Pemanfaatan Tanah Ulayat.

A.1.2. Pemanfaatan Tanah Ulayat.

Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa pembangunan ekonomi Sumatera Barat akan diintegrasi dengan ekonomi global, diatas topangan modal (swasta) yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam. Oleh sebab itulah, kepastian hukum atas kepemilikan tanah ulayat sangat diutamakan, meskipun hal itu dapat merubah sistem sosial - kolektif penguasaan tanah ulayat menjadi sistem individual. Kepastian hukum menjadi penting untuk menjamin tanah ulayat menjadi komoditi yang siap jual dalam arus perdagangan dunia.

Mendorong tanah ulayat ke dalam sistem ekonomi neo liberal/kapitalisme, merupakan keniscayaan bagi rezim pasar untuk melepaskan kepemilikan tanah-tanah dari petani. Sebab kapitalisme hanya dapat tercipta dengan melepaskan kepunyaan petani atas tanahnya. Oleh karena itu - kapitalisme - dimanapun senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni melepaskan petani tanah pertaniannya dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi komoditi / modal. Selanjutnya, Ben Fine menjabarkan lebih lanjut bagaimana mode of production kapitalisme mendorong pelepasan petani dari tanahnya, yaitu;

” karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok, yakni tanah, maka kapitalisme hanya dapat diciptakan, hanya dengan cara melepaskan kepemilikan petani atas tanahnya itu. Asal usul kapitalisme di mulai dari ” karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok, yakni tanah, maka kapitalisme hanya dapat diciptakan, hanya dengan cara melepaskan kepemilikan petani atas tanahnya itu. Asal usul kapitalisme di mulai dari

Analisis diatas membantu memahami implikasi kebijakan dan program-program dalam RPJM terhadap keberadaan hak ulayat. RPJM 2006-2010 dan Perda TUP merupakan kesatuan paket untuk memperlancar kepastian pemanfaatan tanah ulayat bagi pasar/modal lokal dan global. Pemda sendiri telah memasang target investasi swasta sebesar sebesar 85%. Untuk mencapai target itu, RPJM menetapkan arah arah kebijakan peningkatan investasi dan pengembangan kerjasama regional antar daerah, dengan memperlancar arus modal dengan mempersiapkan perangkatnya, yaitu, kesiapan mesin birokrasi dan melahirkan kebijakan daerah dengan prinsip simplikasi, deregulasi, harmonisasi, kepastian hukum, serta efisiensi sehingga ramah terhadap modal, dan menggunakan pola kemitraan antara modal (asing/lokal) dengan masyarakat (UMKM) dalam berinvestasi dengan melibatkan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota sebagai fasilitator.

Hubungan program-program dalam RPJM 2006-2010 dengan perda TUP, terdiri dari dua aras besar, yaitu kepastian kepemilikan tanah ulayat dan perangkat untuk memperlancar pemanfaatan tanah ulayat dalam konteks investasi modal. Pembahasan berikut mengupas hubungan pola pemanfaatan tanah ulayat dalam Perda TUP dengan program-program RPJM 2006-2010.

A.1.2.1. Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh Anggota Masyarakat

Pemanfaatan oleh anggota masyarakat (adat/nagari) dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dari masing-masing nagari. Pemanfaatan oleh masyarakat nagari merupakan pergulatan antara sistem ekonomi tradisional yang berbasis pertanian yang hidup di nagari dengan sistem ekonomi kapitalistik/neoliberalistik. Perda TUP seolah-olah berdiri di antara dua aras tersebut, yakni membuka pasar bebas atas tanah melalui sertifikasi tanah-tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat nagari dan di sisi lain mengakui pola pemanfaatan berdasarkan hukum adat yang hidup di nagari.

Bila dilihat lebih dalam, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat nagari pada Perda TUP berhubungan erat dengan beberapa program pembangunan daerah di BAB VII, RPJM 2006-2010, terutama dengan program pembangunan daerah berbasis pedesaan / nagari dan pengembangan ekonomi mikro. Adapun program-program tersebut adalah; pertama, program pengembangan usaha mikro yang berbasis pada nagari/pedesaan, yaitu dengan pemberdayaan sumber daya (alam/manusia) di nagari/pedesaan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam (ulayat) dan sumber daya manusia yang di fasilitasi oleh pemerintah, melalui pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro, penguatan manajerial usaha, peningkatan kapasitas usaha mikro, pembukaan akses pasar dan pengembangan modal usaha. Kedua, pengembangan nagari sebagai basis pembangunan, yaitu dengan peningkatan pemberdayaan nagari melalui peningkatan pemerintahan nagari (peningkatan kapisitas lembaga di nagari), partisipasi masyarakat nagari dalam pembangunan, penataan asset nagari termasuk di dalamnya ulayat nagari, dan peningkatan kemitraan antara nagari dengan perantau melalui pengembangan investasi dari perantau. Ketiga, penanggulangan kemiskinan berbasis nagari dan Komunitas Adat Tertinggal, yaitu dengan peningkatan usaha mikro untuk peningkatan produksi keluarga (miskin), peningkatan kepemilikan asset dan modal sosial, membuka akses terhadap lembaga keuangan bank/non bank bagi peningkatan modal produksi, pemenuhan hak atas pangan dengan peningkatan pemasaran hasil pertaninan dan fasilitasi produksi pertanian, Bila dilihat lebih dalam, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat nagari pada Perda TUP berhubungan erat dengan beberapa program pembangunan daerah di BAB VII, RPJM 2006-2010, terutama dengan program pembangunan daerah berbasis pedesaan / nagari dan pengembangan ekonomi mikro. Adapun program-program tersebut adalah; pertama, program pengembangan usaha mikro yang berbasis pada nagari/pedesaan, yaitu dengan pemberdayaan sumber daya (alam/manusia) di nagari/pedesaan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam (ulayat) dan sumber daya manusia yang di fasilitasi oleh pemerintah, melalui pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro, penguatan manajerial usaha, peningkatan kapasitas usaha mikro, pembukaan akses pasar dan pengembangan modal usaha. Kedua, pengembangan nagari sebagai basis pembangunan, yaitu dengan peningkatan pemberdayaan nagari melalui peningkatan pemerintahan nagari (peningkatan kapisitas lembaga di nagari), partisipasi masyarakat nagari dalam pembangunan, penataan asset nagari termasuk di dalamnya ulayat nagari, dan peningkatan kemitraan antara nagari dengan perantau melalui pengembangan investasi dari perantau. Ketiga, penanggulangan kemiskinan berbasis nagari dan Komunitas Adat Tertinggal, yaitu dengan peningkatan usaha mikro untuk peningkatan produksi keluarga (miskin), peningkatan kepemilikan asset dan modal sosial, membuka akses terhadap lembaga keuangan bank/non bank bagi peningkatan modal produksi, pemenuhan hak atas pangan dengan peningkatan pemasaran hasil pertaninan dan fasilitasi produksi pertanian,

Program-program di atas merupakan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat nagari. Program ini dapat memeratakan antara ekonomi pedesaan/nagari yang berbasis pertanian dan usaha mikro dengan ekonomi perkotaan yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan industri. Namun beberapa hal layak juga dikritisi dari program-program tersebut.

Pertama; Fasilitasi pemerintah daerah untuk peningkatan modal usaha mikro dan pertanian tidak hanya pada pemberian intensif modal dari pemerintah, namun juga di dorong untuk berhubungan dengan lembaga Keuangan Bank/non Bank. Kondisi ini rentan mengalihkan penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat, karena program pendaftaran/sertifikasi tanah ulayat, menciptakan tanah sebagai jaminan modal usaha. Ini dapat mendorong peningkatan dan percepatan peralihan tanah ulayat kepada pihak lain.

Kedua, pola kemitraan antara masyarakat nagari dengan perantau dalam program pengembangan nagari sebagai basis pembangunan melalui dorongan investasi, tidak secara tegas memperlihatkan perlindungan terhadap hak ulayat. Sebab pola kemitraan antara perantau dengan nagari dirancang mirip dengan kemitraan antara masyarakat nagari dengan investor. Hal ini terlihat dari point 7.7.3, RPJM 2006-2010 tentang peningkatan partisipasi masyarakat dan perantau dalam pembangunan, disebutkan: ”Meningkatkan pelibatan masyarakat dalam program-program pengembangan ekonomi yang lebih berkeadilan dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai pemilik/pemegang saham dalam usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam di nagari/wilayahnya”. Artinya sumber daya alam di nagari (hak ulayat) tetap dipandang sebagai komoditi investasi, yang dapat diperdagangkan melalui kepemilikan saham. Ini potensial melahirkan konflik kepentingan antara modal yang dibawa oleh perantau dengan kepentingan nagari atas hak ulayat.

A.1.2.2. Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Kepentingan Umum.

Secara sederhana pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan wujud pembangunan infrastruktur publik oleh pemerintah (pusat/daerah) untuk kepentingan publik. Pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum menurut Perda TUP sama dengan mekanisme pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdasarkan perpres 65/2005. Hal tersebut berkonsekuensi yuridis kepada penyerahan hak ulayat kepada pemerintah/negara bagi pelaksaanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Terlepas dari berbagai kontroversi yuridisnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum secara prinsip berfungsi untuk menyediakan infratruktur publik bagi kepentingan bersama. Namun bila RPJM 2006-2010 ditelaah lebih, pembangunan infrastruktur publik lebih diorientasikan sebagai upaya memperlancar arus modal bagi investasi di Sumatera Barat. Hal ini terlihat pada BAB VII tentang program pembangunan daerah, point 7.5 tentang Agenda mengembangkan infrastruktur yang mendorong percepatan pembangunan. Agenda tersebut terdiri dari dua hal besar, yaitu; peningkatan pemanfaatan sumber daya air dan peningkatan sarana dan prasarana trasnportasi.

Program peningkatan pemanfaatan sumber daya air berhubungan dengan tata guna pemanfaatan air, baik itu untuk kepentingan irigasi pertanian, kebutuhan air minum masyarakat maupun kebutuhan rehabilitasi sumber daya air. Program ini berhubungan erat dengan kebutuhan masyarakat nagari secara umum, yaitu pengembangan sektor pertanian Program peningkatan pemanfaatan sumber daya air berhubungan dengan tata guna pemanfaatan air, baik itu untuk kepentingan irigasi pertanian, kebutuhan air minum masyarakat maupun kebutuhan rehabilitasi sumber daya air. Program ini berhubungan erat dengan kebutuhan masyarakat nagari secara umum, yaitu pengembangan sektor pertanian

Peningkatan sarana dan prasarana transportasi merupakan program strategis bagi peningkatan arus modal/investasi di Sumatera Barat. Peningkatan sarana dan prasarana transportasi melingkupi transportasi darat, laut, dan udara. Kepentingan utama investasi atas sarana dan prasarana transportasi yaitu menghubungkan sentra-sentra produksi komoditi ekspor di Sumatera Barat, seperti perkebunan besar, agribisnis, kehutanan, dan pertambangan yang berada di daerah daratan dan kepulauan mentawai, menuju pelabuhan yang representatif yaitu pelabuhan teluk bayur sebagai pelabuhan antar samudera terbesar di pantai barat sumatera. Hal ini kemudian beriringan dengan sarana transportasi udara yaitu Bandar Udara Minangkabau yang berfungsi sebagai pintu masuk arus orang dan modal dengan skala nasional maupun internasional.

Korelasi antara pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dengan program- program dalam RPJM 2006-2010, merupakan satu kesatuan penunjang arus investasi di Sumatera Barat. Dengan demikian pemanfaatan tanah bagi kepentingan umum sesungguhnya adalah pemnfaatan tanah ulayat untuk pembangunan sarana prasarana yang dapat melayani invstasi. Bukan untuk melayani kebutuhan masyarakat nagari-nagari

A.1.2.3. Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Investasi.

BAB VII RPJM 2006-2010 tentang Program Pembangunan Daerah bagian program peningkatan investasi dan realisasi investasi, beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah:

1. Penerbitan Peraturan Daerah yang mampu mendorong perkembangan dan peningkatan investasi di daerah;

2. Penyederhanaan prosedur pelayanan penanaman modal;

3. Pemberian insentif yang menarik bagi penanaman modal;

4. Pengkoordinasian perencanaan investasi antar daerah kabupaten / kota;

5. Penyiapan sarana dan prasarana daerah yang terkait untuk mendorong investasi;

6. Pengawasan (pemantauan, dan evaluasi) dan pengendalian pelaksanaan investasi baik PMA maupun PMDN;

7. Pengembangan sistim informasi investasi baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota;

8. Pemantapan kelembagaan penanaman modal baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk dapat memperlancar dan memberikan informasi yang akurat;

9. Pengkajian kebijakan penanaman modal (PMA dan PMDN), agar peluang investasi yang potensial dapat diserahkan pada penanam modal yang handal, bukan kepada penanam modal yang berspekulasi ( defector investment).

Kegiatan penerbitan peraturan daerah yang menjamin iklim investasi adalah hal yang utama bagi Pemda, selain fasilitas-fasilitas investasi lainnya seperti penyederhanaan Kegiatan penerbitan peraturan daerah yang menjamin iklim investasi adalah hal yang utama bagi Pemda, selain fasilitas-fasilitas investasi lainnya seperti penyederhanaan

EMUNGKINAN B. K FPIC

Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free Prior Informed Consent/FPIC ). Keberadaan mekanisme dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara dalam pemenuhan HAM, ia meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect ), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya, terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar.

Free Prior Informed Consent semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit, yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi, sebagai perlindungan hak individual pasien. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara komulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut:

Free : adalah keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya persetujuan diberikan seseorang atau sekelompok orang yang tidak berada di bawah tekanan.

Prior

: adalah keharusan adanya ijin dari masyarakat sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah.

Informed

: adalah informasi yang terbuka, seluas-luasnya dan berimbang mengenai proyek yang akan dijalankan terutama dampak baik dan dampak buruknya bagi masyarakat

Consent

: adalah persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri

Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep yang asing karena konsep ini telah mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003).

Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2006, mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut:

Pasal 18 berbunyi: Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan keputusan tentang hal- hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.

Selanjutnya Pasal 19 berbuyi: Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada Selanjutnya Pasal 19 berbuyi: Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada

UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga mencoba mengadopsi beberapa konsep FPIC. Pasal 60 dinyatakan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat berhak:

a. Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;

b. Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;

e. Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;

f. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

g. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;

h. Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;

i. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta

j. Memperoleh ganti kerugian.

Disamping dalam peraturan perundang-undangan, penerapan FPIC juga didorong oleh lembaga-lembaga multipihak dalam sektor hutan dan perkebunan. Pada sektor kehutanan misalnya, terdapat Forest Stewart Council (FSC) yang memberikan sertifikasi terhadap perusahan kayu yang memenuhi beberapa standar yang mereka buat. Beberapa prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi penebangan kayu dengan beberapa ketentuan seperti menghormati hukum adat dan hak atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah; penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada persetujuan tanpa paksa dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan konflik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; dan menghormati hak-hak pekerja sesuai

dengan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Pada sektor perkebunan kelapa sawit, terdapat lembaga internasional multipihak yang mendorong pengelolaan kelapa sawit yang ramah terhadap persoalan sosial dan lingkungan, dengan membangun standar-standar yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) misalnya mendorong:

a. Penghormatan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang sudah diratifikasi serta penghormatan terhadap hukum adat;

b. Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan dengan diinformasikan (FPIC);

c. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai; c. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;

e. Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap setiap pengambilan lahan dan pengambilan hak sesuai dengan FPIC dan

kesepakatan.

FPIC tidak hanya diperlukan bagi pelaksanaan program-program pemerintah terhadap tanah ulayat, tetapi juga termasuk rencana investasi terhadap tanah ulayat masyarakat adat. Pengadopsian konsep FPIC memberikan manfaat penting, diantara: (a) mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) Mewujudkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya; (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan, karena masyarakat yang bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi.

Perda TUP, terutama pada bagian pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan pihak lain, belum mengakomodasi konsep FPIC. Ketentuan Pasal 9 sampai Pasal 11 Perda TUP memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

a. Belum memasukkan pentingnya informasi yang berimbang tentang dampak- dampak yang akan didapat masyarakat akibat suatu program pembangunan dan investasi.

b. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dilakukan dengan penyerahan tanah kepada instansi yang memerlukan. Tidak diatur bahwa masyarakat dapat menolak pelaksanaan program kepentingam umum versi pemerintah bila senyatanya program tersebut bukan merupakan hal yang penting bagi masyarakat.

c. Masyarakat tidak punya kebebasan memberikan keputusan terhadap program pembangunan dan investasi yang dilakukan terhadap tanah ulayat.

d. Tidak ditegaskan bahwa masyarakat dapat memperoleh sejumlah ganti rugi atas penggunaan lahan yang tidak menguntungkan masyarakat.

e. Tidak dirumuskan pengarusutamaan masyarakat dalam pemanfaatan tanah ulayat, misalkan dengan mensyaratkan pola pembangunan ekonomi nagari yang dapat dilakukan lewat badan usaha nagari atau bentuk lain.

Pada tahap awal, penerapan konsep FPIC bisa diterapkan dalam program sertifikasi tanah ulayat. Ini dilakukan dengan menginformasikan konsekuensi yang diterima masyarakat dalam sertifikasi tanah ulayat dan kemudian memberikan kebebasan terhadap masyarakat adat untuk memutuskan apakah akan melakukan sertifikasi atau tidak.