Pengaruh Significant Others
3. Pengaruh Significant Others
Terbentuknya persepsi selain dari dalam diri sendiri ternyata dipengaruhi juga oleh beberapa pihak di sekitar Informan. Significant others justru membuat para Informan merasa ngeri untuk masuk lebih jauh di media massa.Terdapat dua pihak yang menjadi figur significant others yaitu orangtua dan jurnalis.
a. Orangtua
Significant others yang pertama dan paling dominan dalam kondisi ini adalah orangtua. Dari penuturan para Informan, hampir setiap orangtua memberi penilaian negatif dan juga melarang para putrinya untuk menjadi jurnalis. Alasan persepsi yang muncul dari para orangtua antara lain:
Jurnalis tidak menjanjikan kesejahteraan
Minat Annisa Fitri (2010) untuk menjadi jurnalis terbentur oleh penilaian kedua orangtuanya yang kurang yakin akan kesejahteraan pekerjaan sebagai fotografer jurnalistik.
amu ngapain sih motret
emang motret bisa everlasting sampai kamu tua. Karena mama papaku itu nganggep foto itu lebih gampang dijiplak daripada lukisan gitu lho, udah gitu kita kan cuma mengabadikan sesuatu,
Ada pun ia lebih disarankan untuk menjadi dosen.
lebih banyak dari foto jurnalis, terus kerjaan lebih enak, jadi ya memang mempertimbangkan realistisnya ke depan gitu lho. Kamu mau jadi foto jurnalis jempalitan cari duit, kalo jadi dosen kamu punya ilmu, masuk kelas, dingin, ketemu mahasiswa, ngasih ujian,
dapat duit, hehehe. 388
Dalam hal ini, selain sisi kesejahteraan secara finansial, pola kerja sebagai dosen dinilai jauh lebih ringan daripada sebagai jurnalis. Orangtua
putrinya untuk mempertimbangankan pilihannya sebagai jurnalis secara lebih matang.
Jurnalis kurang pantas untuk perempuan
Dalam kondisi ini, secara umum para orangtua menilai bahwa jurnalis lebih pantas untuk laki-laki karena pekerjaan ini berat dalam beberapa aspek. Penilaian tersebut berujung pada pelarangan anak menjadi jurnalis. Pelarangan itu terbentang dari yang tanpa rasionalitas sampai dengan yang rasional.
Pelarangan yang tanpa didukung oleh rasionalitas yang kuat dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010) dan Aviana Cahyaningsih (2008).
mama gak setuju saya jadi reporter, gak boleh, pokoknya gak boleh. Tapi adek pengen jadi pembaca berita mah, kata mama,
pembaca berita kan awalnya reporter dulu dek. 389
Yaampun, cewek, wartawan, kowe mengko masa bengi-bengi ditelp enek kebakaran terus kowe lunga, terus bar kuwi mengko
jam kerjane yo ra jelas, gini gini kaya gitu lah. 390
388 Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011 389 Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
Ada pun kondisi yang lebih rasional dialami oleh Triendah Febriani (2009) karena orangtuanya pernah memiliki pengelaman mengamati pekerjaan jurnalis secara langsung.
yang kost itu, gimana kerjanya, malam harus keluar, jadinya agak
khawatir juga. Terus cewek juga. Masa ta mau keluar malam-
Kekhawatiran yang sama dialami oleh orangtua Fannany Norrohmah (2008), Twinika S.F (2008) dan Destriana K (2008)
Menganjurkannya itu tadi, kerja kantoran itu tadi, udah kamu itu diem aja, kalau wartawan kan pencilakan kemana-kemana, sampai
malam, sampai apa gitu kan. Malah kemarin sempat nambahi kemarin kan ada kenalan juga, wartawan yang datang kerumah, cewek mbak, kan kaya gitu. Terus cerita-cerita gitu, cerita kalau ya kemarin liputan bola-bali nunggu di Ngruki itu dari jam 2 malam sampai pagi. Yaudah, bapak ibu, apalagi ibu kan, jadi udah gak
usah jadi
wartawan gitu-gitu-gitu.
Gitulah, pokonya
menganjurkannya ya perempuan diem aja di kantor 392
gak usah
kerja yang susah-susah di kejar deadline gitu banget. Boleh jadi itu apa namanya,jurnalis,misalnya di bagian editing atau apa tapi kalau kerja di praktek lapangannya kegiatan aku kurang begitu maksimal. 393
ka ya, tapi lebih ntar gimana kasian kerja di lapangan gitu. Ya mungkin karena dia lihat di TV kerjanya kaya gitu, apa, ketemu sama pejabat,apa, nyodorin alat perekam, itu-itu kerjanya, kaya gitu,
390 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 391 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 392 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 393 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011 390 Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011 391 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 392 Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011 393 Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
udah punya anak. Masa anakmu masih kecil-kecil gitu mbok
tinggal kemana-mana nyari berita kaya gitu. 394
Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis tidak dianjurkan oleh para orangtua karena jam kerja yang tidak teratur. Secara tidak langsung, para orangtua menganut keyakinan bahwa perempuan semestinya mencari pekerjaan yang memiliki jam kerja jelas dan juga tidak menyita waktu terlalu banyak. Perempuan diantaranya dianggap tabu jika keluar malam hari apalagi untuk bekerja. Secara konkrit, pekerjaan yang dianjurkan oleh para orangtua yaitu pekerjaan kantoran.
Perempuan lebih pantas jadi Pegawai Kantoran
Seperti telah dibahas pada point di depan, jurnalis sebagai lapangan dinilai kurang tepat untuk perempun. Sebaliknya pekerjaan
kantoran dinilai menjadi pekerjaan yang tepat. Secara umum, pekerjaan kantoran yang disarankan para orangtua adalah untuk menjadi PNS.
Hal itu seperti dialami oleh Triendah Febriani (2009), Fauziah Nurlina (2010) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008).
Jadi PNS mbak, tapi akunya yang gak minat. Dulu ibu pernah nyaranin jadi guru aja tinggal duduk, terus ngajar, kasih PR (Pekerjaan Rumah), udah selesai Kalau orangtua pesannya, cari kerja yang bisa bikin seneng, santai, rileks, tapi jangan sampai
lupa kondisi tubuh gitu 395
394 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011 395 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011 394 Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011 395 Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
PNS kan lebih menjamin aja, lagian kita cewek, jadi kalau wartawan itu, apa
namanya, nanti capek gitu. 396
Jadi PNS, Asal PNS lah, kamu PNS wae malah penak, gari lungguh, nampa gaji tiap bulan gak perlu rekasa. Kalo orangtua
menginginkannya untuk menjadi pegawai negeri. Katanya kalau
cewek itu lebih aman disitu. Aman dalam artian cewek bisa kerja jadi pegawai negeri gajinya cukup, terus bisa ngurusin keluarga
gitu sih.. 397
Untuk beberapa orangtua, saran mereka kepada putrinya untuk menjadi pekerja kantoran berlatarbelakang keingin agar mereka dapat meneruskan pekerjaannya. Hal itu seperti dialami oleh Agnes Amanda (2007) dan Rahajeng Kartikarani (2007) berikut:
Kalau meruntut ke background bapak ibu yang PNS, guru kerja apa aja gak papa, tapi pernah diskusi sama bapak, bapak pengennya ya standart, PNS. Bapak sih usulnya jadi dosen aja
gitu. Mungkin pertimbangannya kan soal gaji, gaji tetap. Terus kalau dosen itu kalau dipandang orang juga pintar, gitu. Jadi kamu boleh kerja apa aja yang penting ada pegangan pasti. 398
Karena background orangtua itu kerja di bank, jadi mereka juga
punya kepenginan kalau aku bisa kerja di bank 399
396 Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011 397 Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011 398
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011 399 Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
Menurut orangtuanya, seyogyanya ia memilih pekerjaannya yang normal. Dalam kondisi ini, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang tidak normal.
disaranin kenapa enggak pekerjaan-pekerjaan yang normal- normal saja kaya misalnya pegawai, pegawai bank, guru kaya gitu
dan semacam yang lain. 400
Lokasi kerja dekat dengan orangtua
Orangtua dari Putu Ayu Gayatri (2009) mencoba membahasakan ketidaksetujuannya jika putrinya akan menjadi jurnalis dalam topik tempat kerja.
kerjanya dimana gak masaah, Cuma geografisnya orangtua menyarankan aku gak boleh kerja di Jakarta. Karena katanya waktu bakal habis di jalan, orang-orangnya disana kan gitu. Pengennya sih aku kerja di Bali entah ngapain. Nah, jadi misalnya akan kerja di Bali, kalau jadi wartawan ya mungkin jadi waratwan di Bali itu, atau kerja di hotel, kan Bali yang bagus
hotel. 401
b. Jurnalis
Selain dari pihak orangtua, stereotype diberikan pula oleh para jurnalis. Hal itu seperti dialami oleh Putu Ayu Gayatri (2007) saat ia magang sebagai pewarta di harian Suara Merdeka tahun 2009.
kamu kenapa sih
pengen jadi wartawan, banyak banget yang ngomong gitu mbak. Ngapain lah, janganlah jadi wartawan. Bahkan wartawannya sendiri itu
400 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 401 Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011 400 Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011 401 Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011
Pengalaman Ayu menyiratkan adanya rasa sanksi pada wartawan saat ada seorang perempuan mencoba masuk dalam dunia media. Perempuan mereka pandang sebagai makhluk pesolek dan menurut mereka media tidak tepat bagi mereka.
Pengalaman yang berbeda di alami oleh Veronika Juwita Hapsari (2007). Sama-sama dalam pengalaman selama magang, namun ia merasakan adanya pembedaan pekerjaan yang diberikan antara perempuan dan laki-laki.
Jadi disana itu cewek kayaknya lebih diistimewakan , jadi dikasih kerjanya kaya yang ringan-ringan aja, jadi apa, disana mengoperasikan kaya audiomixer, terus edit script. Untuk pegang kamera disana susah, em, bukan susah sih, lebih seringnya kalo
kamera itu yang pegang cowok, tapi sebenarnya yang cewek juga punya kesempatan sih buat pegang alat. 403
Dari pernyataan Veronika di atas, perempuan dinilai kurang menguasai hal-hal teknis dan juga secara fisik lemah sehingga mendapat tugas yang relatif lebih ringan dari laki-laki
402 Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011 403 Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011