Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS)

PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS

( Studi Kasus Mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS)

SKRIPSI

Disusun Oleh: FRANCISKA ANISTIYATI

D0206054

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Motto:

If you can dream it, you can do it (Walt Disney)

Persembahan:

Untuk Bapak, Ibu dan Mas Ulik

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih, karena hanya dengan kehendak-Nya, skripsi berjudul PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS) telah terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini dilatarbelakangi oleh minat Penulis pada kajian perempuan khususnya di bidang media. Ada pun secara khusus, buku telah menginspirasi Penulis untuk menyusun skripsi ini. Buku tersebut memaparkan data bahwa jumlah jurnalis perempuan di Indonesia begitu sedikit. Dari situ Penulis menjadi tertarik untuk mengetahui mengapa hanya sedikit perempuan yang tertarik menjadi jurnalis. Sebagai penelitian komunikasi, Penulis kemudian membatasi permasalahan ini dalam bingkai konsep persepsi.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan pertolongan baik moril maupun material dari berbagai pihak. Atas selesainya skripsi ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berbaik hati memberikan dukungan:

1. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D, selaku Dekan FISIP UNS sekaligus Ketua Panitia Ujian Skripsi Penulis. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan skripsi ini.

2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS sekaligus pembimbing skripsi Penulis, terima kasih untuk setiap diskusi yang mencerahkan. Terima kasih pula telah mengajari Penulis tentang arti kesabaran dan ketekunan. Penulis yakin, kehadiran Ibu dalam skripsi ini bukanlah sebuah kebetulan.

3. Mahfud Anshori, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Panitia Ujian Skripsi Penulis. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang membangun sehingga skripsi ini

menjadi lebih baik.

4. Drs. H. Dwi Tiyanto, SU selaku pembimbing Akademik Penulis. Terima kasih untuk motivasi yang diberikan.

5. Teman-teman Informan: Annisa Fitri dkk, Dian Erika dkk dan Ema Yuliani dkk, t

berhenti sebagai impian belaka.

6. Bapak Supriyono, Ibu MM. Suti Rahayu dan Mas Yoseph Kelik Prirahayanto, terima kasih karena telah bersabar, terima kasih untuk doa dan semangat yang terus mengalir. Semoga skripsi ini dapat menjadi alasan untuk tersenyum dan menghirup nafas yang dalam

7. Cosmas Irmawan Henry Asmanto, terima kasih telah menjadi sahabat, kakak dan partner yang setia.

8. Suki Family tercinta: Mutiara Oktaviani, Dara Narendra Dhuhita, Lopiana Sita Hirlawati, Tri Setyo Ariyanti, Galuh Anindhita, Wahyu Aji Putranto, Aditya Wisnu Wicaksana, Meggi Girbaldi, Freddy Kurniawan dan Yonatan

Satria Yudha. Terima kasih telah menjadi teman curhat mulai dari urusan remeh temeh hingga impian masa depan.

9. Saudara-saudariku seibu: Candra, Mas Fijar, Mbak Dhita, Era, Dewi, Mbak Elya, Aang, Asiska, Dinda. Kebersamaan dan perjuangan bersama kalian tak pernah terlupa teman. Sukses untuk kita semua,

10. Teman-teman Komunikasi 2006 yang baik hati: Cesil, Duo Arum, Fika, Nunung, Lalak dan semuanya saja, sukses untuk kita semua. Yang masih

berjuang semangat ya, kebersamaan dengan kalian akan menjadi kenangan indah di masa depan.

11. Bapak Argyo Dewantoto, terima kasih atas pinjaman buku-buku gender yang sangat bermanfaat.

12. Mas Budi, staff pendidikan, dan pihak-pihak yang tak dapat disebut satu per satu, terima kasih atas kebaikannya Penulis tak menutup mata bahwa sebagai pekerjaan manusia, skripsi ini

bukanlah pekerjaan yang sempurna. Oleh sebab itu Penulis membuka diri untuk setiap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, terima kasih.

Penulis

ABSTRAK

FRANCISKA ANISTIYATI, D0206054, PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS) Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta, 2012.

Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Bias gender yang cenderung merugikan perempuan masih mewarnai media di berbagai aspek mulai dari struktur organisasi, ritme kerja hingga berita yang dihasilkan. Rendahnya jumlah jurnalis perempuan dituding sebagai salah satu faktor pelestari maskulinitas media. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada laki-laki penganut prinsip kesetaraan gender, perjuangan keadilan bagi perempuan di media idealnya dipelopori oleh perempuan itu sendiri. Sebagaimana termaktup dalam rumusan jurnalisme sensitif gender, peningkatan jumlah jurnalis perempuan pun menjadi agenda mendesak dalam rangka menciptakan media yang lebih adil gender.

Tingginya harapan akan peningkatan partisipasi perempuan sebagai jurnalis pada perjalanannya harus terkendala oleh minat perempuan yang masih rendah. Kondisi ini patut dipertanyakan karena jurusan Ilmu Komunikasi yang merupakan pendidikan untuk mencetak praktisi media tengah dibanjiri peminat. Perlu pula untuk digarisbawahi bahwa mayoritas peminat jurusan Ilmu Komunikasi adalah perempuan. Disini Penulis melihat adanya kesenjangan antara perempuan yang berpotensi sebagai jurnalis dengan mereka yang kemudian memutuskan menjadi jurnalis.

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diangkat pada penelitian ini yaitu bagaimana persepsi mahasiswi terhadap profesi jurnalis serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi. Ada pun subjek penelitian ini yaitu Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS dengan pertimbangan aksesbilitas.

Untuk menjawab persoalan tersebut, Penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan postpositivistik rasionalistik. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Untuk pengumpulan data digunakan metode wawancara mendalam (indepth interview). Selanjutnya dengan menggunakan teknik purpossive sampling diperoleh 18 orang informan penelitian. Untuk validitas data diuji melalui teknik triangulasi sumber (data) dan analisa data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman.

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat dua tipe persepsi yang muncul mengenai profesi jurnalis yaitu persepsi idealistis dan persepsi realistis.

Persepsi idealistis terjadi pada mahasiswi semester awal dimana jurnalis menjadi pekerjaan ideal bagi mereka. Menurut mereka profesi ini menjanjikan berbagai kesenangan diantaranya seperti jalan-jalan dan menyalurkan hobi menulis. Namun, minat tersebut mengalami pergeseran dan munculkan persepsi realistis. Beberapa mahasiswi menjadi kurang tertarik menjadi jurnalis karena menurut mereka pekerjaan ini terlalu berat untuk perempuan, diantaranya dalam hal jam kerja yang tidak tentu, lokasi kerja di lapangan dan juga sisi keamanan. Pergeseran minat tersebut terjadi setelah mereka mengikuti mata kuliah profesi dan ada program Kuliah Kerja Komunikasi (K3).

Terbentuknya persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis kiranya sesuai dengan teori Pembelajaran Sosial yang disampaikan oleh Osgood. Secara terus menerus mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS menghimpun informasi mengenai profesi sebagai jurnalis dan selanjutnya menunjukkan sikap/perilaku terhadap profesi tersebut. Penulis melihat adanya pengaruh negatif yang kuat dari lingkungan dan kurangnya motivasi pada diri perempuan untuk menjadi jurnalis. Secara umum budaya patriarki telah menghambat perempuan untuk menjadi jurnalis.

ABSTRACT

WOMEN AND

JOURNALIST (Case Study about Young Women Perception toward Journalist in Undergraduate Female Students on Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta), Paper, Communication Science Majors, Social and Political Science Faculty, Surakarta Sebelas Maret University (FISIP UNS), 2012

Mass media is regarded as masculine world. Gender bias still colors the media in many aspects such as the organization structure, work rhythm, and the presenting of sensitive gender news. The low number of female journalist is regarded as one of the supportive factor of media masculinity. Without decreasing the respect to men

must be started by women theirselves. The improvement of female journalist number is expected can give more fair perspective dealing with gender in media, such as formulated in sensitive gender journalism.

fact should face any obstacles because women have low interest to be a journalist. This condition must be asked because people who are interested in Communication Department Education increases recently and one thing that must be underlined is woman have been the majority of people who are interested in this department. The writter see that there was gap between women who are potential as journalist and women who decide to be a journalist.

Based on the statement above, the problem raised in this research is how of this research are Undergraduate Female Students of Communication Department

of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta with the accessibility consideration.

To answer that problem, researcher uses qualitative research methodology with postpositivism-rasionalism approach. Meanwhile, the writter used case study as

a method research. Meanwhile the data collection uses in depth interview. Purposive sampling technique is used to choose eighteen research informants. The validity of the data is tested through source triangulation technique (data) and the data analysis uses Miles and Huberman Interactive model.

From the result of research, the writer found that there was two type perception of journalist, idealistic and realistic perception. Idealistic perception happened in early time study of Undergraduate Female Students of Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta. Journalisr was their ideal work type. They thought that journalist was so interesting in many thing such as a chance to have traveling and practice hobby of writting. But From the result of research, the writer found that there was two type perception of journalist, idealistic and realistic perception. Idealistic perception happened in early time study of Undergraduate Female Students of Communication Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta. Journalisr was their ideal work type. They thought that journalist was so interesting in many thing such as a chance to have traveling and practice hobby of writting. But

The perception of Female Students to journalist was happen through social learning process by Osgood . They try to collect information about journalist to get final evaluation that become the basic of their attitude exchange. The writer sees there is a strong negative impact from the environment and the lack of motivation of

for women to be a journalist.

B. Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi ...........................................

154

1. Ideal Type .......................................................................................

155

2. Transition Type ..............................................................................

173

3. Real Type ........................................................................................

181

C. Persepsi Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap Profesi Jurnalis ...........................................................

195

1. Persepsi Idealistis ...........................................................................

196

2. Persepsi Realistis ............................................................................

213

3. Pengaruh Significant Others ...........................................................

228

BAB IV. PENUTUP ......................................................................................

235

A. Kesimpulan ..........................................................................................

235

B. Saran ....................................................................................................

240

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

242

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I.1 Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di

Tabel I.2 Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan

6 Tabel I.3 Jumlah Reporte

7 Tabel I.4 Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format

9 Tabel II.1 Daftar Mata Kuliah Semester 1

77 Tabel II.2 Daftar Mata Kuliah Semester 2

77 Tabel II.3 Daftar Mata Kuliah Semester 3

78 Tabel II.4 Daftar Mata Kuliah Semester 4

78 Tabel II.5 Daftar Mata Kuliah Semester 5

78 Tabel II.6 Daftar Mata Kuliah Semester 6

79 Tabel II.7 Daftar Mata Kuliah Semester 7

79 Tabel II.8 Daftar Mata Kuliah Semester 8

79 Tabel II.9 Daftar Mata Kuliah Pilihan

Tabel II.10Jumlah Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi

FISIP UNS Akademik 2010/2011

85 Tabel II.11Daftar Informan

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I.1 Model Komunikasi Riley

22 Gambar I.2 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman

71

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan I.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut

Robbins dan Judge

32 Bagan I.2 Kerangka Berpikir

58

Bagan II.1 Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS .... 73 Bagan III.1 Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi

153

Bagan III.2

193 Bagan III.3 Pergeseran Pilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi

193 Bagan III.4 Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi

194

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Kepekaan media terhadap persoalan-persoalan gender dianggap masih kurang dan cenderung merugikan perempuan. Mengutip pernyataan Marwah Daud Ibrahim dalam Ibrahim dan Suranto, sejauh ini media dianggap masih melanggengkan stereotip yang merugikan perempuan. Perempuan disosialisasikan sebagai makhluk yang pasif, tergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama pasrah

melihat dirinya sebagai simbol seks 1 .

Bias gender di media pertama-tama dapat dilihat dari bagaimana surat kabar, majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri perempuan. Mari kita sejenak melihat fenomena perempuan dalam berita kejahatan dan kriminal.

3 . Tanpa membaca berita lebih

lanjut, dari judul dapat ditangkap bahwa korban dari tindak pelecehan seksual adalah

1 Marwah Daud Ibrahim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1998), hlm.107

2 eptember 2010

3 Ahmad Tarmizi, - 12 Desember 2010 3 Ahmad Tarmizi, - 12 Desember 2010

Selanjutnya, ada beberapa kata yang sering muncul dalam berita kriminal khususnya berita perkosaan antara lain sebagai berikut: dsb. Secara tidak langsung korban (perempuan) justru semakin dieksploitasi dengan pilihan-pilihan kata di berita. Sebaliknya, sosok pelaku (laki-laki) yang semestinya

mereka lakukan. Dalam kasus ini lengkaplah sudah derita perempuan. Sudah jatuh masih tertimpa tangga. Sudah menjadi korban yang menanggung beban psikologis masih diberitakan tanpa rasa simpati yang semakin menambah luka.

Menjadikan berita kriminal sebagai bukti dari bias gender di media mungkin terlalu ekstrim. Ada baiknya kita mencoba mengamati berita-berita regular tentang perempuan yang dimuat dalam rubrik atau media khusus perempuan. Hasilnya, menurut Debra H. Yatim selama ini media perempuan cenderung menyajikan berita atau artikel yang bersifat domestik yaitu menyangkut rumah tangga, mode, perawatan, keluarga dan anak, serta profil tokoh perempuan yang berhasil pada

bidang-bidang tersebut 4 . Disini dapat dirasakan bagaimana media mengkonstruksikan peran perempuan sebagai penguasa wilayah domestik.

4 Debra H Yatim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 137

Sekadar sebagai pembelaan terhadap media, kerap dikatakan bahwa media tidak lebih, tidak kurang adalah cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat. Namun, pembelaan itu ditangkis oleh Debra H. Yatim dengan mengajukan sudut pandang lain bahwa media memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Selain menjadi cermin dari realitas, media sebenarnya juga menciptakan realitas (realitas

media) 5 . Saat sebuah berita dianggap kurang sensitif gender, melalui kaca mata Debra

H Yatim penyebabnya dapat dirunut dari dua sumber: pertama, kenyataan di masyarakat memang demikian, atau kedua, subjektivitas wartawan dan editorlah yang

bermain.

Kiranya berita bias gender dapat diminimalisir jika didasari oleh kesadaran akan kemungkinan kedua. Nursyahbani Katjasungkana dalam sebuah artikel pernah menuliskan harapannya untuk gerakan kesetaraan gender, yang tentunya ini relevan juga jika dihadapkan pada bias gender yang masih mewarnai media:

eputusan,

mungkin akan lebih cepat mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki

Pada kenyataannya, media masih sepi dari campur tangan perempuan. Jumlah redaktur perempuan di media sejauh ini masih minim. Menurut hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) dan Ford Foundation tahun 1998, pada sembilan surat kabar di Jawa (Kompas, Republika, Suara

5 Ibid, hlm. 134

6 Tempo (18-24 Desember 2006) hlm.93

Pembaharuan, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos) maksimal baru terdapat dua jurnalis perempuan yang

menduduki jabatan sebagai redaktur desk dan bidang 7 .

Ada pun desk-desk yang diampu oleh para redaktur perempuan di kesembilan surat kabar itu antara lain Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Minggu dan Feature. Sejauh ini belum ada perempuan yang pernah menduduki posisi puncak sebagai redaktur desk metro, kriminal apalagi sebagai pemimpin redaksi. (Lihat Tabel I.1).

Tabel I.1

Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di Jawa

No

Media

Redaktur Desk/ Bidang Lunak

Keras

1 Kompas

2 Suara Pembaharuan

3 Republika

4 Pos Kota

5 Pikiran Rakyat

6 Kedaulatan Rakyat

7 Suara Merderka

8 Jawa Pos

9 Surabaya Post

0 0 Jumlah

Sumber: Media & Gender, 1998

7 Ashadi Siregar dkk (ed), Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia. (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 45-61

Di lingkup yang lebih sempit, Dalam struktur kepengurusan PWI Cabang Surakarta masa bakti 2006-2010 hasil Konferensi Cabang 2 Desember 2006 terdapat kenderungan sama. Dari 14 pengurus, hanya dua orang perempuan yang masuk dalam struktur organisasi PWI Cabang Surakarta. Itu pun masih menjadi orang nomer dua, masing-masing sebagai Wakil Sekretaris II dan Wakil Ketua Seksi Seni, Budaya dan

Pariwisata 8 .

Melalui stuktur keorganisasian, maskulinitas media begitu terasa melalui pembagian kerjanya yang bersifat sex-line. Laki-laki ditempatkan pada bidang kerja keras (hard) seperti bidang politik, ekonomi, hukum dan kriminal serta olahraga. Sedangkan perempuan ditempatkan pada bidang yang lunak (soft) seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, pariwisata, budaya, dan hiburan serta ilmu pengetahuan

dan teknologi 9 . Terdapat sebuah kecenderungan bahwa perempuan masih dianggap sebagai orang nomer dua di media.

Lemahnya bargaining position maupun peran strategis perempuan di media menjadi tak mengherankan karena jumlah jurnalis yang ada di industri media selama ini ternyata didominasi oleh laki-laki. Data tahun 1998 menunjukkan masih adanya ketimpangan yang cukup jauh antara proporsi jurnalis perempuan dan laki-laki. Data sembilan surat kabar harian besar yang terbit di Jawa yakni; harian Kompas, Suara Pembaharuan, Republika, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara

8 Sumber: Data PWI Cabang Surakarta 9 Siregar, Op.Cit. hal.45

Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Pos menunjukkan bahwa rata-rata hanya terdapat

14 orang jurnalis perempuan dari total 129 orang jurnalis yang bekerja, atau sekitar

11 persen saja. (Lihat pada Tabel I. 2) 10 .

Tabel I. 2

Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan Surat Kabar Harian

No

Media

Laki-laki Perempuan

2 Suara Pembaharuan

4 Pos Kota

5 Pikiran Rakyat

6 Kedaulatan Rakyat

7 Suara Merdeka

8 Jawa Pos

9 Surabaya Pos

1.161 10,94 Sumber: Media dan Gender, 1999

Kondisi yang sama juga terjadi di industri televisi. Dari Lima stasiun televisi swasta di Indonesia yaitu SCTV, RCTI, ANTV, IVM dan TPI (sekarang MNCTV),

rata-rata perbandingan reporter perempuan dan laki-laki adalah 1: 2 11 . Perbandingan

itu akan berubah nilainya jika seluruh kameramen masuk hitungan. Angka

10 Ibid. hlm.14 11 Priyo Soemandoyo, Wacana Gender dan Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan

Televisi Swasta, (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 128 Televisi Swasta, (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 128

perempuan (Lihat Tabel I.3). Tak berbeda dari media cetak, industri televisi pun membagi peran perempuan dan laki-laki dalam penugasan. Kebanyakan perempuan berada di depan layar sedangkan laki-laki di balik layar dengan spesifikasi mengoperasian alat.

Tabel I. 3

Jumlah Reporter dan Kameramen televisi Swasta

No

Jenis Pekerjaan

SCTV RCTI ANTV IVM TPI Jmlh

1 Reporter Laki-laki

2 Reporter perempuan

3 Kamrmn laki-laki

4 Kamrmn perempuan

5 Presenter laki-laki

6 Presenter perempuan

85 54 64 413 Sumber: Soemandoyo:1998

Dalam lingkup yang lebih luas, Data PWI tahun 1998 tentang data jumlah wartawan di Indonesia menampilkan kecenderungan yang sama. Dari 4.687 orang wartawan di Indonesia, diperoleh data bahwa jumlah wartawan perempuan hanya 461

orang atau sekitar 10 persen 13 .

12 ibid 13 Nur Iman Subono,

, Jurnal Perempuan, Nomor. 28, Maret (2003), hlm.57

Adanya kecenderungan berita yang merugikan perempuan, sedikitnya redaktur perempuan hingga rendahnya jumlah jurnalis perempuan, menjadi fakta dari bias gender di media massa yang terjadi secara sistematis. Tak berlebihan jika Debra

H. Yatim kemudian menyebut media massa selama ini digarap, disunting, dan

diedarkan oleh pria untuk pria 14 .

Peningkatan jumlah jurnalis perempuan kemudian mengemuka sebagai salah satu solusi untuk memutus mata rantai bias gender di media. Hal itu didukung oleh Ana Nadhya Abrar yang menyatakan bahwa dengan tanpa mengurangi penghargaan pada jurnalis laki-laki yang menganut prinsip kesetaraan gender, pelopor kesetaraan

gender di media tetaplah perempuan 15 . Masih rendahnya jumlah jurnalis perempuan

mengkondisikan peran perempuan yang masih terbatas dan untuk memperbesar kekuatan perempuan di media maka dibutuhkah jumlah jurnalis perempuan yang lebih banyak.

Harapan akan adanya peningkatan jumlah jurnalis perempuan di Indonesia cukup terpupuk oleh pesatnya pertumbuhan industri media belakangan ini. Sejak era

booming pers 16 , Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999 mencatat fenomena yang

14 Ibrahim, Op.Cit, hlm.139 15 Ana Nadhya Abrar

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm. 384

16 Mursito BM, Memahami Institusi Media:Sebuah Pengantar, (Surakarta:Lindu Pustaka & Spikom,2006), hlm.190

Sekurang-kurangnya di Indonesia telah terjadi dua kali ledakan pertumbuhan industri pers (booming pers). Pertama tahun 1980-an ketika TVRI dilarang beriklan, sementara televisi swasta belum beroperasi. Akibatnya pers menjadi ladang utama untuk beriklan dan semakin banyaklah media baru yang muncul. Kedua, terjadi ketika Orde Baru tumbang dan mulai memasuki babak baru kehidupan Sekurang-kurangnya di Indonesia telah terjadi dua kali ledakan pertumbuhan industri pers (booming pers). Pertama tahun 1980-an ketika TVRI dilarang beriklan, sementara televisi swasta belum beroperasi. Akibatnya pers menjadi ladang utama untuk beriklan dan semakin banyaklah media baru yang muncul. Kedua, terjadi ketika Orde Baru tumbang dan mulai memasuki babak baru kehidupan

hanya bertumbuh 30 persen 17 (Lihat Tabel I.4).

Tabel I.4

Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format

No Jenis penerbitan pers

Pra reformasi

Era reformasi

Jumlah

1 Surat Kabar

1.536 Sumber: Direktorat Pembinaan Pers 1999

Industri pertelevisian pun tak mau kalah. Menjelang tahun 2000 muncul hampir secara serentak lima stasiun televisi nasional baru. Stasiun televisi tersebut

antara lain; Metro, Trans Tv, Tv 7 (sekarang Trans 7), Lativi (sekarang Tv One), dan Global 18 . Pers semakin diramaikan pula oleh munculnya media-media lokal 19 .

Sampai dengan tahun 2005 tercatat pertumbuhan televisi lokal mencapai angka 86 stasiun, tersebar di lebih dari 50 kota besar dan di hampir semua provinsi di

Indonesia 20 .

politik yang dikenal dengan era reformasi. Lonjakan pendirian penerbitan pers terjadi karena pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 17 18 Ibid, hlm.192

www.jiastisipolcandradimuka.blogspot.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 29 WIB 19 http://www.mercubuana.ac.id/file/modul/CIPTONOSETYOBUDI-TEKNOLOGIKOMUNIKASI diakses

pada 9 Desember 2011 pukul 06.53 WIB 20 www.atvli.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 25 WIB

Fenomena pertumbuhan media cetak dan televisi di atas dapat menjadi pijakan untuk membayangkan betapa industri media di Indonesia sejak reformasi 1998 mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kondisi itu menyiratkan adanya peluang kerja di industri media salah satunya sebagai jurnalis, baik itu untuk laki-laki maupun perempuan.

Idealnya, booming pers dapat menjadi peluang bagi perempuan untuk tampil sebagai jurnalis. Namun pada kenyataannya profesi ini belum cukup berhasil menarik

minat perempuan. Data tahun 2006 menunjukkan kondisi yang tak jauh berbeda dari tahun 1998. Mengacu Laporan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI tahun itu, jumlah jurnalis laki-laki adalah 11.603 orang sedangkan jurnalis perempuan hanya

2.031 orang atau sekitar 15 persen 21 .

Permasalahan mengenai rendahnya jumlah jurnalis perempuan jika digali ke akar pada akhirnya akan sampai pada institusi pendidikan tinggi. Hafied Cangara dalam sebuah artikel mengatakan: merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian komunikasi yang selama ini banyak dikaitkan dengan media, kebijakan komunikasi (communication policies), isi (content), dan juga para pekerja komunikasi itu sendiri (wartawan, presenter, public

relations officer, dan juga para dosen komunikasi ), 22 . Dengan kata lain saat kita

21 Laporan Kementrian Komunikasi dan Informasi RI 2006 22 Hafied Cangara,

dalam Farid

Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 30 Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 30

Di Indonesia, pendidikan Ilmu Komunikasi mengalami pertumbuhan yang cukup bagus. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, pada tahun 2011 jumlah pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia telah mencapai 199 perguruan tinggi negeri maupun swasta, baik dalam bentuk fakultas, jurusan/departemen, STIKOM, politeknik maupun dalam bentuk program studi (prodi) yang dicangkokkan di bawah jurusan non-komunikasi. Besarnya jumlah lembaga pendidikan komunikasi ini menempatkan ilmu komunikasi di Indonesia pada posisi ketiga program studi yang paling banyak ditawarkan setelah program studi Ilmu Komputer (sekitar 500-an) sebagai peringkat pertama, dan program studi

akuntansi (sekitar 300-an) sebagai peringkat kedua 23 .

Pertumbuhan itu tak lepas dari tingginya minat calon mahasiswa baru untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari tahun ke tahun peminat jurusan Ilmu Komunikasi meningkat sejalan dengan pertumbuhan media massa belakangan ini. Katakanlah pada SNMPTN tahun 2010, Ilmu Komunikasi menempati urutan pertama sebagai program studi dengan peminat tertinggi. Disusul kemudian prodi Pendidikan Dokter sebagai peminat tertinggi kedua, dan prodi Manajemen dengan peminat

tertinggi ketiga 24 .

23 Ibid, hlm. 32 24 www.unpad.ac.id, dikases pada 13 Januari 2011 pukul 11:15 WIB

Tingginya minat untuk mendaftar di jurusan Ilmu Komunikasi sudah tak terbantahkan. Lantas bagaimana dengan input mahasiswa Ilmu Komunikasi sendiri? Jika dipilah berdasarkan jenis kelaminnya, ternyata diperoleh fakta bahwa komposisi mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia rata-rata di dominasi oleh perempuan. Lock dalam Utari & Nilan menyebutkan bahwa perbandingan antara perempuan dan laki-laki yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi di

Indonesia kurang lebih 7: 3 25 .

Kondisi yang sama berlaku pula di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Turun temurun jumlah mahasiswi lebih banyak dari mahasiswa. Sebagai contoh pada tahun ajaran 2010/2011. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Pendidikan FISIP UNS tahun 2010, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang masih aktif sampai saat itu sebanyak 410 orang, yang terdiri dari 260 orang mahasiswi dan

150 orang mahasiswa 26 .

Banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi dapat dibaca pula sebagai peluang semakin banyaknya perempuan yang akan masuk dalam industri komunikasi salah satunya sebagai jurnalis. Namun, input mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi yang cukup besar ternyata tidak menjamin terpenuhinya pekerja di bidang komunikasi. Sebagai contoh yang terjadi pada mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005. Berdasarkan catatan alumni angkatan

25 The Lucky Few: Female Graduates of Communication Studies in the Indonesian Media Industry

Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010 Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010

pendidikan dan pemerintahan 27 .

Dari secuil data di atas nampak adanya keengganan alumni jurusan Ilmu Komunikasi untuk menjadi jurnalis. Secara keilmuan tentunya mereka mampu, namun mengapa mereka justru lebih tertarik pada bidang pekerjaan lain bahkan sampai menyeberang ke bidang kerja disiplin lain. Kiranya keengganan ini menjadi kondisi yang perlu digali lebih dalam, mengapa perempuan tidak ingin menjadi jurnalis. Pengalaman subjektif perempuan menjadi kunci jawabannya.

Fenomena ini menarik untuk diteliti karena rendahnya jumlah jurnalis perempuan akhir-akhir ini mulai diperbincangkan terkait dengan agenda jurnalisme humanitarian khususnya jurnalisme sensitif gender. Kehadiran jurnalis perempuan dirasa perlu untuk menciptakan iklim hubungan gender yang lebih seimbang dan adil di media. Namun sayang sekali harapan yang digantungkan pada jurusan Ilmu Komunikasi untuk memasok jurnalis-jurnalis perempuan yang handal tidak membuahkan hasil yang signifikan. Penelitian ini kemudian difokuskan pada konsep persepsi. Dalam konteks penelitian komunikasi, penelitian ini termasuk sebagai

27 Data Base Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2005 27 Data Base Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2005

Sebagai mahasiswa komunikasi, penelitian ini menarik karena dapat mempelajari bagaimana sebuah pesan dimaknai sehingga berpengaruh terhadap sikap/perilaku manusia. Penelitian ini melihat komunikasi sebagai sebuah proses namun yang dilihat bukanlah keseluruhan prosesnya melainkan terfokus pada efek yang ditimbulkan oleh pesan. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif. Adapun metode penelitian ini menerapkan studi kasus.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

28 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.10

1. Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis

D. MANFAAT PENELITIAN

Penulis berharap, penelitian ini dapat bermanfaat bagi :

1. Perempuan yang ingin berprofesi sebagai jurnalis, Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai realitas profesi sebagai jurnalis sehingga para perempuan dapat mempersiapkan diri lebih matang baik dalam hal pengetahuan, keterampilan maupun kesiapan mental.

2. Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi

Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi terkait salah satu tujuan akademis di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu mencetak praktisi di bidang media. Semoga penelitian ini menjadi awal dari evaluasi kurikulum pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi khususnya terkait dengan pendidikan jurnalistik.

3. Pemerhati media dan gender

Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran kesadaran gender di kalangan mahasiswi, untuk selanjutnya menyelenggarakan penelitian atau membuat program-program yang semakin memperkaya kajian media dan gender

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

1.1. Definisi Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, manusia akan terus berinteraksi dengan sesamanya. Selama itu pula manusia akan berkomunikasi. Menurut Habermas dalam Bungin, komunikasi adalah inti dari interaksi sosial 29 . Pemikiran itu kemudian disempurnakan John Fiske dengan mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan 30 . Berpijak pada definisinya, Fiske kemudian mengelompokkan komunikasi ke dalam dua mazhab yaitu Mazhab Proses dan Mazhab Semiotika.

Mazhab Proses melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Bagaimana pengirim-penerima

mengkonstruksi

pesan

(encode) kemudian menerjemahkannya (decode) dan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi merupakan fokus dari mazhab ini. Mazhab ini menaruh ketertarikan pada efisiensi dan akurasi komunikasi yaitu saat komunikasi mampu mempengaruhi perilaku atau state of mind orang lain. Komunikasi akan dianggap gagal, apabila efek yang terjadi berbeda dari atau lebih kecil daripada

yang diharapkan 31 .

29 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Cet.ke-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007)hlm.26

30 John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 8 31 Ibid, hlm.8-9

Di sisi lain, Mazhab Semiotika melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Mazhab ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Berbeda dengan Mazhab Proses, Mazhab Semiotika tidak memandang

kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi 32 . Antara Mazhab Proses dan Semiotika terdapat beberapa perbedaan yang

signifikan. Pertama fokus studi: Mazhab Proses memusatkan diri pada perilaku atau tindakan komunikasi, sedangkan Mazhab Semiotika lebih fokus pada

karya komunikasi 33 . Kedua pendekatan keilmuan: Mazhab Proses cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi dan sosiologi sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni 34 . Dan ketiga sifat pesan: menurut Mazhab Proses pesan bersifat statis. Artinya, pesan yang disampaikan adalah sama, tidak berubah. Yang dinamis adalah cara penyampaiannya. Sebaliknya menurut Mazhab Semiotika pesan bersifat dinamis. Mazhab ini lebih fokus pada bagaimana pesan dimaknai berdasarkan referensi setiap orang yang tentunya berubah-ubah sesuai dengan perkembangan kerangka referensi.

Mengacu pada pemikiran Fiske di atas, kiranya penelitian ini termasuk dalam kategori mazhab komunikasi yang pertama yaitu komunikasi sebagai

32 Ibid, hlm.9 33 Ibid 34 Ibid 32 Ibid, hlm.9 33 Ibid 34 Ibid

Harold Lasswell dalam karyanya yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society mengutarakan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan komunikasi sebagai proses adalah dengan menjawab pertanyaan:

Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? 35 Jawaban dari pertanyaan itu tidak lain adalah komponen-komponen komunikasi yaitu: komunikator (orang yang menyampaikan pesan), pesan (pernyataan yang didukung oleh lambang), komunikan (orang yang menerima pesan), media (sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya) dan efek (dampak sebagai pengaruh dari pesan). Jadi berdasarkan Paradigma Lasswell, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan

efek tertentu 36 . Menurut Effendy, setidaknya terdapat tiga tingkatan efek yang diharapkan dalam proses komunikasi yaitu: efek kognitif, efek afektif dan efek behavioral . Efek kognitif yaitu saat komunikan menjadi tahu atau intelektualitasnya meningkat; efek afektif yaitu saat komunikan tergerak hatinya

35 Effendy,Op.cit. hlm.10 36 Ibid 35 Effendy,Op.cit. hlm.10 36 Ibid

tergerak untuk mengubah perilaku 37 .

Idealnya, komunikasi disebut efektif bilamana ia menghasilkan efek behavioral . Hal itu seperti didefinisikan oleh Hovland, Janis dan Kelly dalam Rakhmat bahwa komunikasi adalah proses dimana individu menyalurkan rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain (communication is the process by which an individual transmits stimuli to modify the behavior of the other

individuals) 38 . Sebagai proses, kelima komponen komunikasi yang terkandung dalam paradigma Lasswell mutlak harus ada dalam setiap fenomena komunikasi. Namun, penelitian ini tidak berniat mempelajari proses komunikasi dari awal dan lebih fokus pada efek yang terjadi pada komunikan (perempuan). Menurut

Lasswell, penelitian ini disebut sebagai studi khalayak (audience analysis) 39 . Ada pun berdasarkan jumlah dan karakter komunikannya, penelitian ini termasuk

antarpribadi (interpersonal communication ). Menurut Ruesch dan Bateson dalam Littlejohn yang kemudian dikutip oleh Liliweri, komunikasi antarpribadi yaitu relasi individual dengan orang lain dalam konteks sosialnya. Melalui proses ini individu menyesuaikan dirinya dengan orang lain lewat peran yang disebut transmitting dan

37 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Cet. ke-6, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.7

38 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 31 39 Effendy. Loc.Cit 38 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 31 39 Effendy. Loc.Cit

merupakan proses penerimaan pesan-pesan 41 .

Messege reception merupakan proses aktif yang terdiri dari tiga elemen yaitu: seleksi, interpretasi dan memori 42 . Seleksi yaitu bagaimana seseorang memilih suatu pesan di antara banyaknya pesan yang ada di sekitarnya. Interpretasi yaitu bagaimana seseorang memaknai pesan yang ia terima dan memori adalah bagaimana seseorang mengorganisasikan pesan dalam sistem

ingatan 43 . Menurut Littlejohn, proses messege reception mengarah pada tiga aktivitas yang saling berhubungan yaitu interpretation, organization dan judgement . Interpretation yaitu bagaimana individu memaknai suatu pesan, mencoba mengetahui maksud dari pesan, mencari sebab akibat. Organization yaitu internalisasi pesan dalam sistem kepercayaan dan sikap. Sedangkan

judgement adalah penilaian berdasarkan informasi 44 .

Penelitian ini sendiri lebih fokus pada aktivitas pertama yaitu interpretation , sebagai dasar dari persepsi khalayak terhadap profesi sebagai

40 Alo Liliweri, Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 3 41 Ibid

42 Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Communication and Human Behavior, 4 th

ed. (MA: Viacom Company, 1998), hlm. 85

43 Ibid, hlm. 88-92 44 Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, 7 th

ed (NY: Wadsworth, 2001), hlm. 118 ed (NY: Wadsworth, 2001), hlm. 118

1.2. Teori Pembelajaran Sosial ( Sosial Learning Theory)

Penelitian ini menggunakan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory ) yang disampaikan oleh Charles Osgood. Teori ini berpijak pada model

komunikasi paling sederhana yaitu Stimulus-Respon (S-R) yang berasumsi bahwa individu akan memberi respon terhadap rangsangan yang ada di

sekitarnya 46 . Model komunikasi S-R kemudian dikoreksi oleh John W. Riley dan Mathilda W. Riley dalam tulisannya yang berjudul Mass Communication and the Social System . Menurut mereka, komunikan dalam menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak langsung bereaksi begitu saja. Ada faktor-faktor di luar dirinya yang turut mempengaruhi dan bahkan

mengendalikan aksi dan reaksinya terhadap suatu pesan yang diterimanya 47 . Faktor-faktor yang dimaksud terutama berkaitan dengan pesan dan kelompok primer (misalnya keluarga) dan kelompok lainnya yang menjadi rujukan (referensi) dari si komunikan. Nilai-nilai yang berlaku pada kelompok primer dan kelompok rujukan ini lah yang lazimnya mempengaruhi komunikan

45 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003 ), hlm. 151

46 Littlejohn, Op.Cit, hlm. 118 47 Fajar, Op.Cit, hlm. 107-108 46 Littlejohn, Op.Cit, hlm. 118 47 Fajar, Op.Cit, hlm. 107-108

menyimpang dari nilai-nilai kelompok lingkungannya 48 . Berikut adalah ilustrasi dari model komunikasi Riley.

Gambar I. 1

Model Komunikasi Riley (1959) 49

Teori Pembelajaran Sosial membicarakan tentang bagaimana faktor lingkungan dan kognitif berinteraksi untuk mempengaruhi pemahaman dan perilaku seseorang. Teori yang dicetuskan oleh Albert Bandura ini terfokus pada pembelajaran dalam konteks sosial. Seseorang mempelajari suatu konsep

dari sesamanya melalui proses observasi, imitasi dan mengamati model 50 . Teori ini menganggap media massa sebagai agen sosialisasi yang pertama dalam komunikasi di samping keluarga, guru di sekolah dan sahabat

48 Ibid 49 http://extension.missouri.edu , Developing Effective Communications, diakses pada 28 april 2012

pukul 21:18

50 http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm , diakses pada 2 Mei 2012 pukul 13.00 WIB 50 http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm , diakses pada 2 Mei 2012 pukul 13.00 WIB

memberikan pengaruh terhadap perilaku individu 52 .

Teori Pembelajaran Sosial mengukur makna dengan menggunakan semantic differential dimana makna dapat ditunjukkan dengan kata sifat. Terdapat dua kata sifat yang saling berlawanan 53 . Kata sifat dipasangkan secara

berlawanan seperti baik-buruk, tinggi-rendah, lambat-cepat 54 .

Dalam proses belajar sosial terdapat empat tahapan yaitu perhatian (attention process), retensi (retention process), reproduksi motor (motor reproduction motor ) dan motivasional (motivational process) 55 . Perhatian. Seseorang pertama-tama perlu untuk melihat model yaitu berupa perilaku atau tindakan orang lain yang ingin ditiru

Retensi. Hasil pengamatan kemudian akan disimpan dalam ingatan untuk digunakan di kemudian hari saat menghadapi situasi yang sama

51 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 282 52

Morisan, Psikologi Komunikasi, (Bogor: Ghalia, 2010), hlm. 242 53 Littlejohn, Op.Cit, hlm. 120

54 Morisan, Op.Cit, hlm. 80 55 Effendy, Op.Cit. hlm. 282-283

Reproduksi tindakan. Pada tahap praktek, seseorang dituntut untuk bisa mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam tindakan nyata. Motivasi. Perilaku meniru orang lain sangat ditentukan oleh faktor

motivasi yang dimiliki orang yang ingin meniru 56 .

Menurut teori ini, terbentuknya perilaku adalah perpaduan dari sejumlah kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam diri khalayak yaitu faktor internal dan

faktor situasional atau faktor eksternal 57 .

1. Faktor Internal

Kemampuan memahami pesan sangat tergantung pada pengetahuan atau pengalaman. Proses belajar tidak lepas dari kemampuan berpikir (kognitif) seseorang. Berpikir berarti menganalisa, mengabstraksi dan seterusnya atau merangkaikan tanggapan yang satu dengan tanggapan yang

lain. Hal itu disebut dengan field of experience 58 .

Dr. Astrid Susanto menyebut lapangan pengalaman itu sebagai pedoman individu yang dibuat atas dasar hal yang pernah dialaminya sendiri. Segala sesuatu yang pernah dialami menjadi pedoman. Kemudian pengalaman-pengalaman orang lain yang tidak dialaminya, tetapi menjadi pedoman dalam lingkungan sosialnya atau masyarakat, dan diambil juga

sebagai pedomannya disebut frame of reference atau kerangka referensi 59 .

56 Morisan, Op.Cit, hlm. 246 57 Fajar, Op.Cit, hlm.170 58 Ibid, hlm. 171 59 Ibid

Dalam kerangka referensi ini segala hal-hal baru, ide baru, gagasan baru atau pengalaman-pengalaman baru akan diletakkan, tiap kali pengalaman-pengalaman baru itu datang. Seseorang melakukan penyesuaian (enactive) dengan mengkonfrontasi lapangan pengalaman dan kerangka referensi lama dengan baru. Bila sesuai, pesan itu akan diterima, dan bila

tidak, akan ditolaknya 60 .

Skinner menemukan bahwa komunikasi akan berlangsung selama expectation of reward harapan akan memperoleh keuntungan dari pelaksanaan komunikasi. Keuntungan atau reward yang diharapkan bisa merupakan pemenuhan

kebutuhan orang dalam bentuk: personal need atau social needs 61 .

expectation of reward

Motif adalah suatu pengertian mengenai keadaan mobilisasi energi dengan suatu tujuan 62 . Motif menerangkan mengapa tingkah laku terarah kepada suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, motif merupakan dorongan dari dalam diri yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas guna mewujudkan tujuan tertentu.

Motif-motif yang dikemukakan para tokoh seperti: W.I Thomas dan Znaniecki, David McCelland, Abraham Maslow dan Melvin H. Marx tidak

60 Morisan, Op.Cit, hlm. 244 61 Fajar, hlm. 173

62 Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung: Diponegoro, 1978), hal.38 62 Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung: Diponegoro, 1978), hal.38

Motif Ingin Tahu. Kecenderungan setiap orang untuk mengerti, menata

dan menduga. Motif Kompetensi. Keinginan membuktikan kemampuan mengatasi

persoalan hidup. Motif Cinta. Keinginan untuk memperoleh kehangatan persahabatan,

ketulusan kasih sayang dan penerimaan dari orang lain. Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Seseorang

berharap supaya keberadaannya tidak hanya dilihat sebagai bilangan tetapi juga diperhitungkan.

Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Ini erat kaitannya dengan kebidupan spiritual dimana setiap orang membutuhkan nilai-nilai sebagai pegangan menghadapi realitas hidup

Kebutuhan akan pemenuhan diri. Setiap orang ingin mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan memenuhi potensi-potensi

yang dimiliki 63 .

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA DAN DISPOSISI MATEMATIS DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA Wahyu Tricahyanti, Dwi Astuti, Dian Ahmad Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: Wahyutricahyanti96gmail.com Abs

0 0 11

ANALISIS PEMAHAMAN KONSEPTUAL SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN ANALOGI DI KELAS IX SMP NEGERI 1 SUNGAI RAYA Herlina Ningsih, Dwi Astuti, Romal Ijudin Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: herlinani

0 1 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION PADA MATERI KOORDINAT KARTESIUS DI SMP Agustina Poligrentia, Zubaidah R, Dian Ahmad. B.S Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: Agustina_poligrentiayahoo.

0 0 9

Resta Lara, Abas Yusuf, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email: restalara93gmail.com Abstract - ANALISIS LAYANAN INFORMASI TENTANG PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA PADA SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 3 PONT

0 1 9

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN SKRIPSI Program Studi Agribisnis

0 2 105

Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali

0 0 39

Penerapan Contractor Safety Management System (Csms) Tahap Prakualifikasi di PT. Pageo Utama Jakarta Selatan

2 13 92

Analisis Potensi Pembangunan Ekonomi (Studi Kasus Tingkat Kecamatan di Kabupaten Sragen Tahun 2005-2010)

0 0 210

Analisis Biaya, Keuntungan dan Daya Saing Usahatani Tembakau di Kabupaten Boyolali

1 2 87

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Sistem Tanam Benih Langsung di Kabupaten Karanganyar

0 2 139