LANDASAN TEORI

4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan

Smith dalam Saifuddin (2005:142) mencatat bahwa ”tukar menukar adalah sifat alamiah manusia, karena tak seorang pun pernah menyaksikan dua ekor anjing saling mempertukarkan tulang, namun manusialah makhluk yang saling bertukar dengan aneka ragam cara”. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Koentjaraningrat (1992:172) mengemukakan bahwa, ”orang desa menyumbang dan membantu sesamanya itu karena ia terpaksa atas jasa yang pernah diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongannya lagi dikemudian hari”. Marcel Mauss (2005:137) juga mendiskripsikan pengalamannya tentang sebuah keluarga dalam masa kanak-kanaknya di Lorraine, yang terpaksa harus hidup dalam keadaan serba kekurangan, masih berani menghadapi kehancuran diri mereka sendiri demi kepentingan para tamunya pada hari-hari suci, perkawinan, komuni pertama dan upacara penguburan.

Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan- kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan semacam ini oleh korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan, Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan- kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan semacam ini oleh korbanya tidak dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan,

pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.

Seperti halnya ilmu gaib, teori kekerasan simbolik berdasarkan pada teori produksi kepercayaan, yang didapat dari proses sosialisasi yang diperlukan untuk meproduksi pelaku-pelaku sosial yang dilengkapi dengan skema persepsi dan apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima perintah-perintah yang diberikan dalam suatu situasi atau suatu wacana untuk mematuhinya. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya apalagi kebenarannya. Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38).

Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara, Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara,

Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi mereka yang kurang memiliki modal. Dalam penelitian Novita Purnamasari (2000:94-95) dijelaskan bahwa sumbangan yang akan diberikan akan dipertimbangkan secara rasional oleh masyarakat Yogyakarta. Pemberian sumbangan uang akan disesuaikan dengan pesta perkawinan yang diadakan pengundang, selain dengan melihat kedekatan hubungan, penyumbang akan menghitung sendiri jumlah yang pantas diberikan pada pengundang berdasarkan tempat dimana acara akan dilakukan. Seseorang akan menyumbang lebih jika diundang di pesta perkawinan karena acara tersebut terkesan lebih mewah dan lebih bergengsi, kemudian komponen pesta yang lain seperti tempat dan makanan yang disuguhkan akan menjadi pertimbangan lain.

Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini, Rousseau dalam Saifudin (2005:141-142) menjelaskan bahwa, masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-

kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.

Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diiternalisir oleh anggota Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diiternalisir oleh anggota

ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama.

Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir kedalam kebudayaan kita sendiri.

B. Kerangka Berpikir

Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat. Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta memperkuat keberadaan masyarakat.

Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus. Sistem sumbangan menjadi suatu adat kebiasaan serta kewajiban yang telah Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus. Sistem sumbangan menjadi suatu adat kebiasaan serta kewajiban yang telah