Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya hal, masalah, peristiwa, orang dan benda, yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

2.2 Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan judicial jurisdiction mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara- perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa nasional, maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya. Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah: 1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan: a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu; b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan; 4 c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif; d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah lawful menurut system HN negaranya sendiri. Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut. Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing b. Terhadap negara dan kepala negara asing c. Terhadap kapal publik negara asing d. Terhadap organisasi internasional e. Terhadap pangkalan militer negara asing 2. Prinsip Teritorial Subjektif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan wilayah Malaysia. Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia. 3. Prinsip Teritorial Objektif Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip teritorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal wilayah ekstrateriotrial Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim 5 memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia. 4. Prinsip Nasionalitas Aktif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya. 5. Prinsip Nasionalitas Pasif Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip Warga Filipina yang membunuh Soni Warga Indonesia di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis. 6. Prinsip Universal Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional. Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan impunity bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi. Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol sebagai berikut: a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara 6 aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya. b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain. c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime. Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme CourtAmerika Serikat dalam Hostage Case adalah: “an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the state that would have control over it under normal circumatances” Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk condemn perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak. b. Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan 7 kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya. c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya. Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang war crime dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement Third of the Foreign Relations Law of United Statesmenyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya. 7. Prinsip Perlindungan Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency, immigration and economic violation. Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia. 2.3 Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu Negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, 8 seandainya ada suatu Negara Negara A menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah dilakukan Negara B. Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah suatu Negara Negara C bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya terhadap subjek hokum asing Negara D yang melakukan perbuatan di luar wilayah Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X. Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian, persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli adalah bertentangan dengan hokum Amerika Serikat AS. Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and complection of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif. Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum AS di luar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana perbuatan itudilakukan. Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing Swiss, Jerman, Inggris untuk menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS dalam hal produksi dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding AS dalam putusannya menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act apabila: 1. Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdagangan AS; 9 2. Tidak mempunyai akibat terhadap perdagangan AS; Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS. Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga menerapkaneffect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS. Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial jurisdiction terhadap perusahaan Canada tersebut atas dasar effect doctrine, bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan di AS. Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa ECJ berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa. Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.

2.4 Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi