Hubungan antara reseptor progesteron dengan Ki-67 labeling index pada meningioma

(1)

Tesis

HUBUNGAN ANTARA RESEPTOR PROGESTERON

DENGAN Ki-67 LABELING INDEX PADA MENINGIOMA

STEVEN TANDEAN

NIM : 117041031

Progam Pendidikan Magister Bedah

Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Hubungan antara reseptor progesteron dengan Ki-67 labeling index pada meningioma

Peneliti : Steven Tandean

NIM : 117041031

Program Studi : Ilmu Bedah Saraf Tanggal lulus : 23 Juli 2014

Menyetujui:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. dr. Rr Suzy Indharty, M.Kes, SpBS

NIP. 1973 0220 2005 012000 NIP. 1949 0331 1977 111001 Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS(K)

Ketua Progam Studi Dekan

Prof. dr.Chairuddin P. Lubis, DTM&H,, SpA(K) Prof.dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH


(3)

JudulPenelitian : Hubungan antara reseptor progesteron dengan Ki-67 labeling index pada meningioma

Peneliti : Steven Tandean

NIM : 117041031

Program Studi : Ilmu Bedah Saraf

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, 23 Juli 2014 Konsultan Metodologi Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NIP :19690609 199903 2 001 ( Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes. )


(4)

KATA PENGANTAR

Meningioma adalah suatu tumor jinak yang berasal selaput otak dan memiliki insiden yang tinggi. Prevalensi meningioma dua kali lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria sehingga diperkirakan adanya hubungan dengan hormon estrogen dan progesteron. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara reseptor progesteron dengan derajat mitosis yang diperiksa dengan Ki-67.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam menjalani pendidikan magister kedokteran klinik di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kritikan dan koreksi yang bersifat membangun demi kesempuranaan tesis ini sangat saya harapkan.

Akhir kata Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Rr Suzy Indharty, M.Kes, SpBS selaku pembimbing I dan Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS(K) selaku pembimbing II, atas pengarahan dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan tesis ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Hormat saya,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ...

vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...


(6)

2.1. Pengertian Meningioma ... 5

2.2. Epidemiologi Meningioma ... 5

2.3. Klasifikasi Meningioma ... 6

2.4. Faktor-Faktor Risiko ... 8

2.4.1. Radiasi Ionisasi ... 8

2.4.2. Radiasi Telepon Gengam ... 9

2.4.3. Cedera Kepala ... 9

2.4.4. Genetik ... 10

2.4.5. Hormon ... 10

2.5. Mitosis Pada Meningioma ... 11

2.6. Gambaran Radiologi ... 12

2.7. Penatalaksanaan ... 13

2.8. Hormon Progesteron ... 15

2.9. Reseptor Progesteron ... 17

2.10. Hubungan Reseptor Progesteron Dengan Meningioma ... 18


(7)

2.11. Indeks Proliferasi ... 20

BAB 3. Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Hipotesis Penelitian ...

22

3.1. Kerangka Teori ... 22

3.2. Kerangka Konsep ... 22

3.3. Hipotesis ... 23

3.4. Definisi Operasional ... 23

BAB 4. Metode Penelitian ...

24

4.1. Desain ... 24

4.2. Tempat dan Waktu ... 24

4.3. Populasi dan Sampel ... 24

4.3.1. Populasi ... 24

4.3.2. Sampel ... 24

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 25

4.4.1. Kriteria Inklusi ... 25

4.4.2. Kriteria Eksklusi ... 25


(8)

4.5. Persetujuan / Inform Consent ... 25

4.6. Etika Penelitian ... 25

4.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 25

4.7.1. Cara Kerja ... 25

4.7.2. Alur Penelitian ... 27

4.8. Identifikasi Variabel ... 28

4.9. Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 28

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 29

5.1. Hasil

Penelitian... 29 5.1.1. Distribusi Jenis Kelamin

... 29

5.1.2. Distrubusi Usia ... 30

5.1.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 31

5.1.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 31

5.1.5. Distribusi Berdasarkan Histopatologi Tumor ... 32


(9)

Ki-67 Berdasarkan Klasifikasi meningioma ... 33

5.1.7. Distribusi staining Intensity (SI) Pewarnaan

Imunohistokimia Reseptor Progesteron Berdasarkan Klasifikasi meningioma ... 33

5.1.8. Distribusi staining Intensity (SI) Pewarnaan

Imunohistokimia Reseptor Progesteron dan Labelling Index (LI) Ki-67 Berdasarkan Klasifikasi meningioma ... 34

5.2. Pembahasan ... 35

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Simpulan ... 39

6.3. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Tingkat rekurensi setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson ... 15

Tabel 2.2. Hubungan hormon progesteron dengan meningioma ... 16

Tabel 5.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

Tabel 5.2. Analisa Deskriptif Berdasarkan Usia ... 30

Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 31

Tabel 5.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 32

Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor ... 32

Tabel 5.6. Distribusi LI Ki-67 terhadap klasifikasi meningioma ... 33

Tabel 5.7. Distribusi SI reseptor progesteron terhadap klasifikasi

Meningioma ... 34

Tabel 5.8. Cross tabulation reseptor progesteron dengan Ki-67 ... 35


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Variasi lokasi timbulnya meningioma... 7

Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik

dan non-genomik ... 16

Gambar 2.3. Struktur domain reseptor progesteron ... 17

Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian ... 27


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningioma merupakan tumor otak jinak pada jaringan pembungkus otak atau meningens. Meningioma tumbuh dari sel arachnoid cap yang berasal dari

arachnoid villi atau lapisan tengah meningens. Tumor otak primer yang paling sering didiagnosa adalah meningioma yaitu sebesar 33,8% dari seluruh tumor otak primer. Di Amerika Serikat, insiden meningioma yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan patologi diperkirakan sebesar 97,5 per 100.000 jiwa. Namun jumlah ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena adanya sebagian meningioma yang tidak dioperasi. Sedangkan di Inggris, insiden meningioma diperkirakan sebesar 5,3 per 100.000 jiwa dan tetap stabil selama 12 tahun ini (Wiemels, 2010; Cea-Soriano, 2012).

Beberapa faktor resiko terjadinya meningioma adalah usia, radiasi, genetik dan hormonal. Insiden meningioma meningkat seiring pertambahan usia dengan puncak pada usia 70 hingga 80 tahun. Tumor ini sangat jarang terjadi pada anak-anak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa paparan radiasi merupakan resiko erjadinya meningioma. Hal ini disebabkan oleh kerusakan gen pengatur siklus sel

Ki-Ras dan Gen ERCC2. Penggunaan telepon genggam tidak menunjukkan peningkatan insiden terjadinya meningioma. Mayoritas meningioma bersifat sporadis yaitu terjadi tanpa adanya riwayat tumor otak pada keluarga lainnya. Meningioma yang terjadi akibat warisan genetik sangat sedikit dan jarang, misalnya mutasi gen NF2 pada kromosom 22 (Barnholtz-Sloan, 2007).

Insiden meningioma pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Di inggris, insiden meningioma pada wanita adalah 7,19 per 100.00 jiwa sedangkan pada pria adalah 3,05 per 100.00 jiwa per tahun. Hal ini tidak berbeda jauh di Amerika, insiden meningioma pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki, yaitu 8,36 dan 3,61 per 100.000 jiwa untuk wanita dan laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara meningioma dengan hormon seks. Penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan terapi hormon seks


(13)

meningkatkan resiko terjadinya meningioma pada wanita postmenopause secara signifikan. Penelitian lain menunjukkan terjadinya penurunan resiko terjadinya meningioma pada wanita menopause. Pada wanita yang pernah hamil juga mengalami penurunan resiko terjadinya meningioma dan semakin kuat seiring dengan meningkatnya jumlah kehamilan (Wiemels, 2010; Cea-Soriano, 2012; Barnholtz-Sloan, 2007).

Penelitian terbaru menunjukan bahwa mitosis pada meningioma dipengaruhi oleh beberapa protein reseptor, seperti reseptor Epidermal Growth Factor, Granulin, Platelet Derived Growth Factor, Vascular Endothelial Growth Factor, Insulin Growth Factor, Fibroblast Growth factor dan hormon progesteron dan estrogen. Mekanisme peningkatan proliferasi sel-sel meningioma berbeda-beda bergantung pada jenis reseptor yang dirangsang. Salah satu proses peningkatan proliferasi yaitu melalui perangsangan sintesa DNA di nukleus sel meningen (Ragel, 2003).

Progesteron reseptor secara normal terdapat dalam leptomeningen pada orang dewasa, namun hanya diekspresikan dalam kadar rendah. Ekspresi progesteron pada jaringan meningioma bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan histologi meningioma. Pada meningioma derajat I, ekspresi reseptor progesteron berkisar antara 55% – 80% dan secara signifikan lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. Jenis meningioma juga memengaruhi ekspresi reseptor progesteron, yaitu signifikan lebih banyak pada meningioma derajat I dibandingkan derajat II dan III (Taghipour, 2007; Carroll, 2000). Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous.

Reseptor hormon seks memiliki reseptor nuklear yang berikatan dengan DNA pada daerah spesifik yang mengatur transkripsi gen. Mekanisme reseptor hormon seks dalam memodulasi gen transkripsi belum diketahui. Namun, penelitian mengenai mekanisme kerja tersebut sedang berkembang pesat. Reseptor yang telah teraktivasi akan menyusun dan menstabilisasi kompleks preinisiasi melalui interaksi dengan protein koaktivator. Kompleks preinisiasi


(14)

akan mengkonduksi transkripsi dari gen-gen ini. Aktivasi gen ini akan meningkatkan proliferasi sel (Korhonen, 2012).

Hal menarik ditunjukkan oleh beberapa penelitian yaitu terjadi penurunan ekspresi reseptor progesteron dari derajat rendah sampai derajat tinggi. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa meningioma dengan reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan dengan yang positif. Penjelasan pasti mengenai hubungan ini masih belum diketahui, tetapi disangkakan akibat dari mitosis sel tumor yang meningkat pada meningioma dengan reseptor progesteron yang rendah. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara pewarnaan Ki-67 yang tinggi dengan status reseptor progesteron yang negatif. Namun, beberapa penelitian lainnya memperlihatkan kontroversi yaitu tidak terdapat hubungan antara proliferasi dengan status reseptor progesteron (Roser, 2004).

Hubungan reseptor progesteron dengan proliferasi sel menarik untuk diteliti karena masih terdapat kontroversi. Dalam hal ini masih belum dapat dijawab apakah hubungan ini dipengaruhi oleh suku dan ras. Penelitian serupa mengenai hubungan antara reseptor progesteron dengan proliferasi sel belum ditemukan di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Pengetahuan mengenai sifat meningioma ini dapat berimplikasi dalam penentuan prognosa dan penanganan meningioma ke depannya.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara ekspresi reseptor progesteron dengan tingkat proliferasi sel yang dinilai dengan pewarnaan Ki-67 pada penderita meningioma.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara ekspresi reseptor progesteron dengan tingkat proliferasi sel yang dinilai dengan pewarnaan Ki-67 pada penderita meningioma.


(15)

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui jumlah penderita meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron.

b. Mengetahui tingkat proliferasi sel dengan pewarnaan Ki-67 pada pasien meningioma.

1.4 Manfaat Peneltian

1.4.1 Aplikasi Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan perlu tidaknya pemeriksaan reseptor progesteron pada jaringan meningioma untuk menentukan terapi dan prognosis.

1.4.2 Ilmu Pengetahuan

Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya dapat berguna bagi penatalaksanaan pasien dengan meningioma secara medikamentosa yaitu obat antiprogesteron.

1.4.3 Pelayanan Kesehatan

Menunjang perbaikan penatalaksanaan pada pasien dengan meningioma yang nantinya dapat memperbaiki prognosis.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Meningioma

Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).

2.2 Epidemiologi Meningioma

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di Amerika Serikat. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya karena tidak semua meningioma ditangani secara pembedahan (Wiemels, 2010; Claus, 2005).

Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin dan ras. Insiden terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan usia dan mencapai puncak pada usia di atas 60 tahun. Insiden meningioma pada anak-anak sekitar 4% dari seluruh kejadian tumor intrakranial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden meningioma pada ras hitam Non-hispanics sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (Wiemels, 2010; Rockhill, 2007).


(17)

Grafik 1. Insiden Meningioma Pada pria dan wanita berdasarkan usia (Wiemels, 2010)

2.3 Klasifikasi Meningioma

Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling sering adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde, cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium, middle fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat timbul secara ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita , cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Al-Mefty, 2005; Chou, 1991).


(18)

Gambar 2,1. Variasi lokasi timbulnya meningioma (Al-Mefty, 2005)

Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas (Talacchi, 2011). Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan WHO 2007 terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat seiring dengan pertambahan grading (Fischer & Bronkikel, 2012).

Beberapa subtipe meningioma antara lain: Grade I:

Meningothelial meningioma − Fibrous (fibroblastic) meningioma − Transitional (mixed) meningioma − Psammomatous meningioma − Angiomatous meningioma


(19)

− Mycrocystic meningioma

− Lymphoplasmacyte-rich meningioma − Metaplastic meningioma

− Secretory meningioma Grade II:

− Atypical meningioma − Clear cell meningioma − Chordoid meningioma Grade III:

− Rhabdoid meningioma − Papillary meningioma

− Anaplastic (malignant) meningioma

2.4 Faktor-Faktor Risiko 2.4.1 Radiasi Ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).

Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya


(20)

meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).

Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).

2.4.2 Radiasi Telepon Genggam

Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan insiden meningioma.Penelitian metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus, 2010).

2.4.3 Cedera Kepala

Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).


(21)

2.4.4 Genetik

Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith, 2011).

Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005; Choy, 2011).

2.4.5 Hormon

Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat


(22)

menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Taghipour, 2007).

2.5 Mitosis pada meningioma

Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel (Ragel, 2003; Wernicke, 2010).

Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar granulin berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema peritumoral dari meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti pada glioma (Choong, 2010).

Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade cytoplasmic serine/ threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan jaras PI3K-Akt-PRAS40-mTOR dan STAT3.. Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih


(23)

memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi terhadap reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma (Johnson, 2010).

Telah diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan normal fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas dari pertumbuhan meningioma, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Nordqvist, 1997). Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma secara luas, namun peranan fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara mendetail (Shamah, 1997). VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak. Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF meningkat pada emboli meningioma.56 Data memberi kesan bahwa VEGF memiliki fungsi lain selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang pertumbuhan tumor. PDGF-B dihipotesakan memicu produksi VEGF dalama meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor (fister, 2012).

2.6 Gambaran Radiologi

Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto x-ray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan gambaran isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada tulang (Osborn, 2004; Mary, 2013).


(24)

Pada MRI dengan T1W1 umumnya memberikan gambaran isointense sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma juga umumnya menunjukkan gambaran isointense dengan beberapa yang hyperintense karena kandungan airnya yang tinggi terutama pada jenis meningothelial, yang hipervaskular, dan yang agresif (Osborn, 2004; Mary, 2013).

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan, radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005).

Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu, angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Dowd, 2003; Levacic et al; 2012).


(25)

Tabel 2.1. Tingkat rekurensi Setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson (Modha & Gutin, 2005)

Simpson Grade

Completeness of Resection 10-year Recurrence

Grade I complete removal including resection of

underlying bone and associated dura 9% Grade II complete removal + coagulation of dural

attachment 19%

Grade III complete removal w/o resection of dura or

coagulation 29%

Grade IV subtotal resection 40%

Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma total hingga Simpson grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya rekurensi hingga 9%. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada rekurensi meliputi reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan malignan berdasarkan klasifikasi WHO, adanya penonjolan nukleolar, adanya mitosis lebih dari dua per 10 high-power fields dan gambaran menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan kepala (Al-Hadidy, 2007).

Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat radioterapi masih menjadi perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada beberapa kasus seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak dapat direseksi (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).

Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan hasil yang efektif dalam mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan resiko komplikasi yang kecil. Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada


(26)

residual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus dengan tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).

2.8 Hormon Progesteron

Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya disintesis oleh ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih tinggi kadarnya pada wanita dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesteron berubah berdasarkan siklus hidup terutama perkembangan embrionik, siklus reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan menopause (Camacho-Arroyo, 2009).

Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah fungsi seperti ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada beberapa jaringan seperti uterus, ovarium, kelenjar mamae, pankreas, tulang, paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi oleh reseptor intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja progesteron pada sel-sel (Camacho-Arroyo, 2009).

Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon progesteron diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda (menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progersteron bekerja dengan melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan non-genomik (non-klasik). Mekanisme kerja melalui jalur non-genomik (klasik) yaitu dengan mengubah ekspresi dari gen target yang dimediasi oleh reseptor progesteron dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur non-genomik (non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membran sel dan


(27)

memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan non-genomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu bekerja dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan non-genomik (Camacho-Arroyo, 2009)

Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat. Hormon ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor progesteron yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan farmakologis yang berbeda-beda, (2). Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+, (3). Lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter seperti reseptor GABAA, dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor pertumbuhan yang


(28)

berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan pada konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahan phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).

2.9 Reseptor Progesteron

Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zinc-finger transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari steroid dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysone¸dan lainnya dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin, 2009).

N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling dikonservasi adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc finger tipe II yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).


(29)

Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului dengan interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah berikatan, reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit kofaktor remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan sekuens DNA spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive elements (HRE). Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi sasaran degradasi melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).

2.10 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma

Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron dalam kadar rendah, yang mana mayoritas meningioma mengekspresikan reseptor progesteron. Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade rendah hingga grade tinggi telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron yang negatif lebih agresif dibandingkan yang positif. Walaupun sel tumor mengekspresikan reseptor progesteron dalam jumlah sedikit memiliki faktor prognostik yang baik pada meningioma. Meningioma yang mengalami transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi reseptor progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Meningioma subtipe meningothelial memiliki ekspresi reseptor progesteron yang lebih banyak dibandingkan subtipe transisional dan fibrous. Walaupun begitu, beberapa penelitian melaporkan ekspresi reseptor


(30)

progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma menemukan bukti bahwa ekpresi berlebihan sejumlah gen yang terletak pada lengan panjang kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif dibandingkan dengan kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara status reseptor progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya peran homon dalam tumorigenesis meningioma (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Usia dan jenis kelamin tidak memengaruhi status reseptor progesteron. Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan yang signifikan. Penelitian Omulecka (2006) mengenai hubungan ekspresi reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical dan 42,2% pada fibrous. Jika meningioma kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat yang lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan (Fakhrjou, 2012; Shayanfar, 2010).

Tabel 2.2 Hubungan hormon progesteron dengan meningioma

No Pengarang Judul penelitian Hasil Jurnal

1 Fakhrjou, 2012

Status of Ki-67, estrogen

and progesterone receptors in various subtypes of intracranial meningiomas Reseptor progesteron sering diekspresikan oleh meningioma, Peran prognosisnya sangat bervariasi. Pakistan Journal of Biological Sciences 15(11) 2 Taghipour,

2007

The role of estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of meningioma

Reseptor progesteron diekspresikan

terutama pada wanita dan jenis jinak.

Iranian Red Crescent


(31)

3 Shayanfar, 2009

Expression of progestrone receptor and proliferative marker ki 67 in various grades of meningioma

Terdapat hubungan terbalik antara rata-rata LI Ki67 dan status

PR dengan peningkatan grade

tumor.

Acta Medica Iranica 2010; 48(3): 142-147.

4 Omulecka, 2006

Immunohistochemical

expression of progesterone and estrogen receptors in meningiomas

Intensitas reaksi imunitas lebih kuat

pada grade I

dibandingkan pada grade II. Folia Neuropathol 2006;44(2): 111-115

5 El-Badawy, 2013

Role of progesterone receptor expression and proliferative activity in predicting the recurrence of meningioma Meningioma jinak lebih mengekspresikan reseptor progesteron dibandingkan pada grade II dan III. Meningioma jinak tanpa adanya ekspressi reseptor progesteron memiliki risiko lebih tinggi terjadinya rekurensi.

Egypt J Pathol 33:76-81

2.11 Indeks Proliferasi

Indeks proliferasi biasanya diukur dengan MIB-1 antibodi yang akan mengikat antigen Ki-67. Ki-67 diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi melalui siklus sel. Labeling index (LI) adalah persentase dari nukleus sel tumor yang imunoreaktif. Pengambilan sampel tumor merupakan sumber kesalahan dalam menentukan LI karena tumor memiliki heterogenitas histologi dengan perbedaan regional dari proliferasi sel. Daerah tumor yang paling ganas secara


(32)

histologis merupakan pilihan yang biasanya digunakan untuk analisis LI (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).

Peningkatan Ki-67 berhubungan dengan grade histologi yang lebih tinggi dan peningkatan resiko rekuren pada meningioma. LI rata-rata pada meningioma jinak sebesar 3%, untuk meningioma atipikal sebesar 8% dan untuk meningioma malignan sebesar 17%. Kebanyakan penelitian melaporkan indeks proliferasi yang lebih tinggi pada meningioma rekuren dibandingkan dengan yang non-rekuren. Meningioma dengan indeks MIB-1 sebesar 4% atau lebih secara signifikan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk rekuren. KI-67 juga telah dilaporkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita dan pada meningioma dengan edema di MRI. KI-67 lebih rendah pada meningioma dengan kalsifikasi. Meningioma yang berhubungan dengan NF-2 memiliki LI yang lebih tinggi dibandingkan yang sporadik dan hal ini mencerminkan sifat yang lebih agresif dari meningima ini (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).


(33)

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori


(34)

3.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara ekspresi reseptor progesteron dengan tingkat proliferasi sel yang dinilai dengan pewarnaan Ki-67 pada penderita meningioma.

3.4. Definisi Operasional

• Pewarnaan reseptor progesteron negatif adalah apabila pada gambaran mikroskopis jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali (Shayanfar, 2009).

• Pewarnaan reseptor progesteron positif lemah adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat < 50% jaringan tumor yang menyerap warna sedang atau < 10% jaringan tumor yang menyerap warna kuat (Shayanfar, 2009).

• Pewarnaan reseptor progesteron positif kuat adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat > 50% jaringan tumor yang menyerap warna sedang atau > 10% jaringan tumor yang menyerap warna kuat (Shayanfar, 2009).

• Pewarnaan Ki-67 negatif adalah apabila pada gambaran mikroskopis jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali (Kim, 2007).

• Pewarnaan Ki-67 lemah adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat <20 mitosis/ 10 lapangan pandang besar jaringan tumor yang menyerap warna (Kim, 2007).

• Pewarnaan Ki-67 kuat adalah apabila pada gambaran mikroskopis terdapat ≥20 mitosis/ 10 lapangan pandang besar jaringan tumor yang menyerap warna (Kim, 2007).


(35)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain

Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional bersifat analitik cross sectional pada pasien yang telah terdiagnosis sebagai penderita meningioma di RSUP HAM perioda Februari 2010 - Februari 2013.

4.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di RSUP.H. Adam Malik Medan dan laboratorium patologi anatomi RS. Murni Teguh, Medan, Sumatera Utara, dilaksanakan mulai bulan Oktober– November 2013.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi target adalah penderita meningioma. Populasi terjangkau adalah penderita meningioma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP.H. Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik total sampling, yaitu seluruh spesimen meningioma dari pasien-pasien meningioma intrakranial dan spinal yang telah menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan dari Februari 2010 – Februari 2013, dengan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan sesuai dengan gambaran meningioma. Dalam periode tersebut diperoleh sampel sebanyak 30 spesimen meningioma.

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1. Kriteria Inklusi


(36)

- Penderita meningioma intrakranial dan spinal yang telah dioperasi dengan hasil histopatologi yang sesuai dengan gambaran meningioma. - Usia diatas 17 tahun.

4.4.2. Kriteria Eksklusi

- Penderita dengan tanda-tanda gangguan hormonal yaitu gangguan siklus menstruasi, hirsutism,dan ginekomastia.

- Disertai penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus, penyakit ginjal dan hati

- Menderita tumor lain pada bagian tubuhnya

4.5. Persetujuan / Informed Consent

Penelitian ini telah mendapat persetujuan untuk penggunaan blok parafin meningioma oleh bagian patologi anatomi RSUP HAM dan RS Murni Teguh.

4.6. Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik.

4.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian 4.7.1. Cara Kerja.

Sampel

Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu meningioma dari Pebruari 2010 – Pebruari 2013 dikumpulkan dan dilakukan pencatatan data-data pasien yang diperoleh dari rekam medik pasien dan asesmen departemen bedah saraf. Data yang dicatat meliputi jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grade WHO, dan jenis histopatologi.


(37)

Proses pewarnaan memakan waktu selama ±270 menit dengan rincian sebagai berikut:

• Blok parafin dari spesimen meningioma dipotong dengan microtome dengan ketebalan 0,3 micron

• Slide hasil potongan microtome dipanaskan pada hotplate dengan suhu 60 0

• Dehidrasi dengan alkohol absolut 80% / 70% selama 2 menit C selama 60 menit

• Kemudian slide dibilas dengan air mengalir (keran) selama 2 menit • Bilas lagi dengan aquades selama 5 menit

• Masukkan slide kedalam TRS yang sudah dihangatkan

• Masukkan kedalam microwave samsung TDS dengan kondisi sebagai berikut: jika 800 watt panaskan selama 2,5-3 menit dan jika 100 watt panaskan selama 10 menit

• Setelah itu dinginkan slide selama 20 menit

• Slide dibilas lagi dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit • Kemudian bloking dengan DAKO FLEX Peroxidase selama 5 menit • Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

• Antibodi primer (reseptor progesteron dan Ki-67) selama 20-60 menit • Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

DAKO FLEX HRP selama 20 menit

• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit • DAKO FLEX DAB + SUBSTRAT selama 5 menit

• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit • Hematoxylin selama 2 menit

• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit

• Dihidrasi dengan alkohol 70%, 80% dan absolut selama 2 menit • Xylene 2 kali selama 2 menit

Mounting medium dan coverslip • Pengamatan dibawah mikroskop


(38)

Pemeriksaan IHC reseptor progesteron menggunakan reagen Monoclonal Mouse anti-Human Progesterone Receptor Clone PgR 1294 yang diproduksi Dako North America Inc. Sedangkan pemeriksaan IHC Ki-67 menggunakan reagen Monoclonal Mouse Anti-Human Ki-67 Antigen yang diproduksi Dako North America Inc.

4.7.2. Alur Penelitian

Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu meningioma dilakukan pewarnaan imunohistokimia reseptor progesteron dan Ki-67. Setelah dilakukan pewarnaan, dihitung staining intensity (SI) dari reseptor progesteron dan labelling index (LI) dari pewarnaan Ki-67.

Gambar 3.1. Bagan alur penelitian

4.8. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Mengioma Nominal

Variabel tergantung Skala

Pewarnaan histokimia reseptor progesteron Ordinal


(39)

4.9. Rencana Pengolahan dan Analisa Data

Variabel kategori dianalisis dalam bentuk frekuensi dan persentase yang disajikan baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Data medis dan demografis dianalisa secara komputerisasi dengan uji statistik Chi square dengan batas kemaknaan p<0,05.


(40)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Sampel penelitian diambil dari bulan Februari 2010 hingga Februari 2013. Penelitian ini memperoleh 30 spesimen dari pasien-pasien meningioma intrakranial dan spinal yang telah menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan. Diagnosis meningioma berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan histopatologi jaringan yang sesuai dengan gambaran meningioma. Spesimen meningioma yang telah berbentuk blok parafin tersebut dilakukan pewarnaan imunohistokimia Ki-67 labelling index dan reseptor progesteron. Hasil lengkap data penderita dapat dilihat pada lampiran.

5.1.1 Distribusi Jenis Kelamin

Pendataan sampel penelitian yang telah dikumpulkan menunjukan bahwa pembagian penderita meningioma berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan sebanyak 20 orang (66,7%) dan laki-laki 10 orang (33,3%). Tabel tersebut menunjukan bahwa penderita meningioma wanita lebih banyak dibandingkan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1.

Tabel 5.1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-Laki 10 33,3

Perempuan 20 66,7

Total 30 100.0

5.1.2. Distribusi Usia

Analisis sampel penelitian ini berdasarkan usia memberikan nilai mean

sebesar 42,40 (SD 9,77) tahun dengan rentang usia 19 tahun hingga usia 69 tahun. Nilai mediannya adalah 42,5 tahun.


(41)

Pada penelitian ini dilakukan klasifikasi usia terhadap sampel yang dikumpulkan per 10 tahun. Pada tabel kelompok usia diperoleh bahwa angka kejadian meningioma terbanyak pada kelompok usia 40 – 49 tahun yaitu sebesar 12 kasus (40%). Sedangkan frekuensi kejadian paling sedikit ditemukan pada kelompok usia 60-69 yaitu 1 kasus (3,2%)

Tabel 5.2. Analisis deskriptif berdasarkan usia

Kelompok Usia n %

20 – 29 4 13,3

30 – 39 7 23,3

40 – 49 12 40.0

50 – 59 6 20,0

60 – 69 1 3,3

Total 30 100.0

Nilai

Mean 42,40

Median 42,50

Std. Deviation 9,774

Minimum 19

Maximum 69

4.1.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor

Sampel penelitian dianalisa dan diklasifikasi berdasarkan lokasi terjadinya meningioma. Setelah dilakukan tabulasi ditemukan bahwa frekuensi terbanyak adalah meningioma konveksitas dan parasagital yaitu 8 kasus (26,7%) dan 7 kasus (23,3%).

Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor


(42)

Convexity 8 26,7

Parasagital 7 23,3

Sphenoid Ridge 2 6,7

Falx 1 3,3

Tuberculum Sellae 3 10

Foramen Magnum 1 3,3

Petroclival 1 3,3

Enplaque 1 3,3

Olfactory groove 1 3,3

Spine 3 10

Posterior Fossa 2 6,7

Total 30 100.0

5.1.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO

Pembagian klasifikasi meningioma berdasarkan grade WHO menunjukan bahwa frekuensi terbanyak adalah tipe meningioma benigna yaitu sebanyak 28 (90,3%) kasus. Kemudian diikuti oleh atypical sebanyak 2 kasus (6,5%) dan anaplastic sebanyak 1 kasus (3,2%).

Tabel 5.4. Distribusi Berdasarkan Grade Tumor

Grade WHO n %

Benigna 27 90

Atypical 2 6,7

Anaplastic 1 3,3

Total 30 100.0

5.1.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor

Pembagian klasifikasi meningioma berdasarkan jenis histopatologi tumor frekuensi terbanyak adalah meningothelial meningioma sebesar 16 (53,3%) kasus, diikuti oleh transitional meningioma 4 (13,3%) kasus, fibroblastic meningioma 3


(43)

(13,3%) kasus, dan yang paling jarang adalah secretory meningioma dan atypical meningioma sebesar 1 (3,3%) kasus.

Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor

Jenis Histopatologi n %

Meningothelial 16 53,3

Fibroblastic 4 13,3

Psammomatous 2 6,7

Transitional 4 13,3

Secretory 1 3,3

Atypical 2 6,7

Anaplastic 1 3,3

Total 30 100.0

5.1.6. Distribusi Labelling index (LI)Pewarnaan Imunohistokimia Ki-67 Berdasarkan Klasifikasi meningioma

Jumlah mitosis yang diukur berdasarkan klasifikasi meningioma didapati bahwa mayoritas meningioma grade 1 tidak dijumpai mitosis yaitu sebesar 13 sampel (43,3%) atau mitosis lemah sebesar 12 sampel (40%). Pada meningioma grade III tidak dijumpai adanya mitosis.

Tabel 5.6. Distribusi LI Ki-67 terhadap klasifikasi meningioma LI Pewarnaan Ki-67 Meningioma

grade I

Meningioma Grade II

Meningioma grade III

Negatif 13 1 1

Lemah(< 20 sel/10 LPB) 12 1 -

Kuat(≥ 20 sel/10 LPB) 2 - -


(44)

5.1.7. Distribusi staining Intensity (SI) Pewarnaan Imunohistokimia Reseptor Progesteron Berdasarkan Klasifikasi meningioma

Jumlah yang didapat berdasarkan klasifikasi meningioma didapati bahwa

Staining intensity pada meningioma grade I yang negatif sebesar 14 sampel (51,9%), yang lemah sebesar 3 sampel (11,11%), dan yang kuat sebesar 10 sampel (37,03%). Dan Staining intensity reseptor progesteron pada meningioma grade II dan III tidak dijumpai pada semua sampel. Pewarnaan reseptor progesteron yang positif dijumpai pada 9 penderita wanita dan 5 penderita pria.

Tabel 5.7. Distribusi SI reseptor progesteron terhadap klasifikasi meningioma

SI Pewarnaan reseptor progesteron

Meningioma grade I

Meningioma Grade II

Meningioma grade III

Negatif 14 2 1

Lemah 3 - -

Kuat 10 - -

Total 27 2 1

5.1.8. Distribusi staining Intensity (SI) Pewarnaan Imunohistokimia Reseptor Progesteron dan Labelling index (LI) Ki-67 Berdasarkan Klasifikasi Meningioma

Berdasarkan tabel tersebut dijumpai bahwa terdapat keseimbangan jumlah pewarnaan reseptor progesteron yang positif dan negatif dengan SI yang kuat mayoritas pada meningioma meningothelial. Pewarnaan reseptor progesteron tidak dijumpai pada meningioma grade II dan III.

Dari tabel lampiran dilakukan analisis hubungan antara SI pewarnaan reseptor progesteron dengan LI Ki-67 secara komputerisasi dengan uji statistik Chi


(45)

square dengan batas kemaknaan p <0,05. Penelitian ini menggunakan tabel progesteron dan Ki-67 yang menggabungkan positif lemah dan kuat menjadi positif. Hal ini dilakukan karena jumlah positif lemah dan kuat yang sedikit. Hasil analisis

Chi square secara komputerisasi diperoleh p= 0,642. Hal Ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara SI pewarnaan reseptor progesteron dengan LI Ki-67. Tabel Cross tabulation analisa data tersebut ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.8. Cross tabulation reseptor progesteron dengan Ki-67

KI-67 Total

Negatif Positif

Progesteron Reseptor

Negatif

8 8 16

Positif 7 7 14

Total 15 15 30

5.2. Pembahasan

Meningioma diperkirakan sebesar 30% dari seluruh tumor otak primer. Meningioma merupakan tumor jinak sehingga memiliki prognosis yang baik terutama dapat dilakukan reseksi total. Namun pada meningioma yang grade tinggi, letaknya susah atau ukuran yang terlalu besar sehingga tidak dapat dilakukan reseksi total maka diperlukan tindakan lain untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan pertumbuhan tumor. Salah satunya adalah dengan pemberian kemoterapi terhadap reseptor pertumbuhan tumor. Penelitian saat ini memperlihatkan adanya kontroversi keterlibatan hormon seks terhadap pertumbuhan tumor karena didapati insiden tumor dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Untuk itu, peneliti melakukan penelitian untuk membuktikan adanya hubungan reseptor progesteron dengan mitosis (Wiemels, 2010).

Dari hasil penelitian ini, diperoleh bahwa insiden timbulnya meningioma lebih banyak terjadi pada penderita kelompok wanita yaitu sebesar 66,7%


(46)

dibandingkan dengan kelompok laki-laki yaitu sebesar 33,3%. Penelitian ini memperolah perbadingan insidensi 2:1 antara wanita dengan laki-laki. Begitu halnya dengan penelitian-penelitian epidemiologi yang menunjukan bahwa meningioma dominan terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan sebesar 2:1. Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan insiden meningioma yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki (Wiemels, 2010; Wohrer, 2013).

Pada penelitian ini diperoleh insiden meningioma paling banyak pada kelompok usia 40-49 tahun, yaitu sebanyak 12 orang dengan persentase sebesar 40 %. Berdasarkan penelitian epidemiologi, insiden meningioma meningkat seiring pertambahan usia dengan puncak insiden pada usia antara 40-60 tahun. Hal ini sesuai dengan insidensi yang diperoleh pada penelitian ini yaitu pada kelompok usia 40-49 tahun (Al-Hadidy, 2007).

Berdasarkan lokasi terjadinya meningioma, urutan paling sering adalah parasagittal, cavernous, tubercullum sella, lamina cribrosa, foramen magnum, zona torcular, tentorium cerebelli, CPA, dan sigmoid sinus. Hal ini hampir menyerupai dengan sebaran lokasi tumor terbanyak pada penelitian ini, yaitu frekuensi terbanyak adalah meningioma konveksitas dan parasagital yaitu 8 kasus (26,7%) dan 7 kasus (23,3%) (Chou, 1991).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa meningioma grade I berdasarkan klasifikasi WHO merupakan jenis meningioma yang terbanyak yaitu sebesar 90%, diikuti dengan grade II sebesar 6,7% dan grade III sebesar 3,3%. Dan Jenis histopatologi yang paling banyak adalah jenis meningothelial sebesar 16 pasien (53,3%), Fibrous sebesar 4 pasien (13,3%) dan transisional sebesar 4 pasien (13,3%) . Meningioma grade I merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di Amerika dan Inggris dengan perkiraan antara 90-95%. Berdasarkan jenis histopatologi ditemukan bahwa meningioma subtipe meningothelial, fibrous dan transisional merupakan jenis yang paling umum dijumpai. Hal ini menunjukan adanya persamaan insiden jenis meningioma pada penelitian ini (korhonen, 2012; Wiemels, 2010).

Pada pewarnaan Ki-67 dijumpai bahwa terdapat dua sampel meningioma


(47)

lapangan pandang. Dua sampel tersebut dengan gambaran histologi berupa meningothelial meningioma dengan pewarnaan reseptor progesteron sedang dan kuat. Berdasarkan kriteria WHO bahwa meningioma grade I memiliki mitosis yang rendah atau tidak dijumpai mitosis, sedangkan meningioma grade III memiliki mitosis lebih dari 20 sel/ lapangan pandang besar. Pada penelitian Akyildiz (2010) yang meneliti hubungan karakteristik histopatologi meningioma dengan pewarnaan Ki-67 dijumpai bahwa terdapat pewarnaan yang positif hingga 13 mitosis/ 10 LPB. Hal ini menunjukan bahwa pada sebagian kecil meningioma

grade I juga memunyai tingkat mitosis yang tinggi, namun memiliki gambaran histologi yang jinak. Sedangkan pada meningioma grade II dan III ditemukan mitosis yang rendah yaitu hanya sebesar 2%. Diperkirakan mitosis pada meningioma dipengaruhi oleh beberapa reseptor hormon termasuk reseptor progesteron dan belum dapat ditentukan reseptor yang berperan dominan dalam mitosis pada meningioma (Akyildiz, 2010; Riemenschneider, 2006).

Penelitian ini mendapatkan hasil staining intensity pewarnaan reseptor progesteron pada meningioma grade I yang negatif sebesar 14 sampel (51,9%), yang lemah sebesar 3 sampel (11,11%), dan yang kuat sebesar 10 sampel (37,03%). Pewarnaan staining intensity reseptor progesteron pada meningioma grade II dan III tidak dijumpai pada semua sampel. Pewarnaan reseptor progesteron yang positif dijumpai pada 9 penderita wanita dan 5 penderita pria. Pada penelitian Taghipour (2007), Omulecka (2006), dan El-Badawy (2013) memperoleh bahwa pewarnaan reseptor progesteron lebih kuat dan lebih banyak dijumpai pada meningioma grade I dibandingkan pada grade II dan III. Penelitian-penelitian tersebut memperoleh bahwa pewarnaan reseptor progesteron yang positif menunjukan prognosis yang lebih baik dan tingkat rekurensi yang lebih rendah. Pada penelitian ini dijumpai bahwa pewarnaan reseptor progesteron yang positif hanya dijumpai pada meningioma grade I (Taghipour, 2007; Omulecka, 2006; El-Badawy, 2013).

Pada penelitian ini dilakukan analisa hubungan antara SI pewarnaan reseptor progesteron dengan LI Ki-67 secara komputerisasi dengan uji statistik

Chi square dengan batas kemaknaan p <0,05. Hasil analisa Chi square secara komputerisasi memperoleh P= 0,642. Hal Ini menunjukan bahwa tidak terdapat


(48)

hubungan yang signifikan antara SI pewarnaan reseptor progesteron dengan LI Ki-67. Penelitian Shayanfar (2009) juga menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara reseptor progesteron dengan LI Ki-67 pada meningioma. Sebaliknya penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan terbalik. Begitu juga dengan penelitian El-Badawy (2013) yang menunjukan meningioma grade I tanpa adanya ekspresi reseptor progesteron memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya rekuren (Shayanfar, 2009; El-Badawy, 2013).

Sampel pada peneltian ini tidak memiliki perbandingan jumlah yang sama antara grade I, II, dan III karena insiden meningioma grade II dan III sangat sedikit. Selain itu, peneliti juga tidak mampu menghomogenkan sampel penelitian dari faktor-faktor mitosis lainnya seperti IGF, FGF, VEGF, PDGF dan reseptor estrogen. Namun hasil peneltian ini tidak menunjukkan perbedaan dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan perbandingan jumlah yang sama pada meningioma grade I, II, dan III dan meneliti variabel-variabel lainnya seperti IGF, FGF, VEGF, PDGF dan reseptor estrogen.


(49)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Pada penelitian ini ditemukan 30 kasus meningioma di RSUP. H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu penelitian yaitu tiga tahun dengan Usia rata-rata 42,40 (SD 9,77) tahun dan mayoritas ditemukan pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 2:1. Berdasarkan lokasi terjadinya meningioma, meningioma konveksitas dan parasagital merupakan yang paling banyak (masing-masing 8 dan 7 penderita, 26.7% dan 23,3%). Berdasarkan klasifikasi grading menurut kriteria WHO maka yang paling sering ditemukan adalah benign 27/30 (90%), atypical 2/30 (6,7%) dan anaplastic 1/30 (3,3%). Sedangkan insidensi yang paling sering berdasarkan jenis histopatologinya maka meningothelial meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 16/30 (53,3%).

Dari keseluruhan spesimen sampel, hanya 13/30 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan reseptor progesteron dan hanya dijumpai pada meningioma grade I. Perhitungan hubungan antara pewarnaan reseptor progesteron dan LI Ki-67 secara komputerisasi dengan uji statistik Chi square (p <0,05) memperoleh p= 0,642. Hal Ini menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara SI pewarnaan reseptor progesteron dengan LI Ki-67. Pada penelitian ini ditemukan pewarnaan LI Ki-67 yang kuat pada dua sampel meningioma grade I.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel kelompok tipe histopatologi meningioma yang lebih besar, sehingga dapat dilakukan analisa statistik hubungan reseptor progesteron dengan LI ki-67 pada setiap jenis histopatologi meningioma.


(50)

2. Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan adanya hubungan mitosis terhadap grading dengan menggunakan Ki-67


(51)

Daftar Pustaka

Akyildiz, E.U., Oz, B., Comunoglu, N., Aki, H., 2010. The relationship between histomorphological characteristics and Ki-67 proliferation index in meningiomas. Bratisl lek listy 111 (9): 505-509.

Al-Hadidy, A.M., Maani, W.S., Mahafza, W.S., Al-Najar, M.S., Al-Nadii, M.M., 2007. Intracranial Meningioma. J Med J 41 (1): 37-51.

Al-Mefty, O., Heth, J., 2005. Meningiomas. In: Rengachary, S.S., Ellenbogen, R.G., eds. Principles of neurosurgery. 2nd

Barnholtz-Sloan, J.S., Kruchko, C., 2007. Meningiomas: causes and risk factors.

Neurosurg Focus 23 (4): E2.

eds. China: Elsevier Mosby, 487-500.

Bernauer, S., Wehling, M., Gerdes, D., Falkenstein, E., 2001. The human membrane progesterone receptor gene: Genomic structure and promoter analysis. Mitochondrial 12 (1): 13-25.

Calvocoressi, L., Claus, E.B., 2010. Epidemiology and Natural History of Meningioma. In: Pamir, M.N., Black, P.M., Fahlbusch, R., eds.

Meningiomas: A comprehensive text. New York: Saunders Elsevier, 61-77.

Camacho-Arroyo, I. & Rodriguez-Dorantes, M., 2006. Transcriptional activity regulated by progesterone receptor isoforms. Molecular endocrinology 2: 25-38.

Carroll, R.S., Brown, M., Zhang, J., 2000. Expression of a subset of steroid receptor cofactors is associated with progesterone receptor expression in meningiomas. Clin Cancer Res 6: 3570-3575.

Cea-Soriano, L., Wallander, M.A., Garcia-Rodiquez, L.A., 2012. Epidemiology of meningioma in the United Kingdom. Neuroepidemiology 39 (1): 27-34.


(52)

Choong, H.K., Jin, H.C., Jae, M.K., 2010. Correlation of Granulin Expression in Intracranial Meningiomas to Clinical Parameters. Experimental and Therapeutic Medicine 1: 493-496.

Chou, S.M., Miles, J.M., 1991. The pathology of meningiomas. In: Al-Mefty O, editor. Meningiomas. New York: Raven press, 37-57.

Choy, W., Kim, W., Nagasawa, D., Stramotas, S., Yew, A., Gopen, Q., et al, 2011. The molecular genetics and tumor pathogenesis of meningiomas and the future directions of meningioma treatments. Neurosurg Focus, 30 (5): E6

Claus, E.B., Bondy, M.L., Schildkraut, J.M., Wiemels, J.L., Wrensch, M., Black, P.M., 2005. Epidemiology of Intracranial Meningioma. Neurosurgery 57: 1088-1095.

Claus, E.B., Calvocoressi, L., Bondy, M.L., Schildkraut, J.M., Wiemels, J.L., Wrensch, M., 2012. Dental x-rays and risk of meningioma. Cancer 118 (18): 4530-4537.

Dowd, C.F., Halbach, V.V., Higashida, R.T., 2003. Meningiomas: the role of perioperative angiography and embolization. Neurosurg Focus 15 (1): 1-4. El-Badawy, N.M., Farid, R.M., Nagib, L.N., Ibrahim, R.A., 2013. Role of

progesterone receptor expression and proliferative activity in predicting the recurrence of meningioma. Egyptian Journal of Pathology 33: 76-81. Evans, D.G.R., Watson, C., King, A., Wallace, A.J., Baser, M.E., 2005. Multiple

meningiomas: differential involvement of the NF2 gene in children and adults. J Med Genet 42: 45-48.

Fakhrjou, A., Meshkini, A., Shadrvan, S., 2012. Status of Ki-67, estrogen and progesterone receptors in various subtypes of intracranial meningiomas.

Pakistan Journal of Biological Sciences, 15(11):530-535.

Fischer, B.R. & Brokinkel., 2012. Surgical management of skull base meningiomas – An overview. In: Monleon, D., ed. Meningiomas – Management and surgery. Shanghai, China. InTech, 85-102.


(53)

Fister, C.P., Frommer, H.P., Tatagiba, M.S., Roser, F., 2012. Vascular Endothelial Growth Factor Signals Through Platelet-Derived Growth Factor Receptor B in Meningiomas in vitro. British Journal of Cancer 107: 1702-1713. Johnson, M.D., O’Connell, M.J., Pilcher, W., Reeder, J.E., 2010. Fibroblast

Growth Factor receptor-3 Expression in Meningioma With Stimulation of Proliferation by the Phosphoinositide 3 Kinase-Akt Pathway. J Neurosurg

112: 934-939.

Kim, Y.J., Ketter, R., Steudel, W.I., Feiden, W., 2007. Prognostic significance of the mitotic index using the mitotic marker anti-phosphohistone H3 in meningiomas. Am J Clin Pathol 128: 118-125.

Korhonen, K., 2012. Pathological and epidemiological aspects of meningioma with special emphasis to sex hormones [dissertation]. Tampere: University of Tampere.

Lai, R., Crevier, L., Thabane, L., 2005. Genetic polymorphisms of Glutathione S-Transferases and the risk of adult brain tumors: A meta-analysis. Cancer epidemiol biomarkers prev 14 (7): 1784-1790.

Levacic, D., Nochlin, D., Steineke, T., Landolfi, J.C.. 2012. Management of malignant meningiomas. In: Monleon, D., ed. Meningiomas – Management and surgery. InTech, Shanghai, 1-34.

Malmer, B., Feychting, M., Lonn, S., Ahlbom, A., Henriksson, R., 2005. p53 genotypes and risk of glioma and meningioma. Cancer epidemiol biomarkers prev 14 (9): 2220-2223.

Mary, A.K., Abuya, J.M., Chumba, D., Koech, F.K., 2013. Association of radiological CT and MRI scan features to the histopathology of meningiomas in patients at major hospital in Eldoret Town, Kenya.

International journal of advanced research 1 (4): 104-114.

Minniti, G., Amichetti, M., Enrici, R.M., 2009. Radiotherapy and radiosurgery for benign skull base meningiomas. Radiation oncolog 4: 42.


(54)

Nordqvist, A.S., Peyrard, M., Pettersson, H., Mathiesen, T., Collins, P., Dumanski, J.P., et al, 1997. A high Ratio of Insulin-like Growth Factor II/Insulin-like Growth Factor Binding Protein 2 Messenger RNA as a Marker for Anaplasia in Meningiomas. Cncer Res 57: 2611-2614.

Omulecka, A., Papierz, W., Nawrocka-Kunecka, A., Lewy-Trenda, I., 2006. Immunohistochemical expression of progesterone and estrogen receptors in meningiomas. Folia Neuropathol 44 (2): 111-115.

Osborn, A.G., Blaser, S.I., Salzman, K.L., Katzman, G.L., Provenzale, J., Castillo, M., et al, 2004. Diagnostic Imaging brain. Utah: Amirsys Inc, II.4.56-II.4.63

Phillips, L.E., Koepsell, T.D., Van Belle, G., Kukull, W.A., Gehrels, J.A., Longstreth, W.T. Jr., 2002. History of head trauma and risk of intracranial meningioma: population-based case-control study. Neurology 58 (12): 1849-1852.

Ragel, B.T. & Jensen, R.L., 2003. Pathophysiology of meningiomas. Semin Neurosurg 14 (3): 169-185.

Riemenschneider, M.J., Perry, A., Reifenberger, G., 2006. Histological classification and molecular genetics of meningioma. Lancet Neurol 5: 1045-1054.

Rockhill, M., Rugala, M., Chamberlain, M.C., 2007. Intracranial Meningiomas: an overview of diagnosis and treatment. Neurosurg Focus 23 (4): 1-7. Roser, F., Nakamura, M., Bellinzona-Rosahl, S.K., Ostertag, H., Samii, M., 2004.

The prognostic value of progesterone receptor status in meningiomas. J Clin Pathol 57: 1033-1037.

Scarpin, K.M., Graham, J.D., Mote, P.A., Clarke, C.L., 2009. Progesterone action in human tissues: Regulation by progesterone receptor (PR) isoform expression, nuclear positioning and coregulator expression. Nuclear receptor signaling 9: 1-13


(55)

Shamah, S.M., Alberta, J.A., Giannobile, W.V., Guha, A., Kwon, Y.K., Carroll, R.S., et al, 1997. Detection of Activated Platelet-derived Growth Factor Receptors in Human Meningioma. Cancer Res 57: 4141-4147.

Shayanfar, N., Mashayekh, M., Mohammadpour, M., 2010. Expression of progesterone receptor and proliferative marker ki 67 in various grades of meningioma. Acta Medica Iranica 48 (3): 142-147

Smith, M.J., Higgs, J.E., Bowers, N.L., Halliday, D., Paterson, J., Gillespie, J., et al, 2011. Cranial meningiomas in 411 NF2 patients with proven gene mutations: Clear positional effect of mutations, but absence of female severity effect on age at onset. Journal of Medical Genetics 48: 1-22. Taghipour, M., Rakei, S.M., Monabati, A., Nahavandi-Nejad, M., 2007. The role

of estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of menigioma. IRCMJ 9 (1): 17-21

Talacchi, A., Corsini, F., Gerosa, M., 2011. Hyperostosing meningiomas of the cranial vault with and without tumor mass. Acta neurochir 153: 53-61 Wernicke, A.G., Dicker, A.P., Whiton, M., Ivanidze, J., Hyslop, T., Hammond,

E.H., et al, 2010. Assessment of Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) expression in Human Meningioma. Radiation Oncology 5: 46 Wiemels, J., Wrensch, M., Claus, E.B., 2010. Epidemiology and etiology of

meningioma. J Neurooncol 99 (3): 307-314

Wohrer, A., 2013. Epidemiology of Meningioma. Eur Assoc Neurooncol Mag, 3: 1-3


(56)

Lampiran 1.

Case Processing Summary

30 100,0% 0 ,0% 30 100,0% Es trogen * KI

N Percent N Percent N Percent Valid Missing Total

Cases

Estrogen * KI Crosstabula tion

Count

8 8 16 7 7 14 15 15 30 Negatif Positif Es trogen Total Negatif Positif KI Total Chi-Square Tests

,000b 1 1,000 ,000 1 1,000 ,000 1 1,000

1,000 ,642 ,000 1 1,000

30 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.


(57)

Lampiran 3.

Gambar: Pewarnaan reseptor progesteron yang negatif


(58)

Gambar: Pewarnaan reseptor progesteron yang positif kuat


(59)

Gambar: Pewarnaan Ki-67 yang positif lemah


(60)

Lampiran 1.

N

O Kode Nama jenis kela

min u m ur Jenis meningi oma lokasi tumor P R (-) PR (Le mah) PR (ku at) Ki 67 (-) Ki67 (Le mah) Ki6 7 (Ku at)

1 9136

sannur F 52

transitiona l

Conve xity

+ +

2 342h10

ELPINA F 40

FIBROBLAS TIC

C5,6,7 Th1

+ +

3 374h11

MILIANA F 29

MENINGO THELIAL

PARASA

GITAL + +

4 h78408

12

TUMINE

M F 49

MENINGO THELIAL OLFACT ORY GROOV E + +

5 H1800

812

SUNARTI F 38

TRANSITIO NAL FOSSA POSTERI OR + +

6 H4601

13

ABDUL

HAKIM M 69 ATYPICAL

PARASA GITAL

+ +

7 71H10 ABDURA

HMAN M 50

ANAPLASTI C

Conve xity

+ +

8 H9160

912

SUPARM

AN M 45

MENINGO THELIAL

CONVEX ITY

+ +

9 H4810

512

ROGINI PERUMA

I F 43

MENINGO THELIAL PARASA GITAL + + 1

0 8869 ROTUA F 43

FIBROBLAS

TIC FALX

+ +

1

1 H530113

TINA TAMPUB

OLON F 42

MENINGO THELIAL TUBERC ULUM SELLAE + + 1

2 H9160912 ARNITA F 32 TRANSITIONAL CONVEXITY + +

1

3 H9521012

JUMIATI F 40

MENINGO THELIAL TUBERC ULUM SELLAE + + 1

4 H910212 ROHIM HRP M 36 MENINGOTHELIAL CONVEXITY + +

1

5 H4610512 DELIDA GINTING F 38 MENINGOTHELIAL CONVEXITY + +

1

6 H7550812

BIBON TAMBUN

AN M 52

MENINGO THELIAL CERVICA L C2-3 + + 1

7 H7230712 RISNAW

AN F 29

FIBROBLAS TIC SPHENO ID RIDGE + + 1

8 957H11

BRITJEN ARITONA

NG M 19

FIBROBLAS TIC

PETROC LIVAL

+ +


(61)

9 213 THELIAL PLAQUE

2

0 H950202

ARIANI F 45

MENINGO THELIAL PARASA GITAL + + 2

1 H290113 SUMAYANI F 46 MENINGOTHELIAL CONVEXITY + +

2

2 H8060812 DARWIN

SYAH M 46

PSAMMO MATOUS TUBERC ULUM SELLAE + + 2

3 H7690812 FARIDA

HANUM F 56

MENINGO THELIAL FOSSA POSTERI OR + + 2

4 306h11 KHAIRUL M 40

MENINGO THELIAL

PARASA

GITAL + +

2

5 439H11

T TUTI LISTHIA

WATY F 55

MENINGO THELIAL SPHENO ID RIDGE + + 2

6 H1081.1112

MINTON ARITONA

NG M 39 ATYPICAL

PARASA GITAL

+ +

2

7 H404.05.11 SUMINE

M F 52

TRANSITIO NAL CONVEX ITY + + 2

8 H1010212

DEDI

SANDI M 28

SECRETOR Y FORAM EN MAGNU M + + 2

9 H428.05.13 SAHAT F 39 MENINGOTHELIAL PARASAGITAL + +

3

0 H653.07.12

SALMI F 32

MENINGO THELIAL

PARASA GITAL


(1)

Lampiran 1.

Case Processing Summary

30 100,0% 0 ,0% 30 100,0%

Es trogen * KI

N Percent N Percent N Percent

Valid Missing Total

Cases

Estrogen * KI Crosstabula tion Count

8 8 16

7 7 14

15 15 30

Negatif Positif Es trogen

Total

Negatif Positif KI

Total

Chi-Square Tests

,000b 1 1,000

,000 1 1,000

,000 1 1,000

1,000 ,642

,000 1 1,000

30 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.


(2)

Lampiran 3.

Gambar: Pewarnaan reseptor progesteron yang negatif


(3)

Gambar: Pewarnaan reseptor progesteron yang positif kuat


(4)

Gambar: Pewarnaan Ki-67 yang positif lemah


(5)

Lampiran 1.

N

O

Kode

Nama

jenis

kela

min

u

m

ur

Jenis

meningi

oma

lokasi

tumor

P

R

(-)

PR

(Le

mah)

PR

(ku

at)

Ki

67

(-)

Ki67

(Le

mah)

Ki6

7

(Ku

at)

1

9136

sannur F 52

transitiona l

Conve

xity

+

+

2

342h10

ELPINA F 40

FIBROBLAS TIC

C5,6,7 Th1

+

+

3

374h11

MILIANA F 29

MENINGO THELIAL

PARASA

GITAL

+

+

4

h78408

12

TUMINE

M F 49

MENINGO THELIAL OLFACT ORY GROOV E

+

+

5

H1800

812

SUNARTI F 38

TRANSITIO NAL FOSSA POSTERI OR

+

+

6

H4601

13

ABDUL

HAKIM M 69 ATYPICAL

PARASA GITAL

+

+

7

71H10

ABDURA

HMAN M 50

ANAPLASTI C

Conve

xity

+

+

8

H9160

912

SUPARM

AN M 45

MENINGO THELIAL

CONVEX ITY

+

+

9

H4810

512

ROGINI PERUMA

I F 43

MENINGO THELIAL PARASA GITAL

+

+

1

0

8869

ROTUA F 43

FIBROBLAS

TIC FALX

+

+

1

1

H5301

13

TINA TAMPUB

OLON F 42

MENINGO THELIAL TUBERC ULUM SELLAE

+

+

1

2

H9160

912

ARNITA F 32 TRANSITIONAL CONVEXITY

+

+

1

3

H9521

012

JUMIATI F 40

MENINGO THELIAL TUBERC ULUM SELLAE

+

+

1

4

H9102

12

ROHIM HRP M 36 MENINGOTHELIAL CONVEXITY

+

+

1

5

H4610

512

DELIDA GINTING F 38 MENINGOTHELIAL CONVEXITY

+

+

1

6

H7550

812

BIBON TAMBUN

AN M 52

MENINGO THELIAL CERVICA L C2-3

+

+

1

7

H7230

712

RISNAW

AN F 29

FIBROBLAS TIC SPHENO ID RIDGE

+

+

1

8

957H1

1

BRITJEN ARITONA

NG M 19

FIBROBLAS TIC

PETROC LIVAL


(6)

9

213

THELIAL PLAQUE

2

0

H9502

02

ARIANI F 45

MENINGO THELIAL PARASA GITAL

+

+

2

1

H2901

13

SUMAYANI F 46 MENINGOTHELIAL CONVEXITY

+

+

2

2

H8060

812

DARWIN

SYAH M 46

PSAMMO MATOUS TUBERC ULUM SELLAE

+

+

2

3

H7690

812

FARIDA

HANUM F 56

MENINGO THELIAL FOSSA POSTERI OR

+

+

2

4

306h11

KHAIRUL M 40

MENINGO THELIAL

PARASA

GITAL

+

+

2

5

439H1

1

T TUTI LISTHIA

WATY F 55

MENINGO THELIAL SPHENO ID RIDGE

+

+

2

6

H1081.

1112

MINTON ARITONA

NG M 39 ATYPICAL

PARASA GITAL

+

+

2

7

H404.0

5.11

SUMINE

M F 52

TRANSITIO NAL CONVEX ITY

+

+

2

8

H1010

212

DEDI

SANDI M 28

SECRETOR Y FORAM EN MAGNU M

+

+

2

9

H428.0

5.13

SAHAT F 39 MENINGOTHELIAL PARASAGITAL

+

+

3

0

H653.0

7.12

SALMI F 32

MENINGO THELIAL

PARASA GITAL