PERANAN NEKOLIM DALAM TRAGEDI NASIONAL 1965

PERANAN NEKOLIM DALAM TRAGEDI NASIONAL 1965

Nekolim akronim untuk Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme. Akronim ini agak umum kita kenal pada masa sebelum terjadi tragedi nasional 1965.

Pada tahun 1930 – kita tinjau agak jauh ke belakang - dalam pidato pembelaannya yang termashur ‘Indonesia Menggugat´di depan pengadilan kolonial Hindia Belanda Bung Karno secara ilmiah dan gamblang mengexpos sistem imperialisme dan kolonialisme yang dipraktekkan di jajahan Hindia Belanda. Bung Karno mengung- kapkan bahwa sistem penindasan dan exploatasi atas rakyat dan bangsa Indonesia, tak terelakkan akan membangkitkan perlawanan dan perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan cita-cita itu pasti akan terwujud. Pada 17 Agustus yang lalu kita peringati ulangtahun ke-60 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi itu adalah satu puncak dalam perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia selama puluhan tahun melawan imperialisme dan kolonialisme, pertama-tama dari Belanda, kemudian Jepang dan selanjutnya berbagai kekuasaan imperialis dunia.

Sejak tahun 1930 banyak sekali terjadi perubahan internasional dalam perimbangan kekuatan negara-negara imperialis dan sistem kolonialisme. Sistem kolonial yang lama runtuh, banyak negeri jajahan dan setengah-jajahan mencapai kemerdeka- annya. Namun inti kupasan dan analisis Bung Karno mengenai imperialisme dan kolonialisme masih berlaku sampai sekarang.

Dengan proklamasi kemerdekaan R.I. rakyat Indonesia mematahkan belenggu imperialisme Belanda dan fasisme Jepang. Tetapi pada saat itupun imperialisme dan kolonialisme yang tak rela menerima kekalahannya terus merongrong Republik Indonesia yang muda itu.. Pada 1948 komplotan imperialis dengan ‘Red Drive Proposals’ yang bertujuan mencerai-beraikan serta menghancurkan kekuatan revolusioner rakyat Indonesia dilaksanakan dengan pencetusan Peristiwa Madiun. Sekalipun dipaksa menerima kompromi persetujuan Konferensi Meja Bundar rakyat Indonesia meneruskan perjuangan melawan imperialisme demi mewujudkan kemerdekaan yang sungguh-sungguh. Intervensi imperialis, khususnya imperialisme AS, tak berhenti dan semakin nyata. George McKahin, pakar Indonesia dari Univer- sitas Cornell AS, menguraikan dalam bukunya ‘Subversi sebagai politik luarnegeri’, bahwa bagi imperialis AS intervensi dan subversi menjadi bagian dari politik luarnegerinya.

Dalam pernyataan ‘Dasa Sila’ yang disepakati oleh Konferensi AA Bandung pada 1955 dengan tegas dinyatakan dan dicanangkan bahwa ‘kolonialisme belum mati’ dan munculnya ‘neokolonialisme’ – jajahan model baru.

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

Tidak mengherankan bahwa Bung Karno yang menyuarakan tekad perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme itu berkali-kali menjadi sasaran percobaan pembunuhan. Berkali-kali itu gagal, tapi sebagaimana kolonel Maulwi Saelan dalam memoarnya menyatakan, akhirnya usaha itu berhasil, yaitu oleh rezim Suharto.

Dengan menelusuri jalan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini, dapat dilacak tangan nekolim dalam tragedi nasional yang dimulai dengan peristiwa G30S September 1945. Hingga kini masih berlangsung perdebatan dan penelitian mengenai apa sesungguhnya yang terjadi. Namun dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam, kekuatan reaksioner AD dibawah jenderal Suharto segera melak- sanakan pengejaran, penangkapan dan pembunuhan atas semua orang yang dituduh PKI atau menjadi pendukungnya.

Pada saat kita memperingati 40 tahun tragedi nasional 1965, patut kita kenang kembali bagaimana sikap Bung Karno mengenai peristiwa itu. Sikapnya konsekuen mendasarkan diri pada pengenalan mendalam atas siasat imperialisme, kolonialis- me, neokolonialisme. Dalam pidato NAWAKSARA, pidato pertanggung-jawaban sikapnya kepada MPRS pada 10 Januari 1967, Bung Karno menegaskan bahwa atas dasar penyelidikannya yang seksama peristiwa G30S “ditimbulkan oleh ‘pertemuannya’ tiga sebab, yaitu: a) keblingeran pimpinan PKI, b) kelihaian subversi nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’”. MPRS yang sudah dicopoti semua elemen yang mendukung Bung Karno dan yang kritis terhadap AD menolak pidato Bung Karno. Bung Karno lewat penyalahgunaan ‘supersemar’ diturunkan dan sampai meninggal berstatus ‘tahanan rumah’.

Mengapa pernyataan NAWAKSARA Bung Karno samasekali diabaikan? Mengapa sasaran hanya dibidikkan pada PKI dengan meninggalkan segala prosedur hukum? Mengapa tokoh-tokoh pimpinan PKI yang sudah di tangan AD tidak dibawa ke pengadilan tapi dibunuh secara gelap? Mengapa sebab b) kelihaian subversi nekolim dan c)memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’ samasekali tak jadi perhatian? Meneliti pidato NAWAKSARA memberi petujuk kepada kita mengenai sebab-sebabnya.

Dalam NAWAKSARA Bung Karno menekankan keharusan ‘kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri dan bahaya kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri. Kejadian-kejadian yang kita saksikan membuktikan bahwa kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri (yaitu oknum-oknum yang ‘tidak benar’) sudah bersatu padu dengan kekuatan subversif kontra-revolusio- ner dari luar negeri (kelihaian subversi nekolim). Pada hakekatnya kup kontra- revolusioner yang didalangi oleh jenderal Suharto sudah berjalan.

Bahan-bahan dan publikasi yang selama ini diterbitkan, khususnya di luarnegeri, semakin jelas menyingkap ‘kelihaian subversif nekolim’ dalam Tragedi Nasional 1965. Satu bahan penting yalah DOKUMEN CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965 yang diterbitkan oleh Hasta Mitra. Bahan ini merupakan kumpulan data intelijen otentik yang dibuka oleh State Department AS tapi kemudian ditarik kembali oleh CIA. Dari bahan-bahan ini para sejarawan a.l. menyimpulkan bahwa Amerika memberikan nama-nama orang komunis kepada Angkatan Darat

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

Indonesia, yang membunuh paling tidak 105.000 orang komunis pada 1965-1966. CIA tidak bisa lagi menutup peranannya.

Buku yang sangat penting untuk memahami peranan imperialis AS (Pentagon dan CIA) dalam usaha mendominasi dunia yalah karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman yang berjudul: ‘The Washington Connection and Third World Fascism’ (Keterkaitan Washington dengan Fasisme Di Dunia Ketiga), 1979. Dalam Bab 1, Introduksi, a.l. disimpulkan ‘Dunia kolonial yang lama dihancurkan selama Perang Dunia II, menghasilkan kebangkitan nasionalis-radikal yang mengancam hegemoni tradisional Barat dan kepentingan-kepentingan ekonomi bisnis Barat. Untuk membendung ancaman ini Amerika Serikat menggabungkan diri dengan elemen- elemen elite dan militer di Dunia Ketiga yang fungsinya membendung pasang-surut perubahan.´ Inilah yang dilakukan oleh rezim-rezim diktatorial seperti di Vietnam Selatan untuk menahan perjuangan pembebasan rakyat Vietnam, kemudian juga oleh Mobutu di Zaire, Pinochet di Chili dan Suharto di Indonesia. Dalam bab-bab berikutnya Noam Chomsky mengupas keterkaitan neokolonialisme dengan Washington dan bebagai jenis teror yang diterapkan di berbagai negeri dunia ketiga. Bab 4 berjudul ‘Teror Konstruktif’. Mengapa ‘konstruktif’? Karena pembantaian berdarah dan teror yang secara substansial menciptakan iklim investasi yang menguntungkan. Inilah yang dimaksud ‘konstruktif’, sebab mencapai tujuan yang jadi prioritas paling tinggi bagi pemimpin-pemimpin ‘Dunia Bebas’. Adapun masalah hak- hak asasi manusia dapat dikesampingkan. Selanjutnya dengan subjudul: Indonesia: pembasmian massal, sorga kaum investor, diuraikan makna kejadian-kejadian di Indonesia ‘Massaker-massaker besar di Indonesia pada tahun 1965-1966 punya artipenting bersegi tiga. Pertama, kejadian-kejadian itu merupakan suatu tahap baru dalam kekerasan kontrarevolusioner ditandai oleh “pembasmian massal guna mengkonsolidir kekuasaan otoriter”. Kedua, kejadian-kejadian itu mempertunjukkan seterang-terangnya respon pemerintahan AS atas pertumpahan darah di mana hasil- hasil politik dari pembantaian itu dipandang sebagai “positif”. Ketiga, karena reaksi para jurnalis yang bertanggungjawab dan para pemimpin politik antusias, dan protes dunia terhadap pembunuhan massal itu minimal, maka pertumpahan darah di Indonesia mempersiapkan jalan untuk jadi model yang dapat berwujud untuk pogrom-progrom lain yang biarpun lebih kecil tetap berskala besar seperti pada tahun-tahun kemudian di Chili.’

Analisis Chomsky sepenuhnya dibuktikan kebenarannya pada Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Di bidang ekonomi rezim Orba membuka pintu selebar-lebarnya untuk investasi modal asing, meninggalkan prinsip berdikari Bung Karno. Indonesia betul-betul menjadi sorga bagi kaum investor. Ini hasil atas dasar pembantaian massal luarbiasa atas jutaan rakyat tak berdosa, sedangkan dunia barat yang mendominir media massa yang biasanya suka berteriak mengenai pelanggaran hak- hak asasi kemanusiaan, betul-betul bisu dalam seribu bahasa. Sebagaimana dicatat Chomsky “protes dunia itu ....minimal”.

Begitu luas dan besar pembunuhan terjadi di Indonesia, sehingga Chomsky menamakannya ‘holocaust terbesar yang kedua dalam abat keduapuluh.’

Melalui analisis dan bukti-bukti nyata Chomsky menyingkap keterlibatan nekolim, khususnya AS, dalam Tragedi Nasional 1965. Dengan segala cara yang licik para

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

pemihak imperialis ketika itu berusaha mencegah penerbitan edisi pertama buku ini, tapi usaha ini akhirnya sia-sia.

Peranan nekolim ini dengan jelas dibahas juga dalam artikel David Easter yang dimuat di Journal of Cold War History, Vol. 5, No. 1, 2005. Judulnya ‘Keep the Indonesian Pot Boiling’; Western Covert Intervention in Indonesia, Oktober 1965- March 1966. (Biarkan kerusuhan di Indonesia terus berjalan, Intervensi Terselubung Barat di Indonesia, Oktober 1965-Maret 1966). Pembahasan itu lebih jauh menambah persepsi kita. Dalam studi ini David Easter menguraikan persekongkolan antara negara-negara AS, Inggris, Australia dan Malaysia untuk menyebarluaskan propaganda yang menghasut permusuhan terhadap PKI. Dampaknya yalah memberi hati kepada pembunuhan massal terhadap kaum komunis.Terjadilah kerjasama antara negara-negara Barat ini dengan kekuatan AD yang tak setuju dengan politik konfrontasi Sukarno terhadap Malaysia, sehingga mensabot politik itu. Tulis Davis Easter “...Kolonel Willis Ethel, atase militer AS di Jakarta, secara reguler bertemu dengan asisten Nasution”. “Ethel juga memberi jaminan agak luas, bahwa Inggris tidak akan mengeskalir Konfrontasi selama tentara Indonesia sibuk membereskan kaum komunis.” “Tentara Indonesia bisa menindas kaum komunis dengan tidak usah kuatir mengenai operasi-operasi Inggris dan Australia dalam Konfrontasi. Selain itu , Amerika secara rahasia memberi bantuan material kepada tentara.”

David Easter mengakui bahwa propaganda Barat membantu menggambarkan kaum komunis sebagai pembunuh-pembunuh haus darah yang selayaknya harus dibasmi. Dampak kampanye itu adalah untuk ‘dehumanize’ (‘membukan-manusiakan’) kaum komunis supaya lebih mudah membunuhnya. Kita sama-sama tahu ‘keberhasilan’ nekolim dan rezim Orba dalam usaha ini sehingga sampai sekarangpun sangat berat untuk mencabut stigma ‘komunis sebagai penjahat dan pembunuh’ dan melenyap- kan diskriminasi pada korban 1965.

Publikasi penting yang juga perlu disebut yalah karya Roland Challis, ‘Shadow of a Revolution - Indonesia and the Generals’, 2001. Roland Challis yang jadi korespon- den BBC untuk Asia Tenggara dari tahun 1964-1969, meliput semua kejadian sejak peristiwa 30 September 1965, pengejaran dan pembantaian kaum komunis atau yang disangka komunis, sampai berdirinya rezim orba di bawah Suharto. Kesaksian atas berlangsungnya Tragedi Nasional itu begitu menyentuhnya sehingga ia mempersembahkan bukunya kepada jutaan orang Indonesia yang jadi korban. Teks yang dicantumkan pada halaman depan bukunya berbunyi: “Dedicated with respect to the memory of more than one million Indonesians who died and are still dying because of the greed, brutality dan ruthless indifference of the military, politicians, global corporations and ‘statesmen’of all nations.” (Dipersembahkan dengan rasa hormat demi mengenangkan lebih dari satu juta orang Indonesia yang telah mati dan masih akan mati disebabkan kerakusan, kebengisan dan ketak-acuhan kejam para militer, politisi, korporasi-korporasi global dan para ‘negarawan’dari semua bangsa.)

Hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang harus dinikmati oleh semua manusia. Tapi di Indonesia selama puluhan tahun, khususnya sejak berdirinya rezim Orba, hak-hak itu telah dilanggar dan diinjak-injak. Nekolim lewat negara-negara Barat merestui pelanggaran-pelanggaran itu. Peranan nekolim ini tidak hanya ter- batas pada Indonesia, tapi di kebanyakan negeri dunia ketiga, seperti kesewenang-

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

wenangan yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin, Afrika dan Asia, Irak, dan bahkan di beberapa negeri Eropa. Dalam pidatonya pada tanggal 9 September yang lalu dalam Konferensi Hak-hak Asasi Manusia Suhakam, Malaysia, mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dengan tajam mengecam kemunafikan negara-negara Barat dalam hal ini Mereka mengangkat diri sebagai yang berhak meletakkan dasar hak-hak manusia dan menjadi pengawas atas pelaksanaannya di dunia. Globalisasi mereka bukanlah untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepen- tingan kapital.

Pada saat kita memperingati 40 tahun Tragedi Nasional 1965 harus kita camkan peranan jahat nekolim, yang sampai sekarang masih berlangsung. Imperialis AS kini satu-satunya negara adikuasa.. Ambisinya dewasa ini dengan seksama diuraikan dalam karya Chomsky yang terbit 2003 berjudul: HEGEMONY OR SURVIVAL – America’s quest for global dominance (HEGEMONI ATAU BERTAHAN-HIDUP – pelacakan Amerika untuk mencapai dominasi global).

Rakyat dan bangsa kita masih menghadapi perjuangan jangka panjang agar hak-hak asasi manusia dapat ditegakkan dan dinikmati setiap orang. Usaha ini memerlukan persatuan semua kekuatan rakyat dan bangsa Indonesia. Nekolim adalah musuh internasional, maka perlu pula menggalang kerjasama dan solidaritas dengan rakyat berbagai negeri untuk mewujudkan bersama dunia adil dan demokratik.

15 Oktober 2005

Rakyat Merdeka, Minggu, 13 Nopember 2005 http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=lihat&id=4751

Kapankah Soeharto Diseret Ke Pengadilan Catatan Wartawan 'Rakyat Merdeka' A Supardi Adiwidjaya Dari Amsterdam Beberapa kelompok aktivis HAM Indonesia dan sejumlah akademikus/ilmuan

Belanda serta perorangan yang merasa prihatin atas penegakkan HAM di Indonesia berinisiatif mengadakan seminar dan pameran sehari guna memperingati 40 tahun pembunuhan dan pembantaian massal sehubungan peristiwa 30 September 1965 di Indonesia.

SEMINAR dan pameran sehari tersebut berjudul "1965: The Forgotten Holocaust of Indonesia", digelar Jumat, (28/10) lalu di Institut Internasional Sejarah Sosial (Inter- national Institute of Social History/IISH), Amsterdam.

Sebelum masuk acara seminar dan diskusi, diputar film dokumenter "Kuburan Massal", sebuah gambaran penye-lidikan tentang telah terjadinya pembunuhan massal pada tahun 1965-1966 dengan melakukan penggalian kuburan massal, yang ditemukan di Wonosobo (Jawa Tengah). Penyelidikan di wilayah tersebut dilakukan kelom-pok aktivis HAM dan keluarga korban pembunuhan yang dilakukan rezim Orba. Kemudian diputar film dokumenter "Penjara Perempuan di Plantungan (Jawa

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

Tengah)", yang melukiskan kondisi buruk, antara lain, penista-an atas para tawanan perempuan di penjara Plantungan itu.

Setelah itu, Ken Setiawan dan Sisca Pattipilohi membacakan surat kesaksian anak- anak korban dan korban yang selamat (dalam pembunuhan massal 1965), yang melukiskan kekejaman tak terhingga Orde Baru.

Mengenai pembunuhan massal yang kejam ini, diungkap dalam latar belakang digelarnya seminar sehari terse-but, bahwa "Dalam sejarah resmi rezim Soeharto, bagaimanapun, samasekali tak diungkap peristiwa pembunuhan-pembunuhan dan represi yang kejam terhadap jutaan penduduk Indonesia. Sama sekali tak disebut peran utama militer Indonesia dalam mengatur pembunuhan-pembunuhan tersebut. Sebenarnya di beberapa tempat seperti Bali, pembunuhan-pembunuhan tak akan terjadi, jika militer tidak mengirimkan pasukan-pasukan khusus ke pulau tersebut untuk mengadakan kampanye antikomunis. Fakta-fakta banyak sekali menunjukkan, militer tak saja mereka sendiri yang melakukan pembunuhan-pembunuhan, tetapi juga memobilisasi kelompok-kelompok pemuda anti-komunis untuk ambil bagian (dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut)".

Seminar sehari tersebut mengedepankan dua pembahasan pokok. Pertama, hubungan antara "massacre" (pembunuhan massal yang sangat kejam) dan keterlibatan Belanda ("Link between 1965 massacre in Indonesia and the Dutch involvement"). Kedua, "40 tahun sesudah 1965: Mencari keadilan dan bagaimana langkah selanjutnya" ("40 years after 1965: In search of justice and how to move on").

Dan Fuad Hassan Pun Terlibat Soal keterlibatan para psikolog Belanda, tidak berkaitan soal massacre 1965 di

Indonesia. Melainkan, keterli-batan Universitas Nijmegen dalam proses interogasi atas para tawanan pulau Buru. Masalah ini dipresentasikan Hilmar Farid (Jaringan Kerja Budaya) dan Marek Ave (Lembaga Sapulidi) berdasarkan arsip-arsip yang bertalian dengan kegiatan Universitas Nijmegen dalam soal interogasi atas para tawanan pulau Buru tersebut.

Dalam kaitan ini, diungkapkan pada tahun 1970-an badan represif rezim Orba Kopkamtib mengajak sejumlah ahli psikologi Belanda dari Universitas Nijmegen bersama rekan mereka dari Indonesia, untuk bekerjasama menguji «orientasi komunis» para tahanan politik pulau Buru. Kerjasama Kopkamtib tersebut bukan saja dengan para ilmuwan/psikolog Belanda, tetapi juga dengan para ilmuwan/psikolog Inggris dan Amerika Serikat.

Sehubungan dengan ini, Marek Ave memberikan penjelasan, yang pertama mengeluarkan pernyataan keterliba-tan para psikolog Inggris, Belanda dan Amerika ialah admiral Soedomo dalam wawancara dengan New York Times, 12 April 1978. Berita itu dimuat di Volkskrant edisi 13 dan 14 April 1978, anehnya atas permintaan New York Times. Kemudian, 28 April 1978, ada lagi wawancara dengan Soedomo dan Brigjen Soemitro, yang mene-rangkan kerjasama antara psikolog Belanda dan Indonesia, antara lain Fuad Hassan dan Saparinah Sadeli disebut namanya. Ujicoba itu berpengaruh pada peluang bebas dan nasib mereka kemudian.

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

Dalam konteks ini, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi), 1 November 2005 yang lalu, sejarawan aktivis dari Jaringan Kerja Budaya Hilmar Farid memberikan penjelasan, tim peneliti kasus tersebut mulai mengadakan riset ini berkaitan dengan peringatan 40 tahun tragedi 1965.

Dan mengapa fokus ini yang dipilih, menurut Hilmar Farid, antara lain karena tim peneliti mencoba melihat hubu-ngan tragedi itu dengan pihak-pihak lain. Dalam hal ini Belanda.Hilmar Farid berpendapat, masalah keterlibatan sejumlah psikolog Belanda dimaksud sangat serius. Terutama karena keterlibatan tersebut selama ini tidak diketahui. Yang paling penting, menurut Hilmar, karena upaya ini kemudian memberi semacam legitimasi ilmiah kepada pemerintah Indonesia, Orde Baru khu- susnya saat itu untuk menjalankan represi. Termasuk seleksi terhadap para tahanan politik (tapol). Karena test yang dilakukan terhadap tahanan itu sebetulnya untuk mem-buktikan seberapa jauh para tahanan ini masih komunis atau tidak.

Itu akan berkaitan dengan pelepasan dan perlakuan juga dalam tahanan. Beberapa tahanan politik bilang, memang kami pernah didatangi, ditest dan tidak tahu persis hasilnya apa. Tapi yang jelas kemudian kepulangan orang dan perlakuan mereka setelah ditahan sangat bergantung pada jawaban-jawaban yang mereka berikan.

"1978 Orde Baru sedang pada puncak-puncak kekuasaannya. Jadi di lingkungan universitas sekali pun ada banyak protes tidak banyak orang yang memperhatikan itu. Kedua karena mungkin, dibandingkan dengan represi yang sifatnya langsung persoalan ini kan nggak begitu terlihat. Bahwa ada dukungan ilmiah terhadap upaya represi gitu. Ini dugaan sementara saja", ujar Hilmar Farid dalam wawancaranya de- ngan Ranesi (1/11).

Menurut Hilmar, bahan-bahan yang sekarang didapat baru dari sisi Belanda. "Ada banyak sekali informasi di sini yang tidak diketahui di Indonesia. Tetapi ini yang nanti dibawa kembali dan di-cross check nanti dengan wawancara maupun bahan-bahan tulisan yang bisa kita dapatkan di sana. Kita bisa bikin kesimpulan yang lebih kuat dan berdasar mengenai apa sesungguhnya peristiwa ini dan berapa jauh dampaknya terhadap kelang-gengan represi Orde Baru jaman itu", ujar Hilmar Farid.Ketua Bekas Tapol Indonesia Di London.

Berbicara mengenai mencari keadilan, Carmel Budiardjo - "eks Tapol", Ketua organisasi TAPOL di London, Inggris - melontarkan pendapat, berupa usul melaku- kan upaya terus menerus agar Soeharto bisa diseret ke pengadilan. Sehubungan dengan ini, dalam kesempatan intervensi dalam diskusi tersebut, publisis Ibrahim Isa minta perhatian hadirin, terhadap satu soal penting: "Di Indonesia terdapat kendala mental terbesar untuk ditingkatkannya kesadaran di sekitar penegakkan hukum, masalah mengakhiri situasi 'impunity', atau 'tanpa hukum'.

Kendala mental itu adalah pikiran-salah (denkfout) yang sudah sejak berdirinya Orba terus menerus dipompakan ke dalam kesadaran masyarakat, - bahwa berbuat sewenang-wenang, yang melanggar hukum, melakukan pelanggaran HAM, bahkan sampai membantai orang-orang komunis, orang-orang PKI atau yang diduga PKI, terhadap golongan kiri lainnya yang umumnya mendukung politik Presiden Sukarno, - tindakan tersebut - bukanlah suatu kejahatan".

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

Jelas kiranya, lanjut Ibrahim, pikiran salah itu perlu dikikis, agar menciptakan syarat dan situasi kondusif untuk ditegakkannya kesadaran mengenai Hak-hak Asasi Manusia. Selain Carmel, sastrawan kondang Sitor Situmo-rang yang juga "eks Tapol" mengajukan pendapat perlunya proses pengadilan terhadap Soeharto. Sambil berke-lakar Sitor mengatakan, kita harus "adil terhadap Soeharto".

Karena itu, kita tak sekadar bicara tentang kejahatan Soeharto, tetapi juga harus menuntutnya di pengadilan. Jelas apa gugatan kita terhadap Soeharto, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Di muka pengadilan itulah Soeharto dipersilakan membela diri. Agar semuanya jelas, dan tidak terus jadi bulan-bulanan seperti seka- rang ini.

Berbicara tentang pelanggaran HAM, Sitor Situmorang menceriterakan, belum lama ini melalui anaknya dia mem-peroleh berkas resmi mengenai penangkapan terhadap dirinya. Meskipun di atas setiap berkas tertulis kata-kata "pro justisia", namun kese- luruhan isi berkas resmi itu mengungkapkan betapa kesewenang-wenangan hukum telah diperlakukan Orba terhadap dirinya.

Sitor mengaku telah mengirimkan kopi berkas bertuliskan "pro justisia" tersebut ke Fakultas Hukum UI, Menteri Kehakiman Republik Indonesia, dan LBH Jakarta. Bahkan dia mengusulkan kepada Fakultas Hukum UI, berkas tertulis "pro justisia" ini dijadikan bahan kuliah.

Dalam bincang-bincang khusus dengan Rakyat Merdeka, Fay (demikian panggilan akrab Hilmar Farid) menya-takan, soal menyeret Soeharto ke pengadilan itu merupa- kan fokus dan bukan satu-satunya masalah. Hal tersebut patut terus diperjuangkan dalam kerangka bukan kita ingin mengadakan pembalasan. "Saya sendiri tak punya latar belakang keluarga yang terkait peristiwa ini, jadi bukan sesuatu yang pribadi buat saya. Paling penting sebetulnya adalah membongkar kejahatan, mengungkap- kan fakta-faktanya di satu forum yang legal", ujar Fay.

Selama ini, lanjut Fay, yang terjadi kemudian adalah dugaan, analisis, dan kesim- pulan yang kadang sifatnya juga tuduhan. Dan tuduhan ini harus dibuktikan, fakta- fakta itu ditegakkan dan diakui memang benar adanya. Jadi sebetulnya kita masih hidup di alam dugaan yang sama seperti dulu tanpa adanya klarifikasi di forum yang legal, yakni pengadilan. Kalau mau dipikir, seperti Sitor sempat bicara, yang rugi kan sebenarnya kekuasaan itu sendiri, terus menjadi bulan-bulanan tuduhan tanpa per- nah ada klarifikasi mengenai peran sesungguhnya dari mereka.

Menjawab pertanyaan kemungkinan menyeret Soeharto ke pengadilan sekarang, Fay berpendapat: "Kalau kemungkinan dari segi politik, saya tidak percaya itu akan terjadi di bawah pemerintahan yang sekarang. Itu jelas. Juga pemerintahan-pemerin- tahan sebelumnya (sesudah Soeharto jatuh). Pencapaian yang paling hebat adalah ketika sempat dibuka pengadilan Soeharto, tapi dia tidak dapat hadir karena alasan sakit, dan seterusnya, dan seterusnya".

Sekarang ini saya lihat, lanjut Fay, kemungkinan itu semakin menurun. Bukan hanya mood-nya, tetapi seluruh sistemnya tidak membantu. Elit-elit yang berkuasa adalah orang-orang yang tidak menginginkan adanya pengadilan terhadap Soeharto, karena tidak lain adanya keterlibatan mereka sendiri di dalam urusan-urusan di masa lalu.

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice

"Jadi sulit saya membayangkan, itu akan terjadi di bawah pemerintahan sekarang", tegas Fay.

"Bagi saya makin jelas, bahwa pembicaraan menyangkut peristiwa 1965 itu masih jauh dari selesai. Itu satu catatan penting. Masih akan ada banyak lagi pertemuan seperti ini. Catatan dari Carmel Budiardjo, penting sekali, ketika dia bilang, peristiwa 1965 harus dilihat dalam kerangka kekerasan Orde Baru secara menyeluruh. Sehing-ga kita mendapat gambar mengenai rezim Orba ini secara lengkap, bukan hanya fragmen-fragmen tertentu saja. Untuk itu, masih banyak penelitian yang harus dikerjakan", ungkap Hilmar Farid menutup bincang-bincangnya dengan Rakyat Merdeka. R

************ 0 0 0 0 0 0 0 *********

Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 – Mencari Keadilan

Lifting the Curtain on the Coup of October 1 st 1965 – Suing for the Justice