BAB II PEMBAHASAN SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Perubahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus
1945,
Konstitusi
Indonesia
sebagai
suatu
”revolusi
groundwet”1 telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah dinamakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau UndangUndang Dasar 1945 dikenal sebagai suatu naskah yang singkat dan
supel karena hanya hal-hal dan aturan-aturan pokok saja yang
diterapkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD), sedangkan hal-hal
yang diperlakukan untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu
harus diserahkan pada undang-undang yang lebih rendah.
Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara Republik Indonesia,
kita sudah memulai dengan tidak menjalankan pasal-pasal dari UUD.
Pasal-pasal yang kita gunakan adalah pasal peralihan. Sebagai
contoh, Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut menurut pasal 6 ayat (2)
UUD 1945 ternyata dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) menurut Pasal III aturan Peralihan. Akan tetapi, hal
ini bisa dimaklumi karena ini adalah suatu yang pertama kali di dalam
mengantar kepada adanya suatu Negara. Letak kesalahan daripada
lembaga ini bukan pada saat pembentukan dan pada waktu
bekerjanya, tetapi adalah diterimanya hasil-hasil karyanya oleh
seluruh rakyat Indonesia.2
Menurut UUD 1945, pemerintah Republik Indonesia dipimpin oleh
Presiden dan dibantu oleh Wakil Presiden (pasal 4 ayat (I) dan 2)).
1
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (Jakarta: Aksara Baru, Jakarta, 1983),
Hlm. 13 Lihat juga M. Yamin, Naskah Persiapan Udang-undang Dasar 1945 (Jakarta: Yayasan
Prapanca, 1959).
2
M. Tolchah Monster, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan
Legeslatif di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita 1983), hlm. 105.
Presiden, kecuali sebagai Kepala Negara ia juga sebagai Kepala
Pemerintahan.3
Sistem Pemerintahan kita adalah Presidensiil, dalam arti Kepala
Pemerintahan adalah, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung kepada Dewan Perwakilan rakyat (Alinea kedua Anga V,
Penjelasan tentang UUD 1945).
Kecuali Presiden dibantu oleh Wakil Presiden, ia juga dibantu oleh
menteri-menteri Negara, yang memimpin Departemen Pemerintahan
(sekarang ada menteri yang tidak memimpin departemen), diangkat
dan diberihentikan Presiden (Pasal 17 ayat I, 2 dan 3). Menterimenteri ini tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Kedudukannya, akan tetapi tergantung kepada Presiden.
Mereka adalah Pembantu Presiden (ANgka VI Penjelasan UUD
1945).
Meskipun Kedudukan Wakil Presiden dan menteri-menteri itu samasama sebagai pembantu Presiden, sifat pembantuan diantara
keduanya berbeda.perbedaan. Perbedaan keduanya dapat dilihat
dari: Pertama, wakil Presiden dipilih oleh MPR, sedangkan menteri
diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Kedua, Wakil Presiden
bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan Pembantu
Kepala Negara.4 Menteri-menteri sebagaimana disebutkan dalam
pasal 13 ayat (3) adalah pembantu Kepala Pemerintahan. Ketiga,
apabila presiden berhalangan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
UUD 1945, Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden. Jika
Presiden behalangan menteri tidak dapat menggantikan Presiden,
kecuali dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan.
Meskipun Kepale Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, kekuasaannya tidaklah terbatas. Ia harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat dan tidak
dibubarkan oleh presiden (berlainan dengan system parlementer).
3
Lihat Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 10 s.d. 15 UUD 1945
4
Lihat Sistem Pemerintahan Negara dalam Penjelasan butir 3 UUD 1945.
Sementara itu kedudukan menteri-menteri dikatakan bukan Pegawai
Tinggi Biasa sekalipun kedudukannya itu tergantung kepada Presiden.
Merekalah
yang
menjalankan
(pouvoir
executive)
(kekuasaan
pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk beluk halhal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu,
menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam
menentukan politik Negara yang mengenai departemennya.
Pada masa awal pemerintahan, kekuasaan Presiden
dalam
menjalankan pemerintahan bukan hanya sekedar berdasarkan pasal
4,5,10, 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasarkan
Pasal IV aturan peralihan UUD yang berbunyi: ”Sebelum majelis
permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan depan
pertimbangan agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
Berdasarkan ketentuan pasal IV aturan peralihan, kecuali persiden
mempunyai tugas-tugas seperti terancam di dalam pasal tersebut,
presiden juga mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
a. Menetapkan Undang-undang Dasar (pasal 3)
b. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3)
c. Mengubah Undang-undang Dasar (pasal 37)
d. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat 2)
e. Mengangkat sumpah Presiden (pasal 9)
2. Dewan Perwakilan Rakyat
a. Memajukan rancangan Undang-undang (pasal I ayat 2)
b. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (pasal 23 ayat
I)
3. Dewan Pertimbangan Agung
Memberikan jawab atas pertanyaan
Presiden
dan
berhak
mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 1 dan 2)
Berdasarkan ketentuan pasal IV Aturan Peralihan tersebut,
Presiden memiliki kekuasaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan
pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan kekuasaannya,
Presiden hanya sibantu oleh sebuah Komite Nasional. Sebagai dictator
karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak dapat diartikan suatu
pengekangan atas kekuasaannya. 5 Wakil Presiden dan menteri-menteri
pada hakikatnya hanyalah pembantu Presiden.
Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan
berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR dan DPA. Selama lembagalembaga tersebut belum terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Kekuasaan yang diberikan berdasarkan pasal IV aturan peralihan UUD
1945 secara formal menyerupai kekuasaan seorang penguasa dalam
pemerintah otoriter walaupun dalam pelaksanaannya Presiden tidak
memerintah secara otoriter. Oleh karena itu, tidak salah jika dimata
internasional
Indonesia
memperoleh
tuduhan
tidak
melaksanakan
pemerintahan demokrasi. Tuduhan dari pihak luar yang menyatakan
bahwa Indonesia ”bukan pemerintahan demokrasi”, memang didukung
secara konstitusional walaupun tidak mengandung kebenaran material.
Namun demikian, tuduhan itu merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan politik.6 Dalam hubungan ini aturan
Tambahan UUD 1945 menentukan sebagai berikut :
”Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur
Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal
yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar ini”.
”Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat
dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar”.
Jadi, masa peralihan itu dibatasi oleh UUD Selama 12 bulan.
Dengan demikian, semenjak permulaannya UUD 1945 itu telah dianggap
sebagai UUD yang sementara dengan harapan untuk mengubah ataupun
menambahnya pada masa yang akan datang.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh
Presiden dan sebagai gantinya telah dibentuk Komite Nasional Pusat
yang lebih dikenal dengan KNIP. Badan ini sekalipun keberadaannya
adalah mutlak menurut aturan Peralihan pasal IV, tugasnya adalah
sekedar membantu Presiden. Dalam hal ini, terserah kepada Presiden di
dalam bidang apa perbantuan itu.
A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar
Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956), hlm. 11
5
Suwoto M., kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Disertasi, UNAIR, Surabaya, 1990, hlm. 3.
6
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa UUD 1945 itu telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat semenjak ia diciptakan.
Kurang lebih dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadilah
perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan terhadap pasal
IV aturan peralihan. Perubahan ini dilakukan dengan dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut :
”Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi
kekuasaan legeslatif dan ikut serta menetapkan garis-garis besar
daripada haluan Negara.
”Bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilih antara mereka serta bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat”.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan di atas, terdapat tiga hal
yang penting, yaitu :
a. Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative
b. Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar
haluan Negara.
c. Ia membentuk
sebuah
Badan
Pekerjaan
yang
akan
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
Selain itu adapula tugas Komite Nasional Pusat yang ditambahkan
yaitu dalam bidang legislatif.
Tugas legislative yang diserahkan kepada Komite Nasional yang
dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang,
baik pasif maupun aktif. Sementara itu, dalam tugasnya ”ikut serta
menetapkan garis-garis besar haluan Negara”, dalam praktiknya
dilaksanakan dalam bentuk memberikan usul kepada pemerintah
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap status dan fungsi
Badan Pekerjaan KNIP tersebut, pada tanggal 20 Oktober 1945
dikeluarkanlah penjelasan dari Badan Pekrna, yang menyatakan
sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan
Presiden menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
Badan pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan
(dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap di tangan
Presiden semata-mata.
B. Menetapkan bersama-sama dengan presiden undang-undang yang
boleh mengenai segala macam urusan pemerintah . . . .”
PEMBAHASAN
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Perubahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus
1945,
Konstitusi
Indonesia
sebagai
suatu
”revolusi
groundwet”1 telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah dinamakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau UndangUndang Dasar 1945 dikenal sebagai suatu naskah yang singkat dan
supel karena hanya hal-hal dan aturan-aturan pokok saja yang
diterapkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD), sedangkan hal-hal
yang diperlakukan untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu
harus diserahkan pada undang-undang yang lebih rendah.
Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara Republik Indonesia,
kita sudah memulai dengan tidak menjalankan pasal-pasal dari UUD.
Pasal-pasal yang kita gunakan adalah pasal peralihan. Sebagai
contoh, Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut menurut pasal 6 ayat (2)
UUD 1945 ternyata dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) menurut Pasal III aturan Peralihan. Akan tetapi, hal
ini bisa dimaklumi karena ini adalah suatu yang pertama kali di dalam
mengantar kepada adanya suatu Negara. Letak kesalahan daripada
lembaga ini bukan pada saat pembentukan dan pada waktu
bekerjanya, tetapi adalah diterimanya hasil-hasil karyanya oleh
seluruh rakyat Indonesia.2
Menurut UUD 1945, pemerintah Republik Indonesia dipimpin oleh
Presiden dan dibantu oleh Wakil Presiden (pasal 4 ayat (I) dan 2)).
1
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (Jakarta: Aksara Baru, Jakarta, 1983),
Hlm. 13 Lihat juga M. Yamin, Naskah Persiapan Udang-undang Dasar 1945 (Jakarta: Yayasan
Prapanca, 1959).
2
M. Tolchah Monster, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan
Legeslatif di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita 1983), hlm. 105.
Presiden, kecuali sebagai Kepala Negara ia juga sebagai Kepala
Pemerintahan.3
Sistem Pemerintahan kita adalah Presidensiil, dalam arti Kepala
Pemerintahan adalah, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung kepada Dewan Perwakilan rakyat (Alinea kedua Anga V,
Penjelasan tentang UUD 1945).
Kecuali Presiden dibantu oleh Wakil Presiden, ia juga dibantu oleh
menteri-menteri Negara, yang memimpin Departemen Pemerintahan
(sekarang ada menteri yang tidak memimpin departemen), diangkat
dan diberihentikan Presiden (Pasal 17 ayat I, 2 dan 3). Menterimenteri ini tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Kedudukannya, akan tetapi tergantung kepada Presiden.
Mereka adalah Pembantu Presiden (ANgka VI Penjelasan UUD
1945).
Meskipun Kedudukan Wakil Presiden dan menteri-menteri itu samasama sebagai pembantu Presiden, sifat pembantuan diantara
keduanya berbeda.perbedaan. Perbedaan keduanya dapat dilihat
dari: Pertama, wakil Presiden dipilih oleh MPR, sedangkan menteri
diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Kedua, Wakil Presiden
bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan Pembantu
Kepala Negara.4 Menteri-menteri sebagaimana disebutkan dalam
pasal 13 ayat (3) adalah pembantu Kepala Pemerintahan. Ketiga,
apabila presiden berhalangan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
UUD 1945, Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden. Jika
Presiden behalangan menteri tidak dapat menggantikan Presiden,
kecuali dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan.
Meskipun Kepale Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, kekuasaannya tidaklah terbatas. Ia harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat dan tidak
dibubarkan oleh presiden (berlainan dengan system parlementer).
3
Lihat Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 10 s.d. 15 UUD 1945
4
Lihat Sistem Pemerintahan Negara dalam Penjelasan butir 3 UUD 1945.
Sementara itu kedudukan menteri-menteri dikatakan bukan Pegawai
Tinggi Biasa sekalipun kedudukannya itu tergantung kepada Presiden.
Merekalah
yang
menjalankan
(pouvoir
executive)
(kekuasaan
pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk beluk halhal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu,
menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam
menentukan politik Negara yang mengenai departemennya.
Pada masa awal pemerintahan, kekuasaan Presiden
dalam
menjalankan pemerintahan bukan hanya sekedar berdasarkan pasal
4,5,10, 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasarkan
Pasal IV aturan peralihan UUD yang berbunyi: ”Sebelum majelis
permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan depan
pertimbangan agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
Berdasarkan ketentuan pasal IV aturan peralihan, kecuali persiden
mempunyai tugas-tugas seperti terancam di dalam pasal tersebut,
presiden juga mempunyai tugas-tugas sebagai berikut.
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
a. Menetapkan Undang-undang Dasar (pasal 3)
b. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3)
c. Mengubah Undang-undang Dasar (pasal 37)
d. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat 2)
e. Mengangkat sumpah Presiden (pasal 9)
2. Dewan Perwakilan Rakyat
a. Memajukan rancangan Undang-undang (pasal I ayat 2)
b. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (pasal 23 ayat
I)
3. Dewan Pertimbangan Agung
Memberikan jawab atas pertanyaan
Presiden
dan
berhak
mengajukan usul kepada pemerintah (pasal 16 ayat 1 dan 2)
Berdasarkan ketentuan pasal IV Aturan Peralihan tersebut,
Presiden memiliki kekuasaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan
pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan kekuasaannya,
Presiden hanya sibantu oleh sebuah Komite Nasional. Sebagai dictator
karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak dapat diartikan suatu
pengekangan atas kekuasaannya. 5 Wakil Presiden dan menteri-menteri
pada hakikatnya hanyalah pembantu Presiden.
Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan
berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR dan DPA. Selama lembagalembaga tersebut belum terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Kekuasaan yang diberikan berdasarkan pasal IV aturan peralihan UUD
1945 secara formal menyerupai kekuasaan seorang penguasa dalam
pemerintah otoriter walaupun dalam pelaksanaannya Presiden tidak
memerintah secara otoriter. Oleh karena itu, tidak salah jika dimata
internasional
Indonesia
memperoleh
tuduhan
tidak
melaksanakan
pemerintahan demokrasi. Tuduhan dari pihak luar yang menyatakan
bahwa Indonesia ”bukan pemerintahan demokrasi”, memang didukung
secara konstitusional walaupun tidak mengandung kebenaran material.
Namun demikian, tuduhan itu merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan politik.6 Dalam hubungan ini aturan
Tambahan UUD 1945 menentukan sebagai berikut :
”Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur
Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal
yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar ini”.
”Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat
dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar”.
Jadi, masa peralihan itu dibatasi oleh UUD Selama 12 bulan.
Dengan demikian, semenjak permulaannya UUD 1945 itu telah dianggap
sebagai UUD yang sementara dengan harapan untuk mengubah ataupun
menambahnya pada masa yang akan datang.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh
Presiden dan sebagai gantinya telah dibentuk Komite Nasional Pusat
yang lebih dikenal dengan KNIP. Badan ini sekalipun keberadaannya
adalah mutlak menurut aturan Peralihan pasal IV, tugasnya adalah
sekedar membantu Presiden. Dalam hal ini, terserah kepada Presiden di
dalam bidang apa perbantuan itu.
A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar
Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956), hlm. 11
5
Suwoto M., kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Disertasi, UNAIR, Surabaya, 1990, hlm. 3.
6
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa UUD 1945 itu telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat semenjak ia diciptakan.
Kurang lebih dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadilah
perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan terhadap pasal
IV aturan peralihan. Perubahan ini dilakukan dengan dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut :
”Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi
kekuasaan legeslatif dan ikut serta menetapkan garis-garis besar
daripada haluan Negara.
”Bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilih antara mereka serta bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat”.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan di atas, terdapat tiga hal
yang penting, yaitu :
a. Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative
b. Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar
haluan Negara.
c. Ia membentuk
sebuah
Badan
Pekerjaan
yang
akan
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
Selain itu adapula tugas Komite Nasional Pusat yang ditambahkan
yaitu dalam bidang legislatif.
Tugas legislative yang diserahkan kepada Komite Nasional yang
dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang,
baik pasif maupun aktif. Sementara itu, dalam tugasnya ”ikut serta
menetapkan garis-garis besar haluan Negara”, dalam praktiknya
dilaksanakan dalam bentuk memberikan usul kepada pemerintah
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap status dan fungsi
Badan Pekerjaan KNIP tersebut, pada tanggal 20 Oktober 1945
dikeluarkanlah penjelasan dari Badan Pekrna, yang menyatakan
sebagai berikut :
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini berarti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan
Presiden menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
Badan pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan
(dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap di tangan
Presiden semata-mata.
B. Menetapkan bersama-sama dengan presiden undang-undang yang
boleh mengenai segala macam urusan pemerintah . . . .”