Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Dalam waktu beberapa minggu dari penulisan kata-kata Santen, buah-buah busuk dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di bulan Desember 1957 mulai muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner dibentuk di Sumatra Tengah di bulan
Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice
Februari 1958 oleh pemimpin kudeta Kolonel Achmed Hussein dan dipimpin oleh Dr Syafruddin Prawiranegara. Operasi yang didukung CIA ini, yang dimungkinkan oleh pengebirian pergerakan Desember 1957 oleh PKI, merupakan percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun setelah itu.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor Quatrieme Internatio- nal menambahkan sebuah catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan 'demokrasi' terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguh- nya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen! Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap sosialis dari kekuasaan pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan "pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto. Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli) Dari
Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan
tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat Tergabung" di tahun 1957. "Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner sebentar lagi." Kata artikel Santen. Seluruh "Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
BAB KELIMA Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis. Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak pernah terungkap setajam seperti di
Indonesia antara tahun 1963 dan 1965. Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah. Stalinis- Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat. Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat "elemen- elemen pro-rakyat," yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan "perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis." Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung dengan "Sekretariat Tergabung" Pablois Ernest Mandel. Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi
Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice
proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari "persatuan kembali" dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: "Di negara-negara kolonial dan semi- kolonial...kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun."
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah rakyat Indonesia. Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan: "Kelemahan musuh di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul." Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.