FRAMEWORK TAFSIR RU<H{ AL-BAYA<N SEBAGAI TAFSIR SUFISTIK
BAB IV FRAMEWORK TAFSIR RUBab IV ini membahas instrument-instrumen dari framework tafsir sufistik yang digunakan oleh Isma> ‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> dalam tafsirnya. Instrumen-instrumen dari framework tafsir Ru>h} al-Baya>nini tidak berdiri sendiri, tetapi masing-masing instrumen tersebut terintegrasi antar satu dan yang lain. Sebagai contoh adanya instrumen hakikat tidak dapat terlepas dari instrumen syariat, karena syariat berfungsi untuk mengontrol hakikat agar sebuah penafsiran sufistik dapat terhindar dari pemaknaan yang menyimpang jauh dari koridor-koridor syariat. Begitu juga perhatian instrumen bahasa dalam penafsiran sufistik mempunyai posisi yang penting untuk menjaga dari penakwilan yang terlalu jauh dari teks al- Qur’an, hal inilah yang menjadi pembeda antara tafsir sufistik ishari>dengan tafsir sufistik model naz}ari> yang tidak memperhatikan aspek bahasa. Karena itu, karakteristik tafsir sufi ishari>adalah menyelaraskan antara z}a>hir dan ba>t}in 1
dalam menafsirkan ayat al- Qur’an. Framework tafsir Ru>h} al-Baya>n dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
instrumen eksoterik dan instrumen esoterik. Instrumen eksoterik didahulukan karena Isma’i>l H{aqqi>al-Bursawi> berangkat dari dimensi pertama yaitu instrumen ekstorik dengan seluruh instrumen-instrumennya untuk kemudian menuju pada dimensi kedua yaitu instrumen esoterik dengan seluruh instrumen- instrumen di dalamnya. Hal ini lazim dilakukan pula oleh para mufasir sufi ishari> lainnya, karena mufasir ishari> berusaha mengharmonisasikan antara pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in dalam mengungkap makna yang terkandung di balik teks al- Qur’an. Sebagaimana para mufassir z}a>hiri> mempunyai instrumen dalam penafsirannya, begitu juga para sufi memiliki metode tersendiri yang khas melalui pengalaman keruhanian yang mereka miliki dalam menyibak makna al- Qu r’an. Para sufi lebih mengorientasikan kepada nilai-nilai moral, etika, akhlak, maqama>t dan derajat di hadapan Tuhan.
Berikut ini akan dijelaskan perangkat atau instrumen yang digunakan Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi> dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. Hal ini bertujuan untuk mengetahui framework penafsiran al-Bursawi> sebelum melangkah kepada pengkategorisasian corak penafsiran sufistikserta validitas penafsirannya. Adapun instrumen-instrumen yang digunakan al-Bursawi> dalam tafsirnya adalah sebagai berikut:
A. Instrumen Eksoterik
1. Bahasa Salah satu instrumenyang digunakan oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya
adalah instrumen bahasa. Instrumen bahasadigunakan untuk menjelaskan
1 Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) Jilid II, 261.
makna-makna al- Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. Dalam khazanah tafsir, sebuah penafsiran yang memfokuskan kajiannyapada aspek
tafsi>ral-lughawi>.Tafsi>r al- lughawi>inimemfokuskan kajiannya pada penjelasan makna yang terkandung pada ayat al- Qur’an melalui interpretasi semiotik dan semantik yang meliputi
etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal. 2 Dengan demikian, tafsi>r al-lughawi>merupakan penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat
al-Q ur’an lebih banyak difokuskan pada bidang bahasa, baik dari seginah}wu, s{araf, bala>ghah ( ma’a>ni>,baya>n dan badi>’) dan pendekatan ilmu bahasa
lainnya. 3 Dengan kata lain, seorang mufassir untuk mengkaji dan menafsirkan al- Qur’an perlu mengetahui dan memahami ilmu-ilmu yang terkait dengan kebahasaan tersebut, karena al- Qur’an memiliki bahasa yang indah, sastra yang tinggi serta makna yang dalam.
Dalam hal ini, jika menilik pada tafsir Ru>h} al-Baya>n,ketika hendak menafsirkan ayat al- Qur’an, al-Bursawi>terlebih dahulu menjelasan makna ayat tersebut dari aspek kebahasaan sebelum kemudian menerangkan secara global makna yang terkandung dari ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika al- Bursawi> menafsirkan Surat al-Fa>tih}ah [1] ayat 6:
‚Tunjukilah kami jalan yang lurus.‛ (Q.S. Al-Fatihah [1]: 6).
Ketika menafsirkan kata ihdina>,al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata itu dijadikan muta’addi> (transitif) dengan lam atau ila>, maka kata tersebut dikonotasikan dengan ikhta>ra sebagaimana yang terdapat pada Q.S. Al-A’raf [7]: 155.
‚Dan Musa memilih kaumnya..‛ (Q.S. Al-A’raf [7]: 155).
Al-Bursawi> melanjutkan, adapun yang dimaksud dengan al-s}ira>t} al- mustaqi>m adalah isti’a>rah dari Millat al-Isla>m dan al-Di>n al-H{aqq sebagai tashbi>h (pengumpamaan) terhadap jalan yang dituju dengan niat, atau tempat
penghadapan ruhani dengan tempat penghadapan jasmani. 4 Contoh lain dari penggunaan bahasa oleh al-Bursawi> sebagai salah satu
instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayatke-3 dari surat al- Baqarah [1]:
3 Syafrijal, ‚Tafsir Lughawi‛ Jurnal Al- Ta’lim Vol. 1, No. 5 (2013), 422. 4 Syafrijal, ‚Tafsir Lughawi‛ Jurnal Al- Ta’lim Vol. 1, No. 5 (2013), 422. Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah
‘Uthma>niyah, 1928). Jilid I, 20-21.
‚Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib..‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3).
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata al-ghaybyang terdapat dalam ayat di atas didahului dengan kata sambung bi yang mengandung makna pengakuan. Terkadang kata itu berarti kepercayaan penuh, dan orang yang percaya kepada sesuatu dalam hatinya akan memiliki rasa aman dan tentram.Al-Bursawi> melanjutkan, kata al-ghayb memiliki makna yang sangat luas. Ghayb berarti sulit diketahui keberadaannya oleh pancaindera dan rasio. Pancaindera dan rasio tidak dapat menemukan secara tiba-tiba. Al-Bursawi> membagi ghayb kedalam dua bagian. Pertama, ghayb yang tidak mempunyai dalil atau indikasi, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Surat al- An’am [6] ayat 59:‚Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib..‛ Kedua, ghayb yang mempunyai dalil, seperti adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, kenabian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Hukum, syariat dan hari akhir dengan segala tahapan- tahapnnya. Dari dua bagian tersebut, menurut al-Bursawi>, pengertian kedua inilah yang dimaksud oleh ayat diatas.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penjelasannya tentang orang-orang yang beriman. Menurutnya, orang yang beriman akan tetap beriman sekalipun di saat tidak ada orang yang melihatnya, berbeda dengan orang munafik yang hanya berimaan ketika ada orang lain melihat mereka. Sebagaimana yang digambarkan pada Surat al-Baqarah [2] ayat 14:
‚Apabila mereka berjumapa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‚kami telah beriman.‛ Dan apabila mereka kembali kepada golongan mereka, mereka mengatakan: ‚Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian..." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 14)
Dalam penjelasannya, al-Bursawi> mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan beriman kepada al-ghayb adalah beriman dengan kalbu, karena kalbu itu tertutup. Jadi maksud ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dengan kalbu mereka. Tidak seperti orang-orang munafik yang berlawanan antara yang ada di mulut dan kalbu mereka. Dalam pengertian di
atas, huruf 5 bi menunjukan alat. Pada ayat yang sama, al-Bursawi> menjelaskan kata razaqna>hum secara
etimologis berarti pemberian. Menurut kebiasaan, rizki diartikan sebagai segala yang dimanfaatkan oleh makhluk. Adapun menurut ahli sunnah, rizki terbagi kedalam dua bagian, yaitu rizki yang halal dan yang haram. Pada ayat di atas, rizki yang dimaksud adalah rizki yang halal, karena menunjukkan kedudukan yang terpuji.Al-Bursawi> melanjutkan, bentuk jamak digunakan pada kata razaqna>, menunjukkan pembicaranya adalah Allah yang satu, sebagai Penguasa yang Maha Kuasa, sekalipun hanya Satu. Yang biasa dipakai dalam perkataan
5 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 32.
raja ada empat macam; dengan bentuk tunggalseperti fa’altu kadha>, dengan bentuk jamak fa’alna kadha>, dengan tidak disebutkan pelakunya seperti rasamna lakum kadha>, dan dengan meng-id}a>fah-kan fi’il kepada raja dengan tujuan menyamarkan seperti
amarakum sult}a>nukum bikadha>. 6 Kemudian al-Bursawi> menjelaskan mengenai keutamaan penggunaan
bahasa Arab sebagai bahasa al- Qur’an, hal ini terlihat dari kandungan seluruh aspek kebahasaan dalam memberitakan Dhat Allah. Sebagaimana yang tertuang dalam Surat al-Mudathir [74] ayat 11: ‚Biarkanlah aku bertindak terhadap orang yang-orang yang Aku telah ciptakan sendirian.‛Ayat ini mengemukakan dalam bentuk tunggal.Dan contoh firman Allah dalam bentuk jamak ialah: ‚Sesungguhnya Kami telah menurnunkan al- Qur’an pada malam Lailatul
Qadar.‛ 7 Sedangkan contoh ayat yang tidak disebutkan fa’il-nya (pelakunya atau pemberih perintahnya) ialah:‚..Diwajibkan atas kalian untuk berpuasa..‛ 8 Pada
ayat tersebut, yang mewajibkan s}aum adalah Allah, walaupun tidak disebutkan pemberi perintah dalam ayat itu. Adapun contoh ayat yang bertujuan untuk menyamarkan ialah:‚Allah-lah yang menciptakan kalian..‛ 9
Fa’il dari kata khalaqakum (menciptakan kalian) pada ayat tersebut tidak terlihat atau
tersembunyi ( mustatir). Menurut al-Bursawi>, penggunaan katatunggal pada ayat al- Qur’an biasanya berbicara tentang Dhat Allah, sedangkan penggunaan kata jamak, berkaitan dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Banyaknya nama dan sifat, tidak akan menghilangkan keesaan Allah, sebab setiap sifat dan
namakembali kepada Allah. 10
Penjelasan al-Bursawi> yang menekankan pada aspek kebahasaan dapat dilihat juga ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke-7:
‚Allah telah mengunci kalbu dan penglihatan mereka..‛ (Q.S. Al- Baqarah [2]: 7)
Al-Bursawi> memaparkan maksud kalimat wa ‘ala> sam’ihim pada ayat di atas bahwa Allah telah mengunci pendengaran mereka karena telinga yang mereka miliki tidak digunakan untuk mendengarkan firman Allah, tidak menyimak kebaikan, tidak memperhatikannya dan tidak menerimanya. Seolah- olah telinga tersebut ditutup rapat, disebabkan pilihan mereka yang suka pada
keburukan dan kebatilan. 11
Menurut al-Bursawi>, pendengaran adalah kemampuan mendengar yang dibebankan kepada telinga sebagai anggota badan. Anggota badan inilah yang
6 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 38. 7 Q.S. Al-Qadar [97]: 1. 8 Q.S. Al-Baqarah [2]: 183.
9 Q.S. Al-Ru>n [30]: 40. 10 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 38. 11 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 48.
dimaksud di sini, sebab telinga amat pantas untuk dikunci. Pada ayat ini, kata al- sam’u di-mufrad-kan karena beberapa alasan: Pertama, kata al-sam’u tidak boleh dijamakkan. Apabila ada orang yang bertanya mengapa kata bas}ar dijamakkan menjadi abs}a>r padahal kata sebelumnya ( sama’) adalah mufrad? Hal
ini dikarenakan bas}ar adalah nama untuk mata, dan hal tersebut adalah konkrit, sedangkan pendengaran bukan benda konkrit, akan tetapi hanya sebatas kemampuan. Kedua, kata sam’a mengandung maksud tempat pendengaran dan indranya. Seperti dalam firman Allah: 12 wa as‘al al-qaryah yakni tanyakanlah kepada penduduk kampung. Maksud tersembunyi tersebut menunjukkan bahwa kata sam’a merupakan kata kerja yang tidak dapat diikuti oleh kata kerja lagi. Ketiga, yang dimaksud dengan kata sam’a adalah pendengaran orang-orang kafir yang bukan hanya satu orang. Karena itu tidak perlu lagi disebut telinga- telinga, seperti ketika seseorang menyuruh dengan perintah ‚makanlah, untuk mengisi perutmu!‛ pada ungkapan tersebut tidak perlu lagi disebut perut- perutmu, lantaran satu perut tidak dapat dipakai bersama-sama. Keempat, kata sam’a merupakan pertengahan di antara dua jamak meskipun lafaznya mufrad. Sebagaimana dalam firman Allah: Yukhrijuhum min al-z}uluma>t ila> al-nu>r. Pemakaian kata al-z}uluma>t (jamak) menunjukkan bahwa kata al-nu>r juga jamak ( 13 anwa>r).
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa al-Bursawi>dalam menafsirkan al- Qur’an masih memperhatikan aspek kebahasaan. Hal ini sangat penting, karena pada praktiknya para sufi dalam menafsirkan ayat lebih menekankan pemaknaan ba>t}in. Sehingga dikhawatirkan para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al- Qur’an, bahkan mungkin tidak mengindahkan makna z}a>hirsama sekali. Penafsiran sufistik tidak boleh menyimpang dari makna z}a>hir ayat al- Qur’an,Sebab jika penggunaan takwil dalam sebuah tafsir sufistik terlalu jauh dari prinsip-prinsip bahasa, maka dapat menyeret orang kepada kesesatan. Sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip bahasa maka akan menambah kemukjizatan al- Qur’an.
2. Syariat Setelah instumen bahasa, Instrumen eksoterik lainnya yang digunakan
oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya adalah instrumen syariat. Syariat di sini ialah peraturan-peraturan atau dalil-dalil yang bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana yang digambarkan al- Qur’an menyebutkanSuratal-Maidah [5]: 48:
‚Dan Kami telah turunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab- kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
12 Q.S. Yusuf [12]: 82. 13 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 48.
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian- Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu‛ (Q.S. Al-Maidah [5]: 48).
Dalam ranah syariat, apabila seseorang mengerjakan shalat sesudah wudhu dan diikuti dengan melaksanakan rukun-rukunnya, maka orang tersebut
oleh syariat sudah dianggap sempurna shalatnya. 14 Peraturan-peraturan yang telah diatur oleh syariat seperti yang telah disebutkan di atas didasarkan pada
al- Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Di mana tujuan utama syariat itu sendiri adalah membangun kehidupan manusia yang berasaskan amar ma’ruf nahi munkar. 15
Lain halnya dengan kaum sufi yang memandang syariat sebagai tingkatan awal dalam perjalanan mereka menuju Tuhan. Dalam khazanah
tasawuf, syariat hanya sebatas peraturan-peraturan belaka, 16 sedangkan tarekat adalah perbuatan untuk melaksanakan syariat tersebut. Apabila syariat dan
tarekat sudah dikuasai maka lahirlah hakikat yang merupakan bentuk lain dari pebaikan keadaan dan ah}wa>l. Adapun tujuan akhirnya ialah makrifat, yaitu mengenal Tuhan yang sebenar-benarnya dan mencintai-Nya dengan sebaik-
sebaiknya. 17 Dengan kata lain, syariat merupakan pengenalan terhadap jenis perintah dan hakikat ialah pengenalan terhadap pemberi perintah. Al-Bursawi> mengibaratkan syariat sebagai air yang menjadi sebab kesuburan. Agama disyariatkan oleh Allah dan diciptakan-Nya, seperti shaum, shalat, haji, perkawinan dan lain sebagainya. Syariat merupakan jalan yang dapat menyampaikan pada kehidupan abadi. Sama halnya dengan air yang
merupakan sebab untuk kehidupan yang fana. 18 Al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menjadikan syariat sebagai salah satu instrumen penafsirannya untuk
14 Mustafa Zahri, 15 Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), 84-85. Mustafa Zahri, 16 Pandangan lain yang juga banyak dianut oleh kalangan sufi bahwa syariat Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 85.
sesungguhnya merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiri. Ia sangat berkaitan ereat dengan sturktur lahiri kehidupan agamis seseorang, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batini. Kenyataan iman dan kehidupan agamis terletak di luar jangkauan syariat, dan hanya dapat diketahui melalui jalan sufi. Dengan kata lain, syariat adalah sosok tanpa kenyataan. Namun demikian, sebagian besar sufi tetap mematuhi rambu-rambu syariat, mereka menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan dan mengerjakan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu mungkin saja mereka terlepas dari syariat. Lihat Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 110-111.
17 Mustafa Zahri, 18 Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 85.
Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 399-400.
dapat menyibak makna yang terkadung pada ayat al- Qur’an. Hal ini dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah [2] ayat 43:
‚Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukulah kalian beserta orang-orang yang ruku.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43)
Al-Bursawi> memaknai warka’u> ma’a al-ra>ki’i>n sebagai perintah untuk tunduk bersama orang-orang yang tunduk. Hal ini disebabkan keutamaan shalat berjamaah yang lebih tinggi 27 derajat dari melaksanakan shalat sendirian. Menurut al-Bursawi> , shalat berjama’ah dapat melahirkan jiwa yang bersih. Ia mengibaratkan shalat bagaikan perang di mana mihrab sebagai medan perangnya. Orang yang berperang harus bersatu dalam barisan, karena persatuan mempunyai kekuatan. Rasullullah saw. Bersabda: ‚Apabila kaum Muslimin berkumpul dalam satu jama’ah yang berjumlah 40 orang, di dalamnya ada orang yang diampuni dosanya.‛Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat munfarid dengan 27 derajat, karena jama’ah diambil dari kata jamak dan jamak minimal terdiri dari tiga orang. Shalat orang munfarid pahalanya hanya sepuluh kebaikan. Di mana satu kebaikannya merupakan kebaikan pokok, sedangkan sembilannya merupakan kebaikam yang dilipat gandakan oleh Allah. Jika
seseorang berjama’ah, maka kebaikannya akan berlipat 27 kebaikan. 19 Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan al-Qurt}ubi>yang mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan berjama’ah tanpa uzur maka wajib baginya untuk dihukum. Sebagaimana yang disabdakan Rasullah saw. dalam hadisnya: ‚Allah tidak mewajibkan suatu fard}u –setelah tauhid- yang paling disukai-Nya selain shalat. Kalau ada suatu kewajiban selain shalat yang lebih dicintai-Nya, niscahya para malaikat-Nya akan beribadah dengan kewajiban itu. Di anatara para malaikat ada yang sujud, ruku’, berdiri dan duduk.‛Dalam penafsirannya ini, terlihat bahwa ia memperkuat pendapat ulama untuk memperkuat penjelasan pada ayat tersebut. Sebagaimana kesepakatan umum di antara para sufi, bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui apakah sesuatu diperbolehkan atau dilarang, atau apakah sesuatu perbuatan itu benar atau salah, hanyalah melalui al- Qur’an dan sunnah, ijtihad para mujtahidin yang berwenang, serta
i jma’. Hal ini juga merupakan cara untuk mengetahui derajatan kewajiban, apakah sesuatu bersifat fardhu atau haram, mandub, makruh, atau mubah. Dalam kaitan ini, ilham seorang sufi tidak berperan, baik dalam menentukan legalitas atau segala sesuatunya, atau dalam menentukan tingkat
kewajibannya. 20 Al-Bursawi melanjutkan, orang shalat harus benar-benar menghadirkan hatinya ( khus hu’). Karena asal makna shalat adalah pekerjaan batin. Allah berfirman dalam Surat al- Nisa ayat 43: ‚Janganlah kalian shalat dalam keadaan
19 Qur’a>n, Jilid I, 121. 20 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 113.
mabuk‛. Menurut al-Bursawi>, mabuk di sini adalah mabuk yang disebabkan karena gila terhadap dunia yang menyebabkan hati dan gerakan badannya tidak khushu’. Shalat yang demikian tidak akan bisa menolak kemunkaran. kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan Syaikh Affandi bahwa jika seseorang hendak melaksanakan shalat, fikirannya harus dikosentrasikan pada penghambaan dan penyempurnaan dari penghambaan tersebut. Jika penghambaan itu sudah sempurna, maka tercapailah tujuan shalat. Adapun dalam perbuatan selain shalat, konsentrasi fikiran seseorang ditujukan pada pengusiran hawa nafsu dan penetapan keseesaan Allah swt., karena itulah tujuan tauhid. Tidak ada satupun amal perbuatan yang lebih utama dari tauhid. Oleh karena itu, tauhid merupakan kewajiaban pertama yang dibebankan kepada seorang hamba sebelum diwajibkan kepadanya kewajiban shalat, puasa, karena keduanya dapat memperbaiki tabiat seorang manusia. Setelah keduanya dilaksanakan barulah diperintahkan untuk zakat, karena zakat dapat mensucikan jiwa dari kotoran yang berada dalam jiwa seseorang. Kemudian diperintahkan haji, karena haji bermanfaat dalam memperbaiki tabiat serta memperhalus jiwa. Tiga ibadah yang disebutkan pertama dibebankan kepada orang-orang yang kaya maupun miskin, sedangkan dua ibadah yang terakhir (zakat dan haji) hanya diwajibkan
kepada orang-orang yang mampu saja. 21 Contoh lain dari penggunaan syariat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu
instrumen penafsirannya,dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat 177 Surat al- Baqarah:
‚..Dan yang menepati janji mereka apabila mereka berjanji..‛ (Q.S. Al- Baqarah [2]: 177)
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa wa al-mufu>na sama kuatnya bila diungkapkan dengan kalimat wa man aufu>. Sedangkan yang dimaksud dengan bi’ahdihim adalah janji manusia berupa pelaksanaan perintah Tuhan, peringatan untuk senantiasa menjauhi larangan-Nya. idha> ‘a>hadu> yaitu janji antara hamba dengan Allah dan janji sesama manusia. Jika seorang hamba berjanji atau bernazar, maka ia wajibuntuk memenuhinya. Jika berkata, maka berkatalah dengan jujur. Dan jika diamanati sesuatu, maka tunaikanlah amanat tersebut. Sebagaimana dalam hadis Nabi saw: ‚Barang siapa yang berjanji kepada Allah kemudian mengingkarinya, maka Allah tidak akan melihat kepadanya.‛Yang dimaksud hadis tersebut menurut al-Bursawi>adalah terputusnya pandangan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mmengingkari janjinya. Kemudian al-Bursawi> memperkuat penjelasannya dengan mengutip hadis Nabi saw: ‚Dan barangsiapa yang memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. Kemudian dia mengkhianatinya, Nabi akan memusuhinya pada hari kiamat‛. 22
21 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 121. 22 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 282.
Al-Bursawi> melanjutkan, jika seorang hamba Allah memenuhi janjinyakepada Allah ataupun Janji kepada sesama manusia, maka Allah akan memenuhi Janji-Nya kepada hamba tersebut. 23 Sebagaimana Firman-Nya dalam Surat al-Baqarah ayat 40: ‚..Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscahya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian..‛
Contoh lain dari penggunaan syariat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat 58 Surat al- Ma’idah:
‚Apabila kalian menyeru kepada shalat, maka mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan, itu disebabkan karena mereka kaum yang tidak berakal‛ (Q.S. Al-Maidah [5]: 58)
Dalam ayat ini, al-Bursawi> menjelaskan apabila muadhdhin melakukan azan untuk menyeru shalat, orang-orang Yahudi menjadikan hal tersebut sebagai bahan guyonana dan bersanda gurau, memperolok orang yang mengerjakan shalat, menganggap bodoh orang yang melakukannya, menjauhkan manusia dari shalat dan dari orang yang menyeru shalat. karena kedunguan menyebabkan mereka tidak mengerti kebaikan dan kebenaran, sehingga mereka mempermainkannya. Seandainya mereka berakal sehat, maka mereka tidak akan berani memperolok kebenaran tersebut. 24
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan ulama bahwa perintahuntuk melakukan azan didasarkan padaayat ini, karena makna teks tersebut ialah apabila hendak menyeru manusia untuk mendirikan shalat, maka serulah dengan azan. Al-Bursawi> mengemukakan beberapa hikmah disyariatkannya azan, di antaranya untuk menampakkan syiar Islam, kalimat tauhid, sebagai pemberitahuan tibanya waktu shalat, mengajak umat Islam untuk shalat berjama’ah.Al-Bursawi> melanjutkan, muadhdhin mempunyai beberapa keutamaan. Dalam sebuah hadis dikatakan: ‚Orang yang pertama kali masuk surga adalah para Nabi, para syuhada dan Bila>l (muadhdhin)‛ (H.R. Bayhaqi>). Makna Bila>l dalam hadis tersebut termasuk di dalamnya para muadhdhin di masjid al-H{ara>m, masjid Nabawi, Bait al-Maqdis serta masjid-masjid lainnya,
sesuai dengan kadar amalan mereka. 25 Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penjelasannya perihal seringnya
muadhdhin lebih mengutamakan lagu daripada makha>rij lafaz, padahal hal itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana keterangan yang mengemukakan bahwa ketika ada seorang muadhdhin yang datang kepada Ibn ‘Umar dan mengatakan: ‚Aku mencintaimu!‛ kemudian Ibn ‘Umar menjawab: ‚Ada berita yang sampai kepadaku bahwa kamu sering melafazkan azan dengan keliru. Misalnya, kamu
24 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 282-283. Qur’a>n, Jilid II, 408. 25 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 409.
mengatakan Alla>h dengan dipanjangkan ali>f-nya. Hal itu meragukan dan mengacaukan makna. Dan kamu pun kerap mengucapkan Akbar dengan dipanjangkan huruf ba-nya, padahal itu adalah nama setan, serta kesalahan- kesalahan lainnya dalam lafaz azan ‛.Al-Bursawi> menutup penafsiran ayat di atas dengan penjelasan tentang hukum menjawab azan. Ia menjelaskan bahwa hukum menjawab ucapan muaddhin adalah wajib bagi setiap orang yang mendengarnya meskipun ia sedang junub atau haid, kecuali ia sedang berada di kamar mandi atau sedang jima’. Akan tetapi bagi sebagian ulama yang lain
hukum menjawab azan adalah sunnah. 26
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan al-Nawawi> bahwa menjawab azan disukai dengan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadhdhin.Ketika seseorang mendengar h}ayya ‘ala al-s}ala>h, maka harus dijawab dengan la> h}awla> wa la> quwwata illa> billa>h. Ketika mendengar h}ayya ‘ala al-fala>h}, maka harus dijawab dengan ma>sha> Alla>hu ka>na wa ma> lam yasha> lam yakun. Ketika mendengar al-s}ala>tu khayrun min al-nawm, dijawab dengan s }adaqta wa bi al-kayr nat}aqta. Kemudian ketika mendengar qad qa>mat al-s}alah, maka jawablah dengan aqa>mahalla>hu wa ‘ada>maha>. Dan ketika mendengar qad qa>mat al-s}alah yang kedua kalinya, maka hednaklah dijawab oleh tindakan bukan lagi dengan perkataan.Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan melaului Maymunah bahwa Nabi saw. berdiri di antara shaf laki- laki dan wanita. Lalu Nabi bersabda:‚Wahai kaum wanita, apabila kalian mendengar azan dan qomatnya orang Habshi ini, maka katakanlah sebagaimana yang dikatakan olehnya, karena setiap hurup alif mengandung satu derajat bagimu.‛ (H.R. T{abra>ni>). Mengenai hadis ini, ‘Umar ibn Khat}t}a>b berkata: ‚kebaikan (satu derajat) itu untuk wanita, bagaimana bagi kaum laki-laki?‛ Nabi saw. b 27 ersabda: ‚ Dua kali lipat, wahai ‘Umar!‛ (H.R. T{abra>ni>).
Jika melihat contoh penafsiran di atas, terlihat bahwa al-Bursawi> mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat, sehingga ia tidak mengabaikan syariat untuk kemudian beranjak kepada hakikat. Karena syariat merupakan gerbang awal hukum- hukum ‘ubu>diyah dalam kajian fikih, sebelum melangkah ke jenjang yang lebih tinggi yaitu esensi atau hakikat ibadah itu sendiri. Adapun penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qur’an, sunnah, ijma’ serta sumber- sumber syara’ lainnya dalam penafsirannya. Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 28 Sebab jika penggunaan takwil dalam sebuah tafsir sufistik terlalu jauh dari prinsip-
prinsip syariat, maka akan menyeret orang kepada kesesatan.
3. Hikayat
26 Qur’a>n, Jilid II, 410 . 27 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- 28 Qur’a>n, Jilid II, 410.
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
Hikayat s}u>fiyah merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian seseorang, maka tidaklah mengherankan jika hikayat s}u>fiyah banyak mengungkap renungan dan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan Rabb-Nya.Tulisan mengenai hikayat banyak ditemukan pada literatur-literatur kaum sufi. Tidak ketinggalan, al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menjadikan hikayat sebagai salah satu instrumen eksetorik penafsirannya. Penggunaan hikayat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu instrumen dalam menafsirkan ayat al- Qur’an dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat ke-3 dari surat al-Baqarah:
‚..Dan mereka yang mendirikan shalat..‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3)
Dalam menafsirkan kalimat wa yuqi>muna al-s}alata, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan dari aspek kebahasaan. Ia menjelaskan bahwa kata ‚mendirikan‛ memiliki konotasi ‚menegakkan‛, seperti halnya menegakkan sebatang kayu yang selalu dipelihara agar tetap lurus.Hal ini dimaksudkan agar seorang hamba selalu memelihara shalat wajib dan sunnah yang bersifat zahiriyah dan hak shalat yang bersifat batiniyah seperti ke- khusu’-an dan penghadapan dengan sepenuh hati kepada Allah Ta’ala>. Hal ini berarti bahwa orang yang senantiasa mendirikan shalat, tidak akan berbuat seperti orang yang
lalai akan shalatnya. 29
Setelah menjelaskan dari sisi kebahasaan, al-Bursawi> menuliskan sebuah hikayah tentang seorang zuhud yang bernama Ha>tim yang bertamu kepada ‘A>s}im ibn Yu>suf. Setelah keduanya bertemu, kemudian ‘A>s}im berkata: ‚Wahai Ha>tim, apakah kamu merasa bahwa shalatmu sudah baik?‛ Ha>tim menjawab: ‚Ya‛ kemudian ‘As}im kembali bertanya: ‚Bagamanakah kamu shalat?‛ Ha>tim menjawab: ‚Jika waktu shalat sudah dekat, aku segera berwudhu dengan sebaik-baiknya. Kemudian aku pergi ke tempat biasa aku shalat. Aku menenangkan seluruh anggota badanku , seolah- olah Ka’bah terlihat di depan pelupuk mataku, sehingga keagungan Maha Pencipta tehimpun di kalbuku, aku merasa Allah menyaksikan aku, Dia mengetahui apa yang ada dalam kalbuku, dan seakan kakiku berada di atas jembatan s}ira>t} al-mustaqi>m. Surga ada di sebelah kananku dan neraka berada di sebelah kiriku. Aku merasa seolah inilah shalatku yang terakhir. Kemudian aku takbir dengan takbir yang baik, meresapi setiap bacaan shalat yang aku baca. Kemudian aku ruku’ dengan tawad}u’, kemudian aku sujud dengan penuh kerendahan, duduk dengan sempurna, tashahud dengan penuh pengharapan, salam dengan memelihara sunahnya, aku menyerahkan shalatku dengan penuh keihlasan, aku berdiri dengan hati yang diliputi perasaan ajrih dan penuh harapan, kemudian aku bertekad untuk sabar ‛.Setelah mendengar jawaban Ha>tim, ‘A<shim kembali bertanya: ‚Wahai Ha>tim, apakah shaltmu benar-benar seperti apa yang kamu
29 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 33.
ceritakan barusan?‛ Ha>tim menjawab: ‚Ya, aku mengerjakan shalat seperti itu semenjak tiga puluh tahun lalu.‛ Kemudian ‘A<shim pun menangis terisak-isak dan berkata: ‚Aku belum pernah melaksanakan shalat seperti itu sampai detik ini.‛ 30
Contoh lain dari penggunaan hikayat sebagai instrumen penafsiran Ru>h} al-Baya>n, dapat dilihat ketika al-Bursawi> menafsirkan ayat 18 surat al-Baqarah:
‚Mereka tulu, bisu dan buta, maka mereka tidak akan dikembalikan.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 18)
Sebelum al-Bursawi> menggunakan hikayat dalam menafsirkan ayat di atas, terlebih dahulu ia menjelaskan ayat tersebut dari aspek kebahasaan. 31 Setelah menjelaskan dari aspek bahasa, barulah al-Bursawi> menuliskan sebuah hikayah tentang seorang raja yang gagah berani namun terdapat sifat sombong dalam dirinya. Raja tersebut membangun bangunan yang kokoh, ia memperingatkan agar tidak ada seorang pun yang mendekati bangunan tersebut. Barangsiapa yang berani mendekati atau memasuki bangunan tersebut maka ia akan dibunuh. Sampailah pada suatu hari ada seorang laki-laki dari penduduk negeri itu yang mendekati bangunan tersebut. Sebelumnya, penduduk sekitar telah menasihati laki-laki itu untuk tidak mendekati bangunan tersebut, namun laki-laki itu tidak menggubris nasihat dari penduduk sekitar. Ia mendirikan gubuk disekitar bangunan yang kokoh tersebut untuk tempat
beribadah kepada Allah. 32
Pada saat bersamaan sang raja sedang berasa di dalam istana ditemani para pengawalnya, tiba-tiba datanglah malaikat maut dalam bentuk seorang pemuda yang tampan. Malaikat maut itu berjalan mengelilingi dan memperhatikan istana yang didiami sang raja. Melihat hal itu, para pengawal istana melaporkan kepada raja: ‚Wahai raja, kami melihat ada seorang laki-laki yang berjalan mengitari istana ini.‛ Mendengar laporan para pengawalnya, sang raja pun marah dan memerintakan kepada para pengawalnya untuk membunuh laki-laki tersebut. Sang pengawal istana pun keluar istana untuk melaksanakan perintah sang raja. Ketika pengawal istana hendak menebas laki-laki itu dengan pedangnya, nyawanya dicabut sampai ia tersungkur ke tanah. Mengetahu hal itu, raja mengirimkan pengawalnya kembali untuk membunuh laki-laki itu, akan tetapi pengawal kedua yang di utus raja kembali dicabut nyawanya hingga tersungkur ke atas tanah. Hal ini membuat raja sangat marah, hingga ia mencabut pedangnya dan berjalan keluar istana untuk menghampiri laki-laki itu langsung. Raja berkata: ‚Siapakah kamu hingga berani mendekati istanaku,
30 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 33-34.
31 Untuk lebih ditailnya lihat Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 67-68.
32 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 68.
bahkan kamu berani membunuh dua pengawalku?‛ laki-laki itu menjawab: ‚Tidak kamu tahu bahwa aku adalah malaikat maut?‛ Mendengar perkataan laki-laki itu, tubuh sang raja langsung gemetar hingga pedang yang ia pegang terjatuh, kemudian sang raja berkata: ‚sekarang aku tahu siapa engkau‛ sang raja pun lari menuju istananya, kemudian malaikat maut berteriak kepada sang raja: ‚Mau kemana kau? Aku diutus oleh Allah untuk menyabut nyawamu.‛ Sang raja menjawab: ‚Berilah aku waktu untuk berwasiat kepada keluargaku dan menyampaikan salam perpisahan kepada mereka. ‛ Malaikat maut berkata: ‚Kenapa hal itu tidak kau lakukan selama kamu hidup?‛ Kemudian malaikat maut pun mencabut nyawa sang raja. Setelah itu ia menghampiri laki-laki saleh yang berada dalam gubugnya, seraya berkata: ‚Wahai laki-laki yang saleh, ketahuilah! Aku telah mencabut nyawa raja yang sombong itu.‛ Tatkala malaikat maut hendak pergi, tiba-tiba Allah memerintahkannya untuk mencabut nyawa laki-laki saleh tersebut. Kemudian malaikat maut berkata kepada laki- laki itu: ‚Aku diperintahkan Allah untuk mencabut nyawamu.‛
Laki- laki saleh menjawab: ‚Wahai malaikat maut, bolehkah aku meminta izin untuk pulang ke kampungku untuk menyampaikan izin dan salam perpisahan kepada mereka?‛ Kemudian Allah memberikan izin kepada laki-laki saleh itu untuk pulang terlebih dahulu ke kampungnya. Ketika laki-laki saleh itu hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia merasa sedih, lalu ia berkata kepada malaikat maut: ‚Wahai malaikat maut, jika aku melihat keluargaku aku khawatir hatiku menjadi bimbang. Cabutlah nyawaku, karena bagiku Allah lebih baik dari pada keluargaku.‛ Malaikat maut pun langsung mencabut
nyawanya pada saat itu juga. 33
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan dengan mengutip perkataan orang- orang arif bahwa sangatlah mengherankan jika ada orang yang lari dari Dhat yang tidak ada satupun yang dapat melepaskan diri dari dari-Nya. Dialah yang maha pelindung dan dari-Nya segala kebaikan berasal. Sangatlah mengherankan jika ada orang yang suka meminta sesuatu yang tidak kekal, yang selaras dengan nafsunya, syahwat dan dunianya. Mata orang tersebut tidak buta, akan
tetapi mata hatinyalah yang buta. 34
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa ada tiga penyebab mata hati seseorang menjadi buta. Pertama, senantiasa menggerakan anggota badannya untuk bermaksiat kepada Allah. Kedua, brepura-pura taat keapda Allah. Ketiga, bersandar kepada makhluk Allah. Apabila mata hati seseorang telah dibutakan oleh Allah, maka ia akan bersandar kepada makhluk dan berpaling dari Allah.
Contoh lain yang menunjukkan bagaimana al-Bursawi> menggunakan hikayat s}u>fiyah sebagai salah satu instrumen dalam menafsirkan ayat al-Qur’an adalah ia menafsirkan ayat 39 surat al-Baqarah:
33 Qur’a>n, Jilid I, 68. 34 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 68-69.
‚Dan orang-orang kafir serta mereka mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 39)
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> memasukkan instrumen hikayat s}u>fiyah tentang pengalaman unik Ma>lik ibn Dinar ketika ia sedang melakukan pengembraan. Ketika Ma>lik melewati sebuah daerah, ia melihat seorang anak sedang bermain-main dengan tanah, anak itu sesekali menangis dan sesekali tertawa. Melihat perbuatan anak itu, Ma>lik ibn Dinar ragu, apakah ia harus mengucapkan salam kepada anak itu atau tidak. Muncullah dorongan takabur dalam dirinya yang menyuruhnya untuk tidak megucapkan salam kepada anak tersebut. Sehingga terjadilah dialog dalam diri Ma>lik, bukankah Rasulullah mengucapkan salam kepada siapa pun, baik kepada anak-anak atau kepada orang dewasa. Akhirnya nafsu yang ada pada dirinya bisa dikalahkannya, ia pun mengucapkan salam kepada anak itu. Dengan sigap anak itu menjawab salamnya sembari menyebutkan nama Ma>lik Ibn Dinar. Hal tersebut membuat ia kaget, sehingga terjadilah dialog dengan anak itu. Malik bertan: ‚Dari mana engkau tahu namaku, padahal kita baru bertemu pertama kali.‛ Anak itu menjawab: ‚Karena rohku pernah bertemu dengan rohmu ketika berada dalam alam malaku>t. Roh yang senantiasa hidup ini telah memperkenalkanku kepadamu.‛ Kemudian Ma>lik bertanya: ‚Apa bedanya antara nafsu dan akal?‛ Anak itu menjawab: ‚Nafsu adalah yang telah melarangmu untuk mengucapkan salam, sedangkan akal adalah yang telah mendorongmu untuk mengucapkann ya.‛ Kemudian Ma>lik kembali bertanya: ‚Mengapa engkau bermain dengan tanah.‛ Anak itu menjawab: ‚karena kita semua diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah.‛ Kemudian Ma>lik berkata: ‚Aku melihatmu kadang tertawa dan kadang mengis.‛ Anak itu berkat a: ‚Memang benar, ketika aku mengingat azab Allah aku menangis, dan jika aku mengingat rahmat Allah aku tertawa. ‛ Kemudian Malik bertanya: ‚Wahai anakku, dosa apakah yang dilakukanmu sehingga membuatmu menangis?‛ Anak itu menjawab: ‚Wahai Ma>lik janganlah engkau bertanya begitu, karena aku sering memperhatikan ibuku yang tidak pernah menyalakan
kayu bakar besar, sebelum ia menyalakan yang kecil terlebih dahuli.‛ 35 Demikianlah contoh-contoh penulisan hikayat s}u>fiyah yang di tulis al-
Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n.Ia banyak sekali mengangkat hikayat s}u>fiyah dalam memberikan makna ayat al-Qur’an. Untuk menemukan makna dari kisah-kisah yang dikemukakan dalam tafsirnyadibutuhkan nalar dan renungan yang mendalam terhadap kisah-kisah tersebut, agar mendapatkan ibrah atau pelajaran hidup yang dapat dipetik dari pembacaan hikayat-hikayat tersebut.
4. Adab Sastra Sufistik
35 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 116.
Instrumen eksoterik terakhir dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n adalah adab sastra sufistik. Sastra sufistik sendiri merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian seseorang, maka tidak heran jika sastra sufistik banyak mengungkaprenungan dan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan taraf
hubungan jiwa manusia dengan Rabb-Nya. Karya-karya sufi mengenai kesempurnaan ruhani dengan ciri khas tersendiri bertujuan untuk musha>hadah, yaitu penyaksian akan keesaan Allah. Di mana karya-karya sufistik memiliki ciri khas tidak mementingkan keindahan bentuk dan menyampaikan tujuannya secara tidak langsung, sebab yang diinginkan mereka adalah supaya pembaca dapat membuka mata hati mereka dan membawa mereka melakukan musha>hadah. 36
Tujuan dari penulisan sastra sufistik ialah mengajak pembacanya melakukan pendakian spiritual. Dengan kata lain, kesusastraan sufi adalah penggabangun antara hakikat kebenaran dan keindahan yang digambarkan
secara rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan realitas. 37 Hakikat kebenaran dan keindahan itu merupakan posisi manusia di tempat persatuan dengan Tuhan dan keteguhan hatinya di tempat ghaib atau tanzi>h. Dalam memahami sastra sufistik, seseorang harus memahami bagaimana secara keseluruhan fenomena kejadian diterapkan berlandaskan pengalaman dan perasaan yang dapat dicapai oleh para sufi yang menikmati kesadaran spiritual pada tingkatan yang lebih tinggi.Para sufi memandang bahwa fenomena kejadian di dunia ini tidak lain adalah refleksi atau bayangan dari kenyataan yang lebih tinggi, dan kenyataan ini bekerja dengan aktifnya dibalik fenomena yang terlihat sebagai poros keruhanian yang hakiki. Kenyataan tertinggi itu, menggerakkkan perputaran alam semesta dengan satu prisip saja, yaitu ‘ishq atau cinta. Sebagaimana yang telah dituangkan pada banyak karya-karya para sufi. Para sufi melihat fenomena alam secara holistik dan mengkhususkan pandangan mereka hanya kepada Yang Hakiki yang merupakan sumber danasal-
usul segala sesuatu. 38 Sastra sufistik adalah sastra transendental karena pengalaman mistik yang diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufistik mengabaikan dimensi sosial kehidupan. Sebagai sastra yang transendental ia mengutamakan ‘makna’ bukan ‘bentuk’, mementingkan ‘yang spiritual’ bukan ‘yang empiris’, ‘yang di dalam’ dan ‘yang bukan di permukaan’. Tujuan mistisme adalah memang transendental semata-mata. Para sufi meyakini dalam mencapai Yang Satu, seseorang tidak dapat melakukannya dengan usaha intelektual semata dan tidak pula dengan perasaan rindu berlebihan. Bentuk
36 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,(Jakarta: Paramadina, 2001), 21-22 37
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 24. 38 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 24-25.
merupakan sarana penting untuk menuju makna. Hubungan bentuk dengan makna dilukiskan seperti halnya hubungan antara cermin dengan bayang- bayang. Di dalam mistisme, kehendak disatukan dengan perasaan dalam hasrat berkobar untuk mentransendensikan alam indra, supaya ‘diri’ berpadu dengan cinta serta tujuan kekal dan terakhir dari cinta, keberadaan yang secara intuitif diterima oleh jiwa, tetapi lebih mudah kita menunjukkannya pada kesadaran ‘kosmik’ atau ‘transendental’. Inilah sifat puitik dan keagamaan yang bekerjasama di atas dataran keyataan. 39
Pengalaman mistik seorang sufi akan bermakna jika ia dijelmakan ke dalam bentuk lain, yaitu eksperesi seni dan puisi. Bahasa atau kata-kata tersebut mengandung s}u>rah dan ma’na atau bentuk lahir dan bentuk batin. Adapun s}u>rah ialah tanda yang berada diluar dan merupakan simbol dari makna yang ada di dalam. S{u>rah menampakkan makna yang tersembunyi di dalamnya. Hubungan makna dan s}u>rah adalah hubungan vertikal dan bukan hubungan horizontal. Tempat makna di atas dan tempat s}u>rah di bawah. Yang bawah mencerminkan dan melambangkan yang di atas. Sedangkan bahasa itu ada
sebagai hasil pemberian makna kepada kata-kata. 40 Dalam bahasa puisi, makna secara keseluruhan dapat menguasai s}u>rah dan mencetak bentuk lahir dari dalam tanpa merusak peratalan puitik.
Dalam hal ini, sastra sufistik dijadikan sebagai salah satu instrumen penafsiran dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. al-Bursawi> pada beberapa penafsiran ayat al- Qur’an kerap memasukkan bait-bait syair berbahasa persia, baik itu syair karangan penyair persia seperti al-Shayra>zi>, Jala>l al-Di>n al-Ru>mi> dan penyair terkenal Persia dan turki lainnya. Ini bisa dilihat ketika Bursawi menafsirkan
kalimat 41 ula>‘ika ’ala>hudan min rabbihim, al-Bursawi> megutip sebuah syair dari al- Sa’di> yang berbunyi:
Pada ayat yang sama, ketika ia menafsirkan kalimat wa ula>‘ika hum al- muflih}u>n, al-Bursawi> mengutip syair dari Jala>l al-Di>n al-Ru>mi>.
39 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 26-28. 40
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,30. 41 Q.S. al-Baqarah [2]: 5. 42 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 43.
Contoh lain dari penggunaan syair oleh al-Bursawi> sebagai instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan kalimat bima> ka>nu> yakdhibu>n, 44 al-Bursawi> mengutip bait syair dalam kitab al-mathnawi>.
Demikian contoh dari penggunaan adab sastra sufistik yang terdapat dalam tasir Ru>h al-Baya>n. Penggunaan isntrumen ini bertujuan untuk melakukan pendakian spiritual bagi para pembacanya. Sastra sufistik merupakan ekspresi Pengalaman mistik seorang sufi, pengalaman spiritual tersebut akan lebih bermakna jika diekstraksi ke dalam bentuk lain, yaitu eksperesi seni dan puisi.
B. Instrumen Esoterik
1. Simbol Khusus yang Dipakai Para Sufi Instrumen esoterik pertama yang digunakan dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n
adalah simbol. Penggunaan simbol dalam tradisi sufi tak terkecuali dalam tradisi penafsiran sangat erat hubungannya dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna ba>t}in. Para sufi memandang bahwa estetika sufistikbaik berupa puisi, syair atau yang lainnya inimerupakan simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Simbol-simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat di dalam khazanah tafsir dan sastra sufi memiliki sejarah, latar belakang tersendiri, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar
belakang di mana tasawuf tumbuh dan berkembang. 46 Selain dari al- Qur’an dan Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-simbol sufistik juga diambil dan dimodifikasi dari tradisi lokal.Penggunaan simbol tersebut dimaksudkan agar
43 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 44.
45 Q.S. al-Baqarah [2]: 10. 46 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 57. Abdul Hadi W. M.,
Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 91.
gagasan-gagasan esoterik mereka dapat terlindung dari pengetahuan kelompok masyarakat yang tidak sepemikiran dengan mereka. 47
Bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran batin manusia. Dengan kata lain, manusia tidak dapat membebaskan diri dari simbol apabila memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat dilihat dengan mata. Setiap energi yang berasal dari pikiran yang memiliki kandungan makna intelektual dikorelasikan dengan tanda-tanda yang dapat indra dan secara batin menjadi bagian dari simbol. Simbol merupakan bagian dari dunia makna manusiawi yang memiliki fungsi untuk menghidupkan tanda-tanda material yang dijadikan simbol sehingga tanda-tanda tersebut
berbicara. 48 Simbol biasanya dikaitkan dengan suatu realitas yang berada di sebelah dalam dari realitas luar yang dijadikan tanda simbolik, sedangkan tanda itu sendiri menjadi menjadi penting artinya apabila secara tepat dapat menunjukan atau menggambarkan sesuatu yang berada di dalamnya, yaitu dunia makna yang hendak dikomunikasikan atau diekspresikan. Di sini simbol bukan hanya sebatas tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi berfungsi membawa seseorang mencapai pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi khususnya dalam kaitannya dengan pengalaman
keagamaan dan mistikal. 49 Al-T}u>si> di dalam kita>b al- Luma>’ mengatakan bahwa simbol-simbol
adalah pengertian samar yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang menguasainya. Al-T}u>si> melanjutkan, dalam dunia simbol terdapat dua jenis makna: Pertama, makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfiahnya. Kedua, makna keruhanian yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam dengan
menggunakan metode takwil yang biasa dilakukan oleh para sufi. 50 Simbol- simbol yang digunakan oleh orang sufi tidak bisa dipandang sebagai kata-kata
biasa yang tidak memiliki makna, karena disetiap simbol tersebut memiliki arti yang sangat luas. Di antara simbol-simbol antropomorfis yang sering digunakan oleh para sufi dapat disebut disini misalnya ‘tangan’ melambangkan kehendak Tuhan, ‘Penglihatan’ merujuk kepada penglihatan keruhanian, ‘mata’ merujuk kepada sifat penuh rahasia dari penglihatan ilahi atau penglihatan batin seorang
ahli suluk terhadap kekasihnya, dan masih banyak lagi simbol-simbol lainnya. 51
47 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah li> al-Nas}r wa al- Tawzi>’, t.t), 135.
48 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 90. 49
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,90.
51 Abi> Nas}r al-Sira>j al-T{u>s}i>, al- Abdul Hadi W. M., Luma>’ (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960), 414. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri,93.
Ada beberapa alasan mengapa para sufi menggunakan citra-citra simbolik. 52 Pertama, dengan menggunakan citra-citra simbolik mereka dapat
memberi ungkapan halus dan penuh dengan nuansa estetiktentang keesaan Tuhan. Kedua, citra-citra simbolik dan metafora-metafora yang demikian mudah meresap ke dalam hati pembaca dan meninggalkan kesan yang dalam dibandingkan dengan menggunakan istilah-istilah falsah, sebab sifat-sifat dan keagungan Tuhan dapat tergambar secara langsung. Ketiga, dengan menggunakan citra-citra simbolik para sufi dapat melindungi rahasia perjalanan ruhani mereka dari pengetahuan orang biasa, dengan kata lain hanya golongan mereka yang dapat memahami makna dari simbol-simbol tersebut.
Para sufi telah mengenal penggunaan simbol-simbol yang berkaitan penglihatan manusia tentang keindahan Ilahi sejak abad ke-9 M. Mereka menyebut simbol semacam itu dengan istilah al-maja>z qant}arat al-h}aqi>qah, yaitu perumpamaan dengan menggunakan gambaran cinta manusia sebagai jembatan menuju hakikat Ketuhanan. Penggunaan simbol oleh para sufi berfungsiuntuk menyingkap dataran kesadaran yang berbeda dari kesadaran yang diperoleh dari pemahaman rasional. Simbol merupakan metode terselubung untuk menulisakan sebuah rahasia yang tujuannya untuk menyatakan sesuatu yang tidak dapat dipahami dengan cara selain menggunakan simbol itu sendiri. Simbol tidak pernah dapat menjelaskan sesuatu, sebab itu ia harus ditafsirkan secara terus menerus. Karena simbol dihasilkan oleh imajinasi ( takhayyil), maka takwil hanya dapat terlakasana
apabila seorang pentakwil dapat mempergunakan imajinasinya. 53 Al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menggunakan simbol sebagai salah satu instrumen esoteriknya. Hal ini disebabkan karena simbol merupakan identitas penting dalam tradisi sufi,simbol merupakan ekspresi dari pengalaman spirtual dari penulis untuk mencapai tingkatan hakikat yang transenden. Hal ini dapat terlihat ketika Al-Bursawi> menafsirkan surat al-Baqarah ayat 20:
‚Hampir-hampir saja kilat menyambar penglihatan mereka,. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, maka mereka berjalan di dalamnya. Jika kegelapan menimpa mereka, maka mereka akan berhenti. Kalau Allah menghendaki, niscahya Allah menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Maha Kuasa atas segala sesuatu.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 20)
52 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,93-94. 53
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,96-97.
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> mengatakan bahwa sebuah perjalanan tidak dapat dilakukan dalam kegelapan kecuali dengan cahaya pelita. Demikian pula tidak akan mungkin bisa menyelami hakikat-hakikat dan rahasia Allah tanpa adanya iman. Tidak mungkin berpetualang di kegelapan alam manusia tanpa menggunakan cahaya hidayah Allah. Oleh karena itu Allah berfirman: ‚Setiap kali kilat menyinari mereka, mereka berjalan di bawahnya‛ yaitu cahaya hidayah. ‚Dan gelap menimpa mereka, mereka berhenti.‛ Yakni kegelapan alam manusia. ‚Dan guruh.‛ Yaitu kekhawatiran, ketakutan, rasa risih dan lainnya yang terus menerus mengetuk hati karena keagungan zikir dan al-
Qur’an. 54 Sebagaimana Allah berfirman: ‚Kalau sekiranya Kami menurunkan al- Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan melihat gunung itu tunduk
terpecah belah disebebkan karena takut kepada Allah..‛Adapun, ‚Dan kilat.‛ Yaitu gemerlapnya cahaya zikir dan al- Qur’an yang memberi hidayah kepada hati, sehingga kulit dan hati mereka menjadi tenang ketika berzikr kepada Allah.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, tatkala tampak kepada mereka cahaya kebahagiaan, mereka keluar dari kegelapan tabiat manusia, lalu
mememegang tali ira>dah supaya memperoleh derajat orang-orang yang beruntung. Akan tetapi mereka ‚menyumbatkan jari-jari mereka.‛ Yakni jari- jemari yang berupa cita-cita yang rusak dan angan- angan yang batil. ‚ke telinga mereka,‛ yaitu kesadaran mereka. ‚Dari sambaran petir‛ dan para penyeru kepada kebenaran ‚Karena takut‛ dari ‚kematian.‛ Yakni matinya nafsu karena nafsu itu bagaikan ikan yang hidupnya di lautan dunia, jika nafsu itu keluar dari
air laut maka tentu akan mati seketika. 55
Jika dilihat dari penafsiran al-Bursawi> di atas, ia mengartikan ‚kilat‛ sebagai simbol kilauan cahaya zikir dan al- Qur’an. Dan cahaya atau sinar yang dihasilkan dari kilat disimbolkan sebagai cahaya hidayah. Disamping itu, mati disimbolkan sebagai matinya nafsu kebinatangan dari dalam diri manusia. Penggunaan citra simbolik semacam ini kerap dilakukan oleh para sufi, tak terkecuali oleh al-Bursawi>yang menggunakannya dalam menyingkap makna yang terkandung dalam ayat al- Qur’an. Hal ini hasil dari pengalaman ruhani yang dituangkan kedalam sebuah imajinasi dalam menafsirkan sebuah kata dalam ayat al- Qur’an.
2. Intuisi Setelah simbol, instrumen esoterik lainnya yang digunakan al-Bursawi>
dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n adalah Intuisi.Adapun intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul di benaknya bagaikan kebenaran yang
54 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 73. 55 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 73.
membukakan pintu. Suatu masalah yang dipikirkan, yang kemudian ditunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak seseorang yang lengkap
dengan jawabannya. 56 Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu dalam menentukan kebenaran.
Dalam kajian tasawuf, intuisi disebut dengan ilm dhawq, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan didapat oleh orang yang hatinya telah bersih, telah
siap, dan telah sanggup menerima pengetahuan tersebut. 57 Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan ( riya>d}ah). Metode ini secara umum dipakai dalam tarekat dan tasawuf.Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera
dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. 58
David G. Myers berpendapat bahwa intuisimerupakan kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu. Pemikiran intuitif tersebutseperti persepsi, pengetahuan yang datang seketika dan seolah tanpa
usaha. 59 Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya
sadar. Artinya, suatu permasalahan itu muncul dalam keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta merta muncul dibenaknya. 60 Adapaun menurut al-Ghaza>li>, pengetahuan yang bukan merupakan ilmu d}aru>ri> didapat dalam hati seseorang melalui ah}wa>l (keadaan) yang berbeda- beda. Terkadang tersembunyi di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya
tanpa diketahui. 61 Inilah yang disebut dengan metode ilham. Menurut Mujamil Qomar, intuisi merupakan pengetahuan yang tiba-
tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. 62 Istilah intuisi sering disebut dengan istilah-istilah yang bermacam-macam yang substansinya relatif sama. Sebagaimana Muhammad Iqbal menyebut intuisi sebagai cinta dan pengalaman kalbu, Ibn ‘Arabi> menamakannya sebagai pandanagan, lemparan dan pukulan, al-Ghaza>li> mengistilahkannya dengan ‘ilm al-laduni. Semakin banyak istilah yang dipakai oleh para ahli untuk menyebut
56 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), 53.
57 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajawaliPress, 2005), 108. 58 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 108-109. 59 David G Myers, Intuition: Its Power And Perils (Yogyakrta: Penerbit Qalam, 2004),
2. 60 Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam (Semarang: Gunung Jati, 1998), 117. 61 Al-Ghazali , Ilmu Laduni (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004), 75. 62 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 296.
intuisi, maka semakin memperkuat penguatan terhadap keberadaan intiuisi itu sendiri, walaupun dengan sudut pandang yang mungkin berbeda. 63
Mujamil Qomar melanjutkan, intiusi bisa memiliki otoritas kebenaran pada saat untuisi itu masih murni dari Allah dan belum tercampur dengan interpretasi dan pemahaman manusia. Karena pada dasarnya Allah memiliki sifat Maha Benar dan senantiasa menganugerahkan kebenaran kepada manusia, hanya saja kebenaran yang dianugerahkan Allah kepada manusia melalui intuisi itu dicoba untuk dipahami maksudnya oleh manusia.Seperti halnya pemahaman manusia yang bisa salah, maka seseorang dalam memahami intuisi pun bisa
salah. 64 Hal ini dapat dianalogikan dengan istikha>rah. Seseorang meyakini bahwa petunjuk yang diberikan Allah sebagai jawaban atas permohonan manusia melalui shalat tersebut benar, tetapi manusia tersebut yang terkadang salah menginterpretasikan petunjuk yang diberikan Allah itu.
Intuisi dijadikan sebagai sebuah metode dan ilmu pengetahuan karena beberapa sebab, 65 diantaranya: pertama, metode intuisi adalah metode yang banyak digunakan manusia. Metode ini dikenal sangat berhasil dan efektif di kalangan kaum sufi. Kedua, metode intuitisi dapat diuji kemampuannya untuk memahami realitas secara objektif. Objektivitas merupakan sesuatu yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode dapat dicapai oleh metode intuisi. Ketiga, metode intuisi dapat dipelajari dan dipahami oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intens dan terbimbing.
Seseorang akan bisa meraih intuisi apabila ia memiliki tiga syarat, yaitu subjek yang hadir, objek yang hadir dan cahaya ( nu>r) yang hadir. Hal ini disebabkan manusia dapat menangkap esensi objek karena esensi objek hadir dalam kesadaran dari subjek secara intuitif, atau sebaliknya, kesadaran diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi ini terjadi karena kehadiran nu>r Ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’ri>fyang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah, bukan proses h}add yang hanya sampai pada
‘ilm atau hanya idra>k(pengetahuan). 66 Dengan demikian, pengetahuan intuitif memungkinkan manusia mengenal objek, lebih
dari hanya sekedar tahu. Kaum sufi lazim menjadikan intuisi sebagai metode untuk mencari sebuah kebenaran. Termasuk al-Bursawi> menjadikan intuisi sebagai salah satu instrument penafsiran esoterik dalam tafsirnya. Ini bisa diketahui dari beberapa
63 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 296-297. 64
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 302. 65
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 307. 66 Mohammad Muslih, ‚Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi‛ dalam Sujiat zubaidi dan Mohammad Muslih (Eds.), Kritik Epistemologi Dan Model Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Lesfi, 2013), 137.
contoh penafsirannya, di antaranya ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 39:
‚Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk- Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 39)
Menurut al-Bursawi>, ayat di atas mengisyaratkan bahwa tatkala Allah menguji Adam dengan menurunkannya ke bumi, maka Dia menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan memberinya ilham dan wahyu yang tidak henti-hentinya. Dan hidayah-Nya pun senantiasa diberikan kepada keturunan Adam melalui perantaraan Nabi-nabi yang diutus-Nya, wahyu-Nya, dan kitab- kitab-Nya. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barangsiapa di antara mereka yang memperoleh petunjuk-Ku melalui ilham-Ku, lalu mengikuti petunjuk-Ku, ia bagaikan mengikuti jejak Adam dalam hal bertaubat serta mengikuti jejak Nuh a.s. dalam hal menangis dan beristighfar. Ia bagaikan merawat benih kecintaan dengan taat dan ibadah, sehingga menghasilkan buah tauhid dan makrifat, tidak perlu khawatir akan tertimpa oleh bencana di masa mendatang yang merusak benih kecintaan oleh adonan tanah yang bersifat kebinatangan dan kebuasan, bencana dirusakkannya kesiapan kebahagiaan yang abadi oleh pemenuhan kesenangan yang bersifat duniawi. Dan jangan pula mereka bersedih hati atas turunnya mereka ke bumi untuk merawat benih kecintaan ( mah}abbah), karena mereka –dengan megikuti petunjuk dan memelihara diri- akan kembali kepada titik tertinggi, yaitu kembali kepada sisi
Yang Maha Suci. 67 Dari penjelasan terhadap ayat di atas, menunjukkan bahwa al-Bursawi>
menggunakan pengetahuan intuitifnya dalam mengungkap makna ayat tersebut. Contoh lain dari penggunaan intuisi sebgai salah satu instrumen penafsiran adalah ketika ia menafsirkan ayat ke-74 surat al-Baqarah:
‚Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 74)
67 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 116.
Menurut al-Bursawi> , makna dari ‚Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,‛ yaitu kalbu menjadi kering, kalbu yang kering tersebut terjadi apabila tidak tersirami oleh salah satu dari dua air, yaitu air ketakutan kepada Allah dan air kasih sayang kepada sesama makhluk. Al-Bursawi> melanjutkan, setiap kalbu yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah dan kalbu yang tidak memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah, maka kalbu itu akan mengeras sekeras batu bahkan lebih keras lagi.Sebagaimana hadis Rasulullah:
‚Janganlah kalian perbanyak berbicara selain berzikir kepada Allah, karena banyak bicara selain dengan zikir kepada Allah dapat mengeraskan hati. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah manusia yang paling keras kalbunya.‛
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:
‚Ada empat perkara yang membuat orang celaka: mata yang tidak pernah menangis, hati yang keras, angan-angan yang panjang dan rakus terhadap harta dunia.‛
Al-Bursawi> menjelaskan, ada beberapa isyarat yang terkandung dari ayat di atas, di antaranya bahwa kaum Yahudi –meskipun mereka telah melihat berbagai kebesaran Allah yang sangat luar biasa- tidak ditolong oleh ‘ina>yah, meskidengan banyaknya tanda-tanda kekuasaan Allah di muka bumi tidak lantas membuat hati mereka menjadi lembut. Padahal Allah telah memperlihatkan kepada mereka bukti-bukti yang nyata, namu mereka melihatnya hanya dengan penglihatan panca indera, mereka tidak melihat dengan mata hati. Seandainya mereka tidak berbuat demikian, maka mereka
dapat terhindar dari dusta dan penolakan. 68
Al-Bursawi> melanjutkan, demikian pula halnya orang yang tertipu ketika hendak melakukan riya>d}ah. Mereka mengira sudah dipancarkan kesucian ruhani mereka sebagai wujud dengan kekuasaan Allah dan kelebihan yang diberikan Allah. Apabila riya>d}ahitu tidak ditopang dengan kekuatan Ilahi, maka tidak akan bertambah pada mereka kecuali kekaguman pada diri dan tipuan. Al- Bursawi> berasumsi bahwa fenomena seperti itu banyak terjadi pada kalangan rahib dan orang yang berpura-pura berfilsafat. Mereka adalah orang-orang yang merangkak menuju Allah dengan kesia-siaan, dan mereka tidak menyadarinya. kalbu mereka dianalogikan batu karena kalbu mereka tidak berzikir kepada Allah. Zikir hakiki akan terjadi apabila manusia berzikir kepada Allah dan Allah
68 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 165.
pun mengingatnya. Sebagaimana firman Allah: ‚Berzikirlah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian..‛ 69
Menurut al-Bursawi>, terdapat empat martabat kalbu yang ditinjau dari kerasnya kalbu itu. Pertama, martabat batu ‛yang mengalir dari batu itu, sungai- sungai‛. Inilah kalbu yang dapat melihat benda-benda yang samar sebagai hal yang luar biasa, hal ini terjadi pada para dukun atau rahib. Kedua, martabat batu yang dilukiskan Allah sebagai ‚batu yang terbelah kemudian keluarlah air darinya. ‛ Inilah kalbu yang dapat melihat beberapa tanda dan makna yang rasional, seperti kalbu para filosof dan penyair. Ketiga, martabat kalbu yang dilukiskan Allah sebagai ‚batu yang turun karena takut kepada Allah.‛ Inilah kalbu yang bersih, kalbu ini dapat menerima pantulan sinar ruhani dari balik dinding, sehingga menimbulkan rasa takut dan khawatir di dalamnya. Kalbu ini dimiliki oleh para ahli agama. Keempat, martabat batu keras yang tidak lagi berpengaruh terhadapnya al- Qur’an, seruan, hikmah dan
nasihat. Kalbu ini dimiliki oleh orang-orang kafir dan munafik. 70 Jika melihat contoh-contoh penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat terlihat bahwa ia menggunakan pengetahuan intuitifnya untuk menemukan makna ayat al- Qur’an. Karena intuisi merupakan pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa para sufi –dalam hal ini al-Bursawi>- tentu mempunyai pengetahuan yang tinggi, di mana pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati berdasarkan ah}wa>l yang berbeda- beda. Terkadang pengetahuan tersebut tersembunyi di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya tanpa diketahui.
3. Hakikat Instrumen esoterik terakhir yang digunakan al-Bursawi> dalam tafsirnya
adalah hakikat. Hakikat dalam kepustakaan sufi memiliki makna persepsi terhadap realitas menurut pengetahuan mistik, hal tersebut sangat berbeda dengan pemahaman rasional atas kenyataan sebagaimana dirumuskna para pilosof. Adapun menurut kalangan di luar sufi, hakikat dipandang sebagai keimanan. Pengertian ini biasanya dikemukakan dalam konsep makrifat, yang terakhir ini lebih banyak berbicara konsep dan doktrin tentang realitas dalam tinjauan pengalaman sufistik. 71 Bagi para sufi, hakikat lebih sering dipandang
sebagai makna sesungguhnya dari kehidupan agamis. Misalnya saja tentang realitas ( h}aqi>qah) iman, keikhlasan dan tauhid; apakah sesungguhnya esensi ibadah, shalat dan zikir; apakah sebenarnya zakat, sedekah, atau jihad; apakah sesungguhnya cinta, khawf, khusyuk, syukur, sabar, berserah diri, ridha; dan apakah keseluruhan kenyataan takwa dan ihsan, atau kesempurnaan kehidupan
69 Q.S. al-Baqarah [2]: 152. 70 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 165-166. 71 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 108-109.
beragama. 72 Dengan kata lain, hakikat adalah bagaimana seorang sa>lik mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan. 73
Menurut al-Qushayri>, hakikat merupakan kesaksian akan kehadiran peran serta Ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Hal ini dikarenakan syariat merupakan pengetahuan atau konsep untuk merambah jalan menuju Allah, sedangkan hakikat adalah keabadian melihat-Nya, setiap syariat yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap
hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syariat tidak akan berhasil. 74 Hubungan antara hakikat dan syariat dipaparkan oleh al-Qushayri> adalah
sebagai berikut: Pertama, syariat merupakan sesuatu yang datang dengan beban hukum dari sang Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq. Kedua, syariat merupakan penyembahan makhluk pada Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Ketiga, syariat penegakkan apa yang diperintahnya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta
yang disembunyikan dan yang ditampakkan. 75 Singkatnya, syariat adalah hakikat dari sisi mana kewajiban tersebut diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syariat dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifah.
Dalam hal ini, hakikat dapat menjadi instrumen dalam sebuah penafsiran sufistik. Sebagaimana al-Bursawi> menjadikan hakikat sebagai instrumen esoterik penafsirannya. Tentunya hakikat tidak akan bisa berdiri sendiri, karena hakikat ada untuk menjadi pelengkap dari syariat. Ini bisa dilihat ketika al-Bursawi> menafsirkan surat al-Baqarah ayat 3:
.. اَا َ لَّلا َ ُ ِ ُ َ .. ‚..Mereka yang mendirikan shalat..‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 3)
Al-Bursawi> menjelaskan, hakikat berdirinya seseorang dalam shalat disertai kerendahan dan ketawadu’an penghambaan adalah terhindarnya manusia dari kerugian sifat takabbur. 76 Puncak takabbur adalah sebagaimana yang keluar dari mulut Fir’aun yang mengatakan: ‚Akulah Rabb kalian yang paling tinggi.‛ 77 Di samping terhindar dari kerugian sifat takabbur, manusia akan memperoleh keuntungan berupa tingginya cita-cita sebagai manusia, yang apabila cita-cita tersebut menjadi sempurna dalam diri seseorang maka ia tidak
akan berpaling dari Islam dan Yang Menciptakannya. 78 Sebagaimana yang telah dirasakan Nabi saw.
72 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 109. 73 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 88.
75 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118. Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118-119. 76 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37.
77 Q.S. al- Nazi’at [79]: 24. 78 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37.
‚Ketika Muhammad melihat Jibril di Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang menghilanginya, penglihatan Muhammad tidak berpaling dari yang dilihatnnya dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabb-nya yang paling besar.‛ (Q.S. Al-Najm [53]: 16-18)
Kemudian al-Bursawi> menerangkan, bahwa apabila manusia telah selamat dari takabur bashariyah, ia siap untuk melakuakan ruku’ dengan menundukan sifat kebinatangannya, setelah itu ia berdiri dengan penuh kerendahan serta ketundukkan. Menurut al-Bursawi>, dengan seseorang melakukan ruku’, maka ia akan terlepas dari kerugian sifat kebinatangan dan memperoleh keuntungan setelah memikul penderitaan. Kemudian ia kembali dari ruku’ kebinatangan kepada sujud yang bersifat tumbuh-tumbuhan. Dengan sujud seperti itu, ia akan terlepas dari ruginya kehinaan pepohonan dan kehinaan kerendahan. Kemudian ia memperoleh keuntungan berupa kekhusuan
yang mengandung kebahagiaan dan kemenangan yang mulia serta abadi, 79 sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah: ‚Sungguh beruntung kaum Mu’minin, yang shalatnya khusyu’.‛ 80
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa khushu>’ merupakan alat mi’raj yang paling sempurna dalam menyatakan pengabdian melalui jasad yang penuh bercahaya. Khushu>’ tersebut tidak pernah terjadi di alam lain, kecuali di alam manusia.Oleh karena rahasia inilah, malaikat dan makhluk lainnya enggan untuk memikul amanat, sebab mereka khawatir akan menghianati amanah itu. Karena keengganan merupakan lawan alamiah dari khushu>’. Al-Bursawi> melanjutkan, kesanggupan manusia untuk memikul amanat, dinyatakan dalam bentuk kesiapan untuk melakukan khushu’, dan pernyataan khushu>’ yang paling sempurna adalah ketika seseorang sujud. Apabila ditelusuri lebih dalam lagi, sujud merupakan puncak pernyataan kerendahan dan kehinaan diri yang menjadi bagian perilaku shalat. Dengan sujud, manusia akan terputus keterikatannya kepada dunia dan akan meningkat ke alam ruhaniyah yang tinggi. Ia akan meninggalkan martabat kemanusiaan, kebinatangan dan tumbuh- tumbuhan yang diwujudkan dalam pernyataan penuh pengabdian, menghilangkan sifat egoisme kemanusiaan, serta berupaya dengan sungguh-
sungguh untuk memperoleh anugerah Allah swt.. 81
Contoh lain dari penafsiran al-Bursawi> yang menggunakan hakikat sebagai instrumen esoterik penafsirannya, dapat terlihat dari penafsirannya pada Surat al-Baqarah ayat 271:
79 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- 80 Q.S. al- Qur’a>n, Jilid I, 37. 81 Mu’minun [23]: 1-2. Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37-38.
‚Jika kalian menampakkan sedekah, maka itu adalah sedekah yang baik dan apabila kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada kaum fakir, penyembunyain sedekah itu lebih baik bagi kalian dan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 271)
Al-Bursawi> menerangkan bahwa hakikat dari penyembunyain sedekah adalah mengisyaratkan kepada kemurniannya dari percampuran perolehan nafsu agar sedekah itu murni untuk Allah sehingga pelaku sedekah yang demikian akan berada dalam naungan Allah, sebagaimana Nabi saw. b ersabda: ‚kelak pada hari kiamat orang akan berada di bawah naungan sedekahnya.‛ Kemudian al-Bursawi> menjelaskan, jika sedekah dilakukan karena Allah, ia akan berada di bawah naungan Allah. Apabila sedekahnya karena surga, ia akan berada di bawah naungan surga. Apabila sedekahnya itu karena syahwat, ia akan berada
di bawah naungan neraka h}a>wiyah. 82
Pada hakikatnya Allah Maha Mengetahui atas amalan yang dilakukan baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan, dan Allah aka membalas seseorang berdasarkan kedua amalan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadis Qudsi:
‚Tidaklah orang-orang yang mendekatkan diri itu dekat kepada-Ku sesuai dengan apa yang Kuperintahkan kepada mereka dan senantiasa seseorang ber-taqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah melainkan Aku mencantainya. Apabila aku mencintainya, Aku – baginya- sebagai pendengaran, penglihatan, lisan dan tangan. Dengan telinga-Ku dia mendengar, dengan mata-Ku dia mendengar, dengan lidah-Ku dia bertutur, dan dengan tangan-Ku dia meraba.‛
Pada hadis diatas, al-Bursawi> menjelaskan bahwa keikhlasan tersebut adalah keikhlasan yang semata-mata untuk Allah tanpa dicampuri oleh ‘illat duniawi atau ukhrawi, karena ‘illat merupakan syirik, dan syirik merupakan sebuah kezaliman yang besar, oleh karena itu 83 ‘illat tersebut harus dijauhi.
Contoh penafsiran al-Bursawi> lainnya yang menggunakan pemaknaan secara hakikat sebgai instrumen dalam penafsirannya, dapat terlihat ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 284:
82 Qur’a>n, Jilid I, 433. 83 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 433-434.
‚Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan apa-apa yang ada di bumi. Dan apabila kalian menampakkan apa-apa yang ada dalam diri kalian atau kalian menyembunyikannya, niscahya Allah akan menghisab kalian. Maka Allah akan mengampuni orang- orang yang dikehendaki dan akan menyiksa orang yang dikehendaki- Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas sedala sesuatu.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 284)
Al-Bursawi> menjelaskan makna hakikat dari ayat ini ialah bahwa sesungguhnya manusia tersusun dari alam amr dan alam penciptaan. Manusia mempunyai ruh kecahayaan dari alam amr, yaitu alam malakut yang paling tinggi.Manusia mempunyai jasad kegelapan dari alam penciptaan. Kedua alam tersebut masing-masing memiliki kecenderungan kepada alamnya sendiri- sendiri. Ruh menuju ke Rabb al- ‘A>lami>n dan mendekati-Nya, sedangkan jasad menuju ke dasar yang paling bawah sehingga mencapai batas yang sangat jauh
dari al-H{aqq. Allah mengutus Nabi Muhammad saw. supaya mensucikan jasad manusia dari kegelapan sifat-sifatnya, sehingga jika jasad itu sudah bersih dapat mendekati Rabb al-
‘A>lami>n. 84 Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, cara mensucikan jasad ialah dengan
menyembunyikan kegelapan sifat-sifat jasad melalui penampakkan cahaya akhlak ruh kepada kegelapan sifat jasad agar jasad dihiasi dengan cahaya akhlak ruhaniyah.Menurut al-Bursawi>, inilah maqa>m para wali.Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, kemudian Allah mengutus syaitan kepada para wali-Nya. Syaitan merupakan musuh Allah, yang berupaya mengeluarakan ruh para wali dan cahaya ruhaniyah mereka kepada kegelapan jasad. Cara yang dilakukan syaitan dengan menyembunyikan cahaya akhlak ruhaniyah seraya menampakkan kegelapan akhlakiyah jasad kepada ruhani agar dengan kegelapan itu ruhaniyah para wali terjerumus ke dasar yang paling
dasar. 85 Singkatnya, makna hakikat dari ayat di atas adalah: ‚Jika kalian
menampakkan apa- apa yang ada pada diri kalian‛ yang tersimpan padanya, yaitu berupa kegelapan-kegalapan jasad yang secara lahiriyah menyalahi syariat, dan secara batiniyah karena diiyakan oleh tabi’at. ‚Atau yang kalian menyembunyikannya‛ yaitu menyembunyikan dengan menggunakan teknik- teknik pengeturan dalam menyetujui syariat dan menentang tabi’at. ‚Niscahya Allah menghisab kalian dengan‛ yaitu penyucian jiwa agar menerima cahaya ruhaniyah dan akhlaknya, atau dengan mengootori ruh agar menerima kegelapan jasad dan kegelapan akhlak. ‚Allah akan mengampuni orang yang dikehendaki- Nya‛, lalu Allah menerangi jasadnya dengan cahaya ruhaniyah dan menerangi ruhnya dengan cahaya al-H{aqq. ‚Dan Allah menyiksa orang yang dikehendaki- Nya‛ lalu Allah menyiksa jasadnya dengan api perpisahan dengan
84 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445. 85 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445.
Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung . ‚Dan Allah mengetahui atas segala sesuatu‛ seperti halnya ketika Dia memperlihatkan kelambutan dan Pemaksaan-
Nya atas penyusunan alam amr dengan alam penciptaan. 86 Demikianlah contoh-contoh penafsiran al-Bursawi> yang menggunakan hakikat makna dalam manafsirkan ayat al- Qur’an. Penggunaan hakikat sangatlah diperlukan karena pemahaman hakikat merupakan bentuk
pengabdaian yang diatur dalam syraiat. 87 Penghambaan, pengabdian atau ibadah seperti syahadat, shalat, puasa zakat dan haji apabila tidak diketahui hakikatnya
akan menjadi perbuatan semu. Namun pada realitanya, masih terdapat banyak perbedaan pemahaman syariat dan hakikat, banyak terjadi benturan antara orang yang berpegang secara kaku pada salah satu tingkatan. Orang yang masih kaku pada tingkat syariat selalu mendirikan shalat dengan harapan mendapat pahala. Padahal Allah memerintahkannya agar mengikhlaskan ketaatan kepada- Nya. Sebaliknya, orang yang berpegang secara kaku pada kajian hakikat tidak lagi melaksanakan syariat. Idealnya kedua kekakuan ini mesti dicairkan dengan keseimbangan antara keduanya. Syariat cenderung kepada perbaikan hubungan antara sesaman manusia. Sebaliknya, hakikat cenderung kepada perbaikan hubungan kepada Allah.
Dari uraian-urain di atas, terlihat bahwa al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n memiliki konstruk atau framework penafsiran sufistik tersendiri yang khas dan unik. Frameworktersebut terdiri dari instrumen eksoterik dan esoterik dengan seluruh elemen-elemen di dalamnya. Hal ini dilakukan oleh al- Bursawi> untuk mengharmonisasikan antara pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in dalam mengungkap makna yang terkandung di balik teks al- Qur’an agarmampu memberikan penekanan nilai-nilai moral, etika, akhlak, maqama>tkepada para pembacanya.
Dengan demikian, korelasi antara instrumen eksoterik dan esoterik adalah sebuah perpaduan dimensi z{a>hir dan ba>t}in yang terdapat dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. Dalam hal ini, al-Bursawi> memiliki metode tersendiri yang khas, yaitu pengharmonisasian antara dimensi z}a>hir dan ba>t}in melalui pengalaman keruhanian yang dimilikinya dalam menyibak makna yang terkandung dalam teks al- Qur’an. Sehingga hal ini memberikan nilai positif kepada penafsirannya tersebut.
86 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445-446. 87 Mulyadi, Membedah Al- Qur’an Berjilid Kulit: Menelusuri Keberadaan Dzat Allah
(Jakarta: CV Rahman Rahim, t.t), 127-128.
BAB V VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI<Al-BURSAWI<
Bab V ini membahas tentang penafsiran Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi> yang berkaitan dengan ayat-ayat ‘ubu>diyah dan puncak penglaman sufistik. Ayat-
ayat tentang ‘ubudiyah dipilih untuk merepresantasikan kelompok sufi amali> yang dalam tradisi penafsiran sufistiknyamelahirkkan corak tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Kemudian ayat-ayat mengenai puncak pengalaman sufistik dirasa penting dibahas, karena kerap muncul kontroversi pemahan terhadapnya. Selain itu, tema tersebut dirasa pas sebagai reprentasi dari kelompok sufi falsafi> yang sering kali menafsirkan al- Qur’an secara naz}ari>.
Setelah melihat penafsiran al-Bursawi> terhadap kedua kelompok ayat ini, kemudian akan dilakukan uji validasi dengan teori validitas penafsiran sufistik perspektif al-Dhahabi> yang meliputi empat kriteria, yaitu 1) tidak bertentangan dengan makna zahir ayat; 2) tidak bertentangan dengan syariat
dan akal sehat; 3) didukung argumentasi rasional dan dalil syar’i; dan 4) tidak mengkalaim bahwa tafsir sufistiknya adalah yang dimaksudkan oleh ayat. Apabila penafsiran Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> memenuhi empat kriteria yang disebutkan di atas, maka secara otomatis akan terlihat corak atau kecenderungan penafsiran sufistiknya.
A. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Tentang ‘Ubu>diyah
1. Shalat Ditinjau dari segi bahasa, kata shalat 1 seakar dengan kata s}ala>, al-
s}ali>dan yas}la>yang berarti memasuki dan menuntun. Kata tersebut diulang sebanyak sepuluh kali yang seluruhnya berkontekskan neraka (memasuki neraka), seperti surat al- A’la> [87]: 12. Pernyataan senada juga diungkapkan dalam surat al-Gha>shiyah [88]: 4, al-Inshiqa>q [84]: 12, al-Lahab [111]: 3, al- Isra>’ [17]: 18 dan pernyataan yang senada lainnya. Kata shalat diasosiasikan pada makna di atas, karena shalat itu merupakan serangkaian ibadah yang harus dilakukan dalam upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Terkadang juga digunakan untuk makna tempat ibadah, seperti kata shalawat yang biasa digunakan untuk memaknai gereja, yang diungkapkan Tuhan dalam surat al- H{ajj [22]: 40. Selain itu, shalat juga bermakna doa sebagimana yang diungkapkan dalam surat al-Tawbah [9]: 103. Pernyataan dengan makna yang sama juga diungkapkan dalam surat al-Ah}za>b [33]: 56 dan al-Baqarah [2]: 107.
Sedangkan secara terminologi, shalat adalah suatu ibadah yang mengandung ucapan (bacaan) atau perbuatan tertentu yang diawali
dengan 2 takbi>rat al-ihram dan diakhiri dengan salam. Selain itu, shalat merupakan refleksi dari sikap tunduk seorang hamba terhadap Tuhannya, juga
1 Al-Raghi>b al-As}fahani>, Mu’jam Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 293.
2 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t), Jilid I, 90.
merupakan media penghubung kejiwaan serta penyampaian doa-doa seorang hamba kepada Allah sebagai Tuhannya. 3 Dengan shalat inilah manusia dapat
berdialog langsung dengan Kha>liq-nya melalui doa-doa, tasbi>h}, tah}mi>d, tashahu>d dan tasli>m. Karena dengan ucapan-ucapan inilah kehendak manusia dapat disalurkannya. Kehendak manusia itu bagai air yang deras, jika dibendung diaakan mencari jalan keluar sekuat tenaganya. Kalau tidak ada jalan keluar, ia sanggup menyusun tenaganya sendiri untuk merobohkan rintangan yang menghalanginya. Shalat adalah laksana sungai yang mengalirkan air sebanyak-
banyaknya ke laut lepas. 4 Menurut al-Ghaza>li>, shalat merupakan tiang agama, tali pengikat keyakinan antara hamba dengan Tuhannya, puncak taqarrub, dan salah satu amalan terpenting dari seluruh ketaatan yang wajib dilakukan oleh
seorang hamba kepada Tuhannya. 5
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai shalatdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
1.1. Q. S. al-Baqarah [2]: 238
‚Peliharalah semua shalat dan shalat wust}a>. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan Khusyu’.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 238)
Menurut al-Bursawi>, h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>ti adalah perintah untuk memelihara shalat-shalat dengan cara membiasakan melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Adapun yang dimaksud dengan shalat-shalat tersebut adalah shalat fardhu yang berjumlah lima kali dalam sehari semalam. Bilangan shalat tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat al- Qur’an dan hadis- hadis mutawatir. Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, shalat wust}a> dalam ayat tersebut adalah bilangan yang diapit oleh dua bilangan yang sama. Bilangan tersebut berjumlah lima bilangan, karena shalat Ashar terletak di tengah-tengah
shalat lainnya, maka disebut dengan shalat 6 wust}a>. Dari paparan di atas, terlihat bahwa al-Bursawi>dalam menjelaskan kata
wust}a>sangat berpegang pada argumentasi rasio. Selain itu, ia memahami kalimat ‚peliharalah shalat‛ dengan selalu melaksanakan shalat tersebut tepat pada waktu yang telah ditetapkan.Penjelasannya tersebutselaras dengan rambu- rambu syariat yang menganjurkan pelaksanaan shalat tepat waktu. Selain itu, jika ditinjau dari makna tekstual ayat, apa yang dijelaskan al-Bursawi> di atas tidaklah bertentangan dengan makna tekstual yang terkandung pada ayat
3 Dede Rosyada, ‚Perspektif Al-Qur’an Tentang Salat‛ dalam Abudin Nata (ed.), Kajian Tematik Al- Qur’an Tentang Fiqih Ibadah (Bandung: Angkasa, 2008), 150.
4 Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 95. 5 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2004), 194. 6 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah
‘Uthma>niyah, 1928), Jilid I, 374.
tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Qushayri> dalam memaknai h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>tidengan menjaga shalat sepenuh hati dan dengan penuh kepatuhan. Apabila seorang hamba melakukan hal itu, maka ia akan selalu diiringi dengan sifat, karakter atau prilaku yang ditimbulkan dari pelaksanaan
shalat. 7 Sebagaimana al-Bursawi>, penjelasan al-Qushayri> tersebut masih berpijak pada koridor syar‘i. Sehingga apabila seseorang selalu berpegang kepadanya, maka shalatnya itu akan mengantarkan kepada sifat, karakter dan perilaku yang baik.
Penafsiran al-Bursawi> dan al-Qushayri> mengenai kata h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>ti di atas sejalan dengan penjelasan al-Alu>si>yang menyatakan bahwa maksud kalimat tersebut adalah perintah untuk selalu melaksanakan shalat tanpa adanya pelanggaran. Perintah itu dapat berarti permohonan ampunan yang terkandung di dalamnya dan juga larangan untuk meninggalkan keutamaan shalat. Karenashalat dapat menjauhkan seseorang dari keburukkan dan kemunkaran. Atau dapat pula berarti mengumpulkan keutamaan perintah
Allah dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. 8 Dari Penjelasan al-Alu>si> itu, terlihat bahwa ia sangat memperhatikan aspek syariat, hal ini bertujuan agar
seseorang dalam shalatnya harus senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan syariat. Apabila hal tersebut diperhatiakan dan dilaksanakan,maka ia akan dianugerahi keutamaan dari perintah Allah tersebut, yaitu kasih sayang-Nya.
Penjelasan al-Bursawi> berikutnya adalah berkenaandengan kalimat wa al-s}ala>ti al-wust}a>pada ayat di atas. Dalam penjelasannya itu, ia mecoba memaknai kalimat itu dengan melihat dari aspek kebahasaan sebelum kemudian beranjak kepada pemaknaan sufistiknya. Selain itu, ia juga memperkuat penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi ketika terjadinya peristiwa Ah}za>b. Hal ini terlihatpada penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>,maksud wa al-s}ala>ti al-wust}a> adalah memelihara shalat yang berada di tengah-tengah shalat yang lainnya. Kata wust}a> merupakan sifat mushabaha>t atau utama. Segala sesuatu yang terletak di tengah-tengah ( mutawa>sit}) adalah yang paling baik dan yang paling adil. Yang dimaksud dengan shalat wust}a>pada ayat ini adalah shalat ‘As}r. Penafsiran al- Bursawi> ini didasarkan kepada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan ketika peristiwa Ah}za>b:
‚Mereka telah membuat kita lalai atas shalat wust}a>, y akni shalat ‘As}r. Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api.‛
7 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 111.
8 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.t), Jilid 2, 155-156.
Menurut al-Bursawi>, shalat wust}a> memiliki kedudukan khusus karena pada waktu tersebut banyak orang disibukkan oleh perniagaan dan usaha. Selain itu, pada waktu itu menjadi waktu berkumpulnya malaikat malam dan malaikat siang. Kemudain al-Bursawi> mengutip hadis Nabi saw. yang berbunyi:
‚ Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘As}r, maka seakan-akan ia telah kehilangan keluarga dan hartanya.‛
Hadis tersebut mengandung pelajaran bahwa hendaklah manusia takut untuk kehilangan shalat ‘As}r seperti takutnya saat kehilangan keluarga dan harta. Hadis di atas menjadi argumentasi bagi orang yang berpendapat bahwa shalat wust}a> bukan merupakan shalat ‘As}r. Selain itu, hadis tersebut juga menjadi argumentasi bagi orang yang berpendapat bahwa shalat wust}a>adalah samar, dan Allah telah menyamarkannya agar dapat menjadi motivasi manusia agar
senantiasa memelihara seluruh shalat fard}u-nya. Selain itu, shalat wust}a>juga termasuk waktu yang
mustajab seperti hari Jum’at. 9 Dari penjelasa al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan al-s}ala>t wust}a>pada ayat tersebut adalah shalat ‘As}r. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ketika persistiwa Ah}za>b. Apa yang dijelaskan al-Bursawi> berbeda dengan penafsiran al-Alu>si> yang menyatakan bahwa s}ala>t al-wust}a>adalah shalat lima waktu yang telah ditetapkan dan tidak dikhususkan bagi shalat dhuhur, ashar, magrib, isya’, atau subuh. 10 Dari penjelasan al-Alu>si> tersebut, terlihat bahwa ia memaknai kata wust}a>sebagai shalat fardu seluruhnya tanpa ada pengkhususan di dalamnya. Ini berbeda dengan penafsiran al-Qushayri>yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan s}ala>t al-wust}a>adalah shalat yang dilakukan di rumah, tetapi kemudian seseorang mengikuti dan menghormati untuk melakukan shalat berjama’ah, dengan keyakinan bahwa ketika ia melakukan atau melaksanakan sendiri shalat di rumah, maka ia akan mendapatkan sesuatu yang kurang jika dibandingkan
dengan shalat berjama’ah. 11 Penafsiran al-Qushayri> tentang kata wust}a>berkaitan dengan tempat pelaksanaan shalat.Hal ini berbeda dengan apa yang telah
disampaikan al-Bursawi> yang memandang bahwa kata tersebut adalah suatu bentuk pengkhususan terhadap shalat ‘As}r.
Penjelasan umum al-Bursawi> mengenai makna h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>tiadalah sebagai seruan untuk memelihara shalat-shalat dengan cara membiasakan diri melaksanakan shalat tepat pada waktu. Penafsiran yang dilakukannya itu tidaklah bertentangan apabila ditinjau dari makna tekstual
9 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 374. 10 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid 2, 155-156. 11 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid 1, hal 111.
ayat tersebut. Karena pelaksanaan shalat dengan tepat waktu merupakan bentuk penjagaan terhadap perintah shalat itu sendiri. Kemudian, ketika ia menjelaskan kalimat wa al-s}ala>ti al-wust}a>pada ayat yang sama, terlihat bahwa ia memaknai kalimat itu dengan melihat dari sudut kebahasaan terlebih dahulu sebelum ia beranjak kepada pemaknaan sufistiknya. Selain itu, ia juga memperkuat penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi ketika terjadinya peristiwa Ah}za>b. Ini menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan aspek syariat sebelum beranjak kepada tahapan selanjutnya, yaitu hakikat. Apabila melihat validitas penafsiran sufistik yang dijelaskan oleh al-Dhahabi>, sebuah penafsiran sufistik haruslah didasari dengan dalil- dalil syara’ atau argumentasi rasionalserta tidak bertentangan dengannya. Jika seorang mufassir sufi melakukan tahapan itu, maka hal ituakansemakin menambah nilai positif penafsiran sufistiknya.
1.2. Q.S. al-Nisa>’ [4]: 103
‚Apabila kalian telah menyelesaikan shalat, maka ingatlah Allah (ketika) berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian apabila kalian merasa aman, maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban bagi Kaum Mukminin yang ditentukan waktunya.‛ (Q.S. al- Nisa>’ [4]: 103)
Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan faidha> qad}aytum al- s}ala>taadalah shalat khawf menurut cara (shalat) yang sudah diterangkan. Dari sini tampak bahwa kata qad}a> digunakan untuk suatu perbuatan yang telah habis waktu pelaksanaannya. Penggunaan semacam itu juga terdapat pada firman Allah lainnya: ‚Apabila kalian telah menyelesaikan manasik kalian.‛ 12
Kemudian maksud dari
fa aqi>mu al-s}ala>ta menurut al-Bursawi> adalah shalat yang sudah memasuki waktunya, dengan menyempurnakan rukun-rukunnya serta memelihara syariatnya. Di kalangan mazhab Hanafi ada yang berpendapat bahwa zikir di situ bersifat umum, meliputi zikir dengan lisan dan shalat. Maka dalam menafsirkan ayat ini mereka mengatakan: ‚Biasakanlah zikir kepada Allah dalam segala keadaan. Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, lakukanlah sambil berdiri tatkala kamu sehat dan sanggup untuk berdiri, dan lakukanlah dengan duduk tatkala kalian tidak dapat berdiri, dan lakukanlah
dengan berbaring tat 13 kala kalian tidak dapat duduk.‛
12 Q.S. al-Baqarah [2]: 200. 13 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276.
Dari penafisran al-Bursawi> tentang faidha> qadhaytum al-s}ala>ta di atas, dapat dipahami bahwa ia memaknai kalimat tersebut dengan shalat khawf, yaitu shalat yang dilakukan ketika dalam keadaan perang. Kemudian ia
melanjutkan penjelasannya mengenai kata qad}a>. Menurutnya, peggunaan kata tersebut mengindikasikan tentang suatu amalan yang telah habis masa pelaksanakannya. Halitu didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat ke-200. Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa al-Bursawi> mencoba menafsirkan kata qad}a>dengan menggunakan pendekatan tafsi>r Qur’a>n bi> al- Q ur’a>n. Metode ini biasa dipakai oleh kalangan mufassir bi> al-ma’thu>ryang biasa menafsirkan ayat dengan al- Qur’an atau yang bersumber dari periwayatan. Walaupun al-Bursawi> bukan termasuk dari kalangan mufassir bi> al- ma’thu>r, namun dalam penafsirannya kerap memakai metode itu untuk menemukan makna sufistik yang terkandung pada suatu ayat.
Apa yang diterangkan al-Bursawi> di atas, berbeda dengan penafsiran al- Alusi> yang menjelaskan bahwa ketika seseorang melaksanakan shalat, hendaknya di dalam dirinya harus ada rasa takut kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran al-Alu>si> sebagai berikut:
Al-Alusi> mengatakan bahwa ketika seseorang melaksanakan shalat, maka takutlah ia kepada Allah. Karena tidak ada tujuan lain kecuali menyembah kepada-Nya, selalu melanggengkan untuk berzikir kepada Allah dalam keadaan apapun, serta istiqo>mah dalam mengerjakannya. Kerjakan shalat ketika telah tiba waktunya, kerjakan semua ruku-rukunnya, perhatikan syarat-
syaratnya, dan jagalah bilangan atau jumlahnya. 14 Penjelasan al-Alu>si> tersebut berbeda dengan al-Bursawi> yang memahami kalimat al-s}ala>ta dengan shalat
khawf dan segala ketentuan tentangnya yang telah diterangkan oleh syariat. Adapun al-Qushayri> dalam tafsirnya memaknai kata al-s}ala>ta pada ayat di atas adalah zikir terus menrus tanpa terputus. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya sebagai berikut:
Menurut al-Qushayri>, ayat di atas menjelaskan bahwa pekerjaan yang nyata dan tampak serta jelas kapanpun waktunya adalah membuat hati selalu berzikir terus-menerus tanpa terputus. Berzikir dengan menggunakan nas} (kitab) terbatas oleh waktu tanpa kontinuitas (tidak setiap waktu dan terus menerus), sedangakan berzikir dengan hati terserah bagi siapa saja dan dapat dirahasiakan. Adakalanya pelaksanaan zikir berbeda-beda caranya, maka berzikirlah seperti yang biasa kalian lakukan. D an tuma’ninalah kalian dalam
melaksanakan shalat. 15 Dari penjelasan al-Qushayri>, terlihat bahwa ia memandang shalat
sebagai bagian dari zikir. Karena menurutnya zikir dengan hati memiliki
14 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid 5, 137-138. 15 Abd al-Kari>m al-Qushayri >, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid 1, hal 222.
cakupan luas yang tak terbatas dengan tempat dan waktu. Hal ini berbeda dengan dengan apa yang telah diuraikan oleh kedua mufassir di atas.
Kemudian, penafsiran al-Bursawi> berikutnya mengenai makna kalimat inna al- s}ala>ta ka>nat ‘ala> al-mu’mini>na kita>ban mawqu>ta>. Menurutnya, kalimat
tersebut adalah shalat wajib berjumlah lima kali yang telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Dalam memperkuat argumentasinya, ia mengutip kitab Sharh} al-H{ukm al- ‘At}a>’iyyah. Selain itu, al-Bursawi>juga menjelaskan geneologi disyariatkannya shalat serta mempertajam penjelasannya itu dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Dawu>d. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Kalimat inna al- s}ala>ta ka>nat ‘ala> al-mu’mini>na kita>ban mawqu>ta> adalah shalat fardu yang telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Dalam Sharh} al- H{ukm al- ‘At}a>’iyyah dikatakan bahwa tujuan dari penetapan waktu pelaksanaan shalat untuk menghindarkan manusia dari kerakusan dalam beribadah yang dapat mengantarkannya pada kebosanan dan tidak sampainya suatu amalan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah menjadikan pelaksanaan shalat pada waktu-waktu tertentu. Dapat dibayangkan ketika pelaksanaan suatu ibadah tidak ditentukan pada waktu-waktu tertentu, maka kehidupan manusia akan terhambat. Bahkan yang lebih parah lagi, ibadah tersebut akan ditinggalkan sama sekali. Allah memberi kelonggaran waktu tidak lain agar saat memilih
waktu pelaksanaan tetap ada, dan inilah rahasia waktu. 16
Al-Bursawi> menjelaskan, diwajibkannya shalat kepada umat manusia adalah pada malam Mi’raj dengan lima puluh kali waktu shalat, kemudian Allah meringankannya menjadi lima kali. Namun demikian, Allah swt. memberikan pahala untuk lima kali shalat ini dengan pahala lima puluh kali waktu shalat. Dengan kata lain, pahala lima puluh waktu shalat itu terdapat dalam lima waktu shalat tersebut. Kemudian Al-Bursawi> mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud:
‚Allah tidak mewajibkan sesuatu yang paling Dia sukai kepada makhluknya setelah ia bertauhid, selain shalat. Andaikan ada sesuatu yang paling dicintai-Nya selain shalat, niscahya sesuatu itu akan disembah oleh para malaikat-Nya, maka di antara mereka ada yang ruku’, sujud, berdiri dan duduk.‛
16 I sma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276.
Al-Bursawi> melanjutkan, bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang telah dianugerahi kekalan dalam shalatnya, mereka senantiasa berada dalam keadaan shalat selamanya semenjak azali. Keadaan ini menurutnya tidak dapat dipahami oleh akal yang picik dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta’ala. 17 Sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya:
‚Orang-orang yang dawa>m shalatnya‛. 18
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terlihat bahwa dalam menjelaskan perihal kewajiban shalat bagi umat Islam, iamelandasi argumentasinya dengan melihat sisi historis dari perintah shalat tersebut. Kemudian ia perkuat lagi penafsirannya itu dengan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud.Hal ini mengindikasikan bahwa dalam metode penafsiran yang ia lakukan selalu berusaha mengharmonisasikan antara instrumen syariat dan hakikat. Kedua unsur itu harus selalu beriringan dalam sebuah penafsiran sufistik. Karena kedua instrumen tersebut erat kaitannya dengan dimensi zahir dan batin. Jika dimensi zahir dan batin dalam sebuah penafsiran dapat dipadukan, maka penafsirannya itu dapat digolongkan ke dalam tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Zaqa>ni>bahwa tafsir sufi isha>ri>/fayd}i> adalah sebuah upaya penakwilanal-Qur’an yang berbeda dengan makna z}a>hir-nya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli sulu>k dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara
makna yang tersembunyi dan makna yang tampak. 19
1.3. Q.S. al-Nisa>’ [4]: 162
‚Tetapi orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka dan orang-orang yang beriman, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah diturunkan kepada sebelummu. Dan orang-orang yang mendirikan shalat serta menunaikan zakat. Juga yang beriman kepada Allah serta hari Akhir. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan pahala yang besar.‛ (Q.S. al-Nisa>’ [4]: 162)
17 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276-277.
19 Q.S. al- Ma‘a>rij [70]: 23. Muh}ammad ‘Abd al-‘Adhi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-
‘Arabi>, t.t.), Jilid II, 66.
Ayat ini berbicara tentang sekelompok orang yang memiliki kedalaman ilmu. Mereka memiliki keimanan terhadapsemua yang diturunkan Allah kepada mereka dan kaum sebelum mereka.Ayat ini juga berbicara mengenai orang- orang yang senantiasa melaksanakan shalat, membayar zakat, dan orang-orang yang beriman kepada Allah serta hari akhir. Mereka itulah golonganyang mendapatkan pahala yang besar dari Allah.
Al-Bursawi>melakukan beberapa tahapandalam menafsirkan ayat di atas. Pertama, ia membuka penafsirannya dengan menjelaskan kata al-s}ala>ta menggunakan analisis kebahasaan. Kedua, ia lanjutkan penjelasannya mengenai keutamaan shalat diikuti dengan mengutip sebuah hadis untuk mempertajam argumentasi penafsirannya. Ketiga, ia menjelaskan makna sufistik dari ayat di atas. Semua tahapan itu dapat dilihat dari penafsirannya berikut:
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata al-s}ala>ta pada ayat di atas di- nas}ab-kan sebagai pujian untuk menerangkan keutamaan mendirikan shalat. 20
Adapun di antara keutamaan shalat lima waktu sebagaimana yang tertuang dalam hadis Nabi saw. yang berbunyi:
‚Barangsiapa di antara kalian yang memelihara shalat lima waktu, di manapun dan keadaan bagaimanapun, maka pada hari kiamat ia akan melewati jembatan sebagaimana kilat yang bercahaya, yaitu pada kelompok pertama yang terdahulu. Ia akan datang pada hari kiamat, dengan wajah seperti bulan purnama. Shalat yang selalu dipelihara pada siang dan malam, pahalanya seperti seorang yang syahid di jalan Allah.‛
Menurut al-Bursawi>, rahasia hadis ini dapat dipahami dari lafaz shalat yang diambil dari kata al-s}ala yang berarti api. Kayu yang bengkok bila hendak diluruskan, biasanya dipanaskan terlebih dahulusebelum kemudian diluruskan. Begitupun manusia yang bengkok disebabkan dalam dirinya terdapat nafsu amarah, sedangkan kesucian wajah Allah Yang Maha Mulia itu panas. Sehingga jika kebengkokan dirinya itu tersingkap, maka kesucian tersebut akan membakarnya atau membakar setiap pandangan yang tetuju ke sanaseperti yang dituturkan dalam hadis tersebut. Dengan shalat, manusia akan berhadapan dengan kesucian itu, kemudian kesucian tersebut mengenai orang yang
20 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 321.
shalat.Hal ini terjadi karena adanya sinar kekuasaan Ilahiyah serta kebesaran Rabbaniyah yang dapat menghilangkan kebengkokan dirinya. Bahkan dengan shala t mi’raj dirinya dapat terwujud seperti orang yang sedang menghangatkan badan. Barangsiapa yang menghangatkan badan dengan kesucian, maka kebengkokan yang ada pada dirinya akan hilang sehingga ia tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka Jahannam. Dengan kadar perlintasan itu, orang yang shalat menghilangkan jejak orang lain, sehingga ia tidak perlu lagi untuk tinggal di atas jembatan. Namun ia melintasi jembatan tersebut seperti kilatan kilat. 21
Dari penjelasan al-Bursawi>di atas, dapat dipahami bahwa ayat itu merupakan bentuk pujian dan keutamaan terhadap orang yang mendirikan shalat. Al-Bursawi> menjelaskan makna ayat tersebut dengan hadis Nabi mengenai keutamaan shalat. Menurutnya, diantara keutamaan shalat adalah meluruskan manusia yang bengkok karena nafsu amarah di dalam dirinya denganpanasnya kesucian Allah Yang Maha Mulia.Ketika seseorang shalat, ia akan diterangioleh kesucian Allah. Selain itu, mi’raj seseorangakan terwujud dengan melaksanakan shalat. Di samping itu, shalat juga dapatmembantu seseorangmelintasi al-s}ira>t} seperti kilatan kilat.
Apa yang telah dijelaskan al-Bursawi> sejajalan dengan al-Qushayri> yang mengatakan bahwa ayat tersebut mengindikasikan keutamaan dan kekhususan shalat dibanding ibadah lainnya.Karena penyebutan shalat dalam al- Qur’an, sering dikaitkan dengan iman. Selain itu, Allah memerintahakan Nabi saw. u ntuk melaksanakan mi’raj tanpa perantara Jibri>l ‘alayhi al- sala>m. 22 Dari penjelasan al-Qushayri>, dapat disimpulkan bahwa ayat di atas berbicara mengenai keutamaan dan kekhususan shalat yang tidak didapati pada ibadah-ibadah yang lain.
Jika dilihat lebih mendalam, makna zahir yang terkandung pada ayat ke-162 surat al- Nisa>’adalah berkenaan dengan keutamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat, yaitu denganmendapatkan pahala yang besar dari Allah. Antara makna yang terkandung pada ayat itu dengan penafsiran al- Bursawi>,tidak terdapat pertentangan di dalannya. Karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, al-Bursawi juga dalamtafsirnya berbicara mengenaipujian dan keutamaan mendirikan shalat. Keutamaan itu adalahdapat meluruskan nafsu amarah di dalam diri seseorang dengan kesucian Allah Yang Maha Mulia.Dari Penjelasan al-Bursawi tersebut, apabila ditelusuri lebih jauhakan didapati keselarasan dengan Firman Allah dalam surat al- ‘Ankabu>t ayat ke-
45: ‚Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar.‛ Perbuatan keji dan munkar timbul dari nafsu amarah pada seseorang.
21 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 321-322. 22 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 240-241.
Apabila nafsu amarah itu dapat dibakar atau dihilangkan dengan cahaya kesucian Allah ketika shalat, maka ia tidak akan melakukan perbuatan keji dan munkar setelah shalat. Hal ini mengindikasikan bahwa penafsiran sufistik Al- Bursawi>dilakukan dengan tetap berpijak dengan makna zahir ayat.
Kemudian pada tahapan penafsiran sufistiknya, al-Bursawi> menjelaskan keutamaan shalat dengan mengutip sebuah hadis dari Nabi. Hal ini bertujuan untuk menguatkan penafsirannya. Jika ditinjau denganmenggunakan validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, sebuah penafsiran sufistik bisa dikatakan valid
apabiladalam penafsirannya 23 didasarkan kepada dalil syara’. Hal itu dilakukan dengan baik oleh al-Bursawi>dalam menafsirkan ayat di atas. Selain itu, dalam
penafsirannya juga tidak ditemukan klaim bahwa penafsirannya itu adalah satu- satunya yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
2. Puasa Al- Qur’an menggunakan kata s}iya>m sebanyak delapan kali, kedelapan
kata itu memiliki arti puasa menurut pengertian syariat. Di samping itu, al- Qur’an juga menggunakan kata s}awm sebanyak satu kali, kata s}awm tersebut
memiliki arti menahan diri untuk berbicara, 24 sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Maryam [19]: 26. Semua kata-kata yeng beraneka bentuk tersebut diambil dari akar kata s}a-wa-ma yang bermakna menahan, berhenti dan tidak bergerak.
Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga s}iya>m hanya dimaknai dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari dengan disertai niat. 25 Berbeda dengan kaum sufi, yang merujuk kepada hakikat dan tujuan dari puasa serta menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota badan bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Karena puasa pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. 26 Dalam perspektif sufistik, al-Ghaza>li> memandang bahwa puasa adalah
suatu bentuk kewajiban ibadah yang Allah jadikan sebagai benteng terkuat bagi para wali-Nya, di samping itu juga sebagai salah satu kunci pumbaka surga-
Nya. 27 Puasa memiliki nilai plus disebabkan oleh makna yang dikandungnya. Selain sebagai pengendali diri manusia, pelaksanaan puasa pun bersifat rahasia, karena hanya sha>’im dan Allah yang mengetahuinya. Menurut al-Ghaza>li>, puasa merupakan amalan batin yang hanya bisa dilaksanakan dengan kesabaran
23 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 24 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1998), 521. 25 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, 522. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, 431. 26 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, 522. 27 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 303.
semata. Selain itu, puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menundukkan syaitan. Syhawat dan nafsu adalah pintu yang sering dimasuki syaitan untuk menggoda manusia, dan nafsu akan semakin kuat dengan makan dan minum. Sebaliknya, rasa lapar pada diri seseorang akan menutup pintu dan memudarkan seluruh syahwat dan nafsu yang menjadi alat syaitan untuk
menggoda manusia. 28 Oleh karena itu, puasa harus diniatkan sebagai upaya untuk menahan syahwat dalam diri manusia. Karena itu puasa diartikan sebagai
hilangnya kehendak nafsu dalam diri manusia. Puasa tidak hanya sebatas menahan lapar, dahaga dan berhubungan intim dengan istri belaka. Puasa
semacam itu hanya bersifat lahiriyah. 29
Al-Ghaza>li> melanjutkan, bahwa ada enam hal yang harus dilakukan oleh seorang sha>’im, yaitu: pertama, menjaga pandangannya dari hal tercela yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah; kedua, menjaga lidah dari ucapan yang tidak bermanfaat seperti dusta, fitnah, menggunjing. Ketika seseorang berpuasa, lidahnya hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti
berzikir dan membaca al- Qur’an; ketiga, menjaga pendengarannya dari hal-hal yang tercela; keempat, mencegah semua anggota badan lainnya dari perbuatan yang diharamkan. Tangan dan kaki dijaga untuk tidak melakukan atau menuju ke tempat yang diharamkan. Perut dijaga untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram maupun syubhat; kelima, mencukupkan diri dengan makanan yang halal, tidak berlebihan dan melampaui batas baik ketika berbuka puasa maupun ketika sahur; keenam, ketika selesai berbuka, hati senantiasa berharap dan merasa cemas. Sebab ia tidak mengetahui dengan pasti apakah puasanya itu diterima atau ditolak. Perasaan ini selalu menyertainya setiap kali selesai
melakukan puasa. 30 Pandangan al-Bursawi> mengenai puasa, dapat dilihat dari penafsirannya
sebagai berikut:
2.1. Q.S. al-Baqarah [2]: 183
‚Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)
Dalam memaknai puasa pada ayat di atas, al-Bursawi> terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Hal ini terlihat dari penjelasannya berikut ini:
28 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 304. 29 Abi> H{a>mid al-Ghaza>li>, Majmu>’ah Rasa’il al-Ima>m al-Ghaza>li> (Beirut: Da>r al-Fikr,
2006), 53. 30 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 307-309.
Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan kutiba ‘alaikum al-s}iya>m adalah puasa bulan Ramad}a>n. Hal ini mengacu kepada ayat sesudahnya yang berbuny
i: ‚..Barangsiapa di antara kalian yang menjumpai bulan ini (Ramad}a>n), maka hendaklah ia berpuasa..‛ 31 Puasa menurut syariat adalah
menahan diri pada siang hari dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Ini merupakan puasa kaum m um’min yang awam. Adapun puasa kaum khawa>s} ialah menahan diri dari segala perkara yang dilarang. Sedangkan puasa khawa>s} al-khawa>s} adalah menahan diri dari segala perkara selain Allah.Diwajibkannya puasa kepada umat manusia terjadi pada zaman nabi Adam a.s. dan umat manusia sesudahnya. Menurut al-Bursawi>, ayat ini mengandung penguatan hukum, motivasi untuk berpuasa, dan memperbaiki orang-orang yang di- khit}a>b- kan ayat tersebut. Puasa adalah ibadah yang berat, namun suatu ibadah yang berat apabila dilakukan dengan massal akan mudah dilakukan dan akan disukai oleh setiap orang yang menjalankannya. Jelasnya, pen- tashbi>h-an (penyerupaan) itu kembali kepada inti kewajiban ibadah puasa itu sendiri, bukan kepada kuantitas puasa yang diwajibkan dan bukan kepada penjelasan atas waktu pelaksanaannya.Pen- tashbi>h-an (penyerupaan) dalam kewajiban puasa, tidak menuntut kesamaan dalam segala aspeknya.Sebagaimana dikatakan dalam sebuah do’a ‚Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau merahmati Ibrahim dan keluarganya.‛ Selain do’a tersebut, Nabi saw. juga pernah besabda: ‚Kalian akan melihat Rabb kalian bagaikan bulan pada malam purnama.‛ Ungkapan dalam hadis ini merupakan tashbi>h (penyerupaan) antara sebuah penglihatan dengan penglihatan lainnya, bukan
tashbi>h terhadap obyek penglihatan dengan obyek lainnya. 32 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, ia menafsirkan kalimat kutiba
‘alaikum al-s}iya>m dengan mengacu pada ayat selanjutnya. Ini memberikan indikasi bahwa al-Bursawi> mencoba mengunakan metode tafsi>r Q ur’a>n bi> al- Q ur’a>n. Selain itu, metode penafsiran sufistiknnya selalu berpegang pada aspek zahir dan batin. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Alu>si> sebagaimana dikutip ‘Ali> H{asan al-‘Ari>d} bahwa dalam tradisi penafsiran sufistikharus melalui beberapa tahapan. Pada tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Setelah makna z}a>hir ayat diketahui, barulah pada tahap berikutnya beranjak kepada pemaknaan secara 33 isha>ri>. Selain itu, al-Bursawi> dalam
penjelasannya mengenai term puasa sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Hal ini tampak ketika ia memaknai puasa dengan mengacu pada perspektif fuqaha>’.
Berbeda dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> membagi puasa ke dalam dua jenis. Pertama, shaum z{a>hir, menjaga diri dari makan dan minum yang disertai dengan niat. Kedua, shaum ba>t}in, penjagaan atau perlindungan hati dari
31 Q.S. al-Baqarah [2]: 185. 32 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 289.
33 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56.
kotoran. Penjagaan ruh agar tidak keluar dari tempatnya. Penjagaan rahasia dari perbincangan. Sebagaimana dikatakan bahwa puasanya seorang ‘a>bid adalah dengan menyempurnakan penjagaan lisan dari ghibah, penjagaan pandangan
dari melihat hal-hal yang dapat memberikan keragu-raguan atau kebimbangan. 34 Dari penjelasan Qushayri>, dapat dipahami bahwa puasa memiliki dua dimensi yang memiliki posisi yang sejajar. Artinya, puasa z}a>hir seseorang yang menjaga dirinya dari lapar dan dahaga tidak akan sempurna jika tidak dibarengi dengan puasa ba>t}in yang menjaga seseorang dari hal-hal yang mengurangi nilai puasa itu sendiri.
Menurut al-Alu>si>, ayat di atas merupakan penjelasan mengenai hukum syariat yang terakhir. Kata al-s}awm berasal dari kata s}a>ma yang berarti mencegah atau menahan diri. Berpuasalah sebagaimana diwajibkannya puasa kepada umat terdahulu; para Nabi, dan seluruh umat manusia yang hingga hari ini mengikuti risalah Nabi Adam. Adapula yang mengatakan bahwa perintah ini disampaikan kepada ahl al-kita>b, atau umat Nasrani. Diperintahkannya puasa agar kalian semua dapat berhati-hati untuk melakukan kemaksiatan, dan puasa
dapat pula mengurangi atau mencegah dari sahwat. 35 Dari penafsiran al-Alu>si> ini, terlihat bahwa ia menyoroti puasa dari sisi kebahasan dan syariat. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> yang menggunakan kedua sisi tersebut dalam menjelaskan isi kandungan ayat di atas.
Kemudian, dalam menjelaskan tujuan puasa yang terkandung dari ayat di atas, al-Bursawi> menyebutkan bahwa tujuan dari perintah puasa adalah ketakwaan seseorang dari segala bentuk kemaksiatan kepada Allah. Untuk memperkuat argumentasi penafsirannya, al-Bursawi> mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin memberikan nilai positif kepada penafsiran sufistiknya yang masih berp egang kepada argumentasi syara’.Sebagaimana al- Dhahabi> mengatakan bahwa sebuah penafsiran sufistik harus didukung oleh dalil syara’ atau argumentasi yang bersumber dari argumentasi rasional. Pengutipan hadis dalam mempertajam argumentasi Al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Tujuan dari puasa menurut al-Bursawi> adalah bertaqwa atas kemaksiatan, karena puasa dapat meredam syahwat yang menjadi titik awal dari kemaksiatan, sebagaimana di dalam hadis Nabi saw.:
‚Wahai para pemuda, barangsiapa yang berkeinginan untuk berumah tangga, maka menikahlah, karena pernikahan dapat menahan pandangan (dari melihat wanita yang haram dilihat) dan memelihara kesucian
34 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 87. 35 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid II, 56-57.
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat meredam nafsu syahwatnya.‛
Dalam hadis ini, kata al-shaba>b jamak dari sha>b, menurut Imam Nawawi artinya orang yang sudah baligh tapi tidak melebihi tiga puluh tahun. Wija>’ merupakan jenis pengebirian, yaitu mengendurkan urat-urat dua biji zakar dan meninggalkan keduanya sebagaimana adanya. Hadis ini menggunakan tashbi>h, yaitu s}awm yang memutuskan hasrat syahwat jima’ dan menahan keburukan mani seperti pengebirian. Perintah dalam hadis ini menunjukan sebuah kewajiban, karena perintah itu dibawa kepada keadaan pemingitan yang diisyaratkan oleh kata ‚wahai para pemuda‛, karena mereka golongan yang harus dipelihara supaya berada dalam perangai yang baik. Sebagaimana perkataan sebagian ulama: ‚Menentramkan syahwat, membuang syahwat, melupakannya dan tidak membicarakannya dapat diperoleh melalui shaum pada siang hari dan shalat pada malam
hari‛. 36
Penggunaan hadis Nabi untuk memperdalam argumentasi penafsiran juga dilakukan oleh Ibn ‘Arabi>. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya terhadap ayat di atas.Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kutiba
‘alaikum al-s}iya>m adalah perintah Allah kepada kalian, karena kalian tergolong ke dalam orang mu’min yang memiliki maqam hikmah. Jika kalian memiliki hak tersebut, kalian tidak akan membeda-bedakan perintah yang ditujukan kepada kalian dalam ibadah ini. Selain itu, kutiba ‘alaikum al-s}iya>m menurut
Ibn ‘Arabi> bermakna seruan untuk menahan diri dari apa yang diharamkan kepada kalian. Menurutnya, perintah puasa adalah termasuk dari hakikat puasa itu sendiri. Puasa menjadi penjaga bagi diri kalian. Sebagaimana Nabi menjelaskan bahwa puasa adalah junnah (benteng), dan benteng tersebut menjadi penjaga bagi kalian. Janganlah kalian melaksanakan puasa dengan tujuan selain beribadah. Karena ada sebagian orang yang berpuasa mengharapkan surga. Hakikat puasa adalah sebuah seruan bahwa tiada Tuhan selain Allah, karena puasa sesungguhnya hanya untuk Allah bukan untuk
kalian. 37 Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa Ibn ‘Arabi dalam penafsiran sufistiknya masih berpijak kepada dalil- dalil syara’. Jika dilihat dari terori al-Dhahabi>tentang validitas penafsiran sufistik, al-Bursawi>dalam penafsirannya terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum ia melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Selain itu, dalam menjelaskan term puasa, ia sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Dan yang paling penting, sebuah penafsiran sufistik harus didasari oleh dalil- dalil syara’ atau argumentasi rasional. Dalam hal ini, ketika al-Bursawi> menjelaskan tujuan puasa pada ayat di atas,ia mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin menambah nilai positif
36 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 289-290. 37 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, al-Futuh}a>t al-Makiyyah(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2001),Jilid II, 296-297.
penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara ’ serta tidak bertentangan dengannya.Karena dalam menafsirkan ayat di atas, al- Bursawi> masih berpegang pada kedua hal tersebut. Di samping itu,
penafsirannya terhadap ayat di atas tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>- nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, penafsiran Al-Bursawi> di atas adalah valid atau dapat diterima apabila ditinjau dari teori validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>.
2.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 184
‚Beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (ia diwajibkan berpuasa sebanyak hari-hari
yang ditinggalkan) di hari-hari lain. Dan bagi orang yang tak kuat menjalankannya, maka ia harus membayar fidyah, memberi makan seorang yang miskin. Barangsiapa yang suka rela mengerjakan kebaikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan jika kalian berpuasa, maka itu lebih baik jika kalian mengerti.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 184)
Dalam menafsirkan kalimat wa antas}u>mu>, al-Bursawi>terlebih dahulu menganalisis kalimat itu dari aspek kebahasaan. Kemudian ia menuliskan sebuah hadis sebagai argumentasi syar’i serta mengutip pendapat Abu> H{ani>fah untuk dijadikan pijakan dalil aqli dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurutal-Bursawi>, kalimat wa antas}u>mu>dapat di- ta’wilmas}dar-kan menjadi wa s}iya>makum. Kalimat itu di- rafa‘-kan karena merupakan mubtada’. Dengan begitu, kalimat tersebut bermakna berpuasalah kalian wahai orang- orang yang sakit, musafir dan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan. Al- Bursawi> melanjutkan, puasa seseorang yang sedang dalam perjalanan lebih utama karena puasa merupakan ‘azimah baginya dan menundanya berarti rukhs}ah. Jadi mengambil ‘azimah lebih diutamakan. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:
‚Tidaklah termasuk kebaikan shaum dalam safar.‛
Hadis ini mengandung arti bahwa jika puasa dapat membuat seorang musafir lemah sehingga dikhawatirkan dapat membuatnya meninggal dunia, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang menyatakan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang waktu tempuhnya selama tiga hari tiga malam. Setelah Hadis ini mengandung arti bahwa jika puasa dapat membuat seorang musafir lemah sehingga dikhawatirkan dapat membuatnya meninggal dunia, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang menyatakan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang waktu tempuhnya selama tiga hari tiga malam. Setelah
setahun dalam meraih pahala yang dijanjikan-Nya. 38 Sebagaimana firman-Nya: ‚Barangsiapa membawa amal kebaikan, baginya pahala sepuluh kali lipat dari
amalnya...‛ 39 Dari penjelasan di atas, tampak bahwa al-Bursawi> sangat memperhatikan sisi kebahasaan. Karena pada hakikatnya pemaknaan isha>ri> dilakukan setelah seorang mufassir mengetahui terlebih dahulu makna zahir yang terkandung di dalam suatu ayat. Selain itu, pengutipan dalil syara’ yang bersumber dari al- Qur’an dan hadis serta pembahasana terhadap permasalahan mazhab dalam fiqih memberikan bukti bahwa ia sangat concernterhadap aspek syariat dalam penafsirannya.Hal ini sejalan dengan Muhammad Abd. Haq Ansari yang mengatakan bahwa syariat merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiri seseorang. Sebagian besar sufi tetap mematuhi rambu-rambu syariat, mereka menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan dan mengerjakan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di
setiap waktu dapat terlepas dari syariat. 40 Adapun al-Bursawi> mengibaratkan syariat sebagai air yang menjadi sebab kesuburan. Agama disyariatkan oleh Allah dan diciptakan-Nya, seperti shaum, shalat, haji, perkawinan dan lain sebagainya. Syariat merupakan jalan yang dapat menyampaikan pada kehidupan abadi. Sama halnya dengan air yang merupakan sebab untuk kehidupan yang
fana. 41 Kemudian, al-Bursawi> dalam tafsirnya juga menerangkan tentang pahala puasa pada bulan Ramadhan dan Syawal. kemudian ia melanjutkan penjelasannya mengenai geneologi diwajibkan puasa kepada umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Ketika seseorang berpuasa selama sebulan penuh, maka ia setara dengan 300 hari (30 x 10 kebaikan) dan ditambah dengan enam hari puasa pada bulan Syawal dan menjadi 60 hari (6 x 10 kebaikan) hingga jumlahnya mencapai 360 hari yang berarti sama dengan satu tahun. Apabila jumlah hari pada bulan Ramadhan berkurang satu hari, maka itu tidak akan mengurangi pahala tersebut. Menurut al-Bursawi>, puasa diwajibkan kepada umat Islam setelah lima belas tahun dari kenabian Rasulullah saw., atau tiga tahun setelah hijrah. Pada mulanya puasa diwajibkan kepada kaum kaya,ini disebabkan adanya kamu fakir pada raja T{ahmuruth, raja ketiga bani Adam. Pada zaman itu terjadi paceklik, raja menyuruh kepada setiap orang kaya agar memberi makanan kepada seorang fakir setelah matahari terbit dan menyuruh mereka menahan diri dari makan pada siang hari sebagai rasa solidaritas kepada kaum
38 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 290-291. 39 Q.S. al- An’a>m [6]: 160. 40 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 110-111.
41 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 399-400.
miskin serta memberi kemungkinan kepada kaum miskin untuk makan pada siang hari sebagai ibadah dan 42 tawad}u‘ kepada Allah.
Setelah menerangkan tentang pahala puasa dan menjelaskan geneologi disyariatkannya puasa kepada umat Islam,al-Bursawi>kemudian melanjutkan kepada pemaknaan sufistiknya mengenai puasa. Dimana penafsiran sufistiknya itu ia perkuat dengan penggunaan ayat al- Qur’an dan hadis Nabi. Hal Ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Dalam pandangan al-Bursawi>, puasa merupakan sebab untuk dapat masuk ke dalam kerajaan langit dan sebagai perantara untuk dapat keluar dari sempitnya rahim jasmani yang diistilahkan dengan ‚kehidupan kedua‛ sebagaimana yang telah diisyaratkan Nabi ‘I<sa> a.s.: ‚Orang yang tidak dilahirkan dua kali, maka ia tidak dapat masuk ke kerajaan langit.‛ Bahkan puasa sangat behubungan dengan musha>hadah, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh hadis Qudsi:
‚Puasa itu untuk-Ku dan Aku menjadi balasan(nya).‛
Dalam hadis ini, al-Bursawi> menjelaskan bahwa Allah menjadi balasan puasa, bukan bidadari atau gedung-gedung. Oleh karena itu Allah mengaitkan perolehan kebahagiaan melihat-Nya dengan lapar. Sebgaimana Firman-Nya kepada ‘I>sa> a.s.: ‚Laparlah kamu, maka kamu melihat-Ku.‛ Puasa disandarkan kepada Allah sebagaimana hadis Nabi: ‚Puasa itu untuk-Ku,‛ Karena dalam puasa terdapat rahasia dan ganjaran yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menjadi balasan bagi puasanya seseorang apabila orang itu serta sirr-nya, dikekang dari perkara selain Allah. Menurut al-Bursawi>, itulah puasa yang hakiki bagi kaum
khawa>s}. 43
F irman Allah ‚Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa...‛ Menurut al-Bursawi> mengandung isyarat bahwa puasa,
selain lahiriyah, terdapat pula puasa batiniyah. Batinnya adalah khit}a>byang mengisyaratkan kepada puasa kalbu, ruh, cahaya kehadiran bersama Allah. Puasa kalbu adalah puasanya seseorang dari kecenderungan-kecenderungan kepada selain Allah. Sedangkan puasa ruh adalah puasanya seseorang dari pengamatan-pengamatan yang bersifat ruhani kepada selain Allah. Dan shaum sirr adalah memelihara sirr-nya dari penyaksian kepada perkara selain Allah. Barangsiapa yang menahan dari tipuan, maka akhir puasanya adalah penyaksian terhadap al-H{aqq. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
‚Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berkukalah kalian karena melihatnya‛
42 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291. 43 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291-292.
Menurut ahli tah}qi>q, d}ami>rhu pada kedua kata ru’yatihi kembali kepada al- H{aqq (bukan kepada Ramad}an). Oleh karenanya, puasa seseorang hendaknya secara lahir dan batin.
Al-Bursawi> melanjutkan, puasa bukan hanya menahan apa-apa yang dilarang dalam syariat. Lebih dari itu, semua anggota badan lahir dan setiap sifat di batin juga harus berpuasa. Lisan berpuasa dari dusta, berkata buruk, dan mengumpat. Mata berpuasa dari memandang yang tidak berguna dan pandangan yang meragukan. Telinga berpuasa dari perkataan yang dilarang dan tidak bermanfaat. Jiwa seseorang berpuasa dari angan-angan, kerakusan dan syahwat. Hati berpuasa dari mencintai dunia dan perhiasannya. Roh berpuasa dari kenikmatan dan kelezatan. Rahasia seseorang berpuasa dari melihat wujud
selain Allah dan tetapnya Allah. 44
Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa puasa merupakan sebab dari seorang hamba dapat ber- musha>dah dengan Allah, sebagaimana yang yang telah diisyaratkan dalam hadis Qudsi yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, puasa terbagi menjadi dua macam, yaitu puasa lahiriyah dan batiniyah. Puasa lahiriyah dengan menahan segala sesuatu yang dilarang oleh syariat. Adapun puasa batiniyah adalah menahanhati, ruh, sirr. Puasa hati adalah menahan hati dari segala kecenderungan kepada selain Allah. Sedangkan puasa ruh adalah menahandiri dari segala pengamatan yang bersifat ruhani kepada selain Allah. Dan shaum sirr adalah memelihara sirr-nya dari penyaksian perkara kepada selain Allah.
Menurut al-Qushayri>, ayat di atas memberi penjelasan bahwa siapapun yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka wajib baginya berpuasa.Barangsiapa yang menyaksikan Dia yang menciptakan bulan puasa maka sudah menjadi keharusan baginya untuk berpuasa karena Allah. Berpuasa karena Allah merupakan perkara wajib, mendatangkan pahaladan dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Selain itu, berpuasa karena Allah merupakan sebuah penguat ibadah dan sebuah pembenaran atas ketetapan-Nya. Al-Qushayri> melanjutkan, puasa yang atas nama Allah merupakan ibadah z}a>hir dan realisasi dari ibadah yang ditujukan kepada-Nya. Puasa untuk Allah merupakan proses menahan diri yang berupa bagian dari ketetapan hukum syari’at, puasa atas nama Allah merupakan wujud dari menahan diri yang mengarah pada sebuah
hakikat. 45 Dari penjelasan al-Qushayri> tersebut, dapat dipahami bahwa ayat di atas menjelaskan perintah puasa kepada siapapun yang menjumpai Ramadhan. Dan berpuasa dengan niat karena Allah merupakan suatu kewajiban, hal ini bertujuan untuk dapat menggapai hakikat puasa.
Adapun al-Alu>si> lebih menekankan kepada keutamaan melaksanakan puasa dibandingkan dengan mengambil rukhsah atau keringanan yang telah
44 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291-292. 45 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 87.
diberikan Allah kepada hamba-Nya. Ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Alu>si>, ayat di atas merupakan seruan bagiorang yang mampu untuk melaksanakan puasa, sehat, orang-orang yang sudah tua atau lemah, orang yang diberikan keringanan karena perjalanan, orang yang sedang sakit. Lebih utama bagi mereka untuk melaksanakan ibadah puasa karena di dalamnya tersimpan kelezatan.Sebab melakukan puasa lebih utama daripada membayar fidyah. Bagi ahli ilmu, mereka mengetahui bahwa puasa akan lebih baik untuk tetap dilaksanakan walaupun terdapat pilihan untuk mengambil keringanan bagi mereka yang sakit atau perjalanan, atau pilihan untuk
membayar fidyah bagi mereka yang sudah lemah dan dalam usia lanjut. 46 Dari penjelasan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa penafsirannya lebih menyoroti kepada sisi syariat yang terdapat pada perintah puasa. Ini berbeda dengan penafsiran al-Bursawi> yang mencoba menggabungkan aspek syariat dengan hakikat.
2.3. Q.S. al-Baqarah [2]: 185
‚Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al- Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian menjumpai bulan itu, maka berpuasalah dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, (diwajibkan ia membayar) sebanyak hari yang ditinggilkannya pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.‛ (Q.S. al- Baqarah [2]: 185)
Ayat di atas menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan lainnya. Bulan Ramadhanadalah bulan diturunkannya al- Qur’an yang menjadi petunjuk dan pembeda antara yang baik dan batilbagi manusia. Karena itu, siapapun yang berada pada bulan itu, maka wajib atasnya untuk berpuasa.Apabila orang yang berada dalam bulan tersebut dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka ia diwajibkan untuk membayarsebanyak hari yang ia tinggalkan pada hari-hari di bulan lainnya.
46 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 59.
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi>terlebih dahulu menjelaskan kalimat shahru Ramad}a>na dari perspektif bahasa sebelum menerangkan kekhususan bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Shahru Ramad}a>na merupakan mubtada’ dan khabar-nya adalah ayat selanjutnya. Hal ini untuk memberitahukan keutamaan dan kedudukan puasa
serta mengisyaratkan kekhususan puasa Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, berupa kewajiaban puasa di dalamnya. Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan melalui firman- Nya: ‚..Barangsiapa di antara kalian hadir di bulan (yang diketahui), maka puasalah di dalamnya..‛ 47 Bulan disebut shahr karena kemasyhurannya. Ramadhan merupakan mas}dar dari kata ramad}a yang berarti membakar; kemudian dilafazkan kepadanya kata shahr; perpaduan keduanya dijadikan isim ‘a>lamyang terhindar dari tanwin, karena dima’rifatkan dengan alif dan nu>n (ism ghayr muns}arif). Ramadhan dinamakan Ramad}a>n baik karena terbakarnya kalbu lantaran lapar dan haus, atau karena terbakarnya dosa- dosa karena puasa. Atau karena bulan tersebut terjadi ketika membaranya panas
yang menyengat, yang terjadi pada pasir dan benda yang lain. 48 Dari penjelasan al-Bursawi> terhadap kalimat Shahru Ramad}a>na di atas, terlihat bahwa ia menggunakan analisis kebahasaandalam mengungkap makna dari kalimat tersebut. Menurutnya, penyebutan bulan Ramadhan dalam ayat itu untuk menunjukkan kekhususan yang terdapat padanya, yaitu perintah puasa yang tidak diwajibkan pada bulan selainnya. Adapun sebab bulan tersebut dinamakan Ramad}a>n karena terbakarnya kalbu lantaran lapar dan haus, atau karena terbakarnya dosa manusia karena puasa.Dapat diasumsikan bahwa penafsiran al-Bursawi> itu tidak keluar dari makna zahir ayat. Karena dalam memaknai ayat, ia memulainya dengan anilisis kebahasan terlebih dahulu sebelum ke pemaknaan berikutnya.
Kekhususan bulan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya menurut al- Qushayri>adalahdibukakannya petunjuk, diturunkannya al- Qur’an, ladanguntuk mendatangkan atau mendapatkan pahala, bulan untuk mendekatkan diri kepada Allah, diringankannya kesulitan, diangkatnya derajat, diturunkannya berbagai rahmat, diturunkannya berbagai macam nikmat, bulan keberhasilan, dan bulan untuk bermunajat kepada Allah. 49 Penjelasan al-Qushayri> tersebut memberikan
indikasi bahwa bulan Ramadhan memiliki banyak keistimewaan di dalamnya. Kemudianal-Bursawi> menjelaskan kalimat
fa al-yas}umh pada ayat di atas.Menurutnya, kalimat itumerupakanperintah untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Adapun yang dimaksud dengan shahida adalah orang yang berakal, baligh dan sehat. Karena anak-anak dan orang yang gila yang hadir pada bulan itu tidak diwajibkan untuk berpuasa. Kewajiaban yang
47 Q. S. Al-Baqarah [2]: 185. 48 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,.Jilid I, 292. 49 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid 1, 89.
terdapat pada ayat di atas me- nasakh pilihan anatara berpuasa, berbuka dan membayar fidyah. 50
fa al-yas}umh yang ia maknai dengan perintah berpuasa Ramadhan mengacu pada penggalan kalimat pertama yang terdapat pada ayat tersebut, yaitu shahru Ramad}a>n. Kemudian shahida ia maknai dengan orang yang berakal, baligh dan sehat.Karena selain ketiga hal itu adalah tidak diwajibkan berpuasa pada Ramadhan dalam hukum fikih. Oleh karena itu, ketika seseorang tidak mampu melaksanakan puasa disebabkan halangan yang telah disebutkan dalam ayat itu, maka pilihannya adalah berpuasa sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan di bulan lain atau membayar fidyah. Tergantung halangan apa yang dihadapinya.
Penjelasan al-Bursawi> terhadap kalimat
Adapun menurut al-Alu>si>, kata man pada kalimat faman shahida minkum al-shahra fa al-yasumhmerupakan shart}iyah atau maus}u>l.Sedangkan huruf fa>’ merupakan jawab syarat atau za>’idah fi> al-khabar. Kata yasumhbermakna bahwa puasa merupakan sebuah kwajiban atau keharusan yang mesti dilaksanakan.Barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan atau meyakini bahwa hilal telah tampak, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa. Ayat ini dapat memberikan faedah bahwa tidak adanya kewajiban untuk melakukan puasa bagi seseorang yang masih meragukan jatuhnya hilal bulan
Ramadhan. 51 Dari penjelasan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa ia menggunakan
analisis kebahasaan dalam menafsirkan ayat tersebut.Hal ini sesuai dengan apa yang biasa dilakukan dalam tradisi penafsiran sufistikyang memiliki beberapa tahapan. Tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Barulah pada tahap
berikutnya beranjak kepada pemaknaan secara 52 isha>ri>. Adapun tujuan Allah swt. memerintahkan puasa menurut al-Bursawi>
adalah supaya manusia mendapatkan kemudahan di dunia dan akhirat. Kemudahan di dunia berupa peningkatan derajat kepada derajat mulkiyah dan ruhaniyah serta mencapai ma’rifah. Sedangkan kesulitan di dunia adalah kekekalan bersama sifat kemanusiaan dan kebinatangan dan memiliki sifat-sifat yang memperturutkan hawa nafsu. Adapun kemudahan di akhirat agar mendapatkan surga, kenikmatan, kedekatan, kesempatan serta penglihatan kepada Allah. Sedangkan kesukaran di akhirat adalah neraka Jahannam
termasuk azab dan dasar dari neraka Jahannam tersebut. 53 Setelah menjelaskan tentang tujuan Allah memerintahkan puasa pada bulan Ramadhan, al-Bursawi>kemudian mengutip sebuah hadis Nabi untuk lebih mempertajam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya sebagai berikut:
50 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 293. 51 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 61-62.
52 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56. 53 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 293
Berkaitan dengan perintah puasa dalam Ramad}a>n, Nabi saw. menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya dengan datangnya bulan itu, sebagaimana dalam sabdanya:
‚Telah datang kepada kalian bulan Ramad}a>n, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepada kalian puasanya di dalamnya, pada bulan ini dibukakan seluruh pintu langit, ditutup seluruh seluruh pintu jah}i>m dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan ini terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikan malam tersebut, tidaklah ia akan mendapatkannya‛
Sebagian ulama berkata: ‚Hadis ini merupakan asal mula orang-orang menyampaikan selamat Ramadhan kepada orang lain.‛ Mengucapkan selamat atas datangnya suatu bulan atau hari-hari raya merupakan tradisi manusia. Sebagaimana Ibn ‘Abba>s mengatakan bahwa barangsiapa bertemu dengan saudaranya setelah selesai shalat Jum’at, maka katakanlah: ‚semoga Allah menerima ibadahmu dan ibadahku.‛ 54
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terihat bahwa metode penafsiran sufistiknya selalu didasari oleh dalil- dalil syar’i. Ini menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan aspek tersebut sebelum beranjak pada esensi atau hakikat dari puasa itu sendiri. Pada dasarnya, para sufi memandang syariat sebagai sesuatu yang datang dengan beban hukum dari Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq. Selain itu, syariat merupakan penyembahan makhluk pada Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Terakhir , syariat merupakan bentuk penegakkan terhadap apa yang diperintahkan kepadanya. Sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan
ditakdirkan Allah serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan-Nya. 55 Singkatnya, syariat menurut para sufi adalah hakikat dari sisi mana kewajiban tersebut diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syariat dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifah.
Di akhir penafsirannya, al-Bursawi> menjelaskan perihal adab berpuasa. Ia mengatakan bahwa di antara adab berpuasa adalah memelihara anggota badan secara lahir dan batin. Taqarrub kepada Allah tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan apa-apa yang diharamkan-Nya.Setelah umat Islam berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, maka tibalah kepada mereka hari raya ‘i>d al-fit}r. Menurut al-Bursawi>, di dalam Islam terdapat tiga hari raya, pertama, hari raya berbuka, ia merupakan hari raya
54 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 294-295.
55 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118-119.
alamiah; kedua, hari raya kematian, yaitu ketika dicabutnya ruh dengan membawa keimana yang sempurna. Dan ini adalah hari raya besar; ketiga, hari raya
tajalli> di akhirat, ia merupakan hari raya yang paling besar. 56 Penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-185dari surat al-Baqarah secara
umumtelah dijelaskannya secara eksplisit mulai dari analisiskebahasaan mengenai puasa bulan Ramad}a>n, keutamaan dankekhususan bulan Ramad}a>n dibandingkan bulan yang lain, tujuan dari diperintahkannya puasa oleh Allah, adab ketika berpuasa hingga kepada pengungkapan makna hakikat dari puasa itu sendri. Ini menunjukkan kapasitas pemahaman mendalam yang dimilikinya tentang permasalahan seputar puasa dalam bingkai fikih. Selain itu, ia juga sangat memberikan perhatian yang besar terhadap koridor-koridor syariat dalam penafsirannya. Tidak hanya itu, ia juga selalu mencoba mengharmonisasikan antara pemaknaan zahir dan batin dengan memulai pembahasan dengan menyoroti aspek kebahasaan terlebih dahulu sebalum melangkah lebih dalam pada pemaknaan sufistiknya. Pengharmonisasian antara pemaknaan zahir dan batin tersebut sangat erat kaitannya dengan hubungan antara syariat dan hakikat.
Jika ditinjau dari persyaratan al-Dhahabi 57 >tentangpenafsiran sufistik dapat terhindar dari penyimpangan atau dikatakan valid apabila penafsiran itutidak bertentangan dengan makna zahir ayat al- Qur’an.Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> tidak didapati pertentangan dengan makna zahir. Selain itu, penafsirannya selalu didasari oleh argumen bersumber dari syara’ atau argumen rasional serta tidak bertentangan dengan keduanya. Hal ini tentu sejalan dengan apa yang disyaratkan al-Dhahabi> tentang penafsiran sufistik. Terakhir, di dalam penafsirannya tidak ditemukan klaim bahwa tafsir sufistiknya adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat di atas.Sebaliknya,
penafsirannya dengan pemaknaan z}a>hirsebelummemaknai ayat secaraisha>ri>.
3. Haji Ditinjau dari terminologi syariat, haji ialah menyengaja pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu, atau menziarahi tempat tertentu,
pada waktu tertentu, dengan amalan tertentu. 58 Adapun landasan filosofis dari kewajiban menuanaikan ibadah haji ialah: pertama, pengakuan akan keesaan
Tuhan serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan; kedua, keyakinan terhadap adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan yang dimana puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak; ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, setiap
56 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 295. 57 Untuk lebih detailnya lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-
Mufassirun, Jilid II, 48. 58 Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), Jilid III,
2064-2065.
perbedaan dalam sisi kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapapun terdapat perbedaan antara mereka dalam hal-hal lainnya. 59
Sedangkan haji menurut pandangan al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsiran-penafsirannya berkaitan ayat-ayat haji sebagai berikut:
3. 1. Q.S. al-Baqarah [2]: 196
‚ Dan sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah kalian karena Allah. Apabila kalian terkepung (musuh atau terkena sakit), (sembelihlah qurban) yang mudah didapat, dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hewan qurban sampai di tempat penyembelihan. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu mencukur) dia wajib mengeluarkan fidyah, yaitu; puas atau bersedakah atau berqurban. Apabila kalian telah aman, maka bagi orang yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum ibadah haji, wajib menyembelih qurban yang mudah didapat. Tapi apabila tidak menemukannya, ia wajib berpuasa tiga hari di tempat haji dan tujuh hari lagi apabila kalian telah kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Yang demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk Mekkah). Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilahn bahwasannya Allah sangat keras siksaan-Nya.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 196)
Al-Bursawi> memulai penjelasannya dengan menguraikan makna kalimat wa atimmu al-h}ajja wa al- ‘umrah. Dalam uraiannya, ia megutip pendapat mazhab Abu> H{ani>fah tentang hukum dari pelaksanaan ibadah ‘umrah. Kemudian ia melanjutkan penafsirannya tentang makna lilla>h. Dalam menyibak kata tersebut, ia memulai dengan menganalisa dengan menggunakan perspektif bahasa, kemudian ia masuk kepada pemaknaan secara sufistik. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>, kalimat ‚Sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah kalian ‛ adalah sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah bagi orang yang mampu untuk melaksanakannya. Dalam penjelasannya, al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang mengatakan bahwa ibadah ‘umrah adalah sunnah. ‘Umrah tidak wajib kecuali setelah yang wajib dilaksanakan, sebagaimana shalat
59 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, 333.
sunnah. Maksudnya apabila seseorang sudah mulai mengerjakan shalat sunnah atau ‘umrah, ia harus menyempurnakannya. Sebagaimana pendapat para ulama yang mengatakan bahwa apabila seseorang sudah masuk pada suatu pekerjaan yang pada mulanya tidak wajib, namun setelah ia selesai mangerjakan pekerjaan
tersebut, penyempurnaan pekerjaan tadi menjadi wajib. 60
Lilla>hi adalah ta’alluq(berkaitan) kepada kata atimmu. Huruf lam merupakan lam maf’u>l li ajlih. Faedah pengkhususan dengan kata lilla>h dalam ayat ini bahwa dahulu bangsa Arab melakukan haji untuk tujuan berkumpul, saling pamer dan untuk melihat-lihat pasar. Semua itu bukan karena Allah dan tidak mengandung ketaatan dan kedekatan kepada-Nya. Maka Allah memerintahkan supaya haji ditujukan untuk melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak-Nya. Maksud dari ayat ini adalah sempurnakanlah rukun-rukun haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya yang sudah diketahui hukumnya dan dilakukan karena Allah tanpa menghilangkan ketentuan dari keduanya. Haji dan ‘umrah harus semata-mata karena tujuan ibadah dan jangan dicampuri dengan urusan bisnis dan tujuan duniawi lainnya. Dan hendaklah
biaya untuk melaksanakan keduanya diambil dari harta yang halal. 61 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa makna dari wa atimmu al-h}ajja wa al- ‘umrahlilla>hiadalah perintah untuk menyempurnakan rukun- rukun haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya sesuai dengan ketentuannya. Pelaksanaan kedua ibadah itu harus berorientasikan ibadah dan tidak dicampur adukkan dengan urusan duniawi. Selain itu, biaya pelaksanaan keduanya harus berasal dari harta yang halal.
Apabila dicermati, penafsiran al-Bursawi>tersebutsejalan dengan makna zahir yang terkandung dari ayat itu. Karena ayat tersebut menerangkan tentang perintah untuk menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat serta amalan lainnya yang terdapat pada ibadah haji dan ‘umrah. Selain itu,ayat ini juga mengandung perintah untuk senantiasa memelihara ketakwaan kepada Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Bursawi> dalam penafsiran sufistiknya selalu mencoba untuk menyelaraskan pemaknaan zahir dan batin. Sebagaimana yang diungkapkan al-Tafta>zani>bahwa apabila sebuah penafsiran sufistik hanya meyakini makna ba>t}in dengan mengingkari z}a>hir ayat, hal tersebut bisa tergolong kepada ilh}a>d(penyimpangan). Sebaliknya, jika interpretasinya sejalan dengan makna z}a>hir, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk keteguhan iman dan kesempurnaan
‘irfa>n yang mendalam. 62
Senada dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Bursawi> mengenai ayat di atas, al-Qushayri> dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata wa atimmu al-hajja wa al- ‘umrata lilla>h bermakna kesempurnaaan haji dengan melaksanakan semua rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, manasiknya dan melakukan segala sesuatu yang diwajibkan dalam pelaksanaan ibadah haji
60 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310. 61 Isma>‘i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310-311. 62 Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid. II, 184. Lihat juga
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 66-67.
walaupun diibaratkan harus meneteskan darah, dan tidak mengurangi segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji tersebut. 63
Dari apa penjelasan al-Qushayri>, dapat dipahami bahwa kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah harus dilakukan walaupun sulit untuk melakukannya. Hal ini diamini oleh al-Alu>si> yang menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut:
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah ketika melaksanakan keduanya, dan niatkan kedua ibadah itu semata-mata karena Allah. Rusaknya ibadah haji atau umrah dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diharuskan dalam pelaksanaan keduanya. Kesempurnaan yang diperintahkan ayat ini menunjukkan akan kemutlakan dalam pelaksanaan keduanya, karena segala sesuatu yang diperintahkan wajib untuk dilaksanakanmerupakan ketentuan
yang telah dijelaskan oleh syara’. 64 Dari penjelasan al-Alu>si>, dapat disimpulkan bahwa menyempurnakan ibadah haji dan ibadah yangdiniatkan karena Allah
adalah sebuah keharusan dalam pelaksanaan keduanya.Karena hal itumerupakan ketentuan yang telah dijelaskan oleh syariat.
B erbeda dengan Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa maksud darihaji adalah tawh}i>d al-dha>t dan ‘umrah adalah tawh}i>d al-s}ifa>t. Kedua hal itu dilakukan dengan menyempurnakan semua maqama>t dan ah}wa>l dengan sulu>k kepada Allah dan hanya demi Dia. 65 P enafsiran Ibn ‘Arabi> tersebut sangat kental
dengan teori tasawufnya, yaitu penyatuan antara Dhat Allah dan sifat-sifat-Nya yang hanya bisa dicapai dengan maqa>m dan ah}wa>l yang sempurna.
Apa yang dipaparkan Ibn ‘Arabi>berlainan dengan paparan ketiga mufassir sebelumnya yang masih menyoroti ayat dari perspektif syariat.Mereka lebih menekankan kepada keharusan dari penyempurnaan ibadah haji dan ‘umrah yang meliputi rukun-rukun, syarat-syarat, dan perbuatan lainnya di dalamnya. Penyempurnaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan syar a’ dan dilakukan karena mengharap keridhaan Allah swt. semata tanpa ada motivasi yang bersifat duniawi.
Selanjutnya,al-Bursawi> menjelaskan mengenairukun-rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah. Kemudiania mengutip pendapat para imam mazhab
mengenai teknis pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah kemudian diikuti dengan penyebutan hadis Nabi utnuk lebih mempertegas penjelasannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Rukun haji ada lima: i h}ra>m, wuku>f di ‘Arafah, t}awa>f. sa‘i antara S}afa> dan Marwah serta mencukur atau menggunting rambut. Rukun haji ialah yang apabila tertinggal, maka tidak sah hajinya kecuali dengan mengerjakan rukun- rukun itu. Wajib haji adalah apabila ditinggalkan harus membayar dam. Sunat haji ialah apabila ditinggalkan tidak wajib membayar dam. Demikian pula ‘umrah mencakup perkara yang tiga tersebut. Adapun rukun ‘umrah ada empat:
63 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 94. 64 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 78-79.
65 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid I, 93.
i h}ra>m, t}awa>f. sa‘i antara S}afa> dan Marwah serta mencukur atau menggunting rambut. 66
Para imam mazhab sepakat bahwa boleh melaksanakan ibadah haji dan ‘umrah dengan tiga cara: ifrad, tamattu‘ dan qiran. Haji ifrad ialah berihram untuk berhaji saja. Setelah selesai haji ia kemudian ‘umrah dari tempat mawa>qit
dengan tanah haram. Haji tamattu’ ialah memulai ihram untuk ‘umrah pada bulan haji, lalu melaksanakan manasik ‘umrah. Setelah itu ia ih}ra>m untuk haji dari Mekkah. Adapun haji qiran adalah berihram untuk haji dan ‘umrah secara bersamaan, misalnya ia bern iat untuk melaksanakan haji dan ‘umrah dalam kalbunya, kemudian ia melaksanakan manasik haji. Dengan demikian, ia telah melaksanakan manasik ‘umrah, karena manasik ‘umrah merupakan manasik haji, namun manasik haji bukan manasik ‘umrah. Atau seseorang berihram untuk ‘umrah kemudian haji dimasukkan ke ‘umrah sebelum ia memulai t}awaf, sehingga ia mengerjakannya secara serentak. 67 Sebagaimana dalam hadis Nabi dikatakan:
‚ Kerjakanlah haji dan ‘umrah secara berturut-turut, karena keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa bagaikan ubupan (alat yang ada di pandai besi) menghilangkan karat besi, emas dan perak. Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.‛
Dari uraianal-Bursawi> di atas, ia sangat gamblang menjelaskan rukun- rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dalam perspektif fikih. Ini menunjukkan bahwa sebagai seorang sufi ia tetap memegang teguh rambu-rambu syariat.Karena tidak sedikit dari para sufi yang lebih mementingkan aspek hakikat dan mengabaikan syariat. Pada dasarnya,syariat adalah gerbang awal hukum- hukum ‘ubu>diyah dalam kajian fikih. Sebelum melangkah ke tahapan yang lebih tinggi, yaitu esensi atau hakikat ibadah itu sendiri.
Dalam hal ini, al-Bursawi> mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini ia dibuktikan dengan tidak mengabaikan syariat dalam mengungkap hakikat. Adapun penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik menurut al-Dhahabi>bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qu r’an, sunnah, ijma’ serta sumber-sumber syara’ lainnya dalam penafsirannya. Sehingga hal itutidak menimbulkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 68 Sebab jika penafsiran sufistik terlalu jauh dari prinsip-prinsip syariat, maka akan membawa orang kepada kesesatan. Tetapi
66 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310. 67 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 311. 68 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip syariat maka akan menambah warna al- Qur’an.
Setelah menguraikan rukun- rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dengan perspektif syariat, kemudian al-Bursawi>melanjutkan penjelasannya tentang hakikat dari penyempurnaan ibadah haji dan umrah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Penyempurnaan haji selain melalui cara zahir, harus pula disempurnakan melalui cara batin. Adapun cara zahir yang dimaksud adalah rukun dan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut syariat. Dan yang dimaksud dengan cara batin adalah ketika seseorang telah berada dalam kondisi ihram, hendaknya ia memutuskan hawa nafsunya, membakar hijab kalbu sehingga ia sampai kepada maqam musha>hadah dan melihat bekas-bekas kedermawanannya setelah ia pulang dari berhaji. Ibadah haji bagi orang awam adalah pergi serta menziarahi Baytulla>h, sedangkan haji orang khawa>s} adalah menuju dan menyaksiakan pemilik Bayt. Sebagaimana nabi Ibrahim a.s. berkata:
‚Dan n abi Ibrahim berkata:‛Sesungguhnya aku pergi dan menghadap Rabb-ku dan Dia akan memberi petunuk kepadaku.‛(Q.S. al-S{affa>t [37]: 99)
Dalam perkataan nabi Ibrahim a.s. tersebut terlihat bahwa ia menuju Allah, mencari-Nya dan menghadap-Nya secara total serta menebus jiwanya, hartanya, dan anaknya karena Allah. Ibrahim menjadikan sesembahan selain Allah sebagai musuh. Sebagaimana yang diungkapakan dalam kalimat:
‚Sesungguhnya mereka (yang kalian sembah) adalah musuhku, kecuali Rabb semesta alam.‛ (Q.S. al-Shu‘ara>’ [26]: 77)
Apa yang dilakuakan oleh nabi Ibrahim merupakan manasik haji yang hakiki. Oleh karena itu, Allah menjadikan Ibrahim sebagai orang yang pertama kali mendirikan Ka’bah, bertawaf, berhaji, menyuruh manusia untuk berhaji dan
membuat jejak manasik. 69 Dari Penjelasan al-Bursawi>di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyempurnaan haji tidakhanya dilakukan dengan cara zahir, tapi juga secara batin. Haji secara zahir yang dimaksudkanal-Bursawi>adalah melaksanakan rukun dan syaratnya sesuaidengan aturan syariat. Sedangkan maksud dari pelaksanaan haji secara batin adalah menghilangkan hawa nafsu ketika seseorang sedang dalam kondisi memakai kain ihram. Ketika hawa nafsunya sudah terputus, maka hijab kalbunya akan terbakar sehingga ia akan sampai kepada maqam musha>hadah dan ibadahnya tersebut akan memberikan dampak
69 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 312-313.
positif setelah ia pulang dari berhaji. Adapun maqam musha>hadah yang dimaksudkan al-Bursawi>adalah menyaksiakan pemilik Bayt dengan kalbuhya. Karena orang yang tidak memutus hawa nafsunya ketika berhaji hanya dapat menziarahi Baytulla>h tanpa bisa melihat pemilik Bayt dengan kalbunya.
Penjelasan sufistik al-Bursawi> di atas sejalan dengan penafsiran al- Qushayri>yang mengatakan bahwa haji orang awam adalah mendatangi Baytulla>h. Sedangkan haji orang khawa>s} dan mengatahui hakikat pelaksanaan ibadah haji adalah mendatangi al-H{aqq. Pada dasarnya, zahir orang berhaji adalah memakai ihram, melakukan t}awa> f dan sa’i>. Tetapi hakikat dari ibadah haji adalah menyertakan hatinya. Ketika kain ihram yang digunakan dengan niat yang benar disertai dengan menanggalkan pakaian ‚syahwatnya‛, maka ia akan menggunakan pakai an ‚sabar‛ dan menyadari kefakirannya di hadapan Allah. Di samping itu, ia akan senantiasa berhati-hati, meninggalkan hawa nafsu, khusu’, tawad}d }u‘, bertalbiyah dan menyadari bahwa segala sesuatu yang
ada pada dirinya adalah milik Allah. 70 Dari penjelasan al-Qushayri, dapat dipahami bahwa perbedaan anatara haji orang awam dan khawa>s} terletak pada penyertaan hati ketika melakukan ibadah haji. Oleh karena itu, orang yang menyertakan hatinya ketika melaksanakan haji, akan mendatangi al-H{aqqsang pemilik Bayt.Sebaliknya, orang yang tidak menyertakan hatinya ketika berhaji, ia hanya akan mendatangi Baytulla>h saja.
Dari pemaparan di atas, al-Bursawi> mengawali penafsiran sufistiknya dengan pemaknaan zahir sebelum kemudian melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Dalam menjelaskan seputar permasalahan ibadah haji, ia sangat menyoroti aspek syariat sebelum beranjak kepada tahapan hakikat. Jika mengacu pada teori validitas tafsir sufistik al-Dhahabi>,suatu penafsiran sangat terkait dengan korelasi antara syariat dan hakikat secara legal formal yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis.Hal terpenting dalam tradisi penafsiran sufistik adalah penggunaan argumentasi yang dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis ataupun
argumentasi yang bersumber dari rasio. 71 Dalam hal ini, metode penafsiran al- Bursawi>ketikamenjelaskan ayat berpijak pada tradisi tersebut.Ini memberikan nilai tambah kepada penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara’ serta tidak bertentangan dengannya. Di samping itu, tidak ditemukan klaim dari al-Bursawi>bahwa makna ishari>-nya merupakan satu- satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat ini. Dengan demikian, penafsiran al-Bursawi>dapat dikatakan valid jika ditinjau dari teori mengenai validitas penafsiran sufistik yang diungkapkan oleh al-Dhahabi>.
3.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 197
70 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 95. 71 Aik Iksan Ansori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd
al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 72.
‚Ibadah haji itu adalah beberapa bulan yang ditetapkan. Barangsiapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan ibadah haji,
ia tidak boleh rafath, tidak boleh berbuat fasik dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam ibdah haji. Dan jika kalian mengerjakan kebaikan, Allah mengetahuinya. Berbekallah, sesungguhnya sebaik- baiknya bekal adalah taqwa. Dan bertawalah kepada-Ku wahai orang- orang yang berakal.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 197)
Al-Bursawi> memulai penafsirannya dengan menerangkan kalimat al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t menggunakan analasisis kebahasaan. Kemudian ia melanjutkan penjelasannya mengenai hikmah penentuan haji pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terlihat dari uraiannya berikut ini:
Maksud dari kalimat al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal, Dhul Qa‘dah dan sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah. Dua bulan ditambah sebagaian bulan (sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah) disebut ‚beberapa bulan‛ padahal jama’ qillah tidak boleh di-mutlaq-kan kepada bilangan yang kurang dari tiga. Pernyataan tersebut menurut al-Bursawi>adalah untuk menempatkan ‚sebagian‛ pada tempat ‚keseluruhan‛ atau untuk me-mutlaq-kan pada bilangan yang lebih dari satu. Sedangkan kata ma’luma>t pada ayat di atas menurut al-Bursawi> adalah bulan-bulan yang diketahui oleh manusia, karena
manusia mewarisi pengetahuan tentangnya. Dan syariat datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah mereka ketahui dan waktu haji itu tidak
berubah dari ketentuan waktu sebelumnya. 72
Adapun faedah dari penentuan ibadah haji pada bulan-bulan tertentu menurut al-Bursawi> agar orang-orang yang hendak berhaji mengetahui bahwa haji tidak sah apabila dilakukan selain pada bulan-bulab tersebut. Demikian pula dengan ihram, meskipun ihram dapat dilakukan selain pada bulan-bulan yang disebutkan, hanya saja hal itu dimakruhkan. Karena ihram merupakan syarat haji, maka pelaksanaannya boleh didahulukan sebagaimana
mendahulukan bersuci sebelum shalat. 73
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa maksud dari al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal, Dhul Qa‘dah serta sepuluh bulan Dhul Hijjah. Penggunaan kata ma’luma>tdisebabkan manusia diwarisi pengetahuan oleh umat sebelumnya. Kemudian syariat Islam datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah diketahui tersebut. Hikmah dari penentuan ibadah haji adalah sebagai rambu bahwa pelaksanaan haji diluar dari bulan- bulan yang sudah ditentukanadalah tidak sah.Apa yang dijelaskan al-Bursawi>ini tidak dijumpai pertentangan dengan makna tekstual dari ayat di atas.
72 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 313-314. 73 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 314.
Karenaayat ini mengandung pengertian bahwa Ibadah haji telah ditetapkan pelaksanaannya pada beberapa bulan tertentu.
Penjelasan al-Bursawi> di atas sejalan dengan al- ‘Alu>si>yang mengatakan bahwa ketentuan pelaksanaan ibadah haji telah ditentukan pada bulan-bulan yang telah diketahui menusia secara umum, yaitu bulan Shawwa>l, Dhu>al-
qa’dah, dan sepuluh hari dari bulan Dhual-hijjah. 74 Hal senada juga diungkapkan oleh al-Qushayri> bahwa pelaksanaan ibadah haji secara zahir telah ditetapkan
pada bulan-bulan yang di dalamnya diwajibkan untuk memakai kain ihram. Oleh karena itu, tidak diperkenankan melaksanakan haji sepanjang tahun,
karena pelaksanaan haji telah dikhususkan pada waktu yang telah ditentukan. 75 Setelah memaknai ayat di atas secara zahir dengan pendekatan kebahasaan, kemudian al-Bursawi> masuk ke dalam pemaknaan sufistiknya. Hal ini terlihat dari penjelasannya di bawah ini:
Manusia memiliki tiga nafsu, yaitu nafsu syahwat kebinatangan, nafsu amarah, dan nafsu kebuasan shayt}a>niyah. Adapun nafsu ilusi akal bersifat instingtif. Tujuan dari segala keterangan yang diperoleh adalah untuk memaksa nafsu syahwat, nafsu amarah dan ilusi supaya menjadi baik. Firman Allah pada ayat di atas ‚Maka tidak boleh berbuat rafath‛ mengisyaratkan pada pemaksaan terhadap nafsu syahwat. Sedangkan firman Allah ‚Tidak boleh berbuat fasik‛ mengisyaratkan pada pemaksaan nafsu amarah yang dapat mengantarkan manusia pada kemaksiatan dan kedurhakaan. Firman Allah ‚Tidak boleh berbantah-bantahan‛ mengisyaratkan pada pemaksaan nafsu ilusi yang suka membawa manusia kepada berbantah-bantahan mengenai Dhat Allah. Kekuatan ilusi merupakan pendorong manusia untuk berbantahan dan berselisih dengan manusia lainnya serta bermusuhan dengan mereka dalam segala hal. Ketika keburukan berpusat pada ketiga nafsu tersebut, sudah barang tentu Allah berfirman ‚Maka tidak boleh berbuat rafath, berbuat fasik, dan berbantah- bantahan dalam masa berhaji‛ yakni bagi orang yang hendak mengetahui Allah, mancintai-Nya, melihat cahaya keagungan-Nya, dan masuk ke dalam perilaku
hamba-hamba Allah. 76
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga hawa kekuatan, yaitu nafsu syahwat kebinatangan, amarah dan kebuasan shayt}a>niyah.Adapun hakikat dari pelaksanaan haji menurut al- Bursawi>adalah untuk memaksa ketiganafsu tersebut menjadi baik.
Secara umum, ayat di atas memberikan isyarat bahwa tujuan orang- orang yang menuju kepada Allah tidak lain harus dilakukan pada bulan yang telah dimaklumi dari kehidupan mereka yang fana. Apabila ajal telah habis, tidaklah bermanfaat lagi upaya bagi seseorang, sebagaimana tidak bermanfaatnya ibadah haji setelah waktu yang dimaklumi tersebut berlalu. Allah berfirman:
74 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid II, 84. 75 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 96. 76 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 315.
‚..Pada hari datangnya beberapa ayat dari Rabb kalian tidaklah bermanfaat lagi iman seserang kepada dirinya sendiri yang belum
beriman sebelumnya..‛ (Q.S. al-An‘a>m [6]: 158)
Al-Bursawi> menambahkan, bahwa ibadah haji dalam pelaksanaannya mempunyai waktu-waktu tertentu untuk berihram. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang menuju Allah mempunyai waktu-waktu tertentu, yaitu masa muda (yang merupakan waktu kematangan jasmani ruhani). Usia empat puluh tahun merupakan batas kedewasaan secara maknawi.Setelah usia empat puluh tahun, jarang manusia sampai kepada tujuan dan rukun-rukun yang hakiki. Pencarian kebenaran yang dilakukan sebelum usia empat puluh lebih besar kemungkinannya untuk tercapai. Dalam pencapaian tujuan, manusia harus mengerahkan upayanya secara maksimal dengan memenuhi segala persyaratan, hak dan ketentuannya. Barangsiapa yang menyepelekan pencarian kebenaran
pada awal masa mudanya, akan sukar untuk meraihnya pada masa tua. 77 Sebagaimana dalam firman-Nya:
‚...Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya telah sampai empat puluh tahun..‛ (Q.S. al-Ah}qa>f [46]: 15)
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwaini mengandung isyarat bahwa orang-orang yang menuju kepada Allah untuk berhaji harus dilakukan pada waktu yang telah diketahui. Sebagaimana dalam diri manusia juga terdapat fase-fase kehidupan yang harus dilaluinya. Hal ini dimulai ketika mansuia menginjak baligh hingga berusia empat puluh tahun. Dari fase-fase tersebut, terdapat tiga fase, yaitu: fase perkembangan, stagnasi, dewasa. Dimana setiap fase memiliki kedudukannya yang sama dengan sebulan (dalam waktu berhaji). Di antara fase itu yang paling baik untuk berhaji menurut al- Bursawi> adalah pada usia sebelum empat puluh tahun. Karena ketika manusia sudah berumur di atas empat puluh tahun, maka pencarian kebenaran yang dilakukannya akan sulit untuk dicapai. Sebab, manusia ketika melakukan pencarian kebenaran harus mengaluarkan segala potensi dirinya secara maksimal untuk memenuhi segala persyaratannya, hak, dan ketentuannya. Orang yang menyepelekan serta menunda-nunda untuk melakukan pencarian kebenaran pada masa mudanya, akan sukar untuk meraihnya pada masa tua.
Senada dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> mengatakan dalam tafsirnya bahwa pelaksanaan ibadah haji harus sesuai dengan waktu yang telah
77 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 316.
ditentukan, yaitu dilaksanakan ketika masih muda.Barangsiapa yang belum mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya diwaktu (usia) muda, maka tidak diharuskan baginya untuk melaksanakan di waktu muda, sama halnya dengan anak muda yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan terpacai keinginanya tersebut. Karena tidak ada hal lain yang dilakukan kecuali ibadah setelah melakukan haji, maka berakhir baginya surga. Tetapi, keinginan ibadah haji yang telah tercapai di usia muda dan tidak melakukan ibadah
setelah haji, maka tidaklah berujung demikian. 78 Baik al-Bursawi> maupun al-Qushayri, keduanya sama-sama
menekankan pelaksanaan ibadah haji dilakukan pada usia muda. Hal itu diamini oleh Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa di dalam pelaksanaan haji terdapat
waktu-waktu yang diketahui,yaitu dari waktu ba>lighseseorang sampai ia berumur 40 tahun. Sebagaimana firman Allah :‚la> fa>ridun wala bikrun ‘awa>nun bayna dha>lik ‛.Barangsiapa di dalam dirinya memilikiiltiza>m untuk melaksanakannya, maka ia harus menghilangkan keburukan yang jelas dalam bentuk perbuatan syahwat yang kuat. Karena hal itu merupakan penyebab timbulnya nafsu amarah yang dapat menghalangi ketaatan dari hati nuraninya. Selain itu, janganlah berbicara dengan menggunakan gaya bicaraSyaitan. Jika hal tersebut dapat dihindari, maka ia akan diganjar dengan keutamaan dari perintah yang bersumberdari syara’ dan rasio tanpa melakukan keburukan- keburukan di dalamnya. Selain itu, mendapatkan pahala atasnyadari keutamaan yang mewajibkannyauntuk menjauhi keburukan-keburukan, diantaranyadalam beramal dan berniatdengan hati yang ikhlas dari keragu-raguan dan terhindar
dari kecintaan terhadap materi. 79
Dari pemaparan di atas, ketiga mufassir memberikan penekanan bahwa pelaksanaan ibadah haji dilakukan pada usia muda. Hal ini disebabkan ketika seseorang berada pada usia muda, ia akan dapat memaksimalkan fungsi fisiknya untuk melakukan ibadah. Dan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan usaha maksimal akan lebih disukai oleh Allah.
Secara global, penafsiranal-Bursawi>terhadap ayat ke-197 surat al- Baqarah tetap berpijak pada makna zahir sebelum kemudian melangkah ke tahapan pemaknaan secara isha>ri>. Di samping itu, dalam menjelaskan permasalahan seputar pelaksanaan ibadah haji, al-Bursawi> sangat memberikan perhatianterhadap aspek syariat.Ini mengindikasikan bahwa metode penafsiran al-Bursawi> dalam menjelaskan ayat di atas bersandar pada hubungan antara syariat dan hakikat.
3.3. Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 97
78 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 96. 79 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 94.
‚Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (terdapat) maqam Ibrahim. Dan barangsiapa yang memasukinya, amanlah ia. Dan untuk Allah,
wajib atasnya manusia untuk berhaji ke Baytulla>h bagi orang yang mampu dalam perjalanan kepadanya dan barangsiapa yang kafir, sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 97>)
Maksud dari wa lilla>hi ‘ala> al-na>si hijj al-bayti menurut al-Bursawi> adalah Allah mewajibkanhaji kepada orang-orang yang beriman bukan kaum kafir. Karena orang yang tidak beriman tidak diperintahkan menjalankan syariat. Telah ditetapkan atas orang-orang beriman untuk berhaji ke Baytulla>h. Ibadah haji merupakan hak Allah yang ada dalam tanggungan manusia. Manusia tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk melaksanakannya dan keluar dari apa yang telah ditetapkan. Rasulullah bersabda:
‚Barangsiapa yang (ibadah hajinya) tidak tertahan oleh kebutuhan yang mendesak, penyakit yang menahun atau pemerintah yang zalim, dan dia tidak mengerjakan haji, kemudian dia meninggal, maka matinya dalam keadaan Yahudi dan Nasrani.‛
Kedua keadaan (Yahudi dan Nasrani) yang disebutkan secara khusus pada hadis di atasdikarenakan Yahudi dan Nasrani adalah orang-orang yang tidak menganggap adanya pelaksanaan ibadah haji dan tidak melihat dari keutamaan Ka’bah.Secara umum, haji mengisyaratkan kepada wujud pencarian serta tujuan menuju Allah. Berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya, karena setiap rukun Islam mengisyaratkan kepada sisi dari kesiapan pencarian tersebut, maka Allah meng- khit}a>b-i hamba-Nya dengan ‚Untuk Allah kewajiban manusia untuk berhaji ke Baytulla>h.‛ Maksudnya yang diisyaratkan oleh haji ialah Allah, sedangkan maksud ibadah-ibadah lainnya ialah mengisyaratkan keselamatan,
kedekatan, kedudukan-kedudukan dan kemulian-kemulian. 80 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat diambil kesimpulan bahwahaji
merupakan sebuah kewajiban bagiorang beriman. Karena hal itu diperintahkan dalam syariat. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk melaksanakan syariat yang telah Allah tetapkan kepadanya. Hal ini dipertegas oleh hadis Nabi yang dikutip al-Bursawi> tentang ancaman bagi orang yang memiliki kemampuan berhaji tetapi tidak melaksanakannya.
80 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 68.
Bila ditinjau dari makna zahir ayat, antara penafsiranal-Bursawi>dan ayat ini tidak berlawanan satu sama lain. Karena ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah mewajibkan haji kepada orang yang mampu untuk melaksanakannya. Kemampuan ini mencakup aspek kesehatan fisik dan finanansial. Bagi orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, maka ia termasuk kepada golongan orang yang mengingkari nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
Keselarasan antara penjelasan al-Bursawi> dengan makna zahir ayat sesuai dengan validitas penafsiran suifistik yang diusung oleh al-Dhahabi>. Dalam kitab Tafsi>r wa al-Mufassiru<n, al-Dhahabi> menyebutkan bahwa sebuah penafsiran sufistik dapat diterima apabila pemaknaan sufistiknya tidak bertentangan dengan makna tekstual dari ayat yang ditafsirkan.Harmonisasi antara makna zahir ayat dan isyarat yang terkandung dibalik ayat merupakan ciri utama dari corak tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Karena dalam tradisi sufi,penafsiran al- Qur’an memiliki beberapa tahapan, pada tahap pertama makna tekstual ayat harus diketahui terlebih dahulu. Setelah itu, barulah beranjak kepada pemaknaan
Nicholas Heer menyatakanbahwametodologi
secara
isha>ri. 81 Sebagaimana
dilakukan dengan mengkombinasikan antara dimensi 82 ba>t}in dengan z}a>hir.
penafsiran
sufistik
Selain itu, penggunaan hadis Nabi oleh al-Bursawi> pada penafsirannya memberikan bukti bahwa ia mencoba memadukan antara argumentasi syariat yang bersumber dari hadis dengan hakikat yang diungkap dari ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa penafsirannya sesuai dengan pernyataan al-Dhahabi> bahwa sebuah penafsiran sufistik dapat terhindar dari penyimpangan dan valid apabila penafsiran tersebut didukung oleh argumentasi kuat yang bersumber dari
syara’. 83 Penjelasan al-Bursawi> pada ayat di atas sejalan dengan al-Qushayri>
yang menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung isyarat bahwahaji ke Baytulla>h adalah wajib bagi orang-rang kaya, perintah tersebut ditunjukkan kepada siapapun yang mampu dari segi fisik dan finansial.Hal tersebut merupakan bentukpenyerahan diri yang sebenarnya. Adapunkepada orang-orang miskin diwajibkanberhaji dengan ruhnya, orang kaya mungkin raganya dapat mencapai kepada Baytulla>h, tapi belum tentu hati mereka sampai kepada sang pemilik bayt tersebut. Oleh karena itu, tidaklah dilarang bagi orang-orang faqir menuju kepada Tuhan pemilik
bayt dengan hatinya. 84
Menghadirkan hati ketika melaksanakan haji sangatlah penting, karena menurut al-Qushayri> menjadi pembeda antara seorang haji dengan haji yang lain. Di antara mereka ada mengenakan ihram dalam menunaikan manasik dan
81 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56. 82 Heer, Nicholas, ‚Abu>H{a>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the Koran‛ dalam Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism (Oxford: Oneword Publication, 1999), vol. 1, 235.
83 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 84 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid I, 162.
hanya sebatas melaksanakan kewajibannya saja, dan sebagian lagi mengenakan ihram untuk menyaksikan Tuhan mereka dengan hati mereka. Barangsiapa yang berangkat dengan raganya maka akan dihindarkan terhadap apa yang terlarang bagi ihramnya, dan barangsiapa yang berangkat dengan hati mereka maka akan
dihindarkan dari melihat sesuatu selain Allah. 85 Penjelasan al-Qushayr>ini mengindikasikan bahwa didalam pelaksanakan haji, seseorang harus menghadirkan jasad dan hatinya. Jika hatinya tidak disertakan, maka ia tidak akan bisa sampai kepada Allah Dhat pemilik Ka’bah.
Menurut Ibn ‘Arabi>, ayat di atas mengindikasikan printah haji kepada para sa>lik, yaitu orang-orang yang memiliki kesiapan dan komitmen dalam iradah mereka serta yang mampu untuk menambah ketaqwaan dalam dirinya. Dan mampu mengerahkan tekad untuk melawan musuh mereka berupa kelemahan dalam persiapan menuju-Nya. Barangsiapa menutupi kesanggupan dan kemampuannya dengan memperturuti hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia tidak dapat berpaling dari-Nya. Mereka tidak akan diterima dalam rahmat-
Nya di dalam hijab. 86 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, seseorang yang memiliki kemampuan serta kesanggupan untuk melaksanakan haji, tapi ia lebih memilih memperturuti hawa nafsunya untuk menuju ke hal-hal yang bersifat duniawi, maka ia tidak akan pernah merasakan rahmat dari Allah disebabkan hatinya masih terhijabi oleh nafsunya.
Adapun isyarat dari pelaksanaan haji menurut al-Bursawi> adalah rukun- rukun dan manasik dalam haji sebagai isyarat terhadap rukun, syarat dan etika dalam berpejalanan menuju ridha Allah. Al-Bursawi> melanjutkan, di antara rukun haji adalah ihram. Ihram mengisyaratkan terlepasnya seseorang dari lambang, meninggalkan hal-hal yang biasa dikenal, mengosongkan diri dari dunia dan segala sesuatu di dalamnya,membersihkan diri dari akhlak tercela serta mengikatkan diri pada ketentuan ‘ubu>diyah menghadap kepada-Nya. Di antara rukun haji lainnya adalah wuquf di Arafah, hal ini mengisyaratkan kepada wukuf di Arafah ma’rifat dan berdiri di atas punggung Jabal Rahmah dengan sebaik-baiknya merupkakan bentuk dari menjaga janji dan memenuhi janji tersebut dengan sebaik-baiknya. Adapun tawaf mengisyaratkan kepada keluarnya manusia dari keadaan kemanusiaan yang bersifat kebinatangan dengan cara melakukan tawaf tujuh di sek itar Ka’bah Rububiyah. Sedangkan sa’i> mengisyaratkan kepada perjalanan antara sifat-sifat S{afa> (bersih) dan Marwah (Dhat). Dan bercukur mengisyaratkan kepada penghilang\an athar-athar ‘ubudiyah dengan pisau cukur cahaya Ilahi. 87
Secara umum, isyarat dari pelaksanaan haji dalam penafsiranal-Bursawi> adalah perjalanan menuju ridha Allah swt.Penggunaan kain Ihram adalah sebagai reprentasi dari pengosongan diri dari hal-hal duniawi serta sebagai bentuk perlawanan terhadap akhlak tercela. Wuquf di Arafah sebagai
85 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid I, 162. 86 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 137. 87 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 69.
representasi mengisyaratkan ma’rifat kepada Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya. Tawaf merupakan proses keluarnya manusia dari sifat kebinatangan yang ada padanya.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa rukun-rukun dan manasik hajidisimbolisasikan oleh al-Bursawi> dengan gagasan keruhanian dan kesadaran yang berasal dari batinnya.Hal tersebutsangat erat hubungannya dengan tradisi
esoterik para sufi yang menekankan pentingnya makna 88 ba>t}in. Selain itu, dalam tradisi penafsiran sufistik sangat terkait dengan pemaknaan zahir dan batin. Hal
itu dibangun di atas argumentasi-argumentasi naqliyah yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis ataupun argumentasi yang bersumber dari rasio serta tidak bertentangan dengan keduanya. Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> dibangun dengan kedua argumentasi tersebut. Penggunaan dalil naqliyah berupa hadis tentang ancaman terhadap orang berkemampuan yang meninggalkan perintah haji pada pembahasan sebelumnya, merupakan bentuk perhatian al-Bursawi>
akan aspek syariat. Hal ini sesuai dengan validitas penafsiran sufistik al- Dhahabi>yang telah disebutkan pada bab sebelumnya yaitu penafsiran sufistik harus dilandasi dengan dalil atau argumentasi syariat.
4. Zikir Kata zikir dan kata-kata yang mushtaq (dibentuk) dari kata zikir, di
dalam al- Qur’an diulang sebanyak 268 kali; dalam bentuk fi’il ma>d}i> sebanyak
24 kali, dalam bentuk fi’il mud}a>ri’ sebanyak 68 kali, fi’il amr sebanyak 56 kali, mas}dar sebanyak 109 kali, sedangkan dalam bentuk ism fi’il hanya terdapat 1 kali. 89 Adapun zikir secara terminologi adalah membasahi lidah dengan ucapan- ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling
ampuhuntuk memperoleh ilmu 90 ma’rifat. Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan pada argumentasi tentang peranan zikir itu sendiri
bagi hati manusia. Zikir dalam pengertian luas adalah keadaan tentang kehadiran Tuhan dimana dan kapan saja serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. Sedangkan zikir dalam pengertian yang lebih sempit adalah yang dilakukan dengan lidah saja. Zikir dengan lidah ini adalah menyebut-nyebut Allah atau apa-apa yang berkaitan dengan-Nya, seperti mengucapkan tasbi>h}, tah}mi>d, takbi>r dan lainnya. 91 Sedangkan dalam pelaksanaan zikir, sama sekali tidak ada
batasan baik dalam metode, jumlah, atau waktu berzikir. 92 Sebagaimana
88 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 91. 89
Muhammad Fuad ‘Abd al-Ba>qi>, al- Mu’jam al-Mufahras li> al-Fa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2001), 332-337. 90 M. Solihin dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 92. 91 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an Tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), 14. 92 Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Shalawat (Jakarta: Serambi, 2007), 10.
penjelasan al-Qushayri>, 93 bahwa di antara keistimewaan zikir adalah tidak dibatasi waktu, bahkan tidak ada waktu kecuali seorang hamba diperintahkan
untuk berzikir, baik yang bersifat wajib atau sunah. Shalat meskipun kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia, dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan zikir dapat dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai keadaan.
Secara aplikatif, zikir adalah suatu aktivitas berupa mengingat wujud Allah swt.. Dengan merasakan kehadiran-Nya dalam jiwa dan raga, dengan menyebut nama-Nya yang suci, dengan senantiasa merenungkan hikmah dari penciptaan segala makhluk-Nya, serta mengimplementasikan kegiatan itu ke dalam perilaku, sikap, gerak, penampilan yang baik, benar dan terpuji di
hadapan Allah ataupun di hadapan Makhluk-Nya. 94
Menurut al-Qushayri>, zikir adalah rukun yang sangat kuat dalam perjalanan menuju al-H{aqq, bahkan keberadaannya merupakan tiang ibadah. Seseorang tidak akan sampai menuju Allah kecuali dengan berzikir. Kemudian al-Qushayri> menambahkan, bahwa zikir terbagi ke dalam dua macam, yaitu zikir lisan dan zikir hati. Zikir lisan bagi seorang hamba kepada kelanggengan zikir hati, karena zikir lisan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar pada zikir hati. Jika seseorang berzikir dengan lisan dan hatinya secara bersamaan, maka ia adalah seorang ahli zikir yang sempurna baik dalam sifat dan kondisi
spiritualnya. 95 Adapun zikir menurut pandangan Al-Bursawi> dapat dilihat dari
penafsirannya berikut ini:
4.1. Q.S. al-Baqarah [2]: 152
‚Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscahya Aku ingat (pula) kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)- Ku.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 152)
Al-Bursawi> membuka penafsirannya dengan menjelaskan maksud dari kata fadhkuru>ni> pada ayat ke-152 surat al-Baqarah. Menurutnya, fadhkuru>ni> merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk senantiasa mengingat-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya. Kemudian ia menukil sebuah hadis Nabi untuk mempertegas argumentasinya dalam memahami ayat ini. Hal ini bisa dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
93 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah (Kairo: Da>r al-Jawa>mi‘ al-Kalam, 2007), 255.
94 Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Prophetic Intellegence; Kecerdasan Kenabian Menumbuhkan Kecerdasan Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani (Jakarta:
Islamika, 2005), 427. 95 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 253.
Menurut al-Bursawi>, fadhkuru>ni> pada ayat di atas adalah perintah kepada manusia agar selalu mengigat Allah dengan ketaatan. 96 Sebagaimana
sabda Nabi saw.:
‚Barangsiapa yang taat kepada Allah, sesungguhnya sesungguhnya Dia telah mengingatnya meskipun shalatnya, puasanya, dan membaca al- Qur’annya itu sedikit. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah, sesungguhnya Dia telah melupakannya meskipun shalatnya dan membaca al- Qur’annya banyak.‛
Dari penafsiran al-Bursawi> tersebut, terlihat bahwa ia sangat memberikan perhatian lebih kepada upaya pengharmonisasian antara syariat dan hakikat.
dengan konsistensinya dalammenyandarkanpenafsiran sufistiknya dengan argumentasi syar’i yang bersumber dari hadis Nabi. Manhaj ini sangatlah penting, mengingat banyaknya kaum sufi yang terlalu jauh menggunakan takwil sehingga tidak jarang penafsirannya itu keluar dari makna zahir ayat.Ayat di atas mengandung perintah kepada manusia agar selalu mengingat Allah.Apabila seseorang selalu ingat kepada-Nya, maka Allah pun akan mengingat orang tersebut. Selain itu, ayat tersebut merupakan perintah kepada manusia agar senantiasa mensyukuri nikmat yang Allah telah berikan serta larangan untuk mengingkari nikmat-Nya.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan makna kata adhkurukum.Menurutnya, kata itu menunjukkan bahwa Allah akan mengingat hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya dengan memberikan pahala, kelembutan, kebaikan, pembukaan pintu kebahagiaan. Al-Bursawi> melanjutkan, zikir yang dimutlakkan dengan makna tersebut adalah zikir yang berarti mengetahui perkara yang telah terlupakan.Allah memerintahkan kepada manusia agar selalu mengingat nikmat-Nya yang telah dilupakan dan dilalaikan, agar mereka –dengan nikmat itu- melihat Pemberi nikmat. Dan Allah berfirman kepada manusia: ‚..Maka ingatlah kalian kepada-Ku..‛ Menurut Al-Bursawi>, Allah swt. memerintahkan kepada manusia agar senantiasa mengingat nikmat-
Nya. 97 Al-Bursawi> melanjutkan,zikir bukan hanya dilakukan dengan lisan, tapi
juga menggunakan hati dan seluruh anggota badan. Allah mengglobalkan segala bentuk pengingatan itu termasuk di dalamnya segala jenis zikir dengan bagian- bagiannya. Maka tak heran jika shalat juga dinamakan dengan zikir. Sebagaimana yang terdapat pada ayat ke-9 surat al- Jum’ah. Ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
96 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 255. 97 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 255, 256.
Zikir terkadang dilakukan dengan lisan, hati dan anggota badan. Zikir kepada Allah menggunakan lisan dengan mensucikan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya dan membaca kitab-Nya. Zikir menggunakan hati dilakukan dengan tiga cara: merenungkan dalil-dalil yang menunjukkan kepada Dhat-Nya dan sifat-Nya; merenungkan dalil-dalil yang menunjukkan kepada proses pentaklifan-Nya, penentuan hukum-hukum-Nya, perintah-Nya, larangan- Nya; merenungkan rahasia makhluk Allah sehingga setiap dharrah dari dharrah makhluk Allah menjadi seperti cermin yang bersih dan menembus ke alam kesucian. Adapun zikir dengan menggunakan anggota badan dengan menenggelamkan anggota badannya dalam melaksanakan perbuatan yang telah diperintahkan serta mengosongkan dari amal yang dilarang untuk dikerjakan. Oleh karena itu, Allah menamakan shalat sebagai zikir, sebagaimana dalam firman-Nya:
‚..Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah..‛(Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9)
Maka jadilah perintah Allah dalam firman- Nya: ‚..Ingatlah kalian kepada-Ku..‛ mengandung segala jenis ketaatan. Allah mengglobalkan pengingatan itu
termasuk di dalamnya segala jenis zikir dengan bagian-bagiannya. 98 Senada denganal-Bursawi>, al-Alu>si>memaknai zikir dengan bentuk dari
ketaatan hati. Selain hati, zikir juga hendaknya dilakukan dengan menggunakan lisan dan angota badan yang lain. Pertama; tah}mi>d, tasbi>h}, tah}mi>d dan juga membaca al- Qur’an. Kedua; memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah, memikirkan sifat-sifat Ila>hiyah dan rahasia-rahasia Rabba>niyah. Ketiga; tenggalamnya anggota badan dalam beramal saleh, dan meninggalkan amalan yang dilarang. Dan shalat mencakup dari ketiga hal tersebut yang Allah namakan juga dengan zikir. Sebagaimana firman Allah dalam surat al- Jum’ah ayat ke-9: ‚..Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah..‛Adapun hakikat zikir menurut al-Alu>si> adalah melupakan segala sesuatu kecuali Allah. Dan makna adhkurukum menurut Alu>si> adalah Allah akan membalas kalian dengan pahala. 99
Dari penafsiran al-Bursawi> dan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa merekamencoba menggabungkan metode bi> al-mathu>r yang biasa dianut oleh mufassir kalangan zahiri dengan metode bi> al-isha>ri> yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Ini merupakan nilai plus bagi tafsir sufistiknya tersebut. Tidak ketinggalan, Ibn ‘Arabi, juga mendasari argumentasi penafsiran sufistiknya dengan mengutip ayat al- Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari uraiannya sebagai berikut:
Menurut Ibn ‘Arabi>, fadhkuru>ni> adhkurkum bermakna barangsiapa yang menyebut-Ku dalam dirinya maka Aku akan menyebutnya dalam Diri-Ku,
98 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 256. 99 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 19 98 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 256. 99 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 19
mendahulukan hamba-Nya dalam permasalahan ini. 100 Ibn ‘Arabi> melanjutkan, dalam kasus lain, keadaan hamba kepada Allah merupakan potretkeadaan
Tuhan kepada hamba-Nya. 101 Sebagaimana Firman-Nya:
‚Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.‛ (Q.S. al- Maidah [5]: 54)
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa ayat ini mengandung konteks imam dan ma’mum.Artinya, keadaan Allah sesuai dengan
kondisi hamba-Nya. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dijelaskan oleh al- Bursawi> dan al-Alu>si> di atas yang memaknai tersebut dengan bentuk ketaatan hamba kepada Allah. Ketika seorang hamba taat kepada Tuhannya, maka ia akan menjadi makmum dari segala sesuatu yang berasal dari Tuhannya.
Apa yang telah dijelaskan ketiga mufassir tersebut berbeda dengan penjelasan al-Qushayri> yang memaknai ayat ini dengan tenggelamnya seorang ahli zikir dalam kesaksiannya terhadap Dhat yang disebutnya. Kemudian meleburkannya ke dalam wuju>d yang disebutkan sampai tidak berbekas darinya dari apa yang disebutkannya tersebut . Fadhkuru>ni> adhkurkum adalah meleburlah dengan wujud Kami, maka Kami akan menyebut kalian setelah ke- fana>’-an kalian. 102
Dari penjelasan al-Qushayri>di atas, terlihat bahwa ayat ke-152 surat al- Baqarah ini ia kaitkan dengan konteks fana>’ dan baqa>’. Hal ini tidak sejalan dengan penjelasan al-Bursawi>yang menekankan pada konteks ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.
Secara umum, penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-152 surat al- Baqarah masih berpijak pada makna zahir ayat. Di samping itu, penafsirannya masih mengacu kepada dalil syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dah hadis serta tidak didapati pertentangan terhadap kedua hal tersebut. Dan yang terpenting, dalam tafsirnya tersebut tidak dijumpai klaim kebenaran atas pemaknaan sufistiknya. Hal ini sangatlah penting agar penafsiran sufitiknya
selalu berpegang kepada makna zahir ayat.
4.2. Q.S. Ali ‘Imra>n [3]: 191
100 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Al-Futuh}a>t al-Makiyyah (Beirut: Da>r S{a>dir, 2004), Jilid I, 79-80.
101 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Al-Futuh}a>t al-Makiyyah, Jilid I, 115. 102 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 77-78.
‚Orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka mentafakuri penciptaan langit dan bumi, (seraya
berkata): ‛Ya Rabbana, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.‛ (Q.S. Ali ‘Imra>n [3]: 191)
Menurut al-Bursawi>, kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha qiya>man wa ‘ala> qu‘u>dan wa ‘ala> junu>bihim adalah mereka yang selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, baik dalam keadaan duduk,berdiri dan berbaring. Karena manusia biasanya tidak terlepas dari ketiga keadaan tersebut. 103
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa zikir kepada Allah dapat dilakukan dalam segala keadaan. Hal ini mengindikasikan keistimewaan zikir dari ibadah lain yang tidak terbatas oleh kondisi dan waktu. Uraianal-Bursawi>ini tidak bertentangan dengan makna tekstual ayat yang mengandung arti bahwa orang-orang melakukan zikir kepada Allah dalam segala kondisi, baik dalam kondisi berdiri, duduk ataupun berbaring. Jika menilik pada validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, maka penafsiran al- Bursawi> dapat dikategorikan kepada tafsir sufistik yang dapat diterima. Hal ini dikarenakan tidak didapati pertentangan antara pemaknaan isha>ri>-nya dengan makna tekstual ayat.
Adapun kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha menurut Ibn ‘Arabi> adalah menyebut Allah dalam segala kondisi dan keadaan. Keadaan qiya>man adalah dalam maqam ruh dengan musha>hadah. Keadaan qu‘u>dan adalah dalam hati dengan muka>shafah. Dan ‘ala> junubihim adalah terbaliknya dari tempat mereka
dengan 104 muja>hadah. Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, terlihat bahwa penafsirannya itu sangat kental dengan muatan teori tasawuf. Hal itu terlihat ketika ia
memasukkan maqam musha>hadah, muka>shafah danmuja>hadahke dalam penafsirannya.
Sedangkan menurut al-Qushayri>, kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha qiya>man wa ‘ala> qu‘u>dan wa ‘ala> junu>bihim bermakna tenggelamnya seorang penzikir dalam semua waktunya. Ketika berdiri ia berzikir kepada Allah. Ketika duduk, tidur, bersujud dan semua ah}wa>l yang digunakan untuk zikir dengan sungguh-sungguh, mereka berdiri dengan kesungguhan zikirnya dan duduk dari
meninggalkan urusannya. Berdiri dengan kejernihan ah}wa>l, duduk dengan memperhatikan zikirnya. Dan berzikir kepada Allah sembari berdiri dengan sajadah pengabdian kemudain duduk dengan sajadah al-qurbah. Barangsiapa yang tidak berserah pada permulaan berdirinya yang singkat, maka tidak akan
104 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145. Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157 104 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145. Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157
meninggalkan seluruh urusan duniawinya, sehingga ia akan terfokus hanya kepada zikirnya tersebut. Hal itu ia lakukan pada setiap kondisi dan di seluruh waktunya.
Selanjutnya, al-Bursawi> melanjutkan penafsirannya mengenai ayat di atas.Menurutnya, kalimat wa yatafakkaru>na fi> khalqi al-samawa>ti wa al-ard} adalah mereka bertafakkuruntuk mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi. Tafakkur dikhususkan kepada makhluk, sebagaimana sabda Nabi:
‚Tafakurilah makhluk dan janganlah mentafakkuri khaliq‛
Mentafakkuri khalik tidak diperbolehkan, karena mengetahui hakikat khaliq yang spesifik tidak mungkin terjangkau oleh manusia, sehingga manusia dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Tatkala penciptaan manusia tersusun dari jiwa raga, maka penghambaan pun harus dengan jiwa dan raga pula. Penghambaan badan diisyaratkan dengan firman Allah: ‚Orang-orang yang berzikir kepada Allah..‛ karena zikir tidak mungkin sempurna kecuali menggunakan tubuh dan anggota badan. Adapun penghambaan hati dan jiwa diisyaratkan oleh firman-Nya: ‚Mereka bertafakkur dalam penciptaan langit dan bumi.‛
‚Bertafakkur sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.‛ (H.R. Ahmad)
Al-Bursawi menjelaskan bahwa terdapat dua keistimewaan bertafakkur, pertama, tafakkur menghantarkan manusia kepada Allah.Sedangkan ibadah menghantarkan manusia kepada pahala Allah. Sesuatu yang menghantarkan kepada Allah lebih baik daripada yang menghantarkan kepada selain Allah; kedua, tafakkur merupakan perbuatan hati, sedangkan taat merupakan merupakan perbuatan anggota badan. Perbuatan hati lebih mulia daripada perbuatan anggota badan. 106
Dari penjelasanal-Bursawi>tentang kalimat wa yatafakkaru>na fi> khalqi al-samawa>ti wa al-ard} di atas, dapat dipahami bahwa tujuan orang-orang bertafakkur adalah untuk mengambil hikmahatau pelajaram tentang penciptaan langit dan bumi. Dalam penjelasannya, al-Bursawi>melarang manusia bertafakkur tentang Kha>liq, hal itu didasarkan pada hadis Nabi: ‚Tafakurilah makhluk
khaliq.‛ Pelarangan ini dikarenakanmanusia tidak akan mungkin bisa menjangkau hakikat yang spesifik tentang Allah.
dan janganlah
mentafakkuri
105 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 189. 106 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145.
Pengutipan hadis Nabi oleh al-Bursawi> dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi penafsirannya. Ini mengindikasikan bahwa ia sangat berpegang teguh kepada dalil syar’i yang bersumber dari hadis. Hal ini sesuai dengan teori validitas al-Dhahabi> yang menyebutkan bahwa sebuah penafsiran sufistrik dapat diterima apabila dalam penafsirannya diperkuat dengan
argumentasi syara’ yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. 107
Penjelasan al-Bursawi> berbeda dengan I bn ‘Arabi>yang mengaiktkan tafakkur dengan maqam musha>hadah.Menurut Ibn ‘Arabi>, tafakkur dilakukan dengan pikiran seseorang, sehinggapikirannya ituakan terbebas dari wahm. Adapun fi> khalqadalah alam ruh dan jasad. Mereka yang bertafakkur akan berkata dalam musha>dah-nya: ‚Ya Rabbana, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.‛ Sesungguhnya selain al-H{aqq adalah batil, kecuali asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Dialah Dhat Yang Maha suci dari selain-Nya, yang tiada pembanding bagi keesaan-Nya. Maka peliharalah kami dari siksa neraka, yaitu neraka ih}tija>b dari bentuk af‘a>l-Mu dan dari af‘a>l sifat-sifat-Mu, sifat-sifat
Dhat-Mu yang selalu terjaga kesempurnaannya. 108
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, dapat dipahami bahwa tafakkur dapat menghilangkan wahm dalam pikiran seseorang. Sehingga tafakkurnya itu dapat mengantarkannya kepada musha>dah yangberujung pada tauhid. Dalam pandangan mereka tiada lagi yang h}aq selain al-H{aqq itu sendiri.
Ayat di atas mengisyaratkan tentang besarnya permasalahan dhikrulla>h dan tafakkur. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Bursawi> bahwa ayat itu mengandung isyarat tentang urgensi zikir dan tafakkur. Selain itu, mengisyaratkan kepada tiga martabat: zikir dengan lisan, tafakkur dengan kalbu dan ma’rifat dengan ruh. Zikir dengan lisan menghantarkan pelakunya kepada zikir dengan kalbu, yaitu mentafakkuri kekuasaan Allah. Zikir dengan kalbu menghantarkan pelakunya kepada maqam ruh, sehingga dalam maqam itu ia dapat mengetahui hakikat suatu perkara dan dapat melihat hikmah Ilahiyah yang terdapat pada makhluk Allah. Kemudian setelah menyaksikan hikmah Ilahiyah, ia berkata:‚Ya Rabbana, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia...‛ maka seorang mukmin harus senantiasa berzikir kepada Allah dengan lisannya dalam segala keadaan, sehingga dengan zikir lisan itu menyampaikannya kepada zikir kalbu. Zikir kalbu akan menyampaikannya kepada zikir ruh, sehingga ia memperoleh keyakinan dan ma’rifat, selamat dari gelapnya kebodohan dan ia akan terang benderang oleh cahaya ma’rifat. 109
Dari penjelasan Bursawi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi zikirmeliputi tiga martabat, yaituzikir lisan, tafakkur kalbu dan ma’rifat ruh. Zikiryang dilakukan dengan lisan dapat menghantarkan seseorang kepada zikir kalbu, yaitu mentafakkuri kekuasaan Allah sebagaimana yang telah disebutkan ayat di atas. Dengan zikir kalbu tersebut menghantarkan kepada maqam ruh,
107 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 108 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157
109 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 146.
sehingga ketika seseorang berada pada maqam itu ia dapat mengetahui hakikat dari sesuatu dan melihat hikmah Ilahiyah yang terdapat pada setiap ciptaan Allah Ta’ala.
Adapun hakikat zikirmenurut Al-Alu>si>adalah menyebutAllah baik dari Dhat, sifat-sifat dan af’al-Nya. Martabat zikiradalah dengan menggunakan lisan, kalbu dan dengan anggota tubuh lainnya.Martabat zikiryang paling utama adalah tidak melalaikan Allah pada seluruh waktu yang dimilikinya dengan menentramkan hatinya dengan zikir kepada-Nya dan menenggelamkan seluruh kesenangannya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 110 Dari penjelasan al- Alu>si>ini, ia mendeskripsikan bahwa zikirdilakukan dengan lisan kemudian kalbu. Dan dari keduanya, martabat yang paling utama adalah berzikir dengan hatidi semua waktu yang dimilikinya disertai dengan membuang semua kesenangan duniawi untuk ber- taqarrub kepada Allah.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa keutamaan yang terkandung di dalam zikir sangatlah besar. Hal ini sesuai dengan al-Qushayri> yang mengatakan bahwa tidak ada suluk yang lebih utama selain jalan zikir. Dalam zikirterdapat beberapa ah}wa>l,pertama; zikir yang mewajibkan seorang penzikir menangkap zikirnya dari kekurangan dan kesalahan pada masa lalunya. Kedua; zikiryang mewajibkanpenzikirnya untuk memanjangkannya,hal tersebut disebabkan kenikmatan yang ia rasakan ketika berzikir,sehingga dengan zikirnya dapat mendekatkan diri kepada al-H{aqq. Seorang ahli zikirakan dapat mengikiskan pandangannya kepada selain-Nya, membuat lidahnya selalu terbiasa menyebut-Nya dan hatinya akan selalu terikat kepada-Nya. 111
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat ke-191 surat A<li ‘Imra>n menerangkan tentang keutamaan zikir kepada Allah pada setiap kondisi dan waktu. Sehingga dengan zikir dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Karena Zikir dalam pengertian luas adalah keadaan tentang kehadiran Tuhan dimana pun dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. 112 Keisitimewaan zikir dengan ibadah lainnya adalah tidak ada batasan baik dalam metode pelaksanaan, kuantitas atau waktu dalam berzikir. Oleh karena itu, zikir dapat dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai kondisi.
Secara global, penafsiranal-Bursawi> terhadap ayatke-191 surat A<li ‘Imra>n diawali dengan pemaknaan zahir terlebih dahulu sebelum melangkah ke pemaknaan secara isha>ri>. Hal ini mengindikasikan bahwa ia sangat memperhatikan perpaduan antara pemaknaan zahir dan batin. Selain itu, dalam menjelaskan permasalahan seputar zikir, terlihat bahwa ia masih mendasari penafsiran sufistiknya dengan penggunaan dalil syar’i yang bersumer dari al- Qur’an Hadis sertatidak bertentangan dengan syariat atau argumentasi rasio. Di samping itu,al-Bursawi>tidak mengklaim bahwa makna ishari>-nya adalah satu- satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat di atas.
110 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid IV, 158. 111 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 188-189. 112 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an Tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), 14.
4.3. Q.S. al- Ra‘d [13]: 28
‚Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.‛ (Q.S. al-Ra‘d [13]: 28)
Al-Bursawi> membuka penafsirannya dengan menjelaskan makna kalimat alladhi>na a>manu> dengan meggunakan analisis kebahasan.Kemudiania menjelaskan makna kalimat wa tat}mainna qulu>buhum bidhikrilla>hyang terdapat pada ayat di atas. Dalam penjelasannya, ia mengutip ayat ke-45 surat al-Zumar tentang sifat orang-orang kafir yang tidak suka ketika disebutkan nama Allah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurut al-Bursawi>, kalimat alladhi>na a>manu> adalah badal dari man ana>ba pada ayat sebelumnya atau khabar mubtada ’ makhdhu>f yang berarti
mereka yang beriman. Adapun makna dari kalimat wa tat}mainna qulu>buhum bi dhikrilla>h adalah hati mereka menjadi tentram jika mendengarkan dhikrulla>h, mereka mencintainya dan terbiasa berzikir dengan al- Qur’an. Dan orang-orang beriman membiasakan diri mereka dengan al- Qur’an, menyebut Allah yang merupakan nama paling Agung dan mereka suka mendengarkannya. Sedangkan
orang-orang kafir senang dengan dunia dan menyebut selain Allah. 113 Sebagaimana firman-Nya:
‚Dan apabila yang disebut hanya nama Allah, kesal sekali hati orang- orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira.‛ (Q.S. al-Zumar [39]: 45)
Jika dilihat, apa yang telah dijelaskan oleh al-Bursawi> di atas tidak jauh berbeda dengan makna tekstual yang terkandung dari ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penafsirannya sangat berpaku pada makna zahir ayat. Selain itu, pengutipan ayat ke-45 surat al-Zumar dalam penafsirannya memberikan indikasi bahwa ia mencoba menggunakan metode tafsi>r Q ur’a>n bi> al-Q ur’a>n.Jika ditinjau dari penentuan validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, penafsiran yang dilakukan oleh al-Bursawi> itu dapat dikatakan valid atau dapat diterima. Hal ini disebabkan penafsiran sufistiknya masih berpegang pada dalil syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.
113 Isma>‘i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IV, 372.
Adapun kalimat alladhi>na a>manu>wa tat}mainna qulu>buhum bi dhikrilla>h menuut al-Qushayri> adalah kaum yang tentram hatinya dengan zikir kepada Allah. Di dalam zikir terdapat kesenangan bagi mereka dan dapat mengantarkan kepada s}afwah mereka. Kaum yang hatinya tentram dengan menyebut Allah, maka Allah akan menyebut mereka dengan kelembutan-Nya. Bersemayamnya rasa tentram dalam hati mereka disebabkan kekhususan mereka ketika
berzikir. 114 Dari penjelasan al-Qushayri>tersebut, orang yang berzikir kepada Allah dengan khusyu’ akan merasa ketentraman di dalam hatinya. Hal itu
disebabkan rasa cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka senantiasa menyebut nama Allah. Atas kecintaan mereka dengan dhikrulla>h, maka Allah pun memberikan kekhususan dengan menyebut mereka.
Menurut Ibn ‘Arabi>, yang dimaksud dengan kalimat alladhi>na a>manu> wa tat}mainnu qulu>buhum bi dhikrilla>h adalah orang-orang bertaubat yang beriman kepada alam gaib. Mereka berzikir dengan lisan dan bertafakkur atas nikmat Allah.Selain itu, merekaberzikir dengan kalbu dan bertafakkur dalam
alam malaku>tdengan mengamati sifat jama>l dan jala>l.Di dalam zikir terdapat beberapa martabat, pertama;zikir nafs dengan lisan dan bertafakkur terhadap nikmat Allah. Kedua;zikir kalbu dengan menelaah sifat-sifat Allah. Ketiga;zikir sirr dengan bermunajat. Keempat;zikir ruh dengan musha>hadah. Kelima;zikir kepada Allah dengan fana>’. Seluruh martabattersebut tidak akan terjadi kecuali setelah rasa tentram dan amal saleh seperti tazkiyah dan
tah}liyah. 115 Dari penafsiran Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa orang yang
beriman berzikir dengan menggunakan lisan dan hati. Zikir lisan dilakukan dengan merenungkan segala nikmat Allah yang telah diberikan ( tah}adduth bi> al- ni’mah). Adapun zikir kalbu dengan menelaah sifat-sifat Allah. Ketika seseorang telah melakukan zikir dengan lisan dan hati, maka ia akan melangkah kepada martabat zikir yang lebih tinggi lagi, yaitu zikirir sirr dengan munajat, kemudian zikir ruh dengan musha>dah. Dan martabat zikiryang paling tinggi adalah dhikrulla>h dengan fana>’.
Selanjutnya, al-Bursawi> menutup penafsirannya dengan menjelaskan kalimat ala> bi dhikrilla>h tat}mainnu al-qulu>b. Menurtunya, kalimat itu bermakna bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Ini dikarenakan pada kalbu orang-orang beriman terdapat keyakinan di dalamnya. Adapun kalbu orang awam menjadi tentram dengan tasbih. Kalbu orang khawa>s} dengan hakikat asma>’ al-h}usna>. Dan kalbu khawa>s} al-khawa>s} dengan musha>dah Allah Ta’ala. 116 Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa ketentraman yang dirasakan oleh hati orang-orang yang berzikir disebabkan oleh keyakinan mereka kepada Allah. Karena bagaimana seseorang akan bisa merasa tentram dan nyaman terhadap sesuatu yang tidak ia yakini. Di samping itu, dapat
114 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid II, 108-109. 115 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 366. 116 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IV, 372-373.
dipahami pula bahwa kalbu diklasifikasikan kepada tiga macam. Yaitu, kalbu orang awam,kalbu orang khawa>s dan kalbu khawa>s} al-khawa>s.
Dari pemaparan al-Bursawi> terhadap ayat di atas, terlihat bahwa ia sangat memperhatikan perpaduan antara pemaknaan zahir dan batin. Hal ini disebabkan antara makna tekstual yang terkandung pada ayat dengan pemaknaan yang dilakukan oleh al-Bursawi>sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tidak ditemukan pertentangan di antara keduanya. Di samping itu, dalam menjelaskan permasalahan zikir, al-Bursawi> masih mendasari penafsiran sufistiknya dengan penggunaan dalil syar’i. Bahkan, ia menggunakan pendekatan tafsi>r Q ur’a>n bi> al-Qur’a>ndalam menguraikan ayat tersebut. Hal ini semakin memberi nilai plus pada tafsir sufsitiknya. Mengingat jarang sekali mufassir dari kalangan sufi yang menggambungkan antara metode bi> al- ma’thu>r dengan metode bi> al-isha>ri>. Selain itu, di dalam penafsiran al-Bursawi> tidak ditemukan pertentangan antara penafsirannya dengan dalil syara’ atau rasio. Karena pemaknaan yang dilakukannya, didasarkan oleh kedua hal tersebut.Terakhir, dari penafsirannya tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>-nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan al-Bursawi>terhadap ayat ke-28 surat al- Ra’dadalah valid atau bisa diterimajika ditinjau dari teori validitas penafsiran sufistik yang diungkapkan oleh al- Dhahabi>.
A. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Tentang Puncak Pengalaman Sufistik
1. Mah}abbah Mah}abbahadalah pijakan bagi segala kemuliaan h}a>l(keadaan), 117 sama
halnya dengan taubat yang merupakan dasar bagi segala kemuliaan 118 maqa>m. Karena mah}abbahpada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar bagi
segenap h}a>l. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah (mawhib). Mah}abbahmerupakan buah dari tauhid dan ma‘rifah. Setiap maqam dan h}a>l
117 H{a>latau ah}wa>l menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati seseorang secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti
rasa gembira, sedih, rindu, cinta, takut dan lain sebagainya. Keadaan tersebut merupakan anugerah, berbeda dengan maqa>m yang merupakan hasil usaha. Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah (Kairo: Da>r al-Jawa>mi‘ al-Kalam, 2007), 92-93. 118
Maqa>m adalah sebuah istilah dalam dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang sa>lik (seorang hamba pencari kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) dengan melalui beberapa tingkatan muja>hadah secara gradual; dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqa>m berikutnya dengan suatu bentuk amalan ( muja>hadah) tertentu; sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk mencapai suatu maqa>m harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqa>m yang sedang dikuasainya. Oleh karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riya>d}ah. Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 92.
berasal darinya. 119 Mah}abbah dalam ajaran tasawuf erat kaitannya dengan perasaan cinta seorang hamba kepada Tuhan. Lebih luas lagi, mah}abbah
mengandung makna memeluk dan mematuhi perintah Tuhan serta membenci sikap yang menunjukkan pembangkangankepada Tuhan. Selain itu, mah}abbah memuat arti pengosongan perasaan di dalam hati dari segala sesuatu selain-
Nya. 120 Menurut Suhrawardi>, mah}abbah merupakan suatu kecenderungan hati
untuk memperhatikan kecantikan atau keindahan. Suhrawardi> membagi mah}abbah ke dalam dua jenis, yaitu: mah}abbah ‘a>m dan mah}abbah kha>s}. Mah}abbah ‘a>m adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat-Nya. Sedangkan mah}abbah kha>s} adalah kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan Dhat-Nya. 121 Secara umum, mah}abbah diilustrasikan oleh Suhrawardi> sebagai mata rantai dari keselarasan yang mengikat sang pencinta kepada kekasihnya; suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya dan kemudian menangkap Dhat-Nya dalam genggaman
qudrah Allah. 122 Al-Sarra>j al-T{u>s}i> menerangkan bahwa mah}abbah memiliki tiga
tingkatan: pertama, cinta biasa, yaitu selalu menyebut nama Tuhan dengan zikir. Kedua, cinta orang s}iddi>q dan ahli hakikat, yaitu orang-orang yang mengenal Tuhan, pada kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya. Cinta orang- orang tersebut dapat menghilangkan tabir yang menghalangi mereka dengan Tuhan. Dengan demikian, mereka dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta pada tingkatan ini dapat menghilangkan kehendak dan sifat-sifat seseorang, hatinya akan merasakan cinta yang mendalam kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya. Ketiga, cinta orang ‘a>rif, yaitu itu orang yang sangat mengetahui Tuhan. Cinta pada tingkatan ini yang dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. 123
Bagi kaum sufi, seorang hamba adalah pecinta sedangkan Allah adalah Sang Kekasih. Karena pada hakikatnya setiap perbuatan itu harus ditujukan kepada Allah, Dia juga termasuk pemberi cinta. Cinta Allah kepada para sufi itu mendahului cinta mereka kepada Allah. Selain itu, para sufi sangat jarang menyebut-menyebut cinta Allah kepada manusia, tetapi sebaliknya mereka sering menyebut-menyebut cinta manusia kepada Allah. Cinta manusia kepada
119 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa (Jakarta: Azan, 2001), 53.
Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 240-241 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli Makrifat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 185. 122 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli Makrifat, 186. 123 al-Sarra>j al-T}u>si, Al- Luma>’ (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960), 86-88. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 55.
H.A. Mustofa,
Allah ini adalah suatu kewajiban seorang hamba, sedangkan cinta Allah kepada manusia merupakan rahmat dimana sang hamba tidak memiliki tuntutan sama sekali terhadap hal itu. Bagi para sufi, Allah adalah suatu objek unik dan tidak dapat diperbandingkan pemujaannya. 124
Al-Ghazali> menyebutkan bahwa hakikat cinta adalah perasaan yang yang amat senang ketika telah dekat dengan Allah. Sebagaian sufi mengatakan,
hakikat dekat dengan-Nya adalah hilangnya panca indera dari hati muncul ketenangan hati ketika berada di hadapan Allah. 125 Ketika hati seseorang benar-
benar mencintai Allah, maka ia telah bersiap-bersiap memperoleh puncak kesempurnaan dan memperoleh karunia Allah yang melimpah. Tetapi berseminya rasa cinta hanya dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu. Rasa cinta kepada Allah tidak bisa dirasakan semua orang. Sesungguhnya cinta adalah kemuliaan yang dipilihkan Allah untuk para kekasih-Nya. Sesungguhnya rasa cinta adalah anugerah yang dengan sendirinya mengalir dari kemurahan Allah, sebelum bisa diupayakan oleh kehendak manusiawi. 126 Seseorang dapat
mencintai Tuhan jika ia melakukan dua hal, pertama: memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada selain Allah dari hati. Kedua: kuatnya penganalan terhadap Allah. hal itu dapat terjadi setelah mensucikan
hati dari segala kesibukan duniawi. 127 Abu> T{a>lib al-Makki sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel
merangkum gagasan tasawuf moderat dengan mengatakan bahwa bagi orang yang beriman, cinta kepada Tuhan dan utusan-Nya haruslah diutamakan dari segalanya. Karena Rasulullah menjadikan cinta kepada Tuhan sebagai suatu syarat keimanan. 128 Dan termasuk kecintaan itu adalah mengikuti Nabi saw. dalam segala petunjuknya, kezuhudan, akhlak dan meneladani segala hal darinya. Serta berpaling dari keindahan dan kemilaunya dunia. Karena sesungguhnya Allah telah menjadikan Nabi sebagai petunjuk, serta bukti pada ummat-Nya. Termasuk kecintaan terhadap Allah adalah lebih mengutamakan kecintaan terhadap Allah di atas diri maupun keinganan diri agar dapat memulai dalam segala urusan-Nya sebelum urusan diri sendiri. Tanda seorang pecinta adalah sejalan dengan yang dicintai, dan mengikuti jalan-jalannya dalam segala urusan dan mendekatkan kepadanya dengan segala upaya, serta menjauhi hal- hal yang menghambat tujuanya itu. 129
124 Marget Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), 105-106.
125 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 56.
126 Muh}ammad al-Ghazali>, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam (Jakarta: Lentera, 2001), 385.
H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 242-244. 128 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
167. 129 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz
Minadhdhalal (Indonesia: Darul Ihya, t.th), 269.
Pada fase awal tasawuf, masalah mah}abbah menjadi titik permulaan perbedaan pendapat. Aliran ortodoks menerima mah}abbah hanya sebagai sebuah bentuk ‘kepatuhan’ dan bahkan bebepa ahli mistik moderat mengatakan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai kepatuhan kepada Tuhan. 130 Menurut ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, kepatuhan terhadap perintah Tuhan dapat mengantarkan seseorang kepada kecintaan-Nya. Kecintaan pada Allah tanpa menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan suatu kekeliruan. Bahkan menunaikan kewajiban-kewajiban itu merupakan suatu syarat agar dapat dekat dengan Tuhan. 131 Tuhan bukanlah Dhat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya harus dicintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekat dengan-Nya, maka harus banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi. 132
Sufi yang termasyhur dalam paham mah}abbah adalah Rabi>‘ah al- ‘Adawiyah (w. 185 H) dari Basrah. Menurut riwayat, dahulu ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Setelah dirinya bebas, ia banyak beribadah dan menjauhi sesuatu yang berbau duniawi. Dalam setiap doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin dekat dengan Tuhan. Bagi Rabi>‘ah, Tuhan merupakan Dhat yang dicintai dan sebagai tempat untuk meluapkan rasa cinta dari hatinya yang terdalam. Di antara ucapannya adalah: ‚Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-
Nya.‛ 133
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai mah}abbahdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
1.1. Q.S. A>li ‘Imra>n [3]: 31:
‚Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‛ (Q.S. A>li ‘Imra>n [3]: 31)
Di awal penafsirannya, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan asba>b al-nuzu>l dari ayat ini. Ia menerangkan bahwa ayat ini diturunkan ketika Rasulullah mengajak Ka‘ab ibn al-Ashra>f dan para sahabatnya kepada keimanan, maka mereka berkata: ‚kami adalah anak laki-laki Allah dan kekasih-kekasih- Nya.‛ Maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya: ‚Katakanlah
130 Annemarie Schimmel,
Dimensi Mistik Dalam Islam, 167.
‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 268. 132 H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 241. 133 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 56.
Penjelasan asba>b al-nuzu>l ayat ini oleh al-Bursawi>dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi penafsirannya. Karena sebuah penafsiran bukan hanya
bersumber dari argumentasi aqli saja, tetapi perlu didukung dengan dalil naqli juga. Hal ini memberi indikasi bahwa metode penafsiran yang digunakannya masih berpijak pada pemaknaan zahir ayat.
Setelah menjelaskan asba>b al-nuzu>ldari ayat ini, al-Bursawi> kemudian menerangkan tentang mah}abbah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Mah}abbah berarti condongnya jiwa kepada sesuatu karena ada kesempurnaan yang diketahui oleh jiwa terhadap sesuatu, sehingga jiwa mau menanggung hal-hal yang mendekatkan kepada-Nya. Bila seseorang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki hanya pada Allah dan bahwa setiap yang dilihatnya sebagai kesempurnaan yang hakiki hanya pada Allah dan bahwa setiap yang dilihatnya sebagai kesempurnaan diri-Nya, atau melihat kesempurnaan yang ada pada selain-Nya itu sebagai kesempurnaan yang berasal dari Allah, karena Allah, dan pada Allah, maka cintanya itu hanya untuk Allah. Kecintaan ini menuntut kehendak untuk mentaati-Nya dan merasa senang atas apa-apa yang telah ditetapkan-Nya untuknya. Oleh karena itu, mah}abbah diinterpretasikan sebagai kehendak untuk berbuat taat. Dan mah}abbahdijadikan suatu kelaziman dalam mengikuti Rasulullah saw., dalam mentaati dan
menolongnya. 135 Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa mah}abbah
menurutnya adalah sebuah kecondongan dalam jiwa seseorang terhadap sesuatu yang sempurna. Ketika jiwa itu sudah condong, maka ia akan rela untuk menempuh segala hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada sesuatu yang dicintainya itu. Ketika seorang hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki hanya milik Allah, maka cintanya hanya diberikan untuk-Nya. Mah}abbah menuntut kehendak untuk mentaati-Nya dan merasa senang atas segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Karena itu, al-Bursawi> dalam penjelasannya mengintrepretasikan mah}abbah sebagai kehendak untuk selalu berbuat taat. Di samping itu, mah}abbah juga dijadikan suatu keharusan dalam mengikuti, mentaati dan menolong Rasulullah saw. Karena Rasulullah saw. adalah orang yang paling dicintai Allah swt.
Penjelasan Bursawi mengenai mah}abbah di atas, senada dengan apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d bahwa tanda seorang pecinta adalah sejalan dengan yang dicintai, dan mengikuti jalan-jalan-Nya dalam segala urusan dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala upaya, serta
134 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi>Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid II, 22. 135 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 22.
menjauhi hal-hal yang menghambat tujuanya tersebut. 136 Dengan kata lain, jika seorang hamba telah mencintai Allah, maka ia akan sepenuh jiwa melakukan
segala yang disukai-Nya dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Dhat yang dicintainya.
Ketika seseorang telah benar-benar mencintai Allah, maka iaakan memperoleh puncak kesempurnaan dan memperoleh karunia-Nya yang
melimpah. 137 Al-Bursawi> dalam tafsirnya menggambarkan tentang karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang mencintai-Nya. Hal ini terlihat dari
penafsirannya berikut ini: Allah mengampuni dosa-dosa kalian, yaitu dengan menyingkapkan hijab dari dalam hati mereka dengan memaafkan keteledoran mereka dalam mengerjakan perintah-Nya, kemudian Dia mendekatkan mereka kepada surga- surga kemulian-Nya. Mah}abbah diungkapkan dengan cara isti‘a>rah atau musha>kalah. 138 Oleh karena itu Allah berfirman:
‚ Katakanlah:‛Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya apabila mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 32)
31 dari surat A>li ‘Imra>n tidak menafikkan bahwa ayat tersebut mengandung indikasi mengenai term mah}abbah yang biasa dipakai oleh kalangan sufi. Mah}abbah dalam perspektif al-Bursawi> adalah sebuah kecondongan jiwa seseorang terhadap sesuatu yang sempurna. Dari kecondongan itu, ia akan rela untuk melakukan segala hal yang dapat mendekatkannya kepada sesuatu yang ia cintai. Ketika obyek yang dicintainya adalah Allah, maka ia dituntut untuk mentaati segala sesuatu yang ditetapkan-Nya. Begitupun ketika objek mah}abbah-nya adalah Rasulullah, maka ia dituntuk untuk mengikuti, mentaati serta menolong Rasulullah saw.
Penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-
Secara umum, penafsiranal-Bursawi>mengenai ayat di atas masih berpegang pada pemaknaan secara zahir. Hal ini terlihat ketika ia mengutip riwayat tentang asba>b al-nuzu>l dari ayat yang sangat jarang dilakukan oleh para mufassir sufi. Hal itu juga sekaligus menepis statemen orang-orang yang beranggapan bahwa mufassir kalangan sufi kerap mengabaikan makna zahir ayat al- Qur’an. Karena metode penafsiran yang dilakukan oleh al-Bursawi> selalu mengharmonisasikan antara dimensi zahir dan batin sebagaimana yang terlihat pada uraian di atas.
136 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 269.
137 Muh}ammad al-Ghazali>, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam, 385. 138 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 22.
Kemudian, ketika al-Bursawi> menjelaskan tentang karunia Allah terhadap orang-orang yag mencintai-Nya, ia mengutip ayat kel-32 surat A<li ‘Imra>n. Dari sini tampak bahwa al-Bursawi> mencoba menggunakan pendekatan tafsi>r Qur’a>n bi> al-Qur’a>n. Metode tersebut biasa dipakai oleh kalangan
mufassir bi> al- ma’thu>r yang menafsirkan ayat dengan al-Qur’an atau dengan riwayat. Walaupun al-Bursawi>notabennya bukan dari kalangan mufassir bi> al- ma’thu>r, namun dalam menafsirkan ayat sering menggunakan metode tersebut untuk menemukan makna sufistik yang terkandung pada suatu ayat. Hal ini menambah nilai plus tersendiri bagi tafsirnya itu.
Uraian al-Bursawi> mengenai mah}abbah tidak jauh berbeda dengan Ibn ‘Arabi>. Hanya saja jika al-Bursawi> menitik beratkan obyek mah}abbah kepada
Allah, sedangkan Ibn ‘Arabi> lebih menitik beratkan pembahasannya kepada Nabi saw. sebagai kekasih Allah. Ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi saw. adalah kekasih Allah, dan setiap orang yang menyeru kepada mah}abbah wajib untuk mengikutinya.Karena barangsiapa yang mencintai kekasih-Nya maka akan dicintai-Nya. Oleh karena itu, wajib untuk mencintai Nabi dengan mengikuti jejak, sulu>k, jalan, perkataan, perbuatan, h}a>l, sirah dan ‘aqidahnya. Mah}abbah tidak akan bisa dicapai tanpa cara-cara tesebut, karena hal itu merupakan poros, bentuk ekspresi, dan tarekat merupakan azimat dari mah}abbah. Barangsiapa yang tidak bertarekat maka tidak akan bisa mencapai mah}abbah. Jika mengikutinya dengan sungguh- sungguh, maka batin, sirr, hati dan jiwanya akan sesuai dengan batin, sirr, hati dan jiwa Nabi saw.,dan itu merupakan sebenar-benarnya ekspresi mah}abbah. Hal itu merupakan bagian dari mahabbatu lla>h ta’a>la> dengan azimat dari pencinta. Allah akan menemui orang yang mencintai-Nya dan memuliakannya dengan batin dan ruh Nabi saw. serta dengan cahaya 139 mah}abbah kepada-Nya.
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, seseorang yang ber-mah}abbah kepada Allah, wajib baginya untuk mengikuti Rasulullah saw. Karena secara logika, seorang hamba yang mencintai kekasih-Nya maka akan dicintai oleh-Nya pula. Oleh karena itu, kewajiban mencintai Nabi dengan mengikuti sulu>k, perkataan, perbuatan, h}a>l dan segala sesuatu yang diajarkannya adalah sebuah implikasi dari mah}abbah kepada Allah. Apabila seorang hamba mengikuti Nabi dengan sungguh-sungguh, maka batin, sirr, hati dan jiwanya akan sesuai dengan Nabi saw. Lebih lanjut, Ibn ‘Arabi> memandang bahwa mah}abbah kepada Allah tidak akan dapat digapai tanpa melelaui tahapan tesebut, karena hal itu merupakan poros dari mah}abbah.
1.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 165.
139 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 124.
‚Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan (berhala- berhala) selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Dan orang-orang beriman sangat mencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang aniaya (tidak beriman) mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari akhirat), bahwa sesungguhnya semua kekuasaan semua kekuasaan terpusat pada Allah dan sesungguhnya siksa Allah sangatlah berat. (jika mereka mengetahui demikian, tentu mereka akan sadar)‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 165)
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan kata anda>dan. Menurutnya, yang dimaksud kata tersebut adalah berhala-berhala yang sebagiannya menjadi tandingan bagi Allah menurut persangkaan mereka yang buruk. Mereka mengharapkan keuntungan dan kemudharatan dari berhala- berhala itu, dan mereka mengemukakan berbagai masalah kepada berhala dan mendekatkan diri kepadanya. Kembalinya d}a>mir (kata ganti) untuk yang berakal kepada berhala-berhala dalam firman Allah yuh}ibbu>nahum didasarkan pada pandangan mereka yang batil mengenai berhala yang mereka sifati dengan sifat-sifat yang biasa dipakai untuk yang berakal. Atau d}a>mir itu kembali kepada pemimpin-pemimpin yang mereka taati. Dengan kata lain, tandingan tersebut adalah setiap perkara yang membuat manusia sibuk, sehingga melupakan Allah. 140
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan kaum sufi dan ‘a>rifi>n bahwa maksud dari berhala-berhala itu adalah segala perkara yang membuat hati seseorang menjadi sibuk untuk memikirkan selain Allah. Jika hal itu terjadi,
maka orang tersebut telah menjadikan tandingan nagi Allah. 141 Sebagaimana yang dimaksudkan oleh firman Allah:
‚Pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya...‛ (Q.S. al-Furqa>n [25]: 43)
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwa kata anda>dan adalah segala sesuatu yang membuat manusia sibuk dan lalai, sehingga menjadikan hal itu sebagai tandingan bagi Allah swt. Uraian tersebut didapat dari analisa al- Bursawi> terhadap kata tersebut dari sisi kebahasaan. Ini memberikan bukti bahwa penafsiran sufistik al-Bursawi> berangkat dari pemaknaan secara zahir terlebih dahulu sebelum beranjak kepada pemaknaan isha>ri>.Metode penafsiran al-Bursawi> sesuai dengan mufassir dari kalangan sufi fayd}i> yang mengawali
140 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 269. 141 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 269-270.
penafsiran mereka dengan menekankan kepada makna zahir ayat sebelum melangkah kepada makna-makna selanjutnya. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai korelasi pencocokan makna yang sepadan antara z}a>hir sebagai aplikasi literal (
tat}bi>q) dan ba>t}in sebagai isyarat samar (ishara>t kha>fiyah). 142 Selain menghadirkan analisis kebahasaan, al-Bursawi> juga mendasari argumentasi penafsirannya dengan menjelaskan ayat di atas dengan ayat ke-43 surat al-Furqa>n. Dalam kajian ilmu tafsir, hal ini lazim disebut dengan tafsi>r al- Qur’a>n bi> al-Qur’a>n. Dari kasus ini, terlihat bahwa al-Bursawi> mencoba mengkombinasikan antara metode bi> al-mathu>r yang biasa dianut oleh mufassir kalangan zahiri dan metode bi> al-isha>ri> yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Pengkombinasian semacam ini jarang dijumpai dalam khazanah tafsir sufi, karena para sufi lebih sering berkutat pada pemaknaan al- Qur’an secara ba>t}in.
Setelah menjelaskan kata anda>da>, kemudian al-Bursawi> menjelaskan makna kalimat yuh}ibbu>nahum ka h}ubbilla>h dengan menggunakan metode penafsiran yang sama . Hal ini dapa dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Kata yuh}ibbu>nahum menjadi sifat untuk anda>d, yakni mengagungkan, menghormati dan mentaatinya sebagaimana layaknya kepada kekasih. Adapun
ka h}ubbilla>h bermakna kecintaan mereka kepadanya seperti cinta mereka kepada Allah. Mereka menyamakan antara Allah dan tandingan tersebut dalam hal mentaati dan menghormatinya. Tujuan men- jama‘-kan adalah karena dalam penyifatan tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah tashbi>h (penyamaan), penyamaan dalam mengagungkan tidak berarti menghilangkan pengakuan mereka atas ketuhanan Allah. 143 Sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah:
‚ Dan jika kamu tanyakan kepada mereka: ‚Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‛ Niscahya mereka akan menjawab: ‚Allah....‛ (Q.S. Luqma>n [31]: 25)
Dari uraian di atas, kalimat yuh}ibbu>nahum ka h}ubbilla>hditafsirkan oleh al-Bursaw>i sebagai suatu bentuk kecintaan selayaknya kepada kekasih yang melahirkan sikap penghormatan dan kepatuhan, baik itu kepada berhala-berhala atau selainnya. Sehingga timbul penyetaraan sikap antara Allah dengan tandingan tersebut dalam hal mentaati dan menghormatinya. Meski demikian, penyamaan sikap itu tidak lantas menghilangkan pengakuan mereka atas ketuhanan Allah swt.Dari uraian tersebut, tampak bahwa sebelum masuk ke pemaknaan sufistik, al-Bursawi> memulai penjelasannya dengan menganalisa ayat dari aspek bahasa dan diakhiri dengan menyandarkan argumentasinya pada dalil syar’i, yaitu ayat ke-25 surat Luqma>n. Hal ini membuktikan konsistensi
142 Faiq Ihsan Anshori, ‚Hermeneutika Sufistik Isha>ri>.‛ Jurnal Kebudayaan dan Peradaban: Ulumul Qur’an, Vol. I, No. 11 (2012), 64.
143 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 270.
metode penafsirannya dalam menggali makna sufistik yang terkandung dari ayat ke 165 surat al-Baqarah ini.
Pada akhir penjelasannya, al-Bursawi> menerangkan bahwa ayat ke-165 surat al-Baqarah memuat indikasi tentang mah}abbah. Menurutnya, mah}abbah diambil dari kata al-h}ab seperti ungkapan h}abb al-h}int}ah (biji gandum). Biji hati diserupakan dengan biji yang sudah dikenal, karena masing-masing dari keduanya merupakan tempat tumbuh dan tempat asal bagi berbagai dampak yang menakjubkan. Al-h}ubb yang bermakna kecenderungan kalbu itu diambil dari al-h}abb yang dipinjam untuk kalbu, karena itu berada dan terus menetap dalma kalbu. Cinta hamba kepada Allah adalah dengan mentaati perintah- perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta berusaha untuk memperoleh keridhaan-Nya. Sedangkan cinta Allah kepada hamba-Nya adalah memuliakan serta manjadikannya selalu berada dalam ketaatan dan menjaganya dari kemaksiatan. Kemudian Allah menerangkan bahwa cinta kaum m u’minin kepada Allah tidak terputus, berbeda dengan cinta kaum kafir kepada berhala- berhala mereka. Cinta orang-orang yang tidak beriman untuk tujuan-tujuan tidak benar, sehingga dapat hilang karena sebab sepele. Kerap kali mereka berpindah dari tuhan-tuhan mereka kepada Allah ketika terjadi kesulitan, namun ketika mereka dalam keadaan senang, mereka menyembah berhala kembali. Jika mereka melihat berhala yang dikaguminya, berhala itu disembah
dan mereka melupakan Allah. 144 Dari penjelasan Bursawi> di atas, mah}abbah dapat dipahami sebagai
bentuk cinta seorang hamba kepada Tuhan. Kecintaan ini melahirkan ketaatan terhadap segala perintah dan menjauhi larangan-Nya serta pengharapan akan keridhaan-Nya. Cinta ini terjalin bukan hanya antara hamba dengan Tuhannya, tetapi antara Tuhan dengan hambanya. Al-Bursawi> menjelaskan bahwa bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah denganmemberikan kemuliaan kepadanya serta menjaganya dalam ketaatan.Tak lupa pula al-Bursawi> menerangkan perbedaan antara cinta kaum beriman dan kafir. Perbedaan itu terletak pada kontinuitas cinta kepada Allah. Cinta orang-orang beriman kepada Allah tidak terputus walau dalam keadaan apapun. Berbeda dengan cinta orang-orang yang tidak beriman dapat hilang karena sebab kecil. Cinta mereka sering berpindah dari tuhan-tuhan mereka kepada Allah ketika mereka dalam keadaan sulit, ketika dalam keadaan senang,mereka akan menyembah berhala kembali.
Senada dengan al- Bursawi>, Ibn ‘Arabi> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman tidak mencampur adukkan cinta mereka kepada Allah dan kepada selain-Nya, mereka mencintai sesuatu dengan mah}abbatilla>h dan hanya karena Allah dengan kemampuan yang diusahakan dari jihhah ila>hiyah (aspek ketuhanan).Kemudian Ibn ‘Arabi> mengutip perkataan para sufi: ‚al-H{aqq adalah kekasih kami, dan ciptaan-Nya adalah kekasih kami, apabila timbul benturan antar keduanya, maka al-H{aqq cinta
144 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 270.
kepada kami.‛ Maksud dari perkataan itu adalah apabila aspek ila>hiyah tidak menetap dalam diri mereka karena benturan itu, maka tidak akan menetap pula mah}abbah pada mereka. Orang mukmin mencintai Allah dengan ruh dan hati mereka, bahkan dengan Allah dan untuk Allah. Cinta mereka tidak pernah berubah hanya karena keadaan tertentu. Mereka meninggalkan seluruh kehendaknya demi kehendak Allah. Mereka mencintai af‘a>l-Nya sekalipun menyalahi kehendak hawa nafsunya. 145
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, mah}abbah akan timbul dalam diri seseorang apabila telah menetap padanya jihhah ila>hiyah atau aspek ketuhanan. Jika hal itu telah ada, maka ia akan dapat mencintai Allah dengan dengan ruh dan hati mereka, bahkan dengan Allah dan untuk Allah.Aspek ketuhanantersebut akan membuat cintanya kepada Allah tidak akan berubah dalam keadaan apapun. Selain itu, faktor itu juga akan membuat mereka mampu meninggalkan seluruh kehendaknya demi melaksanakan kehendak Allah.Mereka akan merasakan cinta yang begitu dalam, sehingga perasaan cinta itu mampu mengalahkan kehendak hawa nafsunya sendiri.
2. Ma‘rifah Kata ma‘rifahmerupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata
tasawuf. Al- Qur’an tidak menyebut kata ma‘rifahdalam bentuk mas}dar. Tetapi hanya menyebut kata-kata yang musta>q (bagian) darinya, seperti firman Allah pada surat al-Baqarah: 146; al-
An‘a>m: 20; al-Nah}l: 83. 146 Istilah ma‘rifah berasal dari kata
al- 147 ma‘rifah yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma‘rifah berarti
mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tafasawuf. 148 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifah secara etimologi berarti ilmu yang tidak
menerima keraguan. Dalam tradisi sufi, ia berarti mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Adapun menurut terminologi kaum sufi ma‘rifahberarti ilmu yang tidak mengandung keragian sedikitpun, karena yang diyakini adalah Dhat dan sifat-sifat Allah. 149
Al-Qushayri> menjelaskan bahwa ma‘rifah secara bahasa adalah ilmu. Maka, setiap ilmu adalah ma‘rifah dan setiap ma‘rifahadalah ilmu. Setiap orang yang ber- 150 ma‘rifahadalah ‘a>rif dan setiap ‘a>rif adalah ‘a>lim. Menurutnya, ma‘rifah merupakan sifat dari orang-orang yang mengenal Allah dengan nama- nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan
145 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid I, 84-85. 146 Said Aqil Siradj, Ma’rifatullah: Pandangan Agama-agama Tradisi dan Filsafat
(Jakarta: Elsas, 2003), 6-7. 147 Shiha>buddi> n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105.
H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 251. 149 Abu> H{ami>d al-Ghzali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa,
34. 150 ‘Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 344.
melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan akhlak yang tercela, kemudian ia sering berlama-lama berdiri mengetuk ‚pintu‛ Allah. Dengan hati yang istiqomah ia ber- i‘tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah. Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora nafsu dalam dirinya. Ia menjadi asing di tengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia dan terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirr (rahasia dan tersembunyi). Ia dianugerahkan rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaan-Nya. Itulah yang disebut ‘a>rif dan ah}wa>l-nya disebut dengan ma‘rifah. 151
Mustafa Zahri menerangkan bahwa ma‘rifah adalah sebuah ketetapan hati (dalam mempercayai hadir-Nya) Wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaan-Nya. 152 Pengetahuan semacam ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan
Tuhan karena sangat cintanya kepada-Nya. M a‘rifahdimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Maka tak heran jika Dhu> al-Nu>n pernah menuturkan ketika ia memperoleh ma‘rifah tentang Tuhan ia berkata bahwa ia mengenal Tuhan dengan pertolongan-Nya, sekiranya tidak karena-Nya, maka ia tak akan mengnal-Nya. Perkataan Dhu> al-Nu>n tersebut mengindikasikan bahwa ma‘rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ma‘rifahbukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Dengan kata lain, ma‘rifahadalah pemberian Tuhan kepada para sufi yang mampu menerimanya. 153
Para sufi menggambarkan ma‘rifah sebagai pengetahuan yang tidak dicapai melalui penalaran akal tetapi pemahaman yang lebih tinggi mengenai
rahasia ketuhanan. 154 Ma’rifah merupakan pengetahuan yang objeknya bukan berupa hal-hal yang bersifat z}a>hir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya
dengan mengetahui rahasianya. 155 Junayd sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel mengatakan bahwa ma‘rifahadalah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu Agung untuk dimngerti dan menyatakan bahwa Dia terlalu dahsyat untuk dilihat. 156
Mengenal Allah ( ma‘rifatulla>h) sangat bergantung dan berhubungan dengan dengan mengenal diri sendiri ( ma‘rifah al-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam bentuk keadaan secara terinci, berbagai kejadian dan msuibah. Kemudian, mengatahui bahwa hanya Dia saja Wujud
151 ‘Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 344-345. 152 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.th), 172-
173. 153 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, 171-172.
154 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, 166. 155 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
189. 156 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, 166.
Hakiki dan Pelaku Mutlak. 157 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifatulla>h memiliki arti selalu ingat kepada Allah, karena Dia telah hadir dalam hatinya dan bisa
melihat-Nya. Tanda-tandanya tampak pada kilauan cahaya hati ketika ia mulai masuk dalam lingkaran tauhid, kemudian timbul rasa kerinduan yang sangat
kuat kepada Allah. 158 Semakin tinggi tingkat kedekatan manusia dengan Allah, maka semakin tampak efek-efek keagungan-Nya. Ma‘rifah adalah masalah keterpesonaan dan keterpukauan penjelasannya tidak sempurna, tapi pengantarnya adalah ilmu. Maka, tanpa ilmu, ma‘rifah mustahil terjadi, dan ilmu tanpa
ma‘rifah adalah bencana. 159 Pengalaman-pengalaman orang-orang saleh sejak lama telah
membuktikan bahwa kesucian jiwa dan kejernihannya serta perlindungannya kepada Allah dan pendekatan kepada-Nya akan meningkatkan manusia ke alam ruhaniah, di mana jiwa itu mampu melihat alam tertinggi. Dengan demikian, akan berlimpah pada jiwa tersebut karunia-karunia dan ilham serta ma‘rifah yang tidak mungkin diperoleh orang-orang yang berjiwa materialis yang telah dilalaikan oleh dunia. 160
Al-Ghazali> membagi ma‘rifahke dalam dua bagian, yaituma‘rifahDhat dan ma‘rifah sifat-sifat Allah. Ma‘rifahDhat adalah mengetahui bahwa Allah itu ada dan Tunggal, berdiri sendiri dan tidak ada sesutupun yang menyerupai- Nya. Adapun ma‘rifahsifat adalah mengetahui bahwa Allah adalah Dhat yang Maha Hidup ( H{ayy), Maha Mengetahui ( ‘Ali>m), Maha Kuasa (Qa>dir), Maha Mendengar ( Sami>‘), Maha Melihat (Bas}i>r) dan semua sifat-sifat Allah yang lainnya. 161
Kemudian, al-Ghazali> mendeskripsikan mengenai tanda-tanda ma‘rifah, menurutnya, tanda-tandanya adalah hati seseorang telah hidup bersama Allah. Dan kedudukan ma‘rifahyang hakiki adalah adalah di mana hatinya benar-benar bisa melihat Allah dengan rahasia hati. Hal ini terjadi karena Allah telah menyingkap hijab dan memperlihatkan kepada mereka cahaya Dhat-Nya dan sifat-sifat- Nya agar mereka menjadi ‘a>rif. Tetapi Allah tidak menyibak semua hijab tersebut seluruhnya agar mereka tidak terbakar. 162
Mustafa Zahri mengungkapkan bahwa alat yang digunakan oleh kaum sufi untuk memperoleh ma‘rifahadalah sirr. Hal ini dikarenakan pada diri
157 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105. 158 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 53.
159 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 107. 160 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 446-447. 161 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34. 162 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34-35.
manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, qalb, yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, ruh, yang brfungsi untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sirr, yang berfungsi untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb selain alat untuk merasakan, ia juga sebagai alat untuk berfikir. Perbedaan qalb dan akal adalah pada pngetahuan tentang Tuhan. Jika qalb dapat memperoleh hakikat pengetahuan tentamg sesuatu, maka akal tidak bisa. Adapun sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalb. Sirr seseorang timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah jika qalb dan ruh itu telah suci dengan sesuci-sucinya, kosong tak berisi apapun. Ketika itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi, dan yang dilihat olehnya hanyalah Allah saja. Ketika itulah ia telah sampai pada
tingkat 163 ma‘rifah. Dalam literatur tasawuf, Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> (w. 860 M) dianggap
sebagai penggagas dari paham ma‘rifah. Menurutnya, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan: pertama, pengetahuan awam, yaitu Tuhan itu satu dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, pengetahuan ulama, Tuhan itu satu menurut logika akal; ketiga, pengetahuan sufi, Tuhan itu satu dengan perantaraan hati sanubari. 164
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai ma ‘rifahdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
2.1.Q.S. al-Nu>r [24]: 40:
‚Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.‛ (Q.S. al-Nu>r [24]: 40)
Menurut al-Bursawi>, kata z}uluma>t merupakan isyarat dari gambaran kelalaian amal perbuatan yang tanpa didasari oleh hadirnya hati dan keikhlasan niat di dalamnya. Hal itu disebabkan karena kecintaan mereka terhadap duniawi, riya, harta dan jabatan. Faktor-faktor itu dapat menyeret seseorang pada shirk al-khofiy (syirik yang terselubung), yaitu tabiat untuk berbuat zalim, lalai dan terlalu cinta pada dunia. Al-Bursawi> melanjutkan, untuk dapat terhindar dari sifat-sifat z}uluma>t itu, seorang hamba harus memiliki tujuan
163 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,172. 164 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 60.
sertakesungguhandalammemperbaiki h}a>l dirinya dan keluarganya untuk menghindarkan diri dari kegelapan yang tidak dapat dilihat dengan pandangan akalnya. 165
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa barangsiapa yang tidak disirami cahaya ilahiyah ( ma‘rifah), maka tidak akan ada lagi cahaya tersisa yang dapat mengeluarkannya dari kegelapan itu. Sesungguhnya cahaya akal tidak memiliki kekuatan untuk mengeluarkan seseorang dari kegelapan, karena hanya cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) saja yang mampu megeluarkannya. Sebagaimana firman Allah:
‚Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)....‛ (Q.S>. al-Baqarah
Menurut al-Bursawi>, kata yakhrujuhum pada ayat di atas menunjukkan sebuah perumpamaan yang diberikan Allah, sebagaimana perumpaan air yang
dikeluarkan dari mata air, hujan, awan. Kemudian api dikeluarkan dari batu dan besi dari gunung. Kemudian asap dikeluarkan dari api dan batang pohon yang tumbuhan di atas bumi. Kemudian buah-buahan dikeluarkan dari pepohonan sebagimana seseorang tidak akan mampu mengembalikan ciptaan Allah tersebut ke asalnya. Begitupun Iblis dan seluruh syaitan tidak akan mampu untuk memalingkan seseorang kepada kegelapan kekafiran, keraguan dan nifa>q (kemunafikan) setelah Allah mengeluarkannya dari kegelapan tersebut menuju cahaya keimanan, keyakinan dan keikhlasan karena Allah Maha memberi petunjuk. 166
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwa cahaya ilahiyah atau ma‘rifah merupakan wasilah bagi seseorang untuk dapat keluar dari z}uluma>t (kegelapan) yang digambarkan pada ayat di atas. Ma ‘rifah dibahasakan oleh al-
Bursawi> dengan nu>r ila>hi> (cahaya ilahiyah).Ini dikarenakan ma‘rifah merupakan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang melakukan muja>hadah dalam memperbaiki h}a>l-nya. Apabila seseorang sudah dianugerahkan ma‘rifah, maka ia akan mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan akalnya. Penjelasan al-Bursawi>itu didasarkan kepada surat al-Baqarah ayat ke- 257 yang menerangkan bahwa Allah yang mengeluarkan orang-orang yang beriman dari kegelapan kekafiran kepada cahaya keimanan. Artinya, seseorang tidak akan mampu keluar dari kegelapan kekufuran tanpa petunjuk dan hidayah dari Allah swt.
Jika dicermati dengan seksama, penjelasan al-Bursawi> terhadap ayat di atas tidak melulu memfokuskan penafsirannya kepada pemaknaan ba>t}in. Tetapi ia mencoba menggabungkan antara metode bi> al-isha>ri> dengan bi> al- ma’thu>r. Ini
165 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 162. 166 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 162-163.
terlihat ketika ia menyandarkan argumentasinya dalam menjelaskan cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) kepada ayat ke-125 surat al-Baqarah. Pengkombinasian kedua metode penafsiran tersebut oleh al-Bursawi> mengindikasikan bahwa ia juga mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini merupakan sesuatu yang positif, sebab jika merujuk kepada kriteria penafsiran sufistik perspektif al-Dhahabi>, penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang seringmengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qur’an, sunnah dan sumber- sumber syara’ lainnya, sehingga tidak memunculkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 167
Adapun ma‘rifah dalam tafsir Ibn ‘Arabi> dibahasakan dengan lautan ila>hiyah. 168 Lautan ini sangat luas dan sangat dalam, tempat bersemayam bagi
setiap jiwa yang ja>hil, tempat untuk menceburkan diri bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan ruhaniyah. Lautan ini dapat menghilangkan kegelapan yang saling bertindih oleh tabiat jasmani, ombak nafsu nabati, awan
nafsu kebinatangan dan segala bentuknya dari kegelapan lainnya. Ibn ‘Arabi melanjutkan, kekuatan berfikir yang logis dan teoritis tidak dapat dapat melihat kegelapan tersebut, hal itu disebabkan kebutaan pendangannya yang tidak dapat memberikan petunjuk terhadap sesuatu apa pun. Karena bagaimana seorang yang buta dapat melihat sesuatu yang hitam di malam hari yang gelap gulita?. Maka, siapapun yang tidak diberi cahaya dengan penyinaran cahaya ruh dari kekuatan al-qudsiyah dan disertai bantuan akal pikiran, ia tidak akan bisa melihat kegelapan itu. 169
P enjelasan Ibn ‘Arabi dia atas memiliki kesamaan dengan al-Bursawi>, kesamaan itu terletak pada sumber ma‘rifah. Keduanya berpendapat bahwa ma‘rifah merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya yang terpilih. Hanya saja keduanya menggunakan terminologi berbeda dalam penyebutan term ma‘rifah. Jika al-Bursawi> menyebut ma‘rifah dengan nu>r ila>hi>, maka Ibn ‘Arabi> menyebutnya dengan bah}r ila>hi>. Di luar itu, kedua mufassir sufi ini memandang bahwa kekuatan akal manusia tidak dapat melihat z}uluma>t yang dimaksdkan pada ayat di atas. Hal itu hanya dapat dilihat hanya cahaya ilahiyah yang bersumber dari kekuatan al-qudsiyah yang disertai dengan kekuatan logika akal pikiran manusia.
2. 2. Q.S. al-Zumar [39]: 22:
167 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 168 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 72. 169 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 72.
‚Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.‛ (Q.S. al-Zumar [39]: 22.)
Maksud dibukakan hatinya oleh Allah menurut al-Bursawi> adalah dibukakan dengan kelembutan ilahiyah yang dianugerahkan kepadanya dalam ber- musha>dah terhadap ayat-ayat kawniyah, tanzi>l, tawfi>q untuk memberikan petunjuk al-h}aqq bagi orang yang keras (hatinya), sempit hatinya karena firah Allah dalam dirinya digantikan dengan keburukan serta dikuasai oleh kesesatan dan z}uluma>t (kegelapan). Mereka menolak ayat-ayat Allahserta tidak menjadikan ayat-ayat itu sebagai pedoman hidup. Sebagaimana firman Allah:
‚..Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan hatinya sesak lagi sempit...‛ (Q.S. al-An‘a>m [6]: 125)
Al-Bursawi> melanjutkan, tidaklah sama antara orang yang mendapatkan cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) dengan orang yang mendapatkan z}ulmah (kegelapan), sebagaimana perbedaan antara terang dan gelap serta perbedaan antara ilmu dan kejahilan. Ketahuilah bahwa tidak ada cahaya dan kebahagaian bagi seorang muslim kecuali dengan ilmu dan ma‘rifah. Sesungguhnya setiap mu’min yang dianugerahkan ma‘rifah oleh Allah berbeda- beda derajatnya sebagaimana berbeda-beda pula tingkat ke- ma‘rifah-an mereka. 170
Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa implikasi dari ma‘rifah adalah mampu melakukan musha>dah serta memberikan petunjuk al-h}aqq kepada orang-orang yang hatinya diliputi keburukan dan dikuasai oleh kesesatan. Kemudian, tingkatan seorang mu’min yang telah dianugerahlkan ma‘rifah berbeda antara satu dengan yang lain tergantung pada kadar ke- ma‘rifah-annya. Dengan kata lain, semakin tinggi ma‘rifah seseorang, maka semakin tinggi pula derajat ke- ‘a>rif-annya. Penjelasan al-Bursawi> mengenai implikasi ma‘rifah, bukan hanya didasarkan makna isyarat yang terkandung pada ayat saja, tetapi ia perkuat juga dengan dalil syar’i yaitu ayat ke-125 surat al- An‘a>m. Jika merujuk pada kriteria validitas tafsir sufistik yang diusung oleh al-Dhahabi>, apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> ini dapat dikategorikan ke dalam model penafsiran fayd}i>. Yaitu suatu model penafsiran yang memadukan antara pemaknaan zahir dan makna batin yang terkandung dibalik ayat al- Qur’an, antara argumentasi syariat yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis dengan hakikat serta perpaduan antara dalil aqli dan naqli. Apabila dalam
170 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VIII, 95.
sebuah penafsiran sufistik mengandung unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penafsirannya itu adalah valid dan dapat diterima. 171
Selanjutnya, al-Bursawi> menjelaskan juga tentang korelasi antara iman dan ma‘rifah. Menurutnya, iman dan ma‘rifah adalah bagian dari cahaya ilahiyah, maka di antara mereka ada yang memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru arah, sebagian lagi tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya ke tempat kedua telapak kakainya saja. Iman seorang awam seperti cahaya lilin, sedangkan cahaya sebagian lainnya seperti cahaya sira>j (pelita). Iman para s}iddi>qi>n cahayanya seperti cahaya bulan dan bintang-bintang dan berbeda-beda berdasarkan tingkatannya. Adapun cahaya keimanan para nabi seperti cahaya matahari yang semakin bertambah terang yang memancarkan cahayanya ke setiap ufuk. Hal ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan cahaya lilin yang tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya di ruangan sempitsaja. Begitu juga berbeda pula tingkatan kelapangan hati seseorang mukmin
tergantung dari keluasan ma‘rifah dan pancaran luasnya alam malaku>t bagi hatinya. Sebagaimana dalam sebuah hadis: ‚Sesungguhnya pada hari kiamat akan dikatakan: keluarlah kalian yang di dalam hatinya ada sedikit keimanan walaupun hanya setengah atau seperempat dari dharroh dari api neraka ini‛. 172
Secara umum, dari apa yang telah dijelaskan al-Bursawi> di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iman dan ma‘rifah merupakan anugerah dari Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kadar keimanan dan ke- ma ‘rifah-an seseorang berbeda-berbeda. Tingkatan terendah adalah keimanan orang-orang awam yang diibaratkan al-Bursawi> dengan cahaya lilin. Pada tingkatan berikutnya adalah keimanan orang-orang s}iddi>q yang diibaratkan dengan cahaya bulan dan bintang-bintang. Dan keimanan yang paling tinggi adalah keimanan para nabi yang diibaratkan dengan cahaya matahari. Tidak berbeda dengan iman, tingkat ma ‘rifah pada diri seseorang juga berbeda-beda tergantung dari keluasan ma‘rifah dan luasnya pancaran alam malaku>t dalam hatinya.Penafsiran al- Bursawi> tersebut berbeda dengan Ibn ‘Arabi>yang mengkorelasikan iman dengan ah}wa>l fana>’ dan baqa>’. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Ibn ‘Arabi> berikut ini:
Menurut Ibn ‘Arabi>, maksud dengan orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima Islam adalah dengan cahaya-Nya yang terdapat pada h}al baqa>’ setelah fana>’, dan bersih hatinya dengan wuju>d yang dianugerahkan oleh al-H{aqq dan diluaskan dadanya dengan al-haqq dan al- khal>iq dari ketidak ketersibakkan salah satu dari keduanya, maka dia akan menyaksikan dengan jelas terhadap substansi al-wah}dah dan al-tawh}i>d. Ibn ‘Arabi> melanjutkan, Islam adalah fana>’ kepada Allah dan berserah kepada-Nya. Artinya, ia akan dibukakan hatinya dalam ke- baqa>’-an kepada Islam yang mengarahkannya pada kondisi fana>’ kepada Allah. Kemudian ia akan mendapat cahaya dari Tuhannya berupa anugerahuntuk melihat-Nya. Maka celakalah
171 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 172 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VIII, 95.
mereka bagi orang-orang yang hatinya telah membatu dari menerima dhikrulla>h untuk mempertebal kecenderungan kepada Dha>t dan yang memalingkan diri dari kesempurnaan al-Qudsiyah. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata. 173
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, Islam dikorelasikan dengan ah}wa>l fana>’ dan baqa>’. Apabila seseorang sudah melewati kedua ah}wa>l itu, maka ia
akan dianugerahkan ma‘rifah berupa cahaya al-h}aqq dan al-kha>liq yang dapat menghantarkan seseorang pada musha>hadah terhadap hakikat dari al-wah}dah dan al-tawh}i>d. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi>, hakikat dari muslimnya seseorang adalah dengan ke- baqa>’-an dirinya kepada Islam yang dapat mengantarkannya pada ke- fana>’-an kepada Allah.
3. Fana>’ dan Baqa>’ Ditinjau dari segibahasa, fana>’ berarti sirna, hancur, lebur, hilangnya
wujud sesuatu. Adapun lawan dari fana>’ adalah baqa>’ yang berarti kekal, abadi, senantiasa ada. Dalam terminologi tasawuf fana>’ dan baqa>’ senantiasa disebutkan dalam penyebutannya. Dengan kata lain, fana>’ dan baqa>’ muncul dan terjadi sekaligus. 174 Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa fana>’ adalah terbebasnya dari hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan baqa>’ selalu mengacu kepada Ilahi. Oleh karena itu keduanya lebih kepada istilah moral. 175 Ada pula yang memaknai fana>’ dengan hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana>’berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat- sifat ketuhanan. Dan dapat pula beararti hilangnya sifat-sifat yang tercela. 176
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya sifat ke- beshariyah-an, yaitu manusia pada umumnya yang cenderung kepada syahwat dan hawa nafsu. 177 Ketika seseorang sudah melewati fase fana>’, maka ia akan memasuki fase baqa>’. Adapun baqa>’menurut kaum sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Hal ini disebabkan ketika lenyapnya sifat-sifat bashariyah dalam diri seseorang, maka yang tinggal hanya adalah sifat-sifat ketuhanan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum sufi: ‚Apabila telah tampak nu>r ke- baqa>’-an, maka fana>’- lah yang lenyap dan 178 baqa>’-lah yang kekal.‛
Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 191. 174 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Jilid IV, 149. 175
Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV, 149. 176 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 199-200. 177 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), 234. 178 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 234.
Menurut al-Qushayri>, 179 istilah fana>’ digunakan untuk menunjukkan gugurnya sifat-sifat tercela yang ada dalam diri manusia. Adapun baqa>’ untuk
menandakan tetapnya sifat terpuji dalam diri manusia. Jika seorang sa>lik memfokuskan hidupnya untuk mem- fana>’-kan sifat-sifat buruknya dengan
kesungguhan riya>d}ah-nya, maka Allah akan menganugerahinya dengan perbaikan akhlak ( baqa>’). Demikian juga jika sa>lik bersungguh-sungguh menyucikan a f’a>l-nya, maka Allah akan membersihkan ah}wa<l-nya, bahkan akan menyempurnakannya.
Menurut para sufi, fana>’ memiliki tiga tingkatan, 180 yaitu: pertama, fana>’-nya seseorang dari dirinya sendiri dan sifatnya, yang kemudian
membuatnya baqa>’ dalam sifat al-H}aqq;kedua, fana>’-nya seseorang dari sifat al- H{aqq dengan menyaksikan al-Haqq itu sendiri; ketiga, fana>’-nya seseorang dari menyaksikan fana>’-nya sendiri, sehingga ia baqa>’ dalam wujud al-H{aqq.
Ketika seseorang telah mencapai tingkatan fana>’ dan baqa>’, maka akan terjadi beberapa hal dalam diri sufi. Pertama, sakar, yaitu mabuk ketuhanan, ketika seorang mencapai tingkat kecintaan yang sangat tinggi, dan Tuhan sebagai Kekasihnya. Kedua, shat}h}, yaitu ucpan kata-kata yang tidak karuan tanpa disadari oleh sufi karena ia mabuk ketuhanan. Ketiga, zawa>l al-h}ajb, yaitu tersingkapnya tabir pembatas antara sufi dan Tuhan yang dicintainya. Keempat, ghalabah al-shuhu>d, yaitu perasaan seorang sufi yang melihat hanya satu wujud, yaitu wujud Ilahi. Keadaan-keadaan inilah yang akan membuat seorang sufi
sampai pada tingkata 181 ittih}a>d. Dalam kajian tasawuf, sufi pertama yang mencetuskan istilah fana>’ dan
baqa>’ adalah Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (w. 874 M). Hal ini tergambar dari kata- katanya, ‚Aku mengetahui Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri- Nya, maka akupun hidup.‛ Kemudian ia berkata lagi, ‚Dia membuatku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Dia membuatku gila pada- Nya sehingga aku hidup. Aku berkata, ‘gila pada dikriku adalah kehancuran dan gila pada-
Mu adalah kelanjutan hidup’.‛ 182 Jika Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> hanya sampai pada tingkat ma’rifatulla>h, maka Abu> Yazi>d
al- Bust}a>mi> telah melewati tingkat itu dan mencapai fana>’ dan baqa>’ sebelum kemudian ke tahap ittih}a>d, yaitu bersatu dengan Tuhan. 183
Adapun penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat-ayat yang terkait dengan tema di atas dapat dilihat di bawah ini:
3.1. Q.S. al-Rahma>n [55]: 26-27
179 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 102-103. 180 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jilid IV, 149. 181 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jilid IV, 150. 182 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,2010),
64. 183 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 65.
‚Semua yang ada di bumi itu akan binasa.. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.‛ (Q.S. al- Rahma>n [55]: 26-27)
Sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa ayat ke-26 dari surat al- Rah}ma>n merupakan dalil bagi adanya fana>’. Dimana fana>’ dalam perspektif kaum sufi merupakan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela pada diri seseorang. 184 Akan tetapi,al-Bursawi> dalam menafsirkan ayat di atas tidak memahami demikian, ia melihat bahwa kata fa>n yang terdapat dalam ayat tersebut binasanya semua yang ada pada bumi ini termasuk didalamnya ruh manusia. Sebagaimana yang tertuang dalam penafsirannya sebagai berikut:
Huruf al- ha>’pada ayat di atas menurut al-Bursawi>merupakan kina>yah dari sesuatu yang disebutkan.S ebagaimana dalam perkataan para penyair: ‚idha> nuhiya al-safi>fi jara> ilaihi‛ bermakna segala sesuatu yang ada di muka bumi seperti hewan, manusia dan segala isinya tidak akan bisa lari dari kebinasaan. Ketika diturunkan ay at tersebut, para malaikat berkata: ‚Semua anak cucu Adam pasti akan mati.‛ Sebagimana firman-Nya: ‛Setiap yang berjiwa akan mengalami kematian.‛ 185 Mereka yakin diri mereka akan mengalami
kebinasaan, ruh mereka akan dikeluarkan dari jasadnya. Hanya ruh yang memiliki motivasi tinggi saja yang tidak akan binasa. 186
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terlihat bahwa ia menyoroti ayat itu menggunakan pendekatan bahasa.Kemudian mempertegas argumentasinya dengan menukil perkataan para penyair. Selain itu, dalam menafsirkan ayat ke-
26 dari surat al-Rah}ma>n ini, al-Bursawi> menjelaskan ayat al- Qur’an dengan ayat lainnya.Ia menyandarkan argumentasinya itu kepada ayat ke-185surat al- Imra>n.Penggunaan metode semaca ini jarang dilakukan oleh mufassir kalangan sufi lainnya.Walaupun al-Bursawi> notabennya seorang sufi, tapi ia kerap menggunakan metode tersebut, yaitu menjelaskan makna ayat al- Qur’an dengan ayat yang lain.
Tidak jauh berbeda berbeda degan penafsiran al-Bursawi>, al-Qushayri> menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa segala yang ada di muka bumi pasti akan musnah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Qushayri,>setiap yang ada di bumi dapat musnah ( fana >’), dan yang kekal hanyalah wajhullah yaitu Dhat dan sifat-sifat Allah. 187 Dari
184 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 199-200.
185 Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 185. 186 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 297. 187 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, JIlid III, 266.
penjelasan itu, serupa dengan apa yang telah dijelaskanAl-Bursawi> sebelumnya, bahwa segala sesuatu di muka bumi tidak akan bisa lari dari kebinasaan.
Senada dengan keduanya, al-Alu>si> mengatakan bahwa seluruh makhluk di bumi baik manusia, hewan dan tumbuhan akan musnah. 188 Dari penafsiran al- Alu>si>, dapat dikatakan bahwa ia dan kedua mufassir lainnyadalam memahami kata fana>, memiliki pandangan yang berbeda dengan fana>’ dalam terminologi tasawuf. Yaitu,bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela pada diri seseorang. Dengan kata lain, ketiga mufassir sufi tersebut tidak memasukkan teori tasawufnya dalam menafsirkan ayat di atas. Mereka lebih berpegang kepada pemaknaan tekstual ayat. Dimana maksud dari teks ayat di atas adalah segala sesutu yang ada di bumi akan binasa.
Berbeda dengan Ibn ‘Arabi> yang menafsirkan kata fana>’ dengan terminologi tasawufnya. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut: Menurut Ibn ‘Arabi>, semua yang berada di bawah lindungan-Ku akan sampai kepada al-H{aqq dengan ke- fana>’-an, atau semua yang ada dalam jasad manusia seperti ruh, akal, hati, jiwa, kedudukan, maqama>t dan mara>tib-nya akan sampai kepada ke-
fana>’-an. 189 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, dapat dipahami bahwa maksud dari fana ’>dalam ayat itu adalah fana>’-nya sifat-sifat
kemanusiaan dan berganti dengan sifat-sifat Ketuhanan. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh ketiga mufassir sebelumnya, bahwa fana> ’ dalam ayat tersebut adalah musnahnya segala sesutu yang ada di bumi ini kecuali Allah.
Kemudian pada ayat selanjutnya, al-Bursawi>tidak menitik beratkan pembahasannya pada kata baqa>’.Tetapi ia lebih memfokuskan bahasannya pada kata wajah yang terdapat pada ayat tersebut. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
K alımat wayabqa> wajhu Rabbika menurut al-Bursawi> adalah Dhat dan Minnah-Nya (Kemualian) dan kemulian tersebut bersumber dari wajah Allah.Wajah adalah bagian dari tubuh yang dipinjamkan dari Dhat-Nya. Karena anggota tubuh yang paling mulia adalah wajah dan kumpulan indera perasa.Wajah merupakan anggota tubuh yang digunakan untuk bersujud dan tempat untuk menyisakan bekas kehusukan ( atha>r sujud). Ketika manusia mencoba mendekatkan dan berserah diri kepada Dhat yang satu yaitu Wajah Allah dengan menghadap ke arah-arah mawjuda>t serta berharap melihat wajah- Nya maka ia dengan mudah akan mendapatinya. 190
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, telihat bahwa ia lebih memfokuskan pembahasannya pada kata wajah. Kemudian,langkah yang ditempuh al-Bursawi> dalam menafsirkan ayat di atas adalah dengan menyoroti sisi kebahasan dengan
188 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid XXVII, 108. 189 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid II, 286. 190 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298.
mengutip perkataan Sa’ad al-Mufti> di dalam kitab al-Ha>shiyah. Ini terlihat pada penjelasannya sebagai berikut:
Sa’ad al-Mufti> di dalam kitab al-Ha>shiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajah di dalam ayat tersebut adalah wajah dengan makna lain, yaitu bermakna al-qas}d (tujuan). Artinya apa yang dituju dan apa yang diniatkan dengan amalan karena Allah. Atau dalam pengertian istilah adalah suatu bentuk toleransi yang bertujuan kepada-Nya dan disandarkan li> al- baya>n,yaitu selalu menuju kepada Nya. Selain itu, wajah di sini juga dijadikan sebagai kina>yah untuk mengindikasikan kepada terbentuknya Jihhah (arah tujuan) bagi seseorang. Arah tujuan yang menghadap kepada-Nya, yang tidak kosong dari wajah-Nya. Sebagaimana setiap apa-apa yang di atasnya terdapat dua beban yang diusahakan oleh manusia dari semua perbuatan-perbuatan mereka yang akan hancur kecuali apa-apa yang dihadapkan kepada ‚jihhah‛ Allah swt. dan diniatkan karena Allah swt. 191
Dari penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa al-Bursawi> mencoba menunjukkan kepada pembaca bahwa penggunaan kata wajah jika ditinjau dari sisi kebahasaan memiliki beberapa makna, yaitu al-qas}d atau tujuan. Artinya, segala sesuatu yang dituju haruslah karena Allah. Di samping itu, wajah juga dijadikan sebagai kina>yah untuk menunjukkanJihhah atau arah tujuan bagi seseorang. Arah tujuan yang menghadap kepada-Nya, yang tidak kosong dari wajah-Nya. Jika diteliti lebih seksama, dari pemaknaan kata wajah inibila disandingkan dengan makna tekstual ayatbahwa wajah Allah yang memiliki kebesaran dan kemuliaan akan tetap kekal, tidaklah bertentangan. Karena wajah Allah yang memiliki kebesaran dan kemulian tersebut menjadi arah tujuan bagi hamba-Nya.Seperti halnya semua amal perbuatan manusia akan hancur kecuali apa-apa yang dihadapkan kepada ‚jihhah‛ Allah swt. dan diniatkan karena-Nya.
Penjelasan al-Bursawi> tentang wajah di atas, memiliki keserupaan dengan penafsiran al-Alu>si> yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan yang kekal hanyalah wajhulla>h, adalah Dhat dan sifat Allah. Wajhun disini hanyalah majaz, yang dapat diartikan dengan: 1) jihah (arah) menghadap Allah,
2) wajhullah secara hakikat, namun berbeda dengan wajhun pada makhluk lainnya. 3) Wajhun di sini juga berarti bahwa pada hari akhir nanti, seluruh makhluk hidup akan musnah dari berbagai arah, dan yang selamat hanya mereka yang mengarahkan dirinya kepada Allah.Sifat Allah ini bersifat al-Jala@l dan al- ikra@m, yang berarti bahwa –kedudukan- Allah berada di atas makhluk-makhluk- Nya, dan Allah tidak membutuhkan kepda makhluk-Nya. 192
Setelah al-Bursawi> menjelaskan tentang wajah pada ayat di atas, kemudian ia menguraikan tentang makna kalimat dhu> al-jala>li wa al-ikram. Dalam menjelaskan kalimat ini, ia mengutip sebuah hadis Nabi yang mengindikasikan tentang keagungan dan kemulian Alla swt. Tidak hanya hadis,
191 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298. 192 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid XXVII, 109.
al-Bursawi> juga mengutip sebuah riwayat mengenai kisah seseorang yang bedo’a dengan menggunakan kata jala>l dan kara>m. Hal itu terlihat pada penafsiran al-Bursawi> sebagai berikut:
Al-Bursawi> mengatakan, dhu> al-jala>li wa al-ikram adalah sifat dari wajah yang terdapat pada kalimat sebelumnya, dan ini adalah mutlak. Allah memiliki keagungan dari Dhat-Nya dan sifat-Nya. Selain itu, juga memiliki keutaman dan kesempurnaan yang merupakan bagian dari keagungan- keagungan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana dalam sabda Nabi saw.:
‚Apakah mungkin jala>l tanpakara>m (kemuliaan)‛
Menurut al-Bursawi>, hadis ini menunjukkan bahwa wajah-Nya memiliki sifat adalah sebuah keniscahyaan. Kemudian al-Bursawi> menuliskan sebuah kisah yang terjadi pada masa Nabi saw. Suatu hari seorang laki-laki berjalan dihadapan Rasulullah saw., kemudian laki-laki tersebut sholat dan berdo’a: ‚wahai yang memiliki jala>l dan kemualiaan‛, maka Nabi Saw berkata: ‚kabulkanlah doanya.‛Al-Bursawi> menambahkan, bahwa sesungguhnya do’a yang menggunakann dua kata itu akan mendapatkan ija>bah dari-Nya dan dari sifat Allah ta’ala> setelah fana>’-nya alam semesta dan baqa>>’-nya Allah swt. walaupun semuanya telah fana>’, namun kemualiaan dan kelembutan Allah,akan tetapi
baqa>’ sebagaimana disebutkan. 193 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, tampak bahwa penafsirannya tetap
berpijak pada pendekatan kebahasaan, dimana pendekatan itu tidak bertentangan dengan makna tekstual ayat. Selain itu, ia juga menyandarkan argumentasinya dengan mengutip hadis serta sebuah riwayat. Hal ini menunjukkan
bertujuan untuk mengharmonisasikan instrumen zahir dan batin, serta instrumen syariat dan hakikat. Dalam menjelaskan kata baqa>’, terlihat bahwa ia tidak terlalu memasukkan teori tasawuf mengenai baqa>’dalam penafsirannya itu. Bahkan ia lebih menekankan penafsirannya pada kata wajah seperti yang telah disinggung sebelumnya.Hal ini berbeda dengan penjelasan Ibn ‘Arabi> yang sangat kental dengan muatan teori tasawufnya, ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Setelah semua makhluk-Nya musnah, maka yang tersisa hanyalah Dhat Allah dan sifat-sifat-Nya yang Agung, luhur dan perkasa yang membuka tabir cahaya ( nu@ra@niyah) baik dalam bentuk sifat tajalli@, maupun dalam bentuk sifat lat}i@f dan rah}mah. 194
Jika diperh atikan, penafsiran Ibn ‘Arabi> sejalan dengan teori tasawuf tentang baqa>’dalam terminologi tasawuf.Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Ini disebabkan ketika sifat-sifat bashariyah dalam diri seseorang lenyap, maka yang tinggal hanyalah sifat-sifat
193 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298. 194 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid II, 286.
ketuhanan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum sufi: ‚Apabila telah tampak nu>r ke- baqa>’-an, maka fana>’-lah yang lenyap dan baqa>’-lah yang kekal.‛ 195 Tidaklah mengherankan jika al-Dhahabi> mengklasifikasikan Ibn ‘Arabi> ke dalam kelompok mufassirsufi naz}a>ri>. Hal itu disebabkan penafsirannya itu sangat kental dengan muatan teori tasawuf yang diusungnya.
4. Kashf Kata kashf jika ditinjau dari segi bahasa berasal dari akar kata ka-sha-
fa, yang berarti terbukanya sesuatu yang menutupi. Di dalam al-Qur’an, perkataan kashf dengan segala perubahannya, terbagi pada dua pengertian. Pertama, tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebagaimana yang tergambar pada Q.S. al-Qa>f [50]: 22. Kedua, hilangnya kemudharatan, kesusahan, dan kesedihan yang menimpa seseorang, seperti yang tertuang pada Q.S. al-Naml [27]: 62 dan Q.S. al-Dukha>n [44]:
12. 196 Adapun kashfdalam terminologi sufi adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian- pengertian menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifatulla>h (pengenalan kepada
Allah). 197 Kashf merupakan sasaran akhir dari pencarian kebenaran bagi mereka
yang berkeinginan untuk melerakkan keyakinan di atas kepastian. Seseorang yang telah berhasil mencapai kashf berarti ia telah memasuki kawasan hakikat- realitas, menyatu dengan kemurnian tauhid sehingga dirinya terasa tiada dan kemanusiaannya terasa telah padam dan sirna sama sekali. Kondisi psikis yang demikian disebut al-Ghaza>li> sebagai fana> fi> al-tawhi>d. Dengan demikian, fana>’ dalam pemahaman al-Ghaza>li> adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran kalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yang tinggal dalam kesadaran hanya Yang Esa. 198 Sufi yang mengalami fana>’ tidak melihat serta tidak mengetahui selain Allah. Penglihatannya langsung pada hakikat-realitas, tidak lagi melihat fenomenanya. Tetapi yang dilihat langsung
fenomenanya. 199 Sufi yang telah meraih kashf tersebut tidak melihat instrumennya,
tetapi yang dilihat langsung adalah nilainya. Artinya orang yang sedang melihat berada pada kondisi peiskis fana>’ fi> al-tawh}i>d adalah orang yang tidak melihat alam ini sebagai makhluk ciptaan Allah, tetapi yang ia lihat justru penciptanya, yaitu Allah. Apa saja dan ke mana saja ia memandang yang terlihat dan terasa
195 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 234. 196 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 197 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 198 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo:
Da>r al-Thaqa>fah li> al-Nas}r wa al- Tawzi>’, t.t), 176. 199 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 177.
adalah hakikat dari yang nampak itu, sebagai asal dari segalanya. 200 Penyingkapan yang telah berhasil diraih seorang pencari hakikat ini merupakan
buah manis dari ibadah yang dilakukan secara terus menerus dan selalu menghiasi hatinya dengan selalu mengingat Allah ( Dhikrulla>h). Penyingkapan Ilahi ini bisa terjadi secara langsung di dalam hati, tanpa bantuan visual apapun,
ketika keindahan Allah masuk ke dalam hati hamba dan pencipta-Nya. 201 Kashf sangat membantu dalam pemecahan kasus yang meragukan dan
tidak jelas; yaitu apabila ada pertentangan antara tuntunan syariat dengan apa yang harus dilakukan seseorang pada waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, Nabi saw. menganjurkan agar seorang muslim bertanya pada hatinya sendiri, dan kashf tentu sangat membantu untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut. Tetapi perlu dicatat, bahwa kashf bagi seorang wali adalah argumen bagi diri sendiri dan bukan untuk orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan ijtiha>d yang dilakukan oleh seorang mujtahid, hal tersebut merupakan argumen baginya dan bagi orang lain. 202
Dalam perkembangan tasawuf, terdapat beberapa pembagian kashf yang dilakukan oleh para sufi. Di antaranya adalah pembagian yang
mengelompokkan kashf pada dua tingkatan: kashf ‘aqli> dan kashf bas}ari>.Kashf ‘aqli> adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif terendah, Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap-atahap akhir taraqqi>- nya. ‚Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang beriman yang snggup memuat-
Ku.‛ 203
Sedangkan kashf bas}ari> adalah penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dialakukan Allah dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan manusia seorang sufi bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan ( jama>l) dan Keagungan (jala>l). Melalui makhluk-Nya, Allah bisa mengingkapkan diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu nama keindahan- Nya yang akan menimbulkan kemausiaan dan kesenangan atau lewat salah satu nama keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. 204
Adapun pandangan al-Bursawi> mengenai kashf, dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
4.1. Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 42
200 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 201 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 202 Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 116-117. 203 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 677.
204 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 677.
‚Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‚Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 42)
Peristiwa yang dialami Maryam yang melakukan komunikasi dengan malaikat pada ayat di atas, menggambarkan bahwa seorang manusia dapat melakukan interaksi nyata dengan malaikat yang notabennya makhluk gaib yang tidak kasat mata.
Al-Bursawi> menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini merupakan bentuk komunikasi nyata antara malaikat yang diutus Allah dengan Maryam. Ini terlihat dari penjelasannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>, kalimat ‚Dan (ingatlah) ketika malaikatberkata ‛ terjadi ketika malaikat Jibril berkata kepada Maryam. Sebagaimana firman- Nya:
‚Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk manusia) yang sempurna.‛(Q.S. al-Maryam [19]: 17 (
Ayat di atas menunjukkan bahwa Jibril berwujud manusia sungguhan agar Maryam merasa kenal kepadanya. Kata al- mala>’ikat dijamakkan untuk memuliakan Jibril karena dia merupakan pemimpin para malaikat. 205 Kemudian, kalimat ya> Maryam pada ayat di atas merupakan perkataan Jibril kepada Maryam, dan ini bukan merupakan wahyu baginya, karena Allah berfirman:
‚Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad) melainkan laki- laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka...‛ (Q.S. Yusuf [12]: 109)
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa para ulama sepakat tidak ada titah kenabian bagi seorang wanita. Adapun percakapan Jibril kepada Maryam adalah sebagai karamah sebagaimana karamah yang terjadi pada para wali. Atau, kalimat itu merupakan irh}a>s} (semacam mu’jizat) bagi kenabian Isa a.s.Irh}a>s} diambil dari kata al-rih}-s}u yang bermakna jajaran terendah dari sebuah tembok. irh}a>s} secara istilah ialah sesuatu yang mendahului datangnya kenabian, yang mirip dengan mu’jizat, seperti awan menaungi Rasulullah SAW, berdialog dengan batu dan tanah liat, memanah dengan tepat pada sasaran di bukit yang tertutup salju, kisah tentang pasukan gajah dan sebagainya. 206
Dari penafsiran Al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa Maryam melakukan komunikasi dengan Jibril yang berwujud manusia. Penjelasan al-
205 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32. 206 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
Bursawi> ini mengacukepada ayat ke-17 surat Maryam yang menyatakan bahwaAllah mengutus Jibril Maryam dengan menjelma dalam bentuk manusia. Pengutipan ayat al- Qur’an yang dilakukan al-Bursawi> bertujuan untuk lebih memperkuat penafsirannya. Hal ini sejalan dengan al-Dhahabi> yang mengatakan bahwa sebuah penafsiran sufistik haruslah didasari atas argumentasi syar’i yang bersumber dari al- 207 Qur’an dan Hadis.
Selanjutnya, al-Bursawi> menjelaskan bahwa percakapan yang terjadi antara Jibril dan Maryam bukan merupakanperistiwa pemberian wahyu. Karena wahyu hanya disampaikan kepada para nabi, dan tidak satu nabi pun yang berasal dari kaum perempuan. Percakapan Jibril kepada Maryam merupakan bentuk karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Jika bukan suatu karamah, maka percakapan tersebut merupakan bentuk irh}a>s}atas kenabian Isa a.s. Irh}a>s}adalah sesuatu yang tanda yang mendahului datangnya titah kenabian. Penjelasan al-Bursawi> ini didasari pada ijma’ ulama yang menyatakan bahwa tidak ada titah kenabian bagi seorang wanita. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Bursawi> didasari oleh argumentasi yang bersumber dari syariat dan rasio ini sesuai dengan al-Dhahabi> dalam validitas tafsir sufistiknya.
Selanjutnya, dialog antara Maryam dan Jibril terjadi karena Allah telah memilihnya utuk menanggung beban yang besar. Hal ini dijelaskan oleh al- Bursawi> dalam tafsirnya bahwaAllah telah memilih Maryam semenjak dahulu ketika ia diserahterimakan dari ibunya (Hannah) dengan penerimaan yang baik, sementara tidak ada perempuan selainnya yang diterima. Kemudian Allah mendidiknya di kamar Zakariya, Allah memberinya rizki dari rizki surgawi serta ia diberi karamah khusus yang tinggi. 208
Penjelasan al-Bursawi> di atas mengindikasikan mengenai tingginya kedudukan Maryam dibandingkan dengan peremupan lainnya. Atas dasar keistimewaan itulah Allah memberikan pendidikan khusus kepadanya di kamar Zakariya. Bukan hanya itu, Allah juga memberikannya rizki yang berasal dari surga yang mana ini tidak diberikan kepada wanita yang lainnya. Semua itu tidak akan terjadi jika Maryam dalam kehidupannya tidak menjaga kesuciannya dari kotornya kehidupan dunia. Sebagaimana yang dijelaskan al-Bursawi> berikut ini:
Allah swt, mensucikan Maryam dari kekafiran, kemaksiatan, perbuatan- perbuatan tercela, adat-adat yang buruk, sentuhan kaum laki-laki dan dari haidh dan nifas. Allah memilih Maryam atas seluruh wanita sedunia dengan cara menganugerahinya ‘I<sa> a.s tanpa bapak, dan hal itu tidak terjadi pada seorang wanita pun. Dan Allah menjadikan mereka berdua sebagai tanda kebesaran bagi seluruh alam. 209
Dari penjelasan al-Bursawi> tersebut, dapat dipahami bahwa Maryam adalah wanita yang senantiasa menjaga kesuciannya dari segala sesuatu yang
207 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48
209 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
diharamkan oleh Allah. Oleh karena itulah Allah mendaulatnya menjadi wanita yang paling suci serta menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki suci bernama ‘I<sa yang tidak didahului oleh perkawinan biologis dengan seorang pria.Peristiwa dialogis yang dialami Maryam dengan Jibril mengindikasikan bahwa seseorang yang bukan seorang nabi dapat melakukan interaksi dengan malaikat serta memungkinkan terbukanya pintu karamah dari alam gaib kepadanya.
Jika melihat penafsiran al-Bursawi> terkait peristiwa Maryam di atas ditinjau dari metode validitas penafsiran sufistik, tidak ditemukan pertentangan dengan pengertian teksual ayat. Ini memberikan indikasi bahwa penafsiran sufistiknya berpijak pada makna zahir ayat. Selain itu, makna yang dijelaskannya didukung oleh ayat dan argumentasi yang lain. Dialog antara Maryam dengan Jibril dapat dipahami sebagai bentuk kasha>f. Akan tetapi al- Bursawi> dalam penjelasannya tidak memaknai dialog antara keduanya dengan kashf.Ia memahami peristiwa tersebut sebagai bentuk karamah kepada Maryam
dan irh}a>s} kepada ‘I<sa> a.s. Menurut al-Qushayri>, ayat di atas menjelaskan tentang percakapan antara malaikatdan Maryam. Malaikat berkata kepada Mar yam: ‚sesungguhnya Allah telah mensucikanmu karena keutamaan dan keistimewaanmu, dan menjagamu dari sifat keji, berbuat maksiat dan kehinaan, bersentuhan dengan lawan jenis, dan meninggikanmu dari seluruh wanita-wanita lain. Adanya pengulangan lafadz is}t}afa@ dalam ayat ini berarti:1) menunjukkan keutamaan dan kemuliaan Maryam, 2) memuliakan Maryam dengan mengandung Isa tanpa seorang bapak, hal ini lah yang tidak dimiliki wanita lain selain Maryam. 210 \
Dari penafsiran al-Qushayri> di atas, dapat dipahami bahwa Maryam dianugerahkanAllah berupa keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh wanita lain selainnya. Apa yang dijelaskan al-Qushayri> tersebut sejalan dengan penafsiran al-Bursawi>yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sementara itu, Ibn ‘Arabi> dalam tafsirnya menyebut Maryam dengan jiwa yang suci yang disucikan dari syahwat, akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang buruk dan nafsu
shahwa>niyah. 211 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, tampak bahwa ia masih mengacu pada makna zahir ayat. Karena antara penafsirannya
dan makna zahir ayat dapat diharmonisasikan. Sebagaima al-Bursawi>, Ibn ‘Arabi> juga menyebut bahwa peristiwa yang dialami Maryam yang bertemu dan berdialog dengan Jibril bukan merupakan bentuk kasha>f. Tampak bahwa Ibn ‘Arabi> tidak memandang wujud komunikasi antara keduanya sebagai komunikasi verbal hakiki. Hal ini disebabkan kashf terjadi bukan dalam bentuk fisik, akan tetapi lebih bersifat spiritualitas.Karena pengalaman spiritual tidak dapat divisualisasikan, akantetapi hanya dapat dirasakan.
210 'Abd al-Kari>m al-Qushayri >, Lat}a>if al-Isha>ra>t,JIlid I, 147-148. 211 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 127.
4.2. Q.S. al- ‘Ankabu>t [29]: 69.
‚Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan,
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.‛ (Q.S. al-‘Ankabu>t [29]: 69)
Ayat di atas memberikan isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kashf.Al-Bursawi> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa muka>shafah atau musha>hadah dapat diperoleh dengan melakukan muja>hadah. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kalimat walladhi>na ja>hadu> fi>na> adalah orang-orang yang berjihad dan bermuja>hadahdengan mencurahkan seluruh kekuatannya untuk melawan musuh. Dengan kata lain, mereka bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala usaha mereka dalam menjalankan segala kewajiban dan hak yang hanya tertuju kepada-Nya. Adapun kata muja>hadah mengindikasikan jihad melawan musuh secara zahir dan batin. Jihad secara zahir adalah melawan musuh Islam di medan perang. Sedangkan jihad secara batin adalah melawan hawa nafsu dan syaitan. Sebagaimana hadis Nabi:
‚Perangilah hawa nafsu kalian sebagaimana kalian memerangi musuh kalian (di medan perang).‛
Dalam hadis lain dikatakan bahwa jihad dilakukan dengan menggunakan tangan dan lisan:
‚Perangilah musuh dari kalangan orang-orang kafir dengan tangan dan lisan kalian.‛
Hadis di atas mengandung arti bahwa segala yang membahayakan mereka dari ucapan seperti cacian dan sebaginya. Ibn ‘At}a>illah berkata: muja>hadah adalah merasa butuh kepada Allah dengan memutus segala urusankepada selain-Nya. Adapun menurut Kawa>shi>, muja>hadah adalah menundukkan pandangan, lisan dan hati dengan menggabungkan seluruh usaha tersebut agar dapat keluar dari kebiasaan buruk manusia.Jika hal itu dilakukan maka akan berakhir pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai. 212
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, ia menghubungkan kata jihad yang terdapat pada ayat ke-69 surat al- ‘Ankabu>t dengan muja>hadah. Hal ini
212 Isma> ‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497.
dikarenakan jihad menurutnya memiliki dua pengertaian, yaitu zahir dan batin. Jihad secara zahir adalah dengan berperang melawan musuh Islam di medan perang. Adapun jihad secara batin adalah ber -muja>hadahmelawan hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Hal ini didasarkan pada hadis nabi mengenai perintah untuk melawan hawa nafsu seperti memerangi musuh Islam. Hadis tersebut dikutip oleh al-Bursawi> untuk menguatkan penafsirannya. Ini menunjukkan bahwa dalam menafsirkan ayat, al-Bursawi> berpegang pada argumentasi syara’ yang bersumberdari al-Qur’an dan Hadis. Selain berpegang kepada argumentasi syara’, al-Bursawi> juga mengutip pendapat para sufi mengenai muja>hadah untuk memperkuat penafsirannya itu. Ini memeberikan bukhti bahwa selain diperkuat dengan d alil syara’, penafsirannya diperkuat pula denganargumentasi rasio yang bersumber dari pemikirannya dan para ahli.
Setelah menerangkan tentang muja>hadah, maka tahapan selanjutnya adalah sulu>k. Hal ini dijelaskan oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya sebagai berikut:
Setelah seseorang ber -muja>hadah, maka akan kami tunjukkan kepadanya jalan, yaitu hidayah sebagai wasilah yang dapat mengantarkannya
kepada segala sesuatu yang ia tuju.Adapun subul adalah jamak dari sabi>l, yaitu jalan keluar yang di dalamnya terdapat kemudahan. Kata sabi>l dijamakkan karena jalan menuju Allah disediakan untuk orang yang banyak. Sabi>l bermakna jalan suluk kepada Allah dan makna wus}u>l adalah sampai kepada sisi-Nya. Sebagaimana perkataan Ibn ‘Abba>s: kaum muhajirin dan ansar yang berjihad melawan kaum musyrikin untuk menegakkan agama Islam, maka Allah akan tunjukkankepada mereka jalan syahid, ampunan dan surga-Nya. Oleh karena itu, kalimat ‚kami akan tunjukkan kepada mereka‛ pada ayat ke-69 surat al- ‘Ankabu>t adalah Kami tunjukkan kepada hidayah, jalan kebaikan dan taufiq untuk melakukan sulu>k kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: ‚Dan orang- orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka....‛ 213 Dan dalam sebuah hadis dikatan:
‚Barangsiapa yang beramal dengan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan mewarsikan kepadanya ilmu yang tidak diketahuinya.‛ 214
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa setelah seseorang ber -muja>hadah, maka ia akan ditunjukkan oleh Allah kepada sabi>l atau jalan. Sabi>l dalam perspektif al-Bursawi> adalah sulu>k kepada Allah.Hal ini diperkuat dengan perkataan Ibn ‘Abba>s serta firman Allah surat Muh}ammad ayat ke-17. Bila diperhatikan, metode penafsiran al-Bursawi>itu seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir kalangan zahiri dengan metode bi> al-
214 Q.S. Muh}ammad [47]:17)
Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497.
ma’thu>r-nya yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat lain atau dengan riwayat yang bersumber dari Nabi dan sahabat.
Setelah seseorang ber -muja>hadah, maka ia akan ditunjukkan sulu>k kepada Allah yaitu berupa musha>hadah atau muka>shafah. Hal ini dijelaskan al-
Bursawi> dalam tafsirnya sebagai berikut:
Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan taubat, maka akan ditunjukkan jalan ikhlas. Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan menuntut ilmu, maka akan ditunjukkan jalan ‘amal.Barangsiapa yang ber- muja>hadahdengan pengabdian kepada-Nya, maka akan dibukakan pengetahuan terhadap jalan munajat\ dan musha>hadah kepada-Nya.Dan orang-orang yang menyibukkan anggota badannya (zahirnya) sesuai dengan fungsinya, maka batinnya akan sampai kepada rahasia-rahasaia lembut yang menakjubkan, yang zahirnya itu tidak mampu untuk mengetahuinya.Kadar kesungguhan seseorang akan mengantarkan iapada kemuliaan. Barangsiapa ber -muja>hadah dengan syari’ah, maka akan sampai ke surga. Barangsiapa yang ber-muja>hadah dengan
tarekat, maka akan samapai kepada petunjuk. Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan ma’rifat dan memfilter diri dari selain Allah,makaakan sampai kepada ketersingkapan pandangan dan perjumpaan dengan-Nya. Barangsiapa yang mengedepankan muja>hadah dari musha>hadah, maka muri>d-nya akan tercapaidan derajatnya lebih tinggi dari yang mendahulukan musha>hadah dari muja>hadah. Karena orang yang ber- musha>hadah tanpa ber-muja>hadah adalah seorang pecundang dan pengecut yang ingin mendapatkan kashf dengan instan yang tidak siap menghadapi keras dan gilanya sulu>k dari menjauhi larangan Allah swt. 215
Dari penafsiran al-Bursawi>, memungkinkan seseorang mendapatkan kashf jika ia telah melewati tahapan muja>hadahdengan sulu>k kepada Allah. Al- Bursawi> tidak menafikkan adanya kahsf yang tidak disertai dengan muja>hadah terlebih dahulu. Akan tetapi, kadar muja>hadah seseorang akan dapat menentukan kepada tingkatan kemuliaan yang akan didapat. Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa ayat ke-69 dari suratal- ‘Ankabu>t memberi kemungkinan bagi seseorang untuk mendapatkan kahsf.
Sejalan dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> menyatakan dalam tafsirnya bahwa orang-orang yang menghiasai zahir mereka dengan muja>hadah maka batinnya akan dihiasi dengan musha>hdah. Orang-orang yang menyibukkan zahir mereka dengan waz}a>’if, maka batinnya akan Allah sampaikan kepada rahasia- rahasaia lembut. 216
Senada dengan al-Bursawi> dan al-Qushayri>, Ibn ‘Arabi> menyatakan dalam tafsirnya bahwamereka yang ber- muja>hadah dari ahli tarikat di dalam sulu>kkepada sifat-Nya dengan menghadirkan hati, mura>qabah dan istiqamah kepada Allah dalam melaksanakan al-tajallikepada jalan menuju sifat dari Dha>t, maka akan sampai kepada hakikat Asma>’ yang ditetapkan Allah dari segi sifat
215 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497-498. 216 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid II, 463.
al-maws}u>f-Nya. Orang-orang yang menyembah Allah dalam musha>hadah-nya, sebagaimana hadis N abi: ‚beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya‛, para muhsinin ber- sulu>k dengan sifat-Nyakarena mereka menyembah Allah dengan mura>qabah dan musha>hadah. Oleh karena itu, dikatakan ‚seolah-olah
kalian melihat- Nya‛, karena penglihatan dan penyaksian pandangan tidak akan terjadi kecuali dengan 217 fana>’ kepada sifat dari Dhat itu sendiri.
Dari penjelasa n Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa seseorang bisa memperoleh kashf dengan ber-muja>hadah melakukan sulu>k kepada sifat- sifat Allah. Dengan kata lain, penglihatan dan penyaksian pandangan seseorang dapat terjadi dengan fana>’ kepada sifat-sifatAllah. Sebagaimana al-Bursawi> dan al- Qushayri>, Ibn ‘Arabi memandang bahwa ayat di atas mengandung isyarat terhadap kemungkinan seseorang dapat memperoleh kashf.
5. Ittih}a>d Kata ittih}a>d berarti satu atau menjadi satu. Dalam tasawuf, kata ittih}a>d mengacu kepada suatu bentuk pengalaman sufi yang mabuk kepayang dengan Tuhan, yaitu pengalaman bersatu atau merasa bersatu dengan Tuhan. Pengalaman itu muncul setelah seorang sufi tersebut keluar dari kesadarannya yang biasa dan berada dalam kesadaran luar biasa. Pengalaman atau perasaan
demikian itu berakhir ketika ia telah kembali kepada kesadaran biasa. 218 Menurut Harun Nasution, 219 Ittih}a>d merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai menjadi satu, sehingga salah satu dari keduanya dapat memanggil dengan kata- kata: ‚Wahai aku‛.Dalam ittih}a>d, yang dilihat hanya satu wujud, walaupun terdapat dua wujud yang berpisah antara satu dengan lainnya. Karena yang dapat merasakan hanya satu wujud, maka bisa terjadi pertukaran peran antara yang mencintai dan yang
dicintai atau antara seorang sufi dengan Tuhannya. Oleh karena itu, seringkali seorang sufi berbicara dengan nama Tuhan, karena fana>’-nya telah menghilangkan kesadaran dalam dirinya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Abu> Yazi>d al- Bust}a>mi> yang pertama kali memunculkan paham fana>’ dan baqa>’ dalam tasawuf. Dalam dirinya senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan Tuhan. Sebagaima na yang terlihat dari ucapannya. ‚Aku Bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya, ‘bagaimana cara untuk sampai kepada-Mu? Kemudian Allah menjawab ‘tinggalkanlah dirimu dan datanglah’.‛ Maka dengan fana>’ Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> meninggalkan dirinya dan pergi kepada Tuhan. Kemudian ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari
218 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid II, 129. Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), Jilid II, 610. 219
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 66.
shat}ah}a>t 220 yang diucapkannya. Ucapan-ucapan semacam ini belum pernah didengar dari sufi sebelumnya, sebagaimana dalam ucapannya: ‚Aku tidak
heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran terhadap cinta- Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.‛ Kemudian ucapannya yang lain, ‚Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku bertaubat dari ucapanku, ‘Tiada Tuhan selain Allah’, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat.‛ Kemudian dalam perkataannya yang lain, ‚pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata kepadaku: ‘Abu> Yazi>d, makhluk-Ku ingin melihatmu.’ Kemudian aku menjawab: ‘Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu menjadi kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menolaknya. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk- Mu melihatku mereka akan berkata: ‘kami telah melihat-Mu’. Tetapi yang sebenarnya mereka lihat adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak berada
di sana.‛ 221 Dari perkataan Abu> Yazi>d di atas, menunjukkan bahwa ia telah benar-
benar dekat dengan Tuhan walaupun persatuan antara dirinya dengan Tuhan belum tercapai. 222 Kemudian dalam perkataan Abu> Yazi>d yang lain, yang mengindikasikan bahwa itiih}a>d antara dirinya dengan Tuhan telah tercapai sebagaimana terlihat dalam ucapannya: ‚Tuhan berkata: ‘Wahai Abu> Yazi>d, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk- Ku.’ Kemudian aku pun menjawab: ‘Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau’.‛ Kemudian Abu> Yazi>d berkata lagi, ‚Percakapan pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata: ‘Wahai engkau.’ Aku dengan perantaraan- Nya menjawab, ‘Wahai Aku.’ Ia berkata: ‘Engkaulah yang satu.’ Aku pun menjawab: ‘Akulah yang satu’.‛ Dari percakapan tersebut, ketika Abu> Yazi>d mengatakan ‚Aku‛ bukan sebagai gambaran dari dirinya tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain, Abu> Yazi>d dengan ittih}a>d berbicara atas nama Tuhan. Oleh karena itu, ia mengucapkan kata-kata yang kelihatannya mengandung pengakuan bahwa ia adalah Tuhan. Kata-kata seperti itu bukan diucapkan olehnya sebagai kata-katanya sendiri, akan tetapi diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittih}a>d yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain, Abu> Yazi>d tidaklah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. 223 Bagi orang yang memahami dan toleran, ittih}a>d dipandang dipandang hanya sebagai ‘penyelewengan’, tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, hal tersebut dipandang sebagai sebuah kekufuran. 224
220 Shat}ah}a>t merupakan ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittih}a>d.
221 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 67-68. 222 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 68. 223 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 68. 224 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 69.
Ucapan-ucapan atau shat}ah}a>t yang keluar dari Abu yazid di atas, merupakan ucapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari relungnya, yang disertai dengan seruan. Karena itu, ucapan demikian tidak dapat dinilai menyeleweng dari ajaran Islam. Ucapan itu semata-mata timbul dari luapan rasa yang yang tidak terkendali, yaitu ketika seorang sufi sedang hanyut dalam mabuk ketuhanan. Dengan kata lain, ketika sufi itu mengucapkan kata-kata ganjil tersebut, ia sedang dalam keadaan tidak normal. Karena itu, jika dilihat dari sudut pandang hukum, ia tidak dapat dikenai sanksi karena orang yang sedang mabuk tidak dibebani 225 takli>f.
Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> berkenaan dengan ayat-ayat terkait dengan ittih}a>ddapat dilihat di bawah ini:
5.1. Q.S. Qa>f [50]: 16
‚Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kamu lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.‛ (Q.S. Qa>f [50]: 16)
Menurut al-Bursawi>, kalimat wa laqad khalaqna> al- insa>n wa na‘lama ma> tuwaswisu bihi> nafsahu> adalah sesuatu yang diperbincangkan oleh hatinya. Maksudnya, sesuatu yang muncul dari dalam hati seseorang. Waswasah berarti suara yang samar. Suarahati dapat menjadikan manusia bersikap lurus. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah sangat mengetahui kondisi manusia sebelum dan setelah proses penciptaannya, serta memasukkan rasa keraguan dalam hati manusia. Karena rasa raguadalah ciptaan Allah, dan Allah tidak sedikitpun samar dengan apa yang diciptakan-Nyadari berbagai sifat-sifat yang dapat mengganggu waktu dan hati manusia. Termasuk dalam konteks ini adalahNabi Adam. Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dan mengetahui sesuatu yang menggoda hatinya untuk memakan buah melalui proses pertemuan antara dirinya dengan syaitan. 226
Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya syaitan tidak memiliki jalan untuk menembus hati para Nabi. Oleh karena itu, syaitan hanya bisa mendatangi mereka dalam bentuk fisik saja. Kemudian al-Bursawi> menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena para Nabi termasuk di dalamnya para wali adalah orang-orang yang mampu menjaga diri mereka dari syaitan karena dilandasi ilmu Allah SWT, sehingga melalui ilmu tersebut dapat menjadikan pelindung terhadap segala
225 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 150.
226 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IX, 112.
sesuatu yang dihadapinya, dan perlindungan yang didapat para wali tersebut tidak seperti para Nabi yang dapat menyampaikan hal tersebut pada hatinya. Karena para wali tidak mendapatkan syariat sebagaimana para Nabi, yakni terlindungi hatinya karena posisi mereka sebagai pemilik syariat.Tidak ada seorangpun dari keturunan Adam kecuali dalam dirinya terdapat tujuh puluh ribu suara hati dalam sehari semalam yang tidak bertambah dan berkurang, sebagaimana bilangan para malaikat ketika mereka memasuki Ka’bah dan memakmurkannya setiap hari. Malaikat- malaikat itu menuju ke Ka’bah yang dimakmurkan, ketika tujuh puluh ribu malaikat lainnya keluar. Mereka berkumpul bersama para makhluk yang lain (yakni kumpulan suara hati) seraya berzikir dengan memohon ampunan kepada Allah sampai hari kiamat kelak. Hati malaikat senantiasa dipenuhi oleh zikir kepada Allah, setiap malaikat memiliki suara hati yang berbeda-beda tingkatannya. Setiap malaikat tersusun dari suara hati yang baik ketika memandang ilmu Allah. Meskipun malaikat senantiasa bertasbih, terkadang mereka tidak mampu mengenali apa yang
terbelesit dari hatinya. 227
Dalam ayat ini, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi dari perbuatan hati, pikiran, dan tingkah laku tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Dengan kata lain, kedekatan antara Allah dan manusia tidak ada jarak yang membatasi manusia untuk berharap kepada selain-Nya. Oleh karena itu, di akhir ayat ini ditegaskan bahwa kedekatan Allah dengan manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan semacam ini bertujuan untuk mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena Dia mempunya kekuasaan untuk mencabut urat lehernya kapanpun Ia kehendaki. Di samping itu, ayat ini menjadi pendorong bagi manusia agar selalu berbuat kebaikan, berzikir, selalu mengingat Allah dan selalu ber- taqarrab dengan-Nya.
Al-Bursawi> menafsirkan kata waswasah dengan suara yang samar. Pemaknaan ini senada dengan pengertian waswasah secara bahasa yang bermakna sebuah bisikan. Ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Bursawi> sangat memperhatikan makna zahir ayat. Sehingga hal ini selaras dengan kriteria yang diusung oleh al-Dhahabi> 228 bahwa sebuah penafsiran sufistik tidak boleh menyimpang atau keluar dari pengertian makna z}a>hir. Kemudian, dalam mengungkap makna ayat, ia juga menggunakan pendekatan kebahasaan terlebih dahulu sebelum ke pemaknaan secara isha>ri>. Dalam penafsiran sufistiknya terhadap ayat di atas, ia juga mengutip pendapat beberapa ulama untuk lebih memperkuat kembali argumentasi penafsirannya itu.
Selain itu, perhatian al-Bursawi> terhadap bahasa terlihat ketika ia menafsirkan wa nah}nu aqrabu ilaihi dengan semua yang dekat dengan manusia termasuk di dalamnya adalah urat leher. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
227 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid IX, 112-113. 228 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
Al-Bursawi> mengatakan bahwa h}abl al-wari>d merupakan sebuah perumpaaan untuk sesuatu yang sangat dekat. Sebagaimana u ngkapan ‚dia merupakan bagian dari diriku seperti gulungan sarung dan otot leher‛. Id}a>fahdalam ungkapan tersebut termasuk id}a>fah baya>niyah. Kata al-h}abl
tersebut ditujukankepada makna aslinya (makna hakikat). Adapun kata al- wari>dpada ayat ini adalah sesuatu yang didatangkan.Al-wari>d merupakan otot yang berkaitan dengan limpa dan hati. Di dalamnya terdapat jalan beredarnya
ruh. 229 Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, menmberikan indikasi bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui karena Dzat-Nya yang Maha Dekat. Penafsiran al-Bursawi>sejalan dengan al-Qushayri> yang mangatakan bahwa makna wa nah}nu aqrabu ilaihi adalah Allah mengetahui setiap kejahatan yang dibisikkan ke dalam jiwa manusia dari syahwat yang harus segera dilampiaskan. Seperti menyekutukan Allah, berbuat buruk, dengki dan lainnya yang dapat melalaikan hati dan menyia-nyiakan waktu. Dan Allah lebih dekat dari urat nadi manusia. Maksudnya adalah ilmu dan kekauasaan Allah melebihi hal itu (urat nadi). Allah Maha Mendengar dan tidaklah sulit bagi-Nya mengetahui urusan manusia. Ayat ini merupakan bentuk peringatan dari Allah kepada
manusia. 230 Selain al-Quhayri>, penafsiran al-Bursawi> juga senada dengan al-Alu>si>
yang mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia, Dia mengetahui apa yang membisikannya (dalam kejahatan) sehingga manusia terjerumus dan melakukan bisikan kejahatan itu. Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Ilmu Allah ini lebih dekat dari pada urat nadi manusia. Selain itu, ilmu Allah diluar kebiasaan ilmu manusia. Karena manusia mengetahui sesuatu setelah adanya dalil-dalil atau bukti nyata, sedangkan Allah mengetahui segala sesuatunya baik dengan adanya dalil ataupun tidak. 231
Dari penjelasan al-Bursawi> dan kedua mufassir lainnya,mereka tidak memahami ayat di atas sebagai bentuk dari ittih}a>d antara Allah dan manusia seperti yang dianut oleh kalangan sufi falsafi. Dari penjelasan ketiganya, ayat ini mengindikasikan sebuah kedekatan antara Allah dan manusia sebagaimana dekatnya leher dengan urat lehernya. Tetapi kedekatan itu bukan dalam bentuk ittih}a>d atau h}ulu<l. Jika melihat penafsiran al-Bursawi>, metode penafsiran sufistiknya tidak dipengaruhi oleh teori filsafat. Penafsirannyatersebut tetap berpegang pada pemaknaan zahir ayat. Walaupun demikian, bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik. Dalam mengemukakan makna sufistiknya ia mencoba menyesuaikan dengan rambu-rambu sufistik yang dikemukakan oleh al-Dhahabi>. Yaitu makna isha>ri> yang dikemukakan dalam
229 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IX, 113. 230 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid III, 227. 231 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma’a>ni>, Jilid XXVI, 178.
sebuah penafsiran tidak berlawanan dengan makna tekstual ayat. Sehingga antara makna zahir ayat dan batin,akan terjadi keselarasan antara keduanya.
Berbeda dengan al-Bursawi>, ayat di atas menurut Ibn ‘Arabi> mencerminkan kedekatan antara Tuhan dan manusia secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurut Ibn ‘Arabi>, wa nah}nu aqrabu ilaihi min h}abl al-wari>d adalah gambaran kedekatan secara ma’nawiyah dengan bentuk nyata yang dapat dirasakan dan dilihat oleh panca indra. Kedekatan antara wujud mutlak dengan mawju>d atau juz’un muttas}ilyang tidak ada jarak.Sesungguhnya hubungan antara partikel dengan yang lainnya mengindikasikan terhadap sebuah bagian atau dualisme tingkat tinggi dalam ittih}a>d yang hakiki dan dalam hal kesatuan dan kedetan antara Tuhan dan hamba-Nya bukanlah seperti itu. Karena identitas dan hakikat Tuhan termasuk di dalam identias dan hakikat-Nya sendiri, bukan dengan selain-Nya. Akan tetapi, wujud-Nya yang khusus dan tersendiri dengan substansi serta hakikat wujud-Nya adalah wujud itu sendiri.
Jika tanpa Dia, maka semua hilang dan kosong serta tidak ada sesuatu yang tampak. Oleh karena itu, h}abl merupakan gambaran klimaks dari suatu
kedekatan, atau hubungan dengan partikel yangpaling berhubungan dengan- Nya, melebur dengan Dhat-Nya dikarenakan oleh kesempurnaan baqa>’ seseorang. Adapun kedekatan-Nya, adalah untuk menafikan al-qarb dengan makna hubungan dan perbandingan. Sebagaimana perkatan ami>r al- mu’mini>n: ‚Dia bersama segala sesuatu.‛ Janganlah bandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya jika tidak ada sesuatu selainnya yang bisa dibandingkan. 232
Dari penafsiran Ibn ‘Arabi di atas, dapat dipahami bahwa ia menafikan keterpisahan dan kegandaan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ayat terjadi penyatuan dua zat dan tidak mungkin akan terjadi ittih}a>d kecuali terdapat dua esensi. Selain itu, dari penafsirannya tersebut terlihat bahwa ia tidak terlalu menyoroti tentang analalisis dari sisi kebahasaan, misalnya terkait penggunaan kata nah}nu pada ayat di atas, kata nah}nu tersebut secara bahasa menunjukkan makna jamak. Penggunaan kata tersebut mengindikasikan bahwa terdapat pihak lain yang dilibatkan seperti malaikat yang dilibatkan di dalamnya.
5.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 115
‚Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
232 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 263.
Maksud dari wa lilla>hi mashriqu wa al-maghrib menurut al-Bursawi> adalah kedua sisi bumi, karena tidak ada arah lagi selain itu.Selain itu, sebagaipenunjuk tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Artinya, bagi Allah- lah bumi seluruhnya. Tidak ada tempat kerajaan dan tempat pengadilan segala urusan, atau tempat khusus di bumi ini untuk beribadah selain kepada-Nya. Jika kalian dihalang-halangi untuk menziarahi Masjid al-H{ara>m atau Masjid al- Aqs}a>, sesungguhnya Aku telah menjadikan kalian bumi ini sebagai masjid. 233
Dari penjelasan al-Bursawi> mengenai mashriq dan maghrib, terlihat bahwa ia sangat berpegang pada aspek kebahasaan dalam menjelaskan isi kandungan ayat al- Qur’an. Karena dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan kedua kata tersebut adalah berkenaan dengan arah kiblat.
Kemudian al-Bursawi> memperkuat penjelasannya dengan mengutip riwayat yang menerangkan tentang asba>b nuzu>l ayat. Ayat ini diturunkan tatkala kaum Yahudi mencela penasakhan kiblat. Diriwayatkan bahwasannya Nabi saw. beserta sahabatnya di Makkah shalat menghadap Ka’bah, namun tatkala hijrah, Nabi diperintahkan oleh Allah untuk menghadap Bayt al-Maqdis supaya lebih dekat untuk dibenarkan oleh kaum Yahudi. Kemudian Nabi saw. shalat meghadap Bayt al-Maqdis selama enam belas bulan. Nabi beshasrat dan menunggu dari Rabb- nya agar Dia mengubah arah kiblat ke Ka’bah lagi, karena ia merupakan kiblat nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim a.s., ia merupakan kiblat yang paling terdahulu dibandingkan Bayt al-Maqdis dan paling menyentuh keimanaan, sebagaimana firman Allah:
‚Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, sungguh Kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai...‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)
Peristiwa itu terjadi ketika Nabi berada di Masjid bani Salamah. Ia sedang shalat zuhur, dan setelah shalat dua rakaat, turunlah firm an Allah: ‚..Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-H{ara>m..‛ 234 Maka Nabi pun mengubah
arah kiblatnya dalam shalat, oleh sebab inilah Masjid Bani Salamh disebut dengan Masjid Qiblatayn (dua kiblat). Setelah arah kiblat diubah, ingkarlah orang-orang yang ingkar, dan ini merupakan ujian dari Allah, sebagaimana firman-Ny
a: ‚..Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh pemindahan kiblat itu
233 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210. 234 Q.S. al-Baqarah [2]: 144.
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah..‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). 235
Pengutipan riwayat mengenai asba>b al-nuzu>l ayat ini dimaksudkan al- Bursawi> untuk memperkuat penafsirannya. Karena sebuah penafsiran bukan hanya bersumber dari dalil aqli saja, tetapi perlu didukung oleh dalil naqli juga. Hal ini bertujuan agar sebuah penafsiran sufistik tidak kontradikstif dengan argumen syara’.
Penjelasan al-Bursawi> mengenai kata al-mashriq dan al-maghrib berbeda dengan penafsiran Qushayri> yang memaknai al-mashri>q dan al-maghri>b sebagai dua posisi (kutub) dalam hati manusia, yaitu mashriq dan maghrib. Al- Qushayri> mengatakan bahwa hati manusia memiliki dua sisi, yaitu shawa@riqdan t}awa@riq. Sisi t}awa@riq-nya adalah dorongan terhadap nafsu dan kesesatan. Sedangkan sisi shawa@riq-nya adalah dorongan kepada ilmu pengetahuan dan cahaya ma‘a@rif. Ketika sisi t}awa@riq mendominasi hati, maka shawa@riq menjadi pudar seperti bintang yang menjadi pudar ketika munculnya matahari. Begitu
juga ketika kebenaran nampak, maka tidak butuh lagi penjelasan atasnya. 236 Adapun al-mashriq dan al-maghrib menurut al-Alusi> adalah perumpaan
dari ‘a>lam al-nu>r dan al-z}uhu>r,yaitu syurga dan kiblat bagi kaum Nasrani. Adapun al-maghrib adalah ‘a>lam al-asra@r dan al-khafa@’, yaitu syurga dan kiblat bagi kaum Yahudi. Menurut al-Alusi>, al-mashriq juga dapat dipahami sebagai perumpaan dari munculnya Allah dalam hati seorang hamba dengan cara zahir dan anwa@r-Nya. sehingga akan ber-tajalli> padanya sifat-sifat Allah. Adapun al- maghrib adalah perumpamaan tersembunyinyasifat-sifat Allah dalam keadaan baqa@’ setelah fana@’. Allah memiliki dua sifat ini, maka kemanapun seseorang mengarah baik secara zahir maupun batin pasti mengarah kepada-Nya, dengan ber-
tah}}alli> dengan sifat-sifat yang tajalli@ sesuai dengan kehendak-Nya. 237 Penjelasan al-Alu>si> tersebut lebih menekankan kepada maqama>t dalam tasawuf.
Tidak berbeda dengan al- Alusi>, Ibn ‘Arabi> memaknai al-mashriq dengan alam nu@r dan dhuhu@r yaitu syurga bagi Nasrani dan kiblat mereka yang hakikatnya adalah bat}in-nya. Adapun al-maghrib dimaknai Ibn ‘Arabi> dengan alam kegelapan, yaitu syurga bagi yahudi dan kabilahnya yang hakikatnya adalah zahirnya. 238
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi menurut al-Bursawi> adalah pada tempat manapun kalian menghadapkan wajah selama itu ke arah kiblat, maka di situlah jihat Allah yang diperintahkan dan diridhai sebagai kiblat. diperbolehkannya menghadap tidak hanya dikhusukan kepada suatu tempat bukan ke tempat lainnya, maka di situlah ada Dhat Allah. Artinya,
Kemudian, kalimat
235 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 211-212. 236 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 63. 237 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid I, 365. 238 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 71.
pada tempat mana saja kalian menghadap, maka Allah berada di sana. Sehingga kalian dapat mencapai kepada-Nya. Karena Dia bukanlah Jawhar (elemen) dan bukan juga ‘aru>d}, dan keberadaannya menyita segala sisi. Al- Bursawi> melanjutkan, ketika manusia tidak dapat menghadap kepada tempat yang dimaksudkan, maka ilmu Allah meliputi setiap tempat dan sisi, yakni Allah mengetahui semua kejadian di setiap tempat dan sisi. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang dikerjakan pada tempat itu dan kalian diganjar atas perbuatan tesrsebut. 239
Dari penjelasan al-Bursawi> tersebut, tampak bahwa penafsirannya masih berpijak pada rambu-rambu kebahasaan. Karena pada dasarnya ayat di atas berbicara mengenai permasalahan kiblat. Untuk lebih mempertegas penafasiranyanya, al-Bursawi> mengutip sebuah hadis Nabi, ‚Jika kalian meluncur ke bumi terbawah dengan tambang, niscahya kalian akan turun kepada Allah.‛ Makna hadis ini menurutnya bahwa ilmu Allah terbebas dari keterbatasan pada suatu tempat, karena Dia telah berada sebelum menciptakan tempat tersebut. 240
Penjelasan al-Bursawi> tidak cukup hanya dengan menggunakan argumentasi yang bersumber dari pemahaman rasio serta dalil syara’ saja, ia juga memaknai kalimat
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi dengan pemaknaan secara sufistik dengan mengutip perkataan para ahli ta’wil yang berkata bahwa‚ Kemanapun kalian menghadap.‛Yaitu ke arah manapun kalian menghadap dari zahir dan batin, ‚Di situlah wajah Allah.‛ Yaitu Dhat Allah yang diperjelas oleh sifat-sifat-Nya yang indah dan agung. Setelah hati seseorang terang dengan sifat keindahan-Nya ketika ia ber- musha>hadah dan fana>’, dan kedekatan dalam hati dengan-Nya karena hijab tersingkap oleh keagungan-Nya ketika ia berada dalam kondisi setelah fana>’ –ketika dalam kondisi demikian- ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah-Nya tidak ada yang lain kecuali Dia sendiri.Penyaksian al-H{aqq dengan makhluk dan penyaksian makhluk dengan al-H{aqq tanpa terhijab dengan salah satu dari keduanya dan dari yang lain, itu merupakan maqam tertinggi, lebih tinggi dari makam baqa>’. Ketinggian itu dapat dicapai dengan tajalli>-nya pandangan mata setelah jelas menurut pandangan ilmu. 241
Orang-orang yang merasa berat dengan perubahan kiblat adalah termasuk ke dalam dua golongan yang terhijab oleh makhluk dari al-H{aqq. Golongan pertama telah mengetahui bahwa perubahan Ka’bah ke Bayt al- Maqdis itu merupakan peningkatan dari maqam muka>shafah, maqam hati ke maqam musha>hadah, dan maqam ruh. Perubahan kiblat bukan merupakan
239 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210. 240 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210.
241 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210-211.
perubahan dari yang mulanya dekat kepada yang jauh, atau dari turun ke naik. Perubahan kiblat ini merupakan gambaran dari kembali ke maqam hati ketika mampu mencapai maqam da’wah dan musha>hadah atas segala hal dengan mata hati yang terperinci. Sehingga seseorang tidak lagi terhijab dengan satu untuk melihat sesuatu yang banyak, dan tidak pula oleh yang banyak dari yang satu.
Adapun golongan kedua menurut al-Bursawi> adalah yang terikat oleh sosok peribadahan. Mereka tidak mengetahui hikmah perubahan kiblat. Mereka mengira bahwa sahnya ibadah dengan menghadap Ka’bah yang kedua bukan yang pertama. Amat beratlah bagi mereka atas tersia-sianya amalan yang telah mereka lakukan (menurut sangkaan mereka). 242 Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa al-Bursawi> tidak menolak kashf. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang telah dianugerahi kebajikan oleh Allah, tidak terhijab oleh apapun. Mereka akan sampai kepada tauhid hakiki yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi menurut al- Qushayri> adalah sebuah kesaksian panca indera dan pengetahuan, serta tidak ada kekuasaan bagi akal dan ilmu, begitupula cahaya ‘irfa@n. Sifat al-wuju>d (al- tawa@h}id bida@yah, al-wuju@d niha@yah, al-wajdu di antara al-bida@yah dan al- niha@yah) inilah yang menunjukkan ke- baqa@’-an bashariyah, karena apabila mas}u@f-nya hilang ( fana@’) maka bagaimana dengan sifatnya yang bersifat baqa’. Oleh karenanya sifah dan maus}uf-nya harus ada. 243
Adapun kalimat
Dari penafsiran al-Qushayri>tersebut, terlihat bahwa dalam menafsirkan ayat di atas sangat kental dengan muatan teori tasawuf. Ini berbeda dengan penjelasan Al-Bursawi> yang mencoba mengharmonisasikan pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in.
Pemaknaan serupa juga dilaku kan oleh Ibn ‘Arabi>, ia memaknai kalimat
fa ainama> tuwallu> fathamma wajhulla>h dengan kemanapun seseorang mengarahkan wajahnya baik secara z}a@hir dan ba@t}in, maka akan menghadap Dhat Allah yang ber- tajalli> di setiap keindahannya baik pada pandangan zahir maupun batin. Adapun yang dimaksuf innallaha wa@ si’un adalah seluruh wujud mencakup seluruh arah.Termasuk di dalamnya segala ilmu dan 244 ma‘luma@t.
Penafsiran yang dipaparkan al-Bursawi> tentang kata al-mashriq dan al- maghrib di atas, jika dibandingkan dengan ketiga penafsiran lainnya tidak memiliki kesamaan. Karena ia memaknai kedua kata tersebut berkenaan dengan konteks kiblat. Ia juga tidak masuk terlalu dalam kepada pemaknaan batin yang kental akan teori-teori tasawuf. Selain itu, dalam menafsirkan kedua kata tersebut, ia mencoba memperkuat penafsirannya dengan tetap berpijak kepada
242 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 212. 243 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 63. 244 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 71.
dali-d alil yang bersumber dari syara’.Dimana hal ini tidak dilakukan oleh ketiga mufassir yang lainnya. Adapun penjelasan al-Bursawi> mengenai kalimat fa aynama> tuwallu> fathamma wajhulla>h pada ayat di atas, memiliki kesamaan
dengan ketiga mufassir lainnya, hanya saja al-Bursawi> dalam menafsirkan kalimat itu masih berpegang pada argumentasi yang bersumber dari syara’. JIka ditinjau dari terori yang diusung al-Dhahabi> dalam mengukur validitas penafsiran sufistik, pemaknaan yang dilakukan al-Bursawi> tidak bertentangan dengan makna zahir ayat. Sebab sebelum beranjak kepada pemaknaan ayat secara ishari>, ia memulai terlebih dahulu dengan pemaknaan secara bahasa. Selain itu, penafsirannya tersebut tidak berlawanan dengan argumentasi y ang bersumber dari dalil syara’. Karena dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> masih berpegang pada kedua hal tersebut. Di samping itu, penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat di atas tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>-nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat ini. Dengan demikian, dapat diidentifikasikan bahwa penafsiran al-Bursawi> di atas bisa dikatakan valid atau dapat diterima jika ditinjau dari teori yang diungkapkan oleh al-Dhahabi> mengenai validitas penafsiran sufistik.
Secara umum, setelah dilakukan uji validasi terhadap penafsiran al- Bursawi> pada tema-tema yang telah dipaparkan di atas meliputi shalat, puasa, haji, zikir, fana>’ dan baqa>’, kashf danittih}a>d dengan menggunakan empat kriteria tafsir sufistik al-Dhahabi> yaitu:1) tidak bertentangan dengan makna zahir ayat, 2)tidak bertentangan dengan syariat dan akal sehat, 3) didukung argumentasi rasional dan dalil syar’i, 4) tidak mengkalaim bahwa tafsir sufistiknya adalah yang dimaksudkan oleh ayat, maka kecenderungan penafsiran al-Bursawi> tersebut layak dikategorikan ke dalam corak tafsir sufi isha>ri>. Secara lebih rinci, uji validasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Validitas Penafsiran Sufistik al-Dhahabi>
No
Tema Penafsiran
Tidak bertentangan
Didukung
Tidak bertentangan Tidak ada
dengan makna zahir
argumentasi rasional
dengan syariatdan klaim
ayat
dan dalil syar’i
akal sehat kebenaran
1. Shalat
a. Q.S. al-Baqarah: 238.
b. Q.S. al-Nisa>’: 103
c. Q.S. al- Nisa>’: 162
2. Puasa
a. Q.S. al-Baqarah: 183
b. Q.S. al-Baqarah: 184
c. Q.S. al-Baqarah: 185
3. Haji
a. Q.S. al-Baqarah: 196
b. Q.S. al-Baqarah: 197
c. Q.S. A<li Imran: 97
4. Zikir
b. Q.S. Ali ‘Imra>n: 191
a. Q.S. al-Baqarah: 152
c. Q.S. al- Ra‘d: 28
5. Fana>’ dan Baqa>’
Bab IV ini membahas instrument-instrumen dari framework tafsir sufistik yang digunakan oleh Isma> ‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> dalam tafsirnya. Instrumen-instrumen dari framework tafsir Ru>h} al-Baya>nini tidak berdiri sendiri, tetapi masing-masing instrumen tersebut terintegrasi antar satu dan yang lain. Sebagai contoh adanya instrumen hakikat tidak dapat terlepas dari instrumen syariat, karena syariat berfungsi untuk mengontrol hakikat agar sebuah penafsiran sufistik dapat terhindar dari pemaknaan yang menyimpang jauh dari koridor-koridor syariat. Begitu juga perhatian instrumen bahasa dalam penafsiran sufistik mempunyai posisi yang penting untuk menjaga dari penakwilan yang terlalu jauh dari teks al- Qur’an, hal inilah yang menjadi pembeda antara tafsir sufistik ishari>dengan tafsir sufistik model naz}ari> yang tidak memperhatikan aspek bahasa. Karena itu, karakteristik tafsir sufi ishari>adalah menyelaraskan antara z}a>hir dan ba>t}in 1
dalam menafsirkan ayat al- Qur’an. Framework tafsir Ru>h} al-Baya>n dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
instrumen eksoterik dan instrumen esoterik. Instrumen eksoterik didahulukan karena Isma’i>l H{aqqi>al-Bursawi> berangkat dari dimensi pertama yaitu instrumen ekstorik dengan seluruh instrumen-instrumennya untuk kemudian menuju pada dimensi kedua yaitu instrumen esoterik dengan seluruh instrumen- instrumen di dalamnya. Hal ini lazim dilakukan pula oleh para mufasir sufi ishari> lainnya, karena mufasir ishari> berusaha mengharmonisasikan antara pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in dalam mengungkap makna yang terkandung di balik teks al- Qur’an. Sebagaimana para mufassir z}a>hiri> mempunyai instrumen dalam penafsirannya, begitu juga para sufi memiliki metode tersendiri yang khas melalui pengalaman keruhanian yang mereka miliki dalam menyibak makna al- Qu r’an. Para sufi lebih mengorientasikan kepada nilai-nilai moral, etika, akhlak, maqama>t dan derajat di hadapan Tuhan.
Berikut ini akan dijelaskan perangkat atau instrumen yang digunakan Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi> dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. Hal ini bertujuan untuk mengetahui framework penafsiran al-Bursawi> sebelum melangkah kepada pengkategorisasian corak penafsiran sufistikserta validitas penafsirannya. Adapun instrumen-instrumen yang digunakan al-Bursawi> dalam tafsirnya adalah sebagai berikut:
A. Instrumen Eksoterik
1. Bahasa Salah satu instrumenyang digunakan oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya
adalah instrumen bahasa. Instrumen bahasadigunakan untuk menjelaskan
1 Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) Jilid II, 261.
makna-makna al- Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. Dalam khazanah tafsir, sebuah penafsiran yang memfokuskan kajiannyapada aspek
tafsi>ral-lughawi>.Tafsi>r al- lughawi>inimemfokuskan kajiannya pada penjelasan makna yang terkandung pada ayat al- Qur’an melalui interpretasi semiotik dan semantik yang meliputi
etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal. 2 Dengan demikian, tafsi>r al-lughawi>merupakan penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan ayat-ayat
al-Q ur’an lebih banyak difokuskan pada bidang bahasa, baik dari seginah}wu, s{araf, bala>ghah ( ma’a>ni>,baya>n dan badi>’) dan pendekatan ilmu bahasa
lainnya. 3 Dengan kata lain, seorang mufassir untuk mengkaji dan menafsirkan al- Qur’an perlu mengetahui dan memahami ilmu-ilmu yang terkait dengan kebahasaan tersebut, karena al- Qur’an memiliki bahasa yang indah, sastra yang tinggi serta makna yang dalam.
Dalam hal ini, jika menilik pada tafsir Ru>h} al-Baya>n,ketika hendak menafsirkan ayat al- Qur’an, al-Bursawi>terlebih dahulu menjelasan makna ayat tersebut dari aspek kebahasaan sebelum kemudian menerangkan secara global makna yang terkandung dari ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika al- Bursawi> menafsirkan Surat al-Fa>tih}ah [1] ayat 6:
‚Tunjukilah kami jalan yang lurus.‛ (Q.S. Al-Fatihah [1]: 6).
Ketika menafsirkan kata ihdina>,al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata itu dijadikan muta’addi> (transitif) dengan lam atau ila>, maka kata tersebut dikonotasikan dengan ikhta>ra sebagaimana yang terdapat pada Q.S. Al-A’raf [7]: 155.
‚Dan Musa memilih kaumnya..‛ (Q.S. Al-A’raf [7]: 155).
Al-Bursawi> melanjutkan, adapun yang dimaksud dengan al-s}ira>t} al- mustaqi>m adalah isti’a>rah dari Millat al-Isla>m dan al-Di>n al-H{aqq sebagai tashbi>h (pengumpamaan) terhadap jalan yang dituju dengan niat, atau tempat
penghadapan ruhani dengan tempat penghadapan jasmani. 4 Contoh lain dari penggunaan bahasa oleh al-Bursawi> sebagai salah satu
instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayatke-3 dari surat al- Baqarah [1]:
3 Syafrijal, ‚Tafsir Lughawi‛ Jurnal Al- Ta’lim Vol. 1, No. 5 (2013), 422. 4 Syafrijal, ‚Tafsir Lughawi‛ Jurnal Al- Ta’lim Vol. 1, No. 5 (2013), 422. Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah
‘Uthma>niyah, 1928). Jilid I, 20-21.
‚Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib..‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3).
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata al-ghaybyang terdapat dalam ayat di atas didahului dengan kata sambung bi yang mengandung makna pengakuan. Terkadang kata itu berarti kepercayaan penuh, dan orang yang percaya kepada sesuatu dalam hatinya akan memiliki rasa aman dan tentram.Al-Bursawi> melanjutkan, kata al-ghayb memiliki makna yang sangat luas. Ghayb berarti sulit diketahui keberadaannya oleh pancaindera dan rasio. Pancaindera dan rasio tidak dapat menemukan secara tiba-tiba. Al-Bursawi> membagi ghayb kedalam dua bagian. Pertama, ghayb yang tidak mempunyai dalil atau indikasi, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Surat al- An’am [6] ayat 59:‚Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib..‛ Kedua, ghayb yang mempunyai dalil, seperti adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, kenabian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Hukum, syariat dan hari akhir dengan segala tahapan- tahapnnya. Dari dua bagian tersebut, menurut al-Bursawi>, pengertian kedua inilah yang dimaksud oleh ayat diatas.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penjelasannya tentang orang-orang yang beriman. Menurutnya, orang yang beriman akan tetap beriman sekalipun di saat tidak ada orang yang melihatnya, berbeda dengan orang munafik yang hanya berimaan ketika ada orang lain melihat mereka. Sebagaimana yang digambarkan pada Surat al-Baqarah [2] ayat 14:
‚Apabila mereka berjumapa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: ‚kami telah beriman.‛ Dan apabila mereka kembali kepada golongan mereka, mereka mengatakan: ‚Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian..." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 14)
Dalam penjelasannya, al-Bursawi> mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan beriman kepada al-ghayb adalah beriman dengan kalbu, karena kalbu itu tertutup. Jadi maksud ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dengan kalbu mereka. Tidak seperti orang-orang munafik yang berlawanan antara yang ada di mulut dan kalbu mereka. Dalam pengertian di
atas, huruf 5 bi menunjukan alat. Pada ayat yang sama, al-Bursawi> menjelaskan kata razaqna>hum secara
etimologis berarti pemberian. Menurut kebiasaan, rizki diartikan sebagai segala yang dimanfaatkan oleh makhluk. Adapun menurut ahli sunnah, rizki terbagi kedalam dua bagian, yaitu rizki yang halal dan yang haram. Pada ayat di atas, rizki yang dimaksud adalah rizki yang halal, karena menunjukkan kedudukan yang terpuji.Al-Bursawi> melanjutkan, bentuk jamak digunakan pada kata razaqna>, menunjukkan pembicaranya adalah Allah yang satu, sebagai Penguasa yang Maha Kuasa, sekalipun hanya Satu. Yang biasa dipakai dalam perkataan
5 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 32.
raja ada empat macam; dengan bentuk tunggalseperti fa’altu kadha>, dengan bentuk jamak fa’alna kadha>, dengan tidak disebutkan pelakunya seperti rasamna lakum kadha>, dan dengan meng-id}a>fah-kan fi’il kepada raja dengan tujuan menyamarkan seperti
amarakum sult}a>nukum bikadha>. 6 Kemudian al-Bursawi> menjelaskan mengenai keutamaan penggunaan
bahasa Arab sebagai bahasa al- Qur’an, hal ini terlihat dari kandungan seluruh aspek kebahasaan dalam memberitakan Dhat Allah. Sebagaimana yang tertuang dalam Surat al-Mudathir [74] ayat 11: ‚Biarkanlah aku bertindak terhadap orang yang-orang yang Aku telah ciptakan sendirian.‛Ayat ini mengemukakan dalam bentuk tunggal.Dan contoh firman Allah dalam bentuk jamak ialah: ‚Sesungguhnya Kami telah menurnunkan al- Qur’an pada malam Lailatul
Qadar.‛ 7 Sedangkan contoh ayat yang tidak disebutkan fa’il-nya (pelakunya atau pemberih perintahnya) ialah:‚..Diwajibkan atas kalian untuk berpuasa..‛ 8 Pada
ayat tersebut, yang mewajibkan s}aum adalah Allah, walaupun tidak disebutkan pemberi perintah dalam ayat itu. Adapun contoh ayat yang bertujuan untuk menyamarkan ialah:‚Allah-lah yang menciptakan kalian..‛ 9
Fa’il dari kata khalaqakum (menciptakan kalian) pada ayat tersebut tidak terlihat atau
tersembunyi ( mustatir). Menurut al-Bursawi>, penggunaan katatunggal pada ayat al- Qur’an biasanya berbicara tentang Dhat Allah, sedangkan penggunaan kata jamak, berkaitan dengan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Banyaknya nama dan sifat, tidak akan menghilangkan keesaan Allah, sebab setiap sifat dan
namakembali kepada Allah. 10
Penjelasan al-Bursawi> yang menekankan pada aspek kebahasaan dapat dilihat juga ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke-7:
‚Allah telah mengunci kalbu dan penglihatan mereka..‛ (Q.S. Al- Baqarah [2]: 7)
Al-Bursawi> memaparkan maksud kalimat wa ‘ala> sam’ihim pada ayat di atas bahwa Allah telah mengunci pendengaran mereka karena telinga yang mereka miliki tidak digunakan untuk mendengarkan firman Allah, tidak menyimak kebaikan, tidak memperhatikannya dan tidak menerimanya. Seolah- olah telinga tersebut ditutup rapat, disebabkan pilihan mereka yang suka pada
keburukan dan kebatilan. 11
Menurut al-Bursawi>, pendengaran adalah kemampuan mendengar yang dibebankan kepada telinga sebagai anggota badan. Anggota badan inilah yang
6 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 38. 7 Q.S. Al-Qadar [97]: 1. 8 Q.S. Al-Baqarah [2]: 183.
9 Q.S. Al-Ru>n [30]: 40. 10 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 38. 11 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 48.
dimaksud di sini, sebab telinga amat pantas untuk dikunci. Pada ayat ini, kata al- sam’u di-mufrad-kan karena beberapa alasan: Pertama, kata al-sam’u tidak boleh dijamakkan. Apabila ada orang yang bertanya mengapa kata bas}ar dijamakkan menjadi abs}a>r padahal kata sebelumnya ( sama’) adalah mufrad? Hal
ini dikarenakan bas}ar adalah nama untuk mata, dan hal tersebut adalah konkrit, sedangkan pendengaran bukan benda konkrit, akan tetapi hanya sebatas kemampuan. Kedua, kata sam’a mengandung maksud tempat pendengaran dan indranya. Seperti dalam firman Allah: 12 wa as‘al al-qaryah yakni tanyakanlah kepada penduduk kampung. Maksud tersembunyi tersebut menunjukkan bahwa kata sam’a merupakan kata kerja yang tidak dapat diikuti oleh kata kerja lagi. Ketiga, yang dimaksud dengan kata sam’a adalah pendengaran orang-orang kafir yang bukan hanya satu orang. Karena itu tidak perlu lagi disebut telinga- telinga, seperti ketika seseorang menyuruh dengan perintah ‚makanlah, untuk mengisi perutmu!‛ pada ungkapan tersebut tidak perlu lagi disebut perut- perutmu, lantaran satu perut tidak dapat dipakai bersama-sama. Keempat, kata sam’a merupakan pertengahan di antara dua jamak meskipun lafaznya mufrad. Sebagaimana dalam firman Allah: Yukhrijuhum min al-z}uluma>t ila> al-nu>r. Pemakaian kata al-z}uluma>t (jamak) menunjukkan bahwa kata al-nu>r juga jamak ( 13 anwa>r).
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa al-Bursawi>dalam menafsirkan al- Qur’an masih memperhatikan aspek kebahasaan. Hal ini sangat penting, karena pada praktiknya para sufi dalam menafsirkan ayat lebih menekankan pemaknaan ba>t}in. Sehingga dikhawatirkan para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al- Qur’an, bahkan mungkin tidak mengindahkan makna z}a>hirsama sekali. Penafsiran sufistik tidak boleh menyimpang dari makna z}a>hir ayat al- Qur’an,Sebab jika penggunaan takwil dalam sebuah tafsir sufistik terlalu jauh dari prinsip-prinsip bahasa, maka dapat menyeret orang kepada kesesatan. Sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip bahasa maka akan menambah kemukjizatan al- Qur’an.
2. Syariat Setelah instumen bahasa, Instrumen eksoterik lainnya yang digunakan
oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya adalah instrumen syariat. Syariat di sini ialah peraturan-peraturan atau dalil-dalil yang bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana yang digambarkan al- Qur’an menyebutkanSuratal-Maidah [5]: 48:
‚Dan Kami telah turunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab- kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
12 Q.S. Yusuf [12]: 82. 13 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 48.
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian- Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu‛ (Q.S. Al-Maidah [5]: 48).
Dalam ranah syariat, apabila seseorang mengerjakan shalat sesudah wudhu dan diikuti dengan melaksanakan rukun-rukunnya, maka orang tersebut
oleh syariat sudah dianggap sempurna shalatnya. 14 Peraturan-peraturan yang telah diatur oleh syariat seperti yang telah disebutkan di atas didasarkan pada
al- Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Di mana tujuan utama syariat itu sendiri adalah membangun kehidupan manusia yang berasaskan amar ma’ruf nahi munkar. 15
Lain halnya dengan kaum sufi yang memandang syariat sebagai tingkatan awal dalam perjalanan mereka menuju Tuhan. Dalam khazanah
tasawuf, syariat hanya sebatas peraturan-peraturan belaka, 16 sedangkan tarekat adalah perbuatan untuk melaksanakan syariat tersebut. Apabila syariat dan
tarekat sudah dikuasai maka lahirlah hakikat yang merupakan bentuk lain dari pebaikan keadaan dan ah}wa>l. Adapun tujuan akhirnya ialah makrifat, yaitu mengenal Tuhan yang sebenar-benarnya dan mencintai-Nya dengan sebaik-
sebaiknya. 17 Dengan kata lain, syariat merupakan pengenalan terhadap jenis perintah dan hakikat ialah pengenalan terhadap pemberi perintah. Al-Bursawi> mengibaratkan syariat sebagai air yang menjadi sebab kesuburan. Agama disyariatkan oleh Allah dan diciptakan-Nya, seperti shaum, shalat, haji, perkawinan dan lain sebagainya. Syariat merupakan jalan yang dapat menyampaikan pada kehidupan abadi. Sama halnya dengan air yang
merupakan sebab untuk kehidupan yang fana. 18 Al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menjadikan syariat sebagai salah satu instrumen penafsirannya untuk
14 Mustafa Zahri, 15 Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), 84-85. Mustafa Zahri, 16 Pandangan lain yang juga banyak dianut oleh kalangan sufi bahwa syariat Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 85.
sesungguhnya merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiri. Ia sangat berkaitan ereat dengan sturktur lahiri kehidupan agamis seseorang, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batini. Kenyataan iman dan kehidupan agamis terletak di luar jangkauan syariat, dan hanya dapat diketahui melalui jalan sufi. Dengan kata lain, syariat adalah sosok tanpa kenyataan. Namun demikian, sebagian besar sufi tetap mematuhi rambu-rambu syariat, mereka menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan dan mengerjakan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu mungkin saja mereka terlepas dari syariat. Lihat Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), 110-111.
17 Mustafa Zahri, 18 Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 85.
Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 399-400.
dapat menyibak makna yang terkadung pada ayat al- Qur’an. Hal ini dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah [2] ayat 43:
‚Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukulah kalian beserta orang-orang yang ruku.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43)
Al-Bursawi> memaknai warka’u> ma’a al-ra>ki’i>n sebagai perintah untuk tunduk bersama orang-orang yang tunduk. Hal ini disebabkan keutamaan shalat berjamaah yang lebih tinggi 27 derajat dari melaksanakan shalat sendirian. Menurut al-Bursawi> , shalat berjama’ah dapat melahirkan jiwa yang bersih. Ia mengibaratkan shalat bagaikan perang di mana mihrab sebagai medan perangnya. Orang yang berperang harus bersatu dalam barisan, karena persatuan mempunyai kekuatan. Rasullullah saw. Bersabda: ‚Apabila kaum Muslimin berkumpul dalam satu jama’ah yang berjumlah 40 orang, di dalamnya ada orang yang diampuni dosanya.‛Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat munfarid dengan 27 derajat, karena jama’ah diambil dari kata jamak dan jamak minimal terdiri dari tiga orang. Shalat orang munfarid pahalanya hanya sepuluh kebaikan. Di mana satu kebaikannya merupakan kebaikan pokok, sedangkan sembilannya merupakan kebaikam yang dilipat gandakan oleh Allah. Jika
seseorang berjama’ah, maka kebaikannya akan berlipat 27 kebaikan. 19 Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan al-Qurt}ubi>yang mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan berjama’ah tanpa uzur maka wajib baginya untuk dihukum. Sebagaimana yang disabdakan Rasullah saw. dalam hadisnya: ‚Allah tidak mewajibkan suatu fard}u –setelah tauhid- yang paling disukai-Nya selain shalat. Kalau ada suatu kewajiban selain shalat yang lebih dicintai-Nya, niscahya para malaikat-Nya akan beribadah dengan kewajiban itu. Di anatara para malaikat ada yang sujud, ruku’, berdiri dan duduk.‛Dalam penafsirannya ini, terlihat bahwa ia memperkuat pendapat ulama untuk memperkuat penjelasan pada ayat tersebut. Sebagaimana kesepakatan umum di antara para sufi, bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui apakah sesuatu diperbolehkan atau dilarang, atau apakah sesuatu perbuatan itu benar atau salah, hanyalah melalui al- Qur’an dan sunnah, ijtihad para mujtahidin yang berwenang, serta
i jma’. Hal ini juga merupakan cara untuk mengetahui derajatan kewajiban, apakah sesuatu bersifat fardhu atau haram, mandub, makruh, atau mubah. Dalam kaitan ini, ilham seorang sufi tidak berperan, baik dalam menentukan legalitas atau segala sesuatunya, atau dalam menentukan tingkat
kewajibannya. 20 Al-Bursawi melanjutkan, orang shalat harus benar-benar menghadirkan hatinya ( khus hu’). Karena asal makna shalat adalah pekerjaan batin. Allah berfirman dalam Surat al- Nisa ayat 43: ‚Janganlah kalian shalat dalam keadaan
19 Qur’a>n, Jilid I, 121. 20 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 113.
mabuk‛. Menurut al-Bursawi>, mabuk di sini adalah mabuk yang disebabkan karena gila terhadap dunia yang menyebabkan hati dan gerakan badannya tidak khushu’. Shalat yang demikian tidak akan bisa menolak kemunkaran. kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan Syaikh Affandi bahwa jika seseorang hendak melaksanakan shalat, fikirannya harus dikosentrasikan pada penghambaan dan penyempurnaan dari penghambaan tersebut. Jika penghambaan itu sudah sempurna, maka tercapailah tujuan shalat. Adapun dalam perbuatan selain shalat, konsentrasi fikiran seseorang ditujukan pada pengusiran hawa nafsu dan penetapan keseesaan Allah swt., karena itulah tujuan tauhid. Tidak ada satupun amal perbuatan yang lebih utama dari tauhid. Oleh karena itu, tauhid merupakan kewajiaban pertama yang dibebankan kepada seorang hamba sebelum diwajibkan kepadanya kewajiban shalat, puasa, karena keduanya dapat memperbaiki tabiat seorang manusia. Setelah keduanya dilaksanakan barulah diperintahkan untuk zakat, karena zakat dapat mensucikan jiwa dari kotoran yang berada dalam jiwa seseorang. Kemudian diperintahkan haji, karena haji bermanfaat dalam memperbaiki tabiat serta memperhalus jiwa. Tiga ibadah yang disebutkan pertama dibebankan kepada orang-orang yang kaya maupun miskin, sedangkan dua ibadah yang terakhir (zakat dan haji) hanya diwajibkan
kepada orang-orang yang mampu saja. 21 Contoh lain dari penggunaan syariat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu
instrumen penafsirannya,dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat 177 Surat al- Baqarah:
‚..Dan yang menepati janji mereka apabila mereka berjanji..‛ (Q.S. Al- Baqarah [2]: 177)
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa wa al-mufu>na sama kuatnya bila diungkapkan dengan kalimat wa man aufu>. Sedangkan yang dimaksud dengan bi’ahdihim adalah janji manusia berupa pelaksanaan perintah Tuhan, peringatan untuk senantiasa menjauhi larangan-Nya. idha> ‘a>hadu> yaitu janji antara hamba dengan Allah dan janji sesama manusia. Jika seorang hamba berjanji atau bernazar, maka ia wajibuntuk memenuhinya. Jika berkata, maka berkatalah dengan jujur. Dan jika diamanati sesuatu, maka tunaikanlah amanat tersebut. Sebagaimana dalam hadis Nabi saw: ‚Barang siapa yang berjanji kepada Allah kemudian mengingkarinya, maka Allah tidak akan melihat kepadanya.‛Yang dimaksud hadis tersebut menurut al-Bursawi>adalah terputusnya pandangan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang mmengingkari janjinya. Kemudian al-Bursawi> memperkuat penjelasannya dengan mengutip hadis Nabi saw: ‚Dan barangsiapa yang memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. Kemudian dia mengkhianatinya, Nabi akan memusuhinya pada hari kiamat‛. 22
21 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 121. 22 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 282.
Al-Bursawi> melanjutkan, jika seorang hamba Allah memenuhi janjinyakepada Allah ataupun Janji kepada sesama manusia, maka Allah akan memenuhi Janji-Nya kepada hamba tersebut. 23 Sebagaimana Firman-Nya dalam Surat al-Baqarah ayat 40: ‚..Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscahya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian..‛
Contoh lain dari penggunaan syariat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat 58 Surat al- Ma’idah:
‚Apabila kalian menyeru kepada shalat, maka mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan, itu disebabkan karena mereka kaum yang tidak berakal‛ (Q.S. Al-Maidah [5]: 58)
Dalam ayat ini, al-Bursawi> menjelaskan apabila muadhdhin melakukan azan untuk menyeru shalat, orang-orang Yahudi menjadikan hal tersebut sebagai bahan guyonana dan bersanda gurau, memperolok orang yang mengerjakan shalat, menganggap bodoh orang yang melakukannya, menjauhkan manusia dari shalat dan dari orang yang menyeru shalat. karena kedunguan menyebabkan mereka tidak mengerti kebaikan dan kebenaran, sehingga mereka mempermainkannya. Seandainya mereka berakal sehat, maka mereka tidak akan berani memperolok kebenaran tersebut. 24
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan ulama bahwa perintahuntuk melakukan azan didasarkan padaayat ini, karena makna teks tersebut ialah apabila hendak menyeru manusia untuk mendirikan shalat, maka serulah dengan azan. Al-Bursawi> mengemukakan beberapa hikmah disyariatkannya azan, di antaranya untuk menampakkan syiar Islam, kalimat tauhid, sebagai pemberitahuan tibanya waktu shalat, mengajak umat Islam untuk shalat berjama’ah.Al-Bursawi> melanjutkan, muadhdhin mempunyai beberapa keutamaan. Dalam sebuah hadis dikatakan: ‚Orang yang pertama kali masuk surga adalah para Nabi, para syuhada dan Bila>l (muadhdhin)‛ (H.R. Bayhaqi>). Makna Bila>l dalam hadis tersebut termasuk di dalamnya para muadhdhin di masjid al-H{ara>m, masjid Nabawi, Bait al-Maqdis serta masjid-masjid lainnya,
sesuai dengan kadar amalan mereka. 25 Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penjelasannya perihal seringnya
muadhdhin lebih mengutamakan lagu daripada makha>rij lafaz, padahal hal itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana keterangan yang mengemukakan bahwa ketika ada seorang muadhdhin yang datang kepada Ibn ‘Umar dan mengatakan: ‚Aku mencintaimu!‛ kemudian Ibn ‘Umar menjawab: ‚Ada berita yang sampai kepadaku bahwa kamu sering melafazkan azan dengan keliru. Misalnya, kamu
24 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 282-283. Qur’a>n, Jilid II, 408. 25 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 409.
mengatakan Alla>h dengan dipanjangkan ali>f-nya. Hal itu meragukan dan mengacaukan makna. Dan kamu pun kerap mengucapkan Akbar dengan dipanjangkan huruf ba-nya, padahal itu adalah nama setan, serta kesalahan- kesalahan lainnya dalam lafaz azan ‛.Al-Bursawi> menutup penafsiran ayat di atas dengan penjelasan tentang hukum menjawab azan. Ia menjelaskan bahwa hukum menjawab ucapan muaddhin adalah wajib bagi setiap orang yang mendengarnya meskipun ia sedang junub atau haid, kecuali ia sedang berada di kamar mandi atau sedang jima’. Akan tetapi bagi sebagian ulama yang lain
hukum menjawab azan adalah sunnah. 26
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan al-Nawawi> bahwa menjawab azan disukai dengan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadhdhin.Ketika seseorang mendengar h}ayya ‘ala al-s}ala>h, maka harus dijawab dengan la> h}awla> wa la> quwwata illa> billa>h. Ketika mendengar h}ayya ‘ala al-fala>h}, maka harus dijawab dengan ma>sha> Alla>hu ka>na wa ma> lam yasha> lam yakun. Ketika mendengar al-s}ala>tu khayrun min al-nawm, dijawab dengan s }adaqta wa bi al-kayr nat}aqta. Kemudian ketika mendengar qad qa>mat al-s}alah, maka jawablah dengan aqa>mahalla>hu wa ‘ada>maha>. Dan ketika mendengar qad qa>mat al-s}alah yang kedua kalinya, maka hednaklah dijawab oleh tindakan bukan lagi dengan perkataan.Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan melaului Maymunah bahwa Nabi saw. berdiri di antara shaf laki- laki dan wanita. Lalu Nabi bersabda:‚Wahai kaum wanita, apabila kalian mendengar azan dan qomatnya orang Habshi ini, maka katakanlah sebagaimana yang dikatakan olehnya, karena setiap hurup alif mengandung satu derajat bagimu.‛ (H.R. T{abra>ni>). Mengenai hadis ini, ‘Umar ibn Khat}t}a>b berkata: ‚kebaikan (satu derajat) itu untuk wanita, bagaimana bagi kaum laki-laki?‛ Nabi saw. b 27 ersabda: ‚ Dua kali lipat, wahai ‘Umar!‛ (H.R. T{abra>ni>).
Jika melihat contoh penafsiran di atas, terlihat bahwa al-Bursawi> mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat, sehingga ia tidak mengabaikan syariat untuk kemudian beranjak kepada hakikat. Karena syariat merupakan gerbang awal hukum- hukum ‘ubu>diyah dalam kajian fikih, sebelum melangkah ke jenjang yang lebih tinggi yaitu esensi atau hakikat ibadah itu sendiri. Adapun penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qur’an, sunnah, ijma’ serta sumber- sumber syara’ lainnya dalam penafsirannya. Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 28 Sebab jika penggunaan takwil dalam sebuah tafsir sufistik terlalu jauh dari prinsip-
prinsip syariat, maka akan menyeret orang kepada kesesatan.
3. Hikayat
26 Qur’a>n, Jilid II, 410 . 27 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- 28 Qur’a>n, Jilid II, 410.
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
Hikayat s}u>fiyah merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian seseorang, maka tidaklah mengherankan jika hikayat s}u>fiyah banyak mengungkap renungan dan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan Rabb-Nya.Tulisan mengenai hikayat banyak ditemukan pada literatur-literatur kaum sufi. Tidak ketinggalan, al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menjadikan hikayat sebagai salah satu instrumen eksetorik penafsirannya. Penggunaan hikayat oleh al-Bursawi> sebagai salah satu instrumen dalam menafsirkan ayat al- Qur’an dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat ke-3 dari surat al-Baqarah:
‚..Dan mereka yang mendirikan shalat..‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 3)
Dalam menafsirkan kalimat wa yuqi>muna al-s}alata, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan dari aspek kebahasaan. Ia menjelaskan bahwa kata ‚mendirikan‛ memiliki konotasi ‚menegakkan‛, seperti halnya menegakkan sebatang kayu yang selalu dipelihara agar tetap lurus.Hal ini dimaksudkan agar seorang hamba selalu memelihara shalat wajib dan sunnah yang bersifat zahiriyah dan hak shalat yang bersifat batiniyah seperti ke- khusu’-an dan penghadapan dengan sepenuh hati kepada Allah Ta’ala>. Hal ini berarti bahwa orang yang senantiasa mendirikan shalat, tidak akan berbuat seperti orang yang
lalai akan shalatnya. 29
Setelah menjelaskan dari sisi kebahasaan, al-Bursawi> menuliskan sebuah hikayah tentang seorang zuhud yang bernama Ha>tim yang bertamu kepada ‘A>s}im ibn Yu>suf. Setelah keduanya bertemu, kemudian ‘A>s}im berkata: ‚Wahai Ha>tim, apakah kamu merasa bahwa shalatmu sudah baik?‛ Ha>tim menjawab: ‚Ya‛ kemudian ‘As}im kembali bertanya: ‚Bagamanakah kamu shalat?‛ Ha>tim menjawab: ‚Jika waktu shalat sudah dekat, aku segera berwudhu dengan sebaik-baiknya. Kemudian aku pergi ke tempat biasa aku shalat. Aku menenangkan seluruh anggota badanku , seolah- olah Ka’bah terlihat di depan pelupuk mataku, sehingga keagungan Maha Pencipta tehimpun di kalbuku, aku merasa Allah menyaksikan aku, Dia mengetahui apa yang ada dalam kalbuku, dan seakan kakiku berada di atas jembatan s}ira>t} al-mustaqi>m. Surga ada di sebelah kananku dan neraka berada di sebelah kiriku. Aku merasa seolah inilah shalatku yang terakhir. Kemudian aku takbir dengan takbir yang baik, meresapi setiap bacaan shalat yang aku baca. Kemudian aku ruku’ dengan tawad}u’, kemudian aku sujud dengan penuh kerendahan, duduk dengan sempurna, tashahud dengan penuh pengharapan, salam dengan memelihara sunahnya, aku menyerahkan shalatku dengan penuh keihlasan, aku berdiri dengan hati yang diliputi perasaan ajrih dan penuh harapan, kemudian aku bertekad untuk sabar ‛.Setelah mendengar jawaban Ha>tim, ‘A<shim kembali bertanya: ‚Wahai Ha>tim, apakah shaltmu benar-benar seperti apa yang kamu
29 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 33.
ceritakan barusan?‛ Ha>tim menjawab: ‚Ya, aku mengerjakan shalat seperti itu semenjak tiga puluh tahun lalu.‛ Kemudian ‘A<shim pun menangis terisak-isak dan berkata: ‚Aku belum pernah melaksanakan shalat seperti itu sampai detik ini.‛ 30
Contoh lain dari penggunaan hikayat sebagai instrumen penafsiran Ru>h} al-Baya>n, dapat dilihat ketika al-Bursawi> menafsirkan ayat 18 surat al-Baqarah:
‚Mereka tulu, bisu dan buta, maka mereka tidak akan dikembalikan.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 18)
Sebelum al-Bursawi> menggunakan hikayat dalam menafsirkan ayat di atas, terlebih dahulu ia menjelaskan ayat tersebut dari aspek kebahasaan. 31 Setelah menjelaskan dari aspek bahasa, barulah al-Bursawi> menuliskan sebuah hikayah tentang seorang raja yang gagah berani namun terdapat sifat sombong dalam dirinya. Raja tersebut membangun bangunan yang kokoh, ia memperingatkan agar tidak ada seorang pun yang mendekati bangunan tersebut. Barangsiapa yang berani mendekati atau memasuki bangunan tersebut maka ia akan dibunuh. Sampailah pada suatu hari ada seorang laki-laki dari penduduk negeri itu yang mendekati bangunan tersebut. Sebelumnya, penduduk sekitar telah menasihati laki-laki itu untuk tidak mendekati bangunan tersebut, namun laki-laki itu tidak menggubris nasihat dari penduduk sekitar. Ia mendirikan gubuk disekitar bangunan yang kokoh tersebut untuk tempat
beribadah kepada Allah. 32
Pada saat bersamaan sang raja sedang berasa di dalam istana ditemani para pengawalnya, tiba-tiba datanglah malaikat maut dalam bentuk seorang pemuda yang tampan. Malaikat maut itu berjalan mengelilingi dan memperhatikan istana yang didiami sang raja. Melihat hal itu, para pengawal istana melaporkan kepada raja: ‚Wahai raja, kami melihat ada seorang laki-laki yang berjalan mengitari istana ini.‛ Mendengar laporan para pengawalnya, sang raja pun marah dan memerintakan kepada para pengawalnya untuk membunuh laki-laki tersebut. Sang pengawal istana pun keluar istana untuk melaksanakan perintah sang raja. Ketika pengawal istana hendak menebas laki-laki itu dengan pedangnya, nyawanya dicabut sampai ia tersungkur ke tanah. Mengetahu hal itu, raja mengirimkan pengawalnya kembali untuk membunuh laki-laki itu, akan tetapi pengawal kedua yang di utus raja kembali dicabut nyawanya hingga tersungkur ke atas tanah. Hal ini membuat raja sangat marah, hingga ia mencabut pedangnya dan berjalan keluar istana untuk menghampiri laki-laki itu langsung. Raja berkata: ‚Siapakah kamu hingga berani mendekati istanaku,
30 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 33-34.
31 Untuk lebih ditailnya lihat Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 67-68.
32 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 68.
bahkan kamu berani membunuh dua pengawalku?‛ laki-laki itu menjawab: ‚Tidak kamu tahu bahwa aku adalah malaikat maut?‛ Mendengar perkataan laki-laki itu, tubuh sang raja langsung gemetar hingga pedang yang ia pegang terjatuh, kemudian sang raja berkata: ‚sekarang aku tahu siapa engkau‛ sang raja pun lari menuju istananya, kemudian malaikat maut berteriak kepada sang raja: ‚Mau kemana kau? Aku diutus oleh Allah untuk menyabut nyawamu.‛ Sang raja menjawab: ‚Berilah aku waktu untuk berwasiat kepada keluargaku dan menyampaikan salam perpisahan kepada mereka. ‛ Malaikat maut berkata: ‚Kenapa hal itu tidak kau lakukan selama kamu hidup?‛ Kemudian malaikat maut pun mencabut nyawa sang raja. Setelah itu ia menghampiri laki-laki saleh yang berada dalam gubugnya, seraya berkata: ‚Wahai laki-laki yang saleh, ketahuilah! Aku telah mencabut nyawa raja yang sombong itu.‛ Tatkala malaikat maut hendak pergi, tiba-tiba Allah memerintahkannya untuk mencabut nyawa laki-laki saleh tersebut. Kemudian malaikat maut berkata kepada laki- laki itu: ‚Aku diperintahkan Allah untuk mencabut nyawamu.‛
Laki- laki saleh menjawab: ‚Wahai malaikat maut, bolehkah aku meminta izin untuk pulang ke kampungku untuk menyampaikan izin dan salam perpisahan kepada mereka?‛ Kemudian Allah memberikan izin kepada laki-laki saleh itu untuk pulang terlebih dahulu ke kampungnya. Ketika laki-laki saleh itu hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia merasa sedih, lalu ia berkata kepada malaikat maut: ‚Wahai malaikat maut, jika aku melihat keluargaku aku khawatir hatiku menjadi bimbang. Cabutlah nyawaku, karena bagiku Allah lebih baik dari pada keluargaku.‛ Malaikat maut pun langsung mencabut
nyawanya pada saat itu juga. 33
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan dengan mengutip perkataan orang- orang arif bahwa sangatlah mengherankan jika ada orang yang lari dari Dhat yang tidak ada satupun yang dapat melepaskan diri dari dari-Nya. Dialah yang maha pelindung dan dari-Nya segala kebaikan berasal. Sangatlah mengherankan jika ada orang yang suka meminta sesuatu yang tidak kekal, yang selaras dengan nafsunya, syahwat dan dunianya. Mata orang tersebut tidak buta, akan
tetapi mata hatinyalah yang buta. 34
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa ada tiga penyebab mata hati seseorang menjadi buta. Pertama, senantiasa menggerakan anggota badannya untuk bermaksiat kepada Allah. Kedua, brepura-pura taat keapda Allah. Ketiga, bersandar kepada makhluk Allah. Apabila mata hati seseorang telah dibutakan oleh Allah, maka ia akan bersandar kepada makhluk dan berpaling dari Allah.
Contoh lain yang menunjukkan bagaimana al-Bursawi> menggunakan hikayat s}u>fiyah sebagai salah satu instrumen dalam menafsirkan ayat al-Qur’an adalah ia menafsirkan ayat 39 surat al-Baqarah:
33 Qur’a>n, Jilid I, 68. 34 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 68-69.
‚Dan orang-orang kafir serta mereka mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.‛ (Q.S. Al-Baqarah [2]: 39)
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> memasukkan instrumen hikayat s}u>fiyah tentang pengalaman unik Ma>lik ibn Dinar ketika ia sedang melakukan pengembraan. Ketika Ma>lik melewati sebuah daerah, ia melihat seorang anak sedang bermain-main dengan tanah, anak itu sesekali menangis dan sesekali tertawa. Melihat perbuatan anak itu, Ma>lik ibn Dinar ragu, apakah ia harus mengucapkan salam kepada anak itu atau tidak. Muncullah dorongan takabur dalam dirinya yang menyuruhnya untuk tidak megucapkan salam kepada anak tersebut. Sehingga terjadilah dialog dalam diri Ma>lik, bukankah Rasulullah mengucapkan salam kepada siapa pun, baik kepada anak-anak atau kepada orang dewasa. Akhirnya nafsu yang ada pada dirinya bisa dikalahkannya, ia pun mengucapkan salam kepada anak itu. Dengan sigap anak itu menjawab salamnya sembari menyebutkan nama Ma>lik Ibn Dinar. Hal tersebut membuat ia kaget, sehingga terjadilah dialog dengan anak itu. Malik bertan: ‚Dari mana engkau tahu namaku, padahal kita baru bertemu pertama kali.‛ Anak itu menjawab: ‚Karena rohku pernah bertemu dengan rohmu ketika berada dalam alam malaku>t. Roh yang senantiasa hidup ini telah memperkenalkanku kepadamu.‛ Kemudian Ma>lik bertanya: ‚Apa bedanya antara nafsu dan akal?‛ Anak itu menjawab: ‚Nafsu adalah yang telah melarangmu untuk mengucapkan salam, sedangkan akal adalah yang telah mendorongmu untuk mengucapkann ya.‛ Kemudian Ma>lik kembali bertanya: ‚Mengapa engkau bermain dengan tanah.‛ Anak itu menjawab: ‚karena kita semua diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah.‛ Kemudian Ma>lik berkata: ‚Aku melihatmu kadang tertawa dan kadang mengis.‛ Anak itu berkat a: ‚Memang benar, ketika aku mengingat azab Allah aku menangis, dan jika aku mengingat rahmat Allah aku tertawa. ‛ Kemudian Malik bertanya: ‚Wahai anakku, dosa apakah yang dilakukanmu sehingga membuatmu menangis?‛ Anak itu menjawab: ‚Wahai Ma>lik janganlah engkau bertanya begitu, karena aku sering memperhatikan ibuku yang tidak pernah menyalakan
kayu bakar besar, sebelum ia menyalakan yang kecil terlebih dahuli.‛ 35 Demikianlah contoh-contoh penulisan hikayat s}u>fiyah yang di tulis al-
Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n.Ia banyak sekali mengangkat hikayat s}u>fiyah dalam memberikan makna ayat al-Qur’an. Untuk menemukan makna dari kisah-kisah yang dikemukakan dalam tafsirnyadibutuhkan nalar dan renungan yang mendalam terhadap kisah-kisah tersebut, agar mendapatkan ibrah atau pelajaran hidup yang dapat dipetik dari pembacaan hikayat-hikayat tersebut.
4. Adab Sastra Sufistik
35 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 116.
Instrumen eksoterik terakhir dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n adalah adab sastra sufistik. Sastra sufistik sendiri merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian seseorang, maka tidak heran jika sastra sufistik banyak mengungkaprenungan dan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan taraf
hubungan jiwa manusia dengan Rabb-Nya. Karya-karya sufi mengenai kesempurnaan ruhani dengan ciri khas tersendiri bertujuan untuk musha>hadah, yaitu penyaksian akan keesaan Allah. Di mana karya-karya sufistik memiliki ciri khas tidak mementingkan keindahan bentuk dan menyampaikan tujuannya secara tidak langsung, sebab yang diinginkan mereka adalah supaya pembaca dapat membuka mata hati mereka dan membawa mereka melakukan musha>hadah. 36
Tujuan dari penulisan sastra sufistik ialah mengajak pembacanya melakukan pendakian spiritual. Dengan kata lain, kesusastraan sufi adalah penggabangun antara hakikat kebenaran dan keindahan yang digambarkan
secara rinci dalam pernyataan fenomena sifat, tabiat dan realitas. 37 Hakikat kebenaran dan keindahan itu merupakan posisi manusia di tempat persatuan dengan Tuhan dan keteguhan hatinya di tempat ghaib atau tanzi>h. Dalam memahami sastra sufistik, seseorang harus memahami bagaimana secara keseluruhan fenomena kejadian diterapkan berlandaskan pengalaman dan perasaan yang dapat dicapai oleh para sufi yang menikmati kesadaran spiritual pada tingkatan yang lebih tinggi.Para sufi memandang bahwa fenomena kejadian di dunia ini tidak lain adalah refleksi atau bayangan dari kenyataan yang lebih tinggi, dan kenyataan ini bekerja dengan aktifnya dibalik fenomena yang terlihat sebagai poros keruhanian yang hakiki. Kenyataan tertinggi itu, menggerakkkan perputaran alam semesta dengan satu prisip saja, yaitu ‘ishq atau cinta. Sebagaimana yang telah dituangkan pada banyak karya-karya para sufi. Para sufi melihat fenomena alam secara holistik dan mengkhususkan pandangan mereka hanya kepada Yang Hakiki yang merupakan sumber danasal-
usul segala sesuatu. 38 Sastra sufistik adalah sastra transendental karena pengalaman mistik yang diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufistik mengabaikan dimensi sosial kehidupan. Sebagai sastra yang transendental ia mengutamakan ‘makna’ bukan ‘bentuk’, mementingkan ‘yang spiritual’ bukan ‘yang empiris’, ‘yang di dalam’ dan ‘yang bukan di permukaan’. Tujuan mistisme adalah memang transendental semata-mata. Para sufi meyakini dalam mencapai Yang Satu, seseorang tidak dapat melakukannya dengan usaha intelektual semata dan tidak pula dengan perasaan rindu berlebihan. Bentuk
36 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,(Jakarta: Paramadina, 2001), 21-22 37
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 24. 38 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 24-25.
merupakan sarana penting untuk menuju makna. Hubungan bentuk dengan makna dilukiskan seperti halnya hubungan antara cermin dengan bayang- bayang. Di dalam mistisme, kehendak disatukan dengan perasaan dalam hasrat berkobar untuk mentransendensikan alam indra, supaya ‘diri’ berpadu dengan cinta serta tujuan kekal dan terakhir dari cinta, keberadaan yang secara intuitif diterima oleh jiwa, tetapi lebih mudah kita menunjukkannya pada kesadaran ‘kosmik’ atau ‘transendental’. Inilah sifat puitik dan keagamaan yang bekerjasama di atas dataran keyataan. 39
Pengalaman mistik seorang sufi akan bermakna jika ia dijelmakan ke dalam bentuk lain, yaitu eksperesi seni dan puisi. Bahasa atau kata-kata tersebut mengandung s}u>rah dan ma’na atau bentuk lahir dan bentuk batin. Adapun s}u>rah ialah tanda yang berada diluar dan merupakan simbol dari makna yang ada di dalam. S{u>rah menampakkan makna yang tersembunyi di dalamnya. Hubungan makna dan s}u>rah adalah hubungan vertikal dan bukan hubungan horizontal. Tempat makna di atas dan tempat s}u>rah di bawah. Yang bawah mencerminkan dan melambangkan yang di atas. Sedangkan bahasa itu ada
sebagai hasil pemberian makna kepada kata-kata. 40 Dalam bahasa puisi, makna secara keseluruhan dapat menguasai s}u>rah dan mencetak bentuk lahir dari dalam tanpa merusak peratalan puitik.
Dalam hal ini, sastra sufistik dijadikan sebagai salah satu instrumen penafsiran dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. al-Bursawi> pada beberapa penafsiran ayat al- Qur’an kerap memasukkan bait-bait syair berbahasa persia, baik itu syair karangan penyair persia seperti al-Shayra>zi>, Jala>l al-Di>n al-Ru>mi> dan penyair terkenal Persia dan turki lainnya. Ini bisa dilihat ketika Bursawi menafsirkan
kalimat 41 ula>‘ika ’ala>hudan min rabbihim, al-Bursawi> megutip sebuah syair dari al- Sa’di> yang berbunyi:
Pada ayat yang sama, ketika ia menafsirkan kalimat wa ula>‘ika hum al- muflih}u>n, al-Bursawi> mengutip syair dari Jala>l al-Di>n al-Ru>mi>.
39 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 26-28. 40
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,30. 41 Q.S. al-Baqarah [2]: 5. 42 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 43.
Contoh lain dari penggunaan syair oleh al-Bursawi> sebagai instrumen penafsiran, dapat dilihat ketika ia menafsirkan kalimat bima> ka>nu> yakdhibu>n, 44 al-Bursawi> mengutip bait syair dalam kitab al-mathnawi>.
Demikian contoh dari penggunaan adab sastra sufistik yang terdapat dalam tasir Ru>h al-Baya>n. Penggunaan isntrumen ini bertujuan untuk melakukan pendakian spiritual bagi para pembacanya. Sastra sufistik merupakan ekspresi Pengalaman mistik seorang sufi, pengalaman spiritual tersebut akan lebih bermakna jika diekstraksi ke dalam bentuk lain, yaitu eksperesi seni dan puisi.
B. Instrumen Esoterik
1. Simbol Khusus yang Dipakai Para Sufi Instrumen esoterik pertama yang digunakan dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n
adalah simbol. Penggunaan simbol dalam tradisi sufi tak terkecuali dalam tradisi penafsiran sangat erat hubungannya dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna ba>t}in. Para sufi memandang bahwa estetika sufistikbaik berupa puisi, syair atau yang lainnya inimerupakan simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Simbol-simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat di dalam khazanah tafsir dan sastra sufi memiliki sejarah, latar belakang tersendiri, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar
belakang di mana tasawuf tumbuh dan berkembang. 46 Selain dari al- Qur’an dan Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-simbol sufistik juga diambil dan dimodifikasi dari tradisi lokal.Penggunaan simbol tersebut dimaksudkan agar
43 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 44.
45 Q.S. al-Baqarah [2]: 10. 46 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 57. Abdul Hadi W. M.,
Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 91.
gagasan-gagasan esoterik mereka dapat terlindung dari pengetahuan kelompok masyarakat yang tidak sepemikiran dengan mereka. 47
Bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran batin manusia. Dengan kata lain, manusia tidak dapat membebaskan diri dari simbol apabila memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat dilihat dengan mata. Setiap energi yang berasal dari pikiran yang memiliki kandungan makna intelektual dikorelasikan dengan tanda-tanda yang dapat indra dan secara batin menjadi bagian dari simbol. Simbol merupakan bagian dari dunia makna manusiawi yang memiliki fungsi untuk menghidupkan tanda-tanda material yang dijadikan simbol sehingga tanda-tanda tersebut
berbicara. 48 Simbol biasanya dikaitkan dengan suatu realitas yang berada di sebelah dalam dari realitas luar yang dijadikan tanda simbolik, sedangkan tanda itu sendiri menjadi menjadi penting artinya apabila secara tepat dapat menunjukan atau menggambarkan sesuatu yang berada di dalamnya, yaitu dunia makna yang hendak dikomunikasikan atau diekspresikan. Di sini simbol bukan hanya sebatas tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi berfungsi membawa seseorang mencapai pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi khususnya dalam kaitannya dengan pengalaman
keagamaan dan mistikal. 49 Al-T}u>si> di dalam kita>b al- Luma>’ mengatakan bahwa simbol-simbol
adalah pengertian samar yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang menguasainya. Al-T}u>si> melanjutkan, dalam dunia simbol terdapat dua jenis makna: Pertama, makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfiahnya. Kedua, makna keruhanian yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam dengan
menggunakan metode takwil yang biasa dilakukan oleh para sufi. 50 Simbol- simbol yang digunakan oleh orang sufi tidak bisa dipandang sebagai kata-kata
biasa yang tidak memiliki makna, karena disetiap simbol tersebut memiliki arti yang sangat luas. Di antara simbol-simbol antropomorfis yang sering digunakan oleh para sufi dapat disebut disini misalnya ‘tangan’ melambangkan kehendak Tuhan, ‘Penglihatan’ merujuk kepada penglihatan keruhanian, ‘mata’ merujuk kepada sifat penuh rahasia dari penglihatan ilahi atau penglihatan batin seorang
ahli suluk terhadap kekasihnya, dan masih banyak lagi simbol-simbol lainnya. 51
47 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah li> al-Nas}r wa al- Tawzi>’, t.t), 135.
48 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 90. 49
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,90.
51 Abi> Nas}r al-Sira>j al-T{u>s}i>, al- Abdul Hadi W. M., Luma>’ (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960), 414. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri,93.
Ada beberapa alasan mengapa para sufi menggunakan citra-citra simbolik. 52 Pertama, dengan menggunakan citra-citra simbolik mereka dapat
memberi ungkapan halus dan penuh dengan nuansa estetiktentang keesaan Tuhan. Kedua, citra-citra simbolik dan metafora-metafora yang demikian mudah meresap ke dalam hati pembaca dan meninggalkan kesan yang dalam dibandingkan dengan menggunakan istilah-istilah falsah, sebab sifat-sifat dan keagungan Tuhan dapat tergambar secara langsung. Ketiga, dengan menggunakan citra-citra simbolik para sufi dapat melindungi rahasia perjalanan ruhani mereka dari pengetahuan orang biasa, dengan kata lain hanya golongan mereka yang dapat memahami makna dari simbol-simbol tersebut.
Para sufi telah mengenal penggunaan simbol-simbol yang berkaitan penglihatan manusia tentang keindahan Ilahi sejak abad ke-9 M. Mereka menyebut simbol semacam itu dengan istilah al-maja>z qant}arat al-h}aqi>qah, yaitu perumpamaan dengan menggunakan gambaran cinta manusia sebagai jembatan menuju hakikat Ketuhanan. Penggunaan simbol oleh para sufi berfungsiuntuk menyingkap dataran kesadaran yang berbeda dari kesadaran yang diperoleh dari pemahaman rasional. Simbol merupakan metode terselubung untuk menulisakan sebuah rahasia yang tujuannya untuk menyatakan sesuatu yang tidak dapat dipahami dengan cara selain menggunakan simbol itu sendiri. Simbol tidak pernah dapat menjelaskan sesuatu, sebab itu ia harus ditafsirkan secara terus menerus. Karena simbol dihasilkan oleh imajinasi ( takhayyil), maka takwil hanya dapat terlakasana
apabila seorang pentakwil dapat mempergunakan imajinasinya. 53 Al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n menggunakan simbol sebagai salah satu instrumen esoteriknya. Hal ini disebabkan karena simbol merupakan identitas penting dalam tradisi sufi,simbol merupakan ekspresi dari pengalaman spirtual dari penulis untuk mencapai tingkatan hakikat yang transenden. Hal ini dapat terlihat ketika Al-Bursawi> menafsirkan surat al-Baqarah ayat 20:
‚Hampir-hampir saja kilat menyambar penglihatan mereka,. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, maka mereka berjalan di dalamnya. Jika kegelapan menimpa mereka, maka mereka akan berhenti. Kalau Allah menghendaki, niscahya Allah menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Maha Kuasa atas segala sesuatu.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 20)
52 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,93-94. 53
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri,96-97.
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> mengatakan bahwa sebuah perjalanan tidak dapat dilakukan dalam kegelapan kecuali dengan cahaya pelita. Demikian pula tidak akan mungkin bisa menyelami hakikat-hakikat dan rahasia Allah tanpa adanya iman. Tidak mungkin berpetualang di kegelapan alam manusia tanpa menggunakan cahaya hidayah Allah. Oleh karena itu Allah berfirman: ‚Setiap kali kilat menyinari mereka, mereka berjalan di bawahnya‛ yaitu cahaya hidayah. ‚Dan gelap menimpa mereka, mereka berhenti.‛ Yakni kegelapan alam manusia. ‚Dan guruh.‛ Yaitu kekhawatiran, ketakutan, rasa risih dan lainnya yang terus menerus mengetuk hati karena keagungan zikir dan al-
Qur’an. 54 Sebagaimana Allah berfirman: ‚Kalau sekiranya Kami menurunkan al- Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan melihat gunung itu tunduk
terpecah belah disebebkan karena takut kepada Allah..‛Adapun, ‚Dan kilat.‛ Yaitu gemerlapnya cahaya zikir dan al- Qur’an yang memberi hidayah kepada hati, sehingga kulit dan hati mereka menjadi tenang ketika berzikr kepada Allah.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, tatkala tampak kepada mereka cahaya kebahagiaan, mereka keluar dari kegelapan tabiat manusia, lalu
mememegang tali ira>dah supaya memperoleh derajat orang-orang yang beruntung. Akan tetapi mereka ‚menyumbatkan jari-jari mereka.‛ Yakni jari- jemari yang berupa cita-cita yang rusak dan angan- angan yang batil. ‚ke telinga mereka,‛ yaitu kesadaran mereka. ‚Dari sambaran petir‛ dan para penyeru kepada kebenaran ‚Karena takut‛ dari ‚kematian.‛ Yakni matinya nafsu karena nafsu itu bagaikan ikan yang hidupnya di lautan dunia, jika nafsu itu keluar dari
air laut maka tentu akan mati seketika. 55
Jika dilihat dari penafsiran al-Bursawi> di atas, ia mengartikan ‚kilat‛ sebagai simbol kilauan cahaya zikir dan al- Qur’an. Dan cahaya atau sinar yang dihasilkan dari kilat disimbolkan sebagai cahaya hidayah. Disamping itu, mati disimbolkan sebagai matinya nafsu kebinatangan dari dalam diri manusia. Penggunaan citra simbolik semacam ini kerap dilakukan oleh para sufi, tak terkecuali oleh al-Bursawi>yang menggunakannya dalam menyingkap makna yang terkandung dalam ayat al- Qur’an. Hal ini hasil dari pengalaman ruhani yang dituangkan kedalam sebuah imajinasi dalam menafsirkan sebuah kata dalam ayat al- Qur’an.
2. Intuisi Setelah simbol, instrumen esoterik lainnya yang digunakan al-Bursawi>
dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n adalah Intuisi.Adapun intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul di benaknya bagaikan kebenaran yang
54 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 73. 55 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 73.
membukakan pintu. Suatu masalah yang dipikirkan, yang kemudian ditunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak seseorang yang lengkap
dengan jawabannya. 56 Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu dalam menentukan kebenaran.
Dalam kajian tasawuf, intuisi disebut dengan ilm dhawq, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan didapat oleh orang yang hatinya telah bersih, telah
siap, dan telah sanggup menerima pengetahuan tersebut. 57 Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan ( riya>d}ah). Metode ini secara umum dipakai dalam tarekat dan tasawuf.Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera
dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. 58
David G. Myers berpendapat bahwa intuisimerupakan kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan langsung atau wawasan langsung tanpa melalui observasi atau penalaran terlebih dahulu. Pemikiran intuitif tersebutseperti persepsi, pengetahuan yang datang seketika dan seolah tanpa
usaha. 59 Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya
sadar. Artinya, suatu permasalahan itu muncul dalam keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta merta muncul dibenaknya. 60 Adapaun menurut al-Ghaza>li>, pengetahuan yang bukan merupakan ilmu d}aru>ri> didapat dalam hati seseorang melalui ah}wa>l (keadaan) yang berbeda- beda. Terkadang tersembunyi di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya
tanpa diketahui. 61 Inilah yang disebut dengan metode ilham. Menurut Mujamil Qomar, intuisi merupakan pengetahuan yang tiba-
tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. 62 Istilah intuisi sering disebut dengan istilah-istilah yang bermacam-macam yang substansinya relatif sama. Sebagaimana Muhammad Iqbal menyebut intuisi sebagai cinta dan pengalaman kalbu, Ibn ‘Arabi> menamakannya sebagai pandanagan, lemparan dan pukulan, al-Ghaza>li> mengistilahkannya dengan ‘ilm al-laduni. Semakin banyak istilah yang dipakai oleh para ahli untuk menyebut
56 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), 53.
57 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajawaliPress, 2005), 108. 58 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 108-109. 59 David G Myers, Intuition: Its Power And Perils (Yogyakrta: Penerbit Qalam, 2004),
2. 60 Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam (Semarang: Gunung Jati, 1998), 117. 61 Al-Ghazali , Ilmu Laduni (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004), 75. 62 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 296.
intuisi, maka semakin memperkuat penguatan terhadap keberadaan intiuisi itu sendiri, walaupun dengan sudut pandang yang mungkin berbeda. 63
Mujamil Qomar melanjutkan, intiusi bisa memiliki otoritas kebenaran pada saat untuisi itu masih murni dari Allah dan belum tercampur dengan interpretasi dan pemahaman manusia. Karena pada dasarnya Allah memiliki sifat Maha Benar dan senantiasa menganugerahkan kebenaran kepada manusia, hanya saja kebenaran yang dianugerahkan Allah kepada manusia melalui intuisi itu dicoba untuk dipahami maksudnya oleh manusia.Seperti halnya pemahaman manusia yang bisa salah, maka seseorang dalam memahami intuisi pun bisa
salah. 64 Hal ini dapat dianalogikan dengan istikha>rah. Seseorang meyakini bahwa petunjuk yang diberikan Allah sebagai jawaban atas permohonan manusia melalui shalat tersebut benar, tetapi manusia tersebut yang terkadang salah menginterpretasikan petunjuk yang diberikan Allah itu.
Intuisi dijadikan sebagai sebuah metode dan ilmu pengetahuan karena beberapa sebab, 65 diantaranya: pertama, metode intuisi adalah metode yang banyak digunakan manusia. Metode ini dikenal sangat berhasil dan efektif di kalangan kaum sufi. Kedua, metode intuitisi dapat diuji kemampuannya untuk memahami realitas secara objektif. Objektivitas merupakan sesuatu yang diharapkan setelah diberlakukan suatu metode dapat dicapai oleh metode intuisi. Ketiga, metode intuisi dapat dipelajari dan dipahami oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intens dan terbimbing.
Seseorang akan bisa meraih intuisi apabila ia memiliki tiga syarat, yaitu subjek yang hadir, objek yang hadir dan cahaya ( nu>r) yang hadir. Hal ini disebabkan manusia dapat menangkap esensi objek karena esensi objek hadir dalam kesadaran dari subjek secara intuitif, atau sebaliknya, kesadaran diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi ini terjadi karena kehadiran nu>r Ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’ri>fyang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah, bukan proses h}add yang hanya sampai pada
‘ilm atau hanya idra>k(pengetahuan). 66 Dengan demikian, pengetahuan intuitif memungkinkan manusia mengenal objek, lebih
dari hanya sekedar tahu. Kaum sufi lazim menjadikan intuisi sebagai metode untuk mencari sebuah kebenaran. Termasuk al-Bursawi> menjadikan intuisi sebagai salah satu instrument penafsiran esoterik dalam tafsirnya. Ini bisa diketahui dari beberapa
63 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 296-297. 64
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 302. 65
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, 307. 66 Mohammad Muslih, ‚Pengetahuan Intuitif Model Husserl dan Suhrawardi‛ dalam Sujiat zubaidi dan Mohammad Muslih (Eds.), Kritik Epistemologi Dan Model Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta: Lesfi, 2013), 137.
contoh penafsirannya, di antaranya ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 39:
‚Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk- Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 39)
Menurut al-Bursawi>, ayat di atas mengisyaratkan bahwa tatkala Allah menguji Adam dengan menurunkannya ke bumi, maka Dia menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan memberinya ilham dan wahyu yang tidak henti-hentinya. Dan hidayah-Nya pun senantiasa diberikan kepada keturunan Adam melalui perantaraan Nabi-nabi yang diutus-Nya, wahyu-Nya, dan kitab- kitab-Nya. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barangsiapa di antara mereka yang memperoleh petunjuk-Ku melalui ilham-Ku, lalu mengikuti petunjuk-Ku, ia bagaikan mengikuti jejak Adam dalam hal bertaubat serta mengikuti jejak Nuh a.s. dalam hal menangis dan beristighfar. Ia bagaikan merawat benih kecintaan dengan taat dan ibadah, sehingga menghasilkan buah tauhid dan makrifat, tidak perlu khawatir akan tertimpa oleh bencana di masa mendatang yang merusak benih kecintaan oleh adonan tanah yang bersifat kebinatangan dan kebuasan, bencana dirusakkannya kesiapan kebahagiaan yang abadi oleh pemenuhan kesenangan yang bersifat duniawi. Dan jangan pula mereka bersedih hati atas turunnya mereka ke bumi untuk merawat benih kecintaan ( mah}abbah), karena mereka –dengan megikuti petunjuk dan memelihara diri- akan kembali kepada titik tertinggi, yaitu kembali kepada sisi
Yang Maha Suci. 67 Dari penjelasan terhadap ayat di atas, menunjukkan bahwa al-Bursawi>
menggunakan pengetahuan intuitifnya dalam mengungkap makna ayat tersebut. Contoh lain dari penggunaan intuisi sebgai salah satu instrumen penafsiran adalah ketika ia menafsirkan ayat ke-74 surat al-Baqarah:
‚Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 74)
67 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 116.
Menurut al-Bursawi> , makna dari ‚Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,‛ yaitu kalbu menjadi kering, kalbu yang kering tersebut terjadi apabila tidak tersirami oleh salah satu dari dua air, yaitu air ketakutan kepada Allah dan air kasih sayang kepada sesama makhluk. Al-Bursawi> melanjutkan, setiap kalbu yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah dan kalbu yang tidak memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah, maka kalbu itu akan mengeras sekeras batu bahkan lebih keras lagi.Sebagaimana hadis Rasulullah:
‚Janganlah kalian perbanyak berbicara selain berzikir kepada Allah, karena banyak bicara selain dengan zikir kepada Allah dapat mengeraskan hati. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah manusia yang paling keras kalbunya.‛
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:
‚Ada empat perkara yang membuat orang celaka: mata yang tidak pernah menangis, hati yang keras, angan-angan yang panjang dan rakus terhadap harta dunia.‛
Al-Bursawi> menjelaskan, ada beberapa isyarat yang terkandung dari ayat di atas, di antaranya bahwa kaum Yahudi –meskipun mereka telah melihat berbagai kebesaran Allah yang sangat luar biasa- tidak ditolong oleh ‘ina>yah, meskidengan banyaknya tanda-tanda kekuasaan Allah di muka bumi tidak lantas membuat hati mereka menjadi lembut. Padahal Allah telah memperlihatkan kepada mereka bukti-bukti yang nyata, namu mereka melihatnya hanya dengan penglihatan panca indera, mereka tidak melihat dengan mata hati. Seandainya mereka tidak berbuat demikian, maka mereka
dapat terhindar dari dusta dan penolakan. 68
Al-Bursawi> melanjutkan, demikian pula halnya orang yang tertipu ketika hendak melakukan riya>d}ah. Mereka mengira sudah dipancarkan kesucian ruhani mereka sebagai wujud dengan kekuasaan Allah dan kelebihan yang diberikan Allah. Apabila riya>d}ahitu tidak ditopang dengan kekuatan Ilahi, maka tidak akan bertambah pada mereka kecuali kekaguman pada diri dan tipuan. Al- Bursawi> berasumsi bahwa fenomena seperti itu banyak terjadi pada kalangan rahib dan orang yang berpura-pura berfilsafat. Mereka adalah orang-orang yang merangkak menuju Allah dengan kesia-siaan, dan mereka tidak menyadarinya. kalbu mereka dianalogikan batu karena kalbu mereka tidak berzikir kepada Allah. Zikir hakiki akan terjadi apabila manusia berzikir kepada Allah dan Allah
68 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 165.
pun mengingatnya. Sebagaimana firman Allah: ‚Berzikirlah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian..‛ 69
Menurut al-Bursawi>, terdapat empat martabat kalbu yang ditinjau dari kerasnya kalbu itu. Pertama, martabat batu ‛yang mengalir dari batu itu, sungai- sungai‛. Inilah kalbu yang dapat melihat benda-benda yang samar sebagai hal yang luar biasa, hal ini terjadi pada para dukun atau rahib. Kedua, martabat batu yang dilukiskan Allah sebagai ‚batu yang terbelah kemudian keluarlah air darinya. ‛ Inilah kalbu yang dapat melihat beberapa tanda dan makna yang rasional, seperti kalbu para filosof dan penyair. Ketiga, martabat kalbu yang dilukiskan Allah sebagai ‚batu yang turun karena takut kepada Allah.‛ Inilah kalbu yang bersih, kalbu ini dapat menerima pantulan sinar ruhani dari balik dinding, sehingga menimbulkan rasa takut dan khawatir di dalamnya. Kalbu ini dimiliki oleh para ahli agama. Keempat, martabat batu keras yang tidak lagi berpengaruh terhadapnya al- Qur’an, seruan, hikmah dan
nasihat. Kalbu ini dimiliki oleh orang-orang kafir dan munafik. 70 Jika melihat contoh-contoh penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat terlihat bahwa ia menggunakan pengetahuan intuitifnya untuk menemukan makna ayat al- Qur’an. Karena intuisi merupakan pengetahuan yang tiba-tiba secara teranugerahkan dan tidak melalui pengalaman sama sekali. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa para sufi –dalam hal ini al-Bursawi>- tentu mempunyai pengetahuan yang tinggi, di mana pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati berdasarkan ah}wa>l yang berbeda- beda. Terkadang pengetahuan tersebut tersembunyi di dalam hati seolah-olah sampai kepadanya tanpa diketahui.
3. Hakikat Instrumen esoterik terakhir yang digunakan al-Bursawi> dalam tafsirnya
adalah hakikat. Hakikat dalam kepustakaan sufi memiliki makna persepsi terhadap realitas menurut pengetahuan mistik, hal tersebut sangat berbeda dengan pemahaman rasional atas kenyataan sebagaimana dirumuskna para pilosof. Adapun menurut kalangan di luar sufi, hakikat dipandang sebagai keimanan. Pengertian ini biasanya dikemukakan dalam konsep makrifat, yang terakhir ini lebih banyak berbicara konsep dan doktrin tentang realitas dalam tinjauan pengalaman sufistik. 71 Bagi para sufi, hakikat lebih sering dipandang
sebagai makna sesungguhnya dari kehidupan agamis. Misalnya saja tentang realitas ( h}aqi>qah) iman, keikhlasan dan tauhid; apakah sesungguhnya esensi ibadah, shalat dan zikir; apakah sebenarnya zakat, sedekah, atau jihad; apakah sesungguhnya cinta, khawf, khusyuk, syukur, sabar, berserah diri, ridha; dan apakah keseluruhan kenyataan takwa dan ihsan, atau kesempurnaan kehidupan
69 Q.S. al-Baqarah [2]: 152. 70 Isma>’i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 165-166. 71 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 108-109.
beragama. 72 Dengan kata lain, hakikat adalah bagaimana seorang sa>lik mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan. 73
Menurut al-Qushayri>, hakikat merupakan kesaksian akan kehadiran peran serta Ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Hal ini dikarenakan syariat merupakan pengetahuan atau konsep untuk merambah jalan menuju Allah, sedangkan hakikat adalah keabadian melihat-Nya, setiap syariat yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap
hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syariat tidak akan berhasil. 74 Hubungan antara hakikat dan syariat dipaparkan oleh al-Qushayri> adalah
sebagai berikut: Pertama, syariat merupakan sesuatu yang datang dengan beban hukum dari sang Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq. Kedua, syariat merupakan penyembahan makhluk pada Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Ketiga, syariat penegakkan apa yang diperintahnya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta
yang disembunyikan dan yang ditampakkan. 75 Singkatnya, syariat adalah hakikat dari sisi mana kewajiban tersebut diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syariat dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifah.
Dalam hal ini, hakikat dapat menjadi instrumen dalam sebuah penafsiran sufistik. Sebagaimana al-Bursawi> menjadikan hakikat sebagai instrumen esoterik penafsirannya. Tentunya hakikat tidak akan bisa berdiri sendiri, karena hakikat ada untuk menjadi pelengkap dari syariat. Ini bisa dilihat ketika al-Bursawi> menafsirkan surat al-Baqarah ayat 3:
.. اَا َ لَّلا َ ُ ِ ُ َ .. ‚..Mereka yang mendirikan shalat..‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 3)
Al-Bursawi> menjelaskan, hakikat berdirinya seseorang dalam shalat disertai kerendahan dan ketawadu’an penghambaan adalah terhindarnya manusia dari kerugian sifat takabbur. 76 Puncak takabbur adalah sebagaimana yang keluar dari mulut Fir’aun yang mengatakan: ‚Akulah Rabb kalian yang paling tinggi.‛ 77 Di samping terhindar dari kerugian sifat takabbur, manusia akan memperoleh keuntungan berupa tingginya cita-cita sebagai manusia, yang apabila cita-cita tersebut menjadi sempurna dalam diri seseorang maka ia tidak
akan berpaling dari Islam dan Yang Menciptakannya. 78 Sebagaimana yang telah dirasakan Nabi saw.
72 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 109. 73 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 88.
75 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118. Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118-119. 76 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37.
77 Q.S. al- Nazi’at [79]: 24. 78 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37.
‚Ketika Muhammad melihat Jibril di Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang menghilanginya, penglihatan Muhammad tidak berpaling dari yang dilihatnnya dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabb-nya yang paling besar.‛ (Q.S. Al-Najm [53]: 16-18)
Kemudian al-Bursawi> menerangkan, bahwa apabila manusia telah selamat dari takabur bashariyah, ia siap untuk melakuakan ruku’ dengan menundukan sifat kebinatangannya, setelah itu ia berdiri dengan penuh kerendahan serta ketundukkan. Menurut al-Bursawi>, dengan seseorang melakukan ruku’, maka ia akan terlepas dari kerugian sifat kebinatangan dan memperoleh keuntungan setelah memikul penderitaan. Kemudian ia kembali dari ruku’ kebinatangan kepada sujud yang bersifat tumbuh-tumbuhan. Dengan sujud seperti itu, ia akan terlepas dari ruginya kehinaan pepohonan dan kehinaan kerendahan. Kemudian ia memperoleh keuntungan berupa kekhusuan
yang mengandung kebahagiaan dan kemenangan yang mulia serta abadi, 79 sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah: ‚Sungguh beruntung kaum Mu’minin, yang shalatnya khusyu’.‛ 80
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa khushu>’ merupakan alat mi’raj yang paling sempurna dalam menyatakan pengabdian melalui jasad yang penuh bercahaya. Khushu>’ tersebut tidak pernah terjadi di alam lain, kecuali di alam manusia.Oleh karena rahasia inilah, malaikat dan makhluk lainnya enggan untuk memikul amanat, sebab mereka khawatir akan menghianati amanah itu. Karena keengganan merupakan lawan alamiah dari khushu>’. Al-Bursawi> melanjutkan, kesanggupan manusia untuk memikul amanat, dinyatakan dalam bentuk kesiapan untuk melakukan khushu’, dan pernyataan khushu>’ yang paling sempurna adalah ketika seseorang sujud. Apabila ditelusuri lebih dalam lagi, sujud merupakan puncak pernyataan kerendahan dan kehinaan diri yang menjadi bagian perilaku shalat. Dengan sujud, manusia akan terputus keterikatannya kepada dunia dan akan meningkat ke alam ruhaniyah yang tinggi. Ia akan meninggalkan martabat kemanusiaan, kebinatangan dan tumbuh- tumbuhan yang diwujudkan dalam pernyataan penuh pengabdian, menghilangkan sifat egoisme kemanusiaan, serta berupaya dengan sungguh-
sungguh untuk memperoleh anugerah Allah swt.. 81
Contoh lain dari penafsiran al-Bursawi> yang menggunakan hakikat sebagai instrumen esoterik penafsirannya, dapat terlihat dari penafsirannya pada Surat al-Baqarah ayat 271:
79 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- 80 Q.S. al- Qur’a>n, Jilid I, 37. 81 Mu’minun [23]: 1-2. Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 37-38.
‚Jika kalian menampakkan sedekah, maka itu adalah sedekah yang baik dan apabila kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada kaum fakir, penyembunyain sedekah itu lebih baik bagi kalian dan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kalian kerjakan.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 271)
Al-Bursawi> menerangkan bahwa hakikat dari penyembunyain sedekah adalah mengisyaratkan kepada kemurniannya dari percampuran perolehan nafsu agar sedekah itu murni untuk Allah sehingga pelaku sedekah yang demikian akan berada dalam naungan Allah, sebagaimana Nabi saw. b ersabda: ‚kelak pada hari kiamat orang akan berada di bawah naungan sedekahnya.‛ Kemudian al-Bursawi> menjelaskan, jika sedekah dilakukan karena Allah, ia akan berada di bawah naungan Allah. Apabila sedekahnya karena surga, ia akan berada di bawah naungan surga. Apabila sedekahnya itu karena syahwat, ia akan berada
di bawah naungan neraka h}a>wiyah. 82
Pada hakikatnya Allah Maha Mengetahui atas amalan yang dilakukan baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan, dan Allah aka membalas seseorang berdasarkan kedua amalan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadis Qudsi:
‚Tidaklah orang-orang yang mendekatkan diri itu dekat kepada-Ku sesuai dengan apa yang Kuperintahkan kepada mereka dan senantiasa seseorang ber-taqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah melainkan Aku mencantainya. Apabila aku mencintainya, Aku – baginya- sebagai pendengaran, penglihatan, lisan dan tangan. Dengan telinga-Ku dia mendengar, dengan mata-Ku dia mendengar, dengan lidah-Ku dia bertutur, dan dengan tangan-Ku dia meraba.‛
Pada hadis diatas, al-Bursawi> menjelaskan bahwa keikhlasan tersebut adalah keikhlasan yang semata-mata untuk Allah tanpa dicampuri oleh ‘illat duniawi atau ukhrawi, karena ‘illat merupakan syirik, dan syirik merupakan sebuah kezaliman yang besar, oleh karena itu 83 ‘illat tersebut harus dijauhi.
Contoh penafsiran al-Bursawi> lainnya yang menggunakan pemaknaan secara hakikat sebgai instrumen dalam penafsirannya, dapat terlihat ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 284:
82 Qur’a>n, Jilid I, 433. 83 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 433-434.
‚Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan apa-apa yang ada di bumi. Dan apabila kalian menampakkan apa-apa yang ada dalam diri kalian atau kalian menyembunyikannya, niscahya Allah akan menghisab kalian. Maka Allah akan mengampuni orang- orang yang dikehendaki dan akan menyiksa orang yang dikehendaki- Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas sedala sesuatu.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 284)
Al-Bursawi> menjelaskan makna hakikat dari ayat ini ialah bahwa sesungguhnya manusia tersusun dari alam amr dan alam penciptaan. Manusia mempunyai ruh kecahayaan dari alam amr, yaitu alam malakut yang paling tinggi.Manusia mempunyai jasad kegelapan dari alam penciptaan. Kedua alam tersebut masing-masing memiliki kecenderungan kepada alamnya sendiri- sendiri. Ruh menuju ke Rabb al- ‘A>lami>n dan mendekati-Nya, sedangkan jasad menuju ke dasar yang paling bawah sehingga mencapai batas yang sangat jauh
dari al-H{aqq. Allah mengutus Nabi Muhammad saw. supaya mensucikan jasad manusia dari kegelapan sifat-sifatnya, sehingga jika jasad itu sudah bersih dapat mendekati Rabb al-
‘A>lami>n. 84 Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, cara mensucikan jasad ialah dengan
menyembunyikan kegelapan sifat-sifat jasad melalui penampakkan cahaya akhlak ruh kepada kegelapan sifat jasad agar jasad dihiasi dengan cahaya akhlak ruhaniyah.Menurut al-Bursawi>, inilah maqa>m para wali.Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, kemudian Allah mengutus syaitan kepada para wali-Nya. Syaitan merupakan musuh Allah, yang berupaya mengeluarakan ruh para wali dan cahaya ruhaniyah mereka kepada kegelapan jasad. Cara yang dilakukan syaitan dengan menyembunyikan cahaya akhlak ruhaniyah seraya menampakkan kegelapan akhlakiyah jasad kepada ruhani agar dengan kegelapan itu ruhaniyah para wali terjerumus ke dasar yang paling
dasar. 85 Singkatnya, makna hakikat dari ayat di atas adalah: ‚Jika kalian
menampakkan apa- apa yang ada pada diri kalian‛ yang tersimpan padanya, yaitu berupa kegelapan-kegalapan jasad yang secara lahiriyah menyalahi syariat, dan secara batiniyah karena diiyakan oleh tabi’at. ‚Atau yang kalian menyembunyikannya‛ yaitu menyembunyikan dengan menggunakan teknik- teknik pengeturan dalam menyetujui syariat dan menentang tabi’at. ‚Niscahya Allah menghisab kalian dengan‛ yaitu penyucian jiwa agar menerima cahaya ruhaniyah dan akhlaknya, atau dengan mengootori ruh agar menerima kegelapan jasad dan kegelapan akhlak. ‚Allah akan mengampuni orang yang dikehendaki- Nya‛, lalu Allah menerangi jasadnya dengan cahaya ruhaniyah dan menerangi ruhnya dengan cahaya al-H{aqq. ‚Dan Allah menyiksa orang yang dikehendaki- Nya‛ lalu Allah menyiksa jasadnya dengan api perpisahan dengan
84 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445. 85 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445.
Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Agung . ‚Dan Allah mengetahui atas segala sesuatu‛ seperti halnya ketika Dia memperlihatkan kelambutan dan Pemaksaan-
Nya atas penyusunan alam amr dengan alam penciptaan. 86 Demikianlah contoh-contoh penafsiran al-Bursawi> yang menggunakan hakikat makna dalam manafsirkan ayat al- Qur’an. Penggunaan hakikat sangatlah diperlukan karena pemahaman hakikat merupakan bentuk
pengabdaian yang diatur dalam syraiat. 87 Penghambaan, pengabdian atau ibadah seperti syahadat, shalat, puasa zakat dan haji apabila tidak diketahui hakikatnya
akan menjadi perbuatan semu. Namun pada realitanya, masih terdapat banyak perbedaan pemahaman syariat dan hakikat, banyak terjadi benturan antara orang yang berpegang secara kaku pada salah satu tingkatan. Orang yang masih kaku pada tingkat syariat selalu mendirikan shalat dengan harapan mendapat pahala. Padahal Allah memerintahkannya agar mengikhlaskan ketaatan kepada- Nya. Sebaliknya, orang yang berpegang secara kaku pada kajian hakikat tidak lagi melaksanakan syariat. Idealnya kedua kekakuan ini mesti dicairkan dengan keseimbangan antara keduanya. Syariat cenderung kepada perbaikan hubungan antara sesaman manusia. Sebaliknya, hakikat cenderung kepada perbaikan hubungan kepada Allah.
Dari uraian-urain di atas, terlihat bahwa al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n memiliki konstruk atau framework penafsiran sufistik tersendiri yang khas dan unik. Frameworktersebut terdiri dari instrumen eksoterik dan esoterik dengan seluruh elemen-elemen di dalamnya. Hal ini dilakukan oleh al- Bursawi> untuk mengharmonisasikan antara pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in dalam mengungkap makna yang terkandung di balik teks al- Qur’an agarmampu memberikan penekanan nilai-nilai moral, etika, akhlak, maqama>tkepada para pembacanya.
Dengan demikian, korelasi antara instrumen eksoterik dan esoterik adalah sebuah perpaduan dimensi z{a>hir dan ba>t}in yang terdapat dalam tafsir Ru>h} al-Baya>n. Dalam hal ini, al-Bursawi> memiliki metode tersendiri yang khas, yaitu pengharmonisasian antara dimensi z}a>hir dan ba>t}in melalui pengalaman keruhanian yang dimilikinya dalam menyibak makna yang terkandung dalam teks al- Qur’an. Sehingga hal ini memberikan nilai positif kepada penafsirannya tersebut.
86 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 445-446. 87 Mulyadi, Membedah Al- Qur’an Berjilid Kulit: Menelusuri Keberadaan Dzat Allah
(Jakarta: CV Rahman Rahim, t.t), 127-128.
BAB V VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI<Al-BURSAWI<
Bab V ini membahas tentang penafsiran Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi> yang berkaitan dengan ayat-ayat ‘ubu>diyah dan puncak penglaman sufistik. Ayat-
ayat tentang ‘ubudiyah dipilih untuk merepresantasikan kelompok sufi amali> yang dalam tradisi penafsiran sufistiknyamelahirkkan corak tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Kemudian ayat-ayat mengenai puncak pengalaman sufistik dirasa penting dibahas, karena kerap muncul kontroversi pemahan terhadapnya. Selain itu, tema tersebut dirasa pas sebagai reprentasi dari kelompok sufi falsafi> yang sering kali menafsirkan al- Qur’an secara naz}ari>.
Setelah melihat penafsiran al-Bursawi> terhadap kedua kelompok ayat ini, kemudian akan dilakukan uji validasi dengan teori validitas penafsiran sufistik perspektif al-Dhahabi> yang meliputi empat kriteria, yaitu 1) tidak bertentangan dengan makna zahir ayat; 2) tidak bertentangan dengan syariat
dan akal sehat; 3) didukung argumentasi rasional dan dalil syar’i; dan 4) tidak mengkalaim bahwa tafsir sufistiknya adalah yang dimaksudkan oleh ayat. Apabila penafsiran Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> memenuhi empat kriteria yang disebutkan di atas, maka secara otomatis akan terlihat corak atau kecenderungan penafsiran sufistiknya.
A. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Tentang ‘Ubu>diyah
1. Shalat Ditinjau dari segi bahasa, kata shalat 1 seakar dengan kata s}ala>, al-
s}ali>dan yas}la>yang berarti memasuki dan menuntun. Kata tersebut diulang sebanyak sepuluh kali yang seluruhnya berkontekskan neraka (memasuki neraka), seperti surat al- A’la> [87]: 12. Pernyataan senada juga diungkapkan dalam surat al-Gha>shiyah [88]: 4, al-Inshiqa>q [84]: 12, al-Lahab [111]: 3, al- Isra>’ [17]: 18 dan pernyataan yang senada lainnya. Kata shalat diasosiasikan pada makna di atas, karena shalat itu merupakan serangkaian ibadah yang harus dilakukan dalam upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Terkadang juga digunakan untuk makna tempat ibadah, seperti kata shalawat yang biasa digunakan untuk memaknai gereja, yang diungkapkan Tuhan dalam surat al- H{ajj [22]: 40. Selain itu, shalat juga bermakna doa sebagimana yang diungkapkan dalam surat al-Tawbah [9]: 103. Pernyataan dengan makna yang sama juga diungkapkan dalam surat al-Ah}za>b [33]: 56 dan al-Baqarah [2]: 107.
Sedangkan secara terminologi, shalat adalah suatu ibadah yang mengandung ucapan (bacaan) atau perbuatan tertentu yang diawali
dengan 2 takbi>rat al-ihram dan diakhiri dengan salam. Selain itu, shalat merupakan refleksi dari sikap tunduk seorang hamba terhadap Tuhannya, juga
1 Al-Raghi>b al-As}fahani>, Mu’jam Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 293.
2 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t), Jilid I, 90.
merupakan media penghubung kejiwaan serta penyampaian doa-doa seorang hamba kepada Allah sebagai Tuhannya. 3 Dengan shalat inilah manusia dapat
berdialog langsung dengan Kha>liq-nya melalui doa-doa, tasbi>h}, tah}mi>d, tashahu>d dan tasli>m. Karena dengan ucapan-ucapan inilah kehendak manusia dapat disalurkannya. Kehendak manusia itu bagai air yang deras, jika dibendung diaakan mencari jalan keluar sekuat tenaganya. Kalau tidak ada jalan keluar, ia sanggup menyusun tenaganya sendiri untuk merobohkan rintangan yang menghalanginya. Shalat adalah laksana sungai yang mengalirkan air sebanyak-
banyaknya ke laut lepas. 4 Menurut al-Ghaza>li>, shalat merupakan tiang agama, tali pengikat keyakinan antara hamba dengan Tuhannya, puncak taqarrub, dan salah satu amalan terpenting dari seluruh ketaatan yang wajib dilakukan oleh
seorang hamba kepada Tuhannya. 5
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai shalatdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
1.1. Q. S. al-Baqarah [2]: 238
‚Peliharalah semua shalat dan shalat wust}a>. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan Khusyu’.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 238)
Menurut al-Bursawi>, h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>ti adalah perintah untuk memelihara shalat-shalat dengan cara membiasakan melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Adapun yang dimaksud dengan shalat-shalat tersebut adalah shalat fardhu yang berjumlah lima kali dalam sehari semalam. Bilangan shalat tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat al- Qur’an dan hadis- hadis mutawatir. Kemudian al-Bursawi> melanjutkan, shalat wust}a> dalam ayat tersebut adalah bilangan yang diapit oleh dua bilangan yang sama. Bilangan tersebut berjumlah lima bilangan, karena shalat Ashar terletak di tengah-tengah
shalat lainnya, maka disebut dengan shalat 6 wust}a>. Dari paparan di atas, terlihat bahwa al-Bursawi>dalam menjelaskan kata
wust}a>sangat berpegang pada argumentasi rasio. Selain itu, ia memahami kalimat ‚peliharalah shalat‛ dengan selalu melaksanakan shalat tersebut tepat pada waktu yang telah ditetapkan.Penjelasannya tersebutselaras dengan rambu- rambu syariat yang menganjurkan pelaksanaan shalat tepat waktu. Selain itu, jika ditinjau dari makna tekstual ayat, apa yang dijelaskan al-Bursawi> di atas tidaklah bertentangan dengan makna tekstual yang terkandung pada ayat
3 Dede Rosyada, ‚Perspektif Al-Qur’an Tentang Salat‛ dalam Abudin Nata (ed.), Kajian Tematik Al- Qur’an Tentang Fiqih Ibadah (Bandung: Angkasa, 2008), 150.
4 Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 95. 5 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2004), 194. 6 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah
‘Uthma>niyah, 1928), Jilid I, 374.
tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-Qushayri> dalam memaknai h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>tidengan menjaga shalat sepenuh hati dan dengan penuh kepatuhan. Apabila seorang hamba melakukan hal itu, maka ia akan selalu diiringi dengan sifat, karakter atau prilaku yang ditimbulkan dari pelaksanaan
shalat. 7 Sebagaimana al-Bursawi>, penjelasan al-Qushayri> tersebut masih berpijak pada koridor syar‘i. Sehingga apabila seseorang selalu berpegang kepadanya, maka shalatnya itu akan mengantarkan kepada sifat, karakter dan perilaku yang baik.
Penafsiran al-Bursawi> dan al-Qushayri> mengenai kata h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>ti di atas sejalan dengan penjelasan al-Alu>si>yang menyatakan bahwa maksud kalimat tersebut adalah perintah untuk selalu melaksanakan shalat tanpa adanya pelanggaran. Perintah itu dapat berarti permohonan ampunan yang terkandung di dalamnya dan juga larangan untuk meninggalkan keutamaan shalat. Karenashalat dapat menjauhkan seseorang dari keburukkan dan kemunkaran. Atau dapat pula berarti mengumpulkan keutamaan perintah
Allah dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. 8 Dari Penjelasan al-Alu>si> itu, terlihat bahwa ia sangat memperhatikan aspek syariat, hal ini bertujuan agar
seseorang dalam shalatnya harus senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan syariat. Apabila hal tersebut diperhatiakan dan dilaksanakan,maka ia akan dianugerahi keutamaan dari perintah Allah tersebut, yaitu kasih sayang-Nya.
Penjelasan al-Bursawi> berikutnya adalah berkenaandengan kalimat wa al-s}ala>ti al-wust}a>pada ayat di atas. Dalam penjelasannya itu, ia mecoba memaknai kalimat itu dengan melihat dari aspek kebahasaan sebelum kemudian beranjak kepada pemaknaan sufistiknya. Selain itu, ia juga memperkuat penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi ketika terjadinya peristiwa Ah}za>b. Hal ini terlihatpada penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>,maksud wa al-s}ala>ti al-wust}a> adalah memelihara shalat yang berada di tengah-tengah shalat yang lainnya. Kata wust}a> merupakan sifat mushabaha>t atau utama. Segala sesuatu yang terletak di tengah-tengah ( mutawa>sit}) adalah yang paling baik dan yang paling adil. Yang dimaksud dengan shalat wust}a>pada ayat ini adalah shalat ‘As}r. Penafsiran al- Bursawi> ini didasarkan kepada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan ketika peristiwa Ah}za>b:
‚Mereka telah membuat kita lalai atas shalat wust}a>, y akni shalat ‘As}r. Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api.‛
7 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 111.
8 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.t), Jilid 2, 155-156.
Menurut al-Bursawi>, shalat wust}a> memiliki kedudukan khusus karena pada waktu tersebut banyak orang disibukkan oleh perniagaan dan usaha. Selain itu, pada waktu itu menjadi waktu berkumpulnya malaikat malam dan malaikat siang. Kemudain al-Bursawi> mengutip hadis Nabi saw. yang berbunyi:
‚ Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘As}r, maka seakan-akan ia telah kehilangan keluarga dan hartanya.‛
Hadis tersebut mengandung pelajaran bahwa hendaklah manusia takut untuk kehilangan shalat ‘As}r seperti takutnya saat kehilangan keluarga dan harta. Hadis di atas menjadi argumentasi bagi orang yang berpendapat bahwa shalat wust}a> bukan merupakan shalat ‘As}r. Selain itu, hadis tersebut juga menjadi argumentasi bagi orang yang berpendapat bahwa shalat wust}a>adalah samar, dan Allah telah menyamarkannya agar dapat menjadi motivasi manusia agar
senantiasa memelihara seluruh shalat fard}u-nya. Selain itu, shalat wust}a>juga termasuk waktu yang
mustajab seperti hari Jum’at. 9 Dari penjelasa al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan al-s}ala>t wust}a>pada ayat tersebut adalah shalat ‘As}r. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ketika persistiwa Ah}za>b. Apa yang dijelaskan al-Bursawi> berbeda dengan penafsiran al-Alu>si> yang menyatakan bahwa s}ala>t al-wust}a>adalah shalat lima waktu yang telah ditetapkan dan tidak dikhususkan bagi shalat dhuhur, ashar, magrib, isya’, atau subuh. 10 Dari penjelasan al-Alu>si> tersebut, terlihat bahwa ia memaknai kata wust}a>sebagai shalat fardu seluruhnya tanpa ada pengkhususan di dalamnya. Ini berbeda dengan penafsiran al-Qushayri>yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan s}ala>t al-wust}a>adalah shalat yang dilakukan di rumah, tetapi kemudian seseorang mengikuti dan menghormati untuk melakukan shalat berjama’ah, dengan keyakinan bahwa ketika ia melakukan atau melaksanakan sendiri shalat di rumah, maka ia akan mendapatkan sesuatu yang kurang jika dibandingkan
dengan shalat berjama’ah. 11 Penafsiran al-Qushayri> tentang kata wust}a>berkaitan dengan tempat pelaksanaan shalat.Hal ini berbeda dengan apa yang telah
disampaikan al-Bursawi> yang memandang bahwa kata tersebut adalah suatu bentuk pengkhususan terhadap shalat ‘As}r.
Penjelasan umum al-Bursawi> mengenai makna h}a>fiz}u> ‘ala> s}alawa>tiadalah sebagai seruan untuk memelihara shalat-shalat dengan cara membiasakan diri melaksanakan shalat tepat pada waktu. Penafsiran yang dilakukannya itu tidaklah bertentangan apabila ditinjau dari makna tekstual
9 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 374. 10 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid 2, 155-156. 11 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid 1, hal 111.
ayat tersebut. Karena pelaksanaan shalat dengan tepat waktu merupakan bentuk penjagaan terhadap perintah shalat itu sendiri. Kemudian, ketika ia menjelaskan kalimat wa al-s}ala>ti al-wust}a>pada ayat yang sama, terlihat bahwa ia memaknai kalimat itu dengan melihat dari sudut kebahasaan terlebih dahulu sebelum ia beranjak kepada pemaknaan sufistiknya. Selain itu, ia juga memperkuat penafsirannya dengan mengutip hadis Nabi ketika terjadinya peristiwa Ah}za>b. Ini menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan aspek syariat sebelum beranjak kepada tahapan selanjutnya, yaitu hakikat. Apabila melihat validitas penafsiran sufistik yang dijelaskan oleh al-Dhahabi>, sebuah penafsiran sufistik haruslah didasari dengan dalil- dalil syara’ atau argumentasi rasionalserta tidak bertentangan dengannya. Jika seorang mufassir sufi melakukan tahapan itu, maka hal ituakansemakin menambah nilai positif penafsiran sufistiknya.
1.2. Q.S. al-Nisa>’ [4]: 103
‚Apabila kalian telah menyelesaikan shalat, maka ingatlah Allah (ketika) berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian apabila kalian merasa aman, maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban bagi Kaum Mukminin yang ditentukan waktunya.‛ (Q.S. al- Nisa>’ [4]: 103)
Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan faidha> qad}aytum al- s}ala>taadalah shalat khawf menurut cara (shalat) yang sudah diterangkan. Dari sini tampak bahwa kata qad}a> digunakan untuk suatu perbuatan yang telah habis waktu pelaksanaannya. Penggunaan semacam itu juga terdapat pada firman Allah lainnya: ‚Apabila kalian telah menyelesaikan manasik kalian.‛ 12
Kemudian maksud dari
fa aqi>mu al-s}ala>ta menurut al-Bursawi> adalah shalat yang sudah memasuki waktunya, dengan menyempurnakan rukun-rukunnya serta memelihara syariatnya. Di kalangan mazhab Hanafi ada yang berpendapat bahwa zikir di situ bersifat umum, meliputi zikir dengan lisan dan shalat. Maka dalam menafsirkan ayat ini mereka mengatakan: ‚Biasakanlah zikir kepada Allah dalam segala keadaan. Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, lakukanlah sambil berdiri tatkala kamu sehat dan sanggup untuk berdiri, dan lakukanlah dengan duduk tatkala kalian tidak dapat berdiri, dan lakukanlah
dengan berbaring tat 13 kala kalian tidak dapat duduk.‛
12 Q.S. al-Baqarah [2]: 200. 13 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276.
Dari penafisran al-Bursawi> tentang faidha> qadhaytum al-s}ala>ta di atas, dapat dipahami bahwa ia memaknai kalimat tersebut dengan shalat khawf, yaitu shalat yang dilakukan ketika dalam keadaan perang. Kemudian ia
melanjutkan penjelasannya mengenai kata qad}a>. Menurutnya, peggunaan kata tersebut mengindikasikan tentang suatu amalan yang telah habis masa pelaksanakannya. Halitu didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat ke-200. Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa al-Bursawi> mencoba menafsirkan kata qad}a>dengan menggunakan pendekatan tafsi>r Qur’a>n bi> al- Q ur’a>n. Metode ini biasa dipakai oleh kalangan mufassir bi> al-ma’thu>ryang biasa menafsirkan ayat dengan al- Qur’an atau yang bersumber dari periwayatan. Walaupun al-Bursawi> bukan termasuk dari kalangan mufassir bi> al- ma’thu>r, namun dalam penafsirannya kerap memakai metode itu untuk menemukan makna sufistik yang terkandung pada suatu ayat.
Apa yang diterangkan al-Bursawi> di atas, berbeda dengan penafsiran al- Alusi> yang menjelaskan bahwa ketika seseorang melaksanakan shalat, hendaknya di dalam dirinya harus ada rasa takut kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran al-Alu>si> sebagai berikut:
Al-Alusi> mengatakan bahwa ketika seseorang melaksanakan shalat, maka takutlah ia kepada Allah. Karena tidak ada tujuan lain kecuali menyembah kepada-Nya, selalu melanggengkan untuk berzikir kepada Allah dalam keadaan apapun, serta istiqo>mah dalam mengerjakannya. Kerjakan shalat ketika telah tiba waktunya, kerjakan semua ruku-rukunnya, perhatikan syarat-
syaratnya, dan jagalah bilangan atau jumlahnya. 14 Penjelasan al-Alu>si> tersebut berbeda dengan al-Bursawi> yang memahami kalimat al-s}ala>ta dengan shalat
khawf dan segala ketentuan tentangnya yang telah diterangkan oleh syariat. Adapun al-Qushayri> dalam tafsirnya memaknai kata al-s}ala>ta pada ayat di atas adalah zikir terus menrus tanpa terputus. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya sebagai berikut:
Menurut al-Qushayri>, ayat di atas menjelaskan bahwa pekerjaan yang nyata dan tampak serta jelas kapanpun waktunya adalah membuat hati selalu berzikir terus-menerus tanpa terputus. Berzikir dengan menggunakan nas} (kitab) terbatas oleh waktu tanpa kontinuitas (tidak setiap waktu dan terus menerus), sedangakan berzikir dengan hati terserah bagi siapa saja dan dapat dirahasiakan. Adakalanya pelaksanaan zikir berbeda-beda caranya, maka berzikirlah seperti yang biasa kalian lakukan. D an tuma’ninalah kalian dalam
melaksanakan shalat. 15 Dari penjelasan al-Qushayri>, terlihat bahwa ia memandang shalat
sebagai bagian dari zikir. Karena menurutnya zikir dengan hati memiliki
14 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid 5, 137-138. 15 Abd al-Kari>m al-Qushayri >, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid 1, hal 222.
cakupan luas yang tak terbatas dengan tempat dan waktu. Hal ini berbeda dengan dengan apa yang telah diuraikan oleh kedua mufassir di atas.
Kemudian, penafsiran al-Bursawi> berikutnya mengenai makna kalimat inna al- s}ala>ta ka>nat ‘ala> al-mu’mini>na kita>ban mawqu>ta>. Menurutnya, kalimat
tersebut adalah shalat wajib berjumlah lima kali yang telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Dalam memperkuat argumentasinya, ia mengutip kitab Sharh} al-H{ukm al- ‘At}a>’iyyah. Selain itu, al-Bursawi>juga menjelaskan geneologi disyariatkannya shalat serta mempertajam penjelasannya itu dengan mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Dawu>d. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Kalimat inna al- s}ala>ta ka>nat ‘ala> al-mu’mini>na kita>ban mawqu>ta> adalah shalat fardu yang telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Dalam Sharh} al- H{ukm al- ‘At}a>’iyyah dikatakan bahwa tujuan dari penetapan waktu pelaksanaan shalat untuk menghindarkan manusia dari kerakusan dalam beribadah yang dapat mengantarkannya pada kebosanan dan tidak sampainya suatu amalan kepada Allah. Oleh karena itu, Allah menjadikan pelaksanaan shalat pada waktu-waktu tertentu. Dapat dibayangkan ketika pelaksanaan suatu ibadah tidak ditentukan pada waktu-waktu tertentu, maka kehidupan manusia akan terhambat. Bahkan yang lebih parah lagi, ibadah tersebut akan ditinggalkan sama sekali. Allah memberi kelonggaran waktu tidak lain agar saat memilih
waktu pelaksanaan tetap ada, dan inilah rahasia waktu. 16
Al-Bursawi> menjelaskan, diwajibkannya shalat kepada umat manusia adalah pada malam Mi’raj dengan lima puluh kali waktu shalat, kemudian Allah meringankannya menjadi lima kali. Namun demikian, Allah swt. memberikan pahala untuk lima kali shalat ini dengan pahala lima puluh kali waktu shalat. Dengan kata lain, pahala lima puluh waktu shalat itu terdapat dalam lima waktu shalat tersebut. Kemudian Al-Bursawi> mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud:
‚Allah tidak mewajibkan sesuatu yang paling Dia sukai kepada makhluknya setelah ia bertauhid, selain shalat. Andaikan ada sesuatu yang paling dicintai-Nya selain shalat, niscahya sesuatu itu akan disembah oleh para malaikat-Nya, maka di antara mereka ada yang ruku’, sujud, berdiri dan duduk.‛
16 I sma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276.
Al-Bursawi> melanjutkan, bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang telah dianugerahi kekalan dalam shalatnya, mereka senantiasa berada dalam keadaan shalat selamanya semenjak azali. Keadaan ini menurutnya tidak dapat dipahami oleh akal yang picik dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta’ala. 17 Sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya:
‚Orang-orang yang dawa>m shalatnya‛. 18
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terlihat bahwa dalam menjelaskan perihal kewajiban shalat bagi umat Islam, iamelandasi argumentasinya dengan melihat sisi historis dari perintah shalat tersebut. Kemudian ia perkuat lagi penafsirannya itu dengan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud.Hal ini mengindikasikan bahwa dalam metode penafsiran yang ia lakukan selalu berusaha mengharmonisasikan antara instrumen syariat dan hakikat. Kedua unsur itu harus selalu beriringan dalam sebuah penafsiran sufistik. Karena kedua instrumen tersebut erat kaitannya dengan dimensi zahir dan batin. Jika dimensi zahir dan batin dalam sebuah penafsiran dapat dipadukan, maka penafsirannya itu dapat digolongkan ke dalam tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Zaqa>ni>bahwa tafsir sufi isha>ri>/fayd}i> adalah sebuah upaya penakwilanal-Qur’an yang berbeda dengan makna z}a>hir-nya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli sulu>k dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara
makna yang tersembunyi dan makna yang tampak. 19
1.3. Q.S. al-Nisa>’ [4]: 162
‚Tetapi orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka dan orang-orang yang beriman, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah diturunkan kepada sebelummu. Dan orang-orang yang mendirikan shalat serta menunaikan zakat. Juga yang beriman kepada Allah serta hari Akhir. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan pahala yang besar.‛ (Q.S. al-Nisa>’ [4]: 162)
17 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 276-277.
19 Q.S. al- Ma‘a>rij [70]: 23. Muh}ammad ‘Abd al-‘Adhi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-
‘Arabi>, t.t.), Jilid II, 66.
Ayat ini berbicara tentang sekelompok orang yang memiliki kedalaman ilmu. Mereka memiliki keimanan terhadapsemua yang diturunkan Allah kepada mereka dan kaum sebelum mereka.Ayat ini juga berbicara mengenai orang- orang yang senantiasa melaksanakan shalat, membayar zakat, dan orang-orang yang beriman kepada Allah serta hari akhir. Mereka itulah golonganyang mendapatkan pahala yang besar dari Allah.
Al-Bursawi>melakukan beberapa tahapandalam menafsirkan ayat di atas. Pertama, ia membuka penafsirannya dengan menjelaskan kata al-s}ala>ta menggunakan analisis kebahasaan. Kedua, ia lanjutkan penjelasannya mengenai keutamaan shalat diikuti dengan mengutip sebuah hadis untuk mempertajam argumentasi penafsirannya. Ketiga, ia menjelaskan makna sufistik dari ayat di atas. Semua tahapan itu dapat dilihat dari penafsirannya berikut:
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa kata al-s}ala>ta pada ayat di atas di- nas}ab-kan sebagai pujian untuk menerangkan keutamaan mendirikan shalat. 20
Adapun di antara keutamaan shalat lima waktu sebagaimana yang tertuang dalam hadis Nabi saw. yang berbunyi:
‚Barangsiapa di antara kalian yang memelihara shalat lima waktu, di manapun dan keadaan bagaimanapun, maka pada hari kiamat ia akan melewati jembatan sebagaimana kilat yang bercahaya, yaitu pada kelompok pertama yang terdahulu. Ia akan datang pada hari kiamat, dengan wajah seperti bulan purnama. Shalat yang selalu dipelihara pada siang dan malam, pahalanya seperti seorang yang syahid di jalan Allah.‛
Menurut al-Bursawi>, rahasia hadis ini dapat dipahami dari lafaz shalat yang diambil dari kata al-s}ala yang berarti api. Kayu yang bengkok bila hendak diluruskan, biasanya dipanaskan terlebih dahulusebelum kemudian diluruskan. Begitupun manusia yang bengkok disebabkan dalam dirinya terdapat nafsu amarah, sedangkan kesucian wajah Allah Yang Maha Mulia itu panas. Sehingga jika kebengkokan dirinya itu tersingkap, maka kesucian tersebut akan membakarnya atau membakar setiap pandangan yang tetuju ke sanaseperti yang dituturkan dalam hadis tersebut. Dengan shalat, manusia akan berhadapan dengan kesucian itu, kemudian kesucian tersebut mengenai orang yang
20 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 321.
shalat.Hal ini terjadi karena adanya sinar kekuasaan Ilahiyah serta kebesaran Rabbaniyah yang dapat menghilangkan kebengkokan dirinya. Bahkan dengan shala t mi’raj dirinya dapat terwujud seperti orang yang sedang menghangatkan badan. Barangsiapa yang menghangatkan badan dengan kesucian, maka kebengkokan yang ada pada dirinya akan hilang sehingga ia tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka Jahannam. Dengan kadar perlintasan itu, orang yang shalat menghilangkan jejak orang lain, sehingga ia tidak perlu lagi untuk tinggal di atas jembatan. Namun ia melintasi jembatan tersebut seperti kilatan kilat. 21
Dari penjelasan al-Bursawi>di atas, dapat dipahami bahwa ayat itu merupakan bentuk pujian dan keutamaan terhadap orang yang mendirikan shalat. Al-Bursawi> menjelaskan makna ayat tersebut dengan hadis Nabi mengenai keutamaan shalat. Menurutnya, diantara keutamaan shalat adalah meluruskan manusia yang bengkok karena nafsu amarah di dalam dirinya denganpanasnya kesucian Allah Yang Maha Mulia.Ketika seseorang shalat, ia akan diterangioleh kesucian Allah. Selain itu, mi’raj seseorangakan terwujud dengan melaksanakan shalat. Di samping itu, shalat juga dapatmembantu seseorangmelintasi al-s}ira>t} seperti kilatan kilat.
Apa yang telah dijelaskan al-Bursawi> sejajalan dengan al-Qushayri> yang mengatakan bahwa ayat tersebut mengindikasikan keutamaan dan kekhususan shalat dibanding ibadah lainnya.Karena penyebutan shalat dalam al- Qur’an, sering dikaitkan dengan iman. Selain itu, Allah memerintahakan Nabi saw. u ntuk melaksanakan mi’raj tanpa perantara Jibri>l ‘alayhi al- sala>m. 22 Dari penjelasan al-Qushayri>, dapat disimpulkan bahwa ayat di atas berbicara mengenai keutamaan dan kekhususan shalat yang tidak didapati pada ibadah-ibadah yang lain.
Jika dilihat lebih mendalam, makna zahir yang terkandung pada ayat ke-162 surat al- Nisa>’adalah berkenaan dengan keutamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan shalat, yaitu denganmendapatkan pahala yang besar dari Allah. Antara makna yang terkandung pada ayat itu dengan penafsiran al- Bursawi>,tidak terdapat pertentangan di dalannya. Karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, al-Bursawi juga dalamtafsirnya berbicara mengenaipujian dan keutamaan mendirikan shalat. Keutamaan itu adalahdapat meluruskan nafsu amarah di dalam diri seseorang dengan kesucian Allah Yang Maha Mulia.Dari Penjelasan al-Bursawi tersebut, apabila ditelusuri lebih jauhakan didapati keselarasan dengan Firman Allah dalam surat al- ‘Ankabu>t ayat ke-
45: ‚Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar.‛ Perbuatan keji dan munkar timbul dari nafsu amarah pada seseorang.
21 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 321-322. 22 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 240-241.
Apabila nafsu amarah itu dapat dibakar atau dihilangkan dengan cahaya kesucian Allah ketika shalat, maka ia tidak akan melakukan perbuatan keji dan munkar setelah shalat. Hal ini mengindikasikan bahwa penafsiran sufistik Al- Bursawi>dilakukan dengan tetap berpijak dengan makna zahir ayat.
Kemudian pada tahapan penafsiran sufistiknya, al-Bursawi> menjelaskan keutamaan shalat dengan mengutip sebuah hadis dari Nabi. Hal ini bertujuan untuk menguatkan penafsirannya. Jika ditinjau denganmenggunakan validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, sebuah penafsiran sufistik bisa dikatakan valid
apabiladalam penafsirannya 23 didasarkan kepada dalil syara’. Hal itu dilakukan dengan baik oleh al-Bursawi>dalam menafsirkan ayat di atas. Selain itu, dalam
penafsirannya juga tidak ditemukan klaim bahwa penafsirannya itu adalah satu- satunya yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.
2. Puasa Al- Qur’an menggunakan kata s}iya>m sebanyak delapan kali, kedelapan
kata itu memiliki arti puasa menurut pengertian syariat. Di samping itu, al- Qur’an juga menggunakan kata s}awm sebanyak satu kali, kata s}awm tersebut
memiliki arti menahan diri untuk berbicara, 24 sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Maryam [19]: 26. Semua kata-kata yeng beraneka bentuk tersebut diambil dari akar kata s}a-wa-ma yang bermakna menahan, berhenti dan tidak bergerak.
Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga s}iya>m hanya dimaknai dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari dengan disertai niat. 25 Berbeda dengan kaum sufi, yang merujuk kepada hakikat dan tujuan dari puasa serta menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota badan bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Karena puasa pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. 26 Dalam perspektif sufistik, al-Ghaza>li> memandang bahwa puasa adalah
suatu bentuk kewajiban ibadah yang Allah jadikan sebagai benteng terkuat bagi para wali-Nya, di samping itu juga sebagai salah satu kunci pumbaka surga-
Nya. 27 Puasa memiliki nilai plus disebabkan oleh makna yang dikandungnya. Selain sebagai pengendali diri manusia, pelaksanaan puasa pun bersifat rahasia, karena hanya sha>’im dan Allah yang mengetahuinya. Menurut al-Ghaza>li>, puasa merupakan amalan batin yang hanya bisa dilaksanakan dengan kesabaran
23 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 24 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1998), 521. 25 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, 522. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, 431. 26 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, 522. 27 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 303.
semata. Selain itu, puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menundukkan syaitan. Syhawat dan nafsu adalah pintu yang sering dimasuki syaitan untuk menggoda manusia, dan nafsu akan semakin kuat dengan makan dan minum. Sebaliknya, rasa lapar pada diri seseorang akan menutup pintu dan memudarkan seluruh syahwat dan nafsu yang menjadi alat syaitan untuk
menggoda manusia. 28 Oleh karena itu, puasa harus diniatkan sebagai upaya untuk menahan syahwat dalam diri manusia. Karena itu puasa diartikan sebagai
hilangnya kehendak nafsu dalam diri manusia. Puasa tidak hanya sebatas menahan lapar, dahaga dan berhubungan intim dengan istri belaka. Puasa
semacam itu hanya bersifat lahiriyah. 29
Al-Ghaza>li> melanjutkan, bahwa ada enam hal yang harus dilakukan oleh seorang sha>’im, yaitu: pertama, menjaga pandangannya dari hal tercela yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah; kedua, menjaga lidah dari ucapan yang tidak bermanfaat seperti dusta, fitnah, menggunjing. Ketika seseorang berpuasa, lidahnya hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti
berzikir dan membaca al- Qur’an; ketiga, menjaga pendengarannya dari hal-hal yang tercela; keempat, mencegah semua anggota badan lainnya dari perbuatan yang diharamkan. Tangan dan kaki dijaga untuk tidak melakukan atau menuju ke tempat yang diharamkan. Perut dijaga untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram maupun syubhat; kelima, mencukupkan diri dengan makanan yang halal, tidak berlebihan dan melampaui batas baik ketika berbuka puasa maupun ketika sahur; keenam, ketika selesai berbuka, hati senantiasa berharap dan merasa cemas. Sebab ia tidak mengetahui dengan pasti apakah puasanya itu diterima atau ditolak. Perasaan ini selalu menyertainya setiap kali selesai
melakukan puasa. 30 Pandangan al-Bursawi> mengenai puasa, dapat dilihat dari penafsirannya
sebagai berikut:
2.1. Q.S. al-Baqarah [2]: 183
‚Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)
Dalam memaknai puasa pada ayat di atas, al-Bursawi> terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Hal ini terlihat dari penjelasannya berikut ini:
28 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 304. 29 Abi> H{a>mid al-Ghaza>li>, Majmu>’ah Rasa’il al-Ima>m al-Ghaza>li> (Beirut: Da>r al-Fikr,
2006), 53. 30 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 307-309.
Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan kutiba ‘alaikum al-s}iya>m adalah puasa bulan Ramad}a>n. Hal ini mengacu kepada ayat sesudahnya yang berbuny
i: ‚..Barangsiapa di antara kalian yang menjumpai bulan ini (Ramad}a>n), maka hendaklah ia berpuasa..‛ 31 Puasa menurut syariat adalah
menahan diri pada siang hari dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Ini merupakan puasa kaum m um’min yang awam. Adapun puasa kaum khawa>s} ialah menahan diri dari segala perkara yang dilarang. Sedangkan puasa khawa>s} al-khawa>s} adalah menahan diri dari segala perkara selain Allah.Diwajibkannya puasa kepada umat manusia terjadi pada zaman nabi Adam a.s. dan umat manusia sesudahnya. Menurut al-Bursawi>, ayat ini mengandung penguatan hukum, motivasi untuk berpuasa, dan memperbaiki orang-orang yang di- khit}a>b- kan ayat tersebut. Puasa adalah ibadah yang berat, namun suatu ibadah yang berat apabila dilakukan dengan massal akan mudah dilakukan dan akan disukai oleh setiap orang yang menjalankannya. Jelasnya, pen- tashbi>h-an (penyerupaan) itu kembali kepada inti kewajiban ibadah puasa itu sendiri, bukan kepada kuantitas puasa yang diwajibkan dan bukan kepada penjelasan atas waktu pelaksanaannya.Pen- tashbi>h-an (penyerupaan) dalam kewajiban puasa, tidak menuntut kesamaan dalam segala aspeknya.Sebagaimana dikatakan dalam sebuah do’a ‚Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau merahmati Ibrahim dan keluarganya.‛ Selain do’a tersebut, Nabi saw. juga pernah besabda: ‚Kalian akan melihat Rabb kalian bagaikan bulan pada malam purnama.‛ Ungkapan dalam hadis ini merupakan tashbi>h (penyerupaan) antara sebuah penglihatan dengan penglihatan lainnya, bukan
tashbi>h terhadap obyek penglihatan dengan obyek lainnya. 32 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, ia menafsirkan kalimat kutiba
‘alaikum al-s}iya>m dengan mengacu pada ayat selanjutnya. Ini memberikan indikasi bahwa al-Bursawi> mencoba mengunakan metode tafsi>r Q ur’a>n bi> al- Q ur’a>n. Selain itu, metode penafsiran sufistiknnya selalu berpegang pada aspek zahir dan batin. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Alu>si> sebagaimana dikutip ‘Ali> H{asan al-‘Ari>d} bahwa dalam tradisi penafsiran sufistikharus melalui beberapa tahapan. Pada tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Setelah makna z}a>hir ayat diketahui, barulah pada tahap berikutnya beranjak kepada pemaknaan secara 33 isha>ri>. Selain itu, al-Bursawi> dalam
penjelasannya mengenai term puasa sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Hal ini tampak ketika ia memaknai puasa dengan mengacu pada perspektif fuqaha>’.
Berbeda dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> membagi puasa ke dalam dua jenis. Pertama, shaum z{a>hir, menjaga diri dari makan dan minum yang disertai dengan niat. Kedua, shaum ba>t}in, penjagaan atau perlindungan hati dari
31 Q.S. al-Baqarah [2]: 185. 32 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 289.
33 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56.
kotoran. Penjagaan ruh agar tidak keluar dari tempatnya. Penjagaan rahasia dari perbincangan. Sebagaimana dikatakan bahwa puasanya seorang ‘a>bid adalah dengan menyempurnakan penjagaan lisan dari ghibah, penjagaan pandangan
dari melihat hal-hal yang dapat memberikan keragu-raguan atau kebimbangan. 34 Dari penjelasan Qushayri>, dapat dipahami bahwa puasa memiliki dua dimensi yang memiliki posisi yang sejajar. Artinya, puasa z}a>hir seseorang yang menjaga dirinya dari lapar dan dahaga tidak akan sempurna jika tidak dibarengi dengan puasa ba>t}in yang menjaga seseorang dari hal-hal yang mengurangi nilai puasa itu sendiri.
Menurut al-Alu>si>, ayat di atas merupakan penjelasan mengenai hukum syariat yang terakhir. Kata al-s}awm berasal dari kata s}a>ma yang berarti mencegah atau menahan diri. Berpuasalah sebagaimana diwajibkannya puasa kepada umat terdahulu; para Nabi, dan seluruh umat manusia yang hingga hari ini mengikuti risalah Nabi Adam. Adapula yang mengatakan bahwa perintah ini disampaikan kepada ahl al-kita>b, atau umat Nasrani. Diperintahkannya puasa agar kalian semua dapat berhati-hati untuk melakukan kemaksiatan, dan puasa
dapat pula mengurangi atau mencegah dari sahwat. 35 Dari penafsiran al-Alu>si> ini, terlihat bahwa ia menyoroti puasa dari sisi kebahasan dan syariat. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> yang menggunakan kedua sisi tersebut dalam menjelaskan isi kandungan ayat di atas.
Kemudian, dalam menjelaskan tujuan puasa yang terkandung dari ayat di atas, al-Bursawi> menyebutkan bahwa tujuan dari perintah puasa adalah ketakwaan seseorang dari segala bentuk kemaksiatan kepada Allah. Untuk memperkuat argumentasi penafsirannya, al-Bursawi> mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin memberikan nilai positif kepada penafsiran sufistiknya yang masih berp egang kepada argumentasi syara’.Sebagaimana al- Dhahabi> mengatakan bahwa sebuah penafsiran sufistik harus didukung oleh dalil syara’ atau argumentasi yang bersumber dari argumentasi rasional. Pengutipan hadis dalam mempertajam argumentasi Al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Tujuan dari puasa menurut al-Bursawi> adalah bertaqwa atas kemaksiatan, karena puasa dapat meredam syahwat yang menjadi titik awal dari kemaksiatan, sebagaimana di dalam hadis Nabi saw.:
‚Wahai para pemuda, barangsiapa yang berkeinginan untuk berumah tangga, maka menikahlah, karena pernikahan dapat menahan pandangan (dari melihat wanita yang haram dilihat) dan memelihara kesucian
34 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 87. 35 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid II, 56-57.
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat meredam nafsu syahwatnya.‛
Dalam hadis ini, kata al-shaba>b jamak dari sha>b, menurut Imam Nawawi artinya orang yang sudah baligh tapi tidak melebihi tiga puluh tahun. Wija>’ merupakan jenis pengebirian, yaitu mengendurkan urat-urat dua biji zakar dan meninggalkan keduanya sebagaimana adanya. Hadis ini menggunakan tashbi>h, yaitu s}awm yang memutuskan hasrat syahwat jima’ dan menahan keburukan mani seperti pengebirian. Perintah dalam hadis ini menunjukan sebuah kewajiban, karena perintah itu dibawa kepada keadaan pemingitan yang diisyaratkan oleh kata ‚wahai para pemuda‛, karena mereka golongan yang harus dipelihara supaya berada dalam perangai yang baik. Sebagaimana perkataan sebagian ulama: ‚Menentramkan syahwat, membuang syahwat, melupakannya dan tidak membicarakannya dapat diperoleh melalui shaum pada siang hari dan shalat pada malam
hari‛. 36
Penggunaan hadis Nabi untuk memperdalam argumentasi penafsiran juga dilakukan oleh Ibn ‘Arabi>. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya terhadap ayat di atas.Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kutiba
‘alaikum al-s}iya>m adalah perintah Allah kepada kalian, karena kalian tergolong ke dalam orang mu’min yang memiliki maqam hikmah. Jika kalian memiliki hak tersebut, kalian tidak akan membeda-bedakan perintah yang ditujukan kepada kalian dalam ibadah ini. Selain itu, kutiba ‘alaikum al-s}iya>m menurut
Ibn ‘Arabi> bermakna seruan untuk menahan diri dari apa yang diharamkan kepada kalian. Menurutnya, perintah puasa adalah termasuk dari hakikat puasa itu sendiri. Puasa menjadi penjaga bagi diri kalian. Sebagaimana Nabi menjelaskan bahwa puasa adalah junnah (benteng), dan benteng tersebut menjadi penjaga bagi kalian. Janganlah kalian melaksanakan puasa dengan tujuan selain beribadah. Karena ada sebagian orang yang berpuasa mengharapkan surga. Hakikat puasa adalah sebuah seruan bahwa tiada Tuhan selain Allah, karena puasa sesungguhnya hanya untuk Allah bukan untuk
kalian. 37 Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa Ibn ‘Arabi dalam penafsiran sufistiknya masih berpijak kepada dalil- dalil syara’. Jika dilihat dari terori al-Dhahabi>tentang validitas penafsiran sufistik, al-Bursawi>dalam penafsirannya terlebih dahulu berpijak pada makna zahir ayat sebelum ia melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Selain itu, dalam menjelaskan term puasa, ia sangat memperhatikan aspek syariat sebelum berlanjut kepada tahapan hakikat. Dan yang paling penting, sebuah penafsiran sufistik harus didasari oleh dalil- dalil syara’ atau argumentasi rasional. Dalam hal ini, ketika al-Bursawi> menjelaskan tujuan puasa pada ayat di atas,ia mengutip sebuah hadis dari Nabi saw. Hal ini semakin menambah nilai positif
36 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 289-290. 37 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, al-Futuh}a>t al-Makiyyah(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2001),Jilid II, 296-297.
penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara ’ serta tidak bertentangan dengannya.Karena dalam menafsirkan ayat di atas, al- Bursawi> masih berpegang pada kedua hal tersebut. Di samping itu,
penafsirannya terhadap ayat di atas tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>- nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, penafsiran Al-Bursawi> di atas adalah valid atau dapat diterima apabila ditinjau dari teori validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>.
2.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 184
‚Beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (ia diwajibkan berpuasa sebanyak hari-hari
yang ditinggalkan) di hari-hari lain. Dan bagi orang yang tak kuat menjalankannya, maka ia harus membayar fidyah, memberi makan seorang yang miskin. Barangsiapa yang suka rela mengerjakan kebaikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan jika kalian berpuasa, maka itu lebih baik jika kalian mengerti.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 184)
Dalam menafsirkan kalimat wa antas}u>mu>, al-Bursawi>terlebih dahulu menganalisis kalimat itu dari aspek kebahasaan. Kemudian ia menuliskan sebuah hadis sebagai argumentasi syar’i serta mengutip pendapat Abu> H{ani>fah untuk dijadikan pijakan dalil aqli dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurutal-Bursawi>, kalimat wa antas}u>mu>dapat di- ta’wilmas}dar-kan menjadi wa s}iya>makum. Kalimat itu di- rafa‘-kan karena merupakan mubtada’. Dengan begitu, kalimat tersebut bermakna berpuasalah kalian wahai orang- orang yang sakit, musafir dan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan. Al- Bursawi> melanjutkan, puasa seseorang yang sedang dalam perjalanan lebih utama karena puasa merupakan ‘azimah baginya dan menundanya berarti rukhs}ah. Jadi mengambil ‘azimah lebih diutamakan. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:
‚Tidaklah termasuk kebaikan shaum dalam safar.‛
Hadis ini mengandung arti bahwa jika puasa dapat membuat seorang musafir lemah sehingga dikhawatirkan dapat membuatnya meninggal dunia, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang menyatakan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang waktu tempuhnya selama tiga hari tiga malam. Setelah Hadis ini mengandung arti bahwa jika puasa dapat membuat seorang musafir lemah sehingga dikhawatirkan dapat membuatnya meninggal dunia, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang menyatakan bahwa perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang waktu tempuhnya selama tiga hari tiga malam. Setelah
setahun dalam meraih pahala yang dijanjikan-Nya. 38 Sebagaimana firman-Nya: ‚Barangsiapa membawa amal kebaikan, baginya pahala sepuluh kali lipat dari
amalnya...‛ 39 Dari penjelasan di atas, tampak bahwa al-Bursawi> sangat memperhatikan sisi kebahasaan. Karena pada hakikatnya pemaknaan isha>ri> dilakukan setelah seorang mufassir mengetahui terlebih dahulu makna zahir yang terkandung di dalam suatu ayat. Selain itu, pengutipan dalil syara’ yang bersumber dari al- Qur’an dan hadis serta pembahasana terhadap permasalahan mazhab dalam fiqih memberikan bukti bahwa ia sangat concernterhadap aspek syariat dalam penafsirannya.Hal ini sejalan dengan Muhammad Abd. Haq Ansari yang mengatakan bahwa syariat merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiri seseorang. Sebagian besar sufi tetap mematuhi rambu-rambu syariat, mereka menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan dan mengerjakan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di
setiap waktu dapat terlepas dari syariat. 40 Adapun al-Bursawi> mengibaratkan syariat sebagai air yang menjadi sebab kesuburan. Agama disyariatkan oleh Allah dan diciptakan-Nya, seperti shaum, shalat, haji, perkawinan dan lain sebagainya. Syariat merupakan jalan yang dapat menyampaikan pada kehidupan abadi. Sama halnya dengan air yang merupakan sebab untuk kehidupan yang
fana. 41 Kemudian, al-Bursawi> dalam tafsirnya juga menerangkan tentang pahala puasa pada bulan Ramadhan dan Syawal. kemudian ia melanjutkan penjelasannya mengenai geneologi diwajibkan puasa kepada umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Ketika seseorang berpuasa selama sebulan penuh, maka ia setara dengan 300 hari (30 x 10 kebaikan) dan ditambah dengan enam hari puasa pada bulan Syawal dan menjadi 60 hari (6 x 10 kebaikan) hingga jumlahnya mencapai 360 hari yang berarti sama dengan satu tahun. Apabila jumlah hari pada bulan Ramadhan berkurang satu hari, maka itu tidak akan mengurangi pahala tersebut. Menurut al-Bursawi>, puasa diwajibkan kepada umat Islam setelah lima belas tahun dari kenabian Rasulullah saw., atau tiga tahun setelah hijrah. Pada mulanya puasa diwajibkan kepada kaum kaya,ini disebabkan adanya kamu fakir pada raja T{ahmuruth, raja ketiga bani Adam. Pada zaman itu terjadi paceklik, raja menyuruh kepada setiap orang kaya agar memberi makanan kepada seorang fakir setelah matahari terbit dan menyuruh mereka menahan diri dari makan pada siang hari sebagai rasa solidaritas kepada kaum
38 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 290-291. 39 Q.S. al- An’a>m [6]: 160. 40 Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 110-111.
41 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 399-400.
miskin serta memberi kemungkinan kepada kaum miskin untuk makan pada siang hari sebagai ibadah dan 42 tawad}u‘ kepada Allah.
Setelah menerangkan tentang pahala puasa dan menjelaskan geneologi disyariatkannya puasa kepada umat Islam,al-Bursawi>kemudian melanjutkan kepada pemaknaan sufistiknya mengenai puasa. Dimana penafsiran sufistiknya itu ia perkuat dengan penggunaan ayat al- Qur’an dan hadis Nabi. Hal Ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Dalam pandangan al-Bursawi>, puasa merupakan sebab untuk dapat masuk ke dalam kerajaan langit dan sebagai perantara untuk dapat keluar dari sempitnya rahim jasmani yang diistilahkan dengan ‚kehidupan kedua‛ sebagaimana yang telah diisyaratkan Nabi ‘I<sa> a.s.: ‚Orang yang tidak dilahirkan dua kali, maka ia tidak dapat masuk ke kerajaan langit.‛ Bahkan puasa sangat behubungan dengan musha>hadah, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh hadis Qudsi:
‚Puasa itu untuk-Ku dan Aku menjadi balasan(nya).‛
Dalam hadis ini, al-Bursawi> menjelaskan bahwa Allah menjadi balasan puasa, bukan bidadari atau gedung-gedung. Oleh karena itu Allah mengaitkan perolehan kebahagiaan melihat-Nya dengan lapar. Sebgaimana Firman-Nya kepada ‘I>sa> a.s.: ‚Laparlah kamu, maka kamu melihat-Ku.‛ Puasa disandarkan kepada Allah sebagaimana hadis Nabi: ‚Puasa itu untuk-Ku,‛ Karena dalam puasa terdapat rahasia dan ganjaran yang hanya diketahui oleh Allah. Allah menjadi balasan bagi puasanya seseorang apabila orang itu serta sirr-nya, dikekang dari perkara selain Allah. Menurut al-Bursawi>, itulah puasa yang hakiki bagi kaum
khawa>s}. 43
F irman Allah ‚Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa...‛ Menurut al-Bursawi> mengandung isyarat bahwa puasa,
selain lahiriyah, terdapat pula puasa batiniyah. Batinnya adalah khit}a>byang mengisyaratkan kepada puasa kalbu, ruh, cahaya kehadiran bersama Allah. Puasa kalbu adalah puasanya seseorang dari kecenderungan-kecenderungan kepada selain Allah. Sedangkan puasa ruh adalah puasanya seseorang dari pengamatan-pengamatan yang bersifat ruhani kepada selain Allah. Dan shaum sirr adalah memelihara sirr-nya dari penyaksian kepada perkara selain Allah. Barangsiapa yang menahan dari tipuan, maka akhir puasanya adalah penyaksian terhadap al-H{aqq. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
‚Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berkukalah kalian karena melihatnya‛
42 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291. 43 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291-292.
Menurut ahli tah}qi>q, d}ami>rhu pada kedua kata ru’yatihi kembali kepada al- H{aqq (bukan kepada Ramad}an). Oleh karenanya, puasa seseorang hendaknya secara lahir dan batin.
Al-Bursawi> melanjutkan, puasa bukan hanya menahan apa-apa yang dilarang dalam syariat. Lebih dari itu, semua anggota badan lahir dan setiap sifat di batin juga harus berpuasa. Lisan berpuasa dari dusta, berkata buruk, dan mengumpat. Mata berpuasa dari memandang yang tidak berguna dan pandangan yang meragukan. Telinga berpuasa dari perkataan yang dilarang dan tidak bermanfaat. Jiwa seseorang berpuasa dari angan-angan, kerakusan dan syahwat. Hati berpuasa dari mencintai dunia dan perhiasannya. Roh berpuasa dari kenikmatan dan kelezatan. Rahasia seseorang berpuasa dari melihat wujud
selain Allah dan tetapnya Allah. 44
Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa puasa merupakan sebab dari seorang hamba dapat ber- musha>dah dengan Allah, sebagaimana yang yang telah diisyaratkan dalam hadis Qudsi yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, puasa terbagi menjadi dua macam, yaitu puasa lahiriyah dan batiniyah. Puasa lahiriyah dengan menahan segala sesuatu yang dilarang oleh syariat. Adapun puasa batiniyah adalah menahanhati, ruh, sirr. Puasa hati adalah menahan hati dari segala kecenderungan kepada selain Allah. Sedangkan puasa ruh adalah menahandiri dari segala pengamatan yang bersifat ruhani kepada selain Allah. Dan shaum sirr adalah memelihara sirr-nya dari penyaksian perkara kepada selain Allah.
Menurut al-Qushayri>, ayat di atas memberi penjelasan bahwa siapapun yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka wajib baginya berpuasa.Barangsiapa yang menyaksikan Dia yang menciptakan bulan puasa maka sudah menjadi keharusan baginya untuk berpuasa karena Allah. Berpuasa karena Allah merupakan perkara wajib, mendatangkan pahaladan dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Selain itu, berpuasa karena Allah merupakan sebuah penguat ibadah dan sebuah pembenaran atas ketetapan-Nya. Al-Qushayri> melanjutkan, puasa yang atas nama Allah merupakan ibadah z}a>hir dan realisasi dari ibadah yang ditujukan kepada-Nya. Puasa untuk Allah merupakan proses menahan diri yang berupa bagian dari ketetapan hukum syari’at, puasa atas nama Allah merupakan wujud dari menahan diri yang mengarah pada sebuah
hakikat. 45 Dari penjelasan al-Qushayri> tersebut, dapat dipahami bahwa ayat di atas menjelaskan perintah puasa kepada siapapun yang menjumpai Ramadhan. Dan berpuasa dengan niat karena Allah merupakan suatu kewajiban, hal ini bertujuan untuk dapat menggapai hakikat puasa.
Adapun al-Alu>si> lebih menekankan kepada keutamaan melaksanakan puasa dibandingkan dengan mengambil rukhsah atau keringanan yang telah
44 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 291-292. 45 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 87.
diberikan Allah kepada hamba-Nya. Ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Alu>si>, ayat di atas merupakan seruan bagiorang yang mampu untuk melaksanakan puasa, sehat, orang-orang yang sudah tua atau lemah, orang yang diberikan keringanan karena perjalanan, orang yang sedang sakit. Lebih utama bagi mereka untuk melaksanakan ibadah puasa karena di dalamnya tersimpan kelezatan.Sebab melakukan puasa lebih utama daripada membayar fidyah. Bagi ahli ilmu, mereka mengetahui bahwa puasa akan lebih baik untuk tetap dilaksanakan walaupun terdapat pilihan untuk mengambil keringanan bagi mereka yang sakit atau perjalanan, atau pilihan untuk
membayar fidyah bagi mereka yang sudah lemah dan dalam usia lanjut. 46 Dari penjelasan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa penafsirannya lebih menyoroti kepada sisi syariat yang terdapat pada perintah puasa. Ini berbeda dengan penafsiran al-Bursawi> yang mencoba menggabungkan aspek syariat dengan hakikat.
2.3. Q.S. al-Baqarah [2]: 185
‚Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al- Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian menjumpai bulan itu, maka berpuasalah dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, (diwajibkan ia membayar) sebanyak hari yang ditinggilkannya pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.‛ (Q.S. al- Baqarah [2]: 185)
Ayat di atas menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan lainnya. Bulan Ramadhanadalah bulan diturunkannya al- Qur’an yang menjadi petunjuk dan pembeda antara yang baik dan batilbagi manusia. Karena itu, siapapun yang berada pada bulan itu, maka wajib atasnya untuk berpuasa.Apabila orang yang berada dalam bulan tersebut dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka ia diwajibkan untuk membayarsebanyak hari yang ia tinggalkan pada hari-hari di bulan lainnya.
46 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 59.
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi>terlebih dahulu menjelaskan kalimat shahru Ramad}a>na dari perspektif bahasa sebelum menerangkan kekhususan bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Shahru Ramad}a>na merupakan mubtada’ dan khabar-nya adalah ayat selanjutnya. Hal ini untuk memberitahukan keutamaan dan kedudukan puasa
serta mengisyaratkan kekhususan puasa Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, berupa kewajiaban puasa di dalamnya. Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan melalui firman- Nya: ‚..Barangsiapa di antara kalian hadir di bulan (yang diketahui), maka puasalah di dalamnya..‛ 47 Bulan disebut shahr karena kemasyhurannya. Ramadhan merupakan mas}dar dari kata ramad}a yang berarti membakar; kemudian dilafazkan kepadanya kata shahr; perpaduan keduanya dijadikan isim ‘a>lamyang terhindar dari tanwin, karena dima’rifatkan dengan alif dan nu>n (ism ghayr muns}arif). Ramadhan dinamakan Ramad}a>n baik karena terbakarnya kalbu lantaran lapar dan haus, atau karena terbakarnya dosa- dosa karena puasa. Atau karena bulan tersebut terjadi ketika membaranya panas
yang menyengat, yang terjadi pada pasir dan benda yang lain. 48 Dari penjelasan al-Bursawi> terhadap kalimat Shahru Ramad}a>na di atas, terlihat bahwa ia menggunakan analisis kebahasaandalam mengungkap makna dari kalimat tersebut. Menurutnya, penyebutan bulan Ramadhan dalam ayat itu untuk menunjukkan kekhususan yang terdapat padanya, yaitu perintah puasa yang tidak diwajibkan pada bulan selainnya. Adapun sebab bulan tersebut dinamakan Ramad}a>n karena terbakarnya kalbu lantaran lapar dan haus, atau karena terbakarnya dosa manusia karena puasa.Dapat diasumsikan bahwa penafsiran al-Bursawi> itu tidak keluar dari makna zahir ayat. Karena dalam memaknai ayat, ia memulainya dengan anilisis kebahasan terlebih dahulu sebelum ke pemaknaan berikutnya.
Kekhususan bulan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya menurut al- Qushayri>adalahdibukakannya petunjuk, diturunkannya al- Qur’an, ladanguntuk mendatangkan atau mendapatkan pahala, bulan untuk mendekatkan diri kepada Allah, diringankannya kesulitan, diangkatnya derajat, diturunkannya berbagai rahmat, diturunkannya berbagai macam nikmat, bulan keberhasilan, dan bulan untuk bermunajat kepada Allah. 49 Penjelasan al-Qushayri> tersebut memberikan
indikasi bahwa bulan Ramadhan memiliki banyak keistimewaan di dalamnya. Kemudianal-Bursawi> menjelaskan kalimat
fa al-yas}umh pada ayat di atas.Menurutnya, kalimat itumerupakanperintah untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Adapun yang dimaksud dengan shahida adalah orang yang berakal, baligh dan sehat. Karena anak-anak dan orang yang gila yang hadir pada bulan itu tidak diwajibkan untuk berpuasa. Kewajiaban yang
47 Q. S. Al-Baqarah [2]: 185. 48 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,.Jilid I, 292. 49 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid 1, 89.
terdapat pada ayat di atas me- nasakh pilihan anatara berpuasa, berbuka dan membayar fidyah. 50
fa al-yas}umh yang ia maknai dengan perintah berpuasa Ramadhan mengacu pada penggalan kalimat pertama yang terdapat pada ayat tersebut, yaitu shahru Ramad}a>n. Kemudian shahida ia maknai dengan orang yang berakal, baligh dan sehat.Karena selain ketiga hal itu adalah tidak diwajibkan berpuasa pada Ramadhan dalam hukum fikih. Oleh karena itu, ketika seseorang tidak mampu melaksanakan puasa disebabkan halangan yang telah disebutkan dalam ayat itu, maka pilihannya adalah berpuasa sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan di bulan lain atau membayar fidyah. Tergantung halangan apa yang dihadapinya.
Penjelasan al-Bursawi> terhadap kalimat
Adapun menurut al-Alu>si>, kata man pada kalimat faman shahida minkum al-shahra fa al-yasumhmerupakan shart}iyah atau maus}u>l.Sedangkan huruf fa>’ merupakan jawab syarat atau za>’idah fi> al-khabar. Kata yasumhbermakna bahwa puasa merupakan sebuah kwajiban atau keharusan yang mesti dilaksanakan.Barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan atau meyakini bahwa hilal telah tampak, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa. Ayat ini dapat memberikan faedah bahwa tidak adanya kewajiban untuk melakukan puasa bagi seseorang yang masih meragukan jatuhnya hilal bulan
Ramadhan. 51 Dari penjelasan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa ia menggunakan
analisis kebahasaan dalam menafsirkan ayat tersebut.Hal ini sesuai dengan apa yang biasa dilakukan dalam tradisi penafsiran sufistikyang memiliki beberapa tahapan. Tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Barulah pada tahap
berikutnya beranjak kepada pemaknaan secara 52 isha>ri>. Adapun tujuan Allah swt. memerintahkan puasa menurut al-Bursawi>
adalah supaya manusia mendapatkan kemudahan di dunia dan akhirat. Kemudahan di dunia berupa peningkatan derajat kepada derajat mulkiyah dan ruhaniyah serta mencapai ma’rifah. Sedangkan kesulitan di dunia adalah kekekalan bersama sifat kemanusiaan dan kebinatangan dan memiliki sifat-sifat yang memperturutkan hawa nafsu. Adapun kemudahan di akhirat agar mendapatkan surga, kenikmatan, kedekatan, kesempatan serta penglihatan kepada Allah. Sedangkan kesukaran di akhirat adalah neraka Jahannam
termasuk azab dan dasar dari neraka Jahannam tersebut. 53 Setelah menjelaskan tentang tujuan Allah memerintahkan puasa pada bulan Ramadhan, al-Bursawi>kemudian mengutip sebuah hadis Nabi untuk lebih mempertajam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat dari penjelasannya sebagai berikut:
50 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 293. 51 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 61-62.
52 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56. 53 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 293
Berkaitan dengan perintah puasa dalam Ramad}a>n, Nabi saw. menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya dengan datangnya bulan itu, sebagaimana dalam sabdanya:
‚Telah datang kepada kalian bulan Ramad}a>n, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepada kalian puasanya di dalamnya, pada bulan ini dibukakan seluruh pintu langit, ditutup seluruh seluruh pintu jah}i>m dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan ini terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikan malam tersebut, tidaklah ia akan mendapatkannya‛
Sebagian ulama berkata: ‚Hadis ini merupakan asal mula orang-orang menyampaikan selamat Ramadhan kepada orang lain.‛ Mengucapkan selamat atas datangnya suatu bulan atau hari-hari raya merupakan tradisi manusia. Sebagaimana Ibn ‘Abba>s mengatakan bahwa barangsiapa bertemu dengan saudaranya setelah selesai shalat Jum’at, maka katakanlah: ‚semoga Allah menerima ibadahmu dan ibadahku.‛ 54
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terihat bahwa metode penafsiran sufistiknya selalu didasari oleh dalil- dalil syar’i. Ini menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan aspek tersebut sebelum beranjak pada esensi atau hakikat dari puasa itu sendiri. Pada dasarnya, para sufi memandang syariat sebagai sesuatu yang datang dengan beban hukum dari Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq. Selain itu, syariat merupakan penyembahan makhluk pada Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Terakhir , syariat merupakan bentuk penegakkan terhadap apa yang diperintahkan kepadanya. Sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan
ditakdirkan Allah serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan-Nya. 55 Singkatnya, syariat menurut para sufi adalah hakikat dari sisi mana kewajiban tersebut diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga syariat dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifah.
Di akhir penafsirannya, al-Bursawi> menjelaskan perihal adab berpuasa. Ia mengatakan bahwa di antara adab berpuasa adalah memelihara anggota badan secara lahir dan batin. Taqarrub kepada Allah tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan apa-apa yang diharamkan-Nya.Setelah umat Islam berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, maka tibalah kepada mereka hari raya ‘i>d al-fit}r. Menurut al-Bursawi>, di dalam Islam terdapat tiga hari raya, pertama, hari raya berbuka, ia merupakan hari raya
54 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 294-295.
55 Abd al-Kari>m al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayriyah, 118-119.
alamiah; kedua, hari raya kematian, yaitu ketika dicabutnya ruh dengan membawa keimana yang sempurna. Dan ini adalah hari raya besar; ketiga, hari raya
tajalli> di akhirat, ia merupakan hari raya yang paling besar. 56 Penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-185dari surat al-Baqarah secara
umumtelah dijelaskannya secara eksplisit mulai dari analisiskebahasaan mengenai puasa bulan Ramad}a>n, keutamaan dankekhususan bulan Ramad}a>n dibandingkan bulan yang lain, tujuan dari diperintahkannya puasa oleh Allah, adab ketika berpuasa hingga kepada pengungkapan makna hakikat dari puasa itu sendri. Ini menunjukkan kapasitas pemahaman mendalam yang dimilikinya tentang permasalahan seputar puasa dalam bingkai fikih. Selain itu, ia juga sangat memberikan perhatian yang besar terhadap koridor-koridor syariat dalam penafsirannya. Tidak hanya itu, ia juga selalu mencoba mengharmonisasikan antara pemaknaan zahir dan batin dengan memulai pembahasan dengan menyoroti aspek kebahasaan terlebih dahulu sebalum melangkah lebih dalam pada pemaknaan sufistiknya. Pengharmonisasian antara pemaknaan zahir dan batin tersebut sangat erat kaitannya dengan hubungan antara syariat dan hakikat.
Jika ditinjau dari persyaratan al-Dhahabi 57 >tentangpenafsiran sufistik dapat terhindar dari penyimpangan atau dikatakan valid apabila penafsiran itutidak bertentangan dengan makna zahir ayat al- Qur’an.Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> tidak didapati pertentangan dengan makna zahir. Selain itu, penafsirannya selalu didasari oleh argumen bersumber dari syara’ atau argumen rasional serta tidak bertentangan dengan keduanya. Hal ini tentu sejalan dengan apa yang disyaratkan al-Dhahabi> tentang penafsiran sufistik. Terakhir, di dalam penafsirannya tidak ditemukan klaim bahwa tafsir sufistiknya adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat di atas.Sebaliknya,
penafsirannya dengan pemaknaan z}a>hirsebelummemaknai ayat secaraisha>ri>.
3. Haji Ditinjau dari terminologi syariat, haji ialah menyengaja pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu, atau menziarahi tempat tertentu,
pada waktu tertentu, dengan amalan tertentu. 58 Adapun landasan filosofis dari kewajiban menuanaikan ibadah haji ialah: pertama, pengakuan akan keesaan
Tuhan serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan; kedua, keyakinan terhadap adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan yang dimana puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak; ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, setiap
56 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 295. 57 Untuk lebih detailnya lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-
Mufassirun, Jilid II, 48. 58 Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), Jilid III,
2064-2065.
perbedaan dalam sisi kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapapun terdapat perbedaan antara mereka dalam hal-hal lainnya. 59
Sedangkan haji menurut pandangan al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsiran-penafsirannya berkaitan ayat-ayat haji sebagai berikut:
3. 1. Q.S. al-Baqarah [2]: 196
‚ Dan sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah kalian karena Allah. Apabila kalian terkepung (musuh atau terkena sakit), (sembelihlah qurban) yang mudah didapat, dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hewan qurban sampai di tempat penyembelihan. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu mencukur) dia wajib mengeluarkan fidyah, yaitu; puas atau bersedakah atau berqurban. Apabila kalian telah aman, maka bagi orang yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum ibadah haji, wajib menyembelih qurban yang mudah didapat. Tapi apabila tidak menemukannya, ia wajib berpuasa tiga hari di tempat haji dan tujuh hari lagi apabila kalian telah kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Yang demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk Mekkah). Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilahn bahwasannya Allah sangat keras siksaan-Nya.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 196)
Al-Bursawi> memulai penjelasannya dengan menguraikan makna kalimat wa atimmu al-h}ajja wa al- ‘umrah. Dalam uraiannya, ia megutip pendapat mazhab Abu> H{ani>fah tentang hukum dari pelaksanaan ibadah ‘umrah. Kemudian ia melanjutkan penafsirannya tentang makna lilla>h. Dalam menyibak kata tersebut, ia memulai dengan menganalisa dengan menggunakan perspektif bahasa, kemudian ia masuk kepada pemaknaan secara sufistik. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>, kalimat ‚Sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah kalian ‛ adalah sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah bagi orang yang mampu untuk melaksanakannya. Dalam penjelasannya, al-Bursawi> mengutip pendapat Abu> H{ani>fah yang mengatakan bahwa ibadah ‘umrah adalah sunnah. ‘Umrah tidak wajib kecuali setelah yang wajib dilaksanakan, sebagaimana shalat
59 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, 333.
sunnah. Maksudnya apabila seseorang sudah mulai mengerjakan shalat sunnah atau ‘umrah, ia harus menyempurnakannya. Sebagaimana pendapat para ulama yang mengatakan bahwa apabila seseorang sudah masuk pada suatu pekerjaan yang pada mulanya tidak wajib, namun setelah ia selesai mangerjakan pekerjaan
tersebut, penyempurnaan pekerjaan tadi menjadi wajib. 60
Lilla>hi adalah ta’alluq(berkaitan) kepada kata atimmu. Huruf lam merupakan lam maf’u>l li ajlih. Faedah pengkhususan dengan kata lilla>h dalam ayat ini bahwa dahulu bangsa Arab melakukan haji untuk tujuan berkumpul, saling pamer dan untuk melihat-lihat pasar. Semua itu bukan karena Allah dan tidak mengandung ketaatan dan kedekatan kepada-Nya. Maka Allah memerintahkan supaya haji ditujukan untuk melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak-Nya. Maksud dari ayat ini adalah sempurnakanlah rukun-rukun haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya yang sudah diketahui hukumnya dan dilakukan karena Allah tanpa menghilangkan ketentuan dari keduanya. Haji dan ‘umrah harus semata-mata karena tujuan ibadah dan jangan dicampuri dengan urusan bisnis dan tujuan duniawi lainnya. Dan hendaklah
biaya untuk melaksanakan keduanya diambil dari harta yang halal. 61 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa makna dari wa atimmu al-h}ajja wa al- ‘umrahlilla>hiadalah perintah untuk menyempurnakan rukun- rukun haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya sesuai dengan ketentuannya. Pelaksanaan kedua ibadah itu harus berorientasikan ibadah dan tidak dicampur adukkan dengan urusan duniawi. Selain itu, biaya pelaksanaan keduanya harus berasal dari harta yang halal.
Apabila dicermati, penafsiran al-Bursawi>tersebutsejalan dengan makna zahir yang terkandung dari ayat itu. Karena ayat tersebut menerangkan tentang perintah untuk menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat serta amalan lainnya yang terdapat pada ibadah haji dan ‘umrah. Selain itu,ayat ini juga mengandung perintah untuk senantiasa memelihara ketakwaan kepada Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Bursawi> dalam penafsiran sufistiknya selalu mencoba untuk menyelaraskan pemaknaan zahir dan batin. Sebagaimana yang diungkapkan al-Tafta>zani>bahwa apabila sebuah penafsiran sufistik hanya meyakini makna ba>t}in dengan mengingkari z}a>hir ayat, hal tersebut bisa tergolong kepada ilh}a>d(penyimpangan). Sebaliknya, jika interpretasinya sejalan dengan makna z}a>hir, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk keteguhan iman dan kesempurnaan
‘irfa>n yang mendalam. 62
Senada dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Bursawi> mengenai ayat di atas, al-Qushayri> dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata wa atimmu al-hajja wa al- ‘umrata lilla>h bermakna kesempurnaaan haji dengan melaksanakan semua rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, manasiknya dan melakukan segala sesuatu yang diwajibkan dalam pelaksanaan ibadah haji
60 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310. 61 Isma>‘i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310-311. 62 Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid. II, 184. Lihat juga
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 66-67.
walaupun diibaratkan harus meneteskan darah, dan tidak mengurangi segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji tersebut. 63
Dari apa penjelasan al-Qushayri>, dapat dipahami bahwa kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah harus dilakukan walaupun sulit untuk melakukannya. Hal ini diamini oleh al-Alu>si> yang menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut:
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah ketika melaksanakan keduanya, dan niatkan kedua ibadah itu semata-mata karena Allah. Rusaknya ibadah haji atau umrah dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diharuskan dalam pelaksanaan keduanya. Kesempurnaan yang diperintahkan ayat ini menunjukkan akan kemutlakan dalam pelaksanaan keduanya, karena segala sesuatu yang diperintahkan wajib untuk dilaksanakanmerupakan ketentuan
yang telah dijelaskan oleh syara’. 64 Dari penjelasan al-Alu>si>, dapat disimpulkan bahwa menyempurnakan ibadah haji dan ibadah yangdiniatkan karena Allah
adalah sebuah keharusan dalam pelaksanaan keduanya.Karena hal itumerupakan ketentuan yang telah dijelaskan oleh syariat.
B erbeda dengan Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa maksud darihaji adalah tawh}i>d al-dha>t dan ‘umrah adalah tawh}i>d al-s}ifa>t. Kedua hal itu dilakukan dengan menyempurnakan semua maqama>t dan ah}wa>l dengan sulu>k kepada Allah dan hanya demi Dia. 65 P enafsiran Ibn ‘Arabi> tersebut sangat kental
dengan teori tasawufnya, yaitu penyatuan antara Dhat Allah dan sifat-sifat-Nya yang hanya bisa dicapai dengan maqa>m dan ah}wa>l yang sempurna.
Apa yang dipaparkan Ibn ‘Arabi>berlainan dengan paparan ketiga mufassir sebelumnya yang masih menyoroti ayat dari perspektif syariat.Mereka lebih menekankan kepada keharusan dari penyempurnaan ibadah haji dan ‘umrah yang meliputi rukun-rukun, syarat-syarat, dan perbuatan lainnya di dalamnya. Penyempurnaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan syar a’ dan dilakukan karena mengharap keridhaan Allah swt. semata tanpa ada motivasi yang bersifat duniawi.
Selanjutnya,al-Bursawi> menjelaskan mengenairukun-rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah. Kemudiania mengutip pendapat para imam mazhab
mengenai teknis pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah kemudian diikuti dengan penyebutan hadis Nabi utnuk lebih mempertegas penjelasannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Rukun haji ada lima: i h}ra>m, wuku>f di ‘Arafah, t}awa>f. sa‘i antara S}afa> dan Marwah serta mencukur atau menggunting rambut. Rukun haji ialah yang apabila tertinggal, maka tidak sah hajinya kecuali dengan mengerjakan rukun- rukun itu. Wajib haji adalah apabila ditinggalkan harus membayar dam. Sunat haji ialah apabila ditinggalkan tidak wajib membayar dam. Demikian pula ‘umrah mencakup perkara yang tiga tersebut. Adapun rukun ‘umrah ada empat:
63 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 94. 64 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 78-79.
65 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid I, 93.
i h}ra>m, t}awa>f. sa‘i antara S}afa> dan Marwah serta mencukur atau menggunting rambut. 66
Para imam mazhab sepakat bahwa boleh melaksanakan ibadah haji dan ‘umrah dengan tiga cara: ifrad, tamattu‘ dan qiran. Haji ifrad ialah berihram untuk berhaji saja. Setelah selesai haji ia kemudian ‘umrah dari tempat mawa>qit
dengan tanah haram. Haji tamattu’ ialah memulai ihram untuk ‘umrah pada bulan haji, lalu melaksanakan manasik ‘umrah. Setelah itu ia ih}ra>m untuk haji dari Mekkah. Adapun haji qiran adalah berihram untuk haji dan ‘umrah secara bersamaan, misalnya ia bern iat untuk melaksanakan haji dan ‘umrah dalam kalbunya, kemudian ia melaksanakan manasik haji. Dengan demikian, ia telah melaksanakan manasik ‘umrah, karena manasik ‘umrah merupakan manasik haji, namun manasik haji bukan manasik ‘umrah. Atau seseorang berihram untuk ‘umrah kemudian haji dimasukkan ke ‘umrah sebelum ia memulai t}awaf, sehingga ia mengerjakannya secara serentak. 67 Sebagaimana dalam hadis Nabi dikatakan:
‚ Kerjakanlah haji dan ‘umrah secara berturut-turut, karena keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa bagaikan ubupan (alat yang ada di pandai besi) menghilangkan karat besi, emas dan perak. Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.‛
Dari uraianal-Bursawi> di atas, ia sangat gamblang menjelaskan rukun- rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dalam perspektif fikih. Ini menunjukkan bahwa sebagai seorang sufi ia tetap memegang teguh rambu-rambu syariat.Karena tidak sedikit dari para sufi yang lebih mementingkan aspek hakikat dan mengabaikan syariat. Pada dasarnya,syariat adalah gerbang awal hukum- hukum ‘ubu>diyah dalam kajian fikih. Sebelum melangkah ke tahapan yang lebih tinggi, yaitu esensi atau hakikat ibadah itu sendiri.
Dalam hal ini, al-Bursawi> mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini ia dibuktikan dengan tidak mengabaikan syariat dalam mengungkap hakikat. Adapun penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik menurut al-Dhahabi>bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qu r’an, sunnah, ijma’ serta sumber-sumber syara’ lainnya dalam penafsirannya. Sehingga hal itutidak menimbulkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 68 Sebab jika penafsiran sufistik terlalu jauh dari prinsip-prinsip syariat, maka akan membawa orang kepada kesesatan. Tetapi
66 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 310. 67 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 311. 68 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip syariat maka akan menambah warna al- Qur’an.
Setelah menguraikan rukun- rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dengan perspektif syariat, kemudian al-Bursawi>melanjutkan penjelasannya tentang hakikat dari penyempurnaan ibadah haji dan umrah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Penyempurnaan haji selain melalui cara zahir, harus pula disempurnakan melalui cara batin. Adapun cara zahir yang dimaksud adalah rukun dan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut syariat. Dan yang dimaksud dengan cara batin adalah ketika seseorang telah berada dalam kondisi ihram, hendaknya ia memutuskan hawa nafsunya, membakar hijab kalbu sehingga ia sampai kepada maqam musha>hadah dan melihat bekas-bekas kedermawanannya setelah ia pulang dari berhaji. Ibadah haji bagi orang awam adalah pergi serta menziarahi Baytulla>h, sedangkan haji orang khawa>s} adalah menuju dan menyaksiakan pemilik Bayt. Sebagaimana nabi Ibrahim a.s. berkata:
‚Dan n abi Ibrahim berkata:‛Sesungguhnya aku pergi dan menghadap Rabb-ku dan Dia akan memberi petunuk kepadaku.‛(Q.S. al-S{affa>t [37]: 99)
Dalam perkataan nabi Ibrahim a.s. tersebut terlihat bahwa ia menuju Allah, mencari-Nya dan menghadap-Nya secara total serta menebus jiwanya, hartanya, dan anaknya karena Allah. Ibrahim menjadikan sesembahan selain Allah sebagai musuh. Sebagaimana yang diungkapakan dalam kalimat:
‚Sesungguhnya mereka (yang kalian sembah) adalah musuhku, kecuali Rabb semesta alam.‛ (Q.S. al-Shu‘ara>’ [26]: 77)
Apa yang dilakuakan oleh nabi Ibrahim merupakan manasik haji yang hakiki. Oleh karena itu, Allah menjadikan Ibrahim sebagai orang yang pertama kali mendirikan Ka’bah, bertawaf, berhaji, menyuruh manusia untuk berhaji dan
membuat jejak manasik. 69 Dari Penjelasan al-Bursawi>di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyempurnaan haji tidakhanya dilakukan dengan cara zahir, tapi juga secara batin. Haji secara zahir yang dimaksudkanal-Bursawi>adalah melaksanakan rukun dan syaratnya sesuaidengan aturan syariat. Sedangkan maksud dari pelaksanaan haji secara batin adalah menghilangkan hawa nafsu ketika seseorang sedang dalam kondisi memakai kain ihram. Ketika hawa nafsunya sudah terputus, maka hijab kalbunya akan terbakar sehingga ia akan sampai kepada maqam musha>hadah dan ibadahnya tersebut akan memberikan dampak
69 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 312-313.
positif setelah ia pulang dari berhaji. Adapun maqam musha>hadah yang dimaksudkan al-Bursawi>adalah menyaksiakan pemilik Bayt dengan kalbuhya. Karena orang yang tidak memutus hawa nafsunya ketika berhaji hanya dapat menziarahi Baytulla>h tanpa bisa melihat pemilik Bayt dengan kalbunya.
Penjelasan sufistik al-Bursawi> di atas sejalan dengan penafsiran al- Qushayri>yang mengatakan bahwa haji orang awam adalah mendatangi Baytulla>h. Sedangkan haji orang khawa>s} dan mengatahui hakikat pelaksanaan ibadah haji adalah mendatangi al-H{aqq. Pada dasarnya, zahir orang berhaji adalah memakai ihram, melakukan t}awa> f dan sa’i>. Tetapi hakikat dari ibadah haji adalah menyertakan hatinya. Ketika kain ihram yang digunakan dengan niat yang benar disertai dengan menanggalkan pakaian ‚syahwatnya‛, maka ia akan menggunakan pakai an ‚sabar‛ dan menyadari kefakirannya di hadapan Allah. Di samping itu, ia akan senantiasa berhati-hati, meninggalkan hawa nafsu, khusu’, tawad}d }u‘, bertalbiyah dan menyadari bahwa segala sesuatu yang
ada pada dirinya adalah milik Allah. 70 Dari penjelasan al-Qushayri, dapat dipahami bahwa perbedaan anatara haji orang awam dan khawa>s} terletak pada penyertaan hati ketika melakukan ibadah haji. Oleh karena itu, orang yang menyertakan hatinya ketika melaksanakan haji, akan mendatangi al-H{aqqsang pemilik Bayt.Sebaliknya, orang yang tidak menyertakan hatinya ketika berhaji, ia hanya akan mendatangi Baytulla>h saja.
Dari pemaparan di atas, al-Bursawi> mengawali penafsiran sufistiknya dengan pemaknaan zahir sebelum kemudian melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Dalam menjelaskan seputar permasalahan ibadah haji, ia sangat menyoroti aspek syariat sebelum beranjak kepada tahapan hakikat. Jika mengacu pada teori validitas tafsir sufistik al-Dhahabi>,suatu penafsiran sangat terkait dengan korelasi antara syariat dan hakikat secara legal formal yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis.Hal terpenting dalam tradisi penafsiran sufistik adalah penggunaan argumentasi yang dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis ataupun
argumentasi yang bersumber dari rasio. 71 Dalam hal ini, metode penafsiran al- Bursawi>ketikamenjelaskan ayat berpijak pada tradisi tersebut.Ini memberikan nilai tambah kepada penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada argumentasi syara’ serta tidak bertentangan dengannya. Di samping itu, tidak ditemukan klaim dari al-Bursawi>bahwa makna ishari>-nya merupakan satu- satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat ini. Dengan demikian, penafsiran al-Bursawi>dapat dikatakan valid jika ditinjau dari teori mengenai validitas penafsiran sufistik yang diungkapkan oleh al-Dhahabi>.
3.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 197
70 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 95. 71 Aik Iksan Ansori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd
al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 72.
‚Ibadah haji itu adalah beberapa bulan yang ditetapkan. Barangsiapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan ibadah haji,
ia tidak boleh rafath, tidak boleh berbuat fasik dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam ibdah haji. Dan jika kalian mengerjakan kebaikan, Allah mengetahuinya. Berbekallah, sesungguhnya sebaik- baiknya bekal adalah taqwa. Dan bertawalah kepada-Ku wahai orang- orang yang berakal.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 197)
Al-Bursawi> memulai penafsirannya dengan menerangkan kalimat al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t menggunakan analasisis kebahasaan. Kemudian ia melanjutkan penjelasannya mengenai hikmah penentuan haji pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terlihat dari uraiannya berikut ini:
Maksud dari kalimat al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal, Dhul Qa‘dah dan sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah. Dua bulan ditambah sebagaian bulan (sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah) disebut ‚beberapa bulan‛ padahal jama’ qillah tidak boleh di-mutlaq-kan kepada bilangan yang kurang dari tiga. Pernyataan tersebut menurut al-Bursawi>adalah untuk menempatkan ‚sebagian‛ pada tempat ‚keseluruhan‛ atau untuk me-mutlaq-kan pada bilangan yang lebih dari satu. Sedangkan kata ma’luma>t pada ayat di atas menurut al-Bursawi> adalah bulan-bulan yang diketahui oleh manusia, karena
manusia mewarisi pengetahuan tentangnya. Dan syariat datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah mereka ketahui dan waktu haji itu tidak
berubah dari ketentuan waktu sebelumnya. 72
Adapun faedah dari penentuan ibadah haji pada bulan-bulan tertentu menurut al-Bursawi> agar orang-orang yang hendak berhaji mengetahui bahwa haji tidak sah apabila dilakukan selain pada bulan-bulab tersebut. Demikian pula dengan ihram, meskipun ihram dapat dilakukan selain pada bulan-bulan yang disebutkan, hanya saja hal itu dimakruhkan. Karena ihram merupakan syarat haji, maka pelaksanaannya boleh didahulukan sebagaimana
mendahulukan bersuci sebelum shalat. 73
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa maksud dari al- h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal, Dhul Qa‘dah serta sepuluh bulan Dhul Hijjah. Penggunaan kata ma’luma>tdisebabkan manusia diwarisi pengetahuan oleh umat sebelumnya. Kemudian syariat Islam datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah diketahui tersebut. Hikmah dari penentuan ibadah haji adalah sebagai rambu bahwa pelaksanaan haji diluar dari bulan- bulan yang sudah ditentukanadalah tidak sah.Apa yang dijelaskan al-Bursawi>ini tidak dijumpai pertentangan dengan makna tekstual dari ayat di atas.
72 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 313-314. 73 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 314.
Karenaayat ini mengandung pengertian bahwa Ibadah haji telah ditetapkan pelaksanaannya pada beberapa bulan tertentu.
Penjelasan al-Bursawi> di atas sejalan dengan al- ‘Alu>si>yang mengatakan bahwa ketentuan pelaksanaan ibadah haji telah ditentukan pada bulan-bulan yang telah diketahui menusia secara umum, yaitu bulan Shawwa>l, Dhu>al-
qa’dah, dan sepuluh hari dari bulan Dhual-hijjah. 74 Hal senada juga diungkapkan oleh al-Qushayri> bahwa pelaksanaan ibadah haji secara zahir telah ditetapkan
pada bulan-bulan yang di dalamnya diwajibkan untuk memakai kain ihram. Oleh karena itu, tidak diperkenankan melaksanakan haji sepanjang tahun,
karena pelaksanaan haji telah dikhususkan pada waktu yang telah ditentukan. 75 Setelah memaknai ayat di atas secara zahir dengan pendekatan kebahasaan, kemudian al-Bursawi> masuk ke dalam pemaknaan sufistiknya. Hal ini terlihat dari penjelasannya di bawah ini:
Manusia memiliki tiga nafsu, yaitu nafsu syahwat kebinatangan, nafsu amarah, dan nafsu kebuasan shayt}a>niyah. Adapun nafsu ilusi akal bersifat instingtif. Tujuan dari segala keterangan yang diperoleh adalah untuk memaksa nafsu syahwat, nafsu amarah dan ilusi supaya menjadi baik. Firman Allah pada ayat di atas ‚Maka tidak boleh berbuat rafath‛ mengisyaratkan pada pemaksaan terhadap nafsu syahwat. Sedangkan firman Allah ‚Tidak boleh berbuat fasik‛ mengisyaratkan pada pemaksaan nafsu amarah yang dapat mengantarkan manusia pada kemaksiatan dan kedurhakaan. Firman Allah ‚Tidak boleh berbantah-bantahan‛ mengisyaratkan pada pemaksaan nafsu ilusi yang suka membawa manusia kepada berbantah-bantahan mengenai Dhat Allah. Kekuatan ilusi merupakan pendorong manusia untuk berbantahan dan berselisih dengan manusia lainnya serta bermusuhan dengan mereka dalam segala hal. Ketika keburukan berpusat pada ketiga nafsu tersebut, sudah barang tentu Allah berfirman ‚Maka tidak boleh berbuat rafath, berbuat fasik, dan berbantah- bantahan dalam masa berhaji‛ yakni bagi orang yang hendak mengetahui Allah, mancintai-Nya, melihat cahaya keagungan-Nya, dan masuk ke dalam perilaku
hamba-hamba Allah. 76
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga hawa kekuatan, yaitu nafsu syahwat kebinatangan, amarah dan kebuasan shayt}a>niyah.Adapun hakikat dari pelaksanaan haji menurut al- Bursawi>adalah untuk memaksa ketiganafsu tersebut menjadi baik.
Secara umum, ayat di atas memberikan isyarat bahwa tujuan orang- orang yang menuju kepada Allah tidak lain harus dilakukan pada bulan yang telah dimaklumi dari kehidupan mereka yang fana. Apabila ajal telah habis, tidaklah bermanfaat lagi upaya bagi seseorang, sebagaimana tidak bermanfaatnya ibadah haji setelah waktu yang dimaklumi tersebut berlalu. Allah berfirman:
74 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid II, 84. 75 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 96. 76 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 315.
‚..Pada hari datangnya beberapa ayat dari Rabb kalian tidaklah bermanfaat lagi iman seserang kepada dirinya sendiri yang belum
beriman sebelumnya..‛ (Q.S. al-An‘a>m [6]: 158)
Al-Bursawi> menambahkan, bahwa ibadah haji dalam pelaksanaannya mempunyai waktu-waktu tertentu untuk berihram. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang menuju Allah mempunyai waktu-waktu tertentu, yaitu masa muda (yang merupakan waktu kematangan jasmani ruhani). Usia empat puluh tahun merupakan batas kedewasaan secara maknawi.Setelah usia empat puluh tahun, jarang manusia sampai kepada tujuan dan rukun-rukun yang hakiki. Pencarian kebenaran yang dilakukan sebelum usia empat puluh lebih besar kemungkinannya untuk tercapai. Dalam pencapaian tujuan, manusia harus mengerahkan upayanya secara maksimal dengan memenuhi segala persyaratan, hak dan ketentuannya. Barangsiapa yang menyepelekan pencarian kebenaran
pada awal masa mudanya, akan sukar untuk meraihnya pada masa tua. 77 Sebagaimana dalam firman-Nya:
‚...Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya telah sampai empat puluh tahun..‛ (Q.S. al-Ah}qa>f [46]: 15)
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwaini mengandung isyarat bahwa orang-orang yang menuju kepada Allah untuk berhaji harus dilakukan pada waktu yang telah diketahui. Sebagaimana dalam diri manusia juga terdapat fase-fase kehidupan yang harus dilaluinya. Hal ini dimulai ketika mansuia menginjak baligh hingga berusia empat puluh tahun. Dari fase-fase tersebut, terdapat tiga fase, yaitu: fase perkembangan, stagnasi, dewasa. Dimana setiap fase memiliki kedudukannya yang sama dengan sebulan (dalam waktu berhaji). Di antara fase itu yang paling baik untuk berhaji menurut al- Bursawi> adalah pada usia sebelum empat puluh tahun. Karena ketika manusia sudah berumur di atas empat puluh tahun, maka pencarian kebenaran yang dilakukannya akan sulit untuk dicapai. Sebab, manusia ketika melakukan pencarian kebenaran harus mengaluarkan segala potensi dirinya secara maksimal untuk memenuhi segala persyaratannya, hak, dan ketentuannya. Orang yang menyepelekan serta menunda-nunda untuk melakukan pencarian kebenaran pada masa mudanya, akan sukar untuk meraihnya pada masa tua.
Senada dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> mengatakan dalam tafsirnya bahwa pelaksanaan ibadah haji harus sesuai dengan waktu yang telah
77 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid I, 316.
ditentukan, yaitu dilaksanakan ketika masih muda.Barangsiapa yang belum mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya diwaktu (usia) muda, maka tidak diharuskan baginya untuk melaksanakan di waktu muda, sama halnya dengan anak muda yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan terpacai keinginanya tersebut. Karena tidak ada hal lain yang dilakukan kecuali ibadah setelah melakukan haji, maka berakhir baginya surga. Tetapi, keinginan ibadah haji yang telah tercapai di usia muda dan tidak melakukan ibadah
setelah haji, maka tidaklah berujung demikian. 78 Baik al-Bursawi> maupun al-Qushayri, keduanya sama-sama
menekankan pelaksanaan ibadah haji dilakukan pada usia muda. Hal itu diamini oleh Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa di dalam pelaksanaan haji terdapat
waktu-waktu yang diketahui,yaitu dari waktu ba>lighseseorang sampai ia berumur 40 tahun. Sebagaimana firman Allah :‚la> fa>ridun wala bikrun ‘awa>nun bayna dha>lik ‛.Barangsiapa di dalam dirinya memilikiiltiza>m untuk melaksanakannya, maka ia harus menghilangkan keburukan yang jelas dalam bentuk perbuatan syahwat yang kuat. Karena hal itu merupakan penyebab timbulnya nafsu amarah yang dapat menghalangi ketaatan dari hati nuraninya. Selain itu, janganlah berbicara dengan menggunakan gaya bicaraSyaitan. Jika hal tersebut dapat dihindari, maka ia akan diganjar dengan keutamaan dari perintah yang bersumberdari syara’ dan rasio tanpa melakukan keburukan- keburukan di dalamnya. Selain itu, mendapatkan pahala atasnyadari keutamaan yang mewajibkannyauntuk menjauhi keburukan-keburukan, diantaranyadalam beramal dan berniatdengan hati yang ikhlas dari keragu-raguan dan terhindar
dari kecintaan terhadap materi. 79
Dari pemaparan di atas, ketiga mufassir memberikan penekanan bahwa pelaksanaan ibadah haji dilakukan pada usia muda. Hal ini disebabkan ketika seseorang berada pada usia muda, ia akan dapat memaksimalkan fungsi fisiknya untuk melakukan ibadah. Dan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan usaha maksimal akan lebih disukai oleh Allah.
Secara global, penafsiranal-Bursawi>terhadap ayat ke-197 surat al- Baqarah tetap berpijak pada makna zahir sebelum kemudian melangkah ke tahapan pemaknaan secara isha>ri>. Di samping itu, dalam menjelaskan permasalahan seputar pelaksanaan ibadah haji, al-Bursawi> sangat memberikan perhatianterhadap aspek syariat.Ini mengindikasikan bahwa metode penafsiran al-Bursawi> dalam menjelaskan ayat di atas bersandar pada hubungan antara syariat dan hakikat.
3.3. Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 97
78 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 96. 79 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 94.
‚Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (terdapat) maqam Ibrahim. Dan barangsiapa yang memasukinya, amanlah ia. Dan untuk Allah,
wajib atasnya manusia untuk berhaji ke Baytulla>h bagi orang yang mampu dalam perjalanan kepadanya dan barangsiapa yang kafir, sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 97>)
Maksud dari wa lilla>hi ‘ala> al-na>si hijj al-bayti menurut al-Bursawi> adalah Allah mewajibkanhaji kepada orang-orang yang beriman bukan kaum kafir. Karena orang yang tidak beriman tidak diperintahkan menjalankan syariat. Telah ditetapkan atas orang-orang beriman untuk berhaji ke Baytulla>h. Ibadah haji merupakan hak Allah yang ada dalam tanggungan manusia. Manusia tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk melaksanakannya dan keluar dari apa yang telah ditetapkan. Rasulullah bersabda:
‚Barangsiapa yang (ibadah hajinya) tidak tertahan oleh kebutuhan yang mendesak, penyakit yang menahun atau pemerintah yang zalim, dan dia tidak mengerjakan haji, kemudian dia meninggal, maka matinya dalam keadaan Yahudi dan Nasrani.‛
Kedua keadaan (Yahudi dan Nasrani) yang disebutkan secara khusus pada hadis di atasdikarenakan Yahudi dan Nasrani adalah orang-orang yang tidak menganggap adanya pelaksanaan ibadah haji dan tidak melihat dari keutamaan Ka’bah.Secara umum, haji mengisyaratkan kepada wujud pencarian serta tujuan menuju Allah. Berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya, karena setiap rukun Islam mengisyaratkan kepada sisi dari kesiapan pencarian tersebut, maka Allah meng- khit}a>b-i hamba-Nya dengan ‚Untuk Allah kewajiban manusia untuk berhaji ke Baytulla>h.‛ Maksudnya yang diisyaratkan oleh haji ialah Allah, sedangkan maksud ibadah-ibadah lainnya ialah mengisyaratkan keselamatan,
kedekatan, kedudukan-kedudukan dan kemulian-kemulian. 80 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat diambil kesimpulan bahwahaji
merupakan sebuah kewajiban bagiorang beriman. Karena hal itu diperintahkan dalam syariat. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk melaksanakan syariat yang telah Allah tetapkan kepadanya. Hal ini dipertegas oleh hadis Nabi yang dikutip al-Bursawi> tentang ancaman bagi orang yang memiliki kemampuan berhaji tetapi tidak melaksanakannya.
80 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 68.
Bila ditinjau dari makna zahir ayat, antara penafsiranal-Bursawi>dan ayat ini tidak berlawanan satu sama lain. Karena ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah mewajibkan haji kepada orang yang mampu untuk melaksanakannya. Kemampuan ini mencakup aspek kesehatan fisik dan finanansial. Bagi orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, maka ia termasuk kepada golongan orang yang mengingkari nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
Keselarasan antara penjelasan al-Bursawi> dengan makna zahir ayat sesuai dengan validitas penafsiran suifistik yang diusung oleh al-Dhahabi>. Dalam kitab Tafsi>r wa al-Mufassiru<n, al-Dhahabi> menyebutkan bahwa sebuah penafsiran sufistik dapat diterima apabila pemaknaan sufistiknya tidak bertentangan dengan makna tekstual dari ayat yang ditafsirkan.Harmonisasi antara makna zahir ayat dan isyarat yang terkandung dibalik ayat merupakan ciri utama dari corak tafsir sufi isha>ri>/fayd}i>. Karena dalam tradisi sufi,penafsiran al- Qur’an memiliki beberapa tahapan, pada tahap pertama makna tekstual ayat harus diketahui terlebih dahulu. Setelah itu, barulah beranjak kepada pemaknaan
Nicholas Heer menyatakanbahwametodologi
secara
isha>ri. 81 Sebagaimana
dilakukan dengan mengkombinasikan antara dimensi 82 ba>t}in dengan z}a>hir.
penafsiran
sufistik
Selain itu, penggunaan hadis Nabi oleh al-Bursawi> pada penafsirannya memberikan bukti bahwa ia mencoba memadukan antara argumentasi syariat yang bersumber dari hadis dengan hakikat yang diungkap dari ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa penafsirannya sesuai dengan pernyataan al-Dhahabi> bahwa sebuah penafsiran sufistik dapat terhindar dari penyimpangan dan valid apabila penafsiran tersebut didukung oleh argumentasi kuat yang bersumber dari
syara’. 83 Penjelasan al-Bursawi> pada ayat di atas sejalan dengan al-Qushayri>
yang menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung isyarat bahwahaji ke Baytulla>h adalah wajib bagi orang-rang kaya, perintah tersebut ditunjukkan kepada siapapun yang mampu dari segi fisik dan finansial.Hal tersebut merupakan bentukpenyerahan diri yang sebenarnya. Adapunkepada orang-orang miskin diwajibkanberhaji dengan ruhnya, orang kaya mungkin raganya dapat mencapai kepada Baytulla>h, tapi belum tentu hati mereka sampai kepada sang pemilik bayt tersebut. Oleh karena itu, tidaklah dilarang bagi orang-orang faqir menuju kepada Tuhan pemilik
bayt dengan hatinya. 84
Menghadirkan hati ketika melaksanakan haji sangatlah penting, karena menurut al-Qushayri> menjadi pembeda antara seorang haji dengan haji yang lain. Di antara mereka ada mengenakan ihram dalam menunaikan manasik dan
81 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56. 82 Heer, Nicholas, ‚Abu>H{a>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the Koran‛ dalam Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism (Oxford: Oneword Publication, 1999), vol. 1, 235.
83 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 84 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid I, 162.
hanya sebatas melaksanakan kewajibannya saja, dan sebagian lagi mengenakan ihram untuk menyaksikan Tuhan mereka dengan hati mereka. Barangsiapa yang berangkat dengan raganya maka akan dihindarkan terhadap apa yang terlarang bagi ihramnya, dan barangsiapa yang berangkat dengan hati mereka maka akan
dihindarkan dari melihat sesuatu selain Allah. 85 Penjelasan al-Qushayr>ini mengindikasikan bahwa didalam pelaksanakan haji, seseorang harus menghadirkan jasad dan hatinya. Jika hatinya tidak disertakan, maka ia tidak akan bisa sampai kepada Allah Dhat pemilik Ka’bah.
Menurut Ibn ‘Arabi>, ayat di atas mengindikasikan printah haji kepada para sa>lik, yaitu orang-orang yang memiliki kesiapan dan komitmen dalam iradah mereka serta yang mampu untuk menambah ketaqwaan dalam dirinya. Dan mampu mengerahkan tekad untuk melawan musuh mereka berupa kelemahan dalam persiapan menuju-Nya. Barangsiapa menutupi kesanggupan dan kemampuannya dengan memperturuti hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia tidak dapat berpaling dari-Nya. Mereka tidak akan diterima dalam rahmat-
Nya di dalam hijab. 86 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, seseorang yang memiliki kemampuan serta kesanggupan untuk melaksanakan haji, tapi ia lebih memilih memperturuti hawa nafsunya untuk menuju ke hal-hal yang bersifat duniawi, maka ia tidak akan pernah merasakan rahmat dari Allah disebabkan hatinya masih terhijabi oleh nafsunya.
Adapun isyarat dari pelaksanaan haji menurut al-Bursawi> adalah rukun- rukun dan manasik dalam haji sebagai isyarat terhadap rukun, syarat dan etika dalam berpejalanan menuju ridha Allah. Al-Bursawi> melanjutkan, di antara rukun haji adalah ihram. Ihram mengisyaratkan terlepasnya seseorang dari lambang, meninggalkan hal-hal yang biasa dikenal, mengosongkan diri dari dunia dan segala sesuatu di dalamnya,membersihkan diri dari akhlak tercela serta mengikatkan diri pada ketentuan ‘ubu>diyah menghadap kepada-Nya. Di antara rukun haji lainnya adalah wuquf di Arafah, hal ini mengisyaratkan kepada wukuf di Arafah ma’rifat dan berdiri di atas punggung Jabal Rahmah dengan sebaik-baiknya merupkakan bentuk dari menjaga janji dan memenuhi janji tersebut dengan sebaik-baiknya. Adapun tawaf mengisyaratkan kepada keluarnya manusia dari keadaan kemanusiaan yang bersifat kebinatangan dengan cara melakukan tawaf tujuh di sek itar Ka’bah Rububiyah. Sedangkan sa’i> mengisyaratkan kepada perjalanan antara sifat-sifat S{afa> (bersih) dan Marwah (Dhat). Dan bercukur mengisyaratkan kepada penghilang\an athar-athar ‘ubudiyah dengan pisau cukur cahaya Ilahi. 87
Secara umum, isyarat dari pelaksanaan haji dalam penafsiranal-Bursawi> adalah perjalanan menuju ridha Allah swt.Penggunaan kain Ihram adalah sebagai reprentasi dari pengosongan diri dari hal-hal duniawi serta sebagai bentuk perlawanan terhadap akhlak tercela. Wuquf di Arafah sebagai
85 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid I, 162. 86 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 137. 87 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 69.
representasi mengisyaratkan ma’rifat kepada Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya. Tawaf merupakan proses keluarnya manusia dari sifat kebinatangan yang ada padanya.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa rukun-rukun dan manasik hajidisimbolisasikan oleh al-Bursawi> dengan gagasan keruhanian dan kesadaran yang berasal dari batinnya.Hal tersebutsangat erat hubungannya dengan tradisi
esoterik para sufi yang menekankan pentingnya makna 88 ba>t}in. Selain itu, dalam tradisi penafsiran sufistik sangat terkait dengan pemaknaan zahir dan batin. Hal
itu dibangun di atas argumentasi-argumentasi naqliyah yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis ataupun argumentasi yang bersumber dari rasio serta tidak bertentangan dengan keduanya. Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> dibangun dengan kedua argumentasi tersebut. Penggunaan dalil naqliyah berupa hadis tentang ancaman terhadap orang berkemampuan yang meninggalkan perintah haji pada pembahasan sebelumnya, merupakan bentuk perhatian al-Bursawi>
akan aspek syariat. Hal ini sesuai dengan validitas penafsiran sufistik al- Dhahabi>yang telah disebutkan pada bab sebelumnya yaitu penafsiran sufistik harus dilandasi dengan dalil atau argumentasi syariat.
4. Zikir Kata zikir dan kata-kata yang mushtaq (dibentuk) dari kata zikir, di
dalam al- Qur’an diulang sebanyak 268 kali; dalam bentuk fi’il ma>d}i> sebanyak
24 kali, dalam bentuk fi’il mud}a>ri’ sebanyak 68 kali, fi’il amr sebanyak 56 kali, mas}dar sebanyak 109 kali, sedangkan dalam bentuk ism fi’il hanya terdapat 1 kali. 89 Adapun zikir secara terminologi adalah membasahi lidah dengan ucapan- ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling
ampuhuntuk memperoleh ilmu 90 ma’rifat. Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan pada argumentasi tentang peranan zikir itu sendiri
bagi hati manusia. Zikir dalam pengertian luas adalah keadaan tentang kehadiran Tuhan dimana dan kapan saja serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. Sedangkan zikir dalam pengertian yang lebih sempit adalah yang dilakukan dengan lidah saja. Zikir dengan lidah ini adalah menyebut-nyebut Allah atau apa-apa yang berkaitan dengan-Nya, seperti mengucapkan tasbi>h}, tah}mi>d, takbi>r dan lainnya. 91 Sedangkan dalam pelaksanaan zikir, sama sekali tidak ada
batasan baik dalam metode, jumlah, atau waktu berzikir. 92 Sebagaimana
88 Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya- Karya Hamzah Fansuri, 91. 89
Muhammad Fuad ‘Abd al-Ba>qi>, al- Mu’jam al-Mufahras li> al-Fa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2001), 332-337. 90 M. Solihin dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 92. 91 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an Tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), 14. 92 Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Shalawat (Jakarta: Serambi, 2007), 10.
penjelasan al-Qushayri>, 93 bahwa di antara keistimewaan zikir adalah tidak dibatasi waktu, bahkan tidak ada waktu kecuali seorang hamba diperintahkan
untuk berzikir, baik yang bersifat wajib atau sunah. Shalat meskipun kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia, dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilakukan. Sedangkan zikir dapat dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai keadaan.
Secara aplikatif, zikir adalah suatu aktivitas berupa mengingat wujud Allah swt.. Dengan merasakan kehadiran-Nya dalam jiwa dan raga, dengan menyebut nama-Nya yang suci, dengan senantiasa merenungkan hikmah dari penciptaan segala makhluk-Nya, serta mengimplementasikan kegiatan itu ke dalam perilaku, sikap, gerak, penampilan yang baik, benar dan terpuji di
hadapan Allah ataupun di hadapan Makhluk-Nya. 94
Menurut al-Qushayri>, zikir adalah rukun yang sangat kuat dalam perjalanan menuju al-H{aqq, bahkan keberadaannya merupakan tiang ibadah. Seseorang tidak akan sampai menuju Allah kecuali dengan berzikir. Kemudian al-Qushayri> menambahkan, bahwa zikir terbagi ke dalam dua macam, yaitu zikir lisan dan zikir hati. Zikir lisan bagi seorang hamba kepada kelanggengan zikir hati, karena zikir lisan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar pada zikir hati. Jika seseorang berzikir dengan lisan dan hatinya secara bersamaan, maka ia adalah seorang ahli zikir yang sempurna baik dalam sifat dan kondisi
spiritualnya. 95 Adapun zikir menurut pandangan Al-Bursawi> dapat dilihat dari
penafsirannya berikut ini:
4.1. Q.S. al-Baqarah [2]: 152
‚Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscahya Aku ingat (pula) kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)- Ku.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 152)
Al-Bursawi> membuka penafsirannya dengan menjelaskan maksud dari kata fadhkuru>ni> pada ayat ke-152 surat al-Baqarah. Menurutnya, fadhkuru>ni> merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk senantiasa mengingat-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya. Kemudian ia menukil sebuah hadis Nabi untuk mempertegas argumentasinya dalam memahami ayat ini. Hal ini bisa dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
93 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah (Kairo: Da>r al-Jawa>mi‘ al-Kalam, 2007), 255.
94 Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Prophetic Intellegence; Kecerdasan Kenabian Menumbuhkan Kecerdasan Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani (Jakarta:
Islamika, 2005), 427. 95 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 253.
Menurut al-Bursawi>, fadhkuru>ni> pada ayat di atas adalah perintah kepada manusia agar selalu mengigat Allah dengan ketaatan. 96 Sebagaimana
sabda Nabi saw.:
‚Barangsiapa yang taat kepada Allah, sesungguhnya sesungguhnya Dia telah mengingatnya meskipun shalatnya, puasanya, dan membaca al- Qur’annya itu sedikit. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah, sesungguhnya Dia telah melupakannya meskipun shalatnya dan membaca al- Qur’annya banyak.‛
Dari penafsiran al-Bursawi> tersebut, terlihat bahwa ia sangat memberikan perhatian lebih kepada upaya pengharmonisasian antara syariat dan hakikat.
dengan konsistensinya dalammenyandarkanpenafsiran sufistiknya dengan argumentasi syar’i yang bersumber dari hadis Nabi. Manhaj ini sangatlah penting, mengingat banyaknya kaum sufi yang terlalu jauh menggunakan takwil sehingga tidak jarang penafsirannya itu keluar dari makna zahir ayat.Ayat di atas mengandung perintah kepada manusia agar selalu mengingat Allah.Apabila seseorang selalu ingat kepada-Nya, maka Allah pun akan mengingat orang tersebut. Selain itu, ayat tersebut merupakan perintah kepada manusia agar senantiasa mensyukuri nikmat yang Allah telah berikan serta larangan untuk mengingkari nikmat-Nya.
Kemudian al-Bursawi> melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan makna kata adhkurukum.Menurutnya, kata itu menunjukkan bahwa Allah akan mengingat hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya dengan memberikan pahala, kelembutan, kebaikan, pembukaan pintu kebahagiaan. Al-Bursawi> melanjutkan, zikir yang dimutlakkan dengan makna tersebut adalah zikir yang berarti mengetahui perkara yang telah terlupakan.Allah memerintahkan kepada manusia agar selalu mengingat nikmat-Nya yang telah dilupakan dan dilalaikan, agar mereka –dengan nikmat itu- melihat Pemberi nikmat. Dan Allah berfirman kepada manusia: ‚..Maka ingatlah kalian kepada-Ku..‛ Menurut Al-Bursawi>, Allah swt. memerintahkan kepada manusia agar senantiasa mengingat nikmat-
Nya. 97 Al-Bursawi> melanjutkan,zikir bukan hanya dilakukan dengan lisan, tapi
juga menggunakan hati dan seluruh anggota badan. Allah mengglobalkan segala bentuk pengingatan itu termasuk di dalamnya segala jenis zikir dengan bagian- bagiannya. Maka tak heran jika shalat juga dinamakan dengan zikir. Sebagaimana yang terdapat pada ayat ke-9 surat al- Jum’ah. Ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
96 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 255. 97 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 255, 256.
Zikir terkadang dilakukan dengan lisan, hati dan anggota badan. Zikir kepada Allah menggunakan lisan dengan mensucikan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya dan membaca kitab-Nya. Zikir menggunakan hati dilakukan dengan tiga cara: merenungkan dalil-dalil yang menunjukkan kepada Dhat-Nya dan sifat-Nya; merenungkan dalil-dalil yang menunjukkan kepada proses pentaklifan-Nya, penentuan hukum-hukum-Nya, perintah-Nya, larangan- Nya; merenungkan rahasia makhluk Allah sehingga setiap dharrah dari dharrah makhluk Allah menjadi seperti cermin yang bersih dan menembus ke alam kesucian. Adapun zikir dengan menggunakan anggota badan dengan menenggelamkan anggota badannya dalam melaksanakan perbuatan yang telah diperintahkan serta mengosongkan dari amal yang dilarang untuk dikerjakan. Oleh karena itu, Allah menamakan shalat sebagai zikir, sebagaimana dalam firman-Nya:
‚..Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah..‛(Q.S. al-Jumu’ah [62]: 9)
Maka jadilah perintah Allah dalam firman- Nya: ‚..Ingatlah kalian kepada-Ku..‛ mengandung segala jenis ketaatan. Allah mengglobalkan pengingatan itu
termasuk di dalamnya segala jenis zikir dengan bagian-bagiannya. 98 Senada denganal-Bursawi>, al-Alu>si>memaknai zikir dengan bentuk dari
ketaatan hati. Selain hati, zikir juga hendaknya dilakukan dengan menggunakan lisan dan angota badan yang lain. Pertama; tah}mi>d, tasbi>h}, tah}mi>d dan juga membaca al- Qur’an. Kedua; memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah, memikirkan sifat-sifat Ila>hiyah dan rahasia-rahasia Rabba>niyah. Ketiga; tenggalamnya anggota badan dalam beramal saleh, dan meninggalkan amalan yang dilarang. Dan shalat mencakup dari ketiga hal tersebut yang Allah namakan juga dengan zikir. Sebagaimana firman Allah dalam surat al- Jum’ah ayat ke-9: ‚..Maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah..‛Adapun hakikat zikir menurut al-Alu>si> adalah melupakan segala sesuatu kecuali Allah. Dan makna adhkurukum menurut Alu>si> adalah Allah akan membalas kalian dengan pahala. 99
Dari penafsiran al-Bursawi> dan al-Alu>si> di atas, terlihat bahwa merekamencoba menggabungkan metode bi> al-mathu>r yang biasa dianut oleh mufassir kalangan zahiri dengan metode bi> al-isha>ri> yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Ini merupakan nilai plus bagi tafsir sufistiknya tersebut. Tidak ketinggalan, Ibn ‘Arabi, juga mendasari argumentasi penafsiran sufistiknya dengan mengutip ayat al- Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari uraiannya sebagai berikut:
Menurut Ibn ‘Arabi>, fadhkuru>ni> adhkurkum bermakna barangsiapa yang menyebut-Ku dalam dirinya maka Aku akan menyebutnya dalam Diri-Ku,
98 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 256. 99 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 19 98 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 256. 99 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid II, 19
mendahulukan hamba-Nya dalam permasalahan ini. 100 Ibn ‘Arabi> melanjutkan, dalam kasus lain, keadaan hamba kepada Allah merupakan potretkeadaan
Tuhan kepada hamba-Nya. 101 Sebagaimana Firman-Nya:
‚Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.‛ (Q.S. al- Maidah [5]: 54)
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa ayat ini mengandung konteks imam dan ma’mum.Artinya, keadaan Allah sesuai dengan
kondisi hamba-Nya. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dijelaskan oleh al- Bursawi> dan al-Alu>si> di atas yang memaknai tersebut dengan bentuk ketaatan hamba kepada Allah. Ketika seorang hamba taat kepada Tuhannya, maka ia akan menjadi makmum dari segala sesuatu yang berasal dari Tuhannya.
Apa yang telah dijelaskan ketiga mufassir tersebut berbeda dengan penjelasan al-Qushayri> yang memaknai ayat ini dengan tenggelamnya seorang ahli zikir dalam kesaksiannya terhadap Dhat yang disebutnya. Kemudian meleburkannya ke dalam wuju>d yang disebutkan sampai tidak berbekas darinya dari apa yang disebutkannya tersebut . Fadhkuru>ni> adhkurkum adalah meleburlah dengan wujud Kami, maka Kami akan menyebut kalian setelah ke- fana>’-an kalian. 102
Dari penjelasan al-Qushayri>di atas, terlihat bahwa ayat ke-152 surat al- Baqarah ini ia kaitkan dengan konteks fana>’ dan baqa>’. Hal ini tidak sejalan dengan penjelasan al-Bursawi>yang menekankan pada konteks ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.
Secara umum, penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-152 surat al- Baqarah masih berpijak pada makna zahir ayat. Di samping itu, penafsirannya masih mengacu kepada dalil syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dah hadis serta tidak didapati pertentangan terhadap kedua hal tersebut. Dan yang terpenting, dalam tafsirnya tersebut tidak dijumpai klaim kebenaran atas pemaknaan sufistiknya. Hal ini sangatlah penting agar penafsiran sufitiknya
selalu berpegang kepada makna zahir ayat.
4.2. Q.S. Ali ‘Imra>n [3]: 191
100 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Al-Futuh}a>t al-Makiyyah (Beirut: Da>r S{a>dir, 2004), Jilid I, 79-80.
101 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Al-Futuh}a>t al-Makiyyah, Jilid I, 115. 102 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 77-78.
‚Orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka mentafakuri penciptaan langit dan bumi, (seraya
berkata): ‛Ya Rabbana, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.‛ (Q.S. Ali ‘Imra>n [3]: 191)
Menurut al-Bursawi>, kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha qiya>man wa ‘ala> qu‘u>dan wa ‘ala> junu>bihim adalah mereka yang selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, baik dalam keadaan duduk,berdiri dan berbaring. Karena manusia biasanya tidak terlepas dari ketiga keadaan tersebut. 103
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa zikir kepada Allah dapat dilakukan dalam segala keadaan. Hal ini mengindikasikan keistimewaan zikir dari ibadah lain yang tidak terbatas oleh kondisi dan waktu. Uraianal-Bursawi>ini tidak bertentangan dengan makna tekstual ayat yang mengandung arti bahwa orang-orang melakukan zikir kepada Allah dalam segala kondisi, baik dalam kondisi berdiri, duduk ataupun berbaring. Jika menilik pada validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, maka penafsiran al- Bursawi> dapat dikategorikan kepada tafsir sufistik yang dapat diterima. Hal ini dikarenakan tidak didapati pertentangan antara pemaknaan isha>ri>-nya dengan makna tekstual ayat.
Adapun kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha menurut Ibn ‘Arabi> adalah menyebut Allah dalam segala kondisi dan keadaan. Keadaan qiya>man adalah dalam maqam ruh dengan musha>hadah. Keadaan qu‘u>dan adalah dalam hati dengan muka>shafah. Dan ‘ala> junubihim adalah terbaliknya dari tempat mereka
dengan 104 muja>hadah. Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, terlihat bahwa penafsirannya itu sangat kental dengan muatan teori tasawuf. Hal itu terlihat ketika ia
memasukkan maqam musha>hadah, muka>shafah danmuja>hadahke dalam penafsirannya.
Sedangkan menurut al-Qushayri>, kalimat alladhi>na yadhkuru>nalla>ha qiya>man wa ‘ala> qu‘u>dan wa ‘ala> junu>bihim bermakna tenggelamnya seorang penzikir dalam semua waktunya. Ketika berdiri ia berzikir kepada Allah. Ketika duduk, tidur, bersujud dan semua ah}wa>l yang digunakan untuk zikir dengan sungguh-sungguh, mereka berdiri dengan kesungguhan zikirnya dan duduk dari
meninggalkan urusannya. Berdiri dengan kejernihan ah}wa>l, duduk dengan memperhatikan zikirnya. Dan berzikir kepada Allah sembari berdiri dengan sajadah pengabdian kemudain duduk dengan sajadah al-qurbah. Barangsiapa yang tidak berserah pada permulaan berdirinya yang singkat, maka tidak akan
104 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145. Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157 104 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145. Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157
meninggalkan seluruh urusan duniawinya, sehingga ia akan terfokus hanya kepada zikirnya tersebut. Hal itu ia lakukan pada setiap kondisi dan di seluruh waktunya.
Selanjutnya, al-Bursawi> melanjutkan penafsirannya mengenai ayat di atas.Menurutnya, kalimat wa yatafakkaru>na fi> khalqi al-samawa>ti wa al-ard} adalah mereka bertafakkuruntuk mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi. Tafakkur dikhususkan kepada makhluk, sebagaimana sabda Nabi:
‚Tafakurilah makhluk dan janganlah mentafakkuri khaliq‛
Mentafakkuri khalik tidak diperbolehkan, karena mengetahui hakikat khaliq yang spesifik tidak mungkin terjangkau oleh manusia, sehingga manusia dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Tatkala penciptaan manusia tersusun dari jiwa raga, maka penghambaan pun harus dengan jiwa dan raga pula. Penghambaan badan diisyaratkan dengan firman Allah: ‚Orang-orang yang berzikir kepada Allah..‛ karena zikir tidak mungkin sempurna kecuali menggunakan tubuh dan anggota badan. Adapun penghambaan hati dan jiwa diisyaratkan oleh firman-Nya: ‚Mereka bertafakkur dalam penciptaan langit dan bumi.‛
‚Bertafakkur sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.‛ (H.R. Ahmad)
Al-Bursawi menjelaskan bahwa terdapat dua keistimewaan bertafakkur, pertama, tafakkur menghantarkan manusia kepada Allah.Sedangkan ibadah menghantarkan manusia kepada pahala Allah. Sesuatu yang menghantarkan kepada Allah lebih baik daripada yang menghantarkan kepada selain Allah; kedua, tafakkur merupakan perbuatan hati, sedangkan taat merupakan merupakan perbuatan anggota badan. Perbuatan hati lebih mulia daripada perbuatan anggota badan. 106
Dari penjelasanal-Bursawi>tentang kalimat wa yatafakkaru>na fi> khalqi al-samawa>ti wa al-ard} di atas, dapat dipahami bahwa tujuan orang-orang bertafakkur adalah untuk mengambil hikmahatau pelajaram tentang penciptaan langit dan bumi. Dalam penjelasannya, al-Bursawi>melarang manusia bertafakkur tentang Kha>liq, hal itu didasarkan pada hadis Nabi: ‚Tafakurilah makhluk
khaliq.‛ Pelarangan ini dikarenakanmanusia tidak akan mungkin bisa menjangkau hakikat yang spesifik tentang Allah.
dan janganlah
mentafakkuri
105 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 189. 106 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 145.
Pengutipan hadis Nabi oleh al-Bursawi> dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi penafsirannya. Ini mengindikasikan bahwa ia sangat berpegang teguh kepada dalil syar’i yang bersumber dari hadis. Hal ini sesuai dengan teori validitas al-Dhahabi> yang menyebutkan bahwa sebuah penafsiran sufistrik dapat diterima apabila dalam penafsirannya diperkuat dengan
argumentasi syara’ yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. 107
Penjelasan al-Bursawi> berbeda dengan I bn ‘Arabi>yang mengaiktkan tafakkur dengan maqam musha>hadah.Menurut Ibn ‘Arabi>, tafakkur dilakukan dengan pikiran seseorang, sehinggapikirannya ituakan terbebas dari wahm. Adapun fi> khalqadalah alam ruh dan jasad. Mereka yang bertafakkur akan berkata dalam musha>dah-nya: ‚Ya Rabbana, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.‛ Sesungguhnya selain al-H{aqq adalah batil, kecuali asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Dialah Dhat Yang Maha suci dari selain-Nya, yang tiada pembanding bagi keesaan-Nya. Maka peliharalah kami dari siksa neraka, yaitu neraka ih}tija>b dari bentuk af‘a>l-Mu dan dari af‘a>l sifat-sifat-Mu, sifat-sifat
Dhat-Mu yang selalu terjaga kesempurnaannya. 108
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, dapat dipahami bahwa tafakkur dapat menghilangkan wahm dalam pikiran seseorang. Sehingga tafakkurnya itu dapat mengantarkannya kepada musha>dah yangberujung pada tauhid. Dalam pandangan mereka tiada lagi yang h}aq selain al-H{aqq itu sendiri.
Ayat di atas mengisyaratkan tentang besarnya permasalahan dhikrulla>h dan tafakkur. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Bursawi> bahwa ayat itu mengandung isyarat tentang urgensi zikir dan tafakkur. Selain itu, mengisyaratkan kepada tiga martabat: zikir dengan lisan, tafakkur dengan kalbu dan ma’rifat dengan ruh. Zikir dengan lisan menghantarkan pelakunya kepada zikir dengan kalbu, yaitu mentafakkuri kekuasaan Allah. Zikir dengan kalbu menghantarkan pelakunya kepada maqam ruh, sehingga dalam maqam itu ia dapat mengetahui hakikat suatu perkara dan dapat melihat hikmah Ilahiyah yang terdapat pada makhluk Allah. Kemudian setelah menyaksikan hikmah Ilahiyah, ia berkata:‚Ya Rabbana, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia...‛ maka seorang mukmin harus senantiasa berzikir kepada Allah dengan lisannya dalam segala keadaan, sehingga dengan zikir lisan itu menyampaikannya kepada zikir kalbu. Zikir kalbu akan menyampaikannya kepada zikir ruh, sehingga ia memperoleh keyakinan dan ma’rifat, selamat dari gelapnya kebodohan dan ia akan terang benderang oleh cahaya ma’rifat. 109
Dari penjelasan Bursawi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi zikirmeliputi tiga martabat, yaituzikir lisan, tafakkur kalbu dan ma’rifat ruh. Zikiryang dilakukan dengan lisan dapat menghantarkan seseorang kepada zikir kalbu, yaitu mentafakkuri kekuasaan Allah sebagaimana yang telah disebutkan ayat di atas. Dengan zikir kalbu tersebut menghantarkan kepada maqam ruh,
107 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 108 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 157
109 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 146.
sehingga ketika seseorang berada pada maqam itu ia dapat mengetahui hakikat dari sesuatu dan melihat hikmah Ilahiyah yang terdapat pada setiap ciptaan Allah Ta’ala.
Adapun hakikat zikirmenurut Al-Alu>si>adalah menyebutAllah baik dari Dhat, sifat-sifat dan af’al-Nya. Martabat zikiradalah dengan menggunakan lisan, kalbu dan dengan anggota tubuh lainnya.Martabat zikiryang paling utama adalah tidak melalaikan Allah pada seluruh waktu yang dimilikinya dengan menentramkan hatinya dengan zikir kepada-Nya dan menenggelamkan seluruh kesenangannya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 110 Dari penjelasan al- Alu>si>ini, ia mendeskripsikan bahwa zikirdilakukan dengan lisan kemudian kalbu. Dan dari keduanya, martabat yang paling utama adalah berzikir dengan hatidi semua waktu yang dimilikinya disertai dengan membuang semua kesenangan duniawi untuk ber- taqarrub kepada Allah.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa keutamaan yang terkandung di dalam zikir sangatlah besar. Hal ini sesuai dengan al-Qushayri> yang mengatakan bahwa tidak ada suluk yang lebih utama selain jalan zikir. Dalam zikirterdapat beberapa ah}wa>l,pertama; zikir yang mewajibkan seorang penzikir menangkap zikirnya dari kekurangan dan kesalahan pada masa lalunya. Kedua; zikiryang mewajibkanpenzikirnya untuk memanjangkannya,hal tersebut disebabkan kenikmatan yang ia rasakan ketika berzikir,sehingga dengan zikirnya dapat mendekatkan diri kepada al-H{aqq. Seorang ahli zikirakan dapat mengikiskan pandangannya kepada selain-Nya, membuat lidahnya selalu terbiasa menyebut-Nya dan hatinya akan selalu terikat kepada-Nya. 111
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat ke-191 surat A<li ‘Imra>n menerangkan tentang keutamaan zikir kepada Allah pada setiap kondisi dan waktu. Sehingga dengan zikir dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Karena Zikir dalam pengertian luas adalah keadaan tentang kehadiran Tuhan dimana pun dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. 112 Keisitimewaan zikir dengan ibadah lainnya adalah tidak ada batasan baik dalam metode pelaksanaan, kuantitas atau waktu dalam berzikir. Oleh karena itu, zikir dapat dilakukan sepanjang waktu dalam berbagai kondisi.
Secara global, penafsiranal-Bursawi> terhadap ayatke-191 surat A<li ‘Imra>n diawali dengan pemaknaan zahir terlebih dahulu sebelum melangkah ke pemaknaan secara isha>ri>. Hal ini mengindikasikan bahwa ia sangat memperhatikan perpaduan antara pemaknaan zahir dan batin. Selain itu, dalam menjelaskan permasalahan seputar zikir, terlihat bahwa ia masih mendasari penafsiran sufistiknya dengan penggunaan dalil syar’i yang bersumer dari al- Qur’an Hadis sertatidak bertentangan dengan syariat atau argumentasi rasio. Di samping itu,al-Bursawi>tidak mengklaim bahwa makna ishari>-nya adalah satu- satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat di atas.
110 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid IV, 158. 111 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 188-189. 112 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an Tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), 14.
4.3. Q.S. al- Ra‘d [13]: 28
‚Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.‛ (Q.S. al-Ra‘d [13]: 28)
Al-Bursawi> membuka penafsirannya dengan menjelaskan makna kalimat alladhi>na a>manu> dengan meggunakan analisis kebahasan.Kemudiania menjelaskan makna kalimat wa tat}mainna qulu>buhum bidhikrilla>hyang terdapat pada ayat di atas. Dalam penjelasannya, ia mengutip ayat ke-45 surat al-Zumar tentang sifat orang-orang kafir yang tidak suka ketika disebutkan nama Allah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurut al-Bursawi>, kalimat alladhi>na a>manu> adalah badal dari man ana>ba pada ayat sebelumnya atau khabar mubtada ’ makhdhu>f yang berarti
mereka yang beriman. Adapun makna dari kalimat wa tat}mainna qulu>buhum bi dhikrilla>h adalah hati mereka menjadi tentram jika mendengarkan dhikrulla>h, mereka mencintainya dan terbiasa berzikir dengan al- Qur’an. Dan orang-orang beriman membiasakan diri mereka dengan al- Qur’an, menyebut Allah yang merupakan nama paling Agung dan mereka suka mendengarkannya. Sedangkan
orang-orang kafir senang dengan dunia dan menyebut selain Allah. 113 Sebagaimana firman-Nya:
‚Dan apabila yang disebut hanya nama Allah, kesal sekali hati orang- orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira.‛ (Q.S. al-Zumar [39]: 45)
Jika dilihat, apa yang telah dijelaskan oleh al-Bursawi> di atas tidak jauh berbeda dengan makna tekstual yang terkandung dari ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penafsirannya sangat berpaku pada makna zahir ayat. Selain itu, pengutipan ayat ke-45 surat al-Zumar dalam penafsirannya memberikan indikasi bahwa ia mencoba menggunakan metode tafsi>r Q ur’a>n bi> al-Q ur’a>n.Jika ditinjau dari penentuan validitas penafsiran sufistik al-Dhahabi>, penafsiran yang dilakukan oleh al-Bursawi> itu dapat dikatakan valid atau dapat diterima. Hal ini disebabkan penafsiran sufistiknya masih berpegang pada dalil syar’i yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.
113 Isma>‘i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IV, 372.
Adapun kalimat alladhi>na a>manu>wa tat}mainna qulu>buhum bi dhikrilla>h menuut al-Qushayri> adalah kaum yang tentram hatinya dengan zikir kepada Allah. Di dalam zikir terdapat kesenangan bagi mereka dan dapat mengantarkan kepada s}afwah mereka. Kaum yang hatinya tentram dengan menyebut Allah, maka Allah akan menyebut mereka dengan kelembutan-Nya. Bersemayamnya rasa tentram dalam hati mereka disebabkan kekhususan mereka ketika
berzikir. 114 Dari penjelasan al-Qushayri>tersebut, orang yang berzikir kepada Allah dengan khusyu’ akan merasa ketentraman di dalam hatinya. Hal itu
disebabkan rasa cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka senantiasa menyebut nama Allah. Atas kecintaan mereka dengan dhikrulla>h, maka Allah pun memberikan kekhususan dengan menyebut mereka.
Menurut Ibn ‘Arabi>, yang dimaksud dengan kalimat alladhi>na a>manu> wa tat}mainnu qulu>buhum bi dhikrilla>h adalah orang-orang bertaubat yang beriman kepada alam gaib. Mereka berzikir dengan lisan dan bertafakkur atas nikmat Allah.Selain itu, merekaberzikir dengan kalbu dan bertafakkur dalam
alam malaku>tdengan mengamati sifat jama>l dan jala>l.Di dalam zikir terdapat beberapa martabat, pertama;zikir nafs dengan lisan dan bertafakkur terhadap nikmat Allah. Kedua;zikir kalbu dengan menelaah sifat-sifat Allah. Ketiga;zikir sirr dengan bermunajat. Keempat;zikir ruh dengan musha>hadah. Kelima;zikir kepada Allah dengan fana>’. Seluruh martabattersebut tidak akan terjadi kecuali setelah rasa tentram dan amal saleh seperti tazkiyah dan
tah}liyah. 115 Dari penafsiran Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa orang yang
beriman berzikir dengan menggunakan lisan dan hati. Zikir lisan dilakukan dengan merenungkan segala nikmat Allah yang telah diberikan ( tah}adduth bi> al- ni’mah). Adapun zikir kalbu dengan menelaah sifat-sifat Allah. Ketika seseorang telah melakukan zikir dengan lisan dan hati, maka ia akan melangkah kepada martabat zikir yang lebih tinggi lagi, yaitu zikirir sirr dengan munajat, kemudian zikir ruh dengan musha>dah. Dan martabat zikiryang paling tinggi adalah dhikrulla>h dengan fana>’.
Selanjutnya, al-Bursawi> menutup penafsirannya dengan menjelaskan kalimat ala> bi dhikrilla>h tat}mainnu al-qulu>b. Menurtunya, kalimat itu bermakna bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Ini dikarenakan pada kalbu orang-orang beriman terdapat keyakinan di dalamnya. Adapun kalbu orang awam menjadi tentram dengan tasbih. Kalbu orang khawa>s} dengan hakikat asma>’ al-h}usna>. Dan kalbu khawa>s} al-khawa>s} dengan musha>dah Allah Ta’ala. 116 Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa ketentraman yang dirasakan oleh hati orang-orang yang berzikir disebabkan oleh keyakinan mereka kepada Allah. Karena bagaimana seseorang akan bisa merasa tentram dan nyaman terhadap sesuatu yang tidak ia yakini. Di samping itu, dapat
114 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid II, 108-109. 115 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 366. 116 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IV, 372-373.
dipahami pula bahwa kalbu diklasifikasikan kepada tiga macam. Yaitu, kalbu orang awam,kalbu orang khawa>s dan kalbu khawa>s} al-khawa>s.
Dari pemaparan al-Bursawi> terhadap ayat di atas, terlihat bahwa ia sangat memperhatikan perpaduan antara pemaknaan zahir dan batin. Hal ini disebabkan antara makna tekstual yang terkandung pada ayat dengan pemaknaan yang dilakukan oleh al-Bursawi>sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tidak ditemukan pertentangan di antara keduanya. Di samping itu, dalam menjelaskan permasalahan zikir, al-Bursawi> masih mendasari penafsiran sufistiknya dengan penggunaan dalil syar’i. Bahkan, ia menggunakan pendekatan tafsi>r Q ur’a>n bi> al-Qur’a>ndalam menguraikan ayat tersebut. Hal ini semakin memberi nilai plus pada tafsir sufsitiknya. Mengingat jarang sekali mufassir dari kalangan sufi yang menggambungkan antara metode bi> al- ma’thu>r dengan metode bi> al-isha>ri>. Selain itu, di dalam penafsiran al-Bursawi> tidak ditemukan pertentangan antara penafsirannya dengan dalil syara’ atau rasio. Karena pemaknaan yang dilakukannya, didasarkan oleh kedua hal tersebut.Terakhir, dari penafsirannya tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>-nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat di atas. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan al-Bursawi>terhadap ayat ke-28 surat al- Ra’dadalah valid atau bisa diterimajika ditinjau dari teori validitas penafsiran sufistik yang diungkapkan oleh al- Dhahabi>.
A. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Tentang Puncak Pengalaman Sufistik
1. Mah}abbah Mah}abbahadalah pijakan bagi segala kemuliaan h}a>l(keadaan), 117 sama
halnya dengan taubat yang merupakan dasar bagi segala kemuliaan 118 maqa>m. Karena mah}abbahpada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar bagi
segenap h}a>l. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah (mawhib). Mah}abbahmerupakan buah dari tauhid dan ma‘rifah. Setiap maqam dan h}a>l
117 H{a>latau ah}wa>l menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati seseorang secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti
rasa gembira, sedih, rindu, cinta, takut dan lain sebagainya. Keadaan tersebut merupakan anugerah, berbeda dengan maqa>m yang merupakan hasil usaha. Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah (Kairo: Da>r al-Jawa>mi‘ al-Kalam, 2007), 92-93. 118
Maqa>m adalah sebuah istilah dalam dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang sa>lik (seorang hamba pencari kebenaran spiritual dalam praktik ibadah) dengan melalui beberapa tingkatan muja>hadah secara gradual; dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqa>m berikutnya dengan suatu bentuk amalan ( muja>hadah) tertentu; sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan untuk mencapai suatu maqa>m harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqa>m yang sedang dikuasainya. Oleh karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riya>d}ah. Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 92.
berasal darinya. 119 Mah}abbah dalam ajaran tasawuf erat kaitannya dengan perasaan cinta seorang hamba kepada Tuhan. Lebih luas lagi, mah}abbah
mengandung makna memeluk dan mematuhi perintah Tuhan serta membenci sikap yang menunjukkan pembangkangankepada Tuhan. Selain itu, mah}abbah memuat arti pengosongan perasaan di dalam hati dari segala sesuatu selain-
Nya. 120 Menurut Suhrawardi>, mah}abbah merupakan suatu kecenderungan hati
untuk memperhatikan kecantikan atau keindahan. Suhrawardi> membagi mah}abbah ke dalam dua jenis, yaitu: mah}abbah ‘a>m dan mah}abbah kha>s}. Mah}abbah ‘a>m adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat-Nya. Sedangkan mah}abbah kha>s} adalah kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan Dhat-Nya. 121 Secara umum, mah}abbah diilustrasikan oleh Suhrawardi> sebagai mata rantai dari keselarasan yang mengikat sang pencinta kepada kekasihnya; suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya dan kemudian menangkap Dhat-Nya dalam genggaman
qudrah Allah. 122 Al-Sarra>j al-T{u>s}i> menerangkan bahwa mah}abbah memiliki tiga
tingkatan: pertama, cinta biasa, yaitu selalu menyebut nama Tuhan dengan zikir. Kedua, cinta orang s}iddi>q dan ahli hakikat, yaitu orang-orang yang mengenal Tuhan, pada kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya. Cinta orang- orang tersebut dapat menghilangkan tabir yang menghalangi mereka dengan Tuhan. Dengan demikian, mereka dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Cinta pada tingkatan ini dapat menghilangkan kehendak dan sifat-sifat seseorang, hatinya akan merasakan cinta yang mendalam kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya. Ketiga, cinta orang ‘a>rif, yaitu itu orang yang sangat mengetahui Tuhan. Cinta pada tingkatan ini yang dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. 123
Bagi kaum sufi, seorang hamba adalah pecinta sedangkan Allah adalah Sang Kekasih. Karena pada hakikatnya setiap perbuatan itu harus ditujukan kepada Allah, Dia juga termasuk pemberi cinta. Cinta Allah kepada para sufi itu mendahului cinta mereka kepada Allah. Selain itu, para sufi sangat jarang menyebut-menyebut cinta Allah kepada manusia, tetapi sebaliknya mereka sering menyebut-menyebut cinta manusia kepada Allah. Cinta manusia kepada
119 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa (Jakarta: Azan, 2001), 53.
Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 240-241 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli Makrifat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 185. 122 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli Makrifat, 186. 123 al-Sarra>j al-T}u>si, Al- Luma>’ (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960), 86-88. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 55.
H.A. Mustofa,
Allah ini adalah suatu kewajiban seorang hamba, sedangkan cinta Allah kepada manusia merupakan rahmat dimana sang hamba tidak memiliki tuntutan sama sekali terhadap hal itu. Bagi para sufi, Allah adalah suatu objek unik dan tidak dapat diperbandingkan pemujaannya. 124
Al-Ghazali> menyebutkan bahwa hakikat cinta adalah perasaan yang yang amat senang ketika telah dekat dengan Allah. Sebagaian sufi mengatakan,
hakikat dekat dengan-Nya adalah hilangnya panca indera dari hati muncul ketenangan hati ketika berada di hadapan Allah. 125 Ketika hati seseorang benar-
benar mencintai Allah, maka ia telah bersiap-bersiap memperoleh puncak kesempurnaan dan memperoleh karunia Allah yang melimpah. Tetapi berseminya rasa cinta hanya dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu. Rasa cinta kepada Allah tidak bisa dirasakan semua orang. Sesungguhnya cinta adalah kemuliaan yang dipilihkan Allah untuk para kekasih-Nya. Sesungguhnya rasa cinta adalah anugerah yang dengan sendirinya mengalir dari kemurahan Allah, sebelum bisa diupayakan oleh kehendak manusiawi. 126 Seseorang dapat
mencintai Tuhan jika ia melakukan dua hal, pertama: memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada selain Allah dari hati. Kedua: kuatnya penganalan terhadap Allah. hal itu dapat terjadi setelah mensucikan
hati dari segala kesibukan duniawi. 127 Abu> T{a>lib al-Makki sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel
merangkum gagasan tasawuf moderat dengan mengatakan bahwa bagi orang yang beriman, cinta kepada Tuhan dan utusan-Nya haruslah diutamakan dari segalanya. Karena Rasulullah menjadikan cinta kepada Tuhan sebagai suatu syarat keimanan. 128 Dan termasuk kecintaan itu adalah mengikuti Nabi saw. dalam segala petunjuknya, kezuhudan, akhlak dan meneladani segala hal darinya. Serta berpaling dari keindahan dan kemilaunya dunia. Karena sesungguhnya Allah telah menjadikan Nabi sebagai petunjuk, serta bukti pada ummat-Nya. Termasuk kecintaan terhadap Allah adalah lebih mengutamakan kecintaan terhadap Allah di atas diri maupun keinganan diri agar dapat memulai dalam segala urusan-Nya sebelum urusan diri sendiri. Tanda seorang pecinta adalah sejalan dengan yang dicintai, dan mengikuti jalan-jalannya dalam segala urusan dan mendekatkan kepadanya dengan segala upaya, serta menjauhi hal- hal yang menghambat tujuanya itu. 129
124 Marget Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), 105-106.
125 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 56.
126 Muh}ammad al-Ghazali>, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam (Jakarta: Lentera, 2001), 385.
H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 242-244. 128 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
167. 129 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz
Minadhdhalal (Indonesia: Darul Ihya, t.th), 269.
Pada fase awal tasawuf, masalah mah}abbah menjadi titik permulaan perbedaan pendapat. Aliran ortodoks menerima mah}abbah hanya sebagai sebuah bentuk ‘kepatuhan’ dan bahkan bebepa ahli mistik moderat mengatakan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai kepatuhan kepada Tuhan. 130 Menurut ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, kepatuhan terhadap perintah Tuhan dapat mengantarkan seseorang kepada kecintaan-Nya. Kecintaan pada Allah tanpa menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan suatu kekeliruan. Bahkan menunaikan kewajiban-kewajiban itu merupakan suatu syarat agar dapat dekat dengan Tuhan. 131 Tuhan bukanlah Dhat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya harus dicintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekat dengan-Nya, maka harus banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi. 132
Sufi yang termasyhur dalam paham mah}abbah adalah Rabi>‘ah al- ‘Adawiyah (w. 185 H) dari Basrah. Menurut riwayat, dahulu ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Setelah dirinya bebas, ia banyak beribadah dan menjauhi sesuatu yang berbau duniawi. Dalam setiap doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin dekat dengan Tuhan. Bagi Rabi>‘ah, Tuhan merupakan Dhat yang dicintai dan sebagai tempat untuk meluapkan rasa cinta dari hatinya yang terdalam. Di antara ucapannya adalah: ‚Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-
Nya.‛ 133
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai mah}abbahdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
1.1. Q.S. A>li ‘Imra>n [3]: 31:
‚Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‛ (Q.S. A>li ‘Imra>n [3]: 31)
Di awal penafsirannya, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan asba>b al-nuzu>l dari ayat ini. Ia menerangkan bahwa ayat ini diturunkan ketika Rasulullah mengajak Ka‘ab ibn al-Ashra>f dan para sahabatnya kepada keimanan, maka mereka berkata: ‚kami adalah anak laki-laki Allah dan kekasih-kekasih- Nya.‛ Maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya: ‚Katakanlah
130 Annemarie Schimmel,
Dimensi Mistik Dalam Islam, 167.
‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 268. 132 H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 241. 133 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 56.
Penjelasan asba>b al-nuzu>l ayat ini oleh al-Bursawi>dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi penafsirannya. Karena sebuah penafsiran bukan hanya
bersumber dari argumentasi aqli saja, tetapi perlu didukung dengan dalil naqli juga. Hal ini memberi indikasi bahwa metode penafsiran yang digunakannya masih berpijak pada pemaknaan zahir ayat.
Setelah menjelaskan asba>b al-nuzu>ldari ayat ini, al-Bursawi> kemudian menerangkan tentang mah}abbah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:
Mah}abbah berarti condongnya jiwa kepada sesuatu karena ada kesempurnaan yang diketahui oleh jiwa terhadap sesuatu, sehingga jiwa mau menanggung hal-hal yang mendekatkan kepada-Nya. Bila seseorang mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki hanya pada Allah dan bahwa setiap yang dilihatnya sebagai kesempurnaan yang hakiki hanya pada Allah dan bahwa setiap yang dilihatnya sebagai kesempurnaan diri-Nya, atau melihat kesempurnaan yang ada pada selain-Nya itu sebagai kesempurnaan yang berasal dari Allah, karena Allah, dan pada Allah, maka cintanya itu hanya untuk Allah. Kecintaan ini menuntut kehendak untuk mentaati-Nya dan merasa senang atas apa-apa yang telah ditetapkan-Nya untuknya. Oleh karena itu, mah}abbah diinterpretasikan sebagai kehendak untuk berbuat taat. Dan mah}abbahdijadikan suatu kelaziman dalam mengikuti Rasulullah saw., dalam mentaati dan
menolongnya. 135 Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa mah}abbah
menurutnya adalah sebuah kecondongan dalam jiwa seseorang terhadap sesuatu yang sempurna. Ketika jiwa itu sudah condong, maka ia akan rela untuk menempuh segala hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada sesuatu yang dicintainya itu. Ketika seorang hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki hanya milik Allah, maka cintanya hanya diberikan untuk-Nya. Mah}abbah menuntut kehendak untuk mentaati-Nya dan merasa senang atas segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Karena itu, al-Bursawi> dalam penjelasannya mengintrepretasikan mah}abbah sebagai kehendak untuk selalu berbuat taat. Di samping itu, mah}abbah juga dijadikan suatu keharusan dalam mengikuti, mentaati dan menolong Rasulullah saw. Karena Rasulullah saw. adalah orang yang paling dicintai Allah swt.
Penjelasan Bursawi mengenai mah}abbah di atas, senada dengan apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d bahwa tanda seorang pecinta adalah sejalan dengan yang dicintai, dan mengikuti jalan-jalan-Nya dalam segala urusan dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala upaya, serta
134 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi>Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid II, 22. 135 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 22.
menjauhi hal-hal yang menghambat tujuanya tersebut. 136 Dengan kata lain, jika seorang hamba telah mencintai Allah, maka ia akan sepenuh jiwa melakukan
segala yang disukai-Nya dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Dhat yang dicintainya.
Ketika seseorang telah benar-benar mencintai Allah, maka iaakan memperoleh puncak kesempurnaan dan memperoleh karunia-Nya yang
melimpah. 137 Al-Bursawi> dalam tafsirnya menggambarkan tentang karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang mencintai-Nya. Hal ini terlihat dari
penafsirannya berikut ini: Allah mengampuni dosa-dosa kalian, yaitu dengan menyingkapkan hijab dari dalam hati mereka dengan memaafkan keteledoran mereka dalam mengerjakan perintah-Nya, kemudian Dia mendekatkan mereka kepada surga- surga kemulian-Nya. Mah}abbah diungkapkan dengan cara isti‘a>rah atau musha>kalah. 138 Oleh karena itu Allah berfirman:
‚ Katakanlah:‛Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya apabila mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 32)
31 dari surat A>li ‘Imra>n tidak menafikkan bahwa ayat tersebut mengandung indikasi mengenai term mah}abbah yang biasa dipakai oleh kalangan sufi. Mah}abbah dalam perspektif al-Bursawi> adalah sebuah kecondongan jiwa seseorang terhadap sesuatu yang sempurna. Dari kecondongan itu, ia akan rela untuk melakukan segala hal yang dapat mendekatkannya kepada sesuatu yang ia cintai. Ketika obyek yang dicintainya adalah Allah, maka ia dituntut untuk mentaati segala sesuatu yang ditetapkan-Nya. Begitupun ketika objek mah}abbah-nya adalah Rasulullah, maka ia dituntuk untuk mengikuti, mentaati serta menolong Rasulullah saw.
Penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat ke-
Secara umum, penafsiranal-Bursawi>mengenai ayat di atas masih berpegang pada pemaknaan secara zahir. Hal ini terlihat ketika ia mengutip riwayat tentang asba>b al-nuzu>l dari ayat yang sangat jarang dilakukan oleh para mufassir sufi. Hal itu juga sekaligus menepis statemen orang-orang yang beranggapan bahwa mufassir kalangan sufi kerap mengabaikan makna zahir ayat al- Qur’an. Karena metode penafsiran yang dilakukan oleh al-Bursawi> selalu mengharmonisasikan antara dimensi zahir dan batin sebagaimana yang terlihat pada uraian di atas.
136 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 269.
137 Muh}ammad al-Ghazali>, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam, 385. 138 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 22.
Kemudian, ketika al-Bursawi> menjelaskan tentang karunia Allah terhadap orang-orang yag mencintai-Nya, ia mengutip ayat kel-32 surat A<li ‘Imra>n. Dari sini tampak bahwa al-Bursawi> mencoba menggunakan pendekatan tafsi>r Qur’a>n bi> al-Qur’a>n. Metode tersebut biasa dipakai oleh kalangan
mufassir bi> al- ma’thu>r yang menafsirkan ayat dengan al-Qur’an atau dengan riwayat. Walaupun al-Bursawi>notabennya bukan dari kalangan mufassir bi> al- ma’thu>r, namun dalam menafsirkan ayat sering menggunakan metode tersebut untuk menemukan makna sufistik yang terkandung pada suatu ayat. Hal ini menambah nilai plus tersendiri bagi tafsirnya itu.
Uraian al-Bursawi> mengenai mah}abbah tidak jauh berbeda dengan Ibn ‘Arabi>. Hanya saja jika al-Bursawi> menitik beratkan obyek mah}abbah kepada
Allah, sedangkan Ibn ‘Arabi> lebih menitik beratkan pembahasannya kepada Nabi saw. sebagai kekasih Allah. Ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi saw. adalah kekasih Allah, dan setiap orang yang menyeru kepada mah}abbah wajib untuk mengikutinya.Karena barangsiapa yang mencintai kekasih-Nya maka akan dicintai-Nya. Oleh karena itu, wajib untuk mencintai Nabi dengan mengikuti jejak, sulu>k, jalan, perkataan, perbuatan, h}a>l, sirah dan ‘aqidahnya. Mah}abbah tidak akan bisa dicapai tanpa cara-cara tesebut, karena hal itu merupakan poros, bentuk ekspresi, dan tarekat merupakan azimat dari mah}abbah. Barangsiapa yang tidak bertarekat maka tidak akan bisa mencapai mah}abbah. Jika mengikutinya dengan sungguh- sungguh, maka batin, sirr, hati dan jiwanya akan sesuai dengan batin, sirr, hati dan jiwa Nabi saw.,dan itu merupakan sebenar-benarnya ekspresi mah}abbah. Hal itu merupakan bagian dari mahabbatu lla>h ta’a>la> dengan azimat dari pencinta. Allah akan menemui orang yang mencintai-Nya dan memuliakannya dengan batin dan ruh Nabi saw. serta dengan cahaya 139 mah}abbah kepada-Nya.
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, seseorang yang ber-mah}abbah kepada Allah, wajib baginya untuk mengikuti Rasulullah saw. Karena secara logika, seorang hamba yang mencintai kekasih-Nya maka akan dicintai oleh-Nya pula. Oleh karena itu, kewajiban mencintai Nabi dengan mengikuti sulu>k, perkataan, perbuatan, h}a>l dan segala sesuatu yang diajarkannya adalah sebuah implikasi dari mah}abbah kepada Allah. Apabila seorang hamba mengikuti Nabi dengan sungguh-sungguh, maka batin, sirr, hati dan jiwanya akan sesuai dengan Nabi saw. Lebih lanjut, Ibn ‘Arabi> memandang bahwa mah}abbah kepada Allah tidak akan dapat digapai tanpa melelaui tahapan tesebut, karena hal itu merupakan poros dari mah}abbah.
1.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 165.
139 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 124.
‚Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan (berhala- berhala) selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Dan orang-orang beriman sangat mencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang aniaya (tidak beriman) mengetahui, ketika mereka melihat azab (pada hari akhirat), bahwa sesungguhnya semua kekuasaan semua kekuasaan terpusat pada Allah dan sesungguhnya siksa Allah sangatlah berat. (jika mereka mengetahui demikian, tentu mereka akan sadar)‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 165)
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Bursawi> terlebih dahulu menjelaskan kata anda>dan. Menurutnya, yang dimaksud kata tersebut adalah berhala-berhala yang sebagiannya menjadi tandingan bagi Allah menurut persangkaan mereka yang buruk. Mereka mengharapkan keuntungan dan kemudharatan dari berhala- berhala itu, dan mereka mengemukakan berbagai masalah kepada berhala dan mendekatkan diri kepadanya. Kembalinya d}a>mir (kata ganti) untuk yang berakal kepada berhala-berhala dalam firman Allah yuh}ibbu>nahum didasarkan pada pandangan mereka yang batil mengenai berhala yang mereka sifati dengan sifat-sifat yang biasa dipakai untuk yang berakal. Atau d}a>mir itu kembali kepada pemimpin-pemimpin yang mereka taati. Dengan kata lain, tandingan tersebut adalah setiap perkara yang membuat manusia sibuk, sehingga melupakan Allah. 140
Kemudian al-Bursawi> mengutip perkataan kaum sufi dan ‘a>rifi>n bahwa maksud dari berhala-berhala itu adalah segala perkara yang membuat hati seseorang menjadi sibuk untuk memikirkan selain Allah. Jika hal itu terjadi,
maka orang tersebut telah menjadikan tandingan nagi Allah. 141 Sebagaimana yang dimaksudkan oleh firman Allah:
‚Pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya...‛ (Q.S. al-Furqa>n [25]: 43)
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwa kata anda>dan adalah segala sesuatu yang membuat manusia sibuk dan lalai, sehingga menjadikan hal itu sebagai tandingan bagi Allah swt. Uraian tersebut didapat dari analisa al- Bursawi> terhadap kata tersebut dari sisi kebahasaan. Ini memberikan bukti bahwa penafsiran sufistik al-Bursawi> berangkat dari pemaknaan secara zahir terlebih dahulu sebelum beranjak kepada pemaknaan isha>ri>.Metode penafsiran al-Bursawi> sesuai dengan mufassir dari kalangan sufi fayd}i> yang mengawali
140 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 269. 141 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 269-270.
penafsiran mereka dengan menekankan kepada makna zahir ayat sebelum melangkah kepada makna-makna selanjutnya. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai korelasi pencocokan makna yang sepadan antara z}a>hir sebagai aplikasi literal (
tat}bi>q) dan ba>t}in sebagai isyarat samar (ishara>t kha>fiyah). 142 Selain menghadirkan analisis kebahasaan, al-Bursawi> juga mendasari argumentasi penafsirannya dengan menjelaskan ayat di atas dengan ayat ke-43 surat al-Furqa>n. Dalam kajian ilmu tafsir, hal ini lazim disebut dengan tafsi>r al- Qur’a>n bi> al-Qur’a>n. Dari kasus ini, terlihat bahwa al-Bursawi> mencoba mengkombinasikan antara metode bi> al-mathu>r yang biasa dianut oleh mufassir kalangan zahiri dan metode bi> al-isha>ri> yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Pengkombinasian semacam ini jarang dijumpai dalam khazanah tafsir sufi, karena para sufi lebih sering berkutat pada pemaknaan al- Qur’an secara ba>t}in.
Setelah menjelaskan kata anda>da>, kemudian al-Bursawi> menjelaskan makna kalimat yuh}ibbu>nahum ka h}ubbilla>h dengan menggunakan metode penafsiran yang sama . Hal ini dapa dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Kata yuh}ibbu>nahum menjadi sifat untuk anda>d, yakni mengagungkan, menghormati dan mentaatinya sebagaimana layaknya kepada kekasih. Adapun
ka h}ubbilla>h bermakna kecintaan mereka kepadanya seperti cinta mereka kepada Allah. Mereka menyamakan antara Allah dan tandingan tersebut dalam hal mentaati dan menghormatinya. Tujuan men- jama‘-kan adalah karena dalam penyifatan tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah tashbi>h (penyamaan), penyamaan dalam mengagungkan tidak berarti menghilangkan pengakuan mereka atas ketuhanan Allah. 143 Sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah:
‚ Dan jika kamu tanyakan kepada mereka: ‚Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‛ Niscahya mereka akan menjawab: ‚Allah....‛ (Q.S. Luqma>n [31]: 25)
Dari uraian di atas, kalimat yuh}ibbu>nahum ka h}ubbilla>hditafsirkan oleh al-Bursaw>i sebagai suatu bentuk kecintaan selayaknya kepada kekasih yang melahirkan sikap penghormatan dan kepatuhan, baik itu kepada berhala-berhala atau selainnya. Sehingga timbul penyetaraan sikap antara Allah dengan tandingan tersebut dalam hal mentaati dan menghormatinya. Meski demikian, penyamaan sikap itu tidak lantas menghilangkan pengakuan mereka atas ketuhanan Allah swt.Dari uraian tersebut, tampak bahwa sebelum masuk ke pemaknaan sufistik, al-Bursawi> memulai penjelasannya dengan menganalisa ayat dari aspek bahasa dan diakhiri dengan menyandarkan argumentasinya pada dalil syar’i, yaitu ayat ke-25 surat Luqma>n. Hal ini membuktikan konsistensi
142 Faiq Ihsan Anshori, ‚Hermeneutika Sufistik Isha>ri>.‛ Jurnal Kebudayaan dan Peradaban: Ulumul Qur’an, Vol. I, No. 11 (2012), 64.
143 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 270.
metode penafsirannya dalam menggali makna sufistik yang terkandung dari ayat ke 165 surat al-Baqarah ini.
Pada akhir penjelasannya, al-Bursawi> menerangkan bahwa ayat ke-165 surat al-Baqarah memuat indikasi tentang mah}abbah. Menurutnya, mah}abbah diambil dari kata al-h}ab seperti ungkapan h}abb al-h}int}ah (biji gandum). Biji hati diserupakan dengan biji yang sudah dikenal, karena masing-masing dari keduanya merupakan tempat tumbuh dan tempat asal bagi berbagai dampak yang menakjubkan. Al-h}ubb yang bermakna kecenderungan kalbu itu diambil dari al-h}abb yang dipinjam untuk kalbu, karena itu berada dan terus menetap dalma kalbu. Cinta hamba kepada Allah adalah dengan mentaati perintah- perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta berusaha untuk memperoleh keridhaan-Nya. Sedangkan cinta Allah kepada hamba-Nya adalah memuliakan serta manjadikannya selalu berada dalam ketaatan dan menjaganya dari kemaksiatan. Kemudian Allah menerangkan bahwa cinta kaum m u’minin kepada Allah tidak terputus, berbeda dengan cinta kaum kafir kepada berhala- berhala mereka. Cinta orang-orang yang tidak beriman untuk tujuan-tujuan tidak benar, sehingga dapat hilang karena sebab sepele. Kerap kali mereka berpindah dari tuhan-tuhan mereka kepada Allah ketika terjadi kesulitan, namun ketika mereka dalam keadaan senang, mereka menyembah berhala kembali. Jika mereka melihat berhala yang dikaguminya, berhala itu disembah
dan mereka melupakan Allah. 144 Dari penjelasan Bursawi> di atas, mah}abbah dapat dipahami sebagai
bentuk cinta seorang hamba kepada Tuhan. Kecintaan ini melahirkan ketaatan terhadap segala perintah dan menjauhi larangan-Nya serta pengharapan akan keridhaan-Nya. Cinta ini terjalin bukan hanya antara hamba dengan Tuhannya, tetapi antara Tuhan dengan hambanya. Al-Bursawi> menjelaskan bahwa bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah denganmemberikan kemuliaan kepadanya serta menjaganya dalam ketaatan.Tak lupa pula al-Bursawi> menerangkan perbedaan antara cinta kaum beriman dan kafir. Perbedaan itu terletak pada kontinuitas cinta kepada Allah. Cinta orang-orang beriman kepada Allah tidak terputus walau dalam keadaan apapun. Berbeda dengan cinta orang-orang yang tidak beriman dapat hilang karena sebab kecil. Cinta mereka sering berpindah dari tuhan-tuhan mereka kepada Allah ketika mereka dalam keadaan sulit, ketika dalam keadaan senang,mereka akan menyembah berhala kembali.
Senada dengan al- Bursawi>, Ibn ‘Arabi> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman tidak mencampur adukkan cinta mereka kepada Allah dan kepada selain-Nya, mereka mencintai sesuatu dengan mah}abbatilla>h dan hanya karena Allah dengan kemampuan yang diusahakan dari jihhah ila>hiyah (aspek ketuhanan).Kemudian Ibn ‘Arabi> mengutip perkataan para sufi: ‚al-H{aqq adalah kekasih kami, dan ciptaan-Nya adalah kekasih kami, apabila timbul benturan antar keduanya, maka al-H{aqq cinta
144 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 270.
kepada kami.‛ Maksud dari perkataan itu adalah apabila aspek ila>hiyah tidak menetap dalam diri mereka karena benturan itu, maka tidak akan menetap pula mah}abbah pada mereka. Orang mukmin mencintai Allah dengan ruh dan hati mereka, bahkan dengan Allah dan untuk Allah. Cinta mereka tidak pernah berubah hanya karena keadaan tertentu. Mereka meninggalkan seluruh kehendaknya demi kehendak Allah. Mereka mencintai af‘a>l-Nya sekalipun menyalahi kehendak hawa nafsunya. 145
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, mah}abbah akan timbul dalam diri seseorang apabila telah menetap padanya jihhah ila>hiyah atau aspek ketuhanan. Jika hal itu telah ada, maka ia akan dapat mencintai Allah dengan dengan ruh dan hati mereka, bahkan dengan Allah dan untuk Allah.Aspek ketuhanantersebut akan membuat cintanya kepada Allah tidak akan berubah dalam keadaan apapun. Selain itu, faktor itu juga akan membuat mereka mampu meninggalkan seluruh kehendaknya demi melaksanakan kehendak Allah.Mereka akan merasakan cinta yang begitu dalam, sehingga perasaan cinta itu mampu mengalahkan kehendak hawa nafsunya sendiri.
2. Ma‘rifah Kata ma‘rifahmerupakan hal baru dalam Islam sebagaimana kata
tasawuf. Al- Qur’an tidak menyebut kata ma‘rifahdalam bentuk mas}dar. Tetapi hanya menyebut kata-kata yang musta>q (bagian) darinya, seperti firman Allah pada surat al-Baqarah: 146; al-
An‘a>m: 20; al-Nah}l: 83. 146 Istilah ma‘rifah berasal dari kata
al- 147 ma‘rifah yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma‘rifah berarti
mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tafasawuf. 148 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifah secara etimologi berarti ilmu yang tidak
menerima keraguan. Dalam tradisi sufi, ia berarti mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Adapun menurut terminologi kaum sufi ma‘rifahberarti ilmu yang tidak mengandung keragian sedikitpun, karena yang diyakini adalah Dhat dan sifat-sifat Allah. 149
Al-Qushayri> menjelaskan bahwa ma‘rifah secara bahasa adalah ilmu. Maka, setiap ilmu adalah ma‘rifah dan setiap ma‘rifahadalah ilmu. Setiap orang yang ber- 150 ma‘rifahadalah ‘a>rif dan setiap ‘a>rif adalah ‘a>lim. Menurutnya, ma‘rifah merupakan sifat dari orang-orang yang mengenal Allah dengan nama- nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan
145 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid I, 84-85. 146 Said Aqil Siradj, Ma’rifatullah: Pandangan Agama-agama Tradisi dan Filsafat
(Jakarta: Elsas, 2003), 6-7. 147 Shiha>buddi> n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105.
H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 251. 149 Abu> H{ami>d al-Ghzali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa,
34. 150 ‘Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 344.
melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan akhlak yang tercela, kemudian ia sering berlama-lama berdiri mengetuk ‚pintu‛ Allah. Dengan hati yang istiqomah ia ber- i‘tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah. Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora nafsu dalam dirinya. Ia menjadi asing di tengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia dan terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirr (rahasia dan tersembunyi). Ia dianugerahkan rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaan-Nya. Itulah yang disebut ‘a>rif dan ah}wa>l-nya disebut dengan ma‘rifah. 151
Mustafa Zahri menerangkan bahwa ma‘rifah adalah sebuah ketetapan hati (dalam mempercayai hadir-Nya) Wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaan-Nya. 152 Pengetahuan semacam ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan
Tuhan karena sangat cintanya kepada-Nya. M a‘rifahdimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Maka tak heran jika Dhu> al-Nu>n pernah menuturkan ketika ia memperoleh ma‘rifah tentang Tuhan ia berkata bahwa ia mengenal Tuhan dengan pertolongan-Nya, sekiranya tidak karena-Nya, maka ia tak akan mengnal-Nya. Perkataan Dhu> al-Nu>n tersebut mengindikasikan bahwa ma‘rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ma‘rifahbukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Dengan kata lain, ma‘rifahadalah pemberian Tuhan kepada para sufi yang mampu menerimanya. 153
Para sufi menggambarkan ma‘rifah sebagai pengetahuan yang tidak dicapai melalui penalaran akal tetapi pemahaman yang lebih tinggi mengenai
rahasia ketuhanan. 154 Ma’rifah merupakan pengetahuan yang objeknya bukan berupa hal-hal yang bersifat z}a>hir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya
dengan mengetahui rahasianya. 155 Junayd sebagaimana dikutip oleh Annemarie Schimmel mengatakan bahwa ma‘rifahadalah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu Agung untuk dimngerti dan menyatakan bahwa Dia terlalu dahsyat untuk dilihat. 156
Mengenal Allah ( ma‘rifatulla>h) sangat bergantung dan berhubungan dengan dengan mengenal diri sendiri ( ma‘rifah al-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam bentuk keadaan secara terinci, berbagai kejadian dan msuibah. Kemudian, mengatahui bahwa hanya Dia saja Wujud
151 ‘Abd al-Kari>mal-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 344-345. 152 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.th), 172-
173. 153 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, 171-172.
154 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, 166. 155 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
189. 156 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, 166.
Hakiki dan Pelaku Mutlak. 157 Menurut al-Ghazali>, ma‘rifatulla>h memiliki arti selalu ingat kepada Allah, karena Dia telah hadir dalam hatinya dan bisa
melihat-Nya. Tanda-tandanya tampak pada kilauan cahaya hati ketika ia mulai masuk dalam lingkaran tauhid, kemudian timbul rasa kerinduan yang sangat
kuat kepada Allah. 158 Semakin tinggi tingkat kedekatan manusia dengan Allah, maka semakin tampak efek-efek keagungan-Nya. Ma‘rifah adalah masalah keterpesonaan dan keterpukauan penjelasannya tidak sempurna, tapi pengantarnya adalah ilmu. Maka, tanpa ilmu, ma‘rifah mustahil terjadi, dan ilmu tanpa
ma‘rifah adalah bencana. 159 Pengalaman-pengalaman orang-orang saleh sejak lama telah
membuktikan bahwa kesucian jiwa dan kejernihannya serta perlindungannya kepada Allah dan pendekatan kepada-Nya akan meningkatkan manusia ke alam ruhaniah, di mana jiwa itu mampu melihat alam tertinggi. Dengan demikian, akan berlimpah pada jiwa tersebut karunia-karunia dan ilham serta ma‘rifah yang tidak mungkin diperoleh orang-orang yang berjiwa materialis yang telah dilalaikan oleh dunia. 160
Al-Ghazali> membagi ma‘rifahke dalam dua bagian, yaituma‘rifahDhat dan ma‘rifah sifat-sifat Allah. Ma‘rifahDhat adalah mengetahui bahwa Allah itu ada dan Tunggal, berdiri sendiri dan tidak ada sesutupun yang menyerupai- Nya. Adapun ma‘rifahsifat adalah mengetahui bahwa Allah adalah Dhat yang Maha Hidup ( H{ayy), Maha Mengetahui ( ‘Ali>m), Maha Kuasa (Qa>dir), Maha Mendengar ( Sami>‘), Maha Melihat (Bas}i>r) dan semua sifat-sifat Allah yang lainnya. 161
Kemudian, al-Ghazali> mendeskripsikan mengenai tanda-tanda ma‘rifah, menurutnya, tanda-tandanya adalah hati seseorang telah hidup bersama Allah. Dan kedudukan ma‘rifahyang hakiki adalah adalah di mana hatinya benar-benar bisa melihat Allah dengan rahasia hati. Hal ini terjadi karena Allah telah menyingkap hijab dan memperlihatkan kepada mereka cahaya Dhat-Nya dan sifat-sifat- Nya agar mereka menjadi ‘a>rif. Tetapi Allah tidak menyibak semua hijab tersebut seluruhnya agar mereka tidak terbakar. 162
Mustafa Zahri mengungkapkan bahwa alat yang digunakan oleh kaum sufi untuk memperoleh ma‘rifahadalah sirr. Hal ini dikarenakan pada diri
157 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 105. 158 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 53.
159 Shiha>buddi>n ‘Umar Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif: Puncak Pengetahuan Ahli
Makrifat, 107. 160 ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa Tentang al-Munqidz Minadhdhalal, 446-447. 161 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34. 162 Abu> H{ami>d al-Ghazali>, Jalan Menuju Tuhan: Panduan Membentuk Kejernihan Jiwa, 34-35.
manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, qalb, yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, ruh, yang brfungsi untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sirr, yang berfungsi untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb selain alat untuk merasakan, ia juga sebagai alat untuk berfikir. Perbedaan qalb dan akal adalah pada pngetahuan tentang Tuhan. Jika qalb dapat memperoleh hakikat pengetahuan tentamg sesuatu, maka akal tidak bisa. Adapun sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalb. Sirr seseorang timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah jika qalb dan ruh itu telah suci dengan sesuci-sucinya, kosong tak berisi apapun. Ketika itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi, dan yang dilihat olehnya hanyalah Allah saja. Ketika itulah ia telah sampai pada
tingkat 163 ma‘rifah. Dalam literatur tasawuf, Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> (w. 860 M) dianggap
sebagai penggagas dari paham ma‘rifah. Menurutnya, ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan: pertama, pengetahuan awam, yaitu Tuhan itu satu dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, pengetahuan ulama, Tuhan itu satu menurut logika akal; ketiga, pengetahuan sufi, Tuhan itu satu dengan perantaraan hati sanubari. 164
Adapun pandangan al-Bursawi>mengenai ma ‘rifahdapat dilihat dari penafsirannya berikut ini:
2.1.Q.S. al-Nu>r [24]: 40:
‚Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.‛ (Q.S. al-Nu>r [24]: 40)
Menurut al-Bursawi>, kata z}uluma>t merupakan isyarat dari gambaran kelalaian amal perbuatan yang tanpa didasari oleh hadirnya hati dan keikhlasan niat di dalamnya. Hal itu disebabkan karena kecintaan mereka terhadap duniawi, riya, harta dan jabatan. Faktor-faktor itu dapat menyeret seseorang pada shirk al-khofiy (syirik yang terselubung), yaitu tabiat untuk berbuat zalim, lalai dan terlalu cinta pada dunia. Al-Bursawi> melanjutkan, untuk dapat terhindar dari sifat-sifat z}uluma>t itu, seorang hamba harus memiliki tujuan
163 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,172. 164 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 60.
sertakesungguhandalammemperbaiki h}a>l dirinya dan keluarganya untuk menghindarkan diri dari kegelapan yang tidak dapat dilihat dengan pandangan akalnya. 165
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa barangsiapa yang tidak disirami cahaya ilahiyah ( ma‘rifah), maka tidak akan ada lagi cahaya tersisa yang dapat mengeluarkannya dari kegelapan itu. Sesungguhnya cahaya akal tidak memiliki kekuatan untuk mengeluarkan seseorang dari kegelapan, karena hanya cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) saja yang mampu megeluarkannya. Sebagaimana firman Allah:
‚Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)....‛ (Q.S>. al-Baqarah
Menurut al-Bursawi>, kata yakhrujuhum pada ayat di atas menunjukkan sebuah perumpamaan yang diberikan Allah, sebagaimana perumpaan air yang
dikeluarkan dari mata air, hujan, awan. Kemudian api dikeluarkan dari batu dan besi dari gunung. Kemudian asap dikeluarkan dari api dan batang pohon yang tumbuhan di atas bumi. Kemudian buah-buahan dikeluarkan dari pepohonan sebagimana seseorang tidak akan mampu mengembalikan ciptaan Allah tersebut ke asalnya. Begitupun Iblis dan seluruh syaitan tidak akan mampu untuk memalingkan seseorang kepada kegelapan kekafiran, keraguan dan nifa>q (kemunafikan) setelah Allah mengeluarkannya dari kegelapan tersebut menuju cahaya keimanan, keyakinan dan keikhlasan karena Allah Maha memberi petunjuk. 166
Dari penjelasan al-Bursawi>, dapat dipahami bahwa cahaya ilahiyah atau ma‘rifah merupakan wasilah bagi seseorang untuk dapat keluar dari z}uluma>t (kegelapan) yang digambarkan pada ayat di atas. Ma ‘rifah dibahasakan oleh al-
Bursawi> dengan nu>r ila>hi> (cahaya ilahiyah).Ini dikarenakan ma‘rifah merupakan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang melakukan muja>hadah dalam memperbaiki h}a>l-nya. Apabila seseorang sudah dianugerahkan ma‘rifah, maka ia akan mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan akalnya. Penjelasan al-Bursawi>itu didasarkan kepada surat al-Baqarah ayat ke- 257 yang menerangkan bahwa Allah yang mengeluarkan orang-orang yang beriman dari kegelapan kekafiran kepada cahaya keimanan. Artinya, seseorang tidak akan mampu keluar dari kegelapan kekufuran tanpa petunjuk dan hidayah dari Allah swt.
Jika dicermati dengan seksama, penjelasan al-Bursawi> terhadap ayat di atas tidak melulu memfokuskan penafsirannya kepada pemaknaan ba>t}in. Tetapi ia mencoba menggabungkan antara metode bi> al-isha>ri> dengan bi> al- ma’thu>r. Ini
165 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 162. 166 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 162-163.
terlihat ketika ia menyandarkan argumentasinya dalam menjelaskan cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) kepada ayat ke-125 surat al-Baqarah. Pengkombinasian kedua metode penafsiran tersebut oleh al-Bursawi> mengindikasikan bahwa ia juga mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini merupakan sesuatu yang positif, sebab jika merujuk kepada kriteria penafsiran sufistik perspektif al-Dhahabi>, penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang seringmengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al- Qur’an, sunnah dan sumber- sumber syara’ lainnya, sehingga tidak memunculkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-
Qur’an. 167
Adapun ma‘rifah dalam tafsir Ibn ‘Arabi> dibahasakan dengan lautan ila>hiyah. 168 Lautan ini sangat luas dan sangat dalam, tempat bersemayam bagi
setiap jiwa yang ja>hil, tempat untuk menceburkan diri bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan ruhaniyah. Lautan ini dapat menghilangkan kegelapan yang saling bertindih oleh tabiat jasmani, ombak nafsu nabati, awan
nafsu kebinatangan dan segala bentuknya dari kegelapan lainnya. Ibn ‘Arabi melanjutkan, kekuatan berfikir yang logis dan teoritis tidak dapat dapat melihat kegelapan tersebut, hal itu disebabkan kebutaan pendangannya yang tidak dapat memberikan petunjuk terhadap sesuatu apa pun. Karena bagaimana seorang yang buta dapat melihat sesuatu yang hitam di malam hari yang gelap gulita?. Maka, siapapun yang tidak diberi cahaya dengan penyinaran cahaya ruh dari kekuatan al-qudsiyah dan disertai bantuan akal pikiran, ia tidak akan bisa melihat kegelapan itu. 169
P enjelasan Ibn ‘Arabi dia atas memiliki kesamaan dengan al-Bursawi>, kesamaan itu terletak pada sumber ma‘rifah. Keduanya berpendapat bahwa ma‘rifah merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya yang terpilih. Hanya saja keduanya menggunakan terminologi berbeda dalam penyebutan term ma‘rifah. Jika al-Bursawi> menyebut ma‘rifah dengan nu>r ila>hi>, maka Ibn ‘Arabi> menyebutnya dengan bah}r ila>hi>. Di luar itu, kedua mufassir sufi ini memandang bahwa kekuatan akal manusia tidak dapat melihat z}uluma>t yang dimaksdkan pada ayat di atas. Hal itu hanya dapat dilihat hanya cahaya ilahiyah yang bersumber dari kekuatan al-qudsiyah yang disertai dengan kekuatan logika akal pikiran manusia.
2. 2. Q.S. al-Zumar [39]: 22:
167 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 168 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 72. 169 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 72.
‚Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.‛ (Q.S. al-Zumar [39]: 22.)
Maksud dibukakan hatinya oleh Allah menurut al-Bursawi> adalah dibukakan dengan kelembutan ilahiyah yang dianugerahkan kepadanya dalam ber- musha>dah terhadap ayat-ayat kawniyah, tanzi>l, tawfi>q untuk memberikan petunjuk al-h}aqq bagi orang yang keras (hatinya), sempit hatinya karena firah Allah dalam dirinya digantikan dengan keburukan serta dikuasai oleh kesesatan dan z}uluma>t (kegelapan). Mereka menolak ayat-ayat Allahserta tidak menjadikan ayat-ayat itu sebagai pedoman hidup. Sebagaimana firman Allah:
‚..Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan hatinya sesak lagi sempit...‛ (Q.S. al-An‘a>m [6]: 125)
Al-Bursawi> melanjutkan, tidaklah sama antara orang yang mendapatkan cahaya ilahiyah ( ma‘rifah) dengan orang yang mendapatkan z}ulmah (kegelapan), sebagaimana perbedaan antara terang dan gelap serta perbedaan antara ilmu dan kejahilan. Ketahuilah bahwa tidak ada cahaya dan kebahagaian bagi seorang muslim kecuali dengan ilmu dan ma‘rifah. Sesungguhnya setiap mu’min yang dianugerahkan ma‘rifah oleh Allah berbeda- beda derajatnya sebagaimana berbeda-beda pula tingkat ke- ma‘rifah-an mereka. 170
Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa implikasi dari ma‘rifah adalah mampu melakukan musha>dah serta memberikan petunjuk al-h}aqq kepada orang-orang yang hatinya diliputi keburukan dan dikuasai oleh kesesatan. Kemudian, tingkatan seorang mu’min yang telah dianugerahlkan ma‘rifah berbeda antara satu dengan yang lain tergantung pada kadar ke- ma‘rifah-annya. Dengan kata lain, semakin tinggi ma‘rifah seseorang, maka semakin tinggi pula derajat ke- ‘a>rif-annya. Penjelasan al-Bursawi> mengenai implikasi ma‘rifah, bukan hanya didasarkan makna isyarat yang terkandung pada ayat saja, tetapi ia perkuat juga dengan dalil syar’i yaitu ayat ke-125 surat al- An‘a>m. Jika merujuk pada kriteria validitas tafsir sufistik yang diusung oleh al-Dhahabi>, apa yang dilakukan oleh al-Bursawi> ini dapat dikategorikan ke dalam model penafsiran fayd}i>. Yaitu suatu model penafsiran yang memadukan antara pemaknaan zahir dan makna batin yang terkandung dibalik ayat al- Qur’an, antara argumentasi syariat yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis dengan hakikat serta perpaduan antara dalil aqli dan naqli. Apabila dalam
170 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VIII, 95.
sebuah penafsiran sufistik mengandung unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penafsirannya itu adalah valid dan dapat diterima. 171
Selanjutnya, al-Bursawi> menjelaskan juga tentang korelasi antara iman dan ma‘rifah. Menurutnya, iman dan ma‘rifah adalah bagian dari cahaya ilahiyah, maka di antara mereka ada yang memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru arah, sebagian lagi tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya ke tempat kedua telapak kakainya saja. Iman seorang awam seperti cahaya lilin, sedangkan cahaya sebagian lainnya seperti cahaya sira>j (pelita). Iman para s}iddi>qi>n cahayanya seperti cahaya bulan dan bintang-bintang dan berbeda-beda berdasarkan tingkatannya. Adapun cahaya keimanan para nabi seperti cahaya matahari yang semakin bertambah terang yang memancarkan cahayanya ke setiap ufuk. Hal ini tentu sangat kontras apabila dibandingkan dengan cahaya lilin yang tidak memancarkan cahayanya kecuali hanya di ruangan sempitsaja. Begitu juga berbeda pula tingkatan kelapangan hati seseorang mukmin
tergantung dari keluasan ma‘rifah dan pancaran luasnya alam malaku>t bagi hatinya. Sebagaimana dalam sebuah hadis: ‚Sesungguhnya pada hari kiamat akan dikatakan: keluarlah kalian yang di dalam hatinya ada sedikit keimanan walaupun hanya setengah atau seperempat dari dharroh dari api neraka ini‛. 172
Secara umum, dari apa yang telah dijelaskan al-Bursawi> di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iman dan ma‘rifah merupakan anugerah dari Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kadar keimanan dan ke- ma ‘rifah-an seseorang berbeda-berbeda. Tingkatan terendah adalah keimanan orang-orang awam yang diibaratkan al-Bursawi> dengan cahaya lilin. Pada tingkatan berikutnya adalah keimanan orang-orang s}iddi>q yang diibaratkan dengan cahaya bulan dan bintang-bintang. Dan keimanan yang paling tinggi adalah keimanan para nabi yang diibaratkan dengan cahaya matahari. Tidak berbeda dengan iman, tingkat ma ‘rifah pada diri seseorang juga berbeda-beda tergantung dari keluasan ma‘rifah dan luasnya pancaran alam malaku>t dalam hatinya.Penafsiran al- Bursawi> tersebut berbeda dengan Ibn ‘Arabi>yang mengkorelasikan iman dengan ah}wa>l fana>’ dan baqa>’. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Ibn ‘Arabi> berikut ini:
Menurut Ibn ‘Arabi>, maksud dengan orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk menerima Islam adalah dengan cahaya-Nya yang terdapat pada h}al baqa>’ setelah fana>’, dan bersih hatinya dengan wuju>d yang dianugerahkan oleh al-H{aqq dan diluaskan dadanya dengan al-haqq dan al- khal>iq dari ketidak ketersibakkan salah satu dari keduanya, maka dia akan menyaksikan dengan jelas terhadap substansi al-wah}dah dan al-tawh}i>d. Ibn ‘Arabi> melanjutkan, Islam adalah fana>’ kepada Allah dan berserah kepada-Nya. Artinya, ia akan dibukakan hatinya dalam ke- baqa>’-an kepada Islam yang mengarahkannya pada kondisi fana>’ kepada Allah. Kemudian ia akan mendapat cahaya dari Tuhannya berupa anugerahuntuk melihat-Nya. Maka celakalah
171 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48. 172 Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VIII, 95.
mereka bagi orang-orang yang hatinya telah membatu dari menerima dhikrulla>h untuk mempertebal kecenderungan kepada Dha>t dan yang memalingkan diri dari kesempurnaan al-Qudsiyah. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata. 173
Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, Islam dikorelasikan dengan ah}wa>l fana>’ dan baqa>’. Apabila seseorang sudah melewati kedua ah}wa>l itu, maka ia
akan dianugerahkan ma‘rifah berupa cahaya al-h}aqq dan al-kha>liq yang dapat menghantarkan seseorang pada musha>hadah terhadap hakikat dari al-wah}dah dan al-tawh}i>d. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi>, hakikat dari muslimnya seseorang adalah dengan ke- baqa>’-an dirinya kepada Islam yang dapat mengantarkannya pada ke- fana>’-an kepada Allah.
3. Fana>’ dan Baqa>’ Ditinjau dari segibahasa, fana>’ berarti sirna, hancur, lebur, hilangnya
wujud sesuatu. Adapun lawan dari fana>’ adalah baqa>’ yang berarti kekal, abadi, senantiasa ada. Dalam terminologi tasawuf fana>’ dan baqa>’ senantiasa disebutkan dalam penyebutannya. Dengan kata lain, fana>’ dan baqa>’ muncul dan terjadi sekaligus. 174 Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa fana>’ adalah terbebasnya dari hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan baqa>’ selalu mengacu kepada Ilahi. Oleh karena itu keduanya lebih kepada istilah moral. 175 Ada pula yang memaknai fana>’ dengan hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana>’berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat- sifat ketuhanan. Dan dapat pula beararti hilangnya sifat-sifat yang tercela. 176
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana>’ adalah lenyapnya sifat ke- beshariyah-an, yaitu manusia pada umumnya yang cenderung kepada syahwat dan hawa nafsu. 177 Ketika seseorang sudah melewati fase fana>’, maka ia akan memasuki fase baqa>’. Adapun baqa>’menurut kaum sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Hal ini disebabkan ketika lenyapnya sifat-sifat bashariyah dalam diri seseorang, maka yang tinggal hanya adalah sifat-sifat ketuhanan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum sufi: ‚Apabila telah tampak nu>r ke- baqa>’-an, maka fana>’- lah yang lenyap dan 178 baqa>’-lah yang kekal.‛
Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 191. 174 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Jilid IV, 149. 175
Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV, 149. 176 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 199-200. 177 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), 234. 178 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 234.
Menurut al-Qushayri>, 179 istilah fana>’ digunakan untuk menunjukkan gugurnya sifat-sifat tercela yang ada dalam diri manusia. Adapun baqa>’ untuk
menandakan tetapnya sifat terpuji dalam diri manusia. Jika seorang sa>lik memfokuskan hidupnya untuk mem- fana>’-kan sifat-sifat buruknya dengan
kesungguhan riya>d}ah-nya, maka Allah akan menganugerahinya dengan perbaikan akhlak ( baqa>’). Demikian juga jika sa>lik bersungguh-sungguh menyucikan a f’a>l-nya, maka Allah akan membersihkan ah}wa<l-nya, bahkan akan menyempurnakannya.
Menurut para sufi, fana>’ memiliki tiga tingkatan, 180 yaitu: pertama, fana>’-nya seseorang dari dirinya sendiri dan sifatnya, yang kemudian
membuatnya baqa>’ dalam sifat al-H}aqq;kedua, fana>’-nya seseorang dari sifat al- H{aqq dengan menyaksikan al-Haqq itu sendiri; ketiga, fana>’-nya seseorang dari menyaksikan fana>’-nya sendiri, sehingga ia baqa>’ dalam wujud al-H{aqq.
Ketika seseorang telah mencapai tingkatan fana>’ dan baqa>’, maka akan terjadi beberapa hal dalam diri sufi. Pertama, sakar, yaitu mabuk ketuhanan, ketika seorang mencapai tingkat kecintaan yang sangat tinggi, dan Tuhan sebagai Kekasihnya. Kedua, shat}h}, yaitu ucpan kata-kata yang tidak karuan tanpa disadari oleh sufi karena ia mabuk ketuhanan. Ketiga, zawa>l al-h}ajb, yaitu tersingkapnya tabir pembatas antara sufi dan Tuhan yang dicintainya. Keempat, ghalabah al-shuhu>d, yaitu perasaan seorang sufi yang melihat hanya satu wujud, yaitu wujud Ilahi. Keadaan-keadaan inilah yang akan membuat seorang sufi
sampai pada tingkata 181 ittih}a>d. Dalam kajian tasawuf, sufi pertama yang mencetuskan istilah fana>’ dan
baqa>’ adalah Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (w. 874 M). Hal ini tergambar dari kata- katanya, ‚Aku mengetahui Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri- Nya, maka akupun hidup.‛ Kemudian ia berkata lagi, ‚Dia membuatku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Dia membuatku gila pada- Nya sehingga aku hidup. Aku berkata, ‘gila pada dikriku adalah kehancuran dan gila pada-
Mu adalah kelanjutan hidup’.‛ 182 Jika Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> hanya sampai pada tingkat ma’rifatulla>h, maka Abu> Yazi>d
al- Bust}a>mi> telah melewati tingkat itu dan mencapai fana>’ dan baqa>’ sebelum kemudian ke tahap ittih}a>d, yaitu bersatu dengan Tuhan. 183
Adapun penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat-ayat yang terkait dengan tema di atas dapat dilihat di bawah ini:
3.1. Q.S. al-Rahma>n [55]: 26-27
179 ‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 102-103. 180 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jilid IV, 149. 181 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jilid IV, 150. 182 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,2010),
64. 183 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 65.
‚Semua yang ada di bumi itu akan binasa.. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.‛ (Q.S. al- Rahma>n [55]: 26-27)
Sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa ayat ke-26 dari surat al- Rah}ma>n merupakan dalil bagi adanya fana>’. Dimana fana>’ dalam perspektif kaum sufi merupakan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela pada diri seseorang. 184 Akan tetapi,al-Bursawi> dalam menafsirkan ayat di atas tidak memahami demikian, ia melihat bahwa kata fa>n yang terdapat dalam ayat tersebut binasanya semua yang ada pada bumi ini termasuk didalamnya ruh manusia. Sebagaimana yang tertuang dalam penafsirannya sebagai berikut:
Huruf al- ha>’pada ayat di atas menurut al-Bursawi>merupakan kina>yah dari sesuatu yang disebutkan.S ebagaimana dalam perkataan para penyair: ‚idha> nuhiya al-safi>fi jara> ilaihi‛ bermakna segala sesuatu yang ada di muka bumi seperti hewan, manusia dan segala isinya tidak akan bisa lari dari kebinasaan. Ketika diturunkan ay at tersebut, para malaikat berkata: ‚Semua anak cucu Adam pasti akan mati.‛ Sebagimana firman-Nya: ‛Setiap yang berjiwa akan mengalami kematian.‛ 185 Mereka yakin diri mereka akan mengalami
kebinasaan, ruh mereka akan dikeluarkan dari jasadnya. Hanya ruh yang memiliki motivasi tinggi saja yang tidak akan binasa. 186
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, terlihat bahwa ia menyoroti ayat itu menggunakan pendekatan bahasa.Kemudian mempertegas argumentasinya dengan menukil perkataan para penyair. Selain itu, dalam menafsirkan ayat ke-
26 dari surat al-Rah}ma>n ini, al-Bursawi> menjelaskan ayat al- Qur’an dengan ayat lainnya.Ia menyandarkan argumentasinya itu kepada ayat ke-185surat al- Imra>n.Penggunaan metode semaca ini jarang dilakukan oleh mufassir kalangan sufi lainnya.Walaupun al-Bursawi> notabennya seorang sufi, tapi ia kerap menggunakan metode tersebut, yaitu menjelaskan makna ayat al- Qur’an dengan ayat yang lain.
Tidak jauh berbeda berbeda degan penafsiran al-Bursawi>, al-Qushayri> menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa segala yang ada di muka bumi pasti akan musnah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Menurut al-Qushayri,>setiap yang ada di bumi dapat musnah ( fana >’), dan yang kekal hanyalah wajhullah yaitu Dhat dan sifat-sifat Allah. 187 Dari
184 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 199-200.
185 Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 185. 186 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 297. 187 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, JIlid III, 266.
penjelasan itu, serupa dengan apa yang telah dijelaskanAl-Bursawi> sebelumnya, bahwa segala sesuatu di muka bumi tidak akan bisa lari dari kebinasaan.
Senada dengan keduanya, al-Alu>si> mengatakan bahwa seluruh makhluk di bumi baik manusia, hewan dan tumbuhan akan musnah. 188 Dari penafsiran al- Alu>si>, dapat dikatakan bahwa ia dan kedua mufassir lainnyadalam memahami kata fana>, memiliki pandangan yang berbeda dengan fana>’ dalam terminologi tasawuf. Yaitu,bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela pada diri seseorang. Dengan kata lain, ketiga mufassir sufi tersebut tidak memasukkan teori tasawufnya dalam menafsirkan ayat di atas. Mereka lebih berpegang kepada pemaknaan tekstual ayat. Dimana maksud dari teks ayat di atas adalah segala sesutu yang ada di bumi akan binasa.
Berbeda dengan Ibn ‘Arabi> yang menafsirkan kata fana>’ dengan terminologi tasawufnya. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut: Menurut Ibn ‘Arabi>, semua yang berada di bawah lindungan-Ku akan sampai kepada al-H{aqq dengan ke- fana>’-an, atau semua yang ada dalam jasad manusia seperti ruh, akal, hati, jiwa, kedudukan, maqama>t dan mara>tib-nya akan sampai kepada ke-
fana>’-an. 189 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi> tersebut, dapat dipahami bahwa maksud dari fana ’>dalam ayat itu adalah fana>’-nya sifat-sifat
kemanusiaan dan berganti dengan sifat-sifat Ketuhanan. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh ketiga mufassir sebelumnya, bahwa fana> ’ dalam ayat tersebut adalah musnahnya segala sesutu yang ada di bumi ini kecuali Allah.
Kemudian pada ayat selanjutnya, al-Bursawi>tidak menitik beratkan pembahasannya pada kata baqa>’.Tetapi ia lebih memfokuskan bahasannya pada kata wajah yang terdapat pada ayat tersebut. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
K alımat wayabqa> wajhu Rabbika menurut al-Bursawi> adalah Dhat dan Minnah-Nya (Kemualian) dan kemulian tersebut bersumber dari wajah Allah.Wajah adalah bagian dari tubuh yang dipinjamkan dari Dhat-Nya. Karena anggota tubuh yang paling mulia adalah wajah dan kumpulan indera perasa.Wajah merupakan anggota tubuh yang digunakan untuk bersujud dan tempat untuk menyisakan bekas kehusukan ( atha>r sujud). Ketika manusia mencoba mendekatkan dan berserah diri kepada Dhat yang satu yaitu Wajah Allah dengan menghadap ke arah-arah mawjuda>t serta berharap melihat wajah- Nya maka ia dengan mudah akan mendapatinya. 190
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, telihat bahwa ia lebih memfokuskan pembahasannya pada kata wajah. Kemudian,langkah yang ditempuh al-Bursawi> dalam menafsirkan ayat di atas adalah dengan menyoroti sisi kebahasan dengan
188 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid XXVII, 108. 189 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid II, 286. 190 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298.
mengutip perkataan Sa’ad al-Mufti> di dalam kitab al-Ha>shiyah. Ini terlihat pada penjelasannya sebagai berikut:
Sa’ad al-Mufti> di dalam kitab al-Ha>shiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajah di dalam ayat tersebut adalah wajah dengan makna lain, yaitu bermakna al-qas}d (tujuan). Artinya apa yang dituju dan apa yang diniatkan dengan amalan karena Allah. Atau dalam pengertian istilah adalah suatu bentuk toleransi yang bertujuan kepada-Nya dan disandarkan li> al- baya>n,yaitu selalu menuju kepada Nya. Selain itu, wajah di sini juga dijadikan sebagai kina>yah untuk mengindikasikan kepada terbentuknya Jihhah (arah tujuan) bagi seseorang. Arah tujuan yang menghadap kepada-Nya, yang tidak kosong dari wajah-Nya. Sebagaimana setiap apa-apa yang di atasnya terdapat dua beban yang diusahakan oleh manusia dari semua perbuatan-perbuatan mereka yang akan hancur kecuali apa-apa yang dihadapkan kepada ‚jihhah‛ Allah swt. dan diniatkan karena Allah swt. 191
Dari penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa al-Bursawi> mencoba menunjukkan kepada pembaca bahwa penggunaan kata wajah jika ditinjau dari sisi kebahasaan memiliki beberapa makna, yaitu al-qas}d atau tujuan. Artinya, segala sesuatu yang dituju haruslah karena Allah. Di samping itu, wajah juga dijadikan sebagai kina>yah untuk menunjukkanJihhah atau arah tujuan bagi seseorang. Arah tujuan yang menghadap kepada-Nya, yang tidak kosong dari wajah-Nya. Jika diteliti lebih seksama, dari pemaknaan kata wajah inibila disandingkan dengan makna tekstual ayatbahwa wajah Allah yang memiliki kebesaran dan kemuliaan akan tetap kekal, tidaklah bertentangan. Karena wajah Allah yang memiliki kebesaran dan kemulian tersebut menjadi arah tujuan bagi hamba-Nya.Seperti halnya semua amal perbuatan manusia akan hancur kecuali apa-apa yang dihadapkan kepada ‚jihhah‛ Allah swt. dan diniatkan karena-Nya.
Penjelasan al-Bursawi> tentang wajah di atas, memiliki keserupaan dengan penafsiran al-Alu>si> yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan yang kekal hanyalah wajhulla>h, adalah Dhat dan sifat Allah. Wajhun disini hanyalah majaz, yang dapat diartikan dengan: 1) jihah (arah) menghadap Allah,
2) wajhullah secara hakikat, namun berbeda dengan wajhun pada makhluk lainnya. 3) Wajhun di sini juga berarti bahwa pada hari akhir nanti, seluruh makhluk hidup akan musnah dari berbagai arah, dan yang selamat hanya mereka yang mengarahkan dirinya kepada Allah.Sifat Allah ini bersifat al-Jala@l dan al- ikra@m, yang berarti bahwa –kedudukan- Allah berada di atas makhluk-makhluk- Nya, dan Allah tidak membutuhkan kepda makhluk-Nya. 192
Setelah al-Bursawi> menjelaskan tentang wajah pada ayat di atas, kemudian ia menguraikan tentang makna kalimat dhu> al-jala>li wa al-ikram. Dalam menjelaskan kalimat ini, ia mengutip sebuah hadis Nabi yang mengindikasikan tentang keagungan dan kemulian Alla swt. Tidak hanya hadis,
191 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298. 192 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>, Jilid XXVII, 109.
al-Bursawi> juga mengutip sebuah riwayat mengenai kisah seseorang yang bedo’a dengan menggunakan kata jala>l dan kara>m. Hal itu terlihat pada penafsiran al-Bursawi> sebagai berikut:
Al-Bursawi> mengatakan, dhu> al-jala>li wa al-ikram adalah sifat dari wajah yang terdapat pada kalimat sebelumnya, dan ini adalah mutlak. Allah memiliki keagungan dari Dhat-Nya dan sifat-Nya. Selain itu, juga memiliki keutaman dan kesempurnaan yang merupakan bagian dari keagungan- keagungan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana dalam sabda Nabi saw.:
‚Apakah mungkin jala>l tanpakara>m (kemuliaan)‛
Menurut al-Bursawi>, hadis ini menunjukkan bahwa wajah-Nya memiliki sifat adalah sebuah keniscahyaan. Kemudian al-Bursawi> menuliskan sebuah kisah yang terjadi pada masa Nabi saw. Suatu hari seorang laki-laki berjalan dihadapan Rasulullah saw., kemudian laki-laki tersebut sholat dan berdo’a: ‚wahai yang memiliki jala>l dan kemualiaan‛, maka Nabi Saw berkata: ‚kabulkanlah doanya.‛Al-Bursawi> menambahkan, bahwa sesungguhnya do’a yang menggunakann dua kata itu akan mendapatkan ija>bah dari-Nya dan dari sifat Allah ta’ala> setelah fana>’-nya alam semesta dan baqa>>’-nya Allah swt. walaupun semuanya telah fana>’, namun kemualiaan dan kelembutan Allah,akan tetapi
baqa>’ sebagaimana disebutkan. 193 Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, tampak bahwa penafsirannya tetap
berpijak pada pendekatan kebahasaan, dimana pendekatan itu tidak bertentangan dengan makna tekstual ayat. Selain itu, ia juga menyandarkan argumentasinya dengan mengutip hadis serta sebuah riwayat. Hal ini menunjukkan
bertujuan untuk mengharmonisasikan instrumen zahir dan batin, serta instrumen syariat dan hakikat. Dalam menjelaskan kata baqa>’, terlihat bahwa ia tidak terlalu memasukkan teori tasawuf mengenai baqa>’dalam penafsirannya itu. Bahkan ia lebih menekankan penafsirannya pada kata wajah seperti yang telah disinggung sebelumnya.Hal ini berbeda dengan penjelasan Ibn ‘Arabi> yang sangat kental dengan muatan teori tasawufnya, ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:
Setelah semua makhluk-Nya musnah, maka yang tersisa hanyalah Dhat Allah dan sifat-sifat-Nya yang Agung, luhur dan perkasa yang membuka tabir cahaya ( nu@ra@niyah) baik dalam bentuk sifat tajalli@, maupun dalam bentuk sifat lat}i@f dan rah}mah. 194
Jika diperh atikan, penafsiran Ibn ‘Arabi> sejalan dengan teori tasawuf tentang baqa>’dalam terminologi tasawuf.Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Ini disebabkan ketika sifat-sifat bashariyah dalam diri seseorang lenyap, maka yang tinggal hanyalah sifat-sifat
193 Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Jilid IX, 298. 194 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid II, 286.
ketuhanan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh kaum sufi: ‚Apabila telah tampak nu>r ke- baqa>’-an, maka fana>’-lah yang lenyap dan baqa>’-lah yang kekal.‛ 195 Tidaklah mengherankan jika al-Dhahabi> mengklasifikasikan Ibn ‘Arabi> ke dalam kelompok mufassirsufi naz}a>ri>. Hal itu disebabkan penafsirannya itu sangat kental dengan muatan teori tasawuf yang diusungnya.
4. Kashf Kata kashf jika ditinjau dari segi bahasa berasal dari akar kata ka-sha-
fa, yang berarti terbukanya sesuatu yang menutupi. Di dalam al-Qur’an, perkataan kashf dengan segala perubahannya, terbagi pada dua pengertian. Pertama, tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebagaimana yang tergambar pada Q.S. al-Qa>f [50]: 22. Kedua, hilangnya kemudharatan, kesusahan, dan kesedihan yang menimpa seseorang, seperti yang tertuang pada Q.S. al-Naml [27]: 62 dan Q.S. al-Dukha>n [44]:
12. 196 Adapun kashfdalam terminologi sufi adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian- pengertian menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifatulla>h (pengenalan kepada
Allah). 197 Kashf merupakan sasaran akhir dari pencarian kebenaran bagi mereka
yang berkeinginan untuk melerakkan keyakinan di atas kepastian. Seseorang yang telah berhasil mencapai kashf berarti ia telah memasuki kawasan hakikat- realitas, menyatu dengan kemurnian tauhid sehingga dirinya terasa tiada dan kemanusiaannya terasa telah padam dan sirna sama sekali. Kondisi psikis yang demikian disebut al-Ghaza>li> sebagai fana> fi> al-tawhi>d. Dengan demikian, fana>’ dalam pemahaman al-Ghaza>li> adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran kalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yang tinggal dalam kesadaran hanya Yang Esa. 198 Sufi yang mengalami fana>’ tidak melihat serta tidak mengetahui selain Allah. Penglihatannya langsung pada hakikat-realitas, tidak lagi melihat fenomenanya. Tetapi yang dilihat langsung
fenomenanya. 199 Sufi yang telah meraih kashf tersebut tidak melihat instrumennya,
tetapi yang dilihat langsung adalah nilainya. Artinya orang yang sedang melihat berada pada kondisi peiskis fana>’ fi> al-tawh}i>d adalah orang yang tidak melihat alam ini sebagai makhluk ciptaan Allah, tetapi yang ia lihat justru penciptanya, yaitu Allah. Apa saja dan ke mana saja ia memandang yang terlihat dan terasa
195 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, 234. 196 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 197 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 198 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo:
Da>r al-Thaqa>fah li> al-Nas}r wa al- Tawzi>’, t.t), 176. 199 Abu> al-Wafa> al-Ghani>mi> al-Tafta>za>ni>, Madkhal Ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 177.
adalah hakikat dari yang nampak itu, sebagai asal dari segalanya. 200 Penyingkapan yang telah berhasil diraih seorang pencari hakikat ini merupakan
buah manis dari ibadah yang dilakukan secara terus menerus dan selalu menghiasi hatinya dengan selalu mengingat Allah ( Dhikrulla>h). Penyingkapan Ilahi ini bisa terjadi secara langsung di dalam hati, tanpa bantuan visual apapun,
ketika keindahan Allah masuk ke dalam hati hamba dan pencipta-Nya. 201 Kashf sangat membantu dalam pemecahan kasus yang meragukan dan
tidak jelas; yaitu apabila ada pertentangan antara tuntunan syariat dengan apa yang harus dilakukan seseorang pada waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, Nabi saw. menganjurkan agar seorang muslim bertanya pada hatinya sendiri, dan kashf tentu sangat membantu untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut. Tetapi perlu dicatat, bahwa kashf bagi seorang wali adalah argumen bagi diri sendiri dan bukan untuk orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan ijtiha>d yang dilakukan oleh seorang mujtahid, hal tersebut merupakan argumen baginya dan bagi orang lain. 202
Dalam perkembangan tasawuf, terdapat beberapa pembagian kashf yang dilakukan oleh para sufi. Di antaranya adalah pembagian yang
mengelompokkan kashf pada dua tingkatan: kashf ‘aqli> dan kashf bas}ari>.Kashf ‘aqli> adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif terendah, Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap-atahap akhir taraqqi>- nya. ‚Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang beriman yang snggup memuat-
Ku.‛ 203
Sedangkan kashf bas}ari> adalah penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dialakukan Allah dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan manusia seorang sufi bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan ( jama>l) dan Keagungan (jala>l). Melalui makhluk-Nya, Allah bisa mengingkapkan diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu nama keindahan- Nya yang akan menimbulkan kemausiaan dan kesenangan atau lewat salah satu nama keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. 204
Adapun pandangan al-Bursawi> mengenai kashf, dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
4.1. Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 42
200 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 201 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 675. 202 Muhammad Abdul Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), 116-117. 203 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 677.
204 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid II, 677.
‚Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‚Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu).‛ (Q.S. A<li ‘Imra>n [3]: 42)
Peristiwa yang dialami Maryam yang melakukan komunikasi dengan malaikat pada ayat di atas, menggambarkan bahwa seorang manusia dapat melakukan interaksi nyata dengan malaikat yang notabennya makhluk gaib yang tidak kasat mata.
Al-Bursawi> menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini merupakan bentuk komunikasi nyata antara malaikat yang diutus Allah dengan Maryam. Ini terlihat dari penjelasannya sebagai berikut:
Menurut al-Bursawi>, kalimat ‚Dan (ingatlah) ketika malaikatberkata ‛ terjadi ketika malaikat Jibril berkata kepada Maryam. Sebagaimana firman- Nya:
‚Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk manusia) yang sempurna.‛(Q.S. al-Maryam [19]: 17 (
Ayat di atas menunjukkan bahwa Jibril berwujud manusia sungguhan agar Maryam merasa kenal kepadanya. Kata al- mala>’ikat dijamakkan untuk memuliakan Jibril karena dia merupakan pemimpin para malaikat. 205 Kemudian, kalimat ya> Maryam pada ayat di atas merupakan perkataan Jibril kepada Maryam, dan ini bukan merupakan wahyu baginya, karena Allah berfirman:
‚Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad) melainkan laki- laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka...‛ (Q.S. Yusuf [12]: 109)
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa para ulama sepakat tidak ada titah kenabian bagi seorang wanita. Adapun percakapan Jibril kepada Maryam adalah sebagai karamah sebagaimana karamah yang terjadi pada para wali. Atau, kalimat itu merupakan irh}a>s} (semacam mu’jizat) bagi kenabian Isa a.s.Irh}a>s} diambil dari kata al-rih}-s}u yang bermakna jajaran terendah dari sebuah tembok. irh}a>s} secara istilah ialah sesuatu yang mendahului datangnya kenabian, yang mirip dengan mu’jizat, seperti awan menaungi Rasulullah SAW, berdialog dengan batu dan tanah liat, memanah dengan tepat pada sasaran di bukit yang tertutup salju, kisah tentang pasukan gajah dan sebagainya. 206
Dari penafsiran Al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa Maryam melakukan komunikasi dengan Jibril yang berwujud manusia. Penjelasan al-
205 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32. 206 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
Bursawi> ini mengacukepada ayat ke-17 surat Maryam yang menyatakan bahwaAllah mengutus Jibril Maryam dengan menjelma dalam bentuk manusia. Pengutipan ayat al- Qur’an yang dilakukan al-Bursawi> bertujuan untuk lebih memperkuat penafsirannya. Hal ini sejalan dengan al-Dhahabi> yang mengatakan bahwa sebuah penafsiran sufistik haruslah didasari atas argumentasi syar’i yang bersumber dari al- 207 Qur’an dan Hadis.
Selanjutnya, al-Bursawi> menjelaskan bahwa percakapan yang terjadi antara Jibril dan Maryam bukan merupakanperistiwa pemberian wahyu. Karena wahyu hanya disampaikan kepada para nabi, dan tidak satu nabi pun yang berasal dari kaum perempuan. Percakapan Jibril kepada Maryam merupakan bentuk karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Jika bukan suatu karamah, maka percakapan tersebut merupakan bentuk irh}a>s}atas kenabian Isa a.s. Irh}a>s}adalah sesuatu yang tanda yang mendahului datangnya titah kenabian. Penjelasan al-Bursawi> ini didasari pada ijma’ ulama yang menyatakan bahwa tidak ada titah kenabian bagi seorang wanita. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Bursawi> didasari oleh argumentasi yang bersumber dari syariat dan rasio ini sesuai dengan al-Dhahabi> dalam validitas tafsir sufistiknya.
Selanjutnya, dialog antara Maryam dan Jibril terjadi karena Allah telah memilihnya utuk menanggung beban yang besar. Hal ini dijelaskan oleh al- Bursawi> dalam tafsirnya bahwaAllah telah memilih Maryam semenjak dahulu ketika ia diserahterimakan dari ibunya (Hannah) dengan penerimaan yang baik, sementara tidak ada perempuan selainnya yang diterima. Kemudian Allah mendidiknya di kamar Zakariya, Allah memberinya rizki dari rizki surgawi serta ia diberi karamah khusus yang tinggi. 208
Penjelasan al-Bursawi> di atas mengindikasikan mengenai tingginya kedudukan Maryam dibandingkan dengan peremupan lainnya. Atas dasar keistimewaan itulah Allah memberikan pendidikan khusus kepadanya di kamar Zakariya. Bukan hanya itu, Allah juga memberikannya rizki yang berasal dari surga yang mana ini tidak diberikan kepada wanita yang lainnya. Semua itu tidak akan terjadi jika Maryam dalam kehidupannya tidak menjaga kesuciannya dari kotornya kehidupan dunia. Sebagaimana yang dijelaskan al-Bursawi> berikut ini:
Allah swt, mensucikan Maryam dari kekafiran, kemaksiatan, perbuatan- perbuatan tercela, adat-adat yang buruk, sentuhan kaum laki-laki dan dari haidh dan nifas. Allah memilih Maryam atas seluruh wanita sedunia dengan cara menganugerahinya ‘I<sa> a.s tanpa bapak, dan hal itu tidak terjadi pada seorang wanita pun. Dan Allah menjadikan mereka berdua sebagai tanda kebesaran bagi seluruh alam. 209
Dari penjelasan al-Bursawi> tersebut, dapat dipahami bahwa Maryam adalah wanita yang senantiasa menjaga kesuciannya dari segala sesuatu yang
207 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48
209 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 32.
diharamkan oleh Allah. Oleh karena itulah Allah mendaulatnya menjadi wanita yang paling suci serta menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki suci bernama ‘I<sa yang tidak didahului oleh perkawinan biologis dengan seorang pria.Peristiwa dialogis yang dialami Maryam dengan Jibril mengindikasikan bahwa seseorang yang bukan seorang nabi dapat melakukan interaksi dengan malaikat serta memungkinkan terbukanya pintu karamah dari alam gaib kepadanya.
Jika melihat penafsiran al-Bursawi> terkait peristiwa Maryam di atas ditinjau dari metode validitas penafsiran sufistik, tidak ditemukan pertentangan dengan pengertian teksual ayat. Ini memberikan indikasi bahwa penafsiran sufistiknya berpijak pada makna zahir ayat. Selain itu, makna yang dijelaskannya didukung oleh ayat dan argumentasi yang lain. Dialog antara Maryam dengan Jibril dapat dipahami sebagai bentuk kasha>f. Akan tetapi al- Bursawi> dalam penjelasannya tidak memaknai dialog antara keduanya dengan kashf.Ia memahami peristiwa tersebut sebagai bentuk karamah kepada Maryam
dan irh}a>s} kepada ‘I<sa> a.s. Menurut al-Qushayri>, ayat di atas menjelaskan tentang percakapan antara malaikatdan Maryam. Malaikat berkata kepada Mar yam: ‚sesungguhnya Allah telah mensucikanmu karena keutamaan dan keistimewaanmu, dan menjagamu dari sifat keji, berbuat maksiat dan kehinaan, bersentuhan dengan lawan jenis, dan meninggikanmu dari seluruh wanita-wanita lain. Adanya pengulangan lafadz is}t}afa@ dalam ayat ini berarti:1) menunjukkan keutamaan dan kemuliaan Maryam, 2) memuliakan Maryam dengan mengandung Isa tanpa seorang bapak, hal ini lah yang tidak dimiliki wanita lain selain Maryam. 210 \
Dari penafsiran al-Qushayri> di atas, dapat dipahami bahwa Maryam dianugerahkanAllah berupa keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh wanita lain selainnya. Apa yang dijelaskan al-Qushayri> tersebut sejalan dengan penafsiran al-Bursawi>yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sementara itu, Ibn ‘Arabi> dalam tafsirnya menyebut Maryam dengan jiwa yang suci yang disucikan dari syahwat, akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang buruk dan nafsu
shahwa>niyah. 211 Dari penjelasan Ibn ‘Arabi>, tampak bahwa ia masih mengacu pada makna zahir ayat. Karena antara penafsirannya
dan makna zahir ayat dapat diharmonisasikan. Sebagaima al-Bursawi>, Ibn ‘Arabi> juga menyebut bahwa peristiwa yang dialami Maryam yang bertemu dan berdialog dengan Jibril bukan merupakan bentuk kasha>f. Tampak bahwa Ibn ‘Arabi> tidak memandang wujud komunikasi antara keduanya sebagai komunikasi verbal hakiki. Hal ini disebabkan kashf terjadi bukan dalam bentuk fisik, akan tetapi lebih bersifat spiritualitas.Karena pengalaman spiritual tidak dapat divisualisasikan, akantetapi hanya dapat dirasakan.
210 'Abd al-Kari>m al-Qushayri >, Lat}a>if al-Isha>ra>t,JIlid I, 147-148. 211 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 127.
4.2. Q.S. al- ‘Ankabu>t [29]: 69.
‚Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan,
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.‛ (Q.S. al-‘Ankabu>t [29]: 69)
Ayat di atas memberikan isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kashf.Al-Bursawi> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa muka>shafah atau musha>hadah dapat diperoleh dengan melakukan muja>hadah. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
Al-Bursawi> menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kalimat walladhi>na ja>hadu> fi>na> adalah orang-orang yang berjihad dan bermuja>hadahdengan mencurahkan seluruh kekuatannya untuk melawan musuh. Dengan kata lain, mereka bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala usaha mereka dalam menjalankan segala kewajiban dan hak yang hanya tertuju kepada-Nya. Adapun kata muja>hadah mengindikasikan jihad melawan musuh secara zahir dan batin. Jihad secara zahir adalah melawan musuh Islam di medan perang. Sedangkan jihad secara batin adalah melawan hawa nafsu dan syaitan. Sebagaimana hadis Nabi:
‚Perangilah hawa nafsu kalian sebagaimana kalian memerangi musuh kalian (di medan perang).‛
Dalam hadis lain dikatakan bahwa jihad dilakukan dengan menggunakan tangan dan lisan:
‚Perangilah musuh dari kalangan orang-orang kafir dengan tangan dan lisan kalian.‛
Hadis di atas mengandung arti bahwa segala yang membahayakan mereka dari ucapan seperti cacian dan sebaginya. Ibn ‘At}a>illah berkata: muja>hadah adalah merasa butuh kepada Allah dengan memutus segala urusankepada selain-Nya. Adapun menurut Kawa>shi>, muja>hadah adalah menundukkan pandangan, lisan dan hati dengan menggabungkan seluruh usaha tersebut agar dapat keluar dari kebiasaan buruk manusia.Jika hal itu dilakukan maka akan berakhir pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai. 212
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, ia menghubungkan kata jihad yang terdapat pada ayat ke-69 surat al- ‘Ankabu>t dengan muja>hadah. Hal ini
212 Isma> ‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497.
dikarenakan jihad menurutnya memiliki dua pengertaian, yaitu zahir dan batin. Jihad secara zahir adalah dengan berperang melawan musuh Islam di medan perang. Adapun jihad secara batin adalah ber -muja>hadahmelawan hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Hal ini didasarkan pada hadis nabi mengenai perintah untuk melawan hawa nafsu seperti memerangi musuh Islam. Hadis tersebut dikutip oleh al-Bursawi> untuk menguatkan penafsirannya. Ini menunjukkan bahwa dalam menafsirkan ayat, al-Bursawi> berpegang pada argumentasi syara’ yang bersumberdari al-Qur’an dan Hadis. Selain berpegang kepada argumentasi syara’, al-Bursawi> juga mengutip pendapat para sufi mengenai muja>hadah untuk memperkuat penafsirannya itu. Ini memeberikan bukhti bahwa selain diperkuat dengan d alil syara’, penafsirannya diperkuat pula denganargumentasi rasio yang bersumber dari pemikirannya dan para ahli.
Setelah menerangkan tentang muja>hadah, maka tahapan selanjutnya adalah sulu>k. Hal ini dijelaskan oleh al-Bursawi> dalam tafsirnya sebagai berikut:
Setelah seseorang ber -muja>hadah, maka akan kami tunjukkan kepadanya jalan, yaitu hidayah sebagai wasilah yang dapat mengantarkannya
kepada segala sesuatu yang ia tuju.Adapun subul adalah jamak dari sabi>l, yaitu jalan keluar yang di dalamnya terdapat kemudahan. Kata sabi>l dijamakkan karena jalan menuju Allah disediakan untuk orang yang banyak. Sabi>l bermakna jalan suluk kepada Allah dan makna wus}u>l adalah sampai kepada sisi-Nya. Sebagaimana perkataan Ibn ‘Abba>s: kaum muhajirin dan ansar yang berjihad melawan kaum musyrikin untuk menegakkan agama Islam, maka Allah akan tunjukkankepada mereka jalan syahid, ampunan dan surga-Nya. Oleh karena itu, kalimat ‚kami akan tunjukkan kepada mereka‛ pada ayat ke-69 surat al- ‘Ankabu>t adalah Kami tunjukkan kepada hidayah, jalan kebaikan dan taufiq untuk melakukan sulu>k kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: ‚Dan orang- orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka....‛ 213 Dan dalam sebuah hadis dikatan:
‚Barangsiapa yang beramal dengan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan mewarsikan kepadanya ilmu yang tidak diketahuinya.‛ 214
Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa setelah seseorang ber -muja>hadah, maka ia akan ditunjukkan oleh Allah kepada sabi>l atau jalan. Sabi>l dalam perspektif al-Bursawi> adalah sulu>k kepada Allah.Hal ini diperkuat dengan perkataan Ibn ‘Abba>s serta firman Allah surat Muh}ammad ayat ke-17. Bila diperhatikan, metode penafsiran al-Bursawi>itu seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir kalangan zahiri dengan metode bi> al-
214 Q.S. Muh}ammad [47]:17)
Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497.
ma’thu>r-nya yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat lain atau dengan riwayat yang bersumber dari Nabi dan sahabat.
Setelah seseorang ber -muja>hadah, maka ia akan ditunjukkan sulu>k kepada Allah yaitu berupa musha>hadah atau muka>shafah. Hal ini dijelaskan al-
Bursawi> dalam tafsirnya sebagai berikut:
Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan taubat, maka akan ditunjukkan jalan ikhlas. Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan menuntut ilmu, maka akan ditunjukkan jalan ‘amal.Barangsiapa yang ber- muja>hadahdengan pengabdian kepada-Nya, maka akan dibukakan pengetahuan terhadap jalan munajat\ dan musha>hadah kepada-Nya.Dan orang-orang yang menyibukkan anggota badannya (zahirnya) sesuai dengan fungsinya, maka batinnya akan sampai kepada rahasia-rahasaia lembut yang menakjubkan, yang zahirnya itu tidak mampu untuk mengetahuinya.Kadar kesungguhan seseorang akan mengantarkan iapada kemuliaan. Barangsiapa ber -muja>hadah dengan syari’ah, maka akan sampai ke surga. Barangsiapa yang ber-muja>hadah dengan
tarekat, maka akan samapai kepada petunjuk. Barangsiapa yang ber -muja>hadah dengan ma’rifat dan memfilter diri dari selain Allah,makaakan sampai kepada ketersingkapan pandangan dan perjumpaan dengan-Nya. Barangsiapa yang mengedepankan muja>hadah dari musha>hadah, maka muri>d-nya akan tercapaidan derajatnya lebih tinggi dari yang mendahulukan musha>hadah dari muja>hadah. Karena orang yang ber- musha>hadah tanpa ber-muja>hadah adalah seorang pecundang dan pengecut yang ingin mendapatkan kashf dengan instan yang tidak siap menghadapi keras dan gilanya sulu>k dari menjauhi larangan Allah swt. 215
Dari penafsiran al-Bursawi>, memungkinkan seseorang mendapatkan kashf jika ia telah melewati tahapan muja>hadahdengan sulu>k kepada Allah. Al- Bursawi> tidak menafikkan adanya kahsf yang tidak disertai dengan muja>hadah terlebih dahulu. Akan tetapi, kadar muja>hadah seseorang akan dapat menentukan kepada tingkatan kemuliaan yang akan didapat. Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa ayat ke-69 dari suratal- ‘Ankabu>t memberi kemungkinan bagi seseorang untuk mendapatkan kahsf.
Sejalan dengan al-Bursawi>, al-Qushayri> menyatakan dalam tafsirnya bahwa orang-orang yang menghiasai zahir mereka dengan muja>hadah maka batinnya akan dihiasi dengan musha>hdah. Orang-orang yang menyibukkan zahir mereka dengan waz}a>’if, maka batinnya akan Allah sampaikan kepada rahasia- rahasaia lembut. 216
Senada dengan al-Bursawi> dan al-Qushayri>, Ibn ‘Arabi> menyatakan dalam tafsirnya bahwamereka yang ber- muja>hadah dari ahli tarikat di dalam sulu>kkepada sifat-Nya dengan menghadirkan hati, mura>qabah dan istiqamah kepada Allah dalam melaksanakan al-tajallikepada jalan menuju sifat dari Dha>t, maka akan sampai kepada hakikat Asma>’ yang ditetapkan Allah dari segi sifat
215 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VI, 497-498. 216 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid II, 463.
al-maws}u>f-Nya. Orang-orang yang menyembah Allah dalam musha>hadah-nya, sebagaimana hadis N abi: ‚beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya‛, para muhsinin ber- sulu>k dengan sifat-Nyakarena mereka menyembah Allah dengan mura>qabah dan musha>hadah. Oleh karena itu, dikatakan ‚seolah-olah
kalian melihat- Nya‛, karena penglihatan dan penyaksian pandangan tidak akan terjadi kecuali dengan 217 fana>’ kepada sifat dari Dhat itu sendiri.
Dari penjelasa n Ibn ‘Arabi> di atas, dapat dipahami bahwa seseorang bisa memperoleh kashf dengan ber-muja>hadah melakukan sulu>k kepada sifat- sifat Allah. Dengan kata lain, penglihatan dan penyaksian pandangan seseorang dapat terjadi dengan fana>’ kepada sifat-sifatAllah. Sebagaimana al-Bursawi> dan al- Qushayri>, Ibn ‘Arabi memandang bahwa ayat di atas mengandung isyarat terhadap kemungkinan seseorang dapat memperoleh kashf.
5. Ittih}a>d Kata ittih}a>d berarti satu atau menjadi satu. Dalam tasawuf, kata ittih}a>d mengacu kepada suatu bentuk pengalaman sufi yang mabuk kepayang dengan Tuhan, yaitu pengalaman bersatu atau merasa bersatu dengan Tuhan. Pengalaman itu muncul setelah seorang sufi tersebut keluar dari kesadarannya yang biasa dan berada dalam kesadaran luar biasa. Pengalaman atau perasaan
demikian itu berakhir ketika ia telah kembali kepada kesadaran biasa. 218 Menurut Harun Nasution, 219 Ittih}a>d merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai menjadi satu, sehingga salah satu dari keduanya dapat memanggil dengan kata- kata: ‚Wahai aku‛.Dalam ittih}a>d, yang dilihat hanya satu wujud, walaupun terdapat dua wujud yang berpisah antara satu dengan lainnya. Karena yang dapat merasakan hanya satu wujud, maka bisa terjadi pertukaran peran antara yang mencintai dan yang
dicintai atau antara seorang sufi dengan Tuhannya. Oleh karena itu, seringkali seorang sufi berbicara dengan nama Tuhan, karena fana>’-nya telah menghilangkan kesadaran dalam dirinya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Abu> Yazi>d al- Bust}a>mi> yang pertama kali memunculkan paham fana>’ dan baqa>’ dalam tasawuf. Dalam dirinya senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan Tuhan. Sebagaima na yang terlihat dari ucapannya. ‚Aku Bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya, ‘bagaimana cara untuk sampai kepada-Mu? Kemudian Allah menjawab ‘tinggalkanlah dirimu dan datanglah’.‛ Maka dengan fana>’ Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> meninggalkan dirinya dan pergi kepada Tuhan. Kemudian ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari
218 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid II, 129. Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), Jilid II, 610. 219
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 66.
shat}ah}a>t 220 yang diucapkannya. Ucapan-ucapan semacam ini belum pernah didengar dari sufi sebelumnya, sebagaimana dalam ucapannya: ‚Aku tidak
heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran terhadap cinta- Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.‛ Kemudian ucapannya yang lain, ‚Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku bertaubat dari ucapanku, ‘Tiada Tuhan selain Allah’, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat.‛ Kemudian dalam perkataannya yang lain, ‚pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata kepadaku: ‘Abu> Yazi>d, makhluk-Ku ingin melihatmu.’ Kemudian aku menjawab: ‘Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu menjadi kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menolaknya. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk- Mu melihatku mereka akan berkata: ‘kami telah melihat-Mu’. Tetapi yang sebenarnya mereka lihat adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak berada
di sana.‛ 221 Dari perkataan Abu> Yazi>d di atas, menunjukkan bahwa ia telah benar-
benar dekat dengan Tuhan walaupun persatuan antara dirinya dengan Tuhan belum tercapai. 222 Kemudian dalam perkataan Abu> Yazi>d yang lain, yang mengindikasikan bahwa itiih}a>d antara dirinya dengan Tuhan telah tercapai sebagaimana terlihat dalam ucapannya: ‚Tuhan berkata: ‘Wahai Abu> Yazi>d, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk- Ku.’ Kemudian aku pun menjawab: ‘Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau’.‛ Kemudian Abu> Yazi>d berkata lagi, ‚Percakapan pun terputus; kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata: ‘Wahai engkau.’ Aku dengan perantaraan- Nya menjawab, ‘Wahai Aku.’ Ia berkata: ‘Engkaulah yang satu.’ Aku pun menjawab: ‘Akulah yang satu’.‛ Dari percakapan tersebut, ketika Abu> Yazi>d mengatakan ‚Aku‛ bukan sebagai gambaran dari dirinya tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain, Abu> Yazi>d dengan ittih}a>d berbicara atas nama Tuhan. Oleh karena itu, ia mengucapkan kata-kata yang kelihatannya mengandung pengakuan bahwa ia adalah Tuhan. Kata-kata seperti itu bukan diucapkan olehnya sebagai kata-katanya sendiri, akan tetapi diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittih}a>d yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain, Abu> Yazi>d tidaklah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. 223 Bagi orang yang memahami dan toleran, ittih}a>d dipandang dipandang hanya sebagai ‘penyelewengan’, tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, hal tersebut dipandang sebagai sebuah kekufuran. 224
220 Shat}ah}a>t merupakan ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittih}a>d.
221 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 67-68. 222 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 68. 223 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 68. 224 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 69.
Ucapan-ucapan atau shat}ah}a>t yang keluar dari Abu yazid di atas, merupakan ucapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari relungnya, yang disertai dengan seruan. Karena itu, ucapan demikian tidak dapat dinilai menyeleweng dari ajaran Islam. Ucapan itu semata-mata timbul dari luapan rasa yang yang tidak terkendali, yaitu ketika seorang sufi sedang hanyut dalam mabuk ketuhanan. Dengan kata lain, ketika sufi itu mengucapkan kata-kata ganjil tersebut, ia sedang dalam keadaan tidak normal. Karena itu, jika dilihat dari sudut pandang hukum, ia tidak dapat dikenai sanksi karena orang yang sedang mabuk tidak dibebani 225 takli>f.
Dalam hal ini, penafsiran al-Bursawi> berkenaan dengan ayat-ayat terkait dengan ittih}a>ddapat dilihat di bawah ini:
5.1. Q.S. Qa>f [50]: 16
‚Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kamu lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.‛ (Q.S. Qa>f [50]: 16)
Menurut al-Bursawi>, kalimat wa laqad khalaqna> al- insa>n wa na‘lama ma> tuwaswisu bihi> nafsahu> adalah sesuatu yang diperbincangkan oleh hatinya. Maksudnya, sesuatu yang muncul dari dalam hati seseorang. Waswasah berarti suara yang samar. Suarahati dapat menjadikan manusia bersikap lurus. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah sangat mengetahui kondisi manusia sebelum dan setelah proses penciptaannya, serta memasukkan rasa keraguan dalam hati manusia. Karena rasa raguadalah ciptaan Allah, dan Allah tidak sedikitpun samar dengan apa yang diciptakan-Nyadari berbagai sifat-sifat yang dapat mengganggu waktu dan hati manusia. Termasuk dalam konteks ini adalahNabi Adam. Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dan mengetahui sesuatu yang menggoda hatinya untuk memakan buah melalui proses pertemuan antara dirinya dengan syaitan. 226
Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya syaitan tidak memiliki jalan untuk menembus hati para Nabi. Oleh karena itu, syaitan hanya bisa mendatangi mereka dalam bentuk fisik saja. Kemudian al-Bursawi> menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena para Nabi termasuk di dalamnya para wali adalah orang-orang yang mampu menjaga diri mereka dari syaitan karena dilandasi ilmu Allah SWT, sehingga melalui ilmu tersebut dapat menjadikan pelindung terhadap segala
225 Yunasril Ali, ‚Tasawuf‛ dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 150.
226 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IX, 112.
sesuatu yang dihadapinya, dan perlindungan yang didapat para wali tersebut tidak seperti para Nabi yang dapat menyampaikan hal tersebut pada hatinya. Karena para wali tidak mendapatkan syariat sebagaimana para Nabi, yakni terlindungi hatinya karena posisi mereka sebagai pemilik syariat.Tidak ada seorangpun dari keturunan Adam kecuali dalam dirinya terdapat tujuh puluh ribu suara hati dalam sehari semalam yang tidak bertambah dan berkurang, sebagaimana bilangan para malaikat ketika mereka memasuki Ka’bah dan memakmurkannya setiap hari. Malaikat- malaikat itu menuju ke Ka’bah yang dimakmurkan, ketika tujuh puluh ribu malaikat lainnya keluar. Mereka berkumpul bersama para makhluk yang lain (yakni kumpulan suara hati) seraya berzikir dengan memohon ampunan kepada Allah sampai hari kiamat kelak. Hati malaikat senantiasa dipenuhi oleh zikir kepada Allah, setiap malaikat memiliki suara hati yang berbeda-beda tingkatannya. Setiap malaikat tersusun dari suara hati yang baik ketika memandang ilmu Allah. Meskipun malaikat senantiasa bertasbih, terkadang mereka tidak mampu mengenali apa yang
terbelesit dari hatinya. 227
Dalam ayat ini, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi dari perbuatan hati, pikiran, dan tingkah laku tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Dengan kata lain, kedekatan antara Allah dan manusia tidak ada jarak yang membatasi manusia untuk berharap kepada selain-Nya. Oleh karena itu, di akhir ayat ini ditegaskan bahwa kedekatan Allah dengan manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan semacam ini bertujuan untuk mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena Dia mempunya kekuasaan untuk mencabut urat lehernya kapanpun Ia kehendaki. Di samping itu, ayat ini menjadi pendorong bagi manusia agar selalu berbuat kebaikan, berzikir, selalu mengingat Allah dan selalu ber- taqarrab dengan-Nya.
Al-Bursawi> menafsirkan kata waswasah dengan suara yang samar. Pemaknaan ini senada dengan pengertian waswasah secara bahasa yang bermakna sebuah bisikan. Ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Bursawi> sangat memperhatikan makna zahir ayat. Sehingga hal ini selaras dengan kriteria yang diusung oleh al-Dhahabi> 228 bahwa sebuah penafsiran sufistik tidak boleh menyimpang atau keluar dari pengertian makna z}a>hir. Kemudian, dalam mengungkap makna ayat, ia juga menggunakan pendekatan kebahasaan terlebih dahulu sebelum ke pemaknaan secara isha>ri>. Dalam penafsiran sufistiknya terhadap ayat di atas, ia juga mengutip pendapat beberapa ulama untuk lebih memperkuat kembali argumentasi penafsirannya itu.
Selain itu, perhatian al-Bursawi> terhadap bahasa terlihat ketika ia menafsirkan wa nah}nu aqrabu ilaihi dengan semua yang dekat dengan manusia termasuk di dalamnya adalah urat leher. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:
227 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n,Jilid IX, 112-113. 228 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
Al-Bursawi> mengatakan bahwa h}abl al-wari>d merupakan sebuah perumpaaan untuk sesuatu yang sangat dekat. Sebagaimana u ngkapan ‚dia merupakan bagian dari diriku seperti gulungan sarung dan otot leher‛. Id}a>fahdalam ungkapan tersebut termasuk id}a>fah baya>niyah. Kata al-h}abl
tersebut ditujukankepada makna aslinya (makna hakikat). Adapun kata al- wari>dpada ayat ini adalah sesuatu yang didatangkan.Al-wari>d merupakan otot yang berkaitan dengan limpa dan hati. Di dalamnya terdapat jalan beredarnya
ruh. 229 Dari penafsiran al-Bursawi> di atas, menmberikan indikasi bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui karena Dzat-Nya yang Maha Dekat. Penafsiran al-Bursawi>sejalan dengan al-Qushayri> yang mangatakan bahwa makna wa nah}nu aqrabu ilaihi adalah Allah mengetahui setiap kejahatan yang dibisikkan ke dalam jiwa manusia dari syahwat yang harus segera dilampiaskan. Seperti menyekutukan Allah, berbuat buruk, dengki dan lainnya yang dapat melalaikan hati dan menyia-nyiakan waktu. Dan Allah lebih dekat dari urat nadi manusia. Maksudnya adalah ilmu dan kekauasaan Allah melebihi hal itu (urat nadi). Allah Maha Mendengar dan tidaklah sulit bagi-Nya mengetahui urusan manusia. Ayat ini merupakan bentuk peringatan dari Allah kepada
manusia. 230 Selain al-Quhayri>, penafsiran al-Bursawi> juga senada dengan al-Alu>si>
yang mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia, Dia mengetahui apa yang membisikannya (dalam kejahatan) sehingga manusia terjerumus dan melakukan bisikan kejahatan itu. Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Ilmu Allah ini lebih dekat dari pada urat nadi manusia. Selain itu, ilmu Allah diluar kebiasaan ilmu manusia. Karena manusia mengetahui sesuatu setelah adanya dalil-dalil atau bukti nyata, sedangkan Allah mengetahui segala sesuatunya baik dengan adanya dalil ataupun tidak. 231
Dari penjelasan al-Bursawi> dan kedua mufassir lainnya,mereka tidak memahami ayat di atas sebagai bentuk dari ittih}a>d antara Allah dan manusia seperti yang dianut oleh kalangan sufi falsafi. Dari penjelasan ketiganya, ayat ini mengindikasikan sebuah kedekatan antara Allah dan manusia sebagaimana dekatnya leher dengan urat lehernya. Tetapi kedekatan itu bukan dalam bentuk ittih}a>d atau h}ulu<l. Jika melihat penafsiran al-Bursawi>, metode penafsiran sufistiknya tidak dipengaruhi oleh teori filsafat. Penafsirannyatersebut tetap berpegang pada pemaknaan zahir ayat. Walaupun demikian, bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik. Dalam mengemukakan makna sufistiknya ia mencoba menyesuaikan dengan rambu-rambu sufistik yang dikemukakan oleh al-Dhahabi>. Yaitu makna isha>ri> yang dikemukakan dalam
229 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid IX, 113. 230 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid III, 227. 231 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma’a>ni>, Jilid XXVI, 178.
sebuah penafsiran tidak berlawanan dengan makna tekstual ayat. Sehingga antara makna zahir ayat dan batin,akan terjadi keselarasan antara keduanya.
Berbeda dengan al-Bursawi>, ayat di atas menurut Ibn ‘Arabi> mencerminkan kedekatan antara Tuhan dan manusia secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata. Hal ini terlihat dari penafsirannya berikut ini:
Menurut Ibn ‘Arabi>, wa nah}nu aqrabu ilaihi min h}abl al-wari>d adalah gambaran kedekatan secara ma’nawiyah dengan bentuk nyata yang dapat dirasakan dan dilihat oleh panca indra. Kedekatan antara wujud mutlak dengan mawju>d atau juz’un muttas}ilyang tidak ada jarak.Sesungguhnya hubungan antara partikel dengan yang lainnya mengindikasikan terhadap sebuah bagian atau dualisme tingkat tinggi dalam ittih}a>d yang hakiki dan dalam hal kesatuan dan kedetan antara Tuhan dan hamba-Nya bukanlah seperti itu. Karena identitas dan hakikat Tuhan termasuk di dalam identias dan hakikat-Nya sendiri, bukan dengan selain-Nya. Akan tetapi, wujud-Nya yang khusus dan tersendiri dengan substansi serta hakikat wujud-Nya adalah wujud itu sendiri.
Jika tanpa Dia, maka semua hilang dan kosong serta tidak ada sesuatu yang tampak. Oleh karena itu, h}abl merupakan gambaran klimaks dari suatu
kedekatan, atau hubungan dengan partikel yangpaling berhubungan dengan- Nya, melebur dengan Dhat-Nya dikarenakan oleh kesempurnaan baqa>’ seseorang. Adapun kedekatan-Nya, adalah untuk menafikan al-qarb dengan makna hubungan dan perbandingan. Sebagaimana perkatan ami>r al- mu’mini>n: ‚Dia bersama segala sesuatu.‛ Janganlah bandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya jika tidak ada sesuatu selainnya yang bisa dibandingkan. 232
Dari penafsiran Ibn ‘Arabi di atas, dapat dipahami bahwa ia menafikan keterpisahan dan kegandaan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ayat terjadi penyatuan dua zat dan tidak mungkin akan terjadi ittih}a>d kecuali terdapat dua esensi. Selain itu, dari penafsirannya tersebut terlihat bahwa ia tidak terlalu menyoroti tentang analalisis dari sisi kebahasaan, misalnya terkait penggunaan kata nah}nu pada ayat di atas, kata nah}nu tersebut secara bahasa menunjukkan makna jamak. Penggunaan kata tersebut mengindikasikan bahwa terdapat pihak lain yang dilibatkan seperti malaikat yang dilibatkan di dalamnya.
5.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 115
‚Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
232 Muh}y al- Di>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m, Jilid II, 263.
Maksud dari wa lilla>hi mashriqu wa al-maghrib menurut al-Bursawi> adalah kedua sisi bumi, karena tidak ada arah lagi selain itu.Selain itu, sebagaipenunjuk tempat terbit dan tenggelamnya matahari. Artinya, bagi Allah- lah bumi seluruhnya. Tidak ada tempat kerajaan dan tempat pengadilan segala urusan, atau tempat khusus di bumi ini untuk beribadah selain kepada-Nya. Jika kalian dihalang-halangi untuk menziarahi Masjid al-H{ara>m atau Masjid al- Aqs}a>, sesungguhnya Aku telah menjadikan kalian bumi ini sebagai masjid. 233
Dari penjelasan al-Bursawi> mengenai mashriq dan maghrib, terlihat bahwa ia sangat berpegang pada aspek kebahasaan dalam menjelaskan isi kandungan ayat al- Qur’an. Karena dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan kedua kata tersebut adalah berkenaan dengan arah kiblat.
Kemudian al-Bursawi> memperkuat penjelasannya dengan mengutip riwayat yang menerangkan tentang asba>b nuzu>l ayat. Ayat ini diturunkan tatkala kaum Yahudi mencela penasakhan kiblat. Diriwayatkan bahwasannya Nabi saw. beserta sahabatnya di Makkah shalat menghadap Ka’bah, namun tatkala hijrah, Nabi diperintahkan oleh Allah untuk menghadap Bayt al-Maqdis supaya lebih dekat untuk dibenarkan oleh kaum Yahudi. Kemudian Nabi saw. shalat meghadap Bayt al-Maqdis selama enam belas bulan. Nabi beshasrat dan menunggu dari Rabb- nya agar Dia mengubah arah kiblat ke Ka’bah lagi, karena ia merupakan kiblat nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim a.s., ia merupakan kiblat yang paling terdahulu dibandingkan Bayt al-Maqdis dan paling menyentuh keimanaan, sebagaimana firman Allah:
‚Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, sungguh Kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai...‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)
Peristiwa itu terjadi ketika Nabi berada di Masjid bani Salamah. Ia sedang shalat zuhur, dan setelah shalat dua rakaat, turunlah firm an Allah: ‚..Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-H{ara>m..‛ 234 Maka Nabi pun mengubah
arah kiblatnya dalam shalat, oleh sebab inilah Masjid Bani Salamh disebut dengan Masjid Qiblatayn (dua kiblat). Setelah arah kiblat diubah, ingkarlah orang-orang yang ingkar, dan ini merupakan ujian dari Allah, sebagaimana firman-Ny
a: ‚..Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh pemindahan kiblat itu
233 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210. 234 Q.S. al-Baqarah [2]: 144.
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah..‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). 235
Pengutipan riwayat mengenai asba>b al-nuzu>l ayat ini dimaksudkan al- Bursawi> untuk memperkuat penafsirannya. Karena sebuah penafsiran bukan hanya bersumber dari dalil aqli saja, tetapi perlu didukung oleh dalil naqli juga. Hal ini bertujuan agar sebuah penafsiran sufistik tidak kontradikstif dengan argumen syara’.
Penjelasan al-Bursawi> mengenai kata al-mashriq dan al-maghrib berbeda dengan penafsiran Qushayri> yang memaknai al-mashri>q dan al-maghri>b sebagai dua posisi (kutub) dalam hati manusia, yaitu mashriq dan maghrib. Al- Qushayri> mengatakan bahwa hati manusia memiliki dua sisi, yaitu shawa@riqdan t}awa@riq. Sisi t}awa@riq-nya adalah dorongan terhadap nafsu dan kesesatan. Sedangkan sisi shawa@riq-nya adalah dorongan kepada ilmu pengetahuan dan cahaya ma‘a@rif. Ketika sisi t}awa@riq mendominasi hati, maka shawa@riq menjadi pudar seperti bintang yang menjadi pudar ketika munculnya matahari. Begitu
juga ketika kebenaran nampak, maka tidak butuh lagi penjelasan atasnya. 236 Adapun al-mashriq dan al-maghrib menurut al-Alusi> adalah perumpaan
dari ‘a>lam al-nu>r dan al-z}uhu>r,yaitu syurga dan kiblat bagi kaum Nasrani. Adapun al-maghrib adalah ‘a>lam al-asra@r dan al-khafa@’, yaitu syurga dan kiblat bagi kaum Yahudi. Menurut al-Alusi>, al-mashriq juga dapat dipahami sebagai perumpaan dari munculnya Allah dalam hati seorang hamba dengan cara zahir dan anwa@r-Nya. sehingga akan ber-tajalli> padanya sifat-sifat Allah. Adapun al- maghrib adalah perumpamaan tersembunyinyasifat-sifat Allah dalam keadaan baqa@’ setelah fana@’. Allah memiliki dua sifat ini, maka kemanapun seseorang mengarah baik secara zahir maupun batin pasti mengarah kepada-Nya, dengan ber-
tah}}alli> dengan sifat-sifat yang tajalli@ sesuai dengan kehendak-Nya. 237 Penjelasan al-Alu>si> tersebut lebih menekankan kepada maqama>t dalam tasawuf.
Tidak berbeda dengan al- Alusi>, Ibn ‘Arabi> memaknai al-mashriq dengan alam nu@r dan dhuhu@r yaitu syurga bagi Nasrani dan kiblat mereka yang hakikatnya adalah bat}in-nya. Adapun al-maghrib dimaknai Ibn ‘Arabi> dengan alam kegelapan, yaitu syurga bagi yahudi dan kabilahnya yang hakikatnya adalah zahirnya. 238
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi menurut al-Bursawi> adalah pada tempat manapun kalian menghadapkan wajah selama itu ke arah kiblat, maka di situlah jihat Allah yang diperintahkan dan diridhai sebagai kiblat. diperbolehkannya menghadap tidak hanya dikhusukan kepada suatu tempat bukan ke tempat lainnya, maka di situlah ada Dhat Allah. Artinya,
Kemudian, kalimat
235 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 211-212. 236 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 63. 237 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma‘a>ni>,Jilid I, 365. 238 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m,Jilid I, 71.
pada tempat mana saja kalian menghadap, maka Allah berada di sana. Sehingga kalian dapat mencapai kepada-Nya. Karena Dia bukanlah Jawhar (elemen) dan bukan juga ‘aru>d}, dan keberadaannya menyita segala sisi. Al- Bursawi> melanjutkan, ketika manusia tidak dapat menghadap kepada tempat yang dimaksudkan, maka ilmu Allah meliputi setiap tempat dan sisi, yakni Allah mengetahui semua kejadian di setiap tempat dan sisi. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang dikerjakan pada tempat itu dan kalian diganjar atas perbuatan tesrsebut. 239
Dari penjelasan al-Bursawi> tersebut, tampak bahwa penafsirannya masih berpijak pada rambu-rambu kebahasaan. Karena pada dasarnya ayat di atas berbicara mengenai permasalahan kiblat. Untuk lebih mempertegas penafasiranyanya, al-Bursawi> mengutip sebuah hadis Nabi, ‚Jika kalian meluncur ke bumi terbawah dengan tambang, niscahya kalian akan turun kepada Allah.‛ Makna hadis ini menurutnya bahwa ilmu Allah terbebas dari keterbatasan pada suatu tempat, karena Dia telah berada sebelum menciptakan tempat tersebut. 240
Penjelasan al-Bursawi> tidak cukup hanya dengan menggunakan argumentasi yang bersumber dari pemahaman rasio serta dalil syara’ saja, ia juga memaknai kalimat
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi dengan pemaknaan secara sufistik dengan mengutip perkataan para ahli ta’wil yang berkata bahwa‚ Kemanapun kalian menghadap.‛Yaitu ke arah manapun kalian menghadap dari zahir dan batin, ‚Di situlah wajah Allah.‛ Yaitu Dhat Allah yang diperjelas oleh sifat-sifat-Nya yang indah dan agung. Setelah hati seseorang terang dengan sifat keindahan-Nya ketika ia ber- musha>hadah dan fana>’, dan kedekatan dalam hati dengan-Nya karena hijab tersingkap oleh keagungan-Nya ketika ia berada dalam kondisi setelah fana>’ –ketika dalam kondisi demikian- ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah-Nya tidak ada yang lain kecuali Dia sendiri.Penyaksian al-H{aqq dengan makhluk dan penyaksian makhluk dengan al-H{aqq tanpa terhijab dengan salah satu dari keduanya dan dari yang lain, itu merupakan maqam tertinggi, lebih tinggi dari makam baqa>’. Ketinggian itu dapat dicapai dengan tajalli>-nya pandangan mata setelah jelas menurut pandangan ilmu. 241
Orang-orang yang merasa berat dengan perubahan kiblat adalah termasuk ke dalam dua golongan yang terhijab oleh makhluk dari al-H{aqq. Golongan pertama telah mengetahui bahwa perubahan Ka’bah ke Bayt al- Maqdis itu merupakan peningkatan dari maqam muka>shafah, maqam hati ke maqam musha>hadah, dan maqam ruh. Perubahan kiblat bukan merupakan
239 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210. 240 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210.
241 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 210-211.
perubahan dari yang mulanya dekat kepada yang jauh, atau dari turun ke naik. Perubahan kiblat ini merupakan gambaran dari kembali ke maqam hati ketika mampu mencapai maqam da’wah dan musha>hadah atas segala hal dengan mata hati yang terperinci. Sehingga seseorang tidak lagi terhijab dengan satu untuk melihat sesuatu yang banyak, dan tidak pula oleh yang banyak dari yang satu.
Adapun golongan kedua menurut al-Bursawi> adalah yang terikat oleh sosok peribadahan. Mereka tidak mengetahui hikmah perubahan kiblat. Mereka mengira bahwa sahnya ibadah dengan menghadap Ka’bah yang kedua bukan yang pertama. Amat beratlah bagi mereka atas tersia-sianya amalan yang telah mereka lakukan (menurut sangkaan mereka). 242 Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa al-Bursawi> tidak menolak kashf. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang telah dianugerahi kebajikan oleh Allah, tidak terhijab oleh apapun. Mereka akan sampai kepada tauhid hakiki yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
fa aynama> tuwallu> fa thamma wajhulla>hi menurut al- Qushayri> adalah sebuah kesaksian panca indera dan pengetahuan, serta tidak ada kekuasaan bagi akal dan ilmu, begitupula cahaya ‘irfa@n. Sifat al-wuju>d (al- tawa@h}id bida@yah, al-wuju@d niha@yah, al-wajdu di antara al-bida@yah dan al- niha@yah) inilah yang menunjukkan ke- baqa@’-an bashariyah, karena apabila mas}u@f-nya hilang ( fana@’) maka bagaimana dengan sifatnya yang bersifat baqa’. Oleh karenanya sifah dan maus}uf-nya harus ada. 243
Adapun kalimat
Dari penafsiran al-Qushayri>tersebut, terlihat bahwa dalam menafsirkan ayat di atas sangat kental dengan muatan teori tasawuf. Ini berbeda dengan penjelasan Al-Bursawi> yang mencoba mengharmonisasikan pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in.
Pemaknaan serupa juga dilaku kan oleh Ibn ‘Arabi>, ia memaknai kalimat
fa ainama> tuwallu> fathamma wajhulla>h dengan kemanapun seseorang mengarahkan wajahnya baik secara z}a@hir dan ba@t}in, maka akan menghadap Dhat Allah yang ber- tajalli> di setiap keindahannya baik pada pandangan zahir maupun batin. Adapun yang dimaksuf innallaha wa@ si’un adalah seluruh wujud mencakup seluruh arah.Termasuk di dalamnya segala ilmu dan 244 ma‘luma@t.
Penafsiran yang dipaparkan al-Bursawi> tentang kata al-mashriq dan al- maghrib di atas, jika dibandingkan dengan ketiga penafsiran lainnya tidak memiliki kesamaan. Karena ia memaknai kedua kata tersebut berkenaan dengan konteks kiblat. Ia juga tidak masuk terlalu dalam kepada pemaknaan batin yang kental akan teori-teori tasawuf. Selain itu, dalam menafsirkan kedua kata tersebut, ia mencoba memperkuat penafsirannya dengan tetap berpijak kepada
242 Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 212. 243 'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t,Jilid I, 63. 244 Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Jilid I, 71.
dali-d alil yang bersumber dari syara’.Dimana hal ini tidak dilakukan oleh ketiga mufassir yang lainnya. Adapun penjelasan al-Bursawi> mengenai kalimat fa aynama> tuwallu> fathamma wajhulla>h pada ayat di atas, memiliki kesamaan
dengan ketiga mufassir lainnya, hanya saja al-Bursawi> dalam menafsirkan kalimat itu masih berpegang pada argumentasi yang bersumber dari syara’. JIka ditinjau dari terori yang diusung al-Dhahabi> dalam mengukur validitas penafsiran sufistik, pemaknaan yang dilakukan al-Bursawi> tidak bertentangan dengan makna zahir ayat. Sebab sebelum beranjak kepada pemaknaan ayat secara ishari>, ia memulai terlebih dahulu dengan pemaknaan secara bahasa. Selain itu, penafsirannya tersebut tidak berlawanan dengan argumentasi y ang bersumber dari dalil syara’. Karena dalam menafsirkan ayat di atas, al-Bursawi> masih berpegang pada kedua hal tersebut. Di samping itu, penafsiran al-Bursawi> terhadap ayat di atas tidak ditemukan klaim bahwa makna ishari>-nya merupakan satu-satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat ini. Dengan demikian, dapat diidentifikasikan bahwa penafsiran al-Bursawi> di atas bisa dikatakan valid atau dapat diterima jika ditinjau dari teori yang diungkapkan oleh al-Dhahabi> mengenai validitas penafsiran sufistik.
Secara umum, setelah dilakukan uji validasi terhadap penafsiran al- Bursawi> pada tema-tema yang telah dipaparkan di atas meliputi shalat, puasa, haji, zikir, fana>’ dan baqa>’, kashf danittih}a>d dengan menggunakan empat kriteria tafsir sufistik al-Dhahabi> yaitu:1) tidak bertentangan dengan makna zahir ayat, 2)tidak bertentangan dengan syariat dan akal sehat, 3) didukung argumentasi rasional dan dalil syar’i, 4) tidak mengkalaim bahwa tafsir sufistiknya adalah yang dimaksudkan oleh ayat, maka kecenderungan penafsiran al-Bursawi> tersebut layak dikategorikan ke dalam corak tafsir sufi isha>ri>. Secara lebih rinci, uji validasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Validitas Penafsiran Sufistik al-Dhahabi>
No
Tema Penafsiran
Tidak bertentangan
Didukung
Tidak bertentangan Tidak ada
dengan makna zahir
argumentasi rasional
dengan syariatdan klaim
ayat
dan dalil syar’i
akal sehat kebenaran
1. Shalat
a. Q.S. al-Baqarah: 238.
b. Q.S. al-Nisa>’: 103
c. Q.S. al- Nisa>’: 162
2. Puasa
a. Q.S. al-Baqarah: 183
b. Q.S. al-Baqarah: 184
c. Q.S. al-Baqarah: 185
3. Haji
a. Q.S. al-Baqarah: 196
b. Q.S. al-Baqarah: 197
c. Q.S. A<li Imran: 97
4. Zikir
b. Q.S. Ali ‘Imra>n: 191
a. Q.S. al-Baqarah: 152
c. Q.S. al- Ra‘d: 28
5. Fana>’ dan Baqa>’