Berat pipilan 100 biji

F. Berat pipilan 100 biji

Penggunaan benih jagung hibrida biasanya akan menghasilkan produktivitas lebih tinggi daripada varietas lainnya, namun harus didukung oleh kondisi lingkungan dan penerapan teknik budidaya yang tepat. Dengan mengetahui berar 100 biji dapat memeperkirakan berat dan jumlah kebutuhan benih per satuan luas (Patola, 2008).

Produksi suatu tanaman merupakan resultant dari proses fotosintesis, penurunan asimilat akibat respirasi dan translokasi fotosintat ke bahan kering dan ke dalam tanaman. Peningkatan produksi berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesis (Jumin, 1991). Berat pipillan 100 biji berhubungan erat dengan besarnya fotosintat yang ditranslokasi ke bagian-bagian tongkol (Susylowati, 2001).

Menurut (Moentono et al., 1995 dalam Andi et al., 2007). Berdasarkan komposisi komposisi kimia 100 g biji jagung mengandung 12- 14% air, 60-65% pati, 8,3-8,5% protein, 4,4- 4,5% lemak, dan 2,3 – 2,4% Menurut (Moentono et al., 1995 dalam Andi et al., 2007). Berdasarkan komposisi komposisi kimia 100 g biji jagung mengandung 12- 14% air, 60-65% pati, 8,3-8,5% protein, 4,4- 4,5% lemak, dan 2,3 – 2,4%

NO Genotipe

Lokasi Tulung

Lokasi Ngemplak

efgh efg

14 PIONNER 12 Keterangan : Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama

artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

Hasil sidik ragam berat pipilan 100 biji (lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji. Berdasarkan hasil analisis berat pipilan 100 biji dengan uji jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.5) dapat dilihat bahwa perlakuan genotipe jagung yang diuji, perlakuan lokasi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tiap –tiap genotipe yang diuji memberikan hasil terhadap berat pipilan 100 biji yang hampir sama di lokasi Tulung maupun lokasi Ngemplak.

Berdasarkan hasil analisis berat pipilan 100 biji dengan uji jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.5) dapat dilihat bahwa perlakuan lokasi sangat berpengaruh nyata, hal ini dapat dilihat ada perbedaan berat pipilan 100 biji yang sangat berbeda-beda antar genotipe satu yang sama, baik di lokasi Tulung dengan di lokasi Ngemplak. Berdasarkan hasil analisis berat pipilan

100 biji dengan uji jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.5) dapat dilihat perlakuan genotipe yang berpengaruh sangat berbeda-beda dapat dilihat seperti pada berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi dari 35 g/petak di lokasi Tulung pada genotipe A -7, A -9, A -10, A -11, A -14, JAYA-1, BISI 2, dan PIONNER 12) dan pada berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi dari 35 g/petak di lokasi Ngemplak pada genotipe (A -7, A -8, A -12, A -13, A -14,

A -15, A -17, BISI-2, DAN PIONNER 12).

Gambar 4.6 Diagram batang rata-rata umur 50 % berbunga betina

genotipe jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.6 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi jika ditanam di dua lokasi terdapat pada genotipe A -7, A -9,A -12, A-13, A -14, A -15, A -17, BISI-2 dan PIONNER 12. Hal ini menunjukkan bahwa kesembilan genotipe diatas akan memiliki berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi dari 35 g/petak. Semakin tinggi berat pipilan 100 biji, maka semakin tinggi pula tingkat kepadatan benih, dan kandungan protein dalam benih tersebut.

Menurut Goldsworhty dan Fisher (1992) bahwa hasil biji erat terkait dengan berat tongkol. Apabila berat tongkol tinggi maka hasil biji cenderung meningkat. Sebaliknya, apabila berat tongkol rendah maka hasilnya juga cenderung turun. banyaknya jumlah biji yang terbentuk dipengaruhi oleh genetik yang berakibat kualitas dan jumlah polen saat penyerbukan, frekuensi melakukan penyerbukan dan kompatibilitas antar tanman yang diserbuki. Pada saat tasel terlalu basah atau kering maka proses penyerbukan akan terhambat.

Adanya perbedaan berat pipilan 100 biji disebabkan karena perbedaan faktor genetik antar varietas dan terjadi keragaman/variasi berat pipilan per petak secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Kemampuan produksi atau hasil biji dari suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor internal tanaman, yaitu kuncup bunga, buah, biji dan translokasi fotosintat. (Gardner et al., 1991). Ditambahkan (Effendi.S et al., 1980 dalam Andi et al., 2007) menyatakan bahwa kandungan protein terbesar pada biji jagung terdapat pada lapisan aleuron. Lapisan aleuron adalah lapisan yang membungkus endosperm. Endosperm biji jagung sebagian besar mengandung pati tetapi pada jagung yang mengandung lebih banyak protein dari pada pati akan menyebabkan biji menjadi lunak. Komposisi dari zat pati dan protein dalam biji jagung ini berbeda-beda sesuai dengan varietasnya.