TELAAH PUSTAKA

2. Faktor eksternal

Seperti telah disinggung di awal, kehadiran media massa dan orang- orang sekitar penting dalam proses belajar sosial. Jika media berperan dalam modeling , maka orang-orang disekitar pengaruhnya jauh lebih kuat yaitu persuatif .

Menurut George Herbert Mead, orang-orang yang berpengaruh dalam proses belajar sosial atau orang-orang yang sangat penting bagi setiap orang disebut dengan Siginificant others. Dalam perkembangannya, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan

perasaan kita 64 . Ada pun lebih lanjut menurut Mead, terdapat significant others yang terhimpun dalam kelompok dan mereka disebut sebagai

kelompok rujukan (reference group) 65 .

Keberadaan significant others maupun reference group pada prinsipnya menghasilkan dua efek yaitu efek larangan (inhibitory effect) dan efek suruhan (disinhibitory effect). Efek larangan terjadi ketika significant others menghalangi atau mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan efek suruhan merupakan kebalikan dari efek larangan yang justru

mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku 66 .

64 Ibid, hlm. 103 65 Ibid, hlm. 104 66 Morisan, Op.Cit, hlm. 247-248

2. Persepsi

Persepsi menurut Joseph A. Devito didefinisikan sebagai proses dimana kita menjadi sadar terhadap sebuah objek, peristiwa, khususnya manusia melalui indera (Perception is the process by which you became aware of objects, events, and especially people through your sense: sight, smell, taste,

touch and hearing ) 67 .

Selanjutnya menurut Berelson dan Steiner dalam Severin dan Tankard, persepsi didefinisikan sebagai proses yang kompleks dimana orang memilih,

mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap suatu rangsangan

ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis 68 .

Dalam hal ini persepsi merupakan aktivitas belajar yang aktif dan berkesinambungan sebagaimana disampaikan oleh Bennett, Hoffman dan Prakash dalam Severin dan Tankard bahwa persepsi adalah aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaharuan cara pandang, dan pengaruh timbal

balik dalam pengamatan 69 . Severin & Tankard kemudian merumuskan adanya faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap persepsi. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu asumsi (yang didasarkan pada

67 Joseph A. DeVito, The Interpersonal Communications, 9 th ed, (New York: Addison Wesley Longman, 1986), hlm. 93 68

Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa), Alih Bahasa; Sugeng Hariyanto, Cet. ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hlm. 84

69 Ibid 69 Ibid

(kebutuhan), suasana hati (mood), serta sikap 70 .

Definisi persepsi pada perjalanannya mulai menyentuh pula aspek fungsional. Deddy Mulyana yang mendefinisikan persepsi sebagai proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut

mempengaruhi perilaku kita 71 . Hal ini sesuai dengan pemikiran Robbins dan Judge yang menyatakan bahwa persepsi penting untuk mempengaruhi perilaku

manusia. Perilaku manusia tergantung dari persepsinya mengenai realitas bukan realitas itu sendiri. based on their perception of what reality is, not on reality itself. The world as

its perceived is the world that is behaviorally important) 72 . Pentingnya persepsi dalam pembentukan perilaku kiranya dipertegas oleh pernyataan Toeti Heraty Noerhadi yang menyatakan bahwa persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku

konkret 73 . Disini benang merah antara persepsi dan komunikasi mulai terlihat. Komunikasi disebut efektif jika dapat mengubah perilaku manusia. Ada pun persepsi disebut-sebut sebagai aktivitas penting yang menentukan perilaku

70 Ibid, hlm. 85 71 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.

72 Stephen P Robbins & Timothy A Judge, Organizational Behavior. (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), hlm. 173

73 Alfian, Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 209 73 Alfian, Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 209

dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi 74 . Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Menurut Bimo Walgito, terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu apa yang ada dalam diri individu. Sedangkan faktor eksterrnal terdiri dari faktor stimulus itu sendiri dan

faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung 75 .

Ada pun menurut Jalaluddin Rakhmat, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural 76 . Kenneth A. Andersen dalam Rakhmat menyebut perhatian sebagai proses mental ketika stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran dan stimuli lainnya melemah 77 . Menurut David Krech dan Richard S. Crutchfield dalam Rakhmat, faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, pengetahuan dsb yang bersifat personal atau disebut juga sebagai kerangka rujukan (frame of reference). Selanjutnya, faktor struktural memandang persepsi semata-mata dipengaruhi oleh sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf

yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu 78

74 Mulyana, Op.Cit, hlm. 180-181 75 Bimo Walgito, Psikologi sosial, Cetakan ke-4, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm.46 76 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cetakan ke-17. (Bandung: Remaja Rosdakarya Rakhmat,

2001), hlm. 51 77 Ibid, hlm. 52

78 Ibid

Selanjutnya, Robbins dan Judge memberi perspektif lain dalam merumuskan faktor-faktor pembentuk persepsi. Terdapat tiga faktor yaitu faktor subjek, situasi dan objek. Faktor subjek meliputi: sikap, motif, ketertarikan, pengalaman masa lalu dan dugaan. Faktor situasi terdiri dari: waktu, latar belakang pekerjaan dan latar belakang sosial. Sedangkan faktor objek terdiri dari: kebaruan, gerakan, suara, ukuran, latarbelakang, kedekatan dan

kemiripan 79 . (Lihat bagan I.1 ) Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi

merupakan proses penafsiran terhadap informasi inderawi yang bersifat internal, aktif dan vital bagi setiap orang dalam proses komunikasi. Terbentuknya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kiranya faktor-faktor yang sampaikan oleh Robbins dan Judge dapat merangkum kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yang disampaikan oleh Bimo Walgito, Jalaluddin Rakhmat serta Severin dan Tankard.

79 Robbins & Judge, Op.Cit, hlm. 174

Bagan I. 1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut Robbins dan Judge 80

3. Jurnalis sebagai Pesan

Jurnalis merupakan kata serapan dari kata journal dalam bahasa Inggris dan kata diurnal dalam bahasa Latin yang artinya orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik 81 . Jurnalistik atau jurnalisme sendiri diartikan sebagai kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa 82 .

Dengan demikian secara sederhana jurnalis dapat diartikan sebagai seseorang yang bertugas menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa.

Ada tiga sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu: jurnalis, wartawan dan reporter. Ketiga sebutan tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media

massa 83 . Yang membedakan adalah medianya. Di Indonesia, sebutan wartawan identik dengan mereka yang bekerja di media massa cetak, reporter cenderung

digunakan untuk media massa televisi dan radio, sementara sebutan jurnalis

untuk wartawan asing 84 .

Wartawan adalah profesi. Disebut sebagai profesi karena ia memiliki empat ciri yaitu: 1) Mempunyai kebebasan dalam melakukan pekerjaan, 2) Didasari atas panggilan hati dan keterikatan dengan pekerjaan, 3) Dibutuhkan

keahlian dan 4) Bertanggung jawab dan terikat pada kode etik pekerjaan 85 . Oleh karena itu, masyarakat memandang wartawan sebagai professional. Profesional disini memuat tiga arti: pertama, professional adalah kebalikan dari amatir; kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; norma-norma yang

mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca 86 .

83 Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43 84 Ibid, hlm. 44 85 Ibid 86 Ibid.hlm. 115

Ada pun di China ternyata tidak setiap jurnalis bisa merasakan predikat sebagai tenaga profesional. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Lin

oleh golongan menengah ke atas. Mereka adalah redaktur dan pemimpin umum. Di sisi lain, jurnalis yang jabatannya di bawah mereka merasa bahwa pekerjaan mereka tak ubahnya pekerjaan lain yang membutuhkan kerja keras dengan tanpa jaminan kerja yang memadai.

-level managing editors or directors of a department are more likely to proudly label themselves as professionals. The -mockery for most working journalists who are at the bottom of the hierarchy in the organization, usually younger and with less working experience, who have a contract-based employment relationship with the organization. Some of the working journalists do not have medical insurance, and they can be expected to change jobs relatively more frequently. Some of them ev

journalism as a job 87 .

Secara umum, sebagai turunan dari kegiatan komunikasi, wartawan adalah elemen yang berfungsi sebagai komunikator di tubuh pers. Wartawan

87 FEN J. LIN ( City University of Hong Kong), Liter

International Journal of Communication Vol. 4 (2010), hlm. 8 International Journal of Communication Vol. 4 (2010), hlm. 8

Bukan isi media yang mempengaruhi khalayak melainkan media itu sendiri 89 . Dapat dipastikan tentunya bahwa media tak sungguh-sungguh berniat

mempengaruhi khalayak agar tertarik menjadi jurnalis tetapi diluar kontrol media, justru jurnalis dapat menjadi pesan yang berdampak pada orang-orang yang menerimanya.

4. Budaya Patriarki

Kata patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau patriarch 90 . Melekat dalam sistem ini yaitu ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki 91 . Sebagaimana disampaikan oleh Duru bahwa hakikat patriarki terletak pada adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan.

subordination (Hunnicutt, 2009). In patriarchal societies, men are in charge

88 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers,Cetakan Ketiga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.22 89

Rakhmat. Op.Cit, hlm. 220 90 Kamla Bhasin.Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum

Perempuan. (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 1 91 Ibid.hlm. 4 Perempuan. (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 1 91 Ibid.hlm. 4

Selama ini patriarki dianggap alamiah. Alasannya adalah bahwa laki- laki karena kekuatan badannya yang lebih besar, menjadi pemburu dan pencari nafkah, dan karena itu juga ksatria, sementara kaum perempuan, karena mereka melahirkan dan mengasuh dan membesarkan anak, membutuhkan perlindungan laki-laki. Penjelasan biologis deterministis ini, kata Lerner turun temurun terus menerus dari zaman batu ke zaman sekarang dan diyakini bahwa kaum laki-laki

lahir superior 93 .

Patriarki pada prinsipnya berakar dari pemikiran bahwa manusia tercipta dengan identitas seks yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan identitas seks kemudian memunculkan adanya perbedaan identitas gender.

Meskipun saling berkaitan namun pengertian antara seks dan gender tidak bisa disamakan. Seks bersifat statis. Perempuan dianggap berbeda dari laki-laki karena secara biologis mereka memiliki organ biologis yang tak dapat dipertukarkan. Menjadi perempuan atau laki-laki bersifat permanen tidak

92 Annie N. Duru (Howard University, Washington DC, US) Ideological Criticism of a Nigerian Video Film, August Meeting: A Feminist Perspectiv

-journalist Vol.10.no2 (2010), hlm.75 93 Bhasin, Op.Cit, hlm.29 -journalist Vol.10.no2 (2010), hlm.75 93 Bhasin, Op.Cit, hlm.29

ketentuan Tuhan atau kodrat 94 .

Hal itu berbeda dengan gender yang merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan 95 dimana kemudian muncul konsep feminim (kewanitaan) dan maskulin (kelelakian). Menurut Illich, gender mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan tak akan serupa

di dua tempat yang berlainan 96 . Lebih lanjut ia menyebut gender dengan istilah

dengan gender kedaerahan (vernacular) 97 .

Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun yang menjadi masalah ternyata adalah gender differences ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Gender Inequalities merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem

tersebut 98 .

94 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 21 95

Ibid, hlm. 18 96 Ivan Illich, Matinya Gender, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 45

97 Ibid, hlm.43 98 Nugroho, Op.Cit, hlm.9

Bayang-bayang ptriarki tak dapat lepas dari munculnya ketimpangan gender. Hal itu seperti dipikirkan oleh Duru bahwa ideologi patriarki senantiasa diasosiasikan dengan isu ketidakadilan gender.

inequality. 99

Ada pun secara umum terdapat perdebatan mengenai asal-usul patriarki yang berakar dari dua teori besar yaitu teori Nature dan Teori Nurture 100 . Menurut Teori Nature, perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua insan. Disini, patriarki dianggap bersifat alami sebagai kodrat hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini didukung oleh kaum tradisional 101 .

Si sisi lain, penganut Teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan itu tercipta melalui proses belajar dari lingkungan percaya patriarki adalah bentukan manusia. Patriarki diciptakan dan bisa untuk dihapuskan 102 . Diluar mana yang benar dari perdebatan itu, faktanya adalah ideologi patriarki bisa

99 Duru, Op.Cit, hlm. 77 100 Dwi Ismi Astuti Nurhaeni, Kebijakan Publik Pro Gender, (Surakarta: UNS Press, 2009), hlm.19 101 Ibid, hlm. 28 102 Ibid 99 Duru, Op.Cit, hlm. 77 100 Dwi Ismi Astuti Nurhaeni, Kebijakan Publik Pro Gender, (Surakarta: UNS Press, 2009), hlm.19 101 Ibid, hlm. 28 102 Ibid

5. Perempuan

5.1. Definisi Perempuan

Konsep perempuan merujuk pada salah satu dari dua jenis kelamin manusia selain laki-laki. Menurut Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui 104 . Sedangkan laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma 105 .

berarti gelar kehormatan yg berarti "tuan" 106 . Kata perempuan memiliki konotassi positif. Ada pun dalam kamus, kata perempuan sering disinomkan dengan kata wanita. Namun kedua kata tersebut ternyata tak sunguh- sungguh sama.

Di Indonesia sendiri, terdapat upaya men-set sebuah mitos peran elah terjebak dengan upaya tersebut. Kata

Julia I. Suryakusuma, Perempuan dan Konservatisme Media, dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm.150

104 www.KamusBahasaIndonesia.org 105 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.8

106 www.KamusBahasaIndonesia.org

(cenderung) dalam konteks perbedaan jenis kelamin (misalnya: jenis

konteks gender. Dengan demikian menjadi beralasanlah penggunaan kata

merupakan suatu pemberontakan gerakan perempuan dari tafsiran patriarki 107 .

5.2. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi

Mempertanyakan posisi kaum perempuan dalam budaya patriarki pada dasarnya menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat 108 . Bagaimana tidak jika budaya yang telah terbentuk lama, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang dan bersifat kedalam atau ranah domestik.

Menurut Raharjo dalam Hermawati, citra, peran serta status perempuan dan laki-laki khususnya di Jawa sangat lekat dengan budaya patriarki. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya,

laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai

Ayu Utami dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Sensitif Gender pada Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Kalika, 2002), hlm. 83 108

Fakih, Op. Cit, hlm. 5 Fakih, Op. Cit, hlm. 5

-laki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga 110 .

Kontrol patriarki terhdap kehidupan perempuan begitu kuat. Bidang- bidang kehidupan perempuan yang dikontrol patriarki antara lain:

1. Daya produktif atau tenaga kerja perempuan

2. Reproduksi perempuan

3. Kontrol dan seksualitas perempuan

4. Gerak perempuan

5. Harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya 111 .

Berangkat dari kesimpangsiuran permasalahan gender, sebenarnya secara nyata ketidakadilan gender telah terjadi di kebanyakan Negara di dunia. Manifestasi ketidakadilan gender dikategorikan dalam 5 bidang yang satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi:

1. Gender dan Marginalisasi Perempuan (Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi)

109 Tanti Hermawati, Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, nomor 1, Juli 2007, hlm.21

110 Ibid 111 Jane C. Ollenburger & Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, Terj. (Jakarta: Rineka Cipta,1996), hlm.15

2. Gender dan Subordinasi: Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik

3. Gender dan Stereotipe: Pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif.

4. Gender dan Kekerasan: Kekerasan dapat terjadi baik secara fisik maupun psikologis karena bias gender.

5. Gender dan Beban Kerja: Beban Kerja lebih panjang dan lebih banyak serta sosialisasi idelogi nilai peran gender 112

Manifestasi ketidakadilan gender pertama adalah marginalisasi. Marginalisasi adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Marginalisasi dapat terjadi karena adanya bencana alam, konflik bersenjata, penggusuran, proses eksploitasi atau bahkan kebijakan pembangunan. Marginalisasi/ pemiskinan bagi perempuan sering terjadi karena keyakinan gender 113 .

Manifestasi ketidakadilan gender yang kedua adalah subordinasi. Subordinasi adalah sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Subordinasi didasarkan pada keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih

112 Ibid, hlm 12-24 113 Ibid. hlm.13-15 112 Ibid, hlm 12-24 113 Ibid. hlm.13-15

domestik 115 .

Manifestasi ketidakadilan gender ketiga adalah stereotype. Stereotipe/ pelabelan negatif merupakan suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan 116 . Sebagai contoh adalah ilustrasi sebuah profesi dengan jenis kelamin tertentu semisal direktur digambarkan dengan sosok laki-laki sedang perempuan sebagai sekertaris.

Manifestasi ketidakadilan gender yang keempat adalah kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan meliputi dua bidang yaitu fisik maupun psikologis. Kategori kekerasan gender antara lain

a. Pemerkosaan

b. Kekerasan dalam rumah tangga

c. Penyiksaan organ alat kelamin

d. Prostitusi

e. Pornografi

f. Sterilisasi

114 Ibid. hlm.15-16 115 Ismi Astuti Nurhaeni. Op.Cit, hlm.28 116 Fakih. Op.Cit.hlm.16-17 114 Ibid. hlm.15-16 115 Ismi Astuti Nurhaeni. Op.Cit, hlm.28 116 Fakih. Op.Cit.hlm.16-17

h. Pelecehan seksual Secara fisik meliputi tindakan memukul, menampat, mencekik dsb yang menyebabkan luka fisik. Sedangkan secara psikologis mencakup tindakan membentak, menyumpahi, berkata-kata kotor, pelecehan dsb yang menyebabkan rasa takut 117 .

Manifestasi ketidakadilan gender kelima yaitu beban ganda. Beban ganda adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan. Semisal anggapan perempuan yang berkarakter perawat dan pemelihara sehingga pantasnya bekerja di ruang domestik saja 118 .

Kelima bentuk manifestasi ketidakadilan gender di atas pada kenyataannya tak dapat dipisahkan sebagai bagian-bagian yang berdiri sendiri, tetapi terintegrasi. Satu ketidakadilan gender menjadi pemicu ketidakadilan gender yang lain. Seperti yang disampaikan Mansour Fakih bahwa manifestasi ketidakadilan gender tak dapat dipisah-pisahkan, saling berkaitan, saling berkaitan, berhubungan secara dialektis 119 . Namun, sebagai acuan utama, penelitian ini lebih difokuskan pertama-tama pada persoalan subordinasi dalam bidang pekerjaan.

117 Ibid. hlm.17-20 118 Ibid. hlm.21-23 119 Ollenburger & Moore Op.Cit. hlm . 13

5.3. Perempuan dan Pendidikan

Betapa berharganya pendidikan. Dalam kisah klasik di negeri ini, perempuan menjadi pihak Sebut saja tokoh RA. Kartini dan Dewi Sartika. Mereka adalah tokoh pelopor pendidikan bagi perempuan di Indonesia.

C.Lekkerker (1914) dalam Subadio dan Ihroni menuliskan arti penting pendidikan bagi perempuan Indonesia. Menurutnya, pendidikan

ia kerjakan sepanjang hidupnya. Bagaimana ia dapat mengembangkan sifat- sifat yang lebih hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula membantu untuk mengurangi kecenderungan tingginya angka kelahiran yang melekat pada rumah tangga kalangan bawah (miskin dan kurang terpelajar) 120 .

Selain itu, pendidikan di kalangan perempuan dinilai dapat merintangi poligami dan perkawinan yang disatu pihak tidak diingini. Pendidikan di kalangan perempuan dapat meningkatkan harapan hidup karena kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi 121 .

Kini, secara kuantitas terlihat semakin banyaknya perempuan yang terlibat di dunia pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Bukan

Maria Ulfah Subadio & T.O Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia: Bunga Rampai, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm. 267

121 Ibid 121 Ibid

Namun, ternyata secara alami sekolah masih memisahkan perempuan dalam pola-pola tertentu dimana terdapat feminisasi dan maskulinasi dalam pembagian disiplin ilmu. Hal yang masih tampak yaitu dalam hal kurikulum. Menjadi laki-laki atau perempuan digambarkan dalam konteks peran-peran, naskah-naskah dan proses pendidikan. Di samping kurikulum formal, sekolah menyediakan arena untuk menyampaikan gagasan-gagasan, nilai- nilai dan kepercayaan-kepercayaan melalui interaksi dengan pendidik 122 . Pengetahuan dan pendidikan disebut-sebut telah didominasi oleh laki-laki, sehingga menciptakan dan melanggengkan ideologi patriarki 123 .

5.4. Perempuan dan Pekerjaan

Adanya sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga menjaddi tanggung jawab kamu perempuan. Konsekwensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dalam

122 Ibid, hlm.139 123 Ibid 122 Ibid, hlm.139 123 Ibid

Banyak perempuan masih belum menyadari bahwa peran mereka sebagai istri tradisional, ibu dan pengurus rumah tangga telah meluas menjadi pencari nafkah keluarga di samping peran asli tadi. Sebagian beranggapan bahwa sekalipun berhasil mendapatkan penghasilan, itu pun sifatnya membantu suami karena suami mereka tidak ingin peran ekonomi mereka dinyatakan secara terbuka 125 .

Namun, kini perlahan tetapi pasti perempuan mulai mengembangkan diri dengan berkarir. Irwan Abdullah dalam Buku Sangkan Paran Gender menuliskan, gejala keterlibatan perempuan di luar rumah menandakan bahwa kini perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah hidupnya dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau istri tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karir 126 .

Ekspansi perempuan ke dunia publik memposisikan mereka pada peran ganda. Hal ini terasa cukup berat karena bagaimana pun pekerjaan -

124 Fakih, Op.Cit, hlm. 22 125 Albert Hester L dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan, (Jakarta: United Nation Information

Service (USIS),1992), hlm. 127-129

Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender: Kumpulan Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 13 Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender: Kumpulan Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 13

Meskipun hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah profesi semakin meluas, tetapi pada kenyataannya perempuan masih dianggap sebagai orang kedua yang kurang mampu mengerjakan tugas-tugas yang selama ini lazim dikerjakan laki-laki.

5.5. Perempuan dan Media

Marwah Daud Ibrahim pernah mengatakan bahwa media adalah mikroskop yang dapat membantu kita mengintip keadaan perempuan dalam masyarakat 127 . Selama ini realitas perempuan di masyarakat memang belum menggembirakan. Media masih menjadi cermin dari realitas 128 .

Media dianggap masih kurang peka terhadap persoalan-persoalan gender. Bias gender di media massa dapat dilihat dari bagaimana surat kabar, majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri perempuan. Selama ini media masih memperlihatkan stereotip yang merugikan bahwa perempuan itu pasif, tergantung pada pria, didominasi,

127 Ibrahim, Op.Cit, hlm. 108 128 Ibid 127 Ibrahim, Op.Cit, hlm. 108 128 Ibid

Kemunculan jurnalisme baru yang bermuatan humanitarian 130 menjadi angin segar bagi upaya pembenahan media agar lebih adil gender. Adalah jurnalisme sensitif gender atau jurnalisme berperspektif gender yang merupakan kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan atau menggugat secara terus menerus, baik dalam media cetak maupun media elektronik adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan 131 .

Permasalahan bias gender yang ada di media massa selama ini kurang lebih menyangkut posisi marginalisasi dan subordinasi perempuan dalam berbagai bidang, yaitu:

1) Legitimasi Bias Gender oleh Media

2) Minimnya Keterlibatan Perempuan dalam Aktivitas jurnalisme

3) Dominasi kepentingan ekonomi-Politik

4) Regulasi Media tidak sensitive gender

5) Penggunaan bahasa di media massa masih sangat seksis

129 Ibid.107 130 Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm.363

131 Subono, Op.Cit, hlm. 59

6) Kesenjangan jurnalisme konvensional dan jurnalisme sensitive

gender 132

Melalui jurnalisme sensitif gender diharapkan akan ada sebuah media dengan kekuatan baru untuk menciptakan tatanan dunia baru yang lebih adil gender.

5.6. Perempuan sebagai Pekerja Media

Hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah profesi semakin meluas, salah satu bidang kerja yang dulu begitu identiik sebagai

wilayah laki-laki dan kini mulai dirambah oleh perempuan adalah media khususnya sebagai jurnalis.

Dalam sejarah profesi kewartawanan di Indonesia, kehadiran perempuan sebenarnya bukan perkara baru. Rohana Kudus 133 sudah malang melintang di zaman kebangkitan kebangsaan. Sebelum kemerdekaan RI, penerbitan pers dihiasi pula oleh partisipasi perempuan seperti yang terjadi tahun 1909, majalah pertama perempuan, Putri Hindia, terbit di Bandung diprakarsai oleh R.A Tjikroadikusumo. Hingga tahun 1925 terbit beberapa surat kabar yang diprakarsai kaum perempuan yaitu; Koran Sunting Melayu di Padang(1912) dan Surat Kabar Wanito Sworo di Pacitan(1913).

132 Yusuf, Op.Cit. hlm.359-363

Rohana Kudus (1884-1972) hidup di Agam, Sumatera Barat. Ia menerbitkan surat kabar khusus untuk perempuan dengan nama Sunting Melayu(1912), yang merupakan koran khusus wanita pertama di Indonesia. Pada 25 Agustus 1974, Rohana Kudus diberi gelar pelopor wartawati Sumatera Barat. ( http://www.gatra.com/2008-02-18/artikel ) diakses pada 20 September 2010 pukul 18.00 WIB

Sedangkan beberapa penerbitan yang secara khusus menjadi media pergerakan perempuan antara lain; Putri Mardika di Jakarta(1914), Penuntun Istri di Bandung(1918), Istri Utomo di Semarang(1918), Suara Perempuan di Padang(1920), Perempuan Bergerak di Medan(1920) dan Koran Suara Aisyah(1925) 134 .

Menurut Naomi, Jurnalis adalah jurnalis memungkinkan wanita memperluas wawasan, tanpa harus terikat pada aturan tertentu. Misalnya jam

kerja, penampilan dan sebagainya 135 . Namun dinamika kerja yang yang ketat kembali mempertanyakan kehadiran perempuan sebagai jurnalis yang dituntut siap setiap saat. Belum lagi jika pekerjaan itu ada di surat kabar yang memiliki mitos sebagai pekerjaan dengan aktivitas professional dengan mobilitas sangat tinggi, kerja keras, tekanan deadline yang amat ketat, tidak ada batas waktu yang jelas, -bisa sampai 24 jam-. Serta banyaknya kendala dan tantangan yang bersifat teknis maupun non teknis 136 .

Bagi wanita, pilihan profesi menjadi wartawan tentunya jauh lebih berat posisinya dibandingkan laki-laki. Hal tersebut mengingat perempuan selama ini diidentikkan saja dengan pekerjaan yang berisfat domestik.

Banyak wartawan pria masih meremehkan kegiatan wanita dengan menepiskan tangan- menganggap mereka sebagai satu lagi forum dimana

134 Para Perempuan di Puncak Zaman 135 -24 Desember 2006) hlm.63

Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm 2003,. hlm.109

136 Siregar, Op.Cit, hlm. 13 136 Siregar, Op.Cit, hlm. 13

Anggapan di atas ditepis oleh dua wartawati Nigeria yaitu Theresa Oguibe dan Unaku Ekwegbalu. Mereka sama-sama menunjukkan bahwa mereka mampu mengerjakan tugas jurnalistik sampai pada posisi redaktur.

-rekan dan Atasan Anda tidak bisa mempermainkan Anda kalau mereka menyadari bahwa Anda tahu pekerjaan

Secara tradisional. Di Dunia Ketiga, wanita adalah untuk dilihat, bukan didengarkan; tetapi sekarang wanita Dunia Ketiga sudah menambahkan pada peran asli mereka beban untuk mencari nafkah keluarga 139 .

Bagi wartawan wanita Dunia Ketiga yang mempunyai peran penting dalam jurnalisme pembangunan, falsafahnya haruslah selalu memenuhi cita- cita jurnalisme, yaitu untuk mendidik, menghibur dan secara objektif mengumpulkan dan menyiarkan berita. Dia juga harus memobilisasi wanita untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah mengenai pembangunan

137 Albert L Hester dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan. (Jakarta: United Nation Information Service, 1992), hlm.129

138 Ibid.hlm.131 139 Ibid 138 Ibid.hlm.131 139 Ibid

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA DAN DISPOSISI MATEMATIS DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA Wahyu Tricahyanti, Dwi Astuti, Dian Ahmad Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: Wahyutricahyanti96gmail.com Abs

0 0 11

ANALISIS PEMAHAMAN KONSEPTUAL SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN ANALOGI DI KELAS IX SMP NEGERI 1 SUNGAI RAYA Herlina Ningsih, Dwi Astuti, Romal Ijudin Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: herlinani

0 1 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION PADA MATERI KOORDINAT KARTESIUS DI SMP Agustina Poligrentia, Zubaidah R, Dian Ahmad. B.S Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Pontianak Email: Agustina_poligrentiayahoo.

0 0 9

Resta Lara, Abas Yusuf, Sri Lestari Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Untan Pontianak Email: restalara93gmail.com Abstract - ANALISIS LAYANAN INFORMASI TENTANG PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA PADA SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 3 PONT

0 1 9

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN SKRIPSI Program Studi Agribisnis

0 2 105

Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali

0 0 39

Penerapan Contractor Safety Management System (Csms) Tahap Prakualifikasi di PT. Pageo Utama Jakarta Selatan

2 13 92

Analisis Potensi Pembangunan Ekonomi (Studi Kasus Tingkat Kecamatan di Kabupaten Sragen Tahun 2005-2010)

0 0 210

Analisis Biaya, Keuntungan dan Daya Saing Usahatani Tembakau di Kabupaten Boyolali

1 2 87

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Sistem Tanam Benih Langsung di Kabupaten Karanganyar

0 2 139