2. Tidak mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;
Apabila   kedua   syarat   itu   terpenuhi   maka   Sherman   Act   dapat   diterapkan   sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.
Masih   terkait   dengan   penerapan   yurisdiksi   ekstrateritorial,  AS   juga   menerapkaneffect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus
US v Aluminium Co of America tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya
menetapkan   harga   barang   yang   mereka   pasarkan   di  AS. Pengadilan  AS   menyatakan   dirinya memiliki judicial   jurisdiction terhadap   perusahaan   Canada   tersebut   atas   dasar effect   doctrine,
bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan di AS.
Selain  AS,  penerapan   yurisdiksi   ekstrateritorial   juga   diterapkan   oleh   pengadilan   Eropa ECJ berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus
ini   muncul   kontroversi   seputar   dua   hal   menyangkut   yurisdiksi   ECJ   dan   substansi   tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp
melanggar European   Community   Competition   Law.   Perusahaan-perusahaan   tersebut   11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal.
Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan   yurisdiksi   ekstrateritorial   sering   menimbulkan   banyak   masalah.   Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas
yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing
berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.
2.4 Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Kedaulatan   Negara   hanya   dapat   dilakasanakan   di   wilayah   atau   teritorialnya   dan   akan berakhir   ketika   sudah   dimulai   wilayah   atau   teritorial   Negara   lain.   Meskipun   suatu   Negara
memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip- prinsip   yurisdiksi   dalam   hokum   internasional,   namun   tidak   begitu   saja   Negara   dapat
melaksanakannya   enforcement   jurisdiction   ketika   orang   tersebuut   sudah   melarikan   diri   ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur dari tahanan,
Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur ke luar negeri. Untuk itulah   dalam   tata   kra   pergaulan   internasional   dibutuhkan   permohonan   ekstradisi
dari requesting   State kepada  Requested   State.   Dengan   demikian,   keterbatasan   kedaulatan territorial   bisa dijembatani   melalui   kerjasama   dengan   Negara-negara   lainnya   untuk   proses
10
penegakan hukumnya. Keberhasilan kerjasama penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan
pelaku   kejahatan   atau   dalam   kerja   sama   penyidikan,   penuntutan,   dan   peradilan.   Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan
hukum dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas timbal balik.
Kerjasama   penerapan   yurisdiksi   atau   penegakan   hukum   yang   tertua   adalah   ekstradisi kemudian  diikuti   kerjasama   penegakan   hukum   lainnya   seperti,   dengan   “mutual   assistance”
MLAT’s;  “transfer  of  sentenced  person” TSP;  “transfer  of  criminal   proceedings”  TCP, dan “joint investigation” serta “handing over”.
Pemerintah   Indonesia   telah   memiliki   “undang-undang   payung”   umbrella   act   untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama
penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mutual assistance in
criminal matters. Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah,   bahwa perjanjian   ekstradisi   untuk   tujuan   penyerahan   orang   pelaku   kejahatan,
sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset
hasil   kejahatan.   Permintaan   penyerahan   pelaku   kejahatan   ekstradisi   tidak   serta   merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam
masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Ekstradisi menurut pasal 1 UU 11979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena
melakukan   suatu   tindak   pidana   di   luar   wilayah   yang   menyerahkan   dan   di   dalam   yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan
pengertian   yang   terdapat   dalam Black   Law   Dictionary yaitu  the   surrender   by   one   state   or country to anotherof an individual accused or convicted of an offense outside its own territory
and within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent to try and punish him, demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I Wayan Pathiana menegaskan bahwa
Ekstradisi adalah penyerahan secara formal berdasarkan perjanjian, prinsip resirositashubungan baik antarnegara. Atas seseorang tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana oleh Negara. Tempat
orang   tersebut   melarikan   diribersembunyi   Requested   State   kepada   Negara   yang   memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara tersebut Requesting State
dengan tujuan untuk diadili atau dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas
11
dapat   disimpulkan   bahwa   ekstradisi   adalah   penyerahan   secara   formal   seseorang   baik   dalam statustersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk
diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Perjanjian   ekstradisi sangat   dibutuhkan   saat   ini   seiring   dengan   meningkatnya   kualitas maupun   kuantitas   kejahatan   khususnya   kejahatan   transnasional   dan   terorisme.   Keberadaan
istrumen   hukum   internasional   ini   sangat   bermanfaat   untuk   meningkatkan   jangkauan   da kemampuan penegakan hokum pidana nasional secara umum.
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi hokum kebiasaan   internasional.   Pada   umunya   perjanjian-perjanjian   ekstradisi   akan   memuat   sebagai
prinsip-prinsip berikut: 1.
Prinsip kejahatan ganda double criminal 2.
Prinsip kekhususanspesialitas 3.
Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik 4.
Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri 5.
Prinsip Ne bis in idem 6.
Prinsip kadaluwarsa Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrumen hukum nasional yaitu UU No.
11979   tentang   ekstradisi.   Disamping   hukum   nasional   yang   bersumberkan   pada   hukum internasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrumen khusus yang menjadi panduan
dalam   pembuatan   perjanjian   ekstradisi   yaitu   Model   Treaty   on   Extradition.   Model   ini   bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional.
BAB III PENUTUP
12
3.1 Kesimpulan