Konstruksi media terhadap karakteristik kepemimpinan calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu presiden 2009

KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN PESERTA PEMILU PRESIDEN 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni-5 Juli 2009) SKRIPSI

Disusun guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh : NUR HENI WIDYASTUTI NIM D0205104

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah Disetujui

untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Ujian Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Oktober 2009 Dosen Pembimbing

Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. NIP. 197102171998021001

HALAMAN PENGESAHAN

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Panitia Penguji

Drs. Mursito BM, S.U. (.....................................)

NIP. 195307271980031001 Ketua

Drs. Haryanto, M.Lib. (.....................................)

NIP. 196006131986011001 Sekretaris

Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. (.....................................)

NIP. 197102171998021001 Penguji

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Drs. Supriyadi SN, S.U. NIP. 195301281981031001

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Iyyakana’budu waiyyaka nasta’iin Ihdinash shiratal mustaqiim”

(Q.S. Al-Fatihakh: 5-6)

Skripsi ini Penulis persembahkan Untuk Ibu dan Ayah tercinta “Rabbighfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira” Untuk Almamaterku.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, karena hanya dengan KuasaNyalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga karya ini adalah upaya untuk menggapai keridlaanNya. Skripsi ini seperti menjadi penghujung masa study Penulis saat menjalani kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Namun, dengan selesainya skripsi ini, justru menjadi titik awal bagi Penulis untuk menjalani proses baru selanjutnya yang lebih baik.

Skripsi ini mengambil tema konstruksi pemberitaan di Majalah Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2009. Pengambilan tema ini dilandasi atas ketertarikan Penulis terhadap dunia jurnalistik dan terhadap Majalah Tempo. Berawal dari pengamatan terhadap kampanye pemilihan presiden yang ingar bingar, Penulis ingin mengetahui bagaimana sosok capres dan cawapres itu ‘sesungguhnya’ tanpa adanya manipulasi image lewat iklan. Pada saat-saat itulah Tempo mengeluarkan Edisi Khusus Pemilihan Presiden (sepuluh hari sebelum pemilihan presiden langsung) yang mengangkat tema tentang karakteristik kepemimpinan mereka. Dari situ, penulis ingin meneliti bagaimana pembingkaian (framing) yang dilakukan pemberitaan Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan para kandidat.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itulah ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada:

1. Drs. Supriyadi SN, S.U. selaku Dekan FISIP UNS berserta seluruh jajaran dekanat, staf, karyawan dan seluruh civitas akademika FISIP UNS.

2. Dra. Prahastiwi Utari M.Si., Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Drs. Hamid Arifin M.Si selaku Sekretaris Jurusan, Drs. Kandiyawan selaku dosen

Pembimbing Akademik Penulis, berserta seluruh jajaran dosen, staf pengajar, serta karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS (Mas Budi), terimakasih atas ilmu dan bantuan yang diberikan, semoga akan selalu bermanfaat.

3. Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. selaku pembimbing skripsi, terimakasih atas diskusi, bimbingan, saran yang bermanfaat bagi Penulis. Terimakasih untuk buku Wars Within: The Story of Tempo nya Pak, sekali lagi terimakasih.

4. Ibundaku, Ayahandaku, Adikku, teman terdekatku, serta handai taulan yang lain, terimakasih atas doa, cinta, dan kasih sayang yang tak akan pernah putus.

5. Bapak Arief Zulkifli (Redaktur Utama Majalah Tempo) terimakasih atas kesempatan wawancara ditengah kesibukan Anda yang padat.

6. Keluarga besar LPM VISI FISIP UNS (semua teman seperjuangan di organisasi tercinta) yang telah menyediakan ruang dan waktu untuk sama-sama menimba ilmu dan berbagi banyak hal dalam suka dan duka. Tetaplah semangat untuk menjaga eksistensi organisasi yang kita cintai itu.

7. Seluruh teman-teman segala angkatan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang tergabung dalam HIMAKOM, khususnya teman-teman angkatan 2005. Bersemangatlah kawan untuk tetap berkarya demi mengharumkan nama almamater kita tercinta. Dan juga teruntuk teman-teman di Bildung Enterprise dan Medio Picture, semoga persahabatan ini akan tetap terjaga.

8. Seluruh pihak yang telah banyak membantu, namun tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.

Jika seluruh bantuan itu saat ini belum dapat dibalas oleh penulis, semoga nantinya Allah SWT akan memberi imbalan yang berlimpah.

Penulis menyadari jika skripsi ini tak luput dari kekurangan. Tetapi Penulis berharap skripsi ini tidak hanya menjadi sarana pembelajaran bagi Penulis, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca di masa yang akan datang. Selamat membaca.

Surakarta, Oktober 2009 Penulis , Nur Heni Widyastuti

ABSTRAK

Nur Heni Widyastuti, D0205104, Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden Dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni - 5 Juli 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.

Media massa merupakan sebuah institusi yang mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Sehingga media massa disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas”.

Pemilihan Umum Presiden 2009 yang merupakan agenda besar Bangsa Indonesia juga tak luput dari konstruksi pemberitaan di media massa. Majalah Tempo yang merupakan bagian dari media massa juga melakukan konstruksi atas realitas yang terjadi seputar Pemilu Presiden 2009 tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerbitkan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 sepuluh hari sebelum pemilihan tersebut

berlangsung. Edisi khusus kali ini membahas profil keenam calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Angle yang ditetapkan oleh Redaksi Tempo dalam Rubrik Liputan Khusus tersebut adalah bagaimana karakteristik kepemimpinan para kandidat tersebut terbentuk.

Kepentingan yang diusung oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menerbitkan majalah tersebut adalah untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang pandangan Redaksi Majalah Tempo terhadap ketiga pasangan capres dan cawapres tersebut. Dalam mengonstruksi realitas sosok capres dan cawapres tersebut, Redaksi Majalah Tempo menonjolkan aspek- aspek tertentu dan menghilangkan aspek-aspek tertentu yang dirasa sesuai dengan kepentingan mereka.

Penelitian ini akan menjelaskan bagaimanakah framing yang dilakukan oleh Redaksi Majalah Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan para kandidat. Dalam menganalisis pemberitaan tersebut, Peneliti menggunakan metode analisis framing model Pan Kosickci. Alasan pemilihan metode tersebut karena lebih rinci dan detail dalam menganalisis dan lebih relevan dengan tema yang diangkat.

Strategi framing yang digunakan dalam mengonstruksi pembentukan karakter kepemimpinan Capres dan Cawapres adalah dengan pemilihan angle dan narasumber sesuai dengan kebijakan redaksi, serta menonjolkan dan menghilangkan fakta tertentu. Diawali dari pembentukan karakteristik kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla sampai Wiranto.

ABSTRACT

Nur Heni Widyastuti D0205104, Media Construction Toward Leadership Characteristic of Indonesian Presidential Candidates in 2009 Indonesian General Election (Framing Analysis of News Reporting at Tempo magazine 2009 General Election Special Edition,

29 June - 5 July 2009), Department of Mass Communication Sciences, Faculty of Political and Social Science, Sebelas Maret University, 2009.

Mass Media is a institution which construct common reality (first reality) into the media reality (second reality). Media reality then spread through media channels. So the reality in media often referred to “second hand reality” as reality creators agent.

As a big event, general election has allure many media in Indonesia to report and construct their own media reality. Tempo as a well known magazine in Indonesia also construct their reality in reporting the election. The Election special edition then published by Tempo 10 days before the general election. The special edition tells about the past and turning point of each candidates. Tempo editor deciding “how the leadership characteristic of candidates built” as an angle in reporting.

The importance of this special edition is to bring another point of view to the reader from Tempo’s opinion of candidates. In constructing the reality Tempo shows certain aspect of candidates figure and hiding another aspect in Tempo’s opinion it isn’t necessary to brought to the audience and fixed their interest.

This research explain how Tempo framed their news in constructing the second reality of leadership characteristic. In analyzing the news I used Pan Kosicki’s framing analysis model. Because this method is suitable for this issue, and this method can show fine points of this research.

Framing strategies used in the construction of character formation and vice presidential leadership is the election of angles and sources in accordance with editorial policies, and highlight and eliminate certain facts. Beginning from leadership characteristics of Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla and Wiranto.

ABSTRACT

Nur Heni Widyastuti, D0205104, Media Construction Against Leadership Characteristics of Presidential Candidate And Vice President Candidate Presidential Election 2009 (Framing Analysis Study Special News on Tempo Magazine Special Edition Presidential Election 2009, 29 June - 5 July 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, 2009.

Mass media are institution that constructs a natural reality (called as first reality) into media’s reality (called as second reality). Reality of the media establishment is then disseminated to the public through channels owned by the media. So that the mass media referred to as “second hand reality” as well as an “reality construction agent”.

Presidential election 2009, which is a big agenda of Indonesian also did not escape the construction of news in the media. Tempo magazine, which is part of the mass media also did construction of reality that occurred around Presidential Election 2009. One way to do is to publish Tempo Magazine Presidential Election 2009 Special Edition, ten days before the election took place. Special edition this time discussing the presidential candidate six profiles president and vice-presidential. Angle determined by the Editor in the Newsroom Tempo Special coverage is how the leadership characteristics of the candidate is established.

Tempo Magazine Editors interest in publishing the magazine is to provide an overview to the readers of Tempo Magazine Editor's view of a president and vice presidential candidate. In the construction of reality and vice presidential figure, Tempo Magazine Editors highlight certain aspects and eliminating certain aspects of the perceived according to their interests.

This research will explain how framing is done by Tempo Magazine Editors in the construction of the leadership characteristics of candidates. In analyzing the news, researchers using the method of framing the analysis of Pan Kosickci model. The reason is because the selection method in more detail and the detail in analyzing and more relevant to the themes raised.

Framing strategies used in the construction of character formation and vice presidential leadership is the election of angles and sources in accordance with editorial policies, and highlight and eliminate certain facts. Beginning from leadership characteristics of Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla and Wiranto.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk komitmen suatu bangsa dalam melaksanakan demokrasi. Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika Serikat, mengemukakan bahwa demokrasi direpresentasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abdulkarim, 2005: 118). Pemilu tersebut memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakilanya yang duduk di parlemen atau di pemerintahan. Pemilu bisa dianggap sebagai momen puncak berdemokrasi, oleh karena itu penyelenggaraan pemilu selalu menjadi suatu yang luar biasa dengan diistilahkan sebagai pesta demokrasi (Budiman, 2004: 154).

Lembaran sejarah mencatat Bangsa Indoneisa telah melaksanakan Pemilu Anggota Legislatif sebanyak sembilan kali yakni tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, dan yang terakhir 9 April 2009. Pada Pemilu tahun 2004, Bangsa Indonesia menorehkan sejarah baru, yakni untuk pertama kalinya presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebelum tahun 2004, Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui mekanisme Sidang Umum (SU). Pada tahun 2009 kali ini untuk kedua kalinya Bangsa Indonesia mengadakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat.

Pemilu Presiden menjadi agenda penting bangsa dan telah menjadi wacana nasional. Momen besar ini tentu tak luput dari pemberitaan di media massa. Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa diharapkan mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden. Kejujuran (honesty), akurasi (accuracy), keseimbangan (fairness) serta ketidak-berpihakan menjadi sebuah idealisme yang Pemilu Presiden menjadi agenda penting bangsa dan telah menjadi wacana nasional. Momen besar ini tentu tak luput dari pemberitaan di media massa. Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa diharapkan mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden. Kejujuran (honesty), akurasi (accuracy), keseimbangan (fairness) serta ketidak-berpihakan menjadi sebuah idealisme yang

Media massa sebagai pilar keempat demokrasi tersebut pada dasarnya adalah sebuah institusi ekonomi, sehingga unsur bisnis tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Pengusaha media kini harus banting setir, sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan idealisme dalam mengelola perusahaan, tetapi harus meningkatkannya menjadi industri. Itulah sebabnya akhir abad 20 dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang dikelola secara industri dengan memperhitungkan profit oriented (Djuroto, 2002: v).

Selain sebagai institusi ekonomi, media juga sebagai sebuah institusi yang mengonstruksi realitas sosial dalam menjalankan bisnisnya. Media mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi, sehingga media disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas” (Rakhmat, 2001: 224). Sehingga, pemberitaan yang beredar di masyarakat mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 juga merupakan konstruksi yang dilakukan oleh media massa. Dalam menjaga keberlangsungan pemilu agar lebih jujur dan adil, netralitas dan independensi media massa harus tetap dijaga.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, mengatakan media boleh bersikap, karena independensi tidaklah berarti harus netral sepenuhnya. Namun dalam artian sikap tersebut tidak dipengaruhi oleh apa pun, kecuali oleh proses-proses Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, mengatakan media boleh bersikap, karena independensi tidaklah berarti harus netral sepenuhnya. Namun dalam artian sikap tersebut tidak dipengaruhi oleh apa pun, kecuali oleh proses-proses

Hampir semua stasiun televisi (Trans TV, Trans7, ANteve, TVRI, RCTI, TPI, Metro TV, dan TV One) serentak menanyangkan secara langsung acara deklarasi Pasangan Capres Cawapres nomer urut dua pada Jum’at 15 Mei 2009 di Jakarta. Namun saat pendeklarasian pasangan Capres dan Cawapres nomer urut satu dan tiga hanya Metro TV dan TV One yang menyiarakan. Saat siaran deklarasi berlangsung, Metro TV melakukan wawancara dengan pengamat Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J. Kristiadai. Ia berkomentar “Kok tega-teganya SBY membuat acara mewah seperti ini sementara rakyatnya hidup susah. Kalau seperti ini maka pendeklarasian JK- Win terasa lebih sederhana dan heroik” (Alma, www.almaokay.wordpress.com, 2009). Sedangkan TV One, stasiun televisi “rival”dari Metro TV dalam pemberitaannya tidak terlalu concern dalam masalah dana, tetapi fokus pada pelaksanaan acara. Hal tersebut terlihat dari judul berita-berita yang diangkat semisal “Lagu Indonesia Raya Buka Deklarasi Yudhoyono” atau “Yudhoyono dan Boediono Kompak Berkemeja Merah” (www.tvone.co.id, 2009)

Fenomena diatas hanyalah contoh dari sekian banyak fenomena tentang bagaimana sikap media terhadap pemberitaan pasangan Capres dan Cawapres. Banyak wacana beredar mengenai ketiga pasangan Capres dan Cawapres tersebut, mulai dari masa Fenomena diatas hanyalah contoh dari sekian banyak fenomena tentang bagaimana sikap media terhadap pemberitaan pasangan Capres dan Cawapres. Banyak wacana beredar mengenai ketiga pasangan Capres dan Cawapres tersebut, mulai dari masa

Setiap media memiliki kebijakan berbeda-beda ketika ingin memberitakan tema terebut. Redaksi Tempo pun juga memiliki kebijakan tersendiri, salah satunya adalah dengan mengeluarkan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009, 10 hari sebelum pemilihan berlangsung. Dalam Liputan Khusus tersebut memuat berita mengenai tiga pasangan Capres dan Cawapres.

Kepemtingan penerbitan edisi khusus itu diungkapkan Redaksi Tempo dalam pengantarnya di Laporan Khusus yang berjudul Enam Remaja Bertahun Kemudian. Redaksi Tempo menuliskan lead “Inilah kisah tentang masa silam enam kandidat pemimpin. Sekadar bekal masuk bilik suara”. Hal ini dimaksudkan agar edisi kali ini memberikan gambaran kepada calon pemilih tentang para Capres dan Cawapres sebelum menentukan pilihan di bilik suara. Redaksi Tempo melanjutlkan, “Persoalan muncul: bekal seperti apa yang dibutuhkan calon pemilih—sesuatu yang tak klise dan tak makin membuat orang mereduksi politik dari ”P” besar menjadi ”p” kecil?”. Kutipan tersebut akan dijawab dalam pemilihan tema yang diungkapkam Redaksi Tempo sebagi berikut :

“Tapi kami tak ingin ”menghangatkan nasi kemarin”—mengulang ide, menanaknya berulang-ulang, lalu menyuguhkannya menjadi sajian tanpa selera.

Kami sadar, di dalam kata ”news”, sesuatu yang kami geluti sehari-hari, terkandung kata ”new” alias kebaruan. Dan bagi sebuah majalah berita, kebaruan itu bisa berarti kecerdikan dalam memilih sudut pandang.

Melalui serangkaian diskusi, sampailah kami pada sudut pandang itu. Bahwa yang akan disoroti adalah masa lalu keenam calon presiden dan wakilnya.

Bukan sembarang masa lalu, melainkan masa ketika karakter mereka

sebagai pemimpin terbentuk.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28)

Kalimat yang dicetak tebal dijadikan insert tulisan di halaman Pengantar Redaksi. Kutipan diatas menyiratkan bahwa pembentukan karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres di masa lalu menjadi poin penting dalam Edisi Khusus Tempo kali ini.

Sedangkan yang menjadi poin penting dalam skripsi ini adalah bagaimanakah Tempo membingkai pemberitaan tentang masa lalu dalam hal pembentukan karakter kepemimpinan Capres dan Cawapres tersebut. Hal itu menjadi penting, karena Redaksi Tempo tidak bisa membingkai seluruh masa lalu Capres dan Cawapres, melainkan harus selektif sesuai dengan kesepakatan angle. Berikut kutipan Redaksi dalam pengantarnya :

“Dengan sudut pandang ini, sejumlah cerita memang harus diabaikan. Bukan karena tak penting, melainkan karena kami tak ingin berkhianat terhadap angle. Kami, misalnya, harus menyimpan kisah tentang penculikan aktivis 1998, cerita kelam yang menyeret nama Prabowo Subianto. Kisah tentang peran Wiranto dalam insiden Semanggi dan bumi hangus Timor Timur juga terpaksa tak kami ketengahkan.

Hidup memang menyimpan sejuta pilihan. Kali ini kami memilihkan berita untuk Anda, para pembaca—sesuatu yang moga-moga saja bisa menjadi bekal memilih 8 Juli nanti.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28)

Terlepas dari berbagai kepentingan yang menyelubungi setiap pemberitaan di media (semisal kampanye), pewacanaan tentang karakteristik kepemimpinan Presiden dan Wakilnya oleh media memang dibutuhkan bagi para pemilih. Hal tersebut penting, mengingat Presiden adalah pucuk kepemimpinan di suatu negara, sehingga bukan sembarang orang yang bisa menduduki jabatan tersebut. Sebagai seorang pemimpin, kemahiran memimpin dan kharisma kepemimpinan Presiden bisa jadi menjadi representasi bangsa di mata dunia internasional.

Setiap Capres dan Cawapres memiliki masa lalu pembentukan karekter kepemimpinan yang berbeda-beda. Banyak sisi yang bisa ditonjolkan, dan banyak frame yang bisa diketengahkan, tergantung dari kebijakan redaksi media itu sendiri. Dari analisis teks-teks berita yang disajikan dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 bisa dilihat nantinya bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Redaksi Tempo terhadap kandidat orang yang akan memimpin Indonesia lima tahun mendatang.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini ingin menjawab rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai bagaimana Majalah Tempo mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009 melalui pemberitaan di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu komunikasi, terutama dalam hal penggunaan metode analisis framing pemberitaan media cetak yang notabene merupakan salah satu bentuk komunikasi.

E. TELAAH PUSTAKA

1. Paradigma Konstruktivisme

Pengertian paradigma secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: 1. model dari teori ilmu pengetahuan; 2. kerangka berfikir (KBBI, 2003: 729). Sedangkan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure Of Science Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu dalam memandang suatu fenomena. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (Kuhn, 2002: 187-188).

Guba dan Lincoln dalam tulisannya Paragigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging Confluences di buku Handbook of Qualitative Research mengatakan paradigma memiliki lima tipologi yaitu positivism (positivisme), postpositivismem (postpositivisme), critical theory et al (teori kritis), constructivism (konstruktivisme) dan participatory (partisipatoris). Setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing- masing (Denzin, 1994 : 192).

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme merupakan kritik terhadap paradigma positivisme, dimana yang membedakan keduanya adalah obyek kajiannya sebagai start awal dalam memandang realitas sosial. Positivisme berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Untuk lebih mengetahui perbedaan konstruktivisme dengan prositivisme dalam hal pemberitaan realitas sosial bisa dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1. Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme Positivis

Konstruktivisme

Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah- Fakta merupakan konstruksi atas kaidah tertentu yang berlaku universal. realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat

relatif, berlaku dalam konteks tertentu. Media sebagai saluran pesan

Media sebagai agen konstruksi pesan Berita adalah cermin dan refkelsi dari Berita tidak mungkin merupakan kenyataan. Karena itu berita haruslah cermin dan refleksi dari realitas. sama dan sebangun dengan fakta yang Karena

terbentuk hendak diliput.

berita

yang

merupakan kostruksi atas realitas. Berita

: Berita bersifat subjektif: Opini tidak Menyingkirkan opini dan pandangan dapat dihilangkan karena ketika subjektif dari pembuat berita.

bersifat

objektif

meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

Wartawan sebagai pelapor Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani

keanekaragaman

subjektifitas pelaku sosial

Nilai, etika, opini, dan pilihan moral Nilai, etika, atau keberpihakan berada di luar proses peliputan berita

wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.

Nilai, etika, dan pilihan moral harus Nilai, etika, dan pilihan moral bagian berada dikuar proses penelitian

tak terpisahkan dari suatu penelitian. Berita diterima sama dengan apa yang Khalayak mempunyai penafsiran dimaksudkan oleh pembuat berita.

sendiri yang bisa jadi bebeda dari pembuat berita.

Sumber: Eriyanto, 2002: 20-36 Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivisme. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai Sumber: Eriyanto, 2002: 20-36 Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivisme. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai

Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding) (Mualivah, 2009: 5).

Egon G Guba dalam The Paradigm Dialog (Guba, 1990: 25) menyatakan:

“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai.

Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26). Penjelasan Guba memiliki arti “pengetahuan dapat Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26). Penjelasan Guba memiliki arti “pengetahuan dapat

Konsekuensi dari penggunaan paradigma konstruktivisme adalah dalam melakukan penelitian penulis harus menggunakan elemen-elemen epistemologis, ontologis, metodologis, dan aksiologis yang sejalan dengan paradigma konstruktivisme. Guba dan Lincoln dalam tulisannya Paragigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging Confluences di buku Handbook of Qualitative Research menuliskan elemen- elemen konstruktivisme dengan penjelasan sebagai berikut (Denzin, 1994: 193) :

Tabel 2. Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme

Relativism: Realitas merupakan konstruksi

Ontologis

sosial. Kebenaran suatu realitas bersiat

(Asumsi tentang relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang obyek/realitas yang diteliti)

dinilai relevan oleh pelaku sosial. Transaksionalis/Subjektivis: Pemahaman

Epistemologi

tentang suatu realitas atau temuan suatu

(Asumsi tentang hubungan penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dan yang diteliti)

peneliti dengan yang diteliti. Hermeneutical / Dialectical: Menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan

responden untuk merekonstruksi realitas yang

Metodologis

diteliti melalui metodemetode kualitatif

(Asumsi bagaimana cara seperti participant observation. Kriteria memperoleh pengetahuan)

kualitas penelitian: Authenticity dan reflectifity, sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial. Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu penelitian.

Axioilogis

Peneliti sebagai passionate participant,

(Berkaitan dengan posisi fasilitator yang menjembatani keragaman penilaian, etika, dan pilihan subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian: moral pemeliti) Rekonstruksi realitas sosial secara dialektik

antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti. Sumber : Denzin, 1994 : 193

Pada tabel diatas tampak bahwa elemen ontologis (keberadaan realitas) paradigma konstruktivisme adalah bersifat relatif. Artinya, realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan “realitas sosial buatan” yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi. Dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa realitas tentang karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 memang diciptakan oleh Redaksi Majalah Tempo melalui berita yang dibuat.

Elemen epistemologi dalam pendekatan ini bersifat subjektif-dialektikal. Artinya pemahaman atau temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam bentuk realitas. Peneliti juga berusaha masuk ke dalam obyek penelitian melalui wawancara Elemen epistemologi dalam pendekatan ini bersifat subjektif-dialektikal. Artinya pemahaman atau temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam bentuk realitas. Peneliti juga berusaha masuk ke dalam obyek penelitian melalui wawancara

Elemen metodologis atau cara mendapatkan pengetahuan pada perapektif ini bersifat reflektif dialektif. Dalam hal ini peneliti masuk ke dalam kondisi obyek peneliti melalui wawancara guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi media. Selain itu peneliti juga bertindak sebagai pengamat langsung berita yang disajikan oleh Tempo Edisi Khusus pemilihan Presiden 2009.

Elemen aksiologis dalam paradigma konstuktivisme ini adalah peneliti bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Dalam hal ini nilai, etika, moral, dan pilihan- pilihan lain dari peneliti merupakan suatu rangkain yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian ini.

2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Teori konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Berger dan Lackman mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam, yaitu realitas subjektif, realitas objektif, dan realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang yang terbentuk dari pengalaman di dunia di dunia objektif yang berada di luar dari individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu, realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui internalisasi (Bungin, 2001: 5).

Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjectif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan merekonstruksi kenyataan dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2001: 5).

Masyarakat dan manusia adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Masyarakat tak lain adalah produk manusia namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah produk atau hasil dari masyarakat. Poses dialektis tersebut memiliki tiga tahapan (Eriyanto, 2002: 14-

15) yakni:

1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan metal maupun fisik. Dalam proses inilah manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia

2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik metal maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manudia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berbeda diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.

3. Internalisasi, penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Ketika manusia coba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase

eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses

Bagi Berger, realitas sosial tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi ia dibentuk dan dikostruksi. Dalam pemahaman seperti itu realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas relitas. Setiap orang mempunyai pengalaman (frame of experience), preferensi (frame of reference), pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2002: 15-16).

Apabila penulis menggunakan teori tersebut sebagai landasan analisis dalam melihat konstruksi yang dilakukan oleh Tempo, maka realitas yang dibangun oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menghasilkan teks berita berasal dari kerangka berfikir (frame of reference) dan kerangka pengalaman (frame of experience) individu wartawan. Keduanya itu diperoleh dari kegiatan eksternalisasi dan internalisasi yang juga turut mempengaruhi dalam mengonstruksi realitas sosial pemberitaan.

3. Media Massa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Cara yang baik untuk menggambarkan pengertian komunikasi dijelaskan oleh Harold Lasswell adalah dengan menjawab pertanyaan Who says What in which channel to Whom with What effect? atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana (Mulyana, 2005: 62). Dari pendapat Harold Lasswell tersebut, berarti komunikasi mengandung unsur : (a) Sumber (source) yang sering disebut juga sebagai pengirim pesan atau komunikator (communicator). (b) Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol Cara yang baik untuk menggambarkan pengertian komunikasi dijelaskan oleh Harold Lasswell adalah dengan menjawab pertanyaan Who says What in which channel to Whom with What effect? atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana (Mulyana, 2005: 62). Dari pendapat Harold Lasswell tersebut, berarti komunikasi mengandung unsur : (a) Sumber (source) yang sering disebut juga sebagai pengirim pesan atau komunikator (communicator). (b) Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol

Media yang digunakan dalam komunikasi bermacam-macam, namun yang bisa menjangkau khalayak lebih luas adalah media massa. Mursito BM dalam buku Memahami Institusi Media mengatakana bahwa media massa memiliki enam karakteristik khusus yang bersifat umum, pertama, penyampaian pesan ditujukan ke khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar, sertatak, serta tidak mengenal batas geografis-kultural. Kedua, bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Ketiga, pola penyampaiannya cenderung berjalan satu arah. Keempat, komunikasi massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir, dengan manajemen modern. Kelima, penyampaian pesan dilakukan secara berkala, tidak bersifat temporer. Keenam, isi pesan yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan. Dari karakteristik yang dipaparkan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah alat-alat dalam komunikasi berupa lembaga yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibandingkan dengan media komunikasi yang lain adalah bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu dan mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Media massa jenisnya ada dua, media cetak semisal koran dan majalah, dan media elektronik semisal televisi, radio, dan internet.

Ada perubahan perspektif teoritik tentang content atau isi media. Jika sebelumnya media dipahami mampu merefleksikan realitas secara objektif, jernih dan apa adanya, maka sekarang ini isi media sebenarnya telah dibentuk oleh beragam faktor yang Ada perubahan perspektif teoritik tentang content atau isi media. Jika sebelumnya media dipahami mampu merefleksikan realitas secara objektif, jernih dan apa adanya, maka sekarang ini isi media sebenarnya telah dibentuk oleh beragam faktor yang

Turnomo Raharjo dalam tulisannya Koran Lokal dan Ruang Publik, Refleksi 55 Tahun Suara Merdeka mengutip pendapat Edward Herman (1990) yang menegaskan

bahwa uang dan kekuasaan menjadi sarana untuk melakukan penetrasi terhadap (isi) media melalui kontrol langsung maupun tidak langsung. Herman menyebutkan lima, hal yang berpengaruh terhadap isi media, yaitu satu, kepemilikan yang terkonsentrasi, kekayaan pemilik dan orientasi profit. Dua, periklanan sebagai sumber utama media. Tiga, ketergantungan media pada informasi yang diberikan pemerintah, lembaga bisnis dan experts yang didanai dan disetujui oleh kelompok kepentingan tertentu. Empat, “flak” sebagai sarana mendisiplinkan media; dan lima, antikomunisme sebagai religi sekuler suatu bangsa dan mekanisme kontrol ideologis. Kelima hal tersebut berinteraksi dan saling menguatkan serta menentukan batas-batas antara wacana media dengan definisi tentang apa yang disebut sebagai kepatutan berita (newsworthy) (Suara Merdeka, 11 Februari 2005).

Sedangkan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content mengatakan apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Mereka menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media yakni influences on content from individual media worker (level individual), influence of nedia routinies (level rutinitas media), organizational influence on content (level organisasi), influences on content from outside of media organization (level ekstra media), and the influence of idideology (level Sedangkan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content mengatakan apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Mereka menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media yakni influences on content from individual media worker (level individual), influence of nedia routinies (level rutinitas media), organizational influence on content (level organisasi), influences on content from outside of media organization (level ekstra media), and the influence of idideology (level

Skema 1. Faktor yang mempengaruhi media

Individual level media routines level organizational level extra media level ideological level

Sumber : Shoemaker, 1996: 64 Kelima level yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese akan dirangkum sebagai berikut :

1. Level individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media. Hal tersebut dapat dilihat dari skema berikut :

Skema 2. How factor intrinsic to the communicator

may influence media content

Communicators’s characteristics, personal background, and experiences

Communicators’s professional background, and experiences

Communicators’s personal attitudes, values, and beliefs

Communicators’s professional roles and ethics

Communicators’s power within the organization

Effect of ommunicators’s characteristics, backgrouns, experiences, attitudes, values, belief, roles, ethics, and power on mass media content

Sumber : Shoemaker, 1996: 65

2. Level Rutinitas media

Level ini berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri- ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.

3. Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai

4. Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media seperti yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese sebagai berikut : ”In this chapter, we shift our attention to factors extrinsic to (outside

of) the media organization. They concluded the source of the information that becomes media contents, such us special interest groups, public relation campaigns, and even the news organization themselves; revenue source, such as advertisers and audiences; other social institutions, such us business and government; economic environment; and tecnology.” (Dalam chapter ini, kami memindahkan perhatian kami kepada faktor ekstrinsik dari organisasi media. Faktor tersebut disimpulkan sumber informasi yang menjadi ini media, seperti kelompok penekan, kampanye publik, dan bahkan organisasi berita itu sendiri; sumber pendapatan, seperti iklan dan audiens; institusi sosial yang lain, seperti saingan bisnis dan pemerintah; lingkungan ekonomi; dan teknologi) (Shoemaker, 1996: 175)

Pernyataan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentang faktor eksternal yang memempengaruhi media tersebut akan dijelaskan sebagai berikut Ø Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: Pernyataan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentang faktor eksternal yang memempengaruhi media tersebut akan dijelaskan sebagai berikut Ø Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: