Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
1. Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati
Pernikahan bagi masyarakat Indonesia selalu disertai dengan adanya upacara yang dirayakan dengan perhelatan atau pesta. Dalam masyarakat, setiap keluarga entah secara besar-besaran atau sederhana merencanakan persiapan perhelatan pernikahan anak atau saudara mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Khususnya persiapan dalam pembiayaan acara pernikahan. Hal ini juga diketahui oleh para tetangga atau masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar seringkali juga sudah rasan-rasan (sedikit mengetahui) apabila salah seorang tetangganya hendak melakukan perhelatan perkawinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat diketahui bahwa pelaksanaan acara pernikahan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen dalam setiap bulannya terdapat lebih dari satu kali, bahkan dalam satu bulannya kadang-kadang sampai terdapat empat kali perhelatan acara pernikahan. Masyarakat Desa Jati menyebutkan nama bulan dengan angka saja, dan dari keterangan mereka dapat diketahui bahwa di Desa Jati acara pernikahan paling ramai dilaksanakan pada bulan empat, lima dan enam penanggalan Masehi atau dengan kata lain pada bulan April, Mei dan Juni. Tentu saja pemilihan bulan-bulan yang banyak digunakan untuk mengadakan pernikahan ini bukanlah tanpa alasan.
Masyarakat Desa Jati yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani turut mempengaruhi pemilihan bulan dalam melakukan perhelatan pernikahan. Alasan yang mendasarinya adalah karena persoalan waktu yang dianggap tepat, dimana pada bulan-bulan tersebut mereka sedang menunggu panen. Saat menunggu panen adalah saat para warga masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian sedang tidak memiliki banyak pekerjaan seperti halnya pada saat musim tandur (tanam), atau musim panen, sehingga banyak waktu longgar untuk menyelenggarakan kegiatan acara pernikahan.
Meskipun demikian, seperti halnya kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Desa Jati juga mengetahui dan memahami tentang berbagai perhitungan waktu yang dianggap baik dan waktu yang dianggap jelek atau sering
disebut dengan petungan 5 . Pengetahuan masyarakat tentang waktu yang dianggap baik atau jelek juga turut berpengaruh pada saat kapan mereka akan melangsungkan
pernikahan. Dalam kalender perhitungan bulan Jawa maka bulan Suro dan bulan Apit adalah bulan yang tidak boleh digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Apabila dihitung dengan penanggalan Jawa bulan Apit adalah bulan Dulkaidah atau sering disebut dengan bulan Sela, yaitu antara bulan Sawal dan bulan Besar. Bulan dalam penanggalan Jawa tidak dapat selalu di samakan dengan perhitungan bulan Masehi, misalnya bulan Suro yang merupakan bulan awal tahun baru pada penaggalan Jawa tidak selalu terletak pada bulan Januari (bulan awal pada tahun baru Masehi). Hal ini dikarenakan perhitungan antara bulan Jawa dengan bulan Masehi berbeda. Penanggalan Jawa menggunakan tarikh peredaran bulan, sedangkan bulan Masehi menggunakan tarikh matahari.
Ada beberapa alasan mengapa bulan Apit dan bulan Suro tidak boleh digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Warto (bukan nama
5 Pentungan: sistem numerologi orang Jawa. Pentungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan.
Misalnya petungan dalam penetapan kecocokan jodoh, petungan untuk pindah tempat tinggal, bepergian, penentuan waktu pernikahan dan sebagainnya (Clifford Geertz. 1989:38-44).
sebenarnya), salah satu informan secara terperinci penjelaskan dua alasan tersebut: pertama, di daerah Surakarta dan Yogyakarta memiliki patokan bahwa bulan Apit dan bulan Suro adalah bulan-bulan keramat. Menurut Warto, seperti yang dikemukakan orang-orang/masyarakat pendahulunya bahwa pelaksanaan hajatan pernikahan pada bulan Apit dan Suro hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi saja. Sementara masyarakat biasa dianggap tidak pantas untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan seperti yang dilakukan oleh orang yang memiliki derajat tinggi pada trah (keturunan) mereka. Kedua, sesuai dengan perhitungan Jawa memang ada bulan-bulan yang disingkiri, haram untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Jika hal ini dilanggar masyarakat percaya bahwa akan ada bahaya yang datang, terutama bagi pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan tersebut. Kepercayaan ini tentu saja berkaitan erat dengan budaya masyarakat Jawa yang masih sangat kental.
Selain bulan Apit dan Suro yang telah dijelaskan di atas maka terdapat satu bulan lagi yang jarang digunakan untuk menyelenggarakan acara hajatan pernikahan, yaitu bulan puasa atau bulan Ramadan sampai pada pelaksanaan perayaan hari raya Idul Fitri. Hal ini terkait dengan pemfokusan masyarakat Desa Jati yang mayoritas beragama Islam pada pelaksanaan ibadah puasa dan perayaan hari raya Idul Fitri. Acara hajatan pernikahan sendiri syarat dengan pesta yang dilengkapi dengan berbagai suguhan hidangan bagi para tamu undangan yang telah hadir, sehingga bulan puasa atau bulan ramadhan sering dihindari bagi pelaksanaan acara hajatan pernikahan di Desa Jati.
Masyarakat Desa Jati tentu saja memiliki alasan-alasan tersendiri tentang persoalan penghitungan bulan, apakah boleh dan tidak boleh dilakukannya acara pernikahan. Sehingga pelaksanaan sistem sumbangan di Desa Jati juga selalu mengikuti waktu pelaksanaan hajatan pernikahan tersebut. Karena tentunya pelaksanaan sistem sumbangan ini dilaksanakan sewaktu acara pesta hajatan pernikahan dilaksanakan. Yaitu pada bulan-bulan selain bulan Suro, Apit (Dulkaidah), bulan puasa (Ramadan), dan bulan Syawal (Idul Fitri).
2. Bentuk Sumbangan Pada Acara Pernikahan di Desa Jati
Warto, Pardi, Yono, Brama, Endang dan Ratmi (bukan nama sebenarnya) sebagai informan menjelaskan bahwa di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, bentuk sumbangan yang diberikan para tamu undangan pada acara hajatan pernikahan dapat berupa uang, barang hasil bumi ataupun berupa kado. Berkaitan dengan bentuk sumbangan ini Yono salah satu informan menuturkan, “bentuk sumbangan biasanya beras mas…..kalau uang itu untuk jagong di atau dari lain Desa….kalau kado itu dari orang muda…..kalau orang tua gak kado-kadonan…..”. (W/Yono/29/04/09)
Sumbangan pada acara pernikahan yang berupa barang hasil bumi adalah salah satu bentuk sumbangan yang masih eksis di Desa Jati sampai saat ini. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu informan di atas, sumbangan yang berupa hasil bumi tersebut adalah beras. Secara lebih rinci Ratmi (salah seorang informan) menunjukkan jika sumbangan hasil bumi yang berupa beras ini mencakup dua jenis yaitu beras biasa dan beras ketan. Setiap menghadiri acara hajatan pernikahan warga masyarakat Desa Jati biasanya akan menyumbang dengan dua macam jenis beras ini. Atau paling tidak dalam sekali menyumbang minimal membawa salah satu jenis beras (beras biasa atau beras ketan) untuk diberikan kepada pihak yang mempunyai hajat. Selain beras juga pisang, sayuran, cabai, bawang merah, bawang putih dan ditambah dengan “tumpangan”. Tumpangan adalah istilah yang digunakan masyarakat Desa Jati untuk menyebut beberapa makanan ataupun bahan makanan yang digunakan sebagai pelengkap sumbangan dalam bentuk hasil bumi.
Beberapa makanan dan bahan makanan yang digunakan sebagai tumpangan seperti, makanan khas Jawa (wajik, jadah, gletik, lemper, rangin, dan sebagainya) minimal 1 ketel/ satu pres nampan, pisang 1 sisir, mie 1 pak/ plastik, gula 1 atau 2 kg, kue, teh 1 pak/ satu plastik, rokok 1 slop, rambak/kerupuk, dan sebagainya. Sumbangan yang berupa hasil bumi ini rata-rata untuk beras biasa standarnya sekitar
3 beruk (penakar beras)/ 4 kg dan beras ketan juga 3 beruk/ 4 kg. Jumlah ini akan 3 beruk (penakar beras)/ 4 kg dan beras ketan juga 3 beruk/ 4 kg. Jumlah ini akan
Hasil bumi terutama beras adalah hasil pertanian pokok di Desa Jati. Masyarakat meskipun kadang-kadang memiliki sedikit uang, tetapi jika beras mereka selalu menyimpannya. Beras kadang-kadang menjadi harta simpanan masyarakat dimana saat mereka membutuhkan uang maka beras tersebut dapat dijual. Dengan demikian beras masih tetap eksis dijadikan sebagai sumbangan karena setiap masyarakat dirasa selalu memiliki simpanan beras. Hal ini terkait juga dengan pekerjaan masyarakat Desa Jati yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Selain itu beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Desa Jati dan beras juga merupakan salah satu bahan makanan pokok yang akan disajikan pada acara pernikahan. Dengan menyumbang beras beserta tumpangannya maka yang punya hajat akan dapat langsung mengolahnya sebagai hidangan yang disajikan untuk para tamu undangannya. Hal ini juga sejalan dengan Clifford Geertz (1989:88) dalam penelitiannya di masyarakat Mojokuto, yang mengatakan bahwa setiap orang menyumbang beras bukan berupa uang tunai, karena bahan makanan tersebut dapat segera digunakan untuk slametan (upacara selamatan).
Di Desa Jati jenis sumbangan yang berupa hasil bumi ini lebih sering dibawa tamu undangan perempuan, karena dirasa lebih pantas terkait yang dibawa adalah barang-barang belanjaan untuk hidangan ataupun bahan hidangan yang akan disajikan dalam pesta hajatan pernikahan. Masalah urusan barang-barang belanjaan selalu diserahkan pada perempuan dan pihak laki-laki menganggap kurang pantas jika mereka yang mengurusi serta membawanya sebagai sumbangan. Sehingga barang- barang belanjaan, urusan masak-memasak, ataupun urusan dapur diidentikkan dengan perempuan. Pembagian peran gender pun sangat terlihat dalam kegiatan ini.
Jenis sumbangan yang kedua adalah berupa uang dan jenis ini juga masih berlaku di Desa Jati. Rata-rata jumlah standar sumbangan yang berupa uang sekitar Rp.15.000 sampai Rp. 25.000 untuk sekali menyumbang. Sama halnya dengan sumbangan yang berupa hasil bumi, jika yang disumbang masih kerabat/saudara maka jumlahnya akan disesuaikan besarannya. Menyumbang kerabat, saudara atau keluarga tentu saja jumlahnya akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah sumbangan yang dikeluarkan untuk tetangga, teman atau masyarakat biasa. Uang yang akan digunakan untuk menyumbang biasanya dimasukkan kedalam amplop, seperti keterangan Brama, salah satu informan yang mengatakan, “biasanya amplop yang digunakan untuk menyumbang itu amplop yang kecil putih itu…kalau gak ya amplop yang sampingnya ada merah-merahnya itu…amplop untuk surat itu….”. (W/Brama/22/04/09)
Mengamplopi uang yang akan dijadikan sumbangan dirasa lebih sopan bila dibandingkan dengan memberi langsung tanpa amplop. Tamu undangan laki-laki cenderung lebih memilih jenis sumbangan berupa uang, karena dinilai lebih pantas dan praktis untuk dibawa. Selain itu, dengan alasan kepraktisan masyarakat Desa Jati apabila menghadiri acara hajatan pernikahan di luar Desa sering menggunakan sumbangan yang berupa uang. Begitu juga saat mereka menyelenggarakan hajatan pernikahan, tamu dari luar daerah biasanya lebih sering memberikan sumbangan yang berupa uang.
Dari hasil wawancara, para informan menyebutkan bahwa sumbangan dalam jenis uang ini telah berjalan sejak dahulu, tetapi mereka tidak mengetahui kapan sumbangan yang berupa uang seperti ini mulai diberlakukan. Mereka hanya mangetahui jika sumbangan dalam bentuk uang ini berlaku bersamaan dengan sumbangan yang berupa hasil bumi. Para informan mengetahui jika sumbangan yang berupa uang seperti ini telah ada di Desa Jati sejak dahulu, dan sumbangan seperti ini telah berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi.
Jenis sumbangan yang lain adalah berupa kado. Kado lebih sering diberikan oleh tamu undangan yang masih muda usianya, khususnya adalah remaja perempuan, Jenis sumbangan yang lain adalah berupa kado. Kado lebih sering diberikan oleh tamu undangan yang masih muda usianya, khususnya adalah remaja perempuan,
Kado bagi remaja laki-laki dirasa kurang praktis dan merepotkan. Mulai dari pemilih barang yang akan digunakan untuk isi kado, cara pengemasan kado yang membutuhkan kesabaran, keindahan dan kerajinan, sampai pada membawanya pun dirasa oleh para remaja laki-laki terlalu ribet/merepotkan. Remaja laki-laki juga merasa kurang pantas jika mereka membawa kado, mereka menilai bahwa remaja perempuanlah yang lebih pantas, seperti yang dikemukakan Brama (salah satu informan) di atas. Kebiasaan dan konstruksi sosial kembali mewarnai masalah pantas dan tidaknya dalam memberikan sumbangan yang berupa kado.
Brama juga menjelaskan, di Desa Jati kado biasanya tidak diberikan secara berkelompok. Satu kado tidak diberikan sebagai sumbangan pada acara pernikahan atas nama banyak orang (kelompok), namun biasanya lebih bersifat individu. Setiap tamu undangan yang menyumbang berupa kado akan membawa kadonya sendiri- sendiri dan atas namanya sendiri. Dalam hal ini Brama mengemukakan, ”biasane yen kado yo dewe-dewe…..yen kelompok biasane gak enek…aku durung pernah ngerti ki sak wene neng kene...” (biasanya kalau kado ya sendiri-sendiri….kalau kelompok biasanya tidak ada…saya belum pernah mengetahuinya selama di sini). (W/Brama/22/ 05/09)
Barang yang digunakan untuk menyumbang dalam bentuk kado sendiri bermacam-macam. Seperti yang dikemukakan oleh para informan misalnya album foto, jam dinding, jam kecil, mangkok, pakaian bayi, alat-alat rumah tangga, kain, bed cover (sprei), dan sebagainya. Untuk penentuan jenis barang yang akan diberikan dalam sumbangan yang berupa kado ini biasanya relatif masing-masing orang Barang yang digunakan untuk menyumbang dalam bentuk kado sendiri bermacam-macam. Seperti yang dikemukakan oleh para informan misalnya album foto, jam dinding, jam kecil, mangkok, pakaian bayi, alat-alat rumah tangga, kain, bed cover (sprei), dan sebagainya. Untuk penentuan jenis barang yang akan diberikan dalam sumbangan yang berupa kado ini biasanya relatif masing-masing orang
3. Arti Penting Sumbangan pada Acara Pernikahan bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati
Bagi masyarakat Desa Jati sistem sumbangan yang telah berjalan sejak dahulu ini merupakan suatu aktivitas kemasyarakatan yang dianggap penting, karena merupakan salah satu adat kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dan menjalin relasi antar individu dalam Desa tersebut. Hal ini menjadi kebiasaan yang rutin dilakukan oleh masyarakat. Apabila sumbangan rutin dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan tentunya di dalam sistem sumbangan juga terdapat berbagai hal—baik yang disadari maupun tidak—yang diketahui dan dipahami oleh setiap masyarakat sebagai upaya pelestariannya, termasuk di dalamnya adalah berbagai aturan kewajiban timbal balik untuk saling membalas dari pemberian sumbangan.
Meskipun jumlah sumbangan yang diberikan bersifat relatif, atau dengan istilah lain disesuaikan sepantasnya, namun demikian dalam sistem sumbangan yang berjalan di Desa Jati tetap ada standar yang menyangkut jumlah nominal sumbangan yang akan diberikan kepada orang yang punya hajat. Tidak ada kesepakatan ataupun aturan secara tertulis dalam hal ini, tetapi yang ada hanyalah kebiasaan atau kesepakatan umum yang dipahami bersama yang telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman tentang “disesuaikan sepantasnya” menimbulkan standar minimal jumlah nominal sumbangan yang pantas untuk diberikan. Masyarakat Desa Jati selalu berusaha untuk menyumbang setidaknya pada batas minimal jumlah sumbangan yang dianggap pantas. Paling tidak membalas sumbangan yang telah Meskipun jumlah sumbangan yang diberikan bersifat relatif, atau dengan istilah lain disesuaikan sepantasnya, namun demikian dalam sistem sumbangan yang berjalan di Desa Jati tetap ada standar yang menyangkut jumlah nominal sumbangan yang akan diberikan kepada orang yang punya hajat. Tidak ada kesepakatan ataupun aturan secara tertulis dalam hal ini, tetapi yang ada hanyalah kebiasaan atau kesepakatan umum yang dipahami bersama yang telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman tentang “disesuaikan sepantasnya” menimbulkan standar minimal jumlah nominal sumbangan yang pantas untuk diberikan. Masyarakat Desa Jati selalu berusaha untuk menyumbang setidaknya pada batas minimal jumlah sumbangan yang dianggap pantas. Paling tidak membalas sumbangan yang telah
Pemahaman masyarakat Desa Jati tentang perimbangan jumlah pemberian sumbangan dalam hubungan timbal balik tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Goulder dengan istilah resiprositas. Gouldner dalam James Scott (1981:255) mengemukakan, prinsip tentang resiprositas dan perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak- tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau balas jasa yang diterima menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.
Di Desa Jati juga terdapat pemahaman tentang pertimbangan jumlah sumbangan yang pantas untuk diberikan. Pertimbangan tersebut yaitu pertama, dengan melihat kemampuan orang yang menyumbang. Warga masyarakat menyumbang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, dengan melihat keadaan ekonomi yang mereka miliki. Kedua, dengan melihat kemampuan orang yang disumbang. Jika orang yang disumbang kiranya akan keberatan untuk membalas sumbangan yang diberikan dengan jumlah yang besar, maka dengan pertimbangan itu si penyumbang cenderung akan menyumbang dengan jumlah yang standar. Namun dalam hal ini seperti yang telah dikemukakan di depan, tetap ada standar minimal yang dianggap pantas terkait besar kecilnya jumlah sumbangan yang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Warto;
meskipun yang menyumbang itu orang kaya tetapi kalau yang disumbang sepertinya keberatan untuk mengembalikan apabila disumbang dengan jumlah meskipun yang menyumbang itu orang kaya tetapi kalau yang disumbang sepertinya keberatan untuk mengembalikan apabila disumbang dengan jumlah
Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Jati status, kedudukan, pangkat, ataupun kekayaan seseorang tidak mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah sumbangan yang akan diberikan. Begitu pula sebaliknya jika seseorang yang memiliki status, kekayaan, pangkat ataupun kedudukan saat mengadakan acara hajatan pernikahan belum tentu tamu undangan yang hadir akan memberikan jumlah sumbangan yang lebih besar. Bahkan menurut Warto orang yang terkenal, kaya, punya kedudukan tinggi di Desa Jati kadang-kadang malah rugi saat menyelenggarakan hajatan pernikahan. Warto mengemukakan,
bahkan orang yang terkenal, kaya, punya kedudukan tinggi di Desa kadang- kadang malah rugi mas….ya kalo terkenal jumlah tamunya pasti juga banyak, kalau mau mengadakan pesta acara pernikahan yang biasa-biasa saja kan juga malu, mulai dari hiburan, dan segala sesuatunya pasti lebih dari biasa, sehingga kadang-kadang menjadi rugi. (W/Warto/25/04/09)
Sistem sumbangan yang berjalan di masyarakat Desa Jati pada khususnya dan di masyarakat Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu contoh yang dapat menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim. Dimana Durkheim dalam Scott (1981:255-256) menjelaskan bahwa faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantu-membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa “setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas.
Pernyataan Warto di atas juga menunjukkan jika pengembalian sumbangan yang pernah diberikan atau dengan kata lain saat membalas sumbangan harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang yang telah terjadi. Artinya faktor fluktuasi uang juga turut menjadi hal yang diperhitungkan. Dalam kesempatan lain Warto mengemukakan, “jika tahun ‘97 misalnya menyumbang Rp. 5000 maka kita gak mungkin untuk sekarang menyumbang Rp. 5000 karena harga kebutuhan pokok juga naik semua…” (W/Warto/25/04/09). Begitu juga dengan Ratmi yang mengemukakan, ”suk nggeh dibalekne Rp. 10.000 yen wis suwe banget yo duwit Rp.10.000 kuwi entuk opo...., yo mesthi ditambahi lah dek...” (besok ya dikembalikan Rp. 10.000 jika sudah lama sekali ya uang Rp. 10.000 itu dapat apa......, ya pasti ditambahi lah dek...) (W/Ratmi/6/06/ 09).
Panyesuaian jumlah sumbangan yang akan diberikan dengan tingkat perkembangan nilai tukar uang ini ternyata juga sama dengan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta, seperti apa yang ditunjukkan oleh Novita Purnamasari dalam penelitian mandirinya. Novita Purnamasari (2000:98-99) menjelaskan jika, pengembalian sumbangan di Yogyakarta harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk mengembalikan sumbangan yang pernah diterima, tidak selalu terjadi pada tahun yang sama.
Uang maupun barang yang akan dipergunakan untuk menyumbang selalu dipersiapkan terlebih dahulu dengan teliti sebelum berangkat menghadiri acara hajatan pernikahan. Brama salah satu informan mengemukakan tentang persiapan saat akan menghadiri hajatan pernikahan dengan mengemukakan, ”Persiapan ya janjian sama teman-teman untuk berangkat bersama, yang kedua ya…menyiapkan uang untuk sumbangan…” (W/Brama/22/04/09). Sementara Ratmi mengemukakan, ”umpomo sesuk nyumbang sorene sampun digawe... sampun disiapne..” (seumpama besok nyumbang sore harinya sudah di buat...sudah disiapkan) (W/Ratmi/6/06/09).
Begitu juga dengan Warto mengemukakan persiapannya saat akan menghadiri acara hajatan pernikahan dengan mengemukakan, biasanya jika kita among tamu malamnya sebelum hari “H” sumbangan
berupa barang (hasil bumi) sudah diantarkan dahulu, kalo untuk menyumbang uang ya pas hari “H”-nya…..kalau untuk di luar lingkungan ya malamnya sudah dipersiapkan, sudah dimasukkan kedalam amplop. (W/Warto/25/04/09)
Persiapan sumbangan juga sampai pada merekatkan amplop dengan lem setelah dimasukkannya uang kedalam amplop. Brama, Pardi, dan Ratmi menjelaskan bahwa hal ini dilakukan supaya uang sumbangan aman, tidak jatuh atau bahkan hilang. Sementara Warto mengemukakan diberi perekatnya amplop bertujuan untuk menjaga kerahasiaan jumlah sumbangan agar tidak diketahui orang lain. Hal ini merupakan privasi bagi penyumbang dengan tujuan agar yang tahu jumlah nominal sumbangan yang diberikan hanyalah penyumbang dan yang disumbang saja, meskipun sudah ada semacam kesepakatan umum yang saling dipahami tentang standar minimal atau nilai kepantasan suatu sumbangan.
Setelah uang atau barang yang akan diberikan sebagai sumbangan pada acara pernikahan dipersiapkan maka selanjutnya adalah melakukan aktivitas jagong (menghadiri acara hajatan pernikahan), Di sinilah inti kegiatan sumbangan dilakukan. Menurut penjelasan dari informan ada dua cara dalam memberikan sumbangan yang berupa uang. Pertama, yaitu dengan memberikan secara langsung kepada pihak yang dihajati (pengantin) atau orang tuannya dengan cara sambil bersalaman saat akan pulang. Kedua, yaitu dengan memasukkan amplop sumbangan pada kotak sumbangan yang telah disediakan—biasanya di depan meja penerima tamu.
Apabila antara tamu undangan dengan pihak yang mengadakan hajatan sudah kenal akrab, sumbangan yang diberikan secara langsung dengan cara sambil bersalaman kadang-kadang secara basa-basi sering ditolak pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. Dalam hal ini Pardi menuturkan,
nggeh nek mboten enten kotak yen pun kenal akrab ngoten sing marengke ndadak nganggo di pekso-pekso….karo salaman…wis rasah……wis nggeh nek mboten enten kotak yen pun kenal akrab ngoten sing marengke ndadak nganggo di pekso-pekso….karo salaman…wis rasah……wis
Namun jika dalam acara hajatan tersebut disediakan kotak sumbang, maka pemberian sumbangan akan lebih leluasa. Orang hanya akan memasukkan amplop saja dan bersalaman saat berpamitan dengan yang punya hajatan. Acara hajatan pernikahan di Desa Jati tidak seluruhnya selalu menggunakan kotak sumbang. Biasanya yang menyediakan kotak sumbang hanya pada acara-acara pernikahan yang diselenggakan secara besar-besaran/mewah.
Selain ada sumbangan yang diberikan secara langsung, di Desa Jati juga ada sumbangan yang sifatnya kolektif. Sumbangan yang sifatnya kolektif biasanya dikumpulkan kepada suatu pengurus khusus pengumpul sumbangan yang telah memiliki kepengurusan tersendiri dan bersifat tetap. Masing-masing dukuh di Desa Jati sekarang sudah terdapat pengurus semacam ini. Dan ini berlaku untuk kegiatan sumbang menyumbang antar dukuh dalam kawasan satu wilayah Desa. Antara dukuh yang satu dengan dukuh yang lain di Desa Jati terdapat semacam jalinan kerjasama dalam sumbangan kelompok. Akan tetapi tidak semua dukuh di Desa Jati terikat jalinan semacam ini, hanya dukuh-dukuh yang terletak berdekatan saja yang melakukan kesepakatan untuk menjalin hubungan sumbangan kelompok. Misalnya di dukuh Brontok, Taryono mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Jati, Sarnoto mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Bulan, Sular mengurusi hubungan sumbangan dengan dukuh Sadean, dan Mulyono yang mengurusi hubungan sumbangan kelompok dengan dukuh Sendang Rejo. Jenis sumbangan yang digunakan secara kolektif ini adalah uang. Biasanya jumlah nominal sumbangan yang dikumpulkan dipengurus sekitar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 untuk setiap keluarga.
Seperti yang dikemukakan para informan, apabila di salah satu dukuh akan ada pelaksanaan acara pernikahan, pada umumnya ada beberapa langkah dalam mekanisme pelaksanaan sumbangan kelompok. Pertama, salah satu pengurus akan
memberikan informasi ke dukuh lain (yang telah terikat dalam hubungan kerjasama dalam sumbangan kolektif ini) jika di dukuhnya akan ada acara pernikahan lengkap dengan nama pihak yang akan punya hajat pernikahan dan waktu pelaksanaannya. Kedua, pengurus di dukuh yang di beri informasi tadi akan mengumumkan kepada masyarakat di mushola setempat jika akan ada acara pernikahan di dukuh sebelah, warga masyarakat kemudian dimohon untuk mengumpulkan sumbangan ke pengurus. Pengumuman kepada warga ini biasanya dilakukan sekitar lima hari sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Ketiga, dalam jangka waktu lima hari sebelum acara pernikahan berlangsung tersebut para warga masyarakat akan menyetorkan uang sumbangan mereka kepada panitia dan kemudian panitia juga akan mencatat nama dan jumlah sumbangan yang diberikan. Keempat, setelah sumbangan terkumpul salah satu pengurus akan menyerahkannya kepada pihak di lain dukuh yang sedang mengadakan acara hajatan, lengkap dengan nama yang telah menyumbang dan jumlah sumbangannya. Penyetoran kepada pihak yang sedang mengadakan acara pernikahan ini biasanya sewaktu acara hajatan dilaksanakan, atau kalau tidak paling lama dalam waktu sekitar tiga hari setelah acara hajatan pernikahan dilaksanakan. Meskipun warga telah memberikan sumbangan uang lewat pengurus sumbangan kolektif, namun mereka tetap berkewajiban untuk menyumbang baik dapat berupa kado ataupun hasil bumi.
Pemberian sumbangan yang berupa hasil bumi agak berbeda dengan sumbangan yang berupa uang. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dibawa oleh pihak tamu undangan perempuan. Dan ini hanya berlaku untuk satu Desa. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dapat diberikan pada sore hari sebelum keesokan harinya acara resepsi hajatan pernikahan dilaksanakan, sewaktu ibu-ibu/tamu undangan perempuan yang jagong (menghadiri undangan resepsi pernikahan) atau setelah acara resepsi dilaksanakan. Pemberiannya pun tidak diberikan secara langsung dengan pihak yang punya hajat tetapi diberikan kepada panitia penerima sumbang. Panitia ini dibentuk saat acara kumbokernan dilaksanakan. Kumbokernan adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh yang Pemberian sumbangan yang berupa hasil bumi agak berbeda dengan sumbangan yang berupa uang. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dibawa oleh pihak tamu undangan perempuan. Dan ini hanya berlaku untuk satu Desa. Sumbangan yang berupa hasil bumi biasanya dapat diberikan pada sore hari sebelum keesokan harinya acara resepsi hajatan pernikahan dilaksanakan, sewaktu ibu-ibu/tamu undangan perempuan yang jagong (menghadiri undangan resepsi pernikahan) atau setelah acara resepsi dilaksanakan. Pemberiannya pun tidak diberikan secara langsung dengan pihak yang punya hajat tetapi diberikan kepada panitia penerima sumbang. Panitia ini dibentuk saat acara kumbokernan dilaksanakan. Kumbokernan adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh yang
Mekanisme cara memberikan sumbangan yang berupa hasil bumi lengkap dengan tumpangannya ini memiliki keunikan tersendiri. Awalnya para tamu undangan (secara lebih khusus tamu undangan perempuan) datang dengan menggendong tenggok (semacam bakul yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi beras lengkap dengan tumpangannya sebagai sumbangan yang akan diberikan kepada yang punya hajat pernikahan. Setelah sampai di tempat yang punya hajat, mereka akan dihadang oleh beberapa orang panitia dengan membawa secarik kertas, alat tulis dan perekat (lem kertas). Kemudian tamu undangan tersebut oleh panitia akan ditanya terkait dengan nama dan alamatnya, yang oleh panitia akan ditulis pada secarik kertas yang dibawanya, diberi perekat dan kemudian ditempel pada tenggok yang tamu undangan bawa. Setelah itu tenggok tersebut diserahkan pada panitia, sementara tamu undangan masuk ketempat acara pesta pernikahan untuk bertemu dengan yang punya hajat, menikmati hidangan, menyaksikan upacara pernikahan, dan sebagainya.
Panitia khusus penerima sumbang kemudian akan membawa tenggok- tenggok para tamu undangan itu kedalam (dapur), dan di dapur terdapat panitia khusus lagi yang bertugas untuk mengeluarkan isi sumbangan dari dalam tenggok serta mencatat sumbangan tersebut. Pencatatan sumbangan mencakup nama, alamat, beras berapa kilo, dan barang. Yang dimaksud barang disini adalah macam- macam tumpangan yang disumbangkan beserta jumlahnya. Kemudian setelah itu tenggok-tenggok para tamu yang datang akan dikeluarkan dan ditaruh di sebelah sisi rumah yang berbeda dengan sisi saat para tamu datang. Tetapi sebelumnya tenggok-tenggok tersebut diisi dengan nasi, dan makanan-makanan kecil khas Jawa seperti wajik, jadah, gletik, rangin, roti dan sebagainya.
Pengembalian langsung dari sumbangan yang telah diberikan ini di sebut dengan tonjokan. Istilah tonjokkan ini berbeda dengan istilah yang ada di masyarakat Surakarta. Jika di masyarakat Surakarta tonjokkan adalah pemberian berbagai makanan sebelum acara hajatan pernikahan sebagai simbol undangan bagi masayarakat sekitar. Sedangkan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen yang juga masih termasuk dalam karisidenan Surakarta, istilah tonjokkan ini di gunakan untuk mengistilahkan pemberian kepada para tamu undangan setelah mereka menghadiri acara pernikahan dan menyumbang. Jumlah tonjokan tentunya tidak sebanding dengan jumlah sumbangan yang diberikan. Tonjokan yang diberikan hanya terkesan sebagai pengisi tenggok yang kosong saat akan dibawa pulang. Saat akan pulang para tamu perempuan tersebut akan menuju ke sisi rumah yang berbeda dengan saat mereka datang dan mengambil tenggok-tenggok mereka, digendong dan dibawa pulang kembali. Mekanisme cara memberikan sumbangan yang berupa hasil bumi di Desa Jati tampak seperti ini dan hal ini akan lebih rumit saat resepsi pernikahan berlangsung, karena jumlah tamu yang datang sangat banyak sehingga panitia penerima sumbangan terlihat sangat sibuk dalam melaksanakan tugasnya.
Berbeda dengan sumbangan dalam bentuk uang dan sumbangan dalam bentuk hasil bumi, biasanya kado langsung diberikan kepada pihak yang dihajati. Tamu undangan (khususnya remaja putri) yang datang dengan membawa sumbangan berupa kado akan langsung memberikan kadonya kepada pihak yang dihajati (pengantin) saat mereka datang dan bertemu dengan pihak yang dihajati (pengantin) tersebut. Namun jika para tamu undangan datang saat acara resepsi dilaksanakan, kado yang mereka bawa biasanya diletakkan atau diberikan kepada panitia penerima sumbangan, karena pihak yang dihajati tentunya sedang melakukan prosesi upacara adat pernikahan.
Untuk acara hajatan pernikahan, di Desa Jati memang masih dilaksanakan secara meriah/besar-besaran. Yono salah satu informan mengemukakan jika hajatan pernikahan itu tidak dapat dihindari oleh orang tua, dan itu sudah menjadi Untuk acara hajatan pernikahan, di Desa Jati memang masih dilaksanakan secara meriah/besar-besaran. Yono salah satu informan mengemukakan jika hajatan pernikahan itu tidak dapat dihindari oleh orang tua, dan itu sudah menjadi
Melaksanakan seperti pada umumnya, demikian alasan Pardi menunjukkan bagaimana seseorang tidak bisa mengelak dari tuntutan masyarakat tentang suatu hal. Jika di suatu Desa ada kebiasaan untuk menggelar hajatan secara besar-besaran maka tidak ada alasan bagi anggota masyarakatnya untuk tidak menyelenggarakannya sesuai dengan kebiasaan tersebut, terlepas dari persoalan mampu atau tidak mampu. Apabila seseorang tidak menyelenggarakan hajatan secara besar-besaran maka akan timbul kecurigaan tertentu yang tertuang lewat gosip atau rasan-rasan.
Kewajiban menyumbang dan mengembalikan sumbangan juga tidak selalu seimbang diantara masyarakat. Meskipun masih dilaksanakan secara besar-besaran tetapi pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan tidak selalu diuntungkan dari perolehan hasil sumbangannya. Para informan mengemukakan jika hasil yang diperoleh dari sumbangan biasanya seimbang dengan biaya yang dikeluarkan bahkan kadang-kadang juga sering rugi. Pardi mengemukakan,
mboten mesti…kadang-kadang nggeh malah rugi, wong mantu paling mboten nggeh puluhan juta, sewo tep, tarub, dekor niku mawon pun sekitar gangsal jutananan…paling nggeh pok-pokan imbang mawon (tidak pasti….kadang- kadang ya malah rugi, kalau punya hajat pernikahan paling tidak ya puluhan juta, menyewa tep, tenda, dekorasi, itu saja sudah sekitar lima jutaan….paling ya seimbang saja). (W/Pardi/28/04/09)
Sejalan dengan Pardi, Warto yang juga pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan mengemukakan, “relative seimbang, maunya sih untung tapi imbang- imbang saja, malahan kadang-kadang rugi…”. (W/Warto/25/04/09)
Blau dalam Margaret M. Poloma (1994:82), dalam menjawab pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik adalah ganjaran yang langsung dapat tampak atau terlihat, sedangkan ganjaran intrinsik adalah ganjaran yang tidak langsung tampak. Ganjaran yang ekstrinsik maupun instrinsik tersebut juga terdapat dalam sistem pemberian sumbangan di Desa Jati. Ganjaran ekstrinsik dalam sistem sumbangan misalnya sumbangan yang diperoleh dari para tamu undangan, kehadiran para tamu undangan yang ikut memeriahkan acara hajatan pernikahan, ucapan selamat serta doa dari para tamu undangan kepada yang dihajati, dan sebagainya. Sedangkan ganjaran intrinsik yaitu terjalinnya ikatan kemasyarakatan, dapat terlaksanakannya acara adat pernikahan, dan sebagainya.
Sumbangan dari para tamu undangan untuk pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan merupakan salah satu ganjaran ekstrinsik. Sumbangan ini memang dirasa sangat penting oleh warga masyarakat. Seperti yang dikemukakan Pardi dengan mengatakan; mpun membudaya…yo nek duwe gawe nggeh ngoten niku pun
kebiasaan…nggeh saling ngoten niku….kangge sing duwe gawe penting soale mbantu…...nggeh
membantu… (sudah membudaya…kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan…ya saling seperti itu…..untuk yang punya hajat penting karena membantu……nanti gantian saling membantu…”). (W/Pardi/28/04/09)
Pardi dan Warto mengemukakan sewaktu mereka menyelenggarakan hajatan mereka juga menerima sumbangan dari para tamu undangan. Sumbangan yeng mereka terima juga lengkap, ada yang memberikan sumbangan berupa uang, hasil bumi, ataupun kado. Warto menuturkan pengalamannya sewaktu mengadakan hajatan pernikahan, dengan mengatakan,
ya menerima…..untuk tambah-tambah biaya keperluan, walaupun korban dulu nanti kan juga dapat dari sumbangan…komplit mas…ya uang, kado, barang hasil bumi, gula sampai kwinal-kwintalan, beras sampai satu truk, beras dulu saya jual….undangan sampai dua ribu orang. (W/Warto/25/04/09)
Pardi juga menuturkan pengalamannya, dengan mengemukakan; nembe ping pisan….cukupan namung tep-tepan biasa, tahun 2004….nggeh nampi komplit, arto, beras….komplit mas…..undangan ngantos 700 orang… (baru satu kali…..cukupan hanya memakai tep-tep biasa, tahun 2004…ya menerima komplit, uang, beras…komplit mas…..undangan sampai 700 orang). (W/Pardi/28/04/09)
Novita Purnamasari (2000:97) dalam penelitian mandirinya menyebutkan jika pada masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Di masyarakat Desa Jati tidak semuanya seperti ini. Beberapa warga masyarakat yang dijadikan sebagai infoman seperti Pardi dan Warto mengakui jika dahulu saat menyelenggarakan hajatan pernikahan mereka tidak memperhitungkan sumbangan secara rinci dalam anggaran perencanaan pembiayaan upacara pernikahan, karena menurut mereka perolehan dari sumbangan tidak bisa diandalkan.
Seperti apa yang dikemukakan Marcell Mauss (1992:1), ”dalam teori pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya”. Begitu juga dengan sistem sumbangan di Desa Jati meskipun hal ini sering tidak disadari oleh masyarakat pendukungnya. Tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali, seperti apa yang telah disebutkan Marcel Mauss (1992: 56) berjalan sangat kuat di Desa Jati. Seseorang akan tertib untuk datang pada acara pernikahan dan memberikan sumbangan saat ada undangan baginya, begitu pula saat pada giliranya mereka mempunyai hajat acara pernikahan maka ia juga mengadakan acara pesta pernikahan yang meriah serta akan menerima sumbangan dari para tamu yang diundang. Warto memberikan alasan tentang salah satu pernikahan anaknya yang Seperti apa yang dikemukakan Marcell Mauss (1992:1), ”dalam teori pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya”. Begitu juga dengan sistem sumbangan di Desa Jati meskipun hal ini sering tidak disadari oleh masyarakat pendukungnya. Tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali, seperti apa yang telah disebutkan Marcel Mauss (1992: 56) berjalan sangat kuat di Desa Jati. Seseorang akan tertib untuk datang pada acara pernikahan dan memberikan sumbangan saat ada undangan baginya, begitu pula saat pada giliranya mereka mempunyai hajat acara pernikahan maka ia juga mengadakan acara pesta pernikahan yang meriah serta akan menerima sumbangan dari para tamu yang diundang. Warto memberikan alasan tentang salah satu pernikahan anaknya yang
Gantian dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada undangan Warto selalu menyumbang, maka gantian saat dia mengadakan hajatan maka dia berhak untuk mendapatkan sumbangan dari para tamunya. Kemudian saat tamunya mengadakan hajatan pernikahan lagi maka ia juga akan berkewajiban untuk datang dengan menyumbang lagi. Begitu seterusnya membentuk suatu pola jaringan yang luas, rumit dan setiap masyarakat yang telah melaksanakan sistem sumbangan semacam ini akan masuk dalam sistem jaringan masing-masing. Hal ini sejalan dengan pemikiran kaum fungsionalis bahwa suatu hal (fenomena) bisa menjadi dasar dari eksisnya suatu masyarakat. Dalam konteks Desa Jati maka sumbangan adalah hal yang mengikatkan masyarakatnya ke dalam suatu kebersamaan dan karenanya selalu dilestarikan.
Ada beberapa cara yang digunakan masyarakat Desa Jati untuk mempermudah pencatatan sumbangan dalam memenuhi hubungan timbal balik. Pertama, melalui penulisan identitas seseorang atau keluarga pada amplop yang digunakan untuk menyumbang. Kegiatan seperti ini diakui oleh para informan sebagai upaya untuk pencatatan dalam rangka mempermudah pelaksanaan hubungan timbal balik, selain itu juga pernyataan identitas bagi tamu undangan bahwa mereka telah hadir. Seperti yang dikemukakan Pardi sebagai berikut,
sing kagungan damel ben ngertos, bapak kae kok yo teko kene ….suk yen genti ewuh genti teko…nggeh dicateti ngoten niku…daftar.. (yang punya rumah agar tahu, bapak itu kok ya sampai sini…..besok kalau gentian punya hajat
itu….daftar…). (W/Pardi/28/04/09)
gentian
datang…….ya
dicatat
seperti
Sementara Ratmi, mengemukakan, ”amplop ditulisi ben ngerti sing nyumbang sopo-sopo... mengkeh yen mbelekne ben mboten bingung” (amplop ditulisi supaya tahu yang menyumbang siapa saja....nanti kalau mengembalikan agar tidak bingung) (W/Ratmi/6/06/09). Begitu juga dengan Yono yang mengatakan; Sementara Ratmi, mengemukakan, ”amplop ditulisi ben ngerti sing nyumbang sopo-sopo... mengkeh yen mbelekne ben mboten bingung” (amplop ditulisi supaya tahu yang menyumbang siapa saja....nanti kalau mengembalikan agar tidak bingung) (W/Ratmi/6/06/09). Begitu juga dengan Yono yang mengatakan;
Penulisan identitas seperti ini juga berlaku untuk sumbangan berupa kado, barang yang digunakan untuk kado biasanya dikemas dengan kertas khusus (kertas kado) dan di dalamnya sering diberi pesan-pesan, ucapan selamat, dan identits dari yang memberikan kado tersebut. Kedua, untuk sumbang yang berupa hasil bumi biasanya pencatatan dilakukan oleh panitia khusus yang bertugas untuk menerima dan mencatat sumbangan yang berupa hasil bumi ini. Sewaktu tamu undangan datang menghadiri acara hajatan pernikahan, sumbangan berupa hasil bumi biasanya diberikan kepada panitia penerima sumbangan kemudian oleh panitia tersebut dicatat bahan makanan ataupun makanan apa saja yang diberikan untuk menyumbang, jumlahnya berapa, serta nama penyumbang lengkap dengan alamatnya.
Ketiga, dengan menyediakan buku tamu. Jika buku tamu disediakan biasanya tamu undangan akan menulis identitas mereka yang meliputi nama, alamat, tanda tangan, dengan tidak mencantumkan jumlah sumbangannya. Keempat, yaitu dengan menyimpan kartu undangan yang pernah diterima. Biasanya warga masyarakat akan menyimpan kartu undangan yang pernah diterimannya dan membuat catatan dalam buku yang mereka buat berkaitan dengan kartu-kartu undangan yang pernah diterimannya tersebut termasuk jumlah sumbangan yang dikeluarkannya.
Selain dengan membuat catatan atas undangan yang pernah diterimannya, ada juga yang hanya menyimpan undangan-undangan yang pernah diterimannya, kemudian undangan-undangan itu hanya diberi catatan kecil terkait dengan jumlah sumbangan yang pernah dikeluarkan/diberikan saat mereka menghadiri undangan tersebut. Kelima, untuk sumbangan kelompok maka pihak yang menyelenggarakan Selain dengan membuat catatan atas undangan yang pernah diterimannya, ada juga yang hanya menyimpan undangan-undangan yang pernah diterimannya, kemudian undangan-undangan itu hanya diberi catatan kecil terkait dengan jumlah sumbangan yang pernah dikeluarkan/diberikan saat mereka menghadiri undangan tersebut. Kelima, untuk sumbangan kelompok maka pihak yang menyelenggarakan
Penulisan nama si penyumbang tampaknya bukanlah hal yang sepele. Setiap orang yang menyumbang di acara hajatan tidak akan lupa menorehkan namanya pada amplop, kado atau meminta sumbangan yang dibawanya dicatat oleh pihak yang sedang melakukan hajat. Resiprositas didasarkan pada hal tersebut karena siapa-siapa saja yang telah menyumbang seolah merasa sedang menabung (baik uang maupun barang) baginya kelak ketika dia juga mengadakan hajatan. Sumbangan kemudian dimaknai sebagai suatu bekal bagi hajatan seseorang kelak. Ketika seseorang sudah melakukan hajatan dan tiba giliran baginya untuk menyumbang maka dia sebenarnya sedang melakukan kewajiban mengembalikan kembali apa-apa yang pernah diberikan oleh orang lain saat dia mengadakan hajatan dahulu. Dengan demikian orang selalu merasa wajib menyumbang dan wajib mengembalikan sumbangan. Resiprositas itu berlaku namun diyakini sebagai sesuatu yang sudah lumrah (umum) dan sebuah budaya masyarakat setempat.
Sehingga sumbangan pada acara pernikahan seperti ini mekanismenya hampir sama dengan suatu pinjaman ataupun tabungan. Hal ini juga dapat dianalogikan seperti halnya sebuah arisan. Jika seseorang/keluarga mengadakan acara hajatan pernikahan terlebih dahulu maka sumbangan dapat dikatakan sebagai pinjaman yang harus dikembalikan kepada para tamu undangannya. Jika seseorang/keluarga belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan tetapi selalu mendapatkan undangan pernikahan maka sumbangan dapat dikatakan sebagai sebuah tabungan yang kelak akan diterimanya. Dalam sistem sumbangan analogi pinjaman dan tabungan semacam ini tidak ada putusnya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Marcel Mauss (1992:38) tentang pemberian yang mengemukakan, ”pemberian tersebut pada saat yang sama merupakan harta Sehingga sumbangan pada acara pernikahan seperti ini mekanismenya hampir sama dengan suatu pinjaman ataupun tabungan. Hal ini juga dapat dianalogikan seperti halnya sebuah arisan. Jika seseorang/keluarga mengadakan acara hajatan pernikahan terlebih dahulu maka sumbangan dapat dikatakan sebagai pinjaman yang harus dikembalikan kepada para tamu undangannya. Jika seseorang/keluarga belum pernah menyelenggarakan hajatan pernikahan tetapi selalu mendapatkan undangan pernikahan maka sumbangan dapat dikatakan sebagai sebuah tabungan yang kelak akan diterimanya. Dalam sistem sumbangan analogi pinjaman dan tabungan semacam ini tidak ada putusnya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Marcel Mauss (1992:38) tentang pemberian yang mengemukakan, ”pemberian tersebut pada saat yang sama merupakan harta
Status, kedudukan, pangkat, ketenaran seseorang/keluarga dalam sistem hubungan timbal balik ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam melaksanakan hubungan pertukaran sumbangan di Desa Jati. Warto yang merupakan salah satu tokoh terpandang dalam masyarakat mengakui jika setiap bulannya ia mendapatkan undangan pernikahan sekitar sepuluh undangan lebih, karena kenalannya begitu luas. Dengan demikian maka saat Warto menyelenggarakan hajatan pernikahan tamu yang diundang sekitar 2000 orang. Warto mengakui jika yang punya hajat ini satu Desa ataupun tetangga Desa sekitar pasti mengundangnya. Yono menambahkan dengan memberikan contoh perangkat Desa. Perangkat Desa yang tentunya memiliki pangkat, kedudukan dan status terpandang dalam masyarakat juga akan memiliki jumlah rekan pergaulan yang lebih banyak dalam relasi keseharian yang secara otomatis akan berhubungan dengan persoalan sumbangan. Menurut Yono hal ini sudah menjadi konsekuensi dan harus disadari oleh mereka yang menjadi perangkat Desa. Fakta ini sejalan dengan pendapat Malinowski (1992:91) yang menjelaskan, “the number of partner
a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka).
Selain itu ada beberapa hal lainnya yang juga akan menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan dalam pelaksanaan sumbangan. Beberapa informan menuturkan sregep adalah salah satu faktor yang juga ikut menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan. Istilah sregep dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada tetangga yang punya hajatan sering membantu, tertib dalam menyumbang, dan Selain itu ada beberapa hal lainnya yang juga akan menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan dalam pelaksanaan sumbangan. Beberapa informan menuturkan sregep adalah salah satu faktor yang juga ikut menentukan banyak sedikitnya jumlah rekan. Istilah sregep dalam hal ini dapat diartikan bahwa jika ada tetangga yang punya hajatan sering membantu, tertib dalam menyumbang, dan
ya kembali pada sopo nandur bakal ngunduh, kalau nandurnya banyak ya tamunya banyak, kalau lokal jangkauannya ya tamunya lokal atau sedikit. Sing biasane sregep jagong yo pas mantu mesti akeh sing nyumbang. (W/Warto/25/04/09)
Senada dengan yang dikemukakan Warto maka Yono juga memberikan tanggapan yang kurang lebih sama. Yono mengatakan, yo dinilai dari sregepe…yo dinilai dari banyak intensitas keluarnya. Semakin
banyak interaksi sosialnya ya semakin banyak rekan-rekannya. Orang kaya saja kalau intensitas bergaulnya cuma dengan tetangga-tetangga dekat ya tamunya cuma itu-itu saja….yo banyak contoh sudah menyatakan demikian. (W/Yono/29/04/09)
Sistem sumbangan semacam ini lebih dirasakan sebagai kewajiban timbal balik yang begitu kuat sehingga menjadi pengikat sosial. Dalam menanggapi tentang pentingnya sumbangan, Warto menuturkan jika sumbangan dalam acara hajatan pernikahan memang penting, karena merupakan pengikat masyarakat. Sejalan dengan hal ini Aafke .E. Komter (2005.116-117), dalam teorinya menjelaskan bahwa, “social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Lebih lanjut Komter (2005:195) menjelaskan;
the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan
Berbagai makna yang tergali dari informan tentang sumbangan di Desa Jati secara antropologis juga dapat dijelaskan melalui teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme memandang jika masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim pada intinya telah menghasilkan tiga asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut:
4) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem.
5) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya.
6) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.
Aktivitas sumbangan dalam acara pernikahan khususnya di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen sebagai suatu realitas sosial juga merupakan suatu sistem yang akan membentuk serta memperkuat kehidupan bersama dalam masyarakat. Apabila dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati ini juga dapat disebut sebagai sub sistem, karena merupakan salah satu sistem dari sistem-sistem lainnya, misalnya sistem sumbangan untuk orang meninggal, aktivitas tolong menolong dalam pertanian, aktivitas gotong royong dalam membangun sarana umum, dan sebagainya.
Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan dalam pernikahan di Desa Jati hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan dalam pernikahan di Desa Jati hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di
Struktur dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan ini sifatnya mengikat. Hal ini dapat dilihat dari kuatnya hubungan timbal balik yang ada dalam sistem ini. Setiap warga masyarakat Desa Jati memiliki suatu kewajiban moral untuk selalu membalas sumbangan yang telah diterimannya. Selain itu, warga masyarakat Desa Jati juga selalu berupaya untuk mempertahankan integritas dari sistem sumbangan pada acara pernikahan dengan tujuan secara lebih luas yaitu untuk mempertahankan integritas masyarakat. Hal ini sejalan dengan Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) dalam teorinya yang mengemukakan tentang pokok teori fungsionalisme dimana salah satunya disebutkan jika ”setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil”. Warto salah satu informan mengemukakan,
karena ikatan rasa ketimuran, dengan adanya silaturohim lebih-lebih dibarengi hajatan, kan orang hajatan membutuhkan uang, untuk meringankan dan untuk mengikat tali persaudaraan itu ya dengan sumbangan itu tadi. Kita berharap supaya dapat meringankan beban disatu sisi kita dapat mengikat tali persaudaraan. Jadi dengan ikatan semacam ini hati kehati itu bisa mengikat. (W/Warto/25/04/09)
Usaha untuk mempertahankan integritas sistem dalam sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat dilihat dari tidak dibesar-besarkannya konflik yang terjadi dalam sistem sumbangan terkait dengan ketidak konsistennya hubungan resiprositas dalam sistem sumbangan tersebut. Terkait dengan hal ini Brama mengemukakan, “mungkin ini solidaritas, menjunjung tinggi kerukunan yang masih kental, untuk hal-hal semacam itu ya masih maklum lah….mungkin pas gak punya uang….”. (W/Brama/22/04/09)
Merton dalam David Kaplan dan Albert A. Manners (2000:79) memperkenalkan konsep “fungsi” yang dibedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsur budaya. Fungsi manifes dari adanya sistem sumbangan di Desa Jati yaitu untuk membantu meringankan biaya pihak yang mengadakan hajatan pernikahan. Sementara itu fungsi laten dari adanya sistem sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati yaitu untuk membentuk serta memperkuat integritas masyarakat.
Seperti penjelasan Malinowski dalam Koentjaranigrat (1987:167) yang membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:
4) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
5) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.
6) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Sistem sumbangan pada acara hajatan pernikahan di Desa Jati juga mencakup ketiga dari tingakatan abstraksi tersebut. Dari tingkatan abstraksi pertama, sistem sumbangan memberikan pengaruh atau efeknya terhadap tingkah laku masyarakat Desa Jati. Masyarakat Desa Jati akan selalu memenuhi kewajiban moral dengan membalas pemberian sumbangan yang pernah diterimananya.
Sehingga aktifitas timbal balik dalam memberikan dan menerima sumbangan akan selalu diusahakan oleh masyarakat dengan berbagai cara. Dari tingkatan abstraksi pertama ini juga dapat dianalisis jika sistem sumbangan pada acara pernikahan menyingkapkan makna psikologis bagi para pelakunya. Hal ini sejalan dengan pendapat Afke E. Komter (2005:43) yang mengemukakan,
the first psychological function of the gift is to create moral tie between giver and recipient. Gift make people fell morally bound to another because of mutual expectation and obligation to return the gift that arise as a consequence….a scond psychological function of gift giving relates to disclosure, affirmation, or denial of identities of giver as well as recipient.
Dari pernyataan Komter tersebut dapat dipahami bahwa fungsi psikologi pertama dari pemberian adalah untuk menciptakan ikatan moral diantara pemberi dan penerima. Pemberian membuat orang merasa terikat secara moral kepada yang lain karena pengharapan timbal balik dan kewajiban untuk mengembalikan pemberian yang timbul sebagai sebuah konsekuensi. Fungsi psikologis yang kedua dari hubungan memberikan pemberian adalah untuk mengungkapkan, menyatakan, atau penyangkalan identitas pemberi sebagaimana penerima.
Dari tingkatan abstraksi kedua, dengan kegiatan sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati akan dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang mempunyai hajat pernikahan untuk menyelenggarakannya sesuai dengan adat yang ada, sehingga kebiasaan sumbang-menyumbang serta adat pernikahan yang ada akan tetap lestari. Dari tingkatan abstraksi ini sistem sumbangan menyingkapkan makna ekonomi, terutama dalam pengadaan kebutuhan-kebutuhan dalam pembiayaan acara adat pernikahan masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan teori Malinowski dalam Marcel Mauss (1992:44) dalam pembahasanya tentang sistem tukar menukar pemberian di kepulauan Trobrian, yang menjelaskan bahwa sistem tukar menukar pemberian menghidupkan keseluruhan kehidupan ekonomi dari orang-orang Trobiand.
Dari tingkatan abstraksi yang ketiga, sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati dapat menciptakan serta memperkuat sistem kemasyarakatan seperti yang telah dikemukakan di atas. Tingkatan abstraksi ketiga sistem sumbangan pada acara pernikahan ini menyingkapkan makna sosial bagi para pelakunya. Marcel Mauss (1992:44) menjelaskan,
kehidupan sosial merupakan suatu keadaan tetap yang berlangsung terus- menerus dalam hal memberi dan menerima pemberian; pemberian disimpan dan dikembalikan, diterima dan dibayarkan kembali, baik berdasarkan kewajiban maupun kepentingan perorangan, dalam kebesaran penghormatan untuk membayar kembali dan pelayanan-pelayanan; atau sebagai tantangan atau jaminan-jaminan.
4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan
dalam Konteks Masa Kini
Setiap warga masyarakat Desa Jati yang telah dewasa akan melaksanakan kegiatan sistem sumbangan pada acara pernikahan. Karena merupakan suatu adat kebiasaan yang telah berjalan sejak dahulu dan juga karena kuatnya hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan. Seperti yang telah dijelaskan di depan, sistem sumbangan memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Desa Jati. Namun demikian, dalam konteks masa kini terdapat beberapa hal yang unik dari sistem sumbangan di Desa Jati ini. Keadaan-keadaan pada sistem sumbangan di masyarakat Desa Jati dalam konteks kekinian berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada, meskipun sering tidak disadari dan dianggap biasa oleh warga masyarakatnya.
Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan, prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan, prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan
Sejalan dengan teori di atas, para informan mengakui jika di Desa Jati belum pernah ada acara hajatan pernikahan yang diselenggarakan dengan tidak menerima sumbangan. Semua warga masyarakat Desa Jati selalu menerima sumbangan jika mengadakan acara hajatan pernikahan. Seperti yang dikemukakan Warto, “belum pernah ada…..semua ngarep-arep (mengharap)…” (W/Warto/25/04/09). Pamrih kiranya terlihat dalam hal ini. Saat seseorang datang untuk menyumbang sebenarnya memiliki pamrih jika kelak dia berharap juga akan disumbang saat mengadakan acara hajatan.
Dalam surat undangan yang diberikan kepada calon tamu undangan sebenarnya tidak terdapat pernyataan secara langsung tentang permohonan untuk menyumbang, yang ada hanya pernyataan untuk mengharap kehadiran tamu undangan dengan do’a restu untuk anak mereka yang dihajati tersebut. Kalimat permohonan kehadiran tamu dalam surat undangan tersebut biasanya sebagai berikut; “merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami apabila bapak/ibu/saudara/i, berkenan hadir untuk memberikan do’a restu kepada putra putri kami. Atas kehadiran dan do’a restu bapak/ibu/saudara/i kami mengucapkan terimakasih”. Atau dalam undangan berbahasa Jawa sering di tulis sebagai berikut;
Nuwun, mbok bilih gusti Allah hangganjar wilujeng ing sedayanipun miwah dangan ing penggalih panjenengan sekalian kula suwun rawuh benjing ing; dinten….., tanggal……, jam….., wonten……. Sakperlu paring berkah pangestu dumateng anak kulo sumarambah ing sedayanipun.
Kenyataannya setiap pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan selalu menerima sumbangan dan mangharap pemberian sumbangan dari para tamu undangannya. Bahkan karena telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu dilaksanakan, sistem sumbangan telah menjadi suatu kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat yang mangikat masyarakat dengan sangat kuat. Tamu undangan tidak akan mungkin berani untuk datang dalam acara pernikahan dengan hanya Kenyataannya setiap pihak yang menyelenggarakan hajatan pernikahan selalu menerima sumbangan dan mangharap pemberian sumbangan dari para tamu undangannya. Bahkan karena telah menjadi suatu kebiasaan yang selalu dilaksanakan, sistem sumbangan telah menjadi suatu kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat yang mangikat masyarakat dengan sangat kuat. Tamu undangan tidak akan mungkin berani untuk datang dalam acara pernikahan dengan hanya
Di Desa Jati terdapat undangan secara simbolik dalam bentuk pemberian makanan sebelum acara hajatan pernikahan akan dilaksanakan. Undangan secara simbolik tersebut di Desa Jati biasa disebut dengan istilah punjungan. Sebelum acara hajatan akan dilaksanakan sebagai pengganti undangan maka berbagai makanan seperti nasi, sayur sambal goreng, mi goreng, daging, telur rebus, kerupuk, dan snack (makanan kecil) seperti roti serta berbagai makanan khas Jawa diberikan kepada pihak-pihak dalam satu Desa yang dirasa masih saudara dekat, sesepuh (tetua), seseorang yang terhormat, terpandang memiliki kedudukan baik secara ekonomi maupun sosial.
Seperti undangan yang sering diberikan oleh warga Desa Jati untuk Warto, dimana Warto juga termasuk salah satu warga Desa Jati yang memiliki kedudukan sosial tinggi, sudah tidak lagi berupa kartu undangan, tetapi berupa punjungan. Menurut Warto jika mengundang dengan punjungan ini justru rasa mengikat batinnya lebih kuat sehingga selalu berusaha untuk menghadirinya. Punjungan ini adalah suatu bentuk undangan simbolik dan suatu bentuk penghormatan khusus bagi mereka yang dianggap istimewa. Di samping itu juga tersirat makna bahwa mereka yang dianggap istimewa tersebut dirasa akan memberikan sumbangan yang lebih saat menghadiri acara pernikahan, meskipun mereka yang dipunjung tersebut tidak selalu memberikan sumbangan yang lebih saat menghadiri acara hajatan. Secara tidak langsung punjungan sering dirasa sebagai media untuk meminta sumbangan bagi mereka yang dianggap istimewa.
Pada saat ini pihak-pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan kadang-kadang memaksakan diri mengundang orang-orang terkenal, pejabat dan tokoh masyarakat yang sering kali tidak mengenalnya secara pribadi. Mereka Pada saat ini pihak-pihak yang mengadakan acara hajatan pernikahan kadang-kadang memaksakan diri mengundang orang-orang terkenal, pejabat dan tokoh masyarakat yang sering kali tidak mengenalnya secara pribadi. Mereka
Banyak, tau lho dek aku jagong, tapi teko kono sing duwe gawe malah tekok, pake daleme pundi? Lho batinku tibake pake iki rung kenal to karo aku…, aneh to… Tapi tetep nyumbang lha karena sudah datang, (Banyak, pernah lo dek saya menghadiri acara pernikahan tetapi setelah sampai di sana yang mempunyai hajat malah bertanya, bapak rumahnya mana? Lho batin saya ternyata pake ini belum kenal to sama saya…, aneh to…tetapi tetap menyumbang lha karena sudah datang). (W/Warto/25/04/09)
Pengalaman Warto di atas juga sering dialami oleh masyarakat Desa Jati yang lain. Namun masyarakat kini sudah mulai berpikir ulang untuk datang ke acara pernikahan apabila mereka merasa tidak mengenal pihak yang mengundangnya, dan berpikir apakah akan memberi keuntungan pada dirinya dikemudian hari. Jika dianggap tidak menguntungkan, maka undangan tersebut akan dilewatkannya.
Kegiatan sumbangan semacam ini juga menyangkut tentang harga diri dan martabat. Dalam tulisannya Marcel Mauss (2005:59) mengatakan bahwa: …Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri.
Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .
Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat
ya berharap supaya saudara-saudara bisa datang kesini. Sakwene urip yo saling gentian lah …yang kedua, lantaran hajatan itu ya perlu dibesar- besarkan. Tapi dalam semacam ini terdapat kepuasan tersendiri. Saya dalam menyelenggarakan hajatan ini ya istilah orang Jawa ‘wani nggetih’, beda dengan hajatan ribut kok mlirit, cethil, pelit. Intinya kembali kepada nama baik. (W/Warto/25/04/09)
Tidak dapat dipungkiri meskipun telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat yang begitu kuat, dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu pranata penuh makna ini di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik terjadi karena tidak konsistennya para pelaku dalam pelaksanaan aturan timbal balik sistem sumbangan. Brama mejelaskan tentang kemungkinan konflik yang pernah terjadi di Desa Jati, dengan mengatakan,
yang saya tahu, orang tua pernah cerita, kalo sebatas cuma ngomong- ngomong ya seperti dulu saya nyumbang sekian tetapi giliran saya punya hajat kok cuma disumbang sekian…..cuma seperti itu saja…kalau sampai dendam saya kira nggak ada……pernah siapa itu…dari lain Desa itu kalo nyumbang amplopnya sering kosong, ya dititeni itu…..tetapi dibiarkan saja… ya paling sebatas gunjingan. (W/Brama/22/04/09)
Ratmi menjelaskan secara lebih rinci dengan mengemukakan;
pernah....enten sing senenge nyumbang amplop kosong...nggeh dirasani...dititeni dibalekne...gentian pas duwe hajat yo dibalekne kosongan....ben kapok.., (pernah...ada yang sukanya menyumbang dengan ampop kosong...ya di gunjing dititeni dikembalikan....gantian saat punya hajat ya dikembalikan kosongan....biar kapok). (W/Ratmi/6/06/09)
Konflik juga tidak hanya menyangkut ketidak konsisitenan dalam jumlah nominal sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk mencari keuntungan. Seperti yang dikemukakan Warto sebagai berikut; Konflik juga tidak hanya menyangkut ketidak konsisitenan dalam jumlah nominal sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk mencari keuntungan. Seperti yang dikemukakan Warto sebagai berikut;
Begitu juga dengan Brama yang menuturkan pengalamannya sebagai berikut;
ya cerita-cerita dari orang tua, ya agak nggak umum gitulah…misalnya terlalu sering mengadakan hajatan, atau setiap kali orang lain mengadakan acara ya terus ikut mengadakan acara sendiri…..padahal nggak begitu penting, hanya acara-acara kecil. Misalnya mbangun nikah (menikah lagi dengan istri yang sama setelah ada permasalahan tertentu)…. Tetangga saya itu mbangun nukah lagi, padahal tidak ada masalah apa-apa dalam rumah tangganya…..berbeda dengan yang sebelah itu, itu benar-benar mbangun nikah karena istrinya gila dan setelah sembuh mbangun nikah dan tidak menerima sumbang. Tetapi kalau yang satu ini gak ada masalah apa-apa kok mbangun nikah, dengan menerima sumbangan….ya penilaian umum ya untuk mencari keuntungan. (W/Brama/22/04/09)
Konflik yang pernah terjadi seperti yang dikemukakan Brama di atas ternyata juga diketahui oleh warga dukuh lain. Endang menuturkan dalam menanggapi masalah ini dengan mengatakan, “enten tiang dukuh sebelah niku….jane nggeh mung mbangun nikah ngoten niku….” (ada orang dukuh sebelah itu…. sebenarnya ya hanya mbangun nikah seperti itu). (W/Endang/16/05/09)
Konflik semacam ini di Desa Jati hanya relatif kecil. Masyarakat tidak pernah membesar-besarkan adanya konflik dalam sumbangan semacam ini. Sanksi bagi mereka yang tidak konsisiten dalam pelaksanaan pertukaran sumbangan hanya berupa gunjingan dan hukuman berupa pengembalian yang sama dengan saat seseorang yang tidak konsisten itu melaksanakan hubungan timbal balik dalam sumbangan. Seseorang yang sering menyumbang dengan amplop kosong tanpa uang maka saat ia mengadakan hajatan juga dibalas dengan pemberian sumbangan dengan amplop kosong. Hal ini hanya sebagai pelajaran untuk warga masyarakat yang tidak konsisten dengan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan agar Konflik semacam ini di Desa Jati hanya relatif kecil. Masyarakat tidak pernah membesar-besarkan adanya konflik dalam sumbangan semacam ini. Sanksi bagi mereka yang tidak konsisiten dalam pelaksanaan pertukaran sumbangan hanya berupa gunjingan dan hukuman berupa pengembalian yang sama dengan saat seseorang yang tidak konsisten itu melaksanakan hubungan timbal balik dalam sumbangan. Seseorang yang sering menyumbang dengan amplop kosong tanpa uang maka saat ia mengadakan hajatan juga dibalas dengan pemberian sumbangan dengan amplop kosong. Hal ini hanya sebagai pelajaran untuk warga masyarakat yang tidak konsisten dengan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan agar
ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin yo pas ra duwe tenan gandeng sedulur yo wis teko, gak popo dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin yo pancen arep weroh sedulur, (ya ada, amplop kosong juga ada. Mungkin ya pas bena tidak punya berhubung saudara ya sudah datang, tidak apa-apa dari pihak penerima ya tidak apa-apa, mungkin ya memang mau menengok saudara). (W/Warto/25/04/09)
Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan hubungan timbal balik dalam sistem sumbangan ini sifatnya intrinsik yang tidak kelihatan, kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung, namun menyakitkan. Malinowski (1988:30) dalam tulisannya mengemukakan bahwa,
sebab yang sebenarnya mengapa kewajiban ekonomi itu biasanya ditaati dengan patuh ialah bahwa kegagalan mematuhinya menempatkan seseorang dalam posisi terkucil, sedang keengganan mematuhinya mendatangkan malu baginya. Sekiranya jika seseorang terus menerus tidak mentaati peraturan- peraturan hukum dalam tindak ekonominya, akan terbukti bahwa ia berada di luar tata sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Sementara Marcel Mauss (1992:59) mengemukakan, ”kegagalan untuk memberi atau menerima, sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatannya”.
Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Tidak adanya anggaran khusus untuk kegiatan sumbang menyumbang semacam ini juga diakui oleh para informan. Padahal jika sedang musim hajatan pernikahan, warga masyarakat juga melaksanakan kegiatan sumbangan menyumbang ini dengan intensitas yang cukup sering. Seperti Warto, Pardi dan Yono yang mengaku jika setiap bulannya mereka mendapatkan undangan Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Tidak adanya anggaran khusus untuk kegiatan sumbang menyumbang semacam ini juga diakui oleh para informan. Padahal jika sedang musim hajatan pernikahan, warga masyarakat juga melaksanakan kegiatan sumbangan menyumbang ini dengan intensitas yang cukup sering. Seperti Warto, Pardi dan Yono yang mengaku jika setiap bulannya mereka mendapatkan undangan
mboten enten anggaran…..nggeh kadang-kadang nggeh ngoten ….undangan numpuk 4, 5 nggeh mumet. Yo wis ngko ra ketung adol dengkul…..golek potangan…nek pas mboten enten nggeh golek-golek teng sanak sedulur niku mangke nek panen disaur…, (tidak ada anggaran….ya kadang-kadang ya seperti itu…undangan terkumpul 4, 5 ya pusing. Ya sudah nanti ‘jual lutut’…….mencari pinjaman..kalau pas tidak punya ya cari-cari disaudara nanti kalau panen di lunasi…). (W/Pardi/28/04/09)
Begitu juga dengan Yono, dengan istilahnya sendiri Yono mengemukakan,
mboten enten mas…setiap bulan mboten enten anggaran khusus damel jagong yo nek pas ra nduwe yo klabruk-klabruk golek ngendi iki..., (tidak ada mas…setiap bulan tidak ada anggaran khusus untuk jagong/menghadiri acara hajatan pernikahan ya kalau sedang tidak punya ya klabruk-klabruk mencari dimana ini..). (W/Yono/29/04/09)
Sedangkan Warto mengemukakan, ”Anggaran khusus nggak ada, anggarannya kayak-kiyuk, Cuma menyisihkan saja, kalau terpaksa nggak ada ya kiyak–kiyuk itu tadi…kiyak sana…kiyuk sini….hutang-hutang…”. (W/Warto/25/04/09)
Bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Salah satu modal yang penting dalam sistem sumbangan adalah uang maupun barang yang akan digunakan untuk menyumbang. Seperti yang para informan kemukakan jika yang ada dalam hati kecil pertama saat mendapatkan undangan pernikahan adalah uang ataupun beras. Konsekuensi tersebut seperti yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap Bagi mereka yang tidak memiliki modal dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri. Salah satu modal yang penting dalam sistem sumbangan adalah uang maupun barang yang akan digunakan untuk menyumbang. Seperti yang para informan kemukakan jika yang ada dalam hati kecil pertama saat mendapatkan undangan pernikahan adalah uang ataupun beras. Konsekuensi tersebut seperti yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap
pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.
Kekerasan simbolis dalam hal sumbangan terwujud dalam bentuk keharusan untuk menyumbang kepada pihak yang mempunyai hajat apabila diundang, tanpa memperdulikan yang diundang sedang punya uang atau tidak. Mendapatkan undangan sebanyak sepuluh buah dalam satu bulan tentu saja memberatkan bagi sebagian besar orang namun meskipun hal itu dikeluhkan tetap tidak akan bisa merubah keadaan. Artinya mereka tetap harus datang dan menyumbang, bahkan kalau perlu sampai mencari pinjaman hanya untuk menyumbang. Tidak datang dan tidak menyumbang adalah hal yang sangat dihindari karena mereka tidak mau dicap tidak menuruti kaidah umum yang berlaku di masyarakat setempat tentang sumbangan. Sumbangan menjadi sesuatu yang memberatkan, namun dianggap wajar bagi masyarakat setempat.
Bentuk kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan juga dapat dilihat dimana pihak yang memiliki kedudukan serta jenjang status ekonomi yang tinggi ternyata juga masih meminta sumbangan saat mereka mengadakan acara hajatan. Tidak ada perasaan malu ataupun bersalah bagi mereka yang kaya meskipun ia Bentuk kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan juga dapat dilihat dimana pihak yang memiliki kedudukan serta jenjang status ekonomi yang tinggi ternyata juga masih meminta sumbangan saat mereka mengadakan acara hajatan. Tidak ada perasaan malu ataupun bersalah bagi mereka yang kaya meskipun ia
Bahkan seseorang yang punya kedudukan status sosial maupun ekonomi yang tinggi di Desa Jati juga tetap menerima sumbangan dalam bentuk sumbangan kolektif. Seperti yang telah dijelaskan di depan, dimana dalam sumbangan kolektif ini pihak pengurus akan mengumumkan lewat mushola setempat bahwa seseorang akan menyelenggarakan hajatan pernikahan dan para warga dimohon untuk segera mengumpulkan sumbangan. Baik disadari ataupun tidak fenomena ini sangat ironis.
Kekerasan simbolik seperti ini bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab- sebabnya apalagi kebenarannya. Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38). Dalam sistem sumbangan pada acara pernikahan memang selalu tertanam dalam warga masyarakat secara terus menerus. Karena dihampir setiap bulannya selalu dilaksanakan acara hajatan pernikahan dan disitu sistem sumbangan berlangsung.
Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara, mekanisme sensorisasi Mekanisme kekerasan simbolik berjalan dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, hutang, pahala, atau belas kasihan. Sementara, mekanisme sensorisasi
Seperti Yono dalam menanggapi masalah ketidak adanya anggaran untuk sumbangan dan sampai hutang-hutang untuk melaksanakannya dengan mengatakan, “gak masalah…yo orang hidup harus saling menyatu.” (W/Yono/20/04/09). Begitu juga dengan Pardi yang mengemukakan, “mpun membudaya….yo nek duwe gawe nggeh ngoten niku, pun kebiasaan…nggeh saling ngoteniku..” (sudah membudaya…ya kalau punya hajat ya seperti itu sudah kebiasaan… ya saling seperti itu…) (W/Pardi/28/04/09).
Pernyataan para informan di atas menunjukkan jika mereka menganggap sistem sumbangan merupakan sesuatu yang wajar dan sebagai adat kebiasaan yang memang seharusnya demikian adanya. Warga masyarakat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus dilaksanakan seperti yang telah berjalan. Meskipun ada warga masyarakat yang merasa berat tetapi juga ada masyarakat yang tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini. Bagi mereka yang kurang memiliki modal atau saat tidak memiliki modal tentunya akan merasa berat. Seperti Pardi yang mengemukakan jika kadang ia merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Pardi mengatakan, “ nggeh pripun nggeh….nek rodo pas ra nduwe nggeh berat….” (ya bagaimana ya…….kalau pas tidak punya uang ya berat) (W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Brama yang mengemukakan, “ya selama saya punya uang, pas ada dirumah itu ya senang-senang saja, saya datang”. (W/Brama/22/04/09)
Sementara Warto tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Warto mengatakan, Sementara Warto tidak merasa berat dengan sistem sumbangan ini, Warto mengatakan,
Meskipun ada warga yang tidak merasa berat akan tetapi para warga mengakui jika mereka sering mengeluh saat mendapatkan undangan yang menumpuk. Perasaan berat dan sering mengeluh saat mendapatkan undangan adalah efek dari kekerasan simbolis bagi mereka yang tidak memiliki modal. Pardi menuturkan, “nggeh ngeluh…..paling nggeh ngeluh ngoten niku tok…..” (ya ngeluh……paling ya ngeluh seperti itu saja) (W/Pardi/28/04/09). Begitu juga dengan Warto yang menuturkan, “Ngeluh ya, tapi cuma pelampiasan. Mau ngeluh, mau marah yang mau dimarahi juga siapa” (W/Warto/25/04/09).
Yono menambahkan dengan mengemukakan jika ibu-ibu rumah tangga pasti mengeluh karena mereka yang memegang uang dan mengatur kebutuhan. Endang yang merupakan ibu-ibu rumah tangga menyatakan bahwa ia juga sering mengeluh karena biaya sumbangan. Endang yang juga bekerja sebagai pedagang menyatakan jika sedang ramai musim pernikahan dalam satu hari ia bisa mendapatkan lima undangan acara pernikahan. Dalam hal ini ia mengemukakan,
ngeluh mas nek katah undangan nggeh ngeluh….biasane ngeluh kaleh pake….mosok karo tonggo…wah undangane teko neh.. ngoteniku (ngeluh mas kalau bayak undangan ya ngeluh…biasanya ngeluh sama bapak (suami)…..masak sama tetangga….wah undangannya datang lagi…seperti itu). (W/Endang/16/05/09)
Ratmi yang juga ibu rumah tangga menuturkan jika ia juga sering mengeluh. Ratmi menuturkan,
nggeh ngrasakne dek...jagongan pirang-pirang....dobel-dobel...sok-sok yo sambat ’jagongan kok yo akeh men...’ la sok yo susah dek...rakenal barang yo ngundang ko barang teko yo lek nemoni ki koyo ra nggatekne....yen mboten kenal kadang-kadang nggeh mboten mangkat jagong (ya merasakan dek...jagongan banyak...dobel-dobel...kadang-kadang ya ngeluh ’jagongan kok banyak sekali...’ ya sering ya susah dek...tidak kenal juga mengundang nggeh ngrasakne dek...jagongan pirang-pirang....dobel-dobel...sok-sok yo sambat ’jagongan kok yo akeh men...’ la sok yo susah dek...rakenal barang yo ngundang ko barang teko yo lek nemoni ki koyo ra nggatekne....yen mboten kenal kadang-kadang nggeh mboten mangkat jagong (ya merasakan dek...jagongan banyak...dobel-dobel...kadang-kadang ya ngeluh ’jagongan kok banyak sekali...’ ya sering ya susah dek...tidak kenal juga mengundang
Inilah salah satu keunikan dari sistem sumbangan pada acara pernikahan. Tidak semua masyarakat merasa berat dengan adanya sistem sumbangan yang ada. Mereka menganggap jika sistem sumbangan memang sudah demikian sejak mereka lahir, dan ini merupakan suatu kebiasaan yang ada dalam kehidupan masyarakat, namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan acara pernikahan dimana mereka harus menyumbang saat menghadirinya. Dengan keluhan-keluhan tersebut seakan-akan mereka kurang ikhlas dengan sumbangan yang akan diberikan, padahal sumbangan yang merupakan suatu pemberian sebagai bantuan seharusnya diberikan dengan ikhlas.
Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Brama mengakui jika ia melaksanakan sistem sumbangan ini sejak SMA (Sekolah Menegah Atas) sewaktu temannya sudah ada yang menikah. Kalau untuk mengenal sumbangan sendiri Brama mengemukakan jika ia telah mengenalnya sejak kecil. Terkait dengan hal ini, Yono menambahkan dengan mengemukakan, “awit aku lahir wis enek sumbang menyumbang , itu naluri ya….dadi awit cilik wis rasah di ajari wong tuo…wis otomatis… ”(sejak saya lahir sudah ada sumbang menytumbang, itu naluri ya…jadi sejak kecil sudah tidak perlu diajari orang tua…sudah otomatis..) (W/Yono/29/04/09). Begitu juga dengan pendapat Pardi, yang mengemukakan, “awet cilik…nek melaksanakan nggeh sejak dewasa, nggeh budaya masyarakat…ngoten niku pun otomatis..” (sejak kecil…kalau melaksanakan ya sejak dewasa, ya budaya masyarakat..seperti itu sudah otomatis..) (W/Pardi/28/04/09).
Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi mereka yang kurang memiliki modal. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa standarisasi minimal jumlah sumbangan pada acara pernikahan di Desa Jati jelas ada. Dengan dasar “kepatutan/kepantasan” maka setiap warga masyarakat akan selalu berusaha bagaimanapun caranya untuk dapat mencapai standar yang telah ada dalam masyarakat.
Sistem hibungan timbal balik yang begitu kuat menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri apabila warga masyarakat tidak ikut melaksanakan sumbang ini. Ada semacam rasa takut dan beban jika mereka tidak melaksanakan sistem sumbangan. Pardi dalam hal ini mengemukakan,
yen mboten nyumbang nggeh mboten wani…..aluwung mboten dugi…nggeh paling ibukke ngoten; ‘ayo pak sing nyumbang salah siji wae..’ yen mboten nyumbang nggih aluwung mboten mangkat.., (kalau tidak nyumbang ya tidak berani…lebih baik tidak datang…ya paling ibu berkata; ‘ayo pak yang nyumbang salah satu saja..’ kalau tidak nyumbang lebih baik tidak datang….” (W/Pardi/28/04/09)
Brama dalam menaggapi masalah ini dengan mengemukakan; “keinginan untuk tidak menyumbang ya tidak ada karena pekewuh..., apalagi kalau akrab ya paling tidak nyumbanglah berapa….” (W/Brama/22/04/09). Sementara Ratmi mengemukakan;
nggeh pekewuh yen arep ora nyumbang ki yo pekewuh ..mesti nyumbang…mesti nyumbang…nggeh mesti nyumbang….pekewuh…ra ketung salah siji…engko pake opo aku..mesti nyumbang (ya pekewuh kalau mau tidak
menyumbang…pasti menyumbang…ya pasti menyumbang …Pekewuh ….meskipun salah satu…nanti bapak atau saya…mesti menyumbang) (W/Ratmi/6/06/09).
pekewuh….pasti
Begitu juga dengan Warto yang mengatakan;
dalam hati bersyukur, teman masih ingat, masalah datang tidaknya ya nanti lah….ya sehat bisa datang tapi kalau nggak ada uang padahal harus nyumbang ya lebih baik nggak datang…. karena rasa kemanusiaan yang dalam hati bersyukur, teman masih ingat, masalah datang tidaknya ya nanti lah….ya sehat bisa datang tapi kalau nggak ada uang padahal harus nyumbang ya lebih baik nggak datang…. karena rasa kemanusiaan yang
Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini. Ketidak beranian warga masyarakat untuk datang pada acara hajatan pernikahan tanpa dengan memberikan sumbangan sebenarnya adalah ketidak beranian pada pihak yang punya hajat, secara lebih luas adalah ketidak beranian pada masyarakat. Sejalan dengan hal ini Warto mengemukakan, “kalau mau hadir ya raketung seberapa ya harus memberi karena untuk menjaga aib. Yang tahu kan hanya kita, yang menyumbang dengan orang yang disumbang” (W/Warto/25/04/09).
Hal ini sejalan dengan teori dari Rousseau dalam Saifudin (2005:141-142) yang menjelaskan bahwa, masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-
kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.
Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994: 89) juga berpendapat bahwa, ”ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama”. Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir kedalam kebudayaan kita sendiri.
Berbagai keadaan di atas sesuai dengan apa yang di jelaskan oleh Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003:52-53) dalam teorinya yang mengemukakan bahwa,
kesejukan, ketenangan, kadamaian dan jaminan kebahagiaan merupakan pandangan umum dari kehidupan Desa. Tentu saja pandangan itu keliru apabila kita faham dan tahu betul apa sebenarnya yang melingkupi kehidupan Desa saat ini. Tidak hanya kekerasan hidup dalam mata pencaharian saja, namun juga kekerasan tekanan sosial selalu menghantui kehidupan masyarakat Desa. Beban sosial dan tuntutan lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika kehidupan Desa, kerap menjadi tekanan bagi masyarakat apabila tidak dapat mencapainya.
Ketiadaan anggaran khusus untuk biaya kemasyarakatan seperti biaya sumbangan, adanya keluhan saat mendapatkan undangan acara pernikahan, adanya sebagian warga yang kadang-kadang sering merasa berat dengan biaya sumbangan, ketakuatan yang berlebihan bagi warga masyarakat jika tidak dapat menyumbang saat ada acara pernikahan sehingga mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar dapat menyumbang tanpa memikirkan tujuan utama dari menyumbang, dan adanya kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan yang salah satunya terlihat lewat warga masyarakat yang memiliki status sosial maupun ekonomi yang tinggi tanpa adanya perasaan malu dan bersalah meminta serta menerima sumbangan dari warga lain yang sering kedudukannya lebih rendah sehingga terkesan menimbulkan potensi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan sumbangan sebagai ladang bisnis, kadang-kadang membuat makna sumbangan menjadi bergeser. Terutama bagi warga masyarakat yang belum memahami serta belum sadar betul tentang tujuan/maksud sumbangan pada acara pernikahan ini. Seperti halnya pernyataan Endang yang ragu-ragu dalam menaggapi masalah arti penting sumbangan pada acara pernikahan, dengan mengemukakan, “pentinge….jane nggeh mboten penting…yo penting yo ora….” (pentingnya…sebetulnya ya tidak penting…ya penting ya tidak) (W/Endang/16/05/09). Begitu juga dengan Brama yang Ketiadaan anggaran khusus untuk biaya kemasyarakatan seperti biaya sumbangan, adanya keluhan saat mendapatkan undangan acara pernikahan, adanya sebagian warga yang kadang-kadang sering merasa berat dengan biaya sumbangan, ketakuatan yang berlebihan bagi warga masyarakat jika tidak dapat menyumbang saat ada acara pernikahan sehingga mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar dapat menyumbang tanpa memikirkan tujuan utama dari menyumbang, dan adanya kekerasan simbolis dalam sistem sumbangan yang salah satunya terlihat lewat warga masyarakat yang memiliki status sosial maupun ekonomi yang tinggi tanpa adanya perasaan malu dan bersalah meminta serta menerima sumbangan dari warga lain yang sering kedudukannya lebih rendah sehingga terkesan menimbulkan potensi bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan sumbangan sebagai ladang bisnis, kadang-kadang membuat makna sumbangan menjadi bergeser. Terutama bagi warga masyarakat yang belum memahami serta belum sadar betul tentang tujuan/maksud sumbangan pada acara pernikahan ini. Seperti halnya pernyataan Endang yang ragu-ragu dalam menaggapi masalah arti penting sumbangan pada acara pernikahan, dengan mengemukakan, “pentinge….jane nggeh mboten penting…yo penting yo ora….” (pentingnya…sebetulnya ya tidak penting…ya penting ya tidak) (W/Endang/16/05/09). Begitu juga dengan Brama yang
Seperti inilah fakta yang ada di lapangan. Tidak semua warga Desa Jati telah mengetahui dan sadar benar tentang maksud/tujuan sumbangan pada acara pernikahan. Mereka hanya melaksanakannya sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Selain itu mereka hanya berusaha untuk selalu memenuhi hubungan timbal balik yang telah terjalin kuat, sehingga kadang-kadang mereka tidak memahami benar tujuan dari dilaksanakannya sistem tersebut.