Permulaan Persiapan Militer
Permulaan Persiapan Militer
Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah dan Utara.
Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah militer menolak rencana ini, dan mengambil- alih kekuasaan provinsi-provinsi mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet "non-partai" yang baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.
Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu, operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.
Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai pengaruh dominan. Yang pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February 1958.
Pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak sayap-kanan ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu itu kelihatannya Amerika bakal campur- tangan secara langsung di Sumatra dengan alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil. Komando militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan Sukarno selamat. Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43
Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice
batalion angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap- kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan NASAKOM. Dalam mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.
Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan politis PKI dinyatakan oleh kepemim- pinan SOBSI, federasi serikat pekerja yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional bulan Mei 1960:
"SOBSI menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu dari para perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara...mereka tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu, presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator militer."