ISMA<‘I<L H{AQQI<AL-BURSAWI<DAN KARYA TAFSIRNYA

BAB III ISMA<‘I

Bab ini akan membahas biografi Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi> dan karya tafsirnya Ru>h} al-Baya>n fi Tafsi>r al- Qur’a>n. Uraian ini perlu dikemukakan untuk

menggabarkan obyek penelitian dalam pembahasan Tesis ini. Data berupa informasi tertulis dihimpun dalam pembahasan ini yang meliputi biografi Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi>, setting sosio-kultural pada masanya, perkembangan intelektualnya dan karakteristik umum kitab tafsirnya Ru>h} al-Baya>n fi Tafsi>r al- Qur’a>n.

A. Biografi Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi>

1. Riwayat HidupIsma>‘i>l H{aqqi> dan Perkembangan Intelektualnya

Nama lengkapnya ialah Isma>‘i>l Haqqi> ibn Mustafa> al-Bursawi> al- Turki>, 1 ia dilahirkan di Aydos dekat kota Edirne yang terletak di utara perbatasan Turki pada hari Ahad 14 September 1653 M/1063 H. 2 Ia lebih dikenal dengan panggilan Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> -untuk selanjutnya disebut al-Bursawi>-, hal ini disebabkan ia hidup dalam waktu yang lama di kota

Bursa,dan wafat serta dimakamkan di kota tersebut. 3 Ia dikenal sebagai salah seorang cendekiawan pada awal abad tujuh belas. Selain itu,iajuga dikenal

sebagai seorang sufi besar dan seorang penyair di Turki Ottoman. Ayahnya bernama Mus}tafa> Effendi ibn Bayram Chavush ibn Shah Hudabende.Ayahnya berasal dari Istanbul, tetapi setelah kebakaran hebat yang menghanguskan rumah beserta hartanya pada tahun 1062 H/1652 M, iadan keluarganya hijrah ke Aydos, dimana ia menghabiskan delapan tahun sisa hidupnya disana. AdapunBursawi> ditinggalkanibunya ketika ia berusia tujuh

tahun. 4 Al-Bursawi> diantarkan oleh ayahnya untuk berguru kepada ‘Uthma>n

Fad}li> Effendi (w. 1102 H/1691 M), 5 salah satu syeikh dan pembesar tarekat

1 Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, Al-Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wiza>rah Thaqa>fah wa Irsha>d Isla>mi>, 1994), 475. 2

The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1990) Vol. IV, 191. 3 Selain karena ia hidup lama di Bursa, Penambahan al-Bursawi> dibelakang namanya

untuk membedakan dari Isma>‘i>l lainnya, yaitu Isma>‘i>l Ankarawi> (w. 1041 H/ 1631 M) salah satu cendekiawan besar ‘Uthmanilainnya. Lihat E. Van Donzel, B. Lewis, Ch. Pellat, The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 190. 4

Lihat http://www.beshara.org/principles/talks-and-articles/lectures-and- talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html.diakses pada 6 Januari 2015. 5 ‘Uthma>n Fad}li> Effendi dilahirkan pada 7 Juli 1632 M/ 19 Dhulh}ijjah 1040 H di Shumnu, sebuah kota industri kecil di timur Bulgaria. Pada masa pemerintahan Sultan Bayazid II Shumnu dijadikan sebagai kota penghasil keju untuk kemudian didistribusikan ke Istanbul. Ayahnya bernama Sayyid Fethullah Effendi. Ayahnya meninggal ketika ‘Uthma>n Fad}li> Effendi berumur sepuluh tahun. ‘Uthma>n Fad}li> tumbuh di Edirne, ibu kota kedua ‘Uthmani setelah Istanbul. ‘Uthma>n kecil berguru kepada Ibra>hi>m Effendi, murshid tarekat Jalwatiyyah di wilayah

Jalwatiyyah 6 pada usia tiga tahun di Aydos.Setelah al-Bursawi>menguasai beberapa ilmu agama, ‘Uthma>nFad}li> Effendi meninggalkan Aydos dan

mempercayakan al-Bursawi> untuk belajar kepada Syeikh Ahmad. Al- Bursawi>belajar bahasa Arab dan sastra Turki dan Persia dibawah

pengawaasannya selama lima tahun. 7

Turki Ottoman. Ibra>hi>m Effendi sendiri sejak muda telah menjadi sahabat muda Sultan Ahmet I, dan juga murid dari ‘Azi>zi> Mah}mu>d Huda>’i. Ibra>hi>m Effendi sangat mengagumi kecerdasan ‘Uthma>n kecil, hingga ia berfikir tidak akan mampu mendidik ‘Uthma>n seorang diri. Oleh karena itu, ia mengirim ‘Uthma>n untuk berguru kepada Huda>’i di Uskudar. Pada usia 24 tahun, ‘Uthma>n Fad}li> dikirim oleh gurunya untuk munjadi murshid tarekat Jalwatiyyah di Aydos, tempat tinggal Isma>‘i>l H{aqqi> sewaktu kecil. Di kota inilah ia bertemu dengan Haqqi> pada 1656 M, dan memberikan bimbingan keagamaan kepadanya. Beberapa tahun kemudian, ia datang ke Istanbul dan menetap di daerah Atpazari yang terletak tidak jauh dari masjid Fa>tih}, di sana ia didaulat sebagai murshid ‘a>m tarekat Jalwatiyyah, disamping itu juga ia diamanahi sebagai khotib dan imam di masjid jami’ yang ada di wilayah Istanbul. ‘Uthma>n Fad}li> sangat mengagumi karya- karya Ibn ‘Arabi>, ia banyak sekali membaca karya-karyanya, yang paling mengena di hatinya adalah kitab Fus}u>s al-H{ika>m dan Futuh}}a>t al-Makkiyah. ‘Uthma>n Fad}li> dikenal sebagai seorang sufi besar di kekaisaran Ottoman, dan pemikirannya sangat mempengaruhi pengamalan spiritualitas masyarakat ‘Uthmani khususnya Istanbul. Ia sangat memahami konsep tasawuf yang ditawarkan Ibn ‘Arabi yaitu; wah}da>t al-wuju>d, universalitas serta insa>n al-ka>mil. Konsep-konsep tersebut diaplikasikan dengan baik olehnya di kehidupan nyata. Saat itu, pemikiran Ibnu ‘Arabi> ditentang keras oleh ulama-ulama di Ottoman, mengetahui hal itu, Fad}li> mempelajari karya-karya Ibn ‘Arabi> tersebut secara rahasia. ‘Uthma>n Fad}li> merupakan seorang penulis yang produktif. Diantara karya-karyanya adalah; Misba>h} al-Qulu>b, Mir’at al-Isra>r al-‘Irfa>n, Sharh} al-Tanki>h}, Sharh} al-H{anafiyyah, Hida>yah al-Mutahhiri>n, Fath} al-Ba>b, Risa>lah al-Rah}maniyyah. ‘Uthma>n Fad}li> seorang yang sangat kritis, terutama kepada kebijakan Wazir Agung. Atas kebiasaan inilah, ia diasingkan di Strumica dalam waktu lama.Setelah tiga tahun diasingkan di Strumica, ‘Uthma>n Fad}li>diizinkan untuk kembali ke Istanbul. Ia tinggal di Rumeli Hisar daerah terpencil di Istanbul. Diasingkan selama tiga tahun tidak lantas membuatnya jera, ia kembali mengkritik pemerintahan Ottoman. Hal ini membuat Musta>fa> Pasha semakin geram kepadanya. Akibat kritik kerasnya tersebut, pada tahun 1690 Pasha memanggil Fad}li>ke sebuah persidangan untuk diadili. Dari persidangan tersebut, ‘Uthma>n Fad}li>diputuskan untuk kembali diasingkan ke Famagusta di Siprus. Beberapa bulan setelah masa pengasingannya di sana, tepatnya pada tahun 1691 ‘Uthma>n Fad}li>

http://www.beshara.org/principles/talks-and- articles/lectures-and-talks/in-search-of-osman-fazli.html diakses pada 6 Januari 2015. 6 Salah satu tarekat yang paling penting di Turki adalah tarekat Jalwatiyyah, Jalwatiyyah termasuk dalam kelompok sufi yang dibentuk oleh ‘Azi>z Mah}mu>d Hada>’i al- Uskudari>. Adapun kata ‘Jalwatiyyah’ berasal dari kata ‚Jalwat‛, yakni suatu tahapan setelah khalwat. Dalam tahap khalwat, seseorang akan memberisihkan dirinya dari egoisme, jika telah berhasil melalui tahap tersebut, dia akan masuk ke dalam tahap jalwat. Seseorang tidak akan mencapai tahap jalwat kecuali ia telah melalui tahap khalwat. Jalwatiyyah sendiri merupakan salah satu dari tarekat sufi sunni yang berkonsentrasi pada zikir. Yakni berzikir dengan tujuh nama dari nama-nama asma>’ al-husna>, di samping lima nama Allah lainnya, yaitu al-Wahha>b, al- Fatta>h}, al-Wah}i>d, al-Akhi>r dan al-S}ama>d. ‘Abd al-Mun’im al-H{afni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia (terj.) (Jakarta: Grafindo, 2009), 177.

Effendi meninggal

dunia.

Lihat

7 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191.

Kemudian ia pindah ke Edirne untuk melanjutkan studinya dibawah bimbingan Syeikh ‘Abdal-Ba>ki> Effendi, dibawah pengawasannya pula al- Bursawi>menghafal al- Qur’an dan menyempurnakan kemampuan bahasa Persianya. Selain itu, iabanyak belajar seputar bahasa Arab, dari nahwu dan sharaf hingga balaghah serta cabang-cabangnya,sintaks, retorika, ilmu mantiq,

tafsir, hadis, fiqih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. 8 Ia sangat tangkas, cerdas, dan berprestasi dalam belajar. Antusiasme yang besar ditunjukan oleh al-

Bursawi>dalam belajar, hal ini terlihat ketika ia menghabiskan seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh ibunya sebanyak dua ratus dirham yang ia pergunakan membeli tinta dan kertas untuk menulis ulang semua buku-buku

yang diberikan oleh gurunya. 9

Setelah mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk studinya lebih lanjut, al-Bursawi> berangkat ke Istanbul pada 1083 H/1672 M. Ia menuju pusat tarekat Jalwatiyyah dan langsung bertemu dengan gurunya terdahulu ‘Uthma>n Fad}li>Effendi yang telah diangkat menjadi murshid ‘a>m tarekat

Jalwatiyyah. 10 Saat itu, al-Bursawi>memfokuskan pendidikannya untuk mendalami sains eksoterik yang berkaitan dengan syariah. Walaupun al- Bursawi> telah menge nal Syaikh ‘Uthma>n Fad}li> sejakia berusia tiga tahun, al- Bursawi> belum masuk ke dalam tarekat Jalwatiyyah sampai pada pertemuan keduanya di Istanbul. Ketika ia bertemu dengan gurunya untuk kedua kalinya,barulah ia berbai’at dengan gurunyatersebut dan langsung mulai mempelajari ilmu batin.Di samping itu,al-Bursawi>>juga berkesempatan untuk belajar seni kaligrafi dari H{a>fiz ‘Uthma>n (w. 1110 H/1690 M) seorang master

kaligrafi masyhur di Istanbul. 11

Selama di Istanbul, al-Bursawi>menyempurnakan kemampuan bahasa Persianya agar dapat memahamikitab Mathnawi>karya Ru>mi> (w. 672 H/1273 M) dan Gulista>n, Busta>n karya Sa>’di> (w. 689 H/1257 M). Tak ketinggalan, al- Bursawi> juga berkesempatan untuk belajar musik, ia meyakini bahwa musik merupakan seni yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Walaupun ia sadar bahwa sekedar menyukai musik saja tidak cukup, tapi ia juga harus

8 Mani>’ ‘Abd H{ali>m Mah}mu>d, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (terj.) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 170. 9

Lihat http://www.beshara.org/principles/talks-and-articles/lectures-and- talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html diakses pada 6 Januari 2015. 10 11 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191. Ha>fiz} ‘Uthma>n Effendi lahir di Istanbul pada tahun 1642 M. ia seorang master

kaligrafi yang sangat terkenal pada zaman Turki Ottoman. Ia berguru kepada Syeikh Ayyu>bi> Mustafa> Effendi, dan menerima Ijazah darinya. Ha>fiz Othma>n adalah kaligrafer brilian, yang memiliki julukan ‚Syeikh yang kedua‛. Ia memiliki banyak murid, diantara muridnya yang menonjol adalah Sultan Ahmad II, Ahmad III dan Mustafa II, tak ketinggalan Isma’i>l Haqqi> Bursawi> yang tur ut menimba ilmu kepadanya. Kaligrafi yang ditulis H{a>fiz} ‘Uthma>n sangat dicari pada masanya. Adapun karya-karyanya yang masih hidup hingga saat ini diantaranya, salinan al- Qur’an yang disimpan di Museum Topkape Palace Istanbul dan Nasser D. Khalili Collection. Lihat

http://calligraphyqalam.com/people/hafiz-osman.html. Lihat juga http://www.ottomansouvenir.com/Calligraphy/Netscape_Calligraphy_3.htm http://calligraphyqalam.com/people/hafiz-osman.html. Lihat juga http://www.ottomansouvenir.com/Calligraphy/Netscape_Calligraphy_3.htm

melakukan perjalanan spiritual ( khalwa>t) ke Persia selama tiga bulan. Setelah menyelesaikan sulu>k-nya, ia mengambil ijazah tarekat Jalwatiyyah dari ‘Uthma>n Fad}li>,dan didaulat menjadisalah satu syeikh tarekat pada 1085 H/1674 M..Setelah dirinya didaulat menjadi syeikh tarekat,al- Bursawi> menetap satu tahun lagi bersama gurunya sebelum ia dikirim ke Skopje, salah satu kota di Makedonia pada 1086 H/ 1675 M untuk menjadi

murshid 13 tarekat serta menjadi khotib di sana. 14

Pada 1087 H/1676 Mal-Bursawi>menikah untuk pertama kalinya dengan ‘A<rifah Hanim putri dari seorang syeikh di Skopje. 15 Setelah tinggal di Skopje

selama enam tahun, ia melakukan empat tugas yang berbeda dalam satu waktu. Pertama, ia mengajar di rumahnya. Kedua, ia berkhutbah di masjid-masjid jami’. Ketiga, sebagai cendikiawan, iaproduktif menulis buku. Keempat, tugasnya sebagai syeikh tarekat Jalwatiyyah yang membimbing anggota tarekat. Khusus untuk tugasnya sebagai khotib, ia memiliki sikap tak kenal kompromi untuk menegur setiap tindakan dari mufti-mufti setempat atau kepada siapapun yang menyalahi al- Qur’an dan Sunnah.Atas sikap tak kenal komprominya itu, banyak orang yang memusuhinya.

Pada 1092 H/ 1681 M, al-Bursawi> dipindah tugaskan oleh gurunya ‘Uthma>n Fad}li> ke Kopurlu (Veles). Al-Bursawi menetap disana selama empat belas bulan. Tidak banyak informasi yang didapat mengenai aktivitas al- Bursawi>di Kopurlu selain dia melakukan aktivitas khotbah dan kegiatan mengajarnya sebagaimana yang dilakukan di Skopje. Selain itu, ia berkeliling untuk mengunjungi basis-basis tarekat Jalwatiyyahdi Kratovo dan Strumica.

Kemudian Pada 1093 H/1682 M, al-Bursawi> di tempatkan oleh gurunya di Strumica. Ia menghabiskan tiga tahun untuk membina tarekat Jalwatiyyah. Disela rutinitasnya di Strumica, al-Bursawi>mendapatkan surat dari syeikhnya ‘Uthma>n Fad}li>. Dalam surat itu, ‘Uthma>n Fad}li> menginginkan al-

12 Lihathttp://www.beshara.org/principles/talks-and-articles/lectures-and- talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html diakses pada 6 Januari 2015.

13 Kata murshid berarti orang yang menunjukan jalan yang benar. Kata murshid berasal dari bahasa Arab, arshada yang berarti memeberikan petunjuk. Kata murshid juga dapat dijumpai

dalam al- Qur’an, misalnya dalam surat al-Kahfi> (18): 17. Peranan murshid atau syaikh terhadap muri>d sangatlah penting. Dalam kitab Al-Ghunyah li Ta>libi> Tari>q al-H{aqq, karya ‘Abd al-Qadi>r l- Ji>lani> (471-561 H) pendiri tarekat Qadariyah, dikatakan bahwa seorang murshid atau syaikh membimbing muri>d hanya karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi. Ia bergaul denga muri>dnya dengan penuh kasih sayang, banyak memeberikan nasihat, tidak memberatkan murid dalam riya>d}ah, tetapi ia memperlakukan muri>dnya dengan lemah lembut, bagaikan seorang ibu dengan anaknya. Syaikh tidak memberikan tugas kepada muridnya yang tidak mampu dilaksanakannya, tetapi aia memberikan latihan ruhani sedikit demi sedikit, sampai murid dapat menjelakannya. Syaikh tidak mengharapkan imbalan dari muridnya, tetapi ia mendidiknya hanya karena mencari rida-Nya. Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), Jilid II, 396-398. 14

15 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191. The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191.

Bursawi> untuk mendampinginya ke persidangan yang diinisiasi oleh Sultan Mehmet IV akibat kritikan keras yang ia tujukan kepada pemimpin Turki

‘Uthmani>tersebut. 16 Mengetahui kondisi yang dialami gurunya, al-Bursawi> pun

segeraberangkat ke Edirne. Dari hasil persidangan tersebut, ‘Uthma>n Fad}li> tidak diperkenankan lagi untuk mengkritisi kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Selama menetap di Edirne, al-Bursawi> banyak meluangkan waktu untuk mendalami karya Ibn ‘Arabi> (w. 638 H/1240 M) Fusu>s al-Hikam dengan

syeikhnya. Ia sangat memegang erat tradisi Akbarian, 17 dimana dengan tradisi ini sangat menentukan karya sastranya pada masa mendatang. Kemudian terdengar kabar bahwa murshid Jalwatiyyah di Bursa meninggal dunia. ‘Uthma>n Fad}li> selaku murshid ‘a>m menunjuk al-Bursawi> menjadi Murshid Jalwatiyyahyang baru di Bursa. Dimana ia akan menghabiskan empat puluh tahun hidupnya di sana.

Al-Bursawi> tiba di Bursa pada Mei 1096 H/1685 M, kemudian ia langsung menempati markas tarekat Jalwatiyyah untuk mengajar dan membimbing para muridnya. Selain itu, ia juga memberikan ceramah di depan khalayak umum di beberapa masjid yang ada di Bursa. Khusus untuk masjid Jami’ Bursa,ia menyampaikan ceramahnya pada setiap hari Ahad. Adapun format danisi dari kuliah umum yang biasa disampaikan oleh al-Bursawi>adalah penjelasan dari ayat atau surat al- Qur’an dengan mengelaborasikan kutipan- kutipan dari hikayat dan puisi-puisi Persia. Kuliah umum inilah yang mendasari penulisan karya terbesarnya; Ru>h} al-Baya>n. Al-Bursawi> menghasilkan sebagian besar karya sastranya di Bursa. Hal ini disebabkan kondisi diBursa relatif tenang dibandingkan dengan fase awal kehidupannya yang mengharuskan ia terus melakukan perjalanan spiritual. Belum lagi, ketikaiaharus berjuang melawan orang-orang yang memusuhinya. Kepindahannya dari daerah Balkan ke Bursa dianggapnya sebagai anugerah dan sebagai sebuah bentuk hukuman bagi orang-orang yang telah memusuhinya pada saat di Skopje. Karena

17 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191. Walaupun Muh}y al- Di>n ibn ‘Arabi> tidak pernah mendirikan tarekat seperti halnya

Qa>diriyah atau Sha>dhliyah, namun ada sebuah al iran atau tradisi yang disebut ‘Akbarian’ dalam tasawuf belakangan, nama .Akbarian’ berasal dari gelar yang disematkan untuk Ibn ‘Arabi> sebagai Syaikh al-Akbar, artinya sng guru besar. Tradisi ini terlihat dalam banyak tarekat sufi yang menganut ajarannya.karena itu, tidak ada satu tokoh intelektual yang lebih berpengaruh daripada Ibn ‘Arabi> selama delapan abad sejarah Islam. Sayyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth: Mereguk Sari Tasawuf (Bandung: Mizan, 2010), 258. Dunia tasawuf pada abad ke-14 dan

15 sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran syaikh al- akbar Ibn ‘Arabi>, dengan tokoh-tokoh penting dalam tasawuf sastra Persia, oelh karena itu tradisi Akbarian menjadi karakteristik yang paling mencolok dari lingkungann tasawuf pada masa itu. Lihat Farah Daftary , ‚Kehidupan Intelektual di Kalangan Pengikut Isma>‘i>li: Sebuah Tinjauan‛ dalam Farhad Daftary (ed.) Tradisi-tradisi Intelektual Islam (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), 219.

beberapa tahun setetelah kepindahannya ke Bursa, pada 10 H/ 1689 M Skopje jatuh ke tangan kekaisaran Hungaria. 18

Kemudian al-Bursawi> berangkat ke Siprus pada 1101 H/1690 M, untuk memenuhi panggilan dari gurunya ‘Uthma>n Fad}li>yang diasingkan di sanaakibat kritikannya kepada Wazir Agung. Adapun maksud ‘Uthma>n Fad}li>memanggil muridnya itu untuk menyerahkan posisinya karena usianya yang sudah uzur.Beberapa bulan setelah pertemuan keduanya, ‘Uthma>n Fad}li>meninggal dunia. Setelah itu, Bursawi>resmi menjadi murshid ‘a>mtarekat Jalwatiyyah

menggantikan gurunya. Ia menjadi syaikh tarekat yang ke 32. 19 Dengan mengemban pucuk pimpinan sebuah tarekat besar, memberikan tanggungjawab lebih bagial-Bursawi>. Disamping melakukan rutinitas seperti biasa, ia juga selalu menjaga kedekatan dengan Istana di Istanbul, dengan selalu menyumbangkan pemikiran-pemikirannya kepada pemerintah. Ia pernah dua kali diminta oleh Sultan agar bergabung ke dalam kampanye militer untuk memberikan semangat dan motivasi kepada para prajurit,dan memberikan kontribusi bagi kemenangan pasukan melalui doa restunya. Bursawi> pun mengikuti kampanye militer pertamanya melawan Austria pada 1108 H/1696 M dibawah komando Sultan Mustafa II, dan kampanye militer keduanya diikuti dua tahun setelahnyadibawah komando yang sama.

Reputasi al-Bursawi> sebagai seorang pemuka agama serta sebagai pewaris spiritual gurunya ‘Uthma>n Fad}li> semakin meningkat. Pengetahuan dan kefasihannya dalam ilmu agama membuat al-Bursawi> sangat dikagumi di Ottoman. Mengetahui hal tersebut, Mustafa II meminta al-Bursawi> untuk mendampinginya dalam beberapa kesempatan. Pernah suatu ketika, al- Bursawi>menulis sebuah renungan:

‚Bencana ini hanya sebagai hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab atasnya. Mereka telah menjadi penyebab kematian orang-orang yang tidak bersalah. Padahal, al- Qur’an dengan jelas mengatakan ‚Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu

(sebab) yang benar‛. 20

Bursawi> banyak menulis renungan-renungan dari ayat al- Qur’an.Mustafa II sangat menyukai renungan-renungan dari al-Bursawi>> tersebut, saat disela-sela waktu senggang, ia sering mendengarkan renungan dan

tawsiyahyang disampaikan olehal-Bursawi>. 21

18 Ismail Selim Ecirli, Isma>‘i>l Haqqi> Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis) (Malaysia: International Islamic

University, 2004), 9-10. 19 20 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191.

21 QS. Al- An’a>m (6): 151. Ada kejadian menarik tentang sebuah percakapan antara al-Bursawi> dan Wazir Agung

Mustafa II, percakapan ini terjadi pada suatu malam menjelang pertempuran. Seseorang

Peperangan panjang antara Turki ‘Uthmani>dan kekaisaran Austria serta sekutunya diakhiri dengan perjanjian Karlowitz yang ditandatangani pada 22 Januari 1699. 22 Kondisi ini dimanfaatkan al-Bursawi> untuk melaksanakan ibadah haji pada 1112 H/1700 M..Al-Bursawi>melakukan perjalanan ke Mekkah melalui Syiria, ia menetap di Mekkah selama tujuh bulan. 23 Sepulangnya dari

membawakan hadiah kepada Mustafa II sebuah kandang indah yang di daamnya terdapat seekor rusa yang terikat. Al-Bursawi> merasa kasihan melihat hewan yang terikat tersebut, dan meminta kepada Mustafa II untuk melepaskannya. Namun ‚Wazir Agung‛ Mustafa II ingin agar rusa tersebut tetap berada dalam kandangnya yang indah itu. Ia berencana untuk membangun kandang yang lebih indah di kebunnya. Mendengar jawaban tersebut, kemudian Bursawi> menjawab: ‚Wahai Wazirku, dengarkanlah, diperbolehkan membunuh hewan yang dagingnya bisa dikonsumsi, tetapi orang beriman selalu memandang sesuatu dengan sudut pandang berbeda. Aku ceritakan padamu sebuah kisah nyata: suatu ketika, ada seorang raja yang memiliki anak yang sedang sakit keras, para dokter yang telah memeriksa kondisinya merasa putus asa untuk menyembuhkan anak sang raja tersebut. Akhirnya sang raja pun memutuskan untuk memanggil seorang ahli ibadah, yang memiliki moralitas yang sangat tinggi, yang selalu mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Sesampainya di istana, ia melihat banyak kandang yang didalamnya terdapat burung-burung anggun yang bergerak dengan gelisah. Melihat hal tersebut, hatinya merasa sangat te rpukul, ia pun lantas berkata kepada sang raja, ‚wahai raja, jika anda ingin menyembuhkan anak anda yang sangat anda sayangi, maka anda harus memberikan kembali kebebasan kepada burung-burung yang telah anda belenggu. Bukakan sangkarnya! Biarkan hewan yang tidak bersalah ini terbang sesuai dengan kehendak mereka. Jika anda melakukannya maka apa yang anda inginkan akan terkabul.‛ Kemudian sang raja membuka semua sarang, dan semua burung-burung bertebangan.Belum pula burung terkahir terbang dari sangkarnya, putra raja sudah sembuh dari sakitnya.‛ Kemudian Bursawi> melanjutkan, ‚kisah ini mengajarkan kita bahwa memenjarakan orang yang tidak berdosa adalah sebuah kekejian. Pemerintah harus memperhatikan kebahagiaan dan kegembiraan rakyatnya, namun penjara kita penuh dengan orang- orang yang tidak bersalah.‛ Setelah mendengarkan kisah dari Bursawi>, Mustafa> II pun melepaskan rusa dari kandangnya. Lihat http://www.beshara.org/principles/talks-and- articles/lectures-and-talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html diakses pada 6 Januari 2015.

22 Pada musim semi 1683, Mehmet IV melakukan ekspedisi penyerangan ke Wina di bawah pimpinan Wazir Agung Kara Mustafa Pasha. Setelah mengepung Wina selama dua bulan,

pasukan ‘Uthamni> dikalahkan kekuatan Kristen. Kekalahan ini menyebabkan Mustafa Pasha kehilangan kepalanya dan Sultan Mehmet kehilangan singgasananya karena digulingkan pada 1687. Kekalahan ‘Uthmani di Wina mendorong kekuatan Kristen di Eropa untuk membentuk Liga Suci dan meluncurkan perang salib melawan bangsa Turki. Para duta besar dari Austria, Polandia, dan Venesia bertemu pada Maret 1684 dengan dukungan Paus Innosensius XI. Tahun berikutn ya mereka menyerang beberap daerah yang diduduki ‘Uthmani. Perang salib yang didukung Liga Suci adalah perang pertama dalam serangkaian perang antara kekuatan Eropa dengan bangsa Turki yang berlanjut hingga akhir kekaisaran ‘Uthmani dan mengakibatkan hilangnya beberapa daerah mereka dalam sejumlah perjanjian perdamaian yang mengikuti setiap akhir konflik ini. Perjanjian Karlowitz mengakhiri perang melawan Liga Suci, dengan kekuatan Kristen meraih kemenangan, baik di daratan maupun lautan. Dalam perjanjian ini Turki menyerahkan Hongaria kepada Austria dan Athena, dan Morea kepada pemerintahan Venesia. John Freely, The Grand Turk: Sultan Mehmet II – Conqueror of Constantinopel, Master of an Empire and Lord of Two Seas (Terj.) (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 302-303 23

Saat perjalanan pulang dari ziarah haji pertamanya,kafilah yang diikuti Bursawi> diserang oleh para bandit Arab. Bandit-bandit Badui masuk keperkemahan, kemudian merampas semua harta benda dan membunuh ratusan orang yang berada dalam kafilah tersebut termasuk al- Bursawi>. Mereka membiarkan al-Bursawi> mati diatas pasir dalam keadaan setengah berbusana,

Mekkah, ia singgah di Syiria untuk bertemu dengan Syeikh-Syeikh setempat, serta menyempatkan berdiskusi intelektual dengan mereka.

Al-Bursawi> menyelesaikan karya master piece-nya Ru>h} al-Baya>n pada 1117 H/1705 M.Proses penulisan tafsir tersebut memakan waktu selama kurang lebih dua puluh tahun.Mengingatal- Bursawi> pertama kali menulisannya pada 1096 H/1685 M.. Al-Bursawi> menunaikan ibadah haji keduanya sepuluh tahun setelah haji pertamnya yaitu pada 12 H/1710 M, setelah menunaikan haji ia berkunjung ke Mesir.Sebagaimana persinggahan pertamanya di Syiria, ia juga bertemu Syeikh-syeikh yang ada di Mesir. Kujungan tersebut diinisiasi oleh

pengikut Jalwatiyyah di sana. 24

Pada 1126 H/1714 M, al-Bursawi> pergi ke Tekirdag untuk melaksanakan perintah gurunya ‘Uthma>n Fad}li> yang menemuinya dalam mimpi. Dalam mimipinya itu, ‘Uthma>n meminta Bursawi> menikahi putrinya yang tinggal di Tekirdag. Pernikahan pun dilangsungkan pada tahun yang sama. Al- Bursawi> menetap di Tekirdag selama tiga tahun,sebelum akhirnya ia

memutuskan untuk kembali ke Bursa pada 1129 H/1717 M. 25 Setelah beberapa bulan di Bursa, al-Bursawi>memulai kembali perjalanannya.Kali ini tempat yang dituju adalah Damaskus.Di sana ia mengunjungi makam al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabi>. Karena ia baru saja menyelesaikan tafsirnya, al-Bursawi berniat untuk memperkenalkan tafsirnya itu di Damaskus.Dan yang tak kalah penting adalah untuk menambah jumlah pengikut tarekat Jalwatiyyah. Ia mengadakan kelas tafsir di masjid-masjid dan madrasah yang ada di Damaskus. Selain itu, ia juga terlibat dalam diskusi intelektual dengan beberapa syeikh setempat. Dari diskusi-diskusi yang diadakan, yang paling mengundang perhatian adalah diskusi antara dirinya dengan sufi terkenal ‘Abd al-Gha>ni> al-Nabulusi> (w.1143 H/1731 M). Dalam diskusi tersebut, mereka mendiskusikan tentang boleh tidaknya tembakau. Nabulusi> memperbolehkan tembakau dalam suratnya ‘Risa>la fi> al-tutun wa al- qahwa ’.Namun al-Bursawi> tidak sependapat dengannya,hal ini didasarkan pada mimpinya. Dalam mimpinya itu, ia melihat Ibn ‘Arabi> sedang mengajar di sebuah masjid di Damaskus. Kemudian Ibn ‘Arabi> mengatakan kepada jama ’ahnya termasuk Bursawi>, ‚Hal ini (sembari ia menunjuk pada daun

akan tetapi Tuhan masih melindungi nyawanya. Setelah beberapa saat tak sadarkan diri, al- Bursawi> terbangun dan melihati kondisi sekelilingnya sangat mengenaskan. Kemudian ia berjalan dengan tertatih seorang diri melewati gurun pasir yang luas. Saat itu ia berfikir bahwa ajalnya sudah dekat, kemudia ia meletakkan batu di atas kepalanya dan berdo’a memohon pertolongan kepada Tuhan. Do’anya dikabulkan dengan cara tak terduga, pada sepertiga malam ia ditolong oleh sekelompok orang yang melintasi gurun, dan mengantarnya sampai ke Damaskus. 24

Lihathttp://www.beshara.org/principles/talks-and-articles/lectures-and- talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html diakses pada 6 Januari 2015. 25 Ismail Selim Ecirli, Isma>‘i>l Haqqi> Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis), 11.

Tembakau), yang disebut sebagai daun biasa di kalangan orang awam.Tapi dalam pemahaman kami, daunini adalah kotor dan diharamkan‛. 26

Setelah tiga tahun tinggal di Damaskus, al-Bursawi> merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Turki, rasa rindu tersebut ia tuangkan dalam sebuah bait syair:

Saat tertampar angin sepoi-sepoi dari tanah impianku. Membawa berita dari taman mawar kepada nyanyian burung Bul- bul dalam jiwaku. Dalam simbolis dari Damaskus saya melihat sebagian dari hatiku (Ibn ‘Arabi>). Tapi harus berapa lama lagi bisa bertahan melawan gairah gila untuk Turkiku tercinta. 27

Pada 1132 H/1720 Mal-Bursawi>lebih memilih kembali ke Istabul dibanding ke Bursa, kemudian menetap disana selama tiga tahun. Tidak ada alasan khusus kenapa ia lebih memilih menetap di Istanbul. Tapi diperkirakan alasan ia menetap di Istanbul karena tanggung jawabnya sebagai pemimpin tarekat Jalwatiyyah.Pada masa kepemimpinan Bursawi>, untuk pertama kalinya dalam sejarah tarekat, pimpinan mereka tinggal di luar Istanbul yang merupakan tempat asal dan pusat perkembangan tarekat.Ketika ia masih di Bursa, ia cukup kesulitan untuk mengawasi perkembangan tarekat.Oleh karena itu, selama tiga tahun menetap di Istanbul iamanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyusun beberapa rencana sebelum ia meninggalkan dunia, mengingat

umurnya pada saat itu sudah hampir menginjak tujuh puluh tahun. 28 Pada tahun 1135 H/1723 M Bursawi kembali ke Bursa, saat itu ia telah

berumur tujuh puluh tiga tahun. Ia telah menghasilkan lebih dari seratus karya tulisan, dan telah menjadi pemimpin tertinggi salah satu tarekat sufi terbesr di daratan ‘Uthmani. Umurnya yang sudah uzur membuat Bursawi>menjadi lebih sering menyendiri. Al-Bursawi> menyumbangkan seluruh harta simpanannya untuk pembangunan masjid al-Muh}ammadi>. Nama masjid tersebut terinspirasi dari perjumapaan dirinya dalam mimpinya dengan Nabi Muhammad.Masjid itu masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. Selain itu, ia juga menghibahkan

seluruh bukunya ke perpustakaan yang ia dirikan di Bursa. 29

26 Ismail Selim Ecirli, Isma>‘i>l Haqqi> Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis), 12. 27

http://www.beshara.org/principles/talks-and-articles/lectures-and- talks/BurseviShortCRyan/BurseviLongCRyan.html. Diakses pada 6 Januari 2015. 28 Ismail Selim Ecirli, Isma>‘i>l Haqqi> Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis), 12-13. 29 Ismail Selim Ecirli, Isma>‘i>l Haqqi> Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis), 13.

Al-Bursawi> wafat pada 9 Dhu>lq a’dah 1137 H/20 Juli 1725 M di Bursa. 30 Iadimakamkan di halaman masjid yang telah dibangun di samping

rumahnya. Ia meninggal pada usia tujuh puluh lima tahun. Ia meninggalkan lebih dari dua ratus karya tulisan, dan sangat banyak murid yang telah

menyelesaikan sulu>k mereka dibawah bimbingannya. Warisan terbesar yang ditinggalkan al-Bursawi> adalah karya tafsirnya yang berjudul Ru>h} al-Baya>n. Banyak dari sarjana muslim yang meneliti tafsirnya itu. Salah satunya adalah Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni> yang secara khusus menulis kitab Tanwi>r al-Adhha>n min Tafsi>r Ru>h al-Baya>n yang berisi ringkasan tafsir Ru>h} al-Baya>n serta catatan darinya.

Mani>‘ Abd al-H{ali>m Mah}mu>d memberikan apresiasi yang tinggi atas tafsir yang ditulis al- Bursawi> ini, ia mengatakan: ‚Sesungguhnya tafsir karya Isma> ‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> amat populer. Tafsirnya disimak di berbagai belahan dunia. Ia sangat masyhur di tengah-tengah bangsa Arab sebagaimana juga masyhur di luar Arab. Banyak orang mengagumi dan memuliakannya‛. 31

Di samping karya tafsirnya, pemikiran tasawuf al-Bursawi> juga banyak diikuti oleh banyak orang di Turki. Masjid al-Muh}ammadi> yang dibangunnya

masih kokoh berdiri di kota Bursa hingga saat ini. Di Masjid inilah pengajian rutin tentang intisari Ru>h} al-Baya>n dan amaliyah-amaliyah tarekat Jalwatiyah masih belangsung hingga sekarang.

2. Setting Sosio-kultural Pada Masanya Kebudayaan Turki secara umum merupakan akulturasi beragam elemen

yang berbeda-beda. Dari orang Persia, yang telah berhubungan dengan bangsa Turki bahkan sebelum mereka bermigrasi ke Asia Barat, lahir corak-corak yang artistik, pola-pola yang indah, serta ide-ide politik yang mengangkat keagungan raja.Bangsa Arab merupakan guru bagi bangsa Turki, sebagaimana dulu bangsa Yunani menjadi guru bagi bangsa Romawi, dari bangsa Arablah orang Turki mendapatkan pengetahuan dan agama mereka.Lebih dari ribuan istilah keagamaan, ilmu pengetahuan, hukum dan sastra dipinjam dari bahasa Arab dan bahasa Persia, dan banyak di antara istilah itu yang masih digunakan di Turki walaupun baru-baru ini ada gerakan nasionalisasi bahasa. Kerajaan ‘Uthmanimemberikan kontribusi orisinal yang cukup berarti dalam tiga bidang berikut: ilmu ketatanegaraan, arsitektur dan puisi. 32

Kekaisaran ‘Uthmanipada umumnya lebih menekankan aspek militer dan mengembangkan prinsip dinasti dalam mengelola pemerintahannya. Tujuan utamnya tidak lain untuk menyejahterakan rakyatnya, dimana personifikasinya diwakili oleh sosok seorang Sultan. Masyarakatnya terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, seperti Arab, Syiria, Irak, Mesir, Berber, Kurdi, Armenia,

30 The Encyclopedia of Islam, Vol. IV, 191. 31 Mani>’ ‘Abd H{ali>m Mah}mu>d, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para

Ahli Tafsir, 170. 32 Philip K. Hitti, History of The Arabs: From The Earliest Times to The Present (Jakarta: Serambi Alam Semesta, 2006), 912-913.

Slavia, Yunani, Albania. Selain itu, bermacam keyakinan, bahasa dan cara hidup yang kesemuanya terbingkai dibawah kekuasan Ottoman. Bahkan masyarakat Turki pribumi sendiri termasuk ke dalam kelompok warga Negara biasa, dan bangsa Turki sendiri menjadi kelompok minoritas dalam lingkup

kekuasaaan mereka yang begitu luas. 33

Puncak kegemilangan ‘Uthmaniterjadi pada masa pemerintahan Sulayman, 34 ini ditandai dengan kemakmuran ‘Uthmaniserta perkembangan

tertinggi dalam sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi terjadi pada masanya. Para sultan ‘Uthmanimemelihara pemisahan sosial tradisional timur tengah antara kelas pemerintah yang sangat kecil, dengan fungsinya terbatas, yaitu menjaga ketertiban dan mengamankan sumber keuangan untuk memelihara dirinya dan memainkan perannya. Serta kelas warga ri’a>yah-kumpulan warga yang dilindungi- yang besar, diorganisasi menjadi komunitas otonom berdasarkan agama atau mata pencaharian yang mengurus aspek kehidupan

yang tidak dikendalikan oleh kelas pemerintah. 35

Rekrutmen kelas pemerintah terbuka bagi semua yang menyatakan dan menunjukan kesetiaan kepada sultan, dinasti, dan kekaisran. Selain itu, harus

mengetahui serta menjalankan praktik yang digunakan oleh kelompok- kelompok pembagian kelas pemerintah. Orang yang tidak memenuhi syarat dianggap sebagai anggota kelas warga, apapun asal-usul maupun agamanya. Oleh karena itu, anggota kelas pemerintah bisa merupakan anak-anak dari anggota tersebut, tetapi hanya jika mereka mempelajari dan mempraktikkan

semua kriteria yang dipersyaratkan. 36

Kelas pemerintah dibagi menjadi beberapa lembagayang memiliki fungsinya masing-masing. Lembaga kerajaan atau istana,terdiri atas dua cabang: layanan dalam Istana yang biasa disebut dengan Harem.Dan layanan luar istama ( biru>n),yang dipimpin oleh wazir agung (sadr-i azem), dibantu oleh pejabat lain yang memegang jabatan wazir dan gelar pasha yang bertugas sebagai dewan kerajaan. Merekamemiliki tugas mengawasi dan memimpin sistem ‘Uthmanidibawah perintahlangsung sultan. Lembaga pencatat ( kalemiye), Lembaga militer (seyfiye) mencakup para tentara (ehl-i seyf) yang terdiri dari;angkatan darat ( yempiceri), angkatan laut, pasukan artileri ( topciyan) dan angkatan lainnya. Selain itu, ada lembaga agama atau budaya ( ilmiye) yang dipimpin oleh seyhu>lislam dan beranggotakan para ulama (ehl-i ilm, ulema) yang terdiri tidak saja imam atau orang yang mengabdi di masjid,

34 Philip K. Hitti, History of The Arabs, 913. Sultan Sulayman memerintah kekaisaran ‘Uthmani selama 46 tahun (1520-1566),

selama pemerintahannya, sebagian besar wilayah Afrika Utara, Hungaria, Wina dapat ditaklukan. Dibawah komandonya, Kekuatan ‘Uthmaniterus melebarkan sayapnya dari Budapes di Danube ke Baghdad di Tigris, dan dari Crimea hingga air tejun pertama sungai Nil. Kerajaan ini menjadi keraj aan terbesar pada masa modern. Atas kegemilangannya ini Sulayman di juluki sebagai ‚Sang Penakluk‛. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, 909-910. 35

John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan 2002) Jilid VI, 131. 36 John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 131-132.

tetapi juga hakim dan mufti, serta orang lain dalam dunia budaya; orang-orang ini digelari effendi, demikian pula anggota kelas pencatat, yang juga harus

menjalani pelatihan agama. 37

Islam yang dipelihara oleh ulama ‘Uthmani, meskipun pada dasarnya merupakan Sunni Ortodoks dalam format resminya, sebenarnya adalah sistem sinkrotis. Sistem ini memadukan ritual dan keyakinan ortodoks dengan dua tradisi lain, yaitu praktik yang dibawa ke dalam Islam oleh tarekat sufi heterodoks yang dominan di kalangan pemerintahan pro- ’Uthmanidari Antolia, dan praktik penduduk Kristen pribumi, yang kebanyakan masuk Islam dan terserap ke dalam wadah

‘Uthmaniyang heterogen. 38

Seluruh fungsi masyarakat dan pemerintah yang tidak ditangani oleh kelas pemerintah didelegasikan kepada ri’a>yah yang membentuk ras warga. Untuk tujuan ini, ri’a>yah diorganisasi kedalam komunitas berdasarkan agama; yang terdiri dari cema’at(jama’ah dari sebuah agama), dan millet(agama). Dan juga ke dalam serikat pekerja ( esnaf), tarekat darwish (thari>qah) serta kelompok lain yang membentuk sublapisan masyarakat

39 ‘Uthmani.

Komunitas berdasar agama yang sering disebut millet, empat diantaranya didirikan oleh sultan Mehmed (berkuasa 1730-1754)setelah ia menjadikan Istanbul sebagai ibu kota Ottoman. Millet ortodoks Yunani dan Gregorian Armenia dipimpin oleh patriark dan memiliki staf pendeta yang diorganisasi dalam hirarki di bawah otoritas mereka. Selain etnis Yunani, millet ortodoks mencakup semua orang Slavia dan Rumania yang tinggal di Eropa Tenggara; millet Gregorian Armenia tidak hanya mencakup Armenia, tetapi juga orang Gipsi, Nestoria, Kopti, dan Kristen Timur lainnya. Millet Muslim dipimpin oleh Seyhulisla>m (Grand Syaikh) dan lembaga budaya, oleh karena itu, merupakan satu-satunya millet yang memiliki koneksi organik dengan kelas pemerintah. Mehmed II, dan penggantinya Bayezid II, mencoba mengorganisasi millet Yahudi, seperti millet Kristen, dengan menunjuk Moses Capsali, rabi besar Istanbul dibawah kaum Bizantium yang terakhir, sebagai kepada seluruh

rabi dan semua orang Yahudi di seluruh Kesultanan. 40

Dalam masyarakat ‘Uthmanitradisional, tidak ada pemerintahan kota. Baik rabi, uskup maupun imam, pemimpin agama di setiap distrik atau desa menjalankan semua fungsi sekulat yang tidak dilakukan oleh kelas pemerintah. Mereka mendasarkan tugas pada hukum agama masing-masing, sebagaimana ditafsirkan oleh dewan agama dan pengadilan masing-masing, serta menjalankan urusan mereka dalam bahasa masing-masing. Oleh karena itu, mereka mengorganisasi dan mengoprasikan sekolah, panti wreda, dan dapur untuk kaum miskin. Mereka mengartur untuk mengaspal, memelihara dan menerangi jalan. Mereka mengorganisai keamanan dan polisi. Para pemimpin

38 John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 132. 39 John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 132. 40 John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 133. John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 133.

millet-millet kota kadang-kadang berkumpul untuk fungsi yang memerlukan kerja sama umum, seperti perayaan festival tertentu atau mengorganisai melawan serangan, wabah, atau kebakaran; tetapi pada umumnya mereka hidup mandiri dengan hanya sedikit masukan dari anggota kelas pemerintah atau

anggota millet lainnya. 41 Tujuan besar dari sistem millet adalah mencegah konflik antaragama, yang telah menghantui kehidupan di Timur Tengah dan

Eropa Tenggara pada masa yang kemudian. 42

3. Pemikiran Keagamaannya Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi> untuk pertama kalinya bertemu dengan

gurunya ‘Uthma>n Fad}li> salah satu pembesar tarekat Jalwatiyyah di Aydos. Pemikiran-pemikiran dari gurunya dan tarekat Jalwatiyyah sangat membentuk kepribadian dan pola pikir al-Bursawi>.Kemudian pada perkembangan selanjutnya ia ikut bergabung bahkan didaulat sebagai murshid dari tarekat Jalwatiyyah di Turki. Pemikiran-pemikirannya tersebut dapat diketahui dari kitab tafsir dan buku-buku karangannya yang dapat dibaca oleh siapapun. Dari beberapa karya al-Bursawi>, pemikiran keagamaannya dapat dikategorikan sejalan dengan gurunya yang tidak lain sebagai salah satu pembesar tarekat Jalwatiyyah.Faktor gurunya lah yang sangat dominan memberi pengaruh pada pemikirannya. Adapun pola pemikiran al-Bursawi>terkaitmazhab teologi dan mazhab fiqih dapat dilihat daripenafsirannya yang mengindikasikan kecenderungan mazhab teologi dan fiqihnya.

a. Pemikiran TeologiIsma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> Salah satu masalah yang menjadi perdebatan sengit antar aliran teologi adalah permasalahan terkait kebebasan manusia. Pemikiran Bursawi> berkaitan dengan permasalahn tersbut dapat dilihat pada penafsirannyaterhadap ayat ke-

29 surat al-Kahfi> [18]:

‚Katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir maka biarkanlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu nerka yang gejolaknya mengepung mereka..‛ (Q.S. al-Kahfi>[18]: 29.)

Dalam ayat ini, al-Bursawi> menjelaskan bahwa manusia diberikan kebebasan untuk memilihapa yang menjadi keinginannya. Apakah jalan keselamatan yang akan ia tempuh, atau jalan kehancuran yang ia tuju. Semua itu tergantung pada ikhtiar manusia sendiri. Al-Bursawi> melanjutkan, Allah memberikan punishmentberupa api neraka yang menyala-nyalabagi orang yang

42 John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 133-134. John L. Esposito, Ensklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid VI, 134.

kufur dan memberikan 43 rewardberupa surga kepada orang yang beriman. Jika melihat penafsiran Bursawi> terkait ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa

manusialah yang menentukan hidupnya sendiri, sehingga manusia harus siap untuk menanggung semua resiko dari semua yang telah dilakukannya. Kebebasan memilih timbul dari diri manusia, bukan Tuhan yang mengarahkan.

Pandangan al-Bursawi> di atas, terdapat keselarasan dengan pemahaman al-Qadariyah, 44 sebagaimana yang diungkapkan Harun Nasution yang

menjelaskan ajaran al-Qadariyah, bahwa manusia berkuasa atas perbuatan- perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Harun Nasution melanjutkan, manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat 45 berkuasa atas segala perbuatannya. Dengan demikian, segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Oleh sebab ituia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat. Hal ini didasarkan pada pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan

balasannya sesuai dengan tindakannya. 46 Walaupun penafsiran al-Bursawi> tentang ayat di atas cenderung ke

aliran Qadariyah, namun ia tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ia sebagai pengikut aliran tersebut. Hal ini menjadi indikator bahwa ia tidak

43 Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah ‘Uthma>niyah, 1928). Jilid VII, 340-341. 44

Al-Qadariyah secara etomologi berasal dari bahasa Arab, yaitu ‚qadara‛ yang berarti kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Allah swt. Aliran ini berpendapat bahwa setiap manusia adalah pencipta semua perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan pada kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Singkatnya, aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melakukan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), 70. Lihat juga Abudin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 36. Sejarah lahirnya aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jawhani dan Ghilan al-Dimashq sekitar tahun 70 H/ 689 M. Lihat AB. Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 68. Jika ditinjau dari segi politik, aliran Qadariyah sebagai oposisi politik pada masa Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah ini tertampung ke dalam Mu’tazilah. Lihat Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 74. 45

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), 31. 46 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, 73.

mempermasalahkan antara al-Qadariyah dan al-Jabariyah. 47 Penafsiran ayat yang berkaitan dengan af’a>l al-‘Iba>d lainnya dapat dilihat pada Q.S. Al-S{affa>t

[37]ayat 96:

‚Dan Allah lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat‛

Al-Bursawi> menjelaskan bahwa Allah swt. yang menciptakan makhluk dan Dialah Maha Pencipta yang berhak untuk disembah tanpa menyekutukan dengan selain-Nya. Seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia berada dibawah determenasi dan kehendak Allah dari segi penciptaan.Sebabpada dasarnya manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak (

kasb). 48 Jika diperhatikan, penafsiran al-Bursawi>cendenrung mengarah pada paham al-

Asha>’irah, karena dalam penafsirannya itu ia menyebutkan bahwa apa yang dijelaskannya sejalan dengan pandanagan Ahl Sunnah wa al- Jama>’ah walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ia termasuk dalam kelompok al-

49 atau Maturidiyah. Asha>’irah 50 Dalam pemahaman Ahl Sunnah wa al- Jama>’ah, naluri dalam

berkehendak dan menentukan suatu hal diciptakan oleh Allah swt., sedangkan realisasinya dengan serangkaian tindakan dan tingkah laku merupakan perbuatan yang dinisbatkan kepada manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lebih dari pengaruh naluri umum yang diciptakan Allah kepada mansia. Jika kita memahami hal ini, maka tidak tepat jika dikatakan bahwa hasil yang

47 Menurut Harun Nasution, Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qad}a> dan Qadar Allah. Maksudnya adalah

setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Bahkan, ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah aliran dimana manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. Lihat Harun

Nasution, 48 Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 31.

Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid VII, 471.

49 Al- Asha>’irah adalah sekelompok orang pengikut Abu>H{asan ‘Ali> ibn Isma>‘i>l al- Ash’ari>. Abu>H{asan al-Ash’ari> lahir di Basrah pada 873 M dan wafat di Baghdad pada 935 M.

Pada mulanya Abu> H{asan al- Ash’ari> adalah penganut Mu’tazilah, ia adalah satu murid al-Jubba>‘i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah. Ketika berusia 40 tahun, ia memutuskan untuk keluar dan membuat aliran teologi sendiri yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Al- Asha>’irah masuk kedalam golongan Ahl Sunnah wa al-Jama>’ah bersama sekte Maturidiyah. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 64-65.

50 Maturidiyah adalah mazhab bagi orang-orang yang mengikuti jejak Muhammad ibn Muhammad ibn Mh}mu>d atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu> Mans}u>r al-Maturidi. Ia

ldilahirkan pada 853 M di desa Matrud, Samarkand. Dan wafat pada 944 M di Samarkand. Ia pengikut mazhab Hanafiyah dan pernah belajar kepada Imam Abu Hanifah. Al-Maturidi hidup di suatu masa dimana perdebatan antara para pengikut faham Mu’tazilah dengan Ash’ariyah. Abd al- Mun’im al-H{afni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Dunia, 530-531.

dimunculkan dari naluri umum berupa realisasi tindakan diciptakan atas kuasa Allah, dan hal ini terpisah dengan naluri umum yakni daya untuk bebas berkehendak, karena antara keduanya saling berhubungan.

Dari pembahasan mengenai af’a>l al’iba>d terdapat tiga poin yang dapat disimpulkan: 51 pertama,Allah telah memberikan kepada manusia sebuah naluri yang disebut keinginan, kehendak, kebebasan menentukan, atau kemampuan dalam mengambil suatu keputusan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt.yang menciptakan naluri tersebut pada diri setiap manusia. Kedua, karena Allah telah memberikan naluri tersebut kepada manusia, maka manusia menjadi bebas dalam berkeinginan, berkehendak dan juga memiliki daya dalam menentukan suatu pilihan. Ketiga, hasil dan pengaruh yang muncul dari unsur-unsur dan naluri umum yang telah diciptakan dan diberikan Allah kepada hamba-Nya terlihat pada tindakan dan praktek khusus berupa tingkah laku manusia. Ketiga poin tersebut merupakan pemahaman yang disepakati oleh ulama Ahl Sunnah waal-Jama >’ah yang tergabung didalamnya al-Asha>’irah dan Maturidiyah. Dari sini dapat dipahami bahwa naluri dalam berkehendak yang dirasakan oleh manusia merupakan nikmat yang diciptakan dan diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, sedangkan realisasi berupa tindakan dengan serangkaian praktek dan tingkah laku khusus muncul dari kasb manusia itu sendiri.

Indikator lain dalam mengetahui pemikiran al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsirannya terhadap surat al-Qiya>mah[75] ayat 22-23:

‚Wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat..‛

Menurut al- Bursawi>, yang dimaksud dengan ‚na>z}irah‛ adalah sifat kebaikan yang ada dalam diri seorang mukmin yang berdampak pada pemberian nikmat yang paling besar yang diberikan Allah pada hari kiamat. Nikmat yang hanya diberikan kepada orang mukmin yang selalu menjaga keikhlasan di dunia. Yaitu nikmat ‚na>z{irah‛ terbukanya mata dan penglihatan untuk melihat Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan ahli zahir. Sedangkan menurut ahli batin, penglihatan tersebut tidak terbatas pada penglihatan mata, karena Allah terbebas dari sifat material. Sehingga penglihatan secara batin mereposisi penglihatan zahir, yaitu melihat seluruh bagian obyek penglihatan, sebagaimana

penglihatan dengan panca indera di dunia dan akhirat dengan ruh dan jasad. 52 Jika diperhatikan, penafsiran al-Bursawi> sejalan dengan pemahaman al- Asha> ’irah yang mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Mereka mengindikasikan kemungkinan terjadinya "melihat Tuhan" dengan menjadikan dalil rasional sebagai sandaran.Mereka berargumen bahwa Allah swt. itu wuju>d,

51 Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, Al-Insan Musayyar am Mukhayyar (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997). 53-55. 52

Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid X, 250.

setiap yang wujud dapat terlihat. Maka Allah Swt. dapat dilihat. 53 Walaupun penafsiran Bursawi> bertolak belakang dengan pandangan sekte Mu’tazilah, yang

mengatakan bahwa ketika meyakini kemungkinan melihat Tuhan, maka hal tersebut termasuk kedalam perilaku tajassum (antropomorfisme) terhadap

Tuhan. 54 Akan tetapi al-Bursawi> tidak secara eksplisit mengatakan bawa paham Mu’tazilah atau Asya>’irah lah yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam tafsirnya.

b. Pemikiran Fiqih Adapun untuk mengetahui pemikiran fiqih atau kecenderungan mazhab fiqih al-Bursawi>, dapat dilihat dari penafsirannya terhadap ayat-ayat hukum, seperti pada surat al-Nisa>[4]ayat 43:

‚Jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah seorang dari kalian datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian ‚menyentuh‛ perempuan, kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah kalian dengan debu yang suci. .‛ (Q.S. al-Nisa>’[4]: 43).

Menurut al-Bursawi>, yang dimaksud dengan kata ‚la>mastum al-nisa>‛ adalah berhubungan badan, sakit, dalam keadaan safar,

h}adathdan najis. 55 Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ‚lamastum al-nisa>‛. Menurut

‘Ali>, Ibn ‘Abba>s dan H}asa>n, yang dimaksud dengan kata tersebut adalah berhubungan badan, dan ini merupakan pendapat yang dianut mazhab Abu> H{ani>fah. Kata ini merupakan kinayah dari jima> ’, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn ‘Abba>s, sebagaimanalamspernah dijelaskan menggunakan makna kinayah sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah[2]: 237:

53 Lihat ‘Abdurrahma>n ibn Ah}mad al-I<ji>, Al-Mawa>qif fi> 'Ilm Al-Kala>m (Kairo: Maktabah Al-Mutanabbi, t.t), 302. Secara garis besar, sekte-sekte teologi Islam terbagi ke dalam

dua aliran dalam merespon konsep "melihat Tuhan". Kelompok Ahl Sunnah wa al- Jama>’ah yang diwakili oleh Al- Asha>’irah dan Maturidiyah meyakini bahwa melihat Tuhan itu mungkin, sedangkan Mu’tazilah meyakini bahwa hal tersebut adalah memustahil. Kedua kelompok tersebut sama-sama berpijak pada dalil rasional dan tekstual. Dari kelompok pertama kemudian memunculkan sempalan-sempalan baru terkait apakah Tuhan yang bisa dilihat itu terjadi di dunia atau akhirat, apakah dengan memakai indera penglihatan mata atau hati. Unuk lebih detailnya lihat Muh}ammad S{a>lih} Al-Zarqa>n, Fakhruddi>n Al-Ra>zi> wa Ara>'uhu al-Kala>miyah wa al- Falsa>fiyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 271. 54

Machasin, Al- Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r: Mutasha>bih al-Qur’a>n; Dalih Rasionalitas al- Qur’an (Yogyakarta: LkiS, 2000), 143-144. 55 Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid II, 213.

‚Dan Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh (melakukan hubungan badan) dengan mereka …‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 237).

Serta dalam Q.S. al-Muja>dalah[58]: 3.

‚Dan orang-orang yang men-z}ihar-kan istrinya, kemudian mereka berbalik dari apa yang mereka ucapkan (bahwa istrinya itu haram kepadanya), meka hendaklah (suami itu) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum mereka berdua saling bersentuhan (berhubungan badan)..‛ (Q.S. Al-Mujadalah[58]: 3)

Sedangkan menurut Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Umar, al-Sha’bi>, yang dimaksud dengan kata tersebut adalah menyentuh perempuan dengan tangan, dan ini

merupakan pendapat dari mazhab Syafi’i. 56 Dari penafsiran al-Bursawi> tentang kata ‚la>mastum al-nisa>‛, tampak sekali penafsirannya tersebut lebih cenderung

pada pendapat yang diyakini mazhab H{anafiyah. Contoh penafsiran al-Bursawi> lainnya yang berkaitan tentang masalah haid adalah QS. Al-Baqarah [2]: 222.

‚Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‚Haidh itu adalah suatu kotoran‛. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang- orang yang menyucikan diri.‛ (QS. al-Baqarah: 222).

Ayat di atas berkaitan dengan waktu suci wanita dari masa haidnya, al-Bursawi> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‚wa la> taqra bu>hunna‛ dalam ayat tersebut adalah larangan mendekati wanita untuk melakukan hubungan intim, sampai mereka suci atau sampai terhenti aliran darah haidnya. Kemudian al-Bursawi> mengutip pendapat Abu>H{{ani>fah yang mengatakan, apabila seorang wanita telah selesai dari masa haidnya, maka ia

56 Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m min al- Qur’a>n ( Beirut: Da>r al- Qur’a>n al-Kari>m, 1999), Jilid I, 347-348.

boleh dicampuri. Bagi seorang wanita yang masa haidnya sepuluh hari, dan haid selesai kurang dari sepuluh hari, maka ia diwajibkan mandi sebelum

melakukan hubungan intim, begitupun ketika ia menunaikan shalat. 57 Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud t}ahu>r yang terdapat dalam ayat tersebut. Menurut Hanafiyah, maksud dalam kata tersebut adalah terhentinya aliran darah haid, apabila terhentinya darah haid maka dibolehkan bagi suami untuk berhubungan badan dengannya sebelum melakakukan mandi besar, hal ini berlaku jika terhentinya darah haid terjadi pada wanita yang umumnya memiliki masa haid sepuluh hari, maka boleh bagi suami untuk berhubungan dengannya sebelum wanita tersebut mandi besar. Namun jika darah terhenti pada sebelum hari kesepuluh, maka tidak diperbolehkan untuk bersetubuh sampai wanita tersebut melakukan mandi besar. Berbeda dengan jumhur (Ma>liki>, Shafi’i> dan Ah}mad) yang berpendapat bahwa, kondisi suci yang diperbolehkan untuk berhubungan badan adalah setelah ia melakukan mandi dengan air seperti halnya mandi junub. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan berhubungan badan sampai terhentinya haid dan setelah melakukan mandi besar. Sedangkan menurut T{a>wus dan Muja>hid, jika ingin melakukan hubungan badan cukup dengan membasuh kemaluannya, dan

berwudhu ketika ingin melaksanakan solat. 58 Adapun mengenai lamanya waktu haid seorang wanita, para ulama fiqih

memiliki pandangan berbeda. Menurut mazhab Hanafi, paling sedikitnya masa haid adalah tiga hari, sedangkan paling lama adalah sepuluh hari. Jika darah haid tidak keluar selama tiga hari, atau darah yang keluar lebih dari sepuluh hari, maka ia bukanlah darah haid. Sedangkan menurut mazhab Hambali dan syafi’i, paling sedikitnya masa haid adalah satu hari satu malam, dan paling lama lima belas hari. Lain pula dengan mazhab Maliki yang berpendapat bahwa masa haid paling sedikitlima belas hari bagi wanita yang tidak hamil, dan masa paling lamanya tidak ada batas. Adapun mengenai batasan masa suci haid, semua ulama sepakat tidak ada batasan dalam masa sucinya, di mana masa suci tersebut dipisah dengan dua kali haid. Sedangkan menurut Hanafi, Syafi’i paling sedikitnya tiga belas hari, dan menurut Maliki paling sedikitnya lima belas hari. Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadas. Mereka juga sepakat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada

hari-hari haid. 59 Dari penjelasan al-Bursawi mengenai makna ‚wa la> taqrabu>hunna‛ di atas, terlihat sekali bahwa penafsirannya memiliki kecondongan dengan pendapat mazhab Abu>H{{ani>fah, karena dalam tafsirnya, ia tidak menyebutkan pendapat lain selain pendapat dari mazhab Abu> H{{ani>fah.

58 Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 246-247.

59 M uh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m min al- Qur’a>n, Jilid I, 222-223. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999),

35- 36. Lihat juga Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m min al- Qur’a>n, Jilid I, 212.

Setelah melihat beberapa contoh penafsiran al-Bursawi> mengenai ayat al- Qur’an yang berkaitan dengan tema-tema Kalam dan Fiqih, terlihat kecondongan al- Bursawi> kepada Ash’ariyah dalam permasalahan Teologi, dan mazhab Abu>H{ani>fah dalam Mazhab Fiqih. Walaupun al-Bursawi> tidak secara eksplisit menyebutkan keberpihakannya pada salah satu mazhab terkait permasalahan Teologi dan Fiqih.

4. Karya-karyanIsma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi> adalah salah satu sufi besar abad tujuh belas di

Turki Ottoman.Selama hidupnya, al-Bursawi>banyak menghasilkan karya tulis. Hal ini tidaklah mengherankan, karena setengah abad lebih masa hidupnya ia dedikasikan untuk menuangkan pemikirannya yang berkaitan dengan tafsir,

hadis, fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sastra kedalam sebuah tulisan. 60 Sebagian besar karya-karyaal-Bursawi> ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan

Turki, dan beberapa lainnya menggunakan bahasa Persia. Keseleluruhan karyanya tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa yang sederhana serta mudah difahami.

Lebih dari seratus karya tulis yang dihasilkan oleh al-Bursawi>. Dari seluruh karya tersebut, terdapat bebapa karya yang hilang, danada beberapa naskah yang utuhtetapi tulisnnya tidak dapat terbaca. Berkaitan dengan kajianmengenai karya al-Bursawi>, yang pertama kali mengklasifikasikannya

kedalam beberapa kategori adalah Mehmet Ali Ayni>. 61 Ia memberikan informasi terkait semua karya Isma>‘i>lH{aqqi>al-Bursawi> yang diklasifikasikan sesuai dengan judul dan konten yang berkaitan dengantafsir, hadis fikih, ilmu kalam yang ia klasifikasikan sebagai berikut:

a. 62 Tafsir

1. Ru>h} al-Baya>n

8. Ta’li>k ‘ala> afa>’il Tafsi>r al-Bayd}a>wi>

2. Sharh} ‘ala> Tafsi>r al-Juz al-Akhi>r li (Sharh} Tafsi>r al-Fa>tih}ah}) al-Qa>d}I al-Bayd}a>wi>

9. Kita>b al-Mir’a>t li H{aqa>’iq Ba’d al-

3. Majmu>’at al-Tafa>si>r Ah}a>di>th wa al-A<ya>t

4. Lawa>’ih} Tata’allak bi Ba’d al-A<ya>t

10. Majmu>’at al-A<ya>t al-Muntah}ab, wa al-Ah{a>di>th

11. Tafsi>r Su>rat al-Fa>tih}ah},

5. Tafsi>r A<man al-Rasu>l

12. Tafsi>r Su>rat al-‘As}r,

6. Tafsi>r Su>rat al-Zalzalah

13. Al-Kalimah

7. Sharh} Fi>ma> bassa fi>hima> min al-

14. Sharh}

Ya> Ayyuhanna>s

60 Adem Apak, “İsmail Hakkı Bursevi’nin Rühü’l-Beyan’da İslam Tarihi İlk Dönem Hadiseleri ve Siyasi- İtikadi Fırkalar Hakkıdaki Görüşleri”, T.C. Uludağ Üniversiti İlahiyat

Fakültesi , Vol.

2 (2002), 147. http://dergipark.ulakbim.gov.tr/uluifd/article/view/5000018020/5000018310. Diakses pada 25 Januari 2015.

No.

61 Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar(Tesıs) (Sakarya Turkey: Sakarya Üniversitesi, 2008), 12. 62

Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 13.

Dabbah U’budu>Rabbakum.

b. Hadis: 63

1. Sharh} Nuh}bat al-Fikar

5. Sharh} al-H{adi>th al-Arba’i>n

2. Majmu>’at al-Mutafarriqah

6. Kanz al-Mah}fi>

3. Sharh} al-H{adi>th al-Mu’min Mir’at

7. Sharh} al-H{adi>th Iz}a> Tahayyartum fi> al- Mu’min

al- Umu>r fa ‘Sta’inu> min Ahl al-Qubu>r

4. Al-Arba‘u>n H{adi>than

c. Ilmu Kala>m: 64

1. Sharh} al-Kaba>’ir (Rumu>z al-Kunu>z) 5. Al-Ikhtiya>ra>t

2. Sharh} Shu’b al-Ima>n

6. Risa>lat al-Ja>mi’ li> al-Masa>’il al-

3. Kita>b al-Khita>b

Na>fi’ah

4. Fara>h} al-Ru>h} (Sharh} al-

7. Kita>b al-Naja>t

Muh}ammaddiyah)

8. Tuh}f al-H{ali>liyyah

d. Tasawuf: 65

1. Tama>m al-Fayz fi> Ba>b al-Rija>l

18. Kita>b al-Silsilah al-Jalwatiyyah

2. Sharh} al-Us}u>l al-‘Asharah

19. Sharh} al-Asma>’ al-Sab’ah

3. Risa>lat al-Khaliliyah

20. Risa>lat fi> Baya>n al-Khalwah wa al-

4. Kita>b al-H{ujjah al-Ba>lighah

Jalwah

5. Maji>’ al-Bashi>r li Ajl al-Tabshi>r

21. Kita>b al-Sajf

6. Majmu>’ah al-Asra>r, Risa>lat al-Nafas 22. Fasi>lah al-Mara>m al-Rah}ma>n

23. Risa>lat Fardiyah

7. Sharh} Salafa>t Ibn Mashi}sh

24. Kita>b Zubda>t al-Maku>l

8. Kita>b al-Fas}l fi> al-Asra>r

25. Risa>lat al-Sham’iyyah

9. Risa>lat al-Tah}ajji> fi> al-Tah}ajji>

26. H{aqa>’iq al-H{uru>f

10. Asra>r al-H{uru>f

27. Sulu>k al-Mu>lu>k

11. Risa>lat al-‘Uma>riyah

28. Risa>lat Ma’na> Sharf Ism Muh{ammad

12. Tuh}fah Rajabiyyah

29. Tuh}fah Isma>‘i>liyyah

13. Tuh}fah Haliyyah

30. Tuh}fah ‘Ata>’iyyah

14. Kita>b al-Sulu>k

31. Tuh}fah Bah}riyyah

15. Sharh} Abya>t Fus}us}

32. Risa>lat H{usayniyah

16. Tuh}fah Hasakiyyah

33. Risa>latBah}riyyah

17. Tuh}fah ‘Umariyyah

a. Syair Sufi dan Komentar-Komentar Isma>‘i>l H{aqqi>: 66

63 İsmail Güle, “İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhü’l-Mesnevi Sinde Geçen Hadisler Üzerine Bir Değerlendirme”, Mevlana Araştırmaları Dergisi: The Journal of Rumi Studies, Vol. I, No. I

(2007), 123-124. http://turkoloji.cu.edu.tr/makale_sistem/tumview.php?id=2870. Diakses pada 30 Januari 2015. 64

Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 13.

65 Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 14.

1. Farah} al-Ru>h} (Sharh} al-

7. Ru>h} al-Mas}navi> (Sharh} al-Mas}nafi>) Muh}ammadiyyah)

8. Sharh} Nazm al-Sulu>k

2. Sharh} Pendi Atta>r

9. Sharh} Abya>t Ha>j Bayra>m Fali>

3. Kita>b al-Anfar

10. Sharh} Nazm Ah}mad

4. Sharh} Abya>t Yunu>s Emre

11. Sharh} Nazm Khayrati>

5. Sharh} Abya>t H{asan al-Qa>diri>

12. As’ilat al-S{ah}afiyyah wa Ajibat al-

6. As’ilah Sheikh Mis}ri> wa Ajiba>t

Haqqi>

Isma>‘i>l Haqqi>

b. Sajak dan Puisi al-Bursawi>: 67

1. Diwa>n Isma>‘i>l Haqqi> (Futu>h}a>t

3. Min Ba’di ma> Nazamah al-Faqi>r al- Buru>sawiyyah)

Shaikh Isma>‘i>l H{aqqi> bi al-Lisa>n al-

2. Risa>lat al-Mi’ra>jiyyah Turk min Awwal Sanah 1117 Hijriyyah

c. Kumpulan Ceramah dan Khutbah al-Bursawi>: 68

1. Maja>lis al-Wa’z} wa al-Taz}ki>r

3. Maja>lis al-Muntakhab

2. Kita>b al-Khut}aba>

d. 69 Karya-Karya al-Bursawi> Lainnya:

1. Sharh} Muqaddimat al-Jazari>

8. Kita>b ak-Furu>q

2. Sharh} Risa>lah fi> al-A<da>b al-

9. Muhbat al-Lat}a>’if Muna>z}ar li Tashkupri>za>dah

10. Risa>lat Ayyuh al-Bulbul

3. Wa>rida>t H{aqqiyah

11. Majmu>’at al-Khuta>b wa al-Wa>rida>t

4. Majmu>’ah

12. Kita>b al-Dhikr wa> al-Sharaf

5. Kita>b al-D{ura>r al-‘Irfa>niyyah

13. Kita>b Naqd al-H{a>l

6. Kita>b al-Haqqi> al-S{ari>h} wa al-Kashf 14. Kita>b Muz}il al-Ah}za>n al-S{ah}i>h}

7. Mutafarriqa>t Shaikh H{aqqi>

Menurut Khayriddi>n al-Zirikli>, karya- karya Isma>‘i>l H{aaqi> al-Bursawi> yang diterbitkan ke dalam bahasa Arab adalah tafsir Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’an, al-Risa>lah al-Khaliliyah dan al-Arba‘u>n H{adi>than. Adapun karya-karya

al-Bursawi> lain menurutnya masih berbentuk naskah dan belum diterbitkan. 70 Kemudian Fatih Oruçdalam tesisnya menyebutkan bahwa lebih dari seratus karya yang telah ditulis al-Bursawi>, hanya saja terdapat bebapa karyanya yang

67 Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 14. Fatih Oruç, 68 Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 15.

69 İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 15. Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar, 15. 70 Khayriddi>n al-Zirkili>, al- A‘la>m: Qa>mu>s Tara>jim (Beirut: Da>r al-‘Ilm li> al-Mala>yi>n,

2002), Jilid I, 313.

hilangdan ada sebagian dari naskah yang utuh tetapi tulisnnya tidak dapat terbaca lagi. 71

B. Tafsir Ru>h} al-Baya>n

1. Alasan Pemilihan Nama Kitab tafsir karya Isma>‘i>l Haqqi> al-Bursawi> ini dinamakan Ru>h} al- Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia, kitab tafsir ini berarti ‚Spirit Penjelasan dalam Tafsir al-Qur’an‛. Adapun alasan pemilihan nama kitab tidak dikemukakan oleh al-Bursawi>di dalam muqaddimah tafsirnya. Namun, besar kemungkinan alasan pemilihan nama Ru>h} al-Baya>n didasarkan pada banyaknyapenjelasan para sufi yang ia tuangkan dengan kalimat sangat indah ketika menafsirkan ayat al- Qur’an. Alasan selanjutnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi> bahwa tafsir ini memuat isyarat-isyarat halus tentang sulu>k yang diuraikan sangat dalam oleh al-Bursawi>dengan tetap menggunakan manhaj dila>lah yang mengacu

pada teks al- Qur’an. Selain itu, al-Bursawi>juga banyak menukil perkataan para ulama serta penyair Turki dan Persia untuk memperdalam kajian tafsirnya. 72 Alasan-alasan tersebut dapat kiranya dijadikan dasar dari pemilihan nama tafsir ini.

Kitab tafsir ini terdiri dari sepuluh jilid besar, dan termasuk dalam karya monumental Isma>‘i>l H{{aqqi>al-Bursawi> yang mengindikasikannya sebagai seorang mufassir dan seorang sufi besar yang berupaya untuk menggali kandungan makna al- Qur’an yang sangat luas. Adapun kitab tafsir yang dijadikan sumber primer dalam penelitian ini merupakan terbitan Mat }bu’ah ‘Uthma>niyah, yang diterbitkan di Istanbul tahun 1928. Dalam jilid pertama kitab ini dilampirkan pengantar penerbit oleh Muh}ammad S{a>’im ibn ‘Uthma>n Beik yang terdiri dari satu halaman. 73 Tafsir ini merupakan tafsir sufi dengan

penjelasan yang sangat baik, kaya akan manfaat dan tafsir ini juga merupakan pedoman bagi dakwahnya.

2. Motivasi Penulisan Proses penyusunan tafsir ini memakan waktu selama dua puluh tahun. Mengingat al-Bursawi> pertama kali menulisnya pada 1096 H/ 1685 M dan menyelesaikannya padahari Kamis Tanggal 14 Jumadil Ula 1117 H/ 1705 M. Penulisan tafsir ini bermula ketika al-Bursawi> meminta petuah dari salah satu gurunya syeikh Ibn ‘Affa>n Nazi>l al-Konstanti>ni>, kemudian gurunya menyarankan ia untuk pindah ke Bursa. Sesampainya di Bursa, al-Bursawi> tidak mendapati pengajaran di Masjid J ami‘, terutama pengajaran mengenai al- Qur’an. Kemudian muncul inisiatif untuk mengisi ta’lim perihal tafsir al-Qur’an di Masjid J ami’ tersebut. Di rumah yang ditinggalinya terdapat lembaran-

72 Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade Olayar,12. 73 Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, Al-Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum, 476. Lihat Isma>‘i>l H{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n (Istanbul: Mat}bu’ah

‘Uthma>niyah, 1928).

lembaran tafsir dan juga beberapa disiplin ilmu. Lembaran-lembaran tafsir tersebut memuat tidak lebih banyak dari penjelasan terhadap surat A<li‘Imra>n saja. Setelah al-Bursawi> membaca lembaran-lembaran tafsir tersebut, ia merasa masih terdapat kekurangan dalam penjelasan ayat- ayat Qur’an. Hal itumemunculkanhasrat dalam dirinya untuk merangkum apa yang lalai dari penghimpunan tafsir tersebut.Kemudian ia menuangkan pengetahuan-

pengetahuan yang ia miliki ke dalam sebuah kitab tafsir. 74 Hasrat untuk menyusun tafsir ini ia deskripsikan dengan indah dalam muqoddimah tafsirnya;

‚Aku menjadikannya kalung mutiara yang kurangkai dan aku akan membagikannya dengan ujung jemari yang indah, walaupun aku orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan, dan terbatas halaman rumahkuyang sempit yang mengiringi prosesperangkaian tafsir ini. Jika Allah memberikan ilham padaku untuk menyelesaikan hajat besar ini, dan aku tampakkan kepada manusia sekadar apa yang ku tetapkan dalam beberapa minggu dan bulan, dan aku memisahnya dengan sama di tengah-tengah garis agar ia jadi tabungan di hari akhirat, suatu hari yang tiada guna lagi harta benda dan keluarga. Ia akan menjadi syafaat bagiku ketika aku tidak menemukan manfaat selain s}a>d} dan nu>n. Aku memohon kepada Allah semoga Dia menjadikannya sebagai amal salih, karya-karyanya yang murni, dan sisa-sisa kebajikan hingga akhir hayat. Karena memperbaiki perbuatannya terhadap manusia dan keluarganya yang baik. Ia seperti matahari bagian kepala. Ia adalah luapan.‛ 75

3. Sumber Penafsiran Al-Bursawi> banyak mengutip mufassir Persia dan Turki dalam tafsirnya, serta mengemukakan bait-bait syair dari penyair terkenal seperti al- Shi>ra>zi>, Jala>l al-Di>n al-Ru>mi> dan penyair terkenal Persia dan Turki lainnya. Ia

juga banyak menukil tafsir 76 Mafa>tih} al-Ghayb karya al-Ra>zi>, serta banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Ghaza>li> dalam permasalahan akhla>q. Al-Bursawi>

tidak terlalu menaruh perhatian pada permasalahan fiqih dan ayat-ayat hukum.Ia lebih memfokuskan pada kajian

isha>riyah s}u>fiyah. 77 Di samping itu, dalam mengambil sandaran argumentasi penafsirannya, al-Bursawi> banyak

merujuk pada kitab-kitab tafsir tafsir Persia seperti Mawa>hib al- ‘Alliyah karya al-Ka>shafi>, dan dari kitab-kitab tafsir sufi seperti, Tafsir Ib n ‘Arabi>,Ta’wi>la>t al- Najmiyah karya Najm al-Di>n Da>yah, Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Sahl al- Tustari>, Latha>’if al-Isha>ra>t karya al-Qushayri> dan kitab tafsir terkenal lainnya.

75 Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 1-2. 76 Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 2-3. Lihat Yaşar Aydemir, “Bursalı İsmail Hakkı’nın Eserlerinden Hareketle Şiir Görüşü ve

Şiir Yazma Şekli”, Türkoloji Araştımaları, Vol. 2, No. 3 (2007), 107. http://www.turkishstudies.net/DergiTamDetay.aspx?ID=117. Diakses pada 29 Januari 2015. 77

Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, Al-Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum, 478.

Tafsir ini merupakan sebuah ensiklopedia besar, banyak sekali riwayat- riwayat dan akhba>r dari syeikh besar yang dikutip oleh al-Bursawi>. Hal ini menggambarkan limpahan ilmunya yang luas dengan berbahasa Arab, dan luasnya pengetahuan dalam bahasa Turki dan Persia. Dalam tafsir ini akan

banyak sekali dijumpai aqwa>l dan syair-syair berbahasa Persia. Tafsir Ru>h} al- Baya>n termasuk tafsir yang masyhur dan telah membuat banyak sarjana muslim terkesan dengannya. Al-Kautha>ri> sebagaimana dikutip oleh Ilha>m Isma>‘i>l H{ara>rah mengomentari tentang gaya serta manhaj penafsiran al-Bursawi>, ia mengatakan bahwa ‚Dalam sepuluh jilid besar ini adalah karangan seorang orator dengan hasrat yang besar, yang di dalamnya terdapat banyak hikayat yang menggugah hati, banyak berbicara dari buku-buku Persia, dan juga banyak di dalamnya isha>ra>t su>fiyah, serta diperkaya ta’wil-ta’wil dari Najmuddin pengarang kitab al-Mana>ra>t al-Sa>iri>n, dan juga ada di dalam tafsir tersebut al- Bayana>t yang manis untuk didengar, akan tetapi dalam tafsir ini juga tidak dapat terlepas pengaruh wahda>t al-wuju>d yang diperkuat dengan dali-dalil naqli. 78

4. Metode Penafsiran Tafsir ini menggunakan metode tah}li>li>, yaitu menjelaskan ayat-ayat al- Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya serta menyingkap seluruh maksud dari ayat tersebut, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, muna>saba>t, asba>b nuzu>l ayat, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, tabi’in. Prosedur tersebut dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat dari mulai al-Fa>tih}ah} sampai

al-Na>s. 79 Manhaj tafsir ini merupakan tafsir lughawi> bayani> s}u>fi> 80 dengan mengintegrasikan antara karakterısıstık penafsıran umumnya yang mengharuskan pembahasan tentang asba>b al-nuzu>l, atha>r, qira’a>t dan lughah dengan karakteristik penafsiran sufistik tanpa menggunakan takwil berlebihan. Ia mengintegrasikan kedua karakteristik tersebut untuk menemukan maksud dari ayat-ayat al- Qur’an.

Adapun manhaj akhla>qi> 81 dalam tafsir ini menggunakan manhaj bayani> akhlaqi>dan tarbawi>.Ia banyak mengambil hikmah yang terkandung dalam hadis, sebagaimana ia banyak sekali menukil mufassir dalam pemaknaan ayat al- Qur’an. Ia juga banyak menjadikan isra> ’iliya>t sebagai salah satu sumber penafsiran dengan menjelaskan kekurangan dan kecacatan yang terkandung dalam isra>‘iliya>t tersebut, dan ber-hujjah dengan takwil yang sesuai dengan aqidahnya. Sebagaimana dalam kisah Harut dan Marut, setelah al-

78 Ilha>m Isma>‘i>lH{ara>rah, al-S{u>rah al-Baya>niyah fi> Kita>b Ru>h} al-Baya>n li Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> (Tesis) (Giza: al-Ja>mi’ah al-Isla>miyah, 2013), 6.

79 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al- Mawd{u>‘i> (Kairo: Maktabah Jumhu>riyah, 1977), 24. 80

81 Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, Al-Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum, 477-478. Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, Al-Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum, 478.

Bursawi>menceritakan kelemahan kisah tersebut, ia menjelaskan argumennya dengan menjelaskan makna isha>ri>:

‚Sebagaimana yang diriwayatkan dari kisah Harut dan Marut, bahwa mereka berdua peminum khamr, gemar menumpahkan darah, berzina,

membunuh, dan menyembah berhala. Bagaimana kita dapat mempercayainya, karena riwayat ini bersumber dari Yahudi. Apa yang ada dalam riwayat ini sangat bertentangan dengan nalar naql dan rasio, sebagaimana argumentasi dalam al-Rumu>z yang merupakan tuntunan yang sangat bijak dan sangat memotivasi. Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud dengan dua malaikat tersebut adalah akal naz{ari> dan akal ‘amali>, dan wanita yang bernama al-Zahrah adalah manusia yang suci ketika pertama kali ia terlahir ke dunia, kemudain kedua akal tersebut akan melalui proses pembelajaran untuk dapat mempersiapkan

kehidupan di akhirat kelak.‛

Dengan adanya tafsir Ru>h} al-Baya>n ini, semakin memperkaya khazanah tafsir sufistik. Selain itu, tafsir ini juga memiliki peran strategis dalam peta tafsir yang berkembang dewasa ini. Jika kebanyakan tafsir sufistik memfokuskan kajiannya pada wilayah eksoterik, tafsir Ru>h} al-Baya>n berani tampil dengan wajah berbeda yang mengkombinasikan karakteristik tafsir bi al- ma’thu>r dengan karakteristik tafsir eksoterik yang ia eksplor lebih dalam menggunakan manhaj tah}li>li>.

5. Corak Penafsiran Tafsir Ru>h} al-Bayan ini termasuk ke dalam corak tafsir sufi. Dalam kajian ilmu tafsir, corak tafsir sufi terbagi menjadi corak tafsir sufi naz}ari>dan isha>ri>atau fayd}i>. Adapun pengkategorisasian tafsir Ruh} al-Baya>n akan dibahas pada bab berikutnya. Selain nuansa kesufian, salah satu sisi yang paling terlihat pada tafsir Ru>h} al-Baya>n adalah nuansa kebahasaan yang kental. Hampir semua penafsirannya dimulai dengan menjelaskan sisi kebahasan terlebih dahulu, sebelum ia masuk kedalam penjelasan selanjutnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang al-Bursawi> sebagai seorang sufi dan sastrawan. Bahasanya sangat indah dan mampu memukau siapa saja yang membaca tafsir ini.

Menurut Mani>‘ ‘Abd H}ali>m Mah}mu>d, ketika kebanyakan tafsir yang bercorak esoterik lebih memfokuskan kajian pada pemaknaan ba>t}in ayat, al- Bursawi> mencoba mengintegrasikan karakterısıstık penafsıran kaum z}ahiri> yang membahas tentang asba>b al-nuzu>l, atha>r sahabat, qira’a>t dan lughah dengan karakteristik penafsiran sufistik tanpa ta’wil yang berlebihan. Kemungkinan besar dengan adanya tafsir ini di kalangan kaum sufi, tidak akan menyerupai kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan kitab tersebut sepi dari penyimpangan

82 Isma>‘i>lH{aqqi> Bursawi>, Ru<h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n, Jilid I, 191-192.

dan penjelasan yang berlebihan. 83 Sangat terlihat bahwa al-Bursawi> tetap dalam posisi kemoderatan dan tetap berpedoman pada atha>r dan lughah. Hal ini

semakin menambah nilai plus tafsir Ru>h} al-Baya>n.

6. Sistematika Penafsiran Setelah al-Bursawi> menceritakan sebab penulisan tafsir Ru>h} al-Baya>n dalam muqaddimah kitab tafsir ini, kemudian ia melanjutkan penjelasannya tentang makna dari al- Isti’a>dah serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Setelah itu ia melanjutkan penjelasan mengenai makna shayt}ha>n serta tipu muslihatnya. Setelah berbicara banyak tentang kedua hal tersebut, al-

Bursawi> kemudian mulai menafsırkan ayat al-Qur’a>n. 84 Setiap memulai penafsiran suatu surat, al-Bursawi> selalu mengawalinya dengan menjelaskan

sebab penamaan surat yang akan ia tafsirkan. Hal ini bertujuan untuk menemukan pesan yang terkandung dalam surat tersebut. Selain itu, ketika menafsirkan suatu ayat, al-Bursawi> terlebih dahulu menganilisis dari sisi bahasa, untuk kemudian menerangkan makna global dari ayat tersebut.

Secara umum, penyajian tafsir Ru>h} al-Baya>n adalah sebagai berikut:

1. Mengeksplor ayat lebih dalam dari sisi kebahasaan, kemudian menerangkan makna global dari ayat tersebut.

2. Pada setiap pembukaan surat, diawali dengan penjelasan sebab penamaan surat, yang bertujuan untuk menemukan pesan yang terkandung dalam surat tersebut.

3. Mengintegrasikan penafsiran dengan aqwa>l s}u>fiyah, hikayat-hikayat serta kutipan beberapa bait syair dari penyair ternama, seperti al-Shayra>zi>, Jala>l al-Di>n al-Ru>mi> dan penyair terkenal Persia dan turki lainnya.

4. Tafsir Ru>h} al-Baya>n kerap mengkritisi isra>‘iliya>t dengan menjelaskan kekurangan dan kecacatan yang terkandung dalam isra>‘iliya>t tersebut, dan ber- hujjah dengan pengalaman sufistik pengarangnya yang berlandaskan al- Qur’an dan Sunnah.

5. Pada setiap akhir penjelasan surat, al-Bursawi> selalu menutupnya dengan mendeskripsikan keistimewaan yang terkandung dalam surat tersebut.

6. Tafsir Ru>h} al-Baya>n senantiasa menjaga keseimbangan antara pemaknaan z}a>hir dan ba>t}in, antara syariat dan hakikat, dengan berlandaskan pada pengalaman sufistik pengarangnya yang ber- manhaj-kan al-Qur’an dan Sunnah.

7. Tafsir Ru>h} al-Baya>n syarat akan pengetahuan, spiritualitas dan moralitas. Dengan berorientasikan sufistik yang mampu mengintegrasikan ilmu dan amal, serta mengintegrasikan hubungan antara kha>liq dan makhlu>q dan hubungan makhlu>q dengan makhlu>q.

83 Mani>’ ‘Abd H{ali>m Mah}mu>d, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, 173. 84