maupun dikerjasamakan dengan pihak lain. Sebagai cadangan, maka tanah ulayat suku baru dimanfaatkan jika ditemukan situasi-situasi yang mengharuskan tanah ulayat suku tersebut harus dimanfaatkan oleh anggota-anggota suku, dalam hal ini adalah kaum-kaum.
Ketiga, Tanah Ulayat Kaum yaitu Tanah Ulayat Kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaannya dan pemanfaatannya diatur oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum yang pengaturannya dilakukan oleh Mamak Kepala Waris sesuai dengan hukum adat Minangkabau.
Ulayat kaum berasal dari taruko anggota kaum pada ulayat nagari yang dijadikan sebagai lahan garapan dan pemukiman. Sehingga tanah ulayat kaum benar-benar diperuntukkan Ulayat kaum berasal dari taruko anggota kaum pada ulayat nagari yang dijadikan sebagai lahan garapan dan pemukiman. Sehingga tanah ulayat kaum benar-benar diperuntukkan
Keempat, Tanah Ulayat Rajo yaitu Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo sesuai hukum adat Minangkabau.
Karakteristik keempat jenis tanah ulayat tersebut digambarkan dalam tabel di bawah:
Tabel Jenis Tanah Ulayat dalam Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
No Jenis Hak
Pengurusan Ulayat
Sifat
Status Pendaftaran
Pengemban/
Pemilik
1 Tanah Ulayat Penguasaan/ HGU, Hak Pakai, Secara adat dimiliki Pengurusan oleh Ninik Nagari
Publik
Hak Pengelolaan oleh anak nagari
mamak KAN. Pengaturan pemanfaatan
oleh Pemerintah Nagari 2 Tanah Ulayat Kepemilikan/p Hak Milik
Milik kolektif anggota Pengaturan dan Suku
pemanfaatan oleh penghulu-penghulu suku 3 Tanah Ulayat Kepemilikan/p Hak Milik
erdata
suatu suku
Milik kolektif anggota Pengaturan dan Kaum
erdata
suatu kaum.
pemanfaatan oleh mamak jurai/ mamak
kepala
waris.
4 Tanah Ulayat Kepemilikan/p Hak Pakai dan Laki-laki tertua dari Laki-laki tertua dari garis Rajo
erdata
Hak Kelola
garis keturunan ibu
keturunan ibu
D. Pendaftaran Atau Konversi Tanah Ulayat
Pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat sudah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Ada kecurigaan, pendaftaran tanah ulayat akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena sifat komunalitasnya beralih menjadi hak-hak individu. Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalnya pada tanah ganggam bauntuak dipandang sebagai proses individualisasi ta nah ulayat. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) adalah hak yang mandiri. Kemandirian hak ulayat tergambar dalam ungkapan “adat salingka nagari”. Sebagai hak yang mandiri, pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain, cukup didasarkan pada hukum adat.
Pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat berharap tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertifikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang lebih kuat. Pasal
32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan sertipikat “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Sertipikat, selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah, juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah, karena tersedianya data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertifikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman. Hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat menunjukkan sebagian besar (73,75% dari 400) orang setuju terhadap sertifikasi tanah ulayat.
Selain Sertifikasi, ditemukan bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten, pengakuan hak Masyarakat Baduy dilakukan melalui Perda No. 32/2001. Di Kabupaten Merangin, Jambi, dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk. Pilihan hukum pengakuan dalam bentuk sertifikat membenarkan anggapan Perda TUP lahir untuk kepentingan ekonomi, terutama untuk menciptakan pasar tanah sebagaimana didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Proyek Land Administration Project (LAP) BPN yang disponsori oleh Bank dunia dan AusAid merupakan salah satu contoh. Proyek ini mendorong deregulasi pertanahan yang bertujuan menciptakan pasar tanah, yaitu agar tanah (termasuk tanah ulayat), dapat dipertukarkan secara berkepastian hukum sesuai mekanisme pasar. Untuk tahap II proyek LAP ini akan mulai memasukkan objek tanah masyarakat adat dengan dukungan dana US$ 110 juta. Kondisi ini dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat, terlebih karena sertifikat dijadikan alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas bidang-bidang tanah. Akibatnya pengetahuan hukum masyarakat adat tentang tanah ulayat berkurang dan digantikan oleh dominasi hukum negara, yang interpretasinya tergantung pada pemerintah dan ahli hukum, yang jarang berkemauan memperkuat hak masyarakat.
Menurut PP No. 24/1997, hak ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah. Ketentuan inilah yang membuat Permenag No. 5/1999 menyarankan agar tanah ulayat didaftarkan sebagai hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini diikuti oleh Perda TUP yang menetapkan agar tanah ulayat didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut UUPA, yaitu:
1. Tanah Ulayat Nagari, didaftarkan dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama ninik mamak KAN. Di dalam sertifikat akan tercantum nama ninik mamak KAN dan pihak lain yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari dapat melampirkan.
2. Tanah Ulayat Suku, didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.
3. Tanah Ulayat Kaum, didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.
4. Tanah Ulayat Rajo, didaftarkan dengan status hak pakai dan hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.
5. Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan, yang dikerjakan terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah memenuhi “adat diisi limbago dituang.”
Pendaftaran tanah ulayat nagari menurut hak atas tanah berdasarkan UUPA sesungguhnya menyimpan resiko. Dari segi kepemilikan, HGU diberikan diatas tanah-tanah negara. Konstruksi yang dibangun oleh Perda TUP menggeser konstruksi hak ulayat nagari yang Pendaftaran tanah ulayat nagari menurut hak atas tanah berdasarkan UUPA sesungguhnya menyimpan resiko. Dari segi kepemilikan, HGU diberikan diatas tanah-tanah negara. Konstruksi yang dibangun oleh Perda TUP menggeser konstruksi hak ulayat nagari yang
Selain dengan status HGU, tanah ulayat nagari juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Kewenangan pemegang hak pengelolaan terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada departemen, lembaga-lembaga pemerintahan negara, daerah otonom, serta badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan. Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA. Tetapi PP No. 40/1996 tidak menegaskan bahwa masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari dapat menjadi pemegang hak pakai.
Pendaftaran ulayat nagari sebagai hak pakai menyebabkan jangka waktu yang dimiliki oleh nagari untuk menggunakan tanah tersebut paling lama hanya 45 tahun. Memang ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu bagi kepentingan oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional serta badan keagamaan dan sosial. Belum bisa dipastikan apakah tanah ulayat nagari terkualifikasi sebagai keperluan tertentu. Sehingga juga belum dapat dipastikan apakah ulayat nagari yang terdaftar sebagai hak pakai, akan bisa dipergunakan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Pemegang hak pakai juga dibebani kewajiban untuk membeyarkan sejumlah uang kepada pemberi hak pakai. Kewajiban ini menjadi tidak tepat jika memandang tanah ulayat nagari sebagai hak asal usul dari kesatuan masyarakat hukum adat. Sebab akan kelompok yang membayar sejumlah uang kepada pihak lain, atas tanah yang pada mulanya adalah hak mereka.
Intinya, pendaftaran tanah ulayat dengan status menurut UUPA, memperlemah keberadaan tanah ulayat, karena bisa bermuara pada konversi hak-hak ulayat. Jika bermaksud memperkuat keberadaan tanah ulayat, maka mekanisme pendaftaran tanah ulayat di luar model pendaftaran yang diatur dalam PP No. 24/1999 perlu didorong. Sebuah mekanisme yang bisa mencegah pasar tanah dan mencerminkan penguatan hak ulayat.
D. Mekanisme Pemanfaatan Tanah Ulayat
Tidak salah jika disebutkan bahwa pemanfaatan merupakan semangat utama dari Perda TUP. Untuk itulah perda ini membuat mekanisme baru peralihan hak-hak atas tanah ulayat, yang dapat membuka akses bagi kepentingan-kepentingan yang datang dari luar masyarakat pemilik ulayat. Sasarannya adalah tanah-tanah ulayat yang sampai lahirnya perda ini, belum beralih menjadi konsesi-konsesi tambang, kebun dan lain-lain. Bagaimana perda TUP mengatur dan memfasilitasi pemanfaatan tersebut?
1) Pemanfaatan oleh Anggota Masyarakat
Pasal 9 ayat (1) Perda TUP menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat dapat dilakukan atas sepengetahuan dan seizin penguasa ulayat yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan, dilakukan berdasarkan hukum adat, yang dapat berbeda-beda antar nagari.
Izin pemanfaatan tanah ulayat diberikan penguasa ulayat. Untuk ulayat nagari, izin diberikan oleh KAN. Untuk tanah ulayat kaum, izin tersebut bernama ganggam bauntuak, yang merupakan metode pembagian tanah milik kaum kepada anggota atau kelompok anggotanya (paruik/jurai), baik untuk pertanian (sawah dan ladang) maupun sebagai tempat tinggal. Pembagian ini bukan untuk dimiliki secara individu, tetapi hanya untuk dipakai dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidup para anggotanya. Ganggam bauntuak hanya diperuntukkan bagi si perempuan atau jurai, sesuai dengan sistem matrilineal. Laki-laki tidak berhak atas tanah ganggam bauntuak. Ninik mamak, Mamak Kepala Waris dan laki-laki lainnya, bertugas mengawasi penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut demi kelangsungan hidup saudara-saudara perempuan dan anak kemenakan dari saudara perempuan itu.
2) Pemanfaatan untuk Kepentingan Umum
Pasal 9 ayat (2) Perda TUP menyebutkan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara penyerahan tanah oleh penguasa dan pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku .
Belum ada pengertian yang final tentang frasa “sesuai dengan ketentuan yang berlaku.” Apakah ketentuan berdasarkan hukum adat atau berdasarkan hukum nasional yang secara khirarkis lebih tinggi dari Perda TUP. Bila merujuk pada ketentuan hukum nasional, mekanisme penyerahan tanah ulayat bagi kepentingan umum mengacu kepada Perpres No. 36/2005 yang diperbarui dengan Perpres No. 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Menurut perpres tersebut pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum, dilakukan melalui musyawarah antara pemegang hak dengan panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, untuk menyepakati penyerahan tanah dan jumlah ganti rugi. Jika musyawarah tidak memperoleh kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besaran ganti rugi dan menitipkan uang tersebut di Pengadilan Negeri setempat. Kedudukan Perpres yang lebih tinggi, dapat membuat norma kesepakatan yang diharuskan oleh perda, menjadi tidak bermakna apa-apa.
Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum, juga bukan hal yang gampang untuk didefenisikan. Beberapa jenis kepentingan umum yang diatur oleh perpres, tidak bisa lagi dilihat murni sebagai kepentingan umum. Memang jenis-jenis kepentingan tersebut merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh publik, tetapi kebutuhan tersebut sudah mengalami komoditisasi dan komersialisasi, yang pengadaannya menguntungkan secar ekonomis bagi pemodal swasta. Bila kepentingan umum masih dimaknai sebagai program yang datang dari pemerintah dan pemerintah daerah, maka masyarakat adat akan tetap terpinggirkan. Sebab apa yang dimaksud dengan kepentingan umum oleh pemerintah, sangat mungkin bukan merupakan kebutuhan umum menurut keyakinan masyarakat. Rumusan pengaturan penggunaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur oleh Perda
TUP, tidak cukup untuk melindungi dan memperkuat tanah ulayat.
3)Pemanfaatan untuk Kepentingan Investasi
Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi (Badan Hukum dan perorangan) dapat dilakukan melalui Perjanjian pengusahaan dan pengelolaan antara penguasa dan pemilik tanah ulayat dengan badan hukum atau perorangan dalam jangka waktu tertentu. Artinya Investor dapat memanfaatan tanah ulayat dengan mengikutsertakan penguasa tanah ulayat sebagai pemegang saham, atau bagi hasil atau dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Untuk ulayat nagari maka musyawarah mufakat dilakukan di KAN dan diketahui oleh pemerintah nagari. Perjanjian kerjasama tersebut baru dapat dilakukan setelah badan hukum atau perorangan yang memerlukan tanah ulayat, memperoleh Izin Lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah. Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris. Jika masa perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan berakhir, status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula. .
Ketentuan pemanfaatan tanah ulayat oleh investor di dalam Perda TUP tidak mempertimbangkan karakteristik dari jenis-jenis hak atas tanah ulayat yang sudah dibedakan sebelumnya. Aklibatnya tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, yang kedudukannya dalam Perda ini disebut sebagai cadangan bagi kepentingan masyarakat nagari atau anggota suku, tetap dapat dimasuki kepentingan investasi.
Penyusun Perda TUP juga tidak mempedulikan mengenai kesiapan masyarakat adat untuk bekerjasama dengan investor. Padahal kerjasama dengan investor tersebut pastilah banyak ranjau, yang mestinya diantisipasi lebih awal. Kerjasama dalam bentuk penyertaan saham misalnya, perlu kemampuan untuk memprediksi kecenderungan arus modal (capital flow), yang sangat mungkin bergerak cepat dan tidak terbatas ruang. Jika hak ulayat merupakan harta yang dipisahkan dari harta pemilik saham, maka hak ulayat yang menjadi saham masyarakat adat, bisa diperjualbelikan secara cepat dalam pasar saham. Demikian juga jika perusahaan bangkrut oleh kesalahan manajemen, saham masyarakat yang berupa hak ulayat akan menjadi bagian harta perusahaan yang harus dilepas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan. Pada kondisi demikian, masyarakat adat menjadi sangat dirugika, karena satu-satunya harta berharganya akan berpindah tangan. Padahal prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat adalah adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan sando ”. Artinya tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan. Karena itu, tanah ulayat yang dimanfaatkan oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya, harus kembali kepada masyarakat. ”Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan” adalah pepatah adat yang tepat menggambarkan keharusan itu.
Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah masa perjanjian kerjasama berakhir, merupakan tema sentral yang didorong dalam advokasi Ranperda TUP. Dorongan ini sebagai penolakan terhadap ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat serta penguasaan masyarakat terhadapnya.
Sayangnya rumusan dalam Perda TUP sangat kabur karena tidak dengan tegas Sayangnya rumusan dalam Perda TUP sangat kabur karena tidak dengan tegas
yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.
E. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat