CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN AL- QUR’AN
BAB II CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN AL- QUR’AN
Bab II ini terdiri daribeberapa sub bab, yaitu diskursus tafsir sufi; corak tafsir sufi; dan perdebatan seputar tafsir sufi. Pada sub bab diskursus tafsir sufi mencakup beberapa pembahasan, di antaranya adalah definisi tafsir sufi yang meliputi dua kategori, yaitu definisi tafsir sufi secara etimologis dan secara terminologis; sedangkan pertumbuhan serta perkembangan tafsir sufi, menjelaskan tentang geneologi tafsir sufi dari awal kemunculan hingga perkembangannya sampai saat ini. Pada sub bab kedua, menerangkan tentang corak tafsir sufi yang meliputi beberapa item, yaitu corak tafsir sufi isha>ri>, corak tafsir sufi naz}ari>dan validitas tafsir sufi. Ketiga item tersebut penting dikupas agar dapat mengkategorisasikan penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi> serta mengaktualisasikan dan menjustifikasi tafsir sufistiknya secara valid dalam bangunan argumentatif.Adapun pada sub bab terakhir,menjelaskanseputar perdebatan tafsir sufi yang meliputi kontroversi makna isha>ri>, perbedaan antara
tafsir sufi isha>ri> dan ba>t}iniyah serta penjelasan mengenai makna z}a>hir dan ba>t}in dalam tafsir sufi.Hal ini dirasa perlu untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang karakteristik penafsiran sufistik.
A. Diskursus Tafsir Sufi
1. Tafsir Sufistik Tafsi>r merupakanmas}dar dari kata fassara-yufassiru-tafsi>ran yang bermakna menafsirkan. Dalam al- Qur’an kata tafsi>r disebutkan dalam QS. al- Furqa>n ayatke-33 dan QS. al-Nisa> ’ayatke-59.Dalam pengertian etimologi,tafsi>r memiliki
al-id}a>h}
(keterangan), al-
1 baya>n(penjelasan), 2 al-kashf(mengungkap), al-iba>nah
al-kashf al- mught}iy(menjelaskan dan menyingkap sesuatu yang tertutup). 3 Ibnu Manz}u>r dalam
wa
Lisa>n al- ‘Arab menjelaskan bahwa penggunaan kata tafsi>r dengan mengacu kepada bentuk dasar fassara mensyaratkan digunakannya sebuah medium dalam melakukan penafsiran, maka tidak heran jika kata tafsi>ra bisa didefenisikan sebagai ‚aktifitas mencari tahu penyebab sebuah penyakit‛. 4 Menurut Nas}r Abu> Zayd ada dua syarat
yang diperlukan untuk menandai validitas pemakain makna tersebut, yaitu: adanya obyek berupa tafsi>ra sendiri serta aktifitas obserfasi atau analisis di dalamnya. Dua syarat ini penting, mengingat seorang dokter tidak akan sampai kepada diagnosis terhadap sebuah penyakit jika dia tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap
objek penelitiannya. 5
1 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid I, 12. 2
Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah wa Mat}ba’ah al- Mashhad al-H}usyni>, 1967), Jilid. II, 173. 3 Manna>’ Al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 316. 4 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al- ‘Arab (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, t.t), Jilid 5, 3412-3413. 5 Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nash (Kairo: Matba’ah al-H{aya>t al-Misriyyah li ‘Ammat al-Kita>b, 1993), 284.
Menurut al-Zarkashi>, tafsi>rsecaraterminologiadalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami al- Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., serta menjelaskan makna-makna, mengungngkap hukum-hukumdan hikmah-
hikmah yang terkandungdi dalamnya. 6 Sedangkan menurut Muh}ammad Husayn al- Dhahabi>, tafsir merupakan penjelasan tentang maksud dari firman-firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia ( 7 mufassir). Dari definisi yang diungkapkan oleh al-Dhahabi tersebut, dapat memberikan ruang tanpa batas kepada siapapun
untuk bisa melakukan penafsiran terhadap al- Qur’an sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.
Setelah mengetahui definisi tafsi>r, selanjutnya diterangkan makna kata sufistik. Sufistik dalam pengertian etimologi memiliki banyak makna, ada yang menyebut bahwa sufi berasal dari kata s}uffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang dijadikan sebagai tempat kaum Muhajirin. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari
s}afa>, yang berarti bersih atau jernih. 8 Dari beberapa pendapat tersebut, mayoritas para ahliberpendapat bahwa kata sufi berasal dari s}u>fyang
berarti pakaian dari bulu domba. Adapun orang yang berpakaian dari bulu domba disebut 9 mutas}awwif, sedangkan perilakunya disebut tas}awwuf. Hal ini merujuk
kepada orang-orang yang menjalani hidup zuhud dari hal-hal duniawi serta giat beribadah untuk membersihkan jiwa mereka, yang sekarang dikenal dengan kaum sufi. Mereka pada mulanya sering mengenakan pakaian kasar dari bulu domba, hal itu merupakan simbol kesederhanaan sebagai bentuk perlawanan kepada perilaku
orang-orang kaya yang sering memakai sutera. 10 Dari sinilah kemudian muncul istilah sufistik untuk memberikan kata sifat kepada kata tasawuf, yang dimana istilah sufistik dipahami dari kata s}u>fi>.
Menurut Ibra>hi>m Hila>l tasawufsecara terminologi adalah memilih jalan hidup secara zuhud serta menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Kemudian Ibra>hi>m Hila>l menambahkan, tasawuf adalah bermacam- macam ibadah seperti zikir, menahan lapar, berjaga diwaktu malam dengan memperbanyak shalat dan zikir, sehingga dengan ibadah tersebut dapat melemahkan segala unsur-unsur jasmaniyah dan semakin menambah kuat unsur rohaniyah dalam dirinya. Dengan kata lain, tasawuf adalah sebuah upaya penundukan jasmani seseorang dengan melakukan bermacam ibadah ruhani, sebagai
6 Badr al-Di>n Muh}ammad al-Zarkashi>, Al- Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n(Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, t.th), Jilid II, 148. 7
8 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 59. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 236. 9 Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
Dari Anas ibn Malik berkata: ‚Rasulullah saw. menyukai seseorang yang menyeru agama Allah, menunggangi keledai dan memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba‛.Untuk lebih detailnya lihat M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Abad 21 (Yogyakarta: Pustaja Pelajar, 2002) 8-9.
10 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 57.
usaha untuk sampai kepada hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal Allah
dengan segala kesempurnaannya. 11
Ibnu khaldun berpendapat, tasawuf adalah beribadah kepada Allah secara terus-menerus dengan mempergunakan seluruh waktu untuk-Nya, berpaling dari dunia dengan segala keindahannya, zuhud terhadap semua kecenderungan manusiawi seperti kesenangan, harta dan tahta, serta menyendiri atau ber- khalwa>t}
dalam keheningan untuk beribadah. 12 Lebih tegas lagi, Ibra>hi>m Bashu>ni mengatakan bahwa tasawuf merupakan suatu kesadaran fitriyah yang mendorong seseorang untuk ber- muja>hadah melakukan munajat sampai ia merasakan konektivitas
( wus}u>l) dengan Allah. 13 Senada dengan Ibra>hi>m Bashu>ni, Harun Nasution menyatakan bahwa intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi serta dialog antara ruh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri ( khalwat}), sehingga mereka dapat melihat Tuhan ( ma’rifah).Lebih dari itu, mereka dapat menyatu ( ittih}a>d) dengan Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan bahwa landasan filsafat tasawuf adalah Tuhan bersifat Immateri dan Maha Suci. Oleh karena itu, unsur dari manusia yang dapat bertemu dengan Tuhan adalah unsur immateri manusia, yaitu ruh, dan ruh tersebut haruslah suci. Karena yang dapat mendekat kepada Yang Maha Suci adalah jiwa yang suci. 14
Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sufi atau tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan ber- muja>hadah melakukan berbagai ‘amaliyah yang dapat membebaskan seseorang dari pengaruh duniawi agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa tasawuf tidak mengesankan kejumudan, kemunduran atau keterbelakangan, melainkankan menunjukan ketangguhan jiwa dalam menghadapi problematika hidup yang senantiasa menghampiri. 15
Setelah mengetahui makna tafsir dan sufi, maka tafsir sufistik dapat diartikan dengan menakwilkan ayat-ayat al- Qur’an menggunakan makna di balik z}a>hir ayat dengan mengemukakan isyarat yang halus dan tersembunyi,dimana
isyarat tesebut hanya tampak kepada seseorang yang telah menempuh jalan sulu>k 16 dan bentuk riya>d}ah lainnya dalam tasawuf, tetapi memungkingkan adanya perpaduan antara isyarat yang tersembunyi dengan makna yang dimaksud ayat secara z}a>hir. Atau dengan kata lain, tafsir sufistik adalah menjelaskan makna ayat-
11 Ibra>hi>m Hila>l, al-Tasa}wwuf al-Isla>mi baina al-Di>n wa al-Falsafah (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al- ‘Arabiyah, 1979), 1.
12 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Da>r al-Qala>m, 1981), 467. 13 Ibra>hi>m Bashu>ni>, Nash’at al-Tas}awwuf al-Isla>mi (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif bi> al-Mis}r, t.th),
28. 14 Harun Nasution,
15 Abuddin Nata, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 360. Metodologi Studi Islam(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 289. 16 Kata sulu>k berasal dari terminologi al-Qur’an Fasluki>dalam surat al-Nahl ayat 69, ‚ Fasluki> subula rabbiki dhalula>‛, yang artinya tempulah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dan seseorang yang menepuh jalan sulu>k disebut sa>lik. Dalam kaitannya dalam dunia tarekat sulu>k berarti latihan atau riya>d}ah dalam waktu tertentu dalam bimbingan guru tarekat, yang dimana tujuan awal dari suluk adalah tazkiyah al-nafs yang kemudian meningkat kepada jenjang maqa>m tertentu sesuai dengan tradisi tarekat tersebut. Lihat Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 119. Lihat juga A. Rivay Siregar, Tasawuf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 281.
ayat al- Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam
sulu>k-nya. 17 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir sufistik bisadibentuk dari pemahaman terhadap ayat-ayat
al- Qur’an yang bercorakkan tasawuf yang muncul dari pemahaman tasawuf itu sendiri. Artinya, tafsir sufistik merupakan sebuah corak tafsir yang tidak terikat dengan makna nas}hsecara lahir saja, tetapi lebih cenderung mengungkap isyarat- isyarat makna ba>t}indari ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan takwil. Tentu saja isyarat-isyarat makna tersebut diarahkan pada konsep dan pengalaman sufistik yang diperoleh penafsirnya, karena memang mufassir-nya adalah seorang sufi.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Sufi Pertumbuhan tafsir sufitidak terlepas dari perkembangan tasawuf itu sendiri. Al-Dhahabi, perilaku tasawuf sudah ada sejak masa Nabi dan para sahabat, beberapa sahabat pada saat itu cenderung meninggalkan kenikmatan duniawi. Mereka lebih senang hidup dalam kezuhudan, bersungguh-sungguh dalam beribadah, mengisi malam mereka dengan qiya>m al-lai>l, sedangkan siang mereka
diisi dengan puasa sebagai bagian dari riya>d}ah ba>t}iniyah. Tetapi, pada saat itu belumlah dikenal istilah tasawuf dan orang yang menjalankannya disebut dengan sufi. Istilah tasawuf sendiri baru muncul pada abad kedua hijriah yang dikenalkan pertama kali oleh Abu Ha>shim al-S{u>fi> (w. 150 H). Dengan demikian, perilaku
tasawuf inilah yang menjadi acuan utama dalam tafsir sufistik. 18 Ignaz Goldziher menuturkan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh para sufi dipengaruhi oleh visi tasawuf yang bertumpu pada perenungan makna al- Qur’an secara umum, dari perenungan itu kemudian mereka mempunyai kecenderungan untuk mampu menemukan pondasidalam mengkonstruksikan mazhab mereka dalam al- Qur’an, dan menegakkan bukti bahwa prinsip-prinsip tertentu dalam mazhab mereka disandarkan pada al-
Qur’an. 19
Selain itu, kemunculan penafsiran sufistik ini juga tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatar belakangi corak dan sifat gerakan tasawuf itu sendiri pada masa setelah wafatnya Rasulullah. Sebagaimana pendapat Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, bahwa tasawuf merupakan sebuah protes bisu melawan kekuatan politik aristokrasi, ketidakadilan sosial, dogma-dogma agama yang cenderung formal dan kering. Menurut Iqbal, disinilah para sufi dianggap telah berhasil menyelamatkan warisan spiritual Islam.Lebih dari itu, para sufi juga telah memberikan warna baru bagi khazanah penafsiran al- Qur’an
ketika mereka mampu menunjukan orisinalitas tasawuf sebagai ajaran Islam. 20 Jika menengok ke belakang, penafsiran sufistiksejatinya sudah ada sejak
masa Nabi saw.,sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadis Nabi saw.:
18 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 261. 19 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 250-251. Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010), 220-221. 20 M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an‛, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 1, no. 2, (2004): 13.
Walaupun secara kualitas hadis di atas masih menjadi kontroversi, namun dalam kenyataannya beberapa sahabat pernah memaknai beberapa ayat al- Qur’an di luar dari makna z}a>hir-nya, seperti sebuah kasus yang terjadi antara ‘Umar Ibn Khat}t} a>b dan Ibn ‘Abba>s ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al- Nas}r, yang tergambar dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Bukha>ri> berikut ini:
ُرَمُع َناَك َلاَق ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع ٍْيَْ بُج ِنْب ِديِعَس ْنَع ٍرْشِب ِبىَأ ْنَع َةَناَوَع وُبَأ اَنَ ثَّدَح َليِعاَْسِْإ ُنْب ىَسوُم اَنَ ثَّدَح ُرَمُع َلاَقَ ف ُوُلْ ثِم ٌءاَنْ بَأ اَنَلَو اَنَعَم اَذَى ُلِخْدُت َِلِ َلاَقَ ف ِوِسْفَ ن ِفى َدَجَو ْمُهَضْعَ ب َّنَأَكَف ، ٍرْدَب ِخاَيْشَأ َعَم ِنُِلِخْدُي اَم َلاَق . ْمُهَ يُِيِْل َّلاِإ ٍذِئَمْوَ ي ِنِاَعَد ُوَّنَأ ُتيِئُر اَمَف - ْمُهَعَم ُوَلَخْدَأَف - ٍمْوَ ي َتاَذ اَعَدَف . ْمُتْمِلَع ُثْيَح ْنِم ُوَّنِإ
اَنْرِصُن اَذِإ ، ُهُرِفْغَ تْسَنَو َوَّللا ُدَمَْنَ اَنْرِمُأ ْمُهُضْعَ ب َلاَقَ ف ) ُحْتَفْلاَو ِوَّللا ُرْصَن َءاَج اَذِإ ( َلىاَعَ ت ِوَّللا ِلْوَ ق ِفى َنوُلوُقَ ت ُلوُقَ ت اَمَف َلاَق . َلا ُتْلُقَ ف ٍساَّبَع َنْبا اَي ُلوُقَ ت َكاَذَكَأ ِلى َلاَقَ ف اًئْيَش ْلُقَ ي ْمَلَ ف ْمُهُضْعَ ب َتَكَسَو . اَنْ يَلَع َحِتُفَو َكِلَذَو ) ُحْتَفْلاَو ِوَّللا ُرْصَن َءاَج اَذِإ ( َلاَق ، ُوَل ُوَمَلْعَأ - ملسو ويلع للها ىلص - ِوَّللا ِلوُسَر ُلَجَأ َوُى ُتْلُ ق
‚Diriwayatkan dari Mu>sa> Ibn Isma>‘i>l, dari Abu> ‘Awa>nah, dari Abi> Bishr dari Sa‘i>d Ibn Jubayr dari Ibn ‘Abba>s berkata: ‚Suatu ketika ‘Umar Ibn Khat}t}a>b membawa saya masuk (singgah) bersama sahabat-sahabat senior yang ikut dalam peperangan Badar, maka seolah-olah sebagian mereka marah terhadap ‘Umar dan berkata ‚Mengapa engkau ajak dia (Ibn ‘Abba>s) bersama kita padahal kami mempunyai anak seumur dia‛. Maka berkata Umar: ‚Kalian telah mengenal siapa dia (Ibn ‘Abbas)‛. Maka ‘Umar memanggil Ibn ‘Abbas pada suatu hari dan mengajak bergabung bersama mereka. (Ibn ‘Abbas berkata) ‚Tidaklah ‘Umar memanggilku kecuali untuk memperlihatkan kepada mereka (kelebihanku)‛. Umar berkata: ‚Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah ‘Idha> ja>’ anas}rulla>hi wa al-fath}’? Maka sebagian mereka menjawab: ‚Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya apabila kita ditolong dan diberikan
21 Hadis mursal ini dikeluarkan oleh al-Farya>bi> dari riwayat H}asan dari Rasulullah saw. bersabda: ‚Setiap ayat memiliki makna z}a>hir dan batin, dan setiap huruf memiliki h}ad, dan setiap h}ad
memiliki mat}la’‛ dan di dalam hadis marfu>’ yang dikeluarkan oleh al-Daylmi> dari riwayat ‘Abd al- Rah}ma>n ibn ‘Au>f dari Rasulullah saw. bersabda: ‚al-Qur’an dibawah naungan ‘arsh, memiliki makna z}a>hir dan batin yang dibutuhkan (hamba) untuk memahaminya‛ Lihat Muh}ammad H{usayn al- Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 262. 22
Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri> (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2004), Jilid. III, kitab Tafsir al- Qur’an, bab Surat idha> ja>’a nashrulla>h, no. hadis 4970, h. 339.
kemenangan kepada kita‛ dan sebagian lain diam tidak menjawab sedikitpun. Maka Umar berkata kepadaku: ‚Apakah demikian juga pendapatmu wahai Ibn ‘Abba>s?‛ Maka aku menjawab ‚Bukan‛. Kemudian ‘Umar berkata: ‚Bagaimana pendapatmu?‛. Aku berkata: ‚Ayat tersebut adalah tanda dari ajal Rasulullah saw. Allah memberitahu kepada Nabi mengenai ajalnya. Dan demikian pula mengenai ajalmu (fasabbih} bih}amdi Rabbika wa astaghfirh innahu> ka>na tawwa>ba>). Maka ‘Umar berkata ‚Aku tidak mengetahui tentang ayat ini kecuali apa yang kamu katakan‛.
Pada hadis atas, di antara sahabat ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat ke-1 surah al-Nas}r dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunan-Nya. Akan tetapi, Ibn ‘Abba>s memberikan penafsiran yang berbeda dengan mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.
Contoh penafsiran lain yang dilakukan oleh para sahabat adalah ketika diturunkannya ayat ke-3 surah al-
Ma>’idah, 23 sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abi> Shaybah di bawah ini:
‚Dikeluarkan oleh Ibn Shaybah bahwa ‘Umar Ibn Khat}t}a>b menagis ketika diturunkan ayat ke-3 surah al-Ma> ’idah, maka Nabi berkata kepadanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’. ‘Umar menjawab:’ Agama kita telah sempurna, tetapi bila agama tersebut sudah sampai kepada titik puncak kesempurnaan, maka di atas itu tidak ada lagi yang lain, kecuali suatu kemunduran’. Kemudian Nabi berkata: ‘Kamu benar‛.
Dari p ernyataan ‘Umar pada hadis di atasmerupakan sebuah bentuk kesedihannya karena yang dimaksud ayat ke-3 surah al- Ma>’idah adalah pertanda pengajaran Nabi tentang agama Islam akan berakhir.Dari beberapa riwayat tersebut,dapat disimpulkan bahwa penafsiran bercorak sufistik telah ada sejakmasa awal perkembangan Islam.
Geneologi tafsir sufimempunyai riwayat yang panjang, kecenderungan orang untuk berfikir secara sufistik telah ada sejak tumbuh pesatnya berbagai ilmu
pengetahuan di zaman dinasti 25 ‘Abbasiyah, tetapi penulisan tafsir bercorak
‚Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu..‛(Q.S. al-Ma>’idah [5]: 3)
24 Al-Alu>si>, Ru>h} al- Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’i al-Matha>ni> (Beirut: Da>r al-Kutu>b al- 25 ‘Ilmiyah, 2001), Jilid III, 328.
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 326-333.
sufistikyang ditulis secara sistematis baik secara tematis atau mencakup keseluruhan ayat-ayat al- Qur’an barulah muncul kemudian.
Mufassir pertama yang menafsirkan al-Qur’an dengan corak sufistik adalah Sahl ibn Yu>nus i bn ‘I<sa> ibn ‘Abdillah ibn Rafi>’ al-Tustari>. Ia dilahirkan di Tustar, sebuah desa yang berada si wilayah Ahwaz, propinsi Khuzistan, Persia, pada tahun 200 H. menurut riwayat lain menyebutkan 201 H.Tokoh sufi yang lebih dikenal dengan sebutan al-Tustari> ini pernah bertemu dan menimba ilmu dari seorang sufi terkenal Dhu> al-Nu>n al-Misri>. Al-Tustari> menghabiskan sebagian hidupnya di
Basrah sampai ia meninggal di tempat yang sama pada tahun 283 H. 26 Karya al- Tustari> yang paling fenomenal adalah Tafsi>r al- Qur’an al-‘Az}i>m, tafsir ini dianggap sebagai karya tertua yang berkenaan dengan tafsir sufi. Dalam kitab ini, al-Tustari> tidak menafsirkan semua ayat al- Qur’an, tapi hanya ayat-ayat tertentu saja yang ditafsirkannya, karena ayat-ayat tersebut dianggap mengandung petunjuk atau isyarat yang tersembunyi disamping makna z}a>hir-nya. Meskipun tafsir ini berukuran kecil, tetapi dianggap sebagaian kalangan sebagai tafsir sufi yang sangat
istimewa. 27 Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Tustari> mengkalsifikasikan empat aspek
yang berhubungan dengan al- Qur’an: Pertama, al-Qur’an terdiri dari informasi, berita, tidak hanya cerita tentang masyarakat terdahulu, tapi juga tentang prediksi terhadap yang akan terjadi dimasa mendatang. Kedua, al-Qur’an mengandung ajaran agama. Dengan ajaran agama ini manusia bisa menyembah Tuhan dan khusus orang tertentu, mereka bisa mengkomunikasikan secara langsung dengan Tuhan melalui jalan ma’rifah.Ketiga, al-Qur’an adalah petunjuk. Dengan petunjuk tersebut Tuhan menunjukan jalan yang lurus kepada hamba-Nya agar mereka selamat. Keempat, al-Qur’an adalah firman Tuhan yang sudah ada dalam lauh} mah}fu>z} sebelum penciptaannya.Lebih lanjut, dari karakter tanzi>l(proses pewahyuan) al- Qur’an, al-Tustari> mengkalsifikasikan al-Qur’an menjadi lima bagian: ayat yang jelas ( muh}kam), ayat yang samar (mutasha>bih), h}ala>l, h}ara>m, dan kiasan ( amtha>l). Kemudian al-Tustari menjelaskan bahwa ayat muh}kamharus dipraktekan dan ayat mutasha>bih harus diyakini. Halal dan haram harus dipatuhi serta diikuti, dan 28 amtha>l harus senantiasa direnungkan.
Konsep umum interpretasi al-Tustari> dapat ditemukan dalam perkataannya bahwa masing-masing ayat al- Qur’an mempunyaiempat tingkatan makna: z}a>hir, ba>t}in, h}add, dan mat}la’. Al-Tustari> melanjutkan bahwa z}a>hir adalah bacaan ( tila>wah), ba>t}inadalah pemahaman (fahm), adapun h}add adalah hal-hal yang dibolehkan dan yang dilarang ( h}alaluha> wa h}aramuha>), dan mat}la ’ adalah pencapaian hati terhadap maksud dari ayat al- Qur’an sebagai suatu pemahaman yang datang dari Allah swt. ( ishra>f al- qalb ‘ala> al-mura>d biha> faqahan minalla>h ‘azza wa jalla). 29 Dari konsep umum interpretasi tersebut, model interpretasi yang
26 M. An war Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛ dalam Kusmana dan Syamsuri (eds.), Pengantar Kajian Pengantar Kajian Al- Qur’an: Tema Pokok, Sejarah
dan Wacana Kajian (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2004), 234-240. 27
28 M. An war Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛, 243. 29 M. An war Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛, 247-248. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 282.
terdapat dalam Tafsir al-Tustari> dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk. Pertama, interpretasi literal (lughawi>) yang menuntun kepada penjelasan sebuah ayat menurut arti z}a>hir. Kedua, interpretasi alegoris (isha>ri>) yang menggabungkan interpretasi literal berdasarkan makna z}a>hir-nya dengan penajaman ba>t}in. Dengan
kata lain, ayat al- Qur’an ditafsirkan dengan cara membuat asosiasi antara z}a>hir yang nampak dan ba>t}in yang tersembunyi dalam kerangka ta’wi>l. Ketiga, interpretasi simbolis yang mendorong makna ba>t}inmemahami ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan indikasi z}a>hir-nya. Dalam kerangka ta’wi>l tersebut, al-Tustari>
membuat simbolisasi huruf yang membentuk kata. 30
Selanjutnya, muncullah tafsir Haqa>’iq al-Tafsi>r yang ditulis oleh Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ibn H{usai>n ibn Musa>al-Azdi al-Sulami> yang lebih dikenal dengan sebutan al-Sulami>. Al-Sulami> lahir pada tahun 330 H. dan wafat pada tahun 412 H. Ia adalah seorang syaikh sufi dan seorang ‘a>lsim di wilayah Khurasan. Selain seorang sufi, ia juga dikenal sebagai seorang muh}addith. Ia menghabiskan tidak kurang dari 40 tahun untuk menulis hadis. Tidak heran jika banyak dari para pengkaji hadis yang mengambil hadis darinya, s ebut saja H{a>kim Abu> ‘Abdilla>h, Abu> al-Qasi>m al-Qushayri> pernah belajar dan mengambil hadis darinya. Al-Sulami> dikenal sebagai seorang sufi yang sangat produktif, tercatatat tidak kurang dari seratus judul kitab yang pernah ia tulis, mulai dari masalah tasawuf, ta>rikh, hadis
dan tafsir. 31 Haqa>’iq al-Tafsi>r mencakup semua surat dalam al-Qur’an, tetapi hanya ayat-ayat tertentu saja yang ditafsirkan oleh al-Sulami>. Dalam menafsirkan ayat, al-Sulami>hanya memaknai dengan makna batin yang terkandung dalam ayat tersebut. Meski demikian, bukan berarti ia menolak makna z}a>hir dari setiap ayat, ini bisa dilihat dari pernyataan al-Sulami> yang mengatakan bahwa ia hanya ingin
menghimpun tafsir ahli hakikat ke dalam kitab khusus sebagaimana yang dilakukan oleh ahli
z}a>hir terhadap tafsir z}a>hiri>. 32 Dari perkataan al-Sulami> tersebut,terlihat bahwa apa yang ditulis dalam tafsirnya merupakan kumpulan pendapat dari para
ahli tasawuf yang disusun sesuai dengan tarti>bal-Qur’an.Adapun ahli tasawuf yang banyak dikutip pendapatnya oleh al-Sulami> adalah Ja’far ibn Muh}ammad al-S{a>diq, Ibn ‘Atha>illah al Sakandari>, Junayd al-Baghda>di>, Fudhayl ibn ‘Iya>dh, Sahl al- Tusta>ri>. 33
Keberadaan tafsir al-Sulami> mengundang beragam penilaian dari berbagai kalangan, diantaranya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> (w. 911 H) dalam kitabnya al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>nia mengungkapkan bahwa perkataan para sufi terhadap al-Qur’an bukanlah sebuah tafsir. 34 Selain itu,Abu H{asa>n al-Wa>h}idi> (w. 468 H) pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait tafsir karya ‘Abd al-Rah}ma>n al- Sula>mi>yang menggunakan pendekatan isha>ri>, ia mengatakanbahwa siapapun yang
30 M. An war Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛, 252-253. 31 Mani’ ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Manha>j al-Mufassiri>n, 150-152. Lihat juga Muh}ammad
H{usayn al-Dhahabi, 32 Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 284. 33 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 285.
34 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 285. Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al-It}qa> n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid IV, 194.
mempercayai tafsir tersebut berarti ia telah keluar dari Islam. 35 Dari perkataan al- Wa>h}idi>dan al-Suyu>t}i>, terkesan bahwa mereka hanya memahami istilah tafsi>r dengancara sangat formal melalui dimensi legalistik serta teologis yang sangat
kental. 36 Berbeda dengan al-Wa>h}idi>dan al-Suyu>t}i>, Ma>ni’ ‘Abd H}ali>m Mah}mu>d
berpendapat bahwa apa yang ditulis oleh al-Sulami> merupakan ilham dan kata hati yang berhubungan dengan kebersihan jiwa, akhlak mulia, ibadah dan lainnya, tidak berhubungan dengan z}a>hir ayat yang ditafsirkan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan para sufi tidak pernah menamakan apa yang mereka tulis sebagai sebuah penafsiran, tetapi sebuah ilham dari Allah swt. yang didapat setelah mereka men- tafakkur-i dan men-tadabbur-i ayat al-Qur’an. Dengan kata lain, penafsiran yang sesungguhnya adalah penafsiran yang sesuai dengan asba>b al-nuzu>l, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan ilmu-ilmu perangkat lainnya dalam menafsirkan al- Qur’an. ‘Abd H{ali>m melanjutkan, kritikan diatas terfokus jika al-Sulami> menganggap bahwa apa yang ia tulis adalah sebuah tafsir, jika tidak beranggapan
demikian maka kritikan tersebut tidaklah benar. 37
Setelah al-Sulami>>, estafet penafsiran sufistik berikutnya dilakukan oleh ‘Abd al-Kari>m ibn H{awa>zan ibn ‘Abd al-Mali>k ibn T{alh}ah} ibn Muh}ammad al-
Qushayri> (w. 465 H), dengan karya tafsirnya yang berjudul Lat}a>‘if al-Isha>ra>t atau yang lebih populer dengan sebutan Tafsi>r al-Qushayri>.Sebagaimana al-Sulami>, al- Qushayri> juga menggunakan metode yang sama dengan gurunya itu dalam usaha memahami ayat-ayat al- Qur’an. Di samping itu,dalam menafsirkan al-Qur’an ia berusaha agar tetap mengacu kepada syariat, dalam hal ini adalah al- Qur’an dan Hadis. 38 Selain itu, al-Qushayri>juga selalu berpegang pada perangkat ilmu-ilmu tafsir, seperti ilmu bahasa Arab, Nahwu, dan perangkat ilmu tafsir lainnya. 39
Tafsir sufistik yang muncul pada perkembangan selanjutnya adalah tafsir al- Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Abu> Bakar Muh}ammad ibn ‘Ali> ibn Muh>ammad ibn Ah}mad ibn ‘Abdillah al-T{a>’I al-H{a>timi>yang lebih dikenal dengan nama Ibn ‘Arabi>. Ia dilahirkan pada 17 Ramad}a>n 560 H, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada
waktu kelahirannya, 40 Mursia diperintah oleh Muh}ammad ibn Sa’i>d ibn Mardani>sh. Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada tahun 638 H. 41
Paham wah}dat al-wuju>d sangat diidentikan dengan Ibn ‘Arabi>, sekalipun ia sendiri tidak pernah menggunakan istilah
wah}dat al-wuju>d. 42 Bahkan oleh beberapa
36 Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa>, 29. 37 M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an‛, 2. 38 Mani’ ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Manha>j al-Mufassiri>n (terj.), 153-154. Jawid A. Mojaddedi, ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri’s Risala‛, Studia Islamica, No.
90 (2000), 46, http://www.jstor.org/stable/1596163. (diakses 4 Maret, 2014). Lihat juga Kristin Zahra Sands, S{u>fi> Commentaries on The Qur’a>n in Classical Islam, (New York: Routledge, 2006), 71. 39 40 Mani’ ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Manha>j al-Mufassiri>n (terj.), 184. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al- ‘Arabi>; Wah}dat al-Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), 17. 41 Mus}tafa> ibn Sulayma>n dalam Muqaddimah-nya, Sharh} Fus}u>s} al-H{ika>m (Beirut: Da>r al- Kutu>b al- ‘Ilmiyah, 2007), 9. 42 Doktrin wah}dat al-wuju>d telah dicetuskan oleh Ma’ru>f al-Karkhi> (w. 200 H.) seorang sufi ternama asal Baghdad jauh sebelum Ibn al- ‘Arabi>, dianggap pertama kali mempelopori wah}dat al- Paramadina, 1995), 17. 41 Mus}tafa> ibn Sulayma>n dalam Muqaddimah-nya, Sharh} Fus}u>s} al-H{ika>m (Beirut: Da>r al- Kutu>b al- ‘Ilmiyah, 2007), 9. 42 Doktrin wah}dat al-wuju>d telah dicetuskan oleh Ma’ru>f al-Karkhi> (w. 200 H.) seorang sufi ternama asal Baghdad jauh sebelum Ibn al- ‘Arabi>, dianggap pertama kali mempelopori wah}dat al-
‚Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kalian dari satu jiwa..‛ (Q.S. al-Nisa>’ [4]: 1).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibn ‘Arabi> mengatakan: ‚Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikan bagian yang z}a>hir dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu –yang adalah Tuhanmu- sebagai penjaga bagimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Jadilah kalian pemeliharanya dalam celaan, serta jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian,
niscahya kalian akan menjadi orang- 44 orang yang beradab diseluruh alam‛. Dari penafsiran Ibn ‘Arabi> tersebut, terlihat tidak adanya keterkaitan antara makna z}a>hir
dengan makna batin ayat , bahkan terkesan Ibn ‘Arabi lebih menampakan makna yang berseberangan dengan makna z}a>hir ayat. Selain itu, terlihat pula bagaimana ide wah}da>t al-wuju>d sangat kental sekali tergambar dalam penafsirannya.
Tafsir sufistik yang muncul selanjutnya adalah ‘Ara>’is al-Baya>n fi>H{aqa>’iq al- Qur’a>n karya Abu> Muh}ammad Ruzbiha>n Ibn Abi> al-Nas}r al-Baqali> al-Shi>ra>zi>. Ia meninggal pada tahun 666 H. 45 Dalam menafsirkan ayat al- Qur’an, al-Shi>ra>zi> lebih menonjolkan makna isha>ri>. Mesikipun demikian, ia tetap mengakui pentingnya pemaknaan al- Qur’an secara z}a>hir sebelum mengungkap sisi esoteris dari ayat al- Qu r’an. Sebagaimana yang ia nyatakan dalam muqaddimah ‘Ara>’is al-Baya>n fi>H{aqa>’iq al-Qur’a>n bahwa tidak akan pernah usai usaha manusia dalam menyibak makna al- Qur’an baik secara z}a>hir dan ba>t}in, tidak ada pemahaman yang sempurna dalam mengupas maknanya. Karena ia menyadari betul bahwa makna yang terkandung dalam setiap ayat al-
Qur’an begitu luas dan dalam. 46 Kemudian, muncullah tafsir sufistik al- Ta’wi>la>t al-Najmiyah yang terdiri
dari lima jilid. Tafsir ini ditulis oleh Najm al-Di>n Da>yah, namun ia meninggal sebelum sempat menyelesaikannya.Kemudian penulisan tafsir ini disempurnakan oleh ‘Ala>’ al-Dawlah al-Samna>ni>. Nama lengkap Najm al-Di>n Da>yah adalah
wuju>d karena al-Karkhi> pernah mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: ‚Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah‛. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn Al- ‘Arabi>; Wah}dat al-Wuju>d dalam Perdebatan, 34-35. 43
44 Kautsar Azhari Noer, Ibn Al- ‘Arabi>; Wah}dat al-Wuju>d dalam Perdebatan, 35. 45 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabiy, t.th), Jilid I, 50. 46 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 288. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 288.
Abu>Bakar ibn ‘Abdullah ibn Muh}ammad ibn Sha>hid al-Asadi> al-Ra>zi> yang lebih popular dengan sebutan Da>yah. Ia wafat pada tahun 654 H di Baghdad.Nama lengkap penulis kedua dari tafsir al- Ta’wi>la>t al-Najmiyah adalah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad al-Samna>ni>, ia biasa dijuluki dengan Ala>’ al-Dawlah al-Samna>ni>. Al-Samna>ni> dilahirkan pada tahun 659 H, dan wafat tahun 736 H di Baghdad. 47
Tafsir yang bercorak sufistik lainnya adalah Ghara>’ib al-Qur’a>n wa Ragha>’ib al-Furqa>n karya Niza>m al-Di>n al-H{asa>n ibn Muh}ammad al-H}usayn al- Khurasani> al-Naysa>bu>ri>. Iatermasuk ulama yang sangat dihormati dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Disamping itu, Al-Naysabu>ri> juga dikenal sebagai seorang sufi dengan kezuhudan dan sifat wara>’-nya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kitab tafsirnya banyak menjadi rujukan mufassir- mufassir setelahnya. Kitab tafsir Ghara >’ib al-Qur’a>n wa Ragha>’ib al-Furqa>n banyak disandarkan pada tafsir al-Kabi>r karya Fakhr al-Ra>zi> dan al-Kasha>f karya al- Zamakhshari>. Ia tidak hanya menukil perkataan dua mufassir besar tersebut, tetapi ia juga menampakkan keluasan pemahaman serta kekuatan akalnya sendiri. Tidak
jarang pula al-Naysabu>ri> mengkritisi pendapat kedua mufassir tersebut. Selain tinjauan tasawuf, ia juga menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an menggunakan tinjauan fiqh, qira’at, bahasa Arab, balaghah dan kalam. 48
Al-Naysabu>ri> adalah seorang ulama yang sangat kuat karakter kesufiannya. Hal ini terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. al-Baqarah ayat 67 berikut ini:
‚Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‚Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyembelih seekor sapi betina‛(Q.S. al- Baqarah [2]: 67).
Setelah al-Naysabu>ri> menjelaskan makna z}a>hir ayat di atas, kemudian ia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyembelihan ‘sapi betina’ adalah penyembelihan nafsu kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat
kehidupan ruhani, itulah yang dinamakan dengan 49 al-jiha>d al-akbar. Kemudian, tafsir bercorakkan sufistik yang muncul pada abad 12 hijriyah adalah
tafsir Ru>h al- Ma’a>ni> karya Shiha>b al-Di>n al-Sayyid Muh}ammad al-Alu>si> al- Baghdadi. Ia lahir dari keluarga yang sangat terpelajar di Baghdad pada tahun 1217
H. 50 Al-Alu>si> tumbuh dalam bimbingan orang tuanya sendiri yaitu al-Suwaydi>. Disamping itu, ia juga pernah menimba ilmu dari al-Naqsa>bandi>, maka tidakheran jika penafsirannya sangat kental dengan nuansa sufi. Karena dari al-Naqsa>bandi>lah ia mempelajari tasawuf. Pada tahun 1248 H., al-Alu>si> diangkat sebagai mufti setelah sebelumnya ia menjabat sebagai wali wakaf di Madrasah al-Marjaniyyah,
48 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 290-291. 49 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 231-232 Mah}mu>d Basuni> Fawdah, al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu (Kairo: Matba’ah al-Ama>nah, 1977),
260. 50 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 250.
namun pada tahun 1263 H. ia melepaskan jabatannya itu agar lebih fokus untuk menyusun tafsir al- Qur’an yang kemudian dikenal dengan tafsir Ru>h al- Ma’a>ni.> 51 Al-Alu>si>wafat pada hari Jum’at bulan Dhu> al-Qa’dah 1270 H. dan dimakamkan disamping keluarganya di Kurkhi>.
Dalam menafsirkan ayat al- Qur’an, al-Alu>si> menerangkan makna secara z}a>hirterlebih dahulu sebelum kemudian masuk kedalam pemaknaan secara batin,
serta memadukan kedua pemaknaan tersebut secara sinergis. Hal ini terlihat dari contoh penafsiran al-Alu>si> pada Q.S. al-Baqarah [2] ayat 55:
‚Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang", karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 55)
Menurut al-Alu>si>, pemaknaan secari isha>ri>dari ayat di atas adalah: ‚Ketika kalian berkata, wahai inti hati, kita tidak akan beriman dengan iman yang hakiki
sehingga kami sampai kepada maqam musha>hadah.Kemudian kalian tertimpa kematian yang disebut dengan fana>’ dalam tajalli al-Dha>ti padahal kalian menyaksikannya. Kemudian kami membangkitkan kalian dalam kehidupan yang kekal dari kehidupan sebelumnya yang fana>’ agar kalian bersyukur kepada-Ku atas segala nikmat yang telah diberikan. Setelah itu Kami melindungimu dengan perlindungan sifat tajalli, karena dengan sifat tajalli>tersebut dapat menghalangi dari
cahaya Tuhan‛. 52
B. Corak Tafsir Sufistik Berbicara mengenai corak tafsir sufistik,maka tidak bisa terlepas dari perkembangan paham tasawuf itu sendiri. Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa tasawuf sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: tasawuf naz}ari>- falsafi>dan tasawuf ‘amali>. Tasawuf naz}ari> adalah tasawuf yang didasarkan pada pengkajian keilmuan tasawuf.Dari kelompok ini lahir ulama-ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al- Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka, seperti mah}abbah, h}ulul, fana>’, wah}dat al-wuju>d dan lain sebagainya. Mereka menafsirkan al- Qur’an berdasarkan teori-teori tasawuf yang dipegang dalam hidupnya. Adapun tasawuf ‘amali> adalah tasawuf yang didasarkan pada ranah praktis saja, yaitu cara hidup yang meninggalkan kesenangan duniawi, zuhud, hidup menyendiri ( ‘uzlah), menggunakan seluruh waktu hanya untuk melakukan ibadah kepada Allah. Masing- masing dari dua kelompok ini memiliki pengaruh terhadap penafsiran al- Qur’an.
51 Jum’ah ‘Ali> ‘Abd al-Qadi>r, Za>d al-Ra>ghibi>n fi> Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: Kuliyah Us}u>l al- Di>n Ja>mi’ah al-Azhar, 1986), 127. Lihat juga Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-
Mufassirun, Jilid I, 251. 52 Al-Alu>si>, Ru>h al- Ma’a>ni>, Jilid I, 262-263.
Hal ini juga yang menyebabkan penafsiran sufistik terbagi ke dalam dua macam, yaitu tafsir sufistik
naz}ari> dan tafsir sufistik isha>ri>atau fayd}i>.> 53
1. Tafsir Sufi Naz}ari > Tafsir sufi naz}ari>adalah menjelaskan ayat al-Qur’an dari aspek tasawuf
berdasarkan kajian teori dan ajaran filsafat. Dalam hal ini, al-Dhahabi> mendefinisikan tafsir sufi naz}ari> sebagai sebuah perangkat tafsir yang dilakukan oleh kelompok teoretis-falsafi dengan berpegang pada ilmu atau teori-teori yang telah dibangunnya. Bahkan pemikiran dan teori tasawuf tersebut dalam beberapa kasus dapat menggeser makna al- Qur’an dari maksud dan tujuannya kepada tujuan yang diinginkan oleh sang mufassir. Oleh karena itu, al-Dhahabi> dengan keras mengatakan bahwa kelompok tasawuf teoritis-falsafi ini telah menjadikan filsafat sebagai 54 khadam teori tasawuf mereka. Karena al- Qur’an diturunkan tidak untuk
menjustifikasi suatu pandangan tertentu, hal yang seharusnya diupayakan adalah mencari pemahaman al- Qur’an yang bisa dipakai sebagai pegangan bagi pandangannya.
Tokoh yang dikategorikan ke dalam corak penafsiran ini adalah Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>. Walaupun Ibn ‘Arabi sendiri mengatakan bahwa penafsirannya bercorak
sufi ishari>, namun dari beberpa contoh penafsirannya dinilai oleh beberapa kalnagan kerap menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya kepada ayat al- Qur’an.Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Dhahabi> bahwa Ibn ‘Arabi> adalah salah seorang mufassir yang secara representatif mewakili kelompok sufi naz}ari>.Apa yang dinyataan al-Dhahabi> tersebut bukan tanpa alasan, hal itumengacu kepada beberapa contoh penafsiran Ibn ‘Arabi>yang disinyalir terdapat indikasi bahwa penafsirannya itu dipengaruhi oleh teori tasawuf-filsafatnya.Sebagai contoh ketika Ibn ‘Arabi> menafsirkan Q.S. Maryam [19] ayat 57:
‚Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi‛ (Q.S. Maryam [19]: 57)
Ibn ‘Arabi> mengatakan bahwakedudukan yang paling tinggi adalah tempat yang menjadi poros alam semesta, yaitu tempat yang dikelilingi oleh gugusan bintang-bintang, disitulah tempat matahari. Di sana terdapat maqam ruhani nabi Idris a.s. Di bawahnya ada tempat matahari dan tujuh tempat peredaran bintang dan diatasnya ada tujuh perederan bintang-bintang. Kesemuanya terdapatlima belas
tempat peredaran termasuk di dalamnya matahari. 55 Kemudian Ibn ‘Arabi> melanjutkan, adapun kedudukan yang tinggi adalah milik umat nabi Muhammad
saw.,sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. Muhammad [47]ayat 35:
54 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 251. 55 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 256. Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 75.
‚Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.‛ (Q.S. Muhammad [47]: 35)
Menurut Ibn ‘Arabi>, yang dimaksud tempat yang tinggi dalam di atas adalah berkenaan dengan tempat bukan kedudukan. Dari penafsiran Ibn ‘Arabi tersebut, terlihat bahwa penafsirannya sangatlah jauh dari makna teks ayat dan terkesan sangat didominasi oleh penggunan teori filasafat ketika menjelaskan tentang keberadaan ruh. Maka tidak heran banyak kalangan yang mengkategorikan penafsirannya ke dalam tafsir sufi naz}ari>.
2. Tafsir Sufi Isha>ri>atau Fayd}i> Tafsir 56 isha>ri>atau fayd}i>menurut Al-Zaqa>ni>adalah upaya penakwilan al-
Qur’an yang berbeda dengan makna z}a>hir-nya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli sulu>k dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi dan makna yang tampak. 57 Tidak jauh berbeda dengan al-Zarqa>ni>, S{ubh}i al-S}a>lih} memahami tafsir fayd}i>sebagai proses penakwilan ayat-ayat al- Qur’an yang berbeda dengan z}a>hir-nya serta menemukan seluruh makna di antara yang tampak dan tersembunyi. 58
‘Ali> al-S}a>bu>ni> memahami tafsir sufi fayd}i>dengan menakwilkan al-Qur’an yang berbeda dengan z}a>hir-nya untuk mengetahui isyarat-isyarat yang tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu makrifat atau orang ‘a>rif billa>h seperti ahli sulu>k dan ber-muja>hadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia al- Qur’an. Atau mereka telah dikaruniai di dalam pikirannya makna yang dalam melalui ilham Ilahi yang memungkinkannya untuk memadukan antara makna z}a>hir dan yang tersembunyi (
ba>t{in). 59 Senada dengan ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, al- Dhahabi>mengatakan bahwa tafsir sufi fayd}i>adalah penakwilan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima melalui jalan suluk, tetapi antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. 60
Dalam hal ini, seorang mufassirfayd}i>akan menafsirkan ayat al-Qur’an berbeda dengan z}a>hirteks ayat untuk mendapatkan isyarat-isyarat tersembunyi yang
56 Takwil dalam perkembengannya mengalami pergeseran makna, khususnya pada kalangan fuqaha>’, teolog, sufi dan filsuf yang memaknainya sebagai pengalihan makna sebuah lafal kepada
makna lain yang dikandungnya atau mengalihkan sebuah makna yang kuat ( ra>jih}) kepada makna yang paling diunggulkan ( arjah}) disebabkan oleh dalil yang menyertainya. Terlepas dari pergeseran pemaknaan takwil tersebut, yang harus diperhatikan bahwa sebuah penakwilan dapat diterima jika penakwilan tersebut didukung oleh argumentasi yang kuat, sehingga dapat terhindar dari penyimpangan dalam penakwilan. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 13. 57
58 Muh}ammad ‘Abd al-‘Adhi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n, Jilid II, 66. S{ubh}i> al-S{a>lih}, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 296.
60 Muh}ammad ‘Ali> al-S}abu>ni>, al- Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 191.
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 261.
terkandung oleh teks ayat tersebut, namun tetap memiliki keterkaitan antara makna z}a>hir dan ba>t}in, sehingga keduanya dapat saling diharmonisasikan.
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir sufi fayd}i>adalah menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an di luarmaknaz}a>hir ayat sehingga dapat menyingkap isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik ayat tersebut. Kemampuan menangkap makna yang tersembunyi itu tidak akan tampak kecuali bagi orang yang telah dibukakan mata hatinya oleh Allah swt.. Karena bagi kaum sufi, isyarat-isyarat yang tersembunyi tersebut hanya dapat disingkap setelah melakukan berbagai bentuk riya>d}ah ruh}a>niyah.
Salah satu mufassir yang dikategorikan ke dalam corak penafsiran fayd}i>adalah Sahl al-Tustari> (w. 283 H) dengan karyanya Tafsi>r al- Qur’a>n al- ‘Adhi>m. Di antara contoh penafsiran al-Tasta>ri adalah ketika ia menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2] ayat 22:
‚Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dialah yang menurunkan (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, jika kamu orang-orang yang benar ‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 22)
Dalam ayat ini, al- Tusta>ri> memahami kata ‚anda>da>‛ dengan ‚hawa nafsu‛. Karena dalam ayat tersebut, Allah melarang hamba-Nya untuk menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan, seperti berhala, hawa nafsu dan lain-lain. Nafsu menurut al- Tusta>ri> masuk ke dalam kategori ‚anda>d‛ tatkala manusia terjerumus oleh nafsunya untuk melanggar hukum Allah, maka saat itulah ia menjadi tandingan dan penentang-Nya. Kemudian al-Tustari> memperkuat penafsirannya dengan Q.S. al-Tawbah [9] ayat 31:
‚Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan dari Allah, dan al-Masih putra Maryam; padahal mereka mereka hanya disuruh untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.‛(Q.S. al- Tawbah [9]: 31)
Al-Tustari> menjelaskan, walaupun pada hakikatnya mereka tidak menyembah secara ritual, tapi ketaatan mereka terhadap para rahib melebihi ketaan kepada Allah sehingga mereka menghalalkan apa apa yang dihalalkan oleh rahib, Al-Tustari> menjelaskan, walaupun pada hakikatnya mereka tidak menyembah secara ritual, tapi ketaatan mereka terhadap para rahib melebihi ketaan kepada Allah sehingga mereka menghalalkan apa apa yang dihalalkan oleh rahib,
tersebut bertentangan dengan ketentuan Allah. 61
3. Validitas Tafsir Sufistik Penentuan validitas tafsir sufistik sangat terkait dengan korelasi antara 62
syariat dan hakikat secara legal formal yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis. Hal terpenting dalam tradisi penafsiran sufistik adalah argumentasi-argumentasi yang dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyah yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadis ataupun argumentasi yang bersumber dari rasio. 63
Menurut al-Tafta>zani> (w. 792 H), apabila penafsiran sufistik hanya meyakini makna ba>t}in dengan mengingkari z}a>hir ayat sertamengabaikan aspek syari’at, maka hal tersebut bisa tergolong kepada ilh}a>d. Sebaliknya, jika interpretasi para sufi sejalan dengan makna z}a>hir, tidak melepaskan dari aspek syari’at serta dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuk itu, maka hal tersebut merupakan keteguhan iman dan kesempurnaan
‘irfa>n yang mendalam. 64 Al-Sha>t}ibi> (w. 790 H) mengatakan bahwa pemaknaan al- Qur’an secara
isha>ri>dapat dilakukan dengan dua syarat. Pertama, makna ba>t}in sesuai dengan tuntutan z}a>hir sebagaimana ketentuan dalam stuktur bahasa Arab. Kedua, pemaknaan ba>t}intersebut harus mempunyai argumentasi syari’at yang mendukung keabsahannya tanpa ada pertentangan di dalamnya. Jika tidak, maka penafsirannya terhadap al-
Qur’an termasuk mengada-ada. 65 Sementara itu, al-Dhahabi>menyebutkan bahwa sebuah penafsiran sufistik
dapat terhindar dari penyimpangan apabila penafsiran tersebut memenuhi beberapa kriteria, yaitu: Pertama,tidak bertentangan dengan makna zahir ayat al- Qur’an.Kedua,didukung oleh argumen rasional atau bukti kuat yang bersumber dari syara’. Ketiga,tidak bertentangan dengan syariat atau akal sehat. Keempat, tidak mengklaim bahwa tafsir sufistik adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat tersebut, sebaliknya mufassir yang menulis tafsir tersebut
harusmengakui adanya makna z}a>hir ayatsebelumia menjelaskan makna isha>ri-nya. 66 Syarat-syarat penafsiran sufistik yang dikemukakan oleh al-Dhahabi>di atas menunjukan bahwa ia menaruh kekhawatiran besar akan penyimpangan penafsiran yang dilakukan oleh para sufi. Al-Dhahabi> mensyaratkan penafsiran sufistik tidak boleh menyimpang dari makna z}a>hir ayat al-Qur’an, karena pada praktiknya para sufi dalam menafsirkan ayat lebih menekankan pemaknaan isha>ri> dari pada makna z}a>hir. Sehingga dikhawatirkan para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al- Qur’an, bahkan memungkinkan tidak mengindahkan makna z}a>hir sama sekali.
61 Sahl al-Tusta>ri>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Adhi>m (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-‘Arabiyyah, 1991), 12-14.
62 Aik Iksan Ansori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al- Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 72. 63
Aik Iksan Ansori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al- Qa>dir al-Ji>la>ni>, 72. 64 Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid. II, 184. Lihat juga Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 66-67. 65 66 Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwafaqa>t fi> Us}u>l al- Shari’ah (Beirut: Da>r al-Ma’a>rif, t.t), Jilid III, 357. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.
Demikian pula syarat lainnya, seperti didukung oleh argumen rasional atau akal sehat, serta tidak bertentang an dengan syara’, bertujuan untuk memberikan rambu- rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan argumen rasional, dan bahkan mengebaikan syariat dalam penafsirannya. Kemudian syarat agar para sufi tidak mengkalim bahwa penafsiran mereka itulah satu-satunya yang dimaksudkan Allah, bertujuan sebagai rambu agar mereka tidak fanatik terhadap penafsirannya tersebut, sehingga mereka tidak bersikap eksklusif dan menolak penafsiran kelompok lain yang tidak sesuai dengan mereka.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penafsiran sufistik sangat tergantung pada orientasi dan penggunaan takwil dari para mufassir-nya. Jika orientasi sang mufassir tersebut hanya untuk menjustifikasi ajaran teori tasawufnya, tanpa memperhatikan dalil- dalil syar’i yang mu’tamad dan mu’tabar, maka akan terlihat pemaksaan terhadap penafsirannya. Demikian pula ketika penggunaan takwil terlalu jauh dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, maka akan menyeret orang kepada kesesatan. Tetapi sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip Islam maka akan menambah kemukjizatan al- Qur’an. Oleh karena itu,
syarat-syarat penafsiran isha>ri> yang diungkapkan oleh al-Dhahabi> dapat dijadikan pedoman para sufi dalam menafsirkan al- Qur’an.
C. Perdebatan Tentang Tafsir Sufi
1. Kontroversi Makna Isha>ri> Keberadaan tafsir sufistik menimbulkan beragam penilaian dari berbagai kalangan, otoritas para sufi dalam menafsirkan al- Qur’an juga dipertanyakan. Kontroversi penafsiran sufistik terletak pada penggunaan takwil baik dalam corak naz}ari> maupun isha>ri>. Jika corak naz}ari>berorientasikan pada teori-teori tasawuf dan filsafat yang dijadikan pijakan mereka dalam menafsirkan al- Qur’an. Maka corak isha>ri>atau fayd}i>berorientasikan pada ranah praktis seperti riya>d}ah ruha>ni,> asketisme untuk memperoleh pengetahuan ( ma’rifah) hingga mencapai tingakatan yang disebut kashaf agar mampu menyibak isyarat yang terkandung dalam setiap ayat al- Qur’an. Namun, penggunaan makna isha>ri>dinilai terlalu jauh dari makna z}a>hir ayat. Selain itu, penafsiran sufistik juga dianggap seringkali mengabaikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Karena makna isha>ri> tidak bisa didapat sebelum memahami makna tekstual terlebih dahulu. Inilah yang menjadi dasar ketidak setujuan beberapa kalangan terhadap penafsiran sufistik.
Al- Alu>si> sebagaimana dikutip oleh ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d} menyatakan bahwa penjelasan para sufi mengenai al- Qur’an termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan melalui latihan ruhani agar dapat mengungkap makna isha>ri> tersebut, untuk kemudian dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. 67 Al-Alu>si> melanjutkan, dalam tradisi penafsiran sufi memiliki beberapa tahapan, pada tahap pertama sebelum beranjak kepada pemaknaan secara isha>ri,> makna tekstual ayat harus terlebih dahulu diketahui. Setelah makna z}a>hir ayat diketahui, barulah pada tahap
67 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Terj.) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), 55.
berikutnya beranjak
isha>ri.> Para sufi berkata :‚Barangsiapa mengklaim dapat mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an sebelum mengetahui pengertian z}a>hir-nya, maka ia seperti orang yang mengaku
kepada
pemaknaan secara
telah sampai ke dalam K a’bah sebelum melewati pintunya‛. 68 Nicholas Heer menyatakan bahwa secara global,metodologi penafsiran sufistik adalah dengan mengkombinasikan antara dimensi ba>t}in dengan z}a>hirserta dapat disejajarkan
dengan perpaduan antara syariat dan hakikat. 69
Sementara itu, al-Dhahabi> bependapat bahwa tafsir sufi naz}ari> pada umumnya memalingkan makna al- Qur’an dari maksud dan tujuan sebenarnya. Karena al- Qur’an pada hakikatnya memiliki maksud dan tujuan tertentu, tetapi para sufi dari kelompok ini memalingkannya kepada maksud dan tujuan lain yang sesuai dengan pandangan dan ajaran tasawuf mereka. Sehingga terdapat kontradiksi
diantara kedua maksud dan tujuan tersebut. 70 Lebih lanjut, al-Dhahabi> mencotohkan penafsiran Ibn ‘Arabi> yang cenderung menyandarkan konsep wahda>t
al-wuju>d-nya kepada al-Qur’an. Ini bisa terlihat dari pendapat Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa anak sapi yang disembah oleh bani Israil merupakan manifestasi
( 71 tajalli>) Allah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat (h}ulu>l) bagi-Nya. Contoh penafsiran Ibn ‘Arabi> yang lain, ketika ia menafsirkan Q.S. al-
Baqarah [2] ayat 163:
‚Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa..‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 163)
Menurut Ibn ‘Arabi>, dalam ayat ini Allah berbicara kepada kaum muslimin bahwa orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, pada hakikatnya sama dengan menyembah Allah juga. Ingatlah, ketika mereka berkata: ‚kami menyembah benda-benda ini hanya untuk lebih mendekatkan kami kepada Allah‛ kemudian Allah berfirman: ‚sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik, dengan perantara benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada- Nya adalah sama. Karena pengakuanmu terhadap Tuhan yang Maha Esa tidaklah berbeda‛. 72
P enafsiran Ibn ‘Arabi tersebut beresikountuk menimbulkan kontroversi, karena penafsiran semacam itu dapat merusak akidah umat Islam. Jalaluddin Rakhmat mengemukakan beberapa penyebab ketidak setujuan sebagian kalangan
69 ‘Ali>H{asan al-‘Ari>d}, Sejarah dan Metodologi Tafsir, 56. Heer, Nicholas, ‚Abu>H{a>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the Koran‛ dalam Leonard
Lewisohn (ed.), 70 The Heritage of Sufism(Oxford: Oneword Publication, 1999), vol. 1, 235. Muh}ammad Husayn al-Dhahabi>, Al-Ittija>h al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al- Qur’a>n: Dawa>fi’uha> wa Daf’uha>(Kairo: Da>r al-I’tis}a>m, 1978), 78. 71 Muh}ammad Husayn al-Dhahabi>, Al-Ittija>h al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al- Qur’a>n: Dawa>fi’uha> wa Daf’uha>, 95. 72 Muh}ammad Husayn al-Dhahabi>, Al-Ittija>h al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al- Qur’a>n: Dawa>fi’uha> wa Daf’uha>, 79. Lihat juga Ibn ‘Arabi>, Al-Futuh}a>t al-Makkiyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), Jilid IV, 160.
terhadap keberadaaan penafsiran sufistik yang lebih menekankan pada makna isha>ri>.Pertama, penafsiran para sufi seringkali hanya mengambil makna ba>t}in. Dikhawatirkan ketika orang sudah menerima takwil, ia akan meninggalkan tanzi>l. Kedua, pengambilan makna isha>ri> seringkali mengabaikan kaedah-kaedah bahasa arab. Makna denotatif dari berbagai kata ditundukkan pada makna konotatif yang diperoleh seseorang dari pengalaman rohaninya. Karena pengalaman rohaniah pada
gilirannya sangat subyektif dan irasional yang sulit untuk diverifikasi. Ketiga, kecurigaan terhadap ajaran tasawuf yang dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari al- Qur’an dan sunnah, lebih buruk lagi, tasawuf dianggap sebagai
ajaran dari luar Islam yang dimasukkan ke dalam Islam. 73
Lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat mengatakan, para pengkritik tafsir sufi tampaknya tidak dapat membedakan antara takwil yang sesat dengan takwil yang benar. Terkadang tafsir tidak cukup menjelaskan makna suatu ayat, oleh karena itu diperlukan sebuah penakwilan. Sebab jika hanya bersandar pada tafsir dapat membawa seseorang pada keraguan dan kesesatan. Karena pada praktiknya, takwil dilakukan untuk menggali berbagai dimensi makna yang terkandung al- Qur’an.
Membatasi al- Qur’an hanya dengan makna z}a>hirsaja, akan mendangkalkan samudra Ilahiyah yang kedalaman dan keluasannya tak terhingga. 74
2. Tafsir Isha>ri> dan Ba>t}iniyah Para pengkritik penafsiran sufistik menganggap bahwa penafsiran yang dilakukan oleh para sufi mirip dengan penafsiran sekte Ba>t}iniyah. 75 Seperti pernyataan yang dilontarkan Ibn S{ala>h{ (w. 643 H), bahwa tafsir isha>ri>tidak layak untuk disebut sebagai tafsir. Orang yang menafsirkannya tersebut termasuk
kedalam golongan Ba>t}iniyah. 76 Bahkan jauh sebelum Ibn S{ala>h}, Abu> H{asa>n al-
74 Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah (Bandung: Mizan, 2012), 17-18 75 Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, 19. Geneologi aliran Ba>t}iniyyah pertama kali didirikan oleh kelompok dari keturunan
beragamakan Majusi sekitar tahun 176 H. yang pertama kali memperkenalkan aliran ini adalah Maymun ibn Daysha>n, Bersama Muh}ammad ibn H{usayn, Maymun ibn Daysha>n memperluas ajarannya di daerah Tuz dan berhasil menghimpun para pengikut dalam jumlah yang besar. Pada mulanya aliran Ba>t}iniyyah merupakan ajaran dari luar Islam yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. tujuan mereka memasukkan ajaran mereka kepada orang Islam, dengan cara menakwilkan ayat-ayat al- Qur’an dan hadis-hadis Rasul sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini terlihat dari pengingkaran mereka pada para Rasul, hari kebangkitan dan pembalasan dan syariat, serta menghalakan segala sesuatu yang sesuai dengan ajaran mereka. Selain itu, Menurut keyakinan mereka surga adalah segala kenikmatan yang berada dunia, dan neraka adalah ketekunan para pengemban syariat dalam menunaikan shalat, puasa, haji dan jihad. ‘Abd al-Qahi>r ibn T{a>hit ibn Muh}ammad al- Baghda>di>, Al-Farq baina al-Fira>q (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), 221. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Ba>t}iniyyah diadopsi oleh salah satu sekte Syi’ah yang dikenal dengan penamaan asal al-Isma> ’iliyyah, dan merupakan salah satu aliran Syi’ah yang terbesar selain Syi’ah Ima>miyah dan Syi’ah Zaidiyah. salah seorang ulama Syi’ah Zaidiyah, Ah}mad ibn Sulayma>n (w. 566) mengatakan, bahwa aliran Ba>t}iniyyah dinisbatkan kepada Syi’ah Isma>’iliyah. Lebih lanjut Ah}mad ibn Sulayma>n beranggapan bahwa mereka adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri mereka Islam, namun hakikat batinnya kufur, dan mereka meyakini bahwa semua teks-teks al- Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin. Ah}mad ibn Sulayma>n, H{aqa>‘iq al-Ma’rifah fi> ‘Ilm al-Kala>m (Shan’a: Mu‘assasah Zaid ibn ‘Ali> al-Thaqa>fi>, 2003), 500. 76
Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa>, 29.
Wa>h}idi>(w. 468 H)pernah menyatakan ketidaksetujuannya terkait penafsiran ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sula>mi> (w. 412 H) yang menggunakan pendekatan isha>ri>.Dengan keras ia menyebut siapapun yang mempercayai tafsir al-Sula>mi> berarti ia telah
keluar dari Islam. 77 Nampaknya pernyataan Ibn S{ala>h} dan al-Wa>h}idi> diamini oleh Al-Nasafi> (w. 537 H) yang menyatakan bahwa pemindahan makna denotatif ( z}a>hir) kepada makna konotatif ( ba>t}in) yang dilakukan oleh para sufi sama seperti yang dimunculkan oleh ahli Ba>t}iniyah, dan hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan ( ilh}a>d).
Menurut al-Tafta>zani> (w. 792 H), ilh}a>d tersebut terjadi jika penafsiran sufi hanya mengungkapkan makna ba>t}in saja dengan mengingkari z}a>hir ayat disertai dengan pengabai an aspek syari’at. Apabila interpretasi para sufi tersebut sejalan dengan makna z}a>hir, tidak melepaskan dari aspek syari’at dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuknya, maka hal ini merupakan keteguhan iman dan kesempurnaan
‘irfa>n yang mendalam. 78 Lanjut al-Tafta>zani> (w. 792 H), penafsiran esoterik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai tafsir Ba>t}iniyah,
tetapi ada juga yang tergolong ke dalam tafsir isha>ri>. Menurutnya, pola penafsiran tersebut dilakukan oleh ahli ma’rifah, dan mereka tidak meninggalkan syari’ah. Berbeda dengan penafsiran Ba>t}iniyah yang tidak menyandarkan interpretasi teks al- Qur’an melalui indikator yang tertuang dalam z}a>hirayat, dan hanya mengambil makna ba>t}in yang hanya diketahui oleh para imam mereka. Sebagaimana al-Nasafi> (w. 537 H), al-Taftaza>ni>(w. 792 H) pun menolak penafsiran sekteBa>t}iniyah dan menganggap interpretasi mereka terhadap al- Qur’an sebagai sebuah penyimpangan, karena pada dasarnya interpretasi dengan pola tersebut sama dengan mengubah
makna-makna al- 79 Qur’an. Dari pernyataan al-Tafta>zani> (w. 792 H) tersebut, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang dilakukan ahli Ba>t}iniyah berbeda dengan
penafsiran para sufi. Hal ini disebabkan ahli Ba>t}iniyah dalam menafsirkan ayat hanya meyakini makna ba>t}in dan mengingkari makna z}a>hir ayat. Berbeda dengan para sufi, ketika menafsirkan al- Qur’an tidak mengingkari makna z}a>hir ayat serta tidakm engabaian aspek syari’ah.
Penganut aliran Ba>t}iniyah beryakinan bahwa ayat-ayat al- Qur’an memiliki makna esoterik, dan makna itulah yang dikehendaki oleh Allah. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa setiap masa harus ada seorang imam yang dijadikan sumber rujukan dalam penakwilan makna
z}a>hir ayat al-Qur’an. 80 Hal itu disandarkan pada sebuah hadis:
Menurut Ja’far al-Ba>qir (w. 114 H), 82 maksud ‚z}a>hir‛ dalam hadis tersebut adalah 83 tanzi>l-nya, sedangkan ‚ba>t}in‛ adalah takwilnya. Dalam tradisi takwil
78 Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa>, 29. Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid. II, 184. Lihat juga Muh}ammad
‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- 79 ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 66-67. 80 Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Al- Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 172.
T. Marizal, Penafsiran dengan Pendekatan Isyari: Kajian Terhadap Kitab Haqa>’iq al-Tafsir> Karya Abu> Abdirrahman al-Sulami>, 56-57. 81
Makna hadis tersebut adalah ‚Setiap ayat itu mempunyai makna zahir dan bathin.‛ Makna hadis tersebut adalah ‚Setiap ayat itu mempunyai makna zahir dan bathin.‛
ayat dalam al- 84 Qur’an adalah mutasha>biha>t yang dimungkinkan untuk ditakwilkan. Salah satu mufassir dari aliran Ba>t}iniyah adalah Nu’ma>n ibn Mans}u>r ibn
Ah}mad al-Tami>mi> (w. 363 H). Ia secara eksplisit menonjolkan pemaknaan al- Qur’an dengan makna esoterik. Hal ini terlihat dalam penafsirannya terhadap Q.S.
al- Jum’ah [62] ayat 2-3:
‚Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (al- Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛ (Q.S. al-Jum’ah [62]: 2-3)
Menurut Nu’man, dalam ayat ini Allah mengutus seorang Rasul kepeda mereka yang memenuhi seruan para Imam. Muhammad adalah Rasul pada masanya, dan akan selalu ada rasul setelah kewafatannya, yaitu para imam. Mereka yang hidup pada masa Rasul tapi tidak bertemu dengannya, mereka akan bertemu dengan rasul-rasul sesudahnya, yaitu para imam. Imam adalah karunia Allah yang dianugerahi kepeda mereka pengikut yang setia, sebagaimana dimaksudkan oleh ayat setelahnya:
‚Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.‛ (Q.S. al- Jum’ah [62]:4)
82 Nama lengkapnya ialah Muh}ammad al- Ba>qir ibn ‘Ali> ibn Husain ibn ‘Ali> ibn Abi> Tha>lib. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 57 H, dan meninggal di Madinah pada tahun 114 H. dalam tradisi
kepercayaan Syi’ah Imamiyah Abu> Ja’far al-Ba>qir didaulat sebagai imam ke 5, sedangkan dalam kepercayaan Syi’ah Isma’i>liyah ia dipercaya sebagai imam yang ke 4. Di kalangan sunni sendiri ia mendapatkan penghormatan yang tinggi karena pengetahuan agamanya. Tim Penulis UIN Syarif
Hidayatullah, 83 Ensklopedia Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), Jilid II, 845. Muhammad Ha>di> Ma’rifah, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi> Thawbah al-Qashi>b (Masyhad, al- Ja>mi’ah al-Rid}awiyah li> al-‘Ulu>m al-Isla>miyah, t.th), Jilid I, 23. 84 Nasaruddin Umar, ‚Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah.‛ Jurnal Studi al- Qur’an, Vol. II, No. 1 (2007), 44.
Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang memikul Taurat dalam ayat selanjutnya:
‚Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab- kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.‛ (Q.S. al-Jum’ah [62]:5)
Adalah orang-orang z}a>hir, perumpamaan orang-orang z}a>hirtersebut seperti keledai yang memahami kitab-kitab sesuai dengan
hujjah mereka. 85 Dari penafsiran Nu’man tersebut, terlihat bahwa penakwilannya sangat sulit dipahami meskipun ditinjau
dari segi bahasa sekalipun. Penakwilan esoteriknya sangat jauh dari makna z}a>hir serta terkesan menafikan makna z}a>hirayat. Makna-makna esoterik yang diungkapkan terkesan hanya untuk menjustifikasi doktrin ajaran kelompoknya semata. Dan bila dicermati lebih seksama, penafsiran semacam ini dapat menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam, karena tidak sejalan dengan koridor syar i’at.
Persamaan antara penafsiran para sufi dan sekte Ba>t}iniyah terletak pada penggunaan takwil sebagai metode dalam memaknai ayat al- Qur’an. Selain itu, Nabi Muhammad saw. sama-sama diposisikan sebagai pemegang otoritas utama dalam penakwilan al- Qur’an. Baik Ba>t}iniyah maupun sufi sebagai kalangan yang menerima takwil mensyaratkan penakwilannya dari kalangan ‘al-ra>sikhu>n fi> al-‘ilm yang diterangkan dalam hadis Abu> al- Darda>’:
Dalam konteks hadis di atas, kalangan Ba>t}iniyah berkeyakinan bahwa makna-makna esoterik al- Qur’an hanya dapat ditakwilkan oleh Nabi saw., kemudian diteruskan oleh para imam ahl bayt. Sedangkan kaum sufi beranggapan bahwa hanya orang yang telah memperoleh kashaf-lah yang pantas menakwilkan al- Qur’an. 87 Di sinilah terlihat perbedaan mencolok antara Ba>t}iniyah dan sufi. Kalangan Ba>t}iniyah mematok kriteria yang dianggap al-ra>sikhu>na fi> al- ‘ilm hanya
86 Nu’ma>n al-Tami>mi>, Ta’wi>l al-Da’a>’i>m (Kairo: Da> al-Ma’a>rif, t.th), Jilid I, 314. Makna hadis tersbut ialah: ‚Orang yang menepati sumpahnya, jujur ucapannya, teguh
pendiriannya, serta memelihara perut dan kehormatannya, merekalah yang termasuk dalam ‘al- ra>sikhu>n fi> al- ‘ilm‛ Hadis no. 3205, dalam Bab Qawluhu> ta’a>la>: wa al-ra>sikhu>n fi> al-‘ilm. ‘Abdurrah}ma>n ibn Abi> H{a>tim, Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnad ‘an Rasu>lilla>h wa al-S{ah}a>bah wa al- Ta>bi’i>n (Makkah: Maktabah Nazza>r Mus}t}afa> al-Ba>z, 1997), Jilid I, 599. 87
Nasaruddin Umar, ‚Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah.‛ 45-46.
pada imam kalangan ahl bayt yang ma’sum. Hal ini jelas mengabaikan karakter yang disebutkan hadis di atas, karena hanya imam ahl bayt sajalah yang dapat menakwilkan al- Qur’an. Berbeda dengan kaum sufi yang tidak membatasi pada golongan tertentu, melainkan terpenuhinya karakter yang disebutkan oleh hadis
tersebut. 88 Selain masalah otoritas penakwilan, perbedaan lain antara kedua kelompok tersebut terletak pada perhatian terhadap makna z}a>hir. Para sufi dalam
menyibak makna ba>t}in masih mengkompromikan makna teks ayat. Bertolak belakang dengan kalangan Ba>t}iniyah yang kerap menafikan makna z}a>hir ayat dan hanya meyakini makna esoterik saja.
3. Makna Za>hir dan Ba>t}in dalam Tafsir Sufi Para sufi berkeyakinan bahwa dibalik ayat al- Qur’an terdapat beberapa makna mendalam yang sangat halus. Hal tersebut didasari pada pandangan mereka bahwa hakikat al- Qur’an tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriyah semata, tetapi tersimpan pula makna esoterik yang penting untuk disingkap. Menurut mereka, penakwilan atas makna-makna al- Qur’an dan hadis
hanya dapat diketahui oleh para ahli hakikat, yaitu mereka ber- muja>hadah mengamalkan ajaran al- Qur’an dan sunnah, sehingga Allah swt. menganugerahkan kepada mereka pengetahuan khusus, yaitu ‘ilm kashf agar dapat menyibak makna esoterik yang terkandung di balik teks al- Qur’an. Sehingga bukan hanya makna di balik teks yang dapat tersingkap, bahkan makna di balik huruf al- Qur’an pun dapat
diungkap pula, tergantung pada kadar kedekatan seseorang kepada Allah swt.. 89 Pandangan para sufi yang didapatkan berdasarkan ilham yang mereka peroleh sebagai hasil muja>hadah mereka tersebut tergolong ke dalam apa yang dikonsepsikan sebagai hermeneutika pengalaman ( the hermeneutics of experience) atas teks al-
Qur’an. 90 Meminjam konsep Gerrard L. Burns dalam Hermeneutics Ancient and Modern, pemahaman seseorang terhadap sebuah teks tidak didapatkan
melalui tradisi, tetapi pemahaman seseorang terhadap sebuah tradisi didapatkan melalui pengalamannya terhadap teks. 91 Maka tidak mengherankan bila para sufi mampu memeberikan makna spiritual yang sangat dalam pada penafsirannya. Para sufi menggunakan takwil sebagai metode penafsiran mereka, dengan takwil mereka mampu menyingkap isyarat halus yang terkandung di balik nas} al- Qur’an. Oleh sebab itu, kaum sufi lebih senang menyebut tafsir mereka dengan istilah tafsir isha>ri>. Selain itu, penggunaan kata isha>ri>ini dimaksudkan untuk membedakan penafsiran mereka dengan yang dilakukan oleh kaum Ba>t}iniyah. Za>hir dan ba>t}in merupakan konsep yang digunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikiran mereka dalam menafsirkan al- Qur’an. Metode berpikir mereka berangkat dari yang z}a>hirmenuju yang batin. Karena bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui makna esoterik al-Q ur’an tanpa terlebih dahulu memahami makna teks al- Qur’an tersebut.
89 Nasaruddin Umar, ‚Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah.‛ 46. 90 Nasaruddin Umar, ‚Konstruksi Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah‛ 42. 91 M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an‛, 15. Gerard L. Bruns, Hemeneutics; Ancient and Modern (New Haven: Yale University Press,
Menurut al-Tustari> (w 283 H), yang dimaksudkan dengan z}a>hir al-Qur’an adalah bacaannya (
tila>wah), sedangkan ba>t}in adalah pemahamannya (fahm). 92 Menurutnya, hanya beberapa kalangan tertentu saja yang mampu menyelami aspek
metaforikal dan testimonial dari ayat-ayat al- Qur’an sebagai bagian dari dimensi pemahaman secara ba>t}in. Karena z}a>hir maupun ba>t}in pada al-Qur’an berasal dari Allah swt.. Za>hir adalah turunya (tanzi>l) al-Qur’an dari Allah kepada nabi Muhammad saw. dengan menggunakan lafaz al- Qur’an yang tersusun dalam bahasa Arab,ini bisa dipahami secara umum oleh orang yang memahami bahasa Arab. Sedangkan ba>t}in-nya adalah adanya pemahaman di hati seorang mukmin, yang bersumber dari Allah swt. dengan dianugerahi pemahaman ini, seseorang akan
mampu membuka dimensi 93 ba>t}in di luar lafaz dan struktur ayat. Pemahaman dan penakwilan dualisme za>hir dan ba>t}in tersebut tidak dikembalikan kepada manusia,
tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu –termasuk manusia- memiliki dimensi za>hir dan ba>tin, yang za>hir adalah bentuk yang bisa diindera (al- h}issiyah) dan yang ba>t}in adalah ru>h} al- ma’nawi. Oleh karena itu, seorang sufi tidak boleh mengklaim penafsirannya sebagai satu-satunya yang dikehendaki Allah, karena kebenaran hanyalah milik Allah swt.
92 Sahl ibn ‘Abdullah al-Tustari>, Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Az}i>m (kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyya al-Kubra>, 1991), 3-5. 93
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid II, 265.