CORAK TAFSIR SUFISTIK Studi Analisis atas Tafsir Ru>h}al-Baya>n Karya Isma>‘i>l Haqqi> TESIS

CORAK TAFSIR SUFISTIK Studi Analisis atas Tafsir Ru>h}al-Baya>n Karya Isma>‘i>l Haqqi> TESIS

DiajukanUntuk Memenuhi Salah SatuSyaratMemperolehGelar Magister

dalamBidangTafsirInterdisiplin

Oleh:

MUHAMAD ZAENAL MUTTAQIN 12.2.00.1.05.01.0031

Pembimbing: Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. pembawa kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Alh}amdulilla>h, dengan berbagai kesulitan yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis ini, akhirnya berkat ridha dan inayah Allah Swt., semua kesulitan tersebut dapat penulis lalui.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil di dalam penyelesaian tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-pihak lainnya.

Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., kepada Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA., kepada jajaran pimpinan serta para dosen pengajar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA., Dr. JM. Muslimin, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Bambang Pranowo MA., Prof. Dr. Zainun Kamal, MA., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof. Dr. Syukron Kamil, MA., Dr. Sudarnoto, MA.,Prof. Dr. Iik Ansari, MA., Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., selaku pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak sekali memberikan masukan-masukan yang berharga kepada penulis demi berkualitasnya karya ini.

Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan terimakasih yang setulus- tulusnya kepada a yahanda tercinta Drs. H. Ma’mun, MM., serta Ibunda tercinta Hj. Heni Nurhayani, S.Pd., yang tak pernah letih memberikan motivasi serta kasih sayang yang tulus kepada penulis. Selain itu, kepada kakak-kakak tercinta, A. Dachri Iskandar, Evy Wafiroh,Fiki Fikayah, Maulana Joko Purnomo, adik-adik tercintaBachrul Ilmi dan Nurul Fadhilah, serta keponakan tecinta Nasrul Fattah, Rafasya Maulana, Dzakiah Al-Maira semoga Allah senantiasa melindungi kalian semua.

Keempat, tak ketinggalan penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi di SPs.UIN Jakarta ini, kepada K.H. Syafiuddin Al-Ayyubi, Lc. MA. Hum., Desi Amalia, MA. Hk.,Buya Arif Nursihah, Ade Fauzi, Lc. MA. Ek., Moch. Khoiruddin, MA. Hk., Mamih Sri Wahyuni, MA. Hk.,Mufrodi, MA.

Pd.,Suhirman, MA. Ek.,Raden Siti Fadhilah, Mas Rofiq, Rafika Ade Saputra, Adit, Ihsan Ahmad, Ummul Fadilah, Sofiyuddin, MA. Pd., Khoirul Umam, Rahmah Ningsih, Nurul Etika, MA. Hk., Reksiana, MA. Pd., Harun Mulawarman, MA. Hk., Arianto dan teman-teman seperjuangan di SPs. UIN Jakarta lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kajian keislaman, disertai harapan semoga dengan hadirnya karya ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat dalam memperkaya wawasan intelektual, khususnya bagi perkembangan khazanah ‘ulu>m al-Qur’a>n.

Jakarta, 5 Agustus 2015

Muhamad Zaenal Muttaqin

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “Corak Tafsir Sufistik: Studi atas Tafsir Ru>h} al- Baya>n Karya Isma>‘i>l H{aqqi>” yang ditulis oleh Muhamad Zaenal Muttaqin

NIM 12.2.00.1.05.01.0031 telah melalui proses bimbingan dan bisa diajukan untuk Ujian Promosi.

Jakarta, 4 Oktober 2015 Pembimbing

Prof. Dr. YUNASRIL ALI, MA

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis dengan judul “Corak Tafsir Sufistik:Studi Analisis atas Tafsir Ru>h} al-Baya>n Karya Isma>‘i>l H{aqqi>” yang disusun oleh Muhamad Zaenal Muttaqindengan NIM: 12.2.00.1.40.01.0031, dinyatakan telah LULUS pada Ujian Pendahuluan Tesis pada tanggal 27Agustus 2015 dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan rekomendasi dari Tim Penguji serta dapat diajukan untuk Ujian Promosi Magister.

TIM PENGUJI

NO Nama Penguji Keterangan/Tandatangan

Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA

1 (Ketua Sidang/merangkap Penguji)

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

3 (Pembimbing/merangkap Penguji)

Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA

4 (Penguji I)

Prof. Dr. Hamadani Anwar, MA

5 (Penguji II)

ABSTRAK

Penelitian ini menunjukan bahwa penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi> termasuk ke dalam corak tafsir sufi fayd}i>. Hal ini terlihat dari penafsiran sufistiknya yang mengharmonisasikan makna zahir ayat dengan makna isha>ri>. Dengan demikian, makna sufistik yang dikemukakannya tidak keluar dari makna zahir yang terkandung pada ayat. Selain itu, penafsiran sufistik yang dilakukan Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> terhadap ayat-ayat terkait ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman sufistik jika ditinjau dari teori validitas tafsir sufistik yang dikemukakan al-Dhahabi> adalah valid atau dapat diterima.

Penelitian ini mendukung pendapat al-Alu>si> (2001) yang menyatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh para sufi tentang al- Qur’an merupakan isyarat yang mendalam, yang dapat disesuaikan dengan makna z}a>hir. Al-Zarqa>ni> (t.th) berpendapat penafsiran sufistik menggabungkan makna z}a>hir dengan makna isha>ri> yang tersembunyi. Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh al-

penafsiran sufistik mengharmonisasikan antara makna eksoteris dan esoterik. Nicholas Heer (1999) menyatakan bahwa secara global metodologi penafsiran sufistik adalah dengan mengkombinasikan antara dimensi ba>t}in dengan z}a>hir serta dapat disejajarkan dengan perpaduan antara syariat dan hakikat.

Penelitian ini menolak pendapat Ibn S{ala>h} (1348 H), yang menyatakan bahwa tafsir Sufistik tidak layak untuk disebut sebagai tafsir, Orang yang menafsirkannya tersebut termasuk kedalam golongan Ba>t}iniyyah. Al- Zarkashi>(t.th) berpendapat bahwa perkataan para sufi dalam penafsiran mereka bukanlah merupakan sebuah tafsir, akan tetapi hanya kesan yang didapat ketika sedang membaca al- Qur’an. Al-T{u>s}i>(1960) beranggapan bahwa pola penafsiran sufistik merupakan kesalahan dan kedustaan yang besar kepada Allah. Penafsiran ala sufi tersebut merubah dan memalingkan makna dari posisi yang semestinya.

Penelitian ini termasuk dalam kajian kepustakaan ( library research). Sumber data primer dalam penelitan in adalah tafsir karya Isma‘i>l H{aqqi> Bursawi> yang berjudul Ru>h} al-Baya>n fi>Tafsi>r al- Qur’a>n. Adapun data sekunder dari penelitian ini yaitu literatur yang berkaitan dengan tasawuf, ‘ulu>m al- Qur’a>n dan tafsir-tafsir sufistik. Adapun Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan Content Analisis, dan komparatif Analisis. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secaraobjektif dengan mengkomparasikan pendapat yang satu dengan yang lainnya, sehingga didapati konklusi dari permasalahan penelitian.

1999 ( يرهسلاوكينلاقو . نطابلاورهاظلا ى نعلماقيسنت ب . ةعيبطلاونوناقلانيب ةقفاولما عمىواستتنأنكيم تيلا ةينطابلاو 1348 ( حلاص نباةركفضفرتةساردلاهذه ةعوملمجا نمبرتعي يرسفتلاب موقي يذلاصخشلانإف،يرسفتلاىمسينأقحتسيلايفوصلايرسفتلانأ يرشت تيلا، ) H لا فيوصلايرسفتلا

نع ينيفوصلا ملاكيف دجو ام نأ ) t.th ( يشكرزلا لاقو . ةينطابلا نم برتعت فيوصلايرسفتلاط انمأنأ يسوطل لاوقي . نآرقلاةءارق ءانثأةبستكلما تا عابطنلاا انمإو ،ايرسفت ىمسي . حيحصلافقولما نم نىع لم لاوتحويريغت ب ماق فيوصلايرسفت لا اذه . للها لىإ ةيربكلا بذكلاو ءاطخلأا باتك وهثحبلااذهيفيساسلأاتانايبلاردصم و . ةيبتكلما ثوحبلا نم برتعت ةساردلاهذه امأ .

ABSTRACT

This research proves that the sufistic interpretation of Isma>'i>l Haqqi>can

be includedinthe sufi interpretation patternof It is shown from his sufistic

fayd}i>.

interpretation that harmonizes textual meaning with isha>ri> interpretation. Therefore, sufistic interpretationthat has presented is not contradictingto the textual meaning. In addition, Isma>'i>l Haqqi> ’s sufistic interpretation about ‘ubu>diyah verses and the dimensions of sufismis valid or acceptable according toal-Dhahabi >’s theory of validity sufistic interpretation.

This research supports the statement of al-Alu>si> (2001) who stated that explanation of the sufis about al-Q ur’a>n is a depth cue, which can be adjusted with the textual meaning . Al-Zarqa>ni>(t. th.) stated that sufistic interpretation combines textual meaning and hidden meaning of isha>ri>.The similiar statement is stated by al-Dhahabi> (2000) that sufistic interpretation harmonizes between

exoteric and esoteric meaning. Nicholar Heer (1999) stated that globally, methodology of sufistic interpretation combines between z}a>hir and ba>t}in

dimension that can be equal to the unification between shari ‘ah and haqi>qah. This research refused the statement of Ibn S{ala>h} (1348 H) that sufistic interpretation is not relevant to be called as interpretation. Mufassirwho interpret those are included in the sect of Ba>t}iniyah. Al-Zarkashi (t. th) stated that words of Sufis in their interpretation does not include an interpretation, but it is only an impression that is gained when reciting al-Qur'a>n. Al-T{u>si> (1960) assumed that sufistic interpretation pattern is mistaken and a big falsehood to Allah. Sufistic interpretation changes and diverts the meaning from proper position.

This research includes in library research. The primary data in this research was taken from Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Q ur’a>nby Isma‘i>l H{aqqi>al- Bursawi. The secondary data of this research was taken from the literature related to Tasawuf, ‘Ulu>m al-Qur’a>n and sufistic commentaries. Toanalyze those data is using content analysis and comparative analysis. The gathered data then processed and analyzed objectively by comparing one opinion to another, so that it can find the conclusion from the problem of the research.

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedomantransliterasi Arab-Latin yang digunakandalampenelitianiniadalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitusebagaiberikut:

A. Konsonan

Dh ل

Sh

S{

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda

Nama

Huruf Latin

Nama

Fat ḥah

Kasrah

Ḑammah

ي ... َ Fat ḥahdanya

Ai

A dan I

A da U Contoh:

و ... َ Fat ḥahdanwau

Au

ينسح : H{usain

لوح : H{aul

a dangaris di atas يـِـ

Fat ḥahdanalif

a>

I dangaris di atas وُــ

Kasrahdanya

Ḑamahdanwau

u dangaris di atas

C. Ta’ Marbūţah

Transliterasi ta’ marb ūţah (ة) di akhir kata, biladimatikanditulis h. Contoh: ةأرم :M ar’ah

ةسردم : Madrasah

(ketentuaninitidakdigunakanterhadap kata-kata Arab yang sudahdiserapkedalambahasa

sepertishalat, zakat dansebagainya,kecualidikehendakilafadzaslinya)

Indonesia

D. Shiddah Shiddah/Tashd īd di transliterasiinidilambangkandenganhuruf, yaituhuruf yang samadenganhurufbershaddahitu. Contoh:

: Shawwa>l انّبر: لاّوش

Rabbana>

E. Kata SandangAlif + La>m Apabiladiikutidenganhurufqamariyah, ditulis al. Contoh: ملقل ا : al-Qalam

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kajian al- Qur’an selalu mengalami perkembanganyang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban dunia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, dari mulai yang klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode, serta pendekatan yang

digunakan. 1 Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, tradisi penafsiran al- Qur’an terus berkembang,mulai dari periode klasik kemudian periode pertengahan dan terus berkembang sampai masa

kontemporer. 2 Bahkan sejak abad ketiga hingga sekitar abad keempat hijriyah, bidang tafsir menjadi disiplin ilmu yang mendapat perhatian khusus dari para

sarjana muslim. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap al-

Qur’an. 3 Perkembangan ilmu telah merangsang para mufassir untuk lebih membuka tabir al-Qur’an, yang ditinjau

dari berbagai bidang pengetahuan, sehingga membuat corak tafsir menjadi lebih bervariasi. 4

Metode penafsiran yang berkembang juga sangat beragam, dalam metode penafsiran dikenal metode

6 metode tah}li>li>, 7 ijma>li>, muqa>rin dan

5 metode

1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), 1. 2 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi membagi sejarah penafsiran al- Qur’an kedalam tiga

fase, yaitu: pertama, adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat; kedua, yaitu fase perkemba ngan tafsir pada masa tabi’in; ketiga, fase perkembangan tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid I, 32-342. Lihat juga Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 326-333.

3 Leonard Binder (ed.), The Study of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Science, (New York: A. Weley-Interscience Publication, 1976), 65. Lihat

juga Sayyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 58.

4 Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al- Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu, 1975) 76-77. 5 Metode tah}li>li> adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara meneliti semua

aspeknya serta menyingkap seluruh maksud dari ayat tersebut, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, muna>saba>t, asba>b nuzu>l ayat, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, tabi’in. Prosedur tersebut dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Lihat ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al- Tafsi>r al- Mawd{u>‘i> (Kairo: Maktabah Jumhu>riyah, 1977), 24. 6

Metode ijma>li> yaitu menafsirkan al-Qur’an secara global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al- Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah, sehingga dapat dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya. Lihat ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al- Mawd{u>‘i>, 43.

metode 8 maud} u>’i>. Selain metode, dalam ilmu tafsir dikenal juga beragam bentuk penafsiran, diantaranya: bi al- ra’y, bi al-ma’thu>r, dan bial-isha>ri.>Dari bentuk

penafsiran yang disebutkan pertama, muncullahberbagai macam corak penafsiran. Hal ini disebabkan tafsir bi> al- ra’y yang biasanya menggunakan

metode tah}li>li>, para mufassir relatif mendapat kebebasan, sehingga mereka lebih leluasa dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al- Qur’an. Tentunya masih dalam koridor yang sesuai dengan syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk bi al- ra’y dengan metode tah}li>li> dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam. 9

Ada beberapa corak penafsiran yang dikemukakan oleh pakar tafsir. Diantaranya: Quraish Shihab 10 menjelaskan, setidaknya corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: corak sastra bahasa ( al-tafsi>r al-lugha>wi>/ al-

11 bala>ghi>), 12 corak filsafat dan teologi ( al-tafsir al-falsa>fi>), corak penafsiran ilmiah ( 13 al-tafsi>r al- ‘ilmi>>), corak fiqih atau hukum ( al-tafsi>r al-fiqhi>/ al-tafsi>r al-aya>t al-ah}ka>m), 14 corak tasawuf (

al-tafsi>r al-s}u>fi>) 15 dan corak sastra

7 Metode muqa>rin adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan merujuk atau membandingkan dengan penjelasan para mufassir lainnya. ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi>

al-Tafsi>r al- 8 Mawd{u>‘i>, 45. Metode maud}u>’i> yaitu menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Selanjutnya menguraikan dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali, bersamaan dengan itu dikemukakan pula tujuan yang menyuluruh dari pembahasan tersebut sehingga bagian- bagian yang terdalam dari tema tersebut dapat dipahami oleh pembaca. ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>,

9 Nashiruddin Baidan, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al- Metodologi Penafsiran al- Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 50.

Mawd{u>‘i>, 52.

10 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 72-73. 11

Corak ini timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dalam bidang sastra, sehingga dirasa perlu untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al- Qur’an di bidang ini. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 216. Perhatian terhadap penafsiran dengan kecenderungan bahasa terus berkembang sejalan dengan kontak budaya antara bahasa Arab dengan bahasa non Arab. Pada masa shahabat, kecenderungan ini mulai nampak dengan tujuan untuk menyelamatkan dari pengaruh bahasa non Arab. Lihat Ali al-U<si>, dalam al-Hikmah (Bandung: Mîzan, 1992), 15.

12 Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta adanya gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada

masa khalifah Abbasiyah. Buku-buku yang diterjemahkan kebanyakan buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan Plato. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 216. Biasanya mufassircorak ini menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an berdasarkan pandangan atau pemikiran filsafat, seperti halnya

tafsi>r bi al- ra’yi. Dalam hal ini ayat al-Qur’an lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, 431.

13 Corak ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha para mufassir untuk memehami ayat-ayat al- Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu. Abuddin Nata,

Metodologi Studi Islam, 216. 14 Kemunculan corak ini lebih diakibatkan semakin berkembangnya kajian ilmu Fiqih,

dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang dimana setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, contoh tafsir ini adalah Ahka>m al- Qur’a>n karya al-Jas}a>s} (H{ana>fi); Al-Ja>m’i’ li ahka>m al-Qur’a>n dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang dimana setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, contoh tafsir ini adalah Ahka>m al- Qur’a>n karya al-Jas}a>s} (H{ana>fi); Al-Ja>m’i’ li ahka>m al-Qur’a>n

-Tafsi>r al-lugha>wi> ke dalam corak penafsiran, 18 selebihnya Farmawi sependapat dengan penjelasan al-Dhahabi. Sementara itu,

Al-Sharba>s}i>dalam penelitiannya memasukkan al-tafsi>r al-siya>si> ke dalam corak penafsiran. Hal ini didasarkan pada pendapat-pendapat kelompok Khawarij dan lainnya yang terlibat politik dalam memahami ayat-ayat al- Qur’an.Menurut mereka, dalam al- Qur’an terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan perilaku

serta peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai pada saat itu. 19 Keberadaanpenafsiran sufistik menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, beragam penilaianterhadap kalangan sufi bermunculan. Otoritas sufi dalam menafsirkan al- Qur’an digugat, tetapi juga dibela. Penafsiran sufistik digugat kesahihan metodenya karena mirip dengan metode ta’wi>lyang dilakukan kalangan Syi‘ah Ba>t}iniyyah. Salah satu hal yang menarik dan ditengarai telah menjadi inti selamatnya sufi dari tuduhan kekafiran seperti yang ditimpakan terhadap kalangan Ba>t}iniyyahadalah analisis para sufi yang tetap menyertakan makna z}a>hir, makna baku yang diperoleh melalui proses ijtihadi yang valid merujuk kepada pernyataan al-Qur ’an, sunnah, maupun

karya al-Qurtubi> (Maliki); Kanz al- ‘Irfa>n fi> Fiqh al-Qur’a>n karya Miqda>d al-Saiwari> (Syi’ah Ithna ‘ash’ariyah).

15 Adapun corak tafsir ini lebih didasarkan oleh pemikiran sufi, tafsir ini terbagi menjadi dua bagian: tafsi>r Su>fi> al-Naz}a>ri>, yaitu tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran

penulis tafsir tersebut seperti renungan filsafat. Menurut al-Dhahabi, tafsir ini tertolak. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid II, 346. Bagian kedua dari jenis tafsir sufi adalah Tafsi>r Su>fi> al-Isha>ri>, yaitu tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi ( kasha>f), seperti Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Adhi>m karya al-Tustari>; Haqa>’iq al-Tafsi>r karya al-Sulami> dan Ara>is al-Baya>n fi> Haqa>iq al- Qur’a>n karya al-Shira>zi>. Menurut al-Dhahabi Tafsi>r su>fi> isha>ri ini dapat diterima dengan beberapa syarat: 1) terdapat dalil s yar’i yang menguatkan. 2) tidak bertentangan dengan syariat. 3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat- syarat tersebut maka akan tertolak. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid II, 377.

16 Corak tafsir ini menjelaskan petunjuk ayat-ayat al- Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta sebagai usaha untuk menanggulangi permasalahan yang

terjadi berdasarkan petunjuk ayat. Dengan kata lain, penafsiran corak ini tidak disandarkan pada pendapat fuqaha>’ tertentu dan tokoh-tokoh aliran keagamaan dan pemikiran yang telah berlalu, dan tidak juga terbatasi oleh sebab nuzul yang dipahami secara harfiyyah, melainkan didasarkan pada pertimbangan akal, kondisi sosial dan tuntutan jamannya. Lihat Bakri Syaikh Amin, Al- Ta’bi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1980), 134.

17 Corak tafsir ini lebih bersumber dari riwayat dari Rasul, Sahabat dan Tabi’in. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 152. Adapun contoh Jenis

Tafsir ini adalah Ja>m’i al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya al-T{aba>ri>; Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adhi>m karya Ibn Kathi>r; Al-Du>r al-Manthu>r karya al-Suyu>ti>. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid I, 204-252.

18 ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al- Mawd{u>‘i>, 24. 19 Ahmad Al-Sharba>s}i>, Sejarah Teks al- Qur’a>n (terj.) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985),

konsepsi pemakaian bahasa secara umum. Atas landasan makna z}a>hir inilah mereka membangun metode penafsiran al- Qur’an secara isha>ri> dalam menggali signifikansi moral al- Qur’an yang menjadi legacy mereka sebagai pewaris tugas kenabian dalam membawa

risa>lah akhla>qiyyah kepada manusia secara umum. 20 Kaum sufimemandang bahwa al- Qur’an tidak hanya bernuansakan makna z}a>hir saja,tetapijuga menyimpan pesan ba>t}in yang tampak pada setiap ayat-ayatnya. 21 Karena itu, kaum sufisangat senang dengan aspek-aspek alegoris, 22 sehingga setiap mendalami makna esoterik sering kali memalingkan

makna literal-ekstoterik. 23 Para sufi mempunyai manhaj tersendiri dalam menafsirkan al- Qur’an, manhaj yang dimaksud adalah menakwilkan ayat-ayat al-

Qur’an secara metaforis. 24 Hal itu disebabkan para mufassir sufi memandang bahwa setiap ayat al- Qur’an mengandung empat makna: yaitu makna z}a>hir,

ba>t}in, h}add, dan mat}la’. Makna z}a>hir ayat adalah sebagai bacaannya, ba>t}in ayat adalah ta’wilnya, h}add adalah hukum-hukum tentang halal dan haram, sedangkan mat}la’adalah tujuan Allah dari hamba-Nya dengan ayat itu

sendiri. 25 Untuk itu seorang mufassir harus menjalankan riya>d}ah ruhani agar memperoleh pengetahuan ( ma’rifah)sampai mencapai tingkatan yang disebut kasha>f, dimana dengan kasha>f tersebut dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terkandung dalam al- 26 Qur’an.

Perkembangan sufisme dalam khazanah Islam ditandai dengan praktik- praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Oleh kalangan tertentu, praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mah}abbah, ma’rifah, h}ulul, dan wah}dat al-wuju>d. Dengan demikian, berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam, yaitu para praktisi ( ‘ama>li>) yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof ( naz}a>ri>-falsa>fi>) yang lebih mengedapankan teori-teori mistisnya. Pada gilirannya dari kedua model sufisme ini lahirlah dua corak penafsiran sufistik yang biasa dikenal dengan istilah tafsir sufi

naz}a>ri> dan tafsir sufi isha>ri> atau fayd}i>. 27

20 M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an‛, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 1, no. 2, (2004): 1. 21

22 Al-Sira>j al-T}u>si, al- Luma>’(Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960),106-107. Annabel Keeler, ‚S{u>fi> tafsi>r as Mirror: al-Qushayri> the Murshid in his Lat}a>‘if al-

No. 1 (2006), 1. http://www.jstor.org/stable/25728196 . (diakses 22 Maret, 2014).

Isha>ra>t‛, Journal of

Qur’anic

23 Alexander D. Knysh, ‚Sufism and Qur’a>n‛ dalam J.D. McAuliffe (ed.), The Encyclopedia of the Qur’a>n (Leiden-Boston: E.J. Brill, 2006) vol. 5, 137.

24 Ka>mil Must}afa> al-Shibli, al-S{ila>h baina al-Tasawwuf wa al- Tasyayyu‘ (Kairo: D ār al- Ma‘ ārif, 1958), 416. 25

M. Anwar Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛ dalam Kusmana dan Syamsuri (eds), Pengantar Kajian Al- Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2004), 249.

27 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 347.

Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2005), 72.

Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir sufi naz}a>ri>sebagai sebuah tafsir yang dilakukan oleh kelompok teosof ( naz}a>ri>-falsa>fi>) untuk mempromosikan salah satu di antara sekian teori mistik dengan menggeser tujuan al- Qur’an kepada tujuan dan target mistis

mufassir-nya. 28 Sudah tentu hal ini tidak mudah, mengingat al- Qur’an itu diturunkan tidak untuk menjustifikasi suatu pandangan

tertentu, tetapi untuk mencari pemahaman terhadap al- Qur’an yang dapat digunakan sebagai dasar atau pegangan bagi pandangannya. Adapun corak tafsir sufi isha>ri> atau fayd}i>, Subh}i Sa>lih} mendefinisikan sebagai sebuah bentuk penakwilan ayat-ayat al- Qur’an yang berbeda dari makna z}a>hir-nya sesuai dengan pemahaman yang ditunjukkan oleh isyarat samar ( al-isha>rah al- khafiyah) yang terkandung di dalamnya, di mana hal ituhanya bisa dipahami

oleh seseorang yang telah melakukan perjalanan spiritual ( sulu>k) saja. 29 Namun sebenarnya perbedaan cara pandang mereka terhadap al-Qur'an masih dapat ditarik benang merahnya. Kaum sufi, secara keseluruhan, sependapat bahwa al- Qur'an itu mempunyai dua dimensi,

z}a>hir dan ba>t}i>n. 30

Pada praktiknya, kaum sufiharus mengalami benturan dengan kaum formalistik fuqaha>’, muhaddithi>n dan mufassir dari kalangan bi> al-ma’thu>r,

yang terlalu sibuk berkutat dan berputar-putar dalam kubangan makna lahiriah. 31 Ibn S{ala>h} (w. 643 H) menyatakan tafsir sufitidak layak untuk disebut

sebagai tafsir. Orang yang menafsirkannya tersebut termasuk kedalam golongan Ba>t}iniyyah. 32 Bahkan dijelaskan juga oleh Ibn S{ala>h, Abu H{asa>n al-Wa>h}idi> (w.

468 H), pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait dengan tafsir karya ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sula>mi> (w. 412 H) yang menggunakan pendekatan isha>ri>. Lebih dari itu, ia menyebut siapapun yang mempercayai tafsir al-Sula>mi>

tersebut berarti ia telah keluar dari Islam. 33 Senada dengan al-Wa>h}idi>, al-T{u>s}i>(w. 378 H) yang dikutip oleh Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n menganggap pola penafsiran

sufistik merupakan sebuah kesalahan dan kedustaan yang besar kepada Allah. Penafsiran ala sufi tersebut merubah dan memalingkan makna dari posisi yang semestinya. Menurut al-T{u>s}i>, dalam memahami al- Qur’an, terdapat larangan untuk mendahulukan apa-apa yang diakhirkan Allah, begitupun sebaliknya tidak boleh mengakhirkan apa-apa yang didahulukan Allah. Selain itu, tidak

29 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 256. 30 Subh}i> Sa>lih}, Maba>hith fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-’Ilm li> al-Mala>yi>n, t.t), 296. Statemen tersebut awal mulanya diungkapkan oleh golongan Syi’ah Isma’iliyah saat

meletakkan dasar-dasar dalam menafsirkan al- Qur’an, yang didasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh al-H{asan bahwa ia berkata:

Diriwayatkan dari al- Hasan, Rasulullah saw. bersabda: ‚Setiap ayat memiliki z}a>hir dan ba>t}in, dan setiap huruf mempunyai h}ad dan setiap h}ad mempunyai mat}la’‛.Untuk lebih detailnya Lihat Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila> Mana>hij al-Mufassirin (Kairo: al-Risalah, 1987), 150.

31 Aik Iksan Anshori, Tafsir Ishari>: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 1. 32 33 Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa> (Kairo: Ida>rah T{aba>’ah al-Muni>riyyah, 1348 H), 29.

Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa> (Kairo: Ida>rah T{aba>’ah al-Muni>riyyah, 1348 H.), 29.

diperkenankan untuk menafsirkan al- Qur’an di luar dari makna bahasa Arab, karena al- 34 Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas. Al-

Zarkashi>(w. 794 H) dalam kitabnya al- Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n membuka pasal tentang tafsir sufi dengan pernyataan bahwasannya perkataan para sufi dalam penafsiran mereka bukanlah merupakan sebuah tafsir, tetapi hanya kesan yang didapat ketika sedang membaca al- Qur’an.Berikut ini adalah salah satu contoh penafsiranpara sufi terhadap ayat al- Qur’an:

‚Wahai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang yang dekat dengan kamu dari orang-orang kafir, dan hendaklah mereka meraakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang yang bertaqwa ‛ (Q.S. al-Tawbah [9]: 123).

Kata ‚yalu>nakum‛ yang artinya ‚dekat kepadamu‛ ditafsirkan dengan arti nafsu. Para sufi berpendapat bahwa alasan manusia diperintah membunuh

orang kafir yang dekat dalam ayat tersebutadalah karena kedekatan jaraknya. Sedangkan perkara yang paling dekat kepada manusia adalah nafsunya sendiri. Oleh sebab itu, manusia diperintah untuk membunuh nafsu yang ada dalam dirinya, sebab nafsu termasuk sesuatu yang paling dekat kepada manusia

bahkan berada dalam diri manusia itu sendiri. 35

Al-Suyu>t}i>(w. 911 H) dalam kitabnya al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>njuga membuka pasal tentang penafsiran para sufi dengan pernyataan yang bernada klarifikatif, ‚amma kala>m al-s}u>fiy fi> al- Qur’a>n fa laysa bi al-tafsi>r‛ (pandangan kalangan sufi terhadap al- 36 Qur’an bukanlah sebuah tafsir). Sementara itu, Al-

Nasafi>(w. 537 H) berpendapat bahwa penafsiran sufi>merupakan pemindahan dari makna denotatif ( z}a>hir) kepada makna konotatif (ba>t}in) seperti yang dimunculkan oleh ahli Ba>t}iniyyahadalahilh}a>d(penyimpangan). Namun menurut Al-Tafta>zani> (w. 792 H), ilh}a>d tersebut dapat terjadi jika penafsiran sufi hanya mengungkapkan makna ba>t}insaja sembari mengingkariz}a>hirayat pada langkah selanjutnya dengan mengabaikan aspek syari’at. Apabila interpretasi para sufi tersebut sejalan dengan makna z}a>hir, tidak melepaskan dari aspek syari’at dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuknya, maka hal itu merupakan keteguhan iman dan kesempurnaan

‘irfa>nyang mendalam. 37 Dari penjelasan tersebut, tampaknya al-Nasafi> menolak tafsir Ba>t}iniyyah dengan

34 Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n, Us} ūl at-Tafsīr wa Qawa>’iduhu> (Beirut: Da>r al-Nafa>‘is, 1986), 215.

35 Badr al-Di>n Muh}ammad al-Zarkashi>, Al- Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, t.th), 170. 36

Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah wa Mat}ba’ah al- Mashhad al-H}usyni>, 1967), Jilid IV, 194. 37 Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al- It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 184. Lihat juga Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al- ‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid II, 66-67.

pernyataannya bahwa penafsiran Ba>t}iniyyahmerupakan sebuah bentuk penyimpangan.

Berbeda dengan al-Nasafi>, al-Tafta>zani (w. 792 H) berpendapat bahwa penafsiran esoterik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai tafsir Ba>t}iniyyah, tetapi ada juga yang tergolong kedalam tafsir isha>ri>. Karena pada dasarnya ia menerima dan mengakui pola penafsiran isha>ri>karena menurutnya pola penafsiran tersebut dilakukan oleh ahli ma’rifah, dan mereka tidak meninggalkan syari’ah. Berbeda dengan penafsiran Ba>t}iniyyahyang hanya menafsirkan dan menggali makna ba>t}in saja dan meniadakan makna z}a>hirayat. Sebagaimana al-Nasafi>, al-Taftaza>ni> pun menolaknya dan menganggap hal itu sebagai sebuah penyimpangan, karena pada dasarnya penafsiran dengan pola

tersebut sama dengan merubah makna-makna al- Qur’an. 38 Al-Ghaza>li>(w. 505 H) menyetujui dan mengakui eksitensi tafsir sufi, ia mengatakan bahwa untuk dapat menguasai ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang di masa mendatang maka hendaklah membaca al- Qur’an. Segala macam ilmu masuk di

dalam perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya, karena di dalam al- Qur’an, Allah menjelaskan tentang diri-Nya, Dha>t-Nya, a f’a>l-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Menurut al-Ghaza>li>,semua ilmu itu tak berujung, dan dalam al- Qur’an sendiri terkandung isyarat mengenai hal itu. Kemudian al-Ghaza>li> menambahkan, bahkan segala sesuatu yang sulit bagi mufakkiri>n untuk memahaminya, danterjadi perbedaan pendapat secara teoritis diantara mereka, maka dalam al- Qur’an disediakan rumus dan petunjuk (dila>lah) untuk penyelesaiannya. Selanjutnya al-Ghazali mengajak untuk menyelami dan merenungi hal-hal yang gha>rib dari al-Qur’an agar sejalan dan selaras (muwa>faqah) dengan ilmu orang-

orang terdahulu dan yang akan datang. 39 Senada dengan al-Ghaza>li>, al-Sha>t}ibi>(w. 790 H) mengakui pemaknaan

al- Qur’an secara isha>ri> dengan dua syarat. Pertama, makna ba>t}in sesuai dengan tuntutan z}a>hir sebagaimana ketentuan dalam stuktur bahasa Arab. Kedua, pemaknaan ba>t}intersebut harus mempunyai argumentasi syari’at yang mendukung keabsahannya tanpa ada pertentangan di dalamnya. Jika tidak, maka penafsirannya terhadap al-

Qur’an termasuk mengada-ada. 40 Pada realitanya, jika menengok ke belakang, sejatinya akan didapati

sumber dari al- Qur’an dan Hadis yang mendasari penafsiran isha>ri>, karena penafsiran corak ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Menafsirkan ayat- ayat al- Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantara penafsiran isha>ri> sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nas}r:

38 Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Al- Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Damaskus: Mu’assasah al- ‘Irfa>n, 1390 H), 172.

39 Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n, Us} ūl at-Tafsīr wa Qawa>’iduhu>(Beirut: Da>r al-Nafa>‘is, 1986), 220.

40 Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwafaqa>t fi> Us}u>l al- Shari’ah (Beirut: Da>r al-Ma’a>rif, t.t), Jilid III, 357.

لَّلاِإ ٍ ِئَممْوَيُّي ِنِاَعَد ُهلَّوَأ ُتيِئُر اَ َ - مْمُهَعَم ُهَلَخمْدَأَ - ٍممْوَيُّي َتاَذ اَعَدَ . مْمُ مْ ِلَع ُثمْيَح مْنِم ُهلَّوِإ ُرَ ُع َلاَ َيُّ َهلَّللا ُدَ مَْنَ اَومْرِمُأ مْمُهُضمْعَيُّب َلاَ َيُّ ) ُ مْ َ مْلاَو ِهلَّللا ُرمْ َو َءاَج اَذِإ ( َلَاَعَيُّا ِهلَّللا ِلمْوَيُّق ِفِ َنوُلوُ َيُّا اَم َلاَق . مْمُهَيُّيُِيِْل ٍسالَّبَع َنمْبا اَي ُلوُ َيُّا َكاَ َكَأ ِلَ َلاَ َيُّ اةًئمْيَش مْلُ َيُّي مْمَلَيُّ مْمُهُضمْعَيُّب َتَكَسَو . اَ مْيُّيَلَع َ ِ ُ َو اَومْرِ ُو اَذِإ ، ُهُرِ مْغَيُّ مْسَوَو اَذِإ ( َلاَق ، ُهَل ُهَ َلمْعَأ - ملسو هيلع للها ىلص -

‚Diriwayatkan dari Mu>sa> Ibn Isma>‘i>l, dari Abu> ‘Awa>nah, dari Abi> Bishr dari Sa‘i>d Ibn Jubayr dari Ibn ‘Abba>s berkata: ‚Suatu ketika ‘Umar Ibn

Khat}t}a>b membawa saya masuk (singgah) bersama sahabat-sahabat senior yang ikut dalam peperangan Badar, maka seolah-olah sebagian mereka marah terhadap ‘Umar dan berkata ‚Mengapa engkau ajak dia (Ibn ‘Abba>s) bersama kita padahal kami mempunyai anak seumur dia‛. Maka berkata Umar: ‚Kalian telah mengenal siapa dia (Ibn ‘Abbas)‛. Maka ‘Umar memanggil Ibn ‘Abbas pada suatu hari dan mengajak bergabung bersama mereka. (Ibn ‘Abbas berkata) ‚Tidaklah ‘Umar memanggilku kecuali untuk memperlihatkan kepada mereka (kelebihanku)‛. Umar berkata: ‚Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah ‘Idha> ja>’ anas}rulla>hi wa al-fath}’? Maka sebagian mereka menjawab: ‚Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya apabila kita ditolong dan diberikan kemenangan kepada kita‛ dan sebagian lain diam tidak menjawab sedikitpun. Maka Umar berkata kepadaku: ‚Apakah demikian juga pendapatmu wahai Ibn ‘Abba>s?‛ Maka aku menjawab ‚Bukan‛.Kemudian ‘Umar berkata: ‚Bagaimana pendapatmu?‛. Aku berkata: ‚Ayattersebut adalah tanda dari ajal Rasulullah saw. Allah memberitahu kepada Nabi mengenai ajalnya. Dan demikian pula mengenai ajalmu (fasabbih} bih}amdi Rabbika wa astaghfirh innahu> ka>na tawwa>ba>). Maka ‘Umar berkata ‚Aku tidak mengetahui tentang ayat ini kecuali apa yang kamu katakan ‛.

Dari hadis yang telah disebutkan di atas, tafsir sufistik mempunyai kenyataan akar geneologi kuat yangbersumber dari al- Qur’an dan hadis. Artinya tafsir sufist ik mempunyai legitimasi syari’at sebagai dasar legalitas dan

41 Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, Sahi>h al-Bukha>ri> (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2004), Jilid III, kitab Tafsir al-Qur ’an, bab Surat idha> ja>’a nas}rulla>h, no. hadis 4970, h. 339.

formalitas yang sepatutnya mendapat pengakuan. Dengan kata lain, asumsi ini membantah ulama fuqaha>’, muh}addith, dan mufassir yang menyatakan bahwa

tafsirsufistik bukan termasuk kategori tafsir dan termasuk bentuk khurafat. 42 Geneologi tafsir sufi isha>ri>sendiri mempunyai riwayat yang panjang. Dalam sejarah kebudayaan Arab, mulanya terdapat tiga epistem besar yang saling berbenturan satu sama lain. Yakni episteme baya>ni>, ‘irfa>ni> dan burha>ni>. Benturan-benturan episteme tersebut berupa perdebatan sengit yang terjadi antara fuqa ha>’ (baya>ni>) dengan kaum sufi (‘irfa>ni>), fuqaha>’ (baya>ni>) dengan filosof (

burha>ni>), dan filosof (baya>ni>) dengan kaum sufi( 43 ‘irfa>ni>). Untuk meredam serta menjembatani benturan dari masing-masing epistemologi

tersebut, kaum sufi ‘Ama>li> berupaya mengharmonisasikan ketiganya. Al- Muh}a>sibi> (w. 857 M) misalnya, yang berusaha mengharmonisasikan antara nalar baya>ni> dengan ‘irfa>ni> yang dikemudian hari disebut tasawuf sunni. Tujuan mendamaikan dua nalar besar tersebut disebabkan terdapat perbedaan yang ekstrim antara tafsir sufi naz}a>ri> dengan tafsir sufi isha>ri>. Pasca Al-Muh}a>sibi

adalah Sahl Al-Tustari> (w. 986 M) dengan karyanya Tafsi>r al- Qur’a>n al-‘Az}i>m atau biasa dikenal dengan Tafsi>r Tustari>. Namun sayangnya, tafsir ini dinilai banyak kalangan kurang memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan

tidak lengkap dalam mengapresiasi seluruh kandungan al- 44 Qur’an. Setelah itu muncul tafsir Haqa>‘iq al–Tafsi>r karya Abu> Abd al-Rah}ma>n al-Sulami> (w. 412

H). Akan tetapi, tafsir ini mendapat penilaian negatif. Bahkan dituduh banyak terdapat bid’ah, berbau syi’ah dan terdapat banyak hadis mawdu’ di

dalamnya. 45 Pekembangan selanjutnya muncullah ‘Abd al-Kari>m ibn H{awa>zan al- Qushayri> (w. 465 H), dengan karya tafsirnya yang berjudul Lat}a>‘if al-Isha>ra>t atau yang lebih populer dengan Tafsi>r al-Qushayri>.Dalam Risa>lah al- Qushairiyyah-nya,ia berpendapat bahwa setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tertolak dan setiap hakikat tidak berlandaskan syariat maka gagal,

syariat adalah ibadah dan hakikat adalah saksi dari ibadah itu sendiri. 46 Di samping itu, dalam menafsirkan al- Qur’an ia berusaha agar tetap mengacu kepada syariat, dalam hal ini al-

Qur’an dan Hadis. 47 Setelah al-Qushayri>, estafet penafsiran sufistik dilakukan oleh al-Ghaza>li> (w. 1111 M). Ia berhasil

menggabungkan tiga nalar episteme sekaligus. Bahkan ia menelurkan dikotomi

42 Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 3. 43

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 5. 44 45 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), 47. 46 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 47.

Ibarhim Bashuni dalam muqoddimah-nya. Lihat Al-Qushayri>, Lat}a>‘if al-Isha>ra>t (Kairo: al- 47 Hay‘ah al-Mis}riyah, 2007), Jilid I, 6. Jawid A. Mojaddedi, ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri’s Risala‛, Studia Islamica, No. 90 (2000), 46, http://www.jstor.org/stable/1596163. (diakses 4 Maret, 2014). Lihat juga Kristin Zahra Sands, S{u>fi > Commentaries on The Qur’a>n in Classical Islam, (New York: Routledge, 2006), 71.

antara tafsir dan takwil. Tafsir sebagai interpretasi harfiah z}a>hir teks ayat al- Qur’an dan ta’wil adalah interpretasi ba>t}in kaum sufistik. 48

Tidak ketinggalan, Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> (w. 1725M),-selanjutnya disebut al-Bursawi>- seorang sufi besar berkebangsaan Turki yang mengarang tafsir Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n.Al-Bursawi>mula-mula mengungkap makna setiap ayat secara lahir dengan gamblang, luas dan mendalam dengan menggunakan pendekatan riwayat yang sahih dari Nabi atau sahabat. Setelah itu baru dia menulis pemaknaan ayat secara 49 isha>ri>. Itulah sebabnya tafsir ini,

juga dipandang para ahli sebagai tafsir yang berhasil memadukan antara tafsir lahir dan tafsir batin serta tidak akan menyerupai kitab-kitab tafsir sufi

terdahulunya. 50 Hanya persoalannya sejauh pengamatan peneliti, kajian metodologi tafsir sufistik –dalam kajian ini al-Bursawi>- masih jarang yang menggarap secara maksimal. Apalagi jika dilihat dalam kajian manahi>j al- muafssiri>n atau kajian-kajian ‘ulu>m al- Qur’a>n sangat jarang ditemukan metodologi penentuan corak tafsir ishari>. Kebanyakan metodologi yang ada

cenderung berorientasikan tafsir mazhab eksoterik, baik model tafsi>r bi al- ma‘thu>r maupun tafsi>rbi al-ra’y. Inilah yang menjadi pendorong dalam penelitian ini, dimana penulis akan membahasnya dengan judul: ‚Corak Tafsir Sufistik:Studi Analisis atas Tafsir Ru>h} al-Baya>nKarya Isma>‘i>l H{aqqi>‛.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah. Merujuk pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang terkait

dengan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Geneologi Tafsir SufiSufistik yang bersumber langsung dari al- Qur’an dan Hadis.

b. Perbedaan corak Tafsir Sufi Isha>ri>atau Fayd}i> dengan Tafsir Sufi Naz}a>ri>.

c. Perbedaan Tafsir SufiIsa>hri>Fayd}i>dan Tafsir Sufi Naz}a>ri> dengan Tafsir Syi’ah Ba>t}iniyah.

d. Rumusan metode Tafsir Isha>ri>Fayd}i>secara teoritis.

e. Validitas penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>>.

f. Corak penafsiran sufistik al-Bursawi>dalam peta penafsiran sufistik.

2. Pembatasan Masalah

48 Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 7. 49

M. Sait Ozervarh, ‚Alternative to Modernization in the Late Ottoman Period: Izmirli Ismail Hakki’s Religious Thought againt Mterialist Scientism‛, International Journal of Middle East Studies, Vol. 39, No. 1, (Feb., 2007): 92, http://www.jstor.org/stable/4129113. (diakses 28 April 2014). 50

Mani>’ ‘Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Mana>hij al-Mufassiri>n (terj) (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), 173.

Dari beberapa masalah yang telah diidentifikasikan di atas,maka obyek penelitian ini adalah ayat-ayat al- Qur’an. Dalam hal ini, peneliti hanya membatasi analisis mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman sufistik.Pada permasalan ‘ubu>diyah, ibadah yang diambil adalah shalat, puasa, haji dan zikir. Adapun zakat tidak disertkan karena penulis berasumsi bahwa zakat merupakan ibadah yang lebih bersifat sosial. Sedangkan ibadah-ibadah shalat, puasa, haji dan zikir lebih bersifat transendental. Oleh karena itu, zakat tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Kemudian pada tema puncak pengalaman para sufi, term yang diambil adalah mah}abbah, ma‘rifah. fana>’, baqa>’, kashf dan ittih}a>d.Dari penafsiran al-Bursawi> mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman para sufi itu, peneliti kemudian menganalisis secara kritis dengan menggunakan teori validitas sufistik yang dikemukakan oleh al-Dhahabi> yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama,sebuah penafsiran sufistik tidak boleh bertentangan dengan makna zahir ayat al- Qur’an;kedua,didukung oleh argumen rasional atau bukti kuat yang bersumber dari syara’; ketiga,tidak bertentangan dengan syariat atau akal sehat; keempat, tidak mengklaim bahwa tafsir sufistik adalah satu- satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat tersebut, sebaliknya mufassir yang menulis tafsir tersebut, mengakui adanya makna z}a>hir ayat sebelumia menjelaskan makna 51 isha>ri-nya. Dengan menilik keempat aspek tersebut

diharapkan dapat mengetahui informasi tentang corak penafsiran sufistik al- Bursawi>.

3. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah untuk

penelitian ini adalah: ‚Bagaimana corak penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi>al- Bursawi>serta validitas interpretasi sufistiknya ?‛

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Menurut pembacaan peneliti, penelitian secara khusus yang berkenaan dengan tafsir Isha>ri> terlihat dalam berbagai penelitian para akademisi masa kini terhadap berbagai kitab tafsir.Misalnya,Septia Wadi dalam Disertasinya yang berjudul ‚Penafsiran Sufistik Sa’i>d H{awwa> Dalam al-Asa>s fi> al- Tafsi>r.‛ yang di tulis di UIN Syarif Hidayatullah jakarta pada 2010. Ia meneliti ayat-ayat yang ditafsirkan secara Isha>ri> oleh Sa‘i>d H{awwa> dalam al-Asa>s fi> al-Tafsi>r yang berkaitan dengan ayat-ayat maqa>ma>t dan dimensi ajaran tasawuf. Dari penelitian itu menunjukan bahwa penafsiran sufistik yang dilakukan oleh H{awwa> menggunakan makna isha>ri> dengan tetap mengacu pada makna lahir ayat.konklusi pada penelitian tersebut mengacu kepada pandangan al-Zarqa>ni> yang menyatakan bahwa penafsiran sufistik diimplementasikan dengan menakwilkan ayat al- Qur’an di luar makna lahir berdasarkan isyarat

51 Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 48.

tersembunyi dengan tetap mengacu kepada makna lahir ayat. 52 Walaupun mengkaji seputar tafsir Isha>ri>, nampaknya objek kajian dalam penelitian

tersebut berbeda dengan tesis ini yang mengkaji tentang kecenderungan penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi>.

Tidak ketinggalan Baharuddin HS (2002) dalam Disertasinya berjudul ‚Corak Tafsir Ru>h} al- Ma‘a>ni>karya al-Alu>si>: Telaah Atas Ayat-ayat yang

Ditafsirkan Secara Isha>ri>‛yang ditulisdi UIN Syarif Hidayatullah Jakartajuga meneliti penafsiran sufistik al-Alu>si> dalam Ru>h} al- Ma‘a>ni>.Penelitian tersebut mempertegas bahwa penafsiran sufistik yang dilakukan mufassir bersandarkan pada al- Qur’an dan Sunnah, sehingga legal secara syara serta tidak bertentangan dengan makna lahir ayat. Karena yang tidak dilegalkan, ketika penakwilkan terhadap ayat menyimpang dari makna lahir serta bertentangan

dengan syara 53 ‘. Walaupun mengkaji seputar penafsiran secara Isha>ri>, namun objek kajian dalam penelitian tersebut berbeda dengan tesis ini yang mengkaji

tentang corak tafsir sufistik Isma >’i>l H{aqqi>dalam Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’a>n serta validitas penafsirannya.