Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati

Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati

Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia, India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia maju bergerak dalam perjua- ngan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan diri dari imperialisme.

Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara kapitalis mengadakan perjuangan-perjuangan yang menggoncangkan. Itu hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan diri.

Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan- perjuangan mandiri kelas buruh.

Di negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.

Perjanjian-perjanjian setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme, tetapi membebankan kepada rakyat agen- agen baru kekuasaan imperialis. Ini adalah kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno, mengadakan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan sosial tipis kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan nasional.

Dalam Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di daerah itu.

Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris dapat mencapai sana. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis bergabung melawan rakyat Indonesia.

Ketika perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI, menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.

Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai partai revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda, buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.

Untuk menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih Perdana Menteri (juga seorang anggota PKI rahasia), menandatangani Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent dari karet Indonesia, 65percent perkebunan kopi, 95 percent perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat bersenjata"

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jendral-jendralnya. Di tahun 1948 aksi- aksi pemogokan menentang pemerintah Republik, yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen. Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan "kesatuan nasional".

Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan, kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun. Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan- kekuatan imperialis.

Di bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah, pengadaan pemburuan anggota- anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi $10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"

Dua bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang, setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang melawan Belanda.

Pembunuhan-pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang lainnya dihukum mati. Konsul-Jendral AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk menekan komunisme."

Terbesarkan hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan militer baru di Desember 1948, menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah dalam waktu enam bulan. Meskipun begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag membebankan pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia, melibatkan konsesi- konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis Indonesia.

Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan imperialis Belanda dalam Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap mempertahankan hukum- hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan dengan menggabungkan tentara- tentara Belanda yang berasal dari Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan parlemen di republik yang baru.

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani ke dalam perjuangan- perjuangan yang damai dan "demokratis". Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia Kedua melawan Belanda.

Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting, perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan asing.

Contohnya, 70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih dipegang oleh perusa- haan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent dari semua transaksi keuangan Indonesia.

Menurut perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun 1950an, modal Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar. Pemerintah Sukarno mengata- kan bahwa meskipun jika mereka ingin menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme. Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39. Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan- perkebunan, bank-bank, toko-toko dan kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.

BAB KEDUA Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa Pada bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi Indonesia

tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani. Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut banyak yang dirampas dan diduduki.

Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol situasi itu.

Kabar di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

"Ketiga bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi di depan kawan-kawan seperjua- ngan yang penuh semangat dan kemudian di depan para administrator-administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat itu akan menjadi milik Republik Indonesia."

Surat kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal

11 Desember 1957:"Di Jakarta para Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusahaan milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah pimpinan perserikatan buruh Komunis."

Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New York Herald- Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja-pekerja di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di Borneo (Kalimantan)." Koran "New York Times" pada hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja, anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah disita."

Surat-surat kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan- perusahaan Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika. Kabar-kabar serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.

Ada juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerakan ini menimbulkan perlawanan di Papua New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina. Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan Sukarno adalah untuk mengguna- kan ancaman penasionalisasian sebagai cara untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia dapat mengambil-alihnya.

Dalam usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda. Para buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusahaan Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militer- nya ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan itu dari para buruh.

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat, pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."

Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan hanya menjalankan perusahaan-perusahaan yang diduduki, tetapi buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan produksi. "Pemerintah harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis untuk perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja harus menunjang keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."

Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, mencoba menentramkan hati imperialis- me AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan buruh, petani dan organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."

Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa, Tillman Durdin menulis di "New York Times" tanggal 16 Desember:"Anggota-anggota Badan Penasehat National yang berorientasi Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan itu adalah 'anarko-sindikalisme' tak berdisiplin. Para Komunis membela program penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini. Sukarno sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk sebuah "liburan" di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.

Perspektif para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme "demokratis". Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.

Sejalan dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala kemungkinan". Kenyataannya, sebagian besar senjata- senjata yang digunakan dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan