Kendala dalam pencegahan HIVAIDS di Lapasrutan.

Pada dasarnya barang-barang dapat membahayakan penghuni dilarang untuk masuk ke dalam Lapasrutan. Namun kenyataannya, barang-barang yang dilarang bisa masuk dan beredar di Lapas rutan. Bahkan dalam banyak kasus, ketika dilakukan razia, di dalam Lapas pun bisa pula diketemukan Narkoba. Penyelundupan barang –barang yang dilarang lainnya yang biasa terjadi adalah penyelundupan uang, narkoba, senjata tajam, handphone, dan sebagainya. Gejala penyelundupan barang-barang terlarang tersebut dapat diamati sebagai upaya dan usaha narapidana dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Dengan terpenuhinya kebutuhannya itu maka narapidana tersebut dapat mengurangi penderitaannya selama ada di Lapas rutan.

5. Pelarian dan pemberontakan

Gejala perilaku melarikan diri yang dilakukan oleh penghuni Lapas sebagaimana sering diberitakan oleh media. Merupakan gambaran dari penyimpangan yang bisa terjadi di Lapasrutan. Perkelahian di dalam Lapasrutan juga sangat mungkin terjadi. Bila dianalisa lebih jauh, terjadinya tindak pelarian dan perkelahian antar warga binaan disebabkan karena lemahnya pengawasan yang dilakukan petugas. Sebab pelarian hanya mungkin terjadi karena adanya kesempatan untuk melarikan diri. Berbeda dengan pelarian yang bersifat individual, maka pelarian massal dan atau pemberontakan adalah satu sisi yang harus di waspadai dan harus mendapat perhatian serius. Sebab kejadian tersebut berakar kepada kondisi yang bersifat kultural. Dan oleh sebab itu maka analisanya pun harus di dekati dengan pendekatan sosiologis.

B. Kendala dalam pencegahan HIVAIDS di Lapasrutan.

Dalam melaksanakan proses pencengahan HIVAIDS terhadap narapidana di Lapasrutan banyak hambatan dan kendala yang muncul. Kendala dan hambatan yang ada dapat muncul dari mana saja yang terkait dengan proses pencenghan yang ada. Dengan paradigma bahwa yang dihadapi ialah orang yang memiliki masalah. Maka perlu suatu kesiapan dalam menghadapi kendala yang muncul dalam pelaksanaan proses pencengahan terhadap narapidana yang terjangkit HIVAIDS di Rutanlapas. Secara sederhana bila harus dikelompokkan maka kendala-kendala yang menghambat segala proses pencegahan HIVAIDS di Lapasrutan, maka bisa dipisahkan menjadi kendala yang berasal dari dalam Lapasrutan, dan hal-hal lain yang merupakan penghambat yang berasal dari luar Lapasrutan. Pembedaaan ini tidak menyatakan bahwa kendala-kendala yang berasal dari dalam Lapasrutan lebih berat. Karena pada dasarnya setiap kendala memiliki porsinya masing-masing sebagai penghalang proses pencegahan dan penanggulangan yang harus segera dibenahi. Sebab urusan penularan HIVAIDS merupakan masalah penting yang mendesak. Artinya bila penularan HIVAIDS yang mungkin saja terjadi di LapasRutan tidak segera ditanggani, maka mungkin akan memperberat urusan pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS di masyarakat umum. Hal ini sebab, para narapidana dan tahanan yang menghuni Lapasrutan tidak selamanya di sana, dan karena mereka juga akan kembali ke masyarakat dan keluarganya. Kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan merupakan kendala yang utama yang harus diselesaikan dan ditanggapi dengan baik dan bijaksana, karena proses pembinaan dilaksanakan sebagian besar di dalam lembaga pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melibatkan semua unsur atau pihak yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan bahkan melibatkan masyarakat yang mau dan mampu membantu pelaksanaan proses pembinaan yang ada. Kendala atau hal-hal yang mengganggu dan menghambat dalam pelaksanaan proses pembinaan narapidana sangat banyak dan majemuk bentuknya. Hal-hal yang menjadi kendala tersebut bahkan banyak menguras pikiran dan tenaga semua pihak yang terlibat. Untuk dapat menyelesaikan hambatan ini, dengan demikian peran, fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak sangat penting dan mempengaruhi terlaksananya proses pembinaan terhadap narapidana, disanalah diketahui kendala yang muncul dalam pelaksanaan proses pembinaan terhadap narapidana tersebut. Di bawah ini merupakan kendala yang muncul dari dalam lembaga pemasyarakatan.

a. Petugas pelaksana

Dalam mengelola dan menjalankan sebuah LapasRutan harus ada petugas yang menjalankan fungsinya masing-masing. Pemposisian petugas Lapasrutan kebanyakan adalah untuk pengamanan. Sebab memang yang paling krusial ialah mengawasi dan menjaga narapidana atau tahanan agar tidak melarikan diri atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Kendala utama pada petugas pelaksana proses pembinaan narapidana, yakni sangat kurang baiknya secara kualitas dan kuantitas. Pelaksanaan proses pembinaan membutuhkan petugas yang siap untuk beradaptasi dalam membina narapidana. Untuk menjalankan fungsi dan pelayanan kesehatan maka diperlukan sejumlah petugas yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang kesehatan.Seperti yang diketahui, bahwa narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya bakal makin parah. Pada umumnya narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi semacam itu, narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit. Kondisi itu diperburuk dengan ketersediaan tenaga medis yang relatif minim. Tidak semua Lapas memiliki dokter, perawat, atau poliklinik tersendiri. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan pada Februari 2007, jumlah dokter di Lapas sebanyak 277 orang 58,1 persen adalah dokter paruh waktu dan perawat 438 orang 60,9 persen adalah perawat paruh waktu. Sementara jumlah poliklinik sebanyak 163 buah. 54 54 “Selama 2006, 813 Napi Meninggal di Penjara: Kelebihan Penghuni Dituding Jadi Salah Satu Penyebab”, http:www.reformasihukum.orgkonten.php?nama=MekanismeLegislasiop=detai_politik_mek anisme_legislasiid=576 1 Mei 2009. kesehatan. Permasalahan jumlah tersebut belum apa-apa. Sebab masih ada permasalahan dalam hal kualitas petugas. Kualitas petugas diharapkan selain dapat dan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan uraian tugasnya masing-masing juga diharapkan mampu menjawab tantangan atau masalah yang selalu ada di lingkungan Lapas. Dari pendidikan umum petugas dapat dikatakan telah memadai namun dalam hal melaksanakan tugas penanggulangan HIVAIDS tidak banyak petugas yang dikatakan cakap. Sebab dalam perekrutan petugas sebagai pegawai pemasyarakatan tentu harus dengan prasyaratan tertentu. Serta sebelumnya para calon pegawai tersebut telah mendapatkan semacam pendidikan atau pelatihan. Dalam hal pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS kualitas dari petugas dapat dikatakan masih kurang. Minimnya sumber daya petugas yang mengetahui tentang HIV AIDS makanya secara bertahap perlu dilakukan sosialisasi dengan tujuan para petugas secara garis besar mengetahui bagaimana penularannya dan bagaimana jangan sampai tertular. Sebab tidak mustahil bahwa petugas pun dapat tertular. 55 Banyaknya jumlah penghuni dalam Lapasrutan mengakibatkan penjagaan menjadi sulit dilakukan. Karena jumlah petugas keamanan yang terbatas harus mengawasi dan menjaga agar warga binaan tersebut tidak melakukan hal-hal yang melanggar tata tertib dan tentunya tidak mencoba melarikan diri. Banyaknya warga binaan tersebut tentunya juga mengakibatkan dibutuhkannya sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola dan menjalankan Dan untuk lebih lanjut para petugas juga harus segera diberikan pelatihan atau informasi bagaimana menangani penularan HIVAIDS di Lapasrutan. Agar persoalan penyebaran HIVAIDS di Lapas rutan dapat segera dikendalikan. Kurangnya pengetahuan dan keahlian petugas Lapasrutan menyebabkan kemampuan bertindak mereka menjadi tidak optimal. Dalam hal ada narapidana yang meninggal dunia petugas pun tidak bisa berbuat banyak. Sebab selain karena jumlah anggaran yang terbatas petugas juga hanya bisa mengembalikan narapidana tersebut kepada keluarganya. Dengan kurangnya memadainya petugas sumberdaya manusia dalam melakukan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan maka akan berdampak pada kelancaran program penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan menjadi kurang optimal. Jadi petugas kesehatan Lapas rutan yang handal perlu juga didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Begitu pula sebaliknya, apa artinya memiliki sumber daya petugas yang handal, tapi tidak memiliki sarana dan fasilitas yang memadai. Mengingat over kapasitas tengah menjadi fenomena yang biasa di LapasRutan. Hampir semua Lapasrutan mengalami kekurangan daya tampung karena jumlah narapidana atau tahanan yang banyak jumlahnya. Hal seperti memerlukan petugas keamanan yang lebih banyak. Semestinya jumlah petugas keamanan dan jumlah narapidana atau tahanan jumlahnya sebanding atau proporsional. 55 Sri Yuwono, op.cit., hal. 99. jumlahnya petugas kesehatan pada LapasRutan mengakibatkan lambatnya proses pelayanan kesehatan. Dan Kurangnya petugas pengamanan membuat narapidana dan tahanan menjadi sulit untuk ditangani. Hal menyebabkan barang-barang yang dilarang masuk ke dalam Lapasrutan. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara kualitas maupun kuantitas maka sumber daya manusia pelaksana dan pengelola LapasRutan masih terbatas dan kurang memadai. Kurangnya sumber daya manusia ini, akan mengakibatkan terhambatnya proses penanggulangan HIVAIDS. Karena proses penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan menjadi kurang efisien.

b. Narapidana penderita HIVAIDS.

Narapidana yang terkena kasus narkotika dan psikotropika mempunyai kewajiban seperti narapidana pada umumnya untuk mengikuti proses pembinaan dan kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Walaupun begitu harus dengan kesadaran dan kesedian dari narapidana yang bersangkutan. Kemauan dan kesadaran narapidana kasus narkotika dan psikotropika untuk ikut proses pembinaan sangat minim. Hal ini menyulitkan pelaksanaan proses pembinaan. Kendala yang utama dari narapidana yakni adalah kurangnya kemauan dan kesungguhan dari narapidana peserta proses pembinaan yang dilaksanakan oleh petugas seksi bimbingan kemasyarakatan. 56 Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan mode of transmission terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV. Salah satu kendala proses pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan dikarenakan Narapidana sulit diajak bekerja sama untuk menjalankan program dan kegiatan. Data yang ada diketahui bahwa mayoritas dari narapidana yang menderita HIVAIDS merupakan Narapidana yang pernah memakai Narkoba Suntik penasun. Jumlah estimasi Penasun 191.000-48.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77 disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS. 57 56 Hadi Gunawan, op. cit., hal. 69. 57 Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI No.02PERMENKOKESRAI2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik, loc. cit. Kebanyakan dari pederita HIVAIDS itu adalah pengguna narkoba suntik yang sering menggunakan jarum suntik secara Lapasrutan maka tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas. Bila hal itu masih terus berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan bila terjadi penggunaan jarum suntik tersebut secara bergantian akan mengakibatkan terjangkitnya HIV AIDS di dalam Lapasrutan. Menghentikan kebiasaan menyuntikkan obat terlarang atau narkoba menggunakan jarum suntik memang sulit dihentikan. Pasalnya pemakai telah sampai pada tahap ketergantungan. Oleh karena itu, dipilih program subsitusi oral berupa pemberian metadon. Terapi tersebut dapat menurunkan risiko overdosis dan menurunkan penggunaan heroin suntik. Serta juga akan meningkatkan status kesehatan secara umum, dan memperbaiki kualitas hidup yang berpengaruh pada hubungan sosial. Namun demikian ternyata tidak semua narapidana bersedia menjalankan program tersebut. Permasalahannya memang kembali kepada kesadaran dan kemauan dari para narapidana untuk berturut serta dalam pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS di LapasRutan. 58 Kendala lain yang juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIVAIDS yakni berasal dari sisi narapidana. Pada umumnya narapidana malas untuk mengikuti program atau kegiatan yang telah diatur oleh petugas. Narapidana malas untuk berobat atau melakukan terapi secara rutin. 59 Kondisi sel yang sempit masih harus dihuni oleh narapidana yang jumlahnya banyak. Tentunya kondisi yang seperti jauh dari layak. Apalagi dalam usaha penanggulangan HIVAIDS kondisi ruangan sel Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keinginan dari setiap narapidana atau tahanan sendiri untuk mengikuti setiap program dan kegiatan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS.

c. Sarana dan prasaran penunjang.

Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam hal jumlah maupun kualitas, telah menjadi hal yang menghambat bahkan juga menjadi salah satu penyebab rawannya keamananketertiban dalam Lapasrutan. Begitu juga dalam hal pelayanan kesehatan narapidana dan tahanan khususnya dalam usaha penanggulangan dan pembinaan narapidana atau tahanan penderita HIVAIDS. Padahal seharusnya untuk usaha penanggulangan HIVAIDS di LapasRutan mesti tersedia sarana-sarana dan prasarana medis yang memadai, serta peralatan-peralatan yang ada hubungannya dengan penanggulangan HIVAIDS, bahkan seyogyanya di dalam Lapasrutan mesti tersedia laboratorium untuk melakukan tes darah. Kekurangan fasilitas yang paling utama selain sarana pelayanan kesehatan di LapasRutan yakni adanya kekurangan atau keterbatasan ruangan. Khususnya ruang sel yang digunakan untuk tidur para narapidana dan tahanan. 58 “30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS” http:www.pikiranrakyat. comprprint.php?mib=beritadetailid=37530, 1 Mei 2009. 59 Sri Yuwono, op. cit., hal. 106 yang menderita hiv harus bercampur dengan narapidana yang sehat. Pemasyarakatan Lapas di Indonesia overload. Penghuninya, tahanan dan narapidana harus berbagi tempat yang sempit untuk melanjutkan hidup. Gerak langkah yang sangat terbatas makin sempit karena harus berdesak-desakkan di satu sel berteralis. Inilah tantangan yang berat bagi orang dengan HIVAIDS Odha di Lapas. Tak hanya berat bagi Odha yang tengah berjuang melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas, tapi juga berat bagi petugas kesehatannya. Dokter dan relawan penanggulangan HIV di Lapas terpaksa harus bekerja keras mencegah penularan HIV dalam Lapas yang makin sesak. Karena merupakan bahwa sangat sulit melaksanakan terapi pengobatan melawan HIV dalam tubuhnya di Lapas dengan kondisi yang tidak mendukung. Narapidana yang terhukum akibat penyalahgunaan narkoba menjadi sulit tidur nyenyak karena selnya sesak dan gejala penyakit juga cepat menginfeksinya. Kondisi yang demikian tidak mendukung untuk bisa hidup sehat, apalagi dengan HIV di tubuh. Tentu hal ini akan memperparah keadaan dan akan menjadi bentuk penghukuman baru bagi narapidana tersebut. Narapidana yang memiliki penyakit bawaan ketika masuk Lapas kondisi kesehatannya akan semakin parah. Pada umumnya, narapidana yang meninggal di dalam Lapas telah membawa penyakit tertentu pada saat masuk penjara. Penyakit itu kian berat, terutama karena pengaruh kondisi psikologis terpidana yang juga buruk. Namun, kata dia, yang mengkhawatirkan adalah pengidap HIV. Virus itu menyerang kekebalan tubuh pengidapnya. Dalam kondisi lingkungan dan saranan yang kurang memadai narapidana sangat rentan terserang berbagai macam penyakit baru. Sedangkan kekurangan dalam hal pelayanan kesehatan khususnya dalam konteks penanggulangan HIVAIDS di Lapasrutan yakni meliputi kekurangan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga untuk melakukan VCT, dan belum adanya laboratorium untuk pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah merupakan hal yang amat penting untuk mengetahui apakah narapidana atau tahanan yang baru masuk terjangkit HIVAIDS atau tidak. Selain hal di atas ketersediaan obat-obatan juga menjadi kendala dalam penanggulangan HIV AIDS. Pasalnya obat untuk menekan kerja virus HIV, yakni ARV adalah obat yang mahal. Meski demikian obat yang mahal ini tidak akan menyembuhkan penderrita HIV AIDS, hanya untuk meredakan penderitaan korban saja. Dan untuk menghentikan penyebaran virus saja. Dengan kondisi yang seperti itu ARV harus dikonsumsi secara rutin. Kelangkaan obat-obatan ini akan menjadi penghalang besar dalam usaha penanggulangan HIVAIDS. Di sisi lain walau bagaimana pun keadaan Lapasrutan, hak-hak kesehatan warga binaan harus tetap dipenuhi. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 1 Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 2 Pada setiap Rutancabang Rutan atau Lapascabang lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. 3 Dalam hal Rutancabang Rutan atau Lapascabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat. 60 Menurut National Program Officer UNODC HIV-AIDS Unit, Samuel Nugraha, tidak semua Lapasrutan memiliki klinik dengan standar pelayanan kesehatan yang memadai. Secara nasional, program penanganan HIV-AIDS di lingkungan Lapasrutan sudah ada, tetapi implementasinya belum semua karena dana kesehatan di penjara masih rendah. 61

d. Masalah psikologis

Beban lainnya yaitu, Lapas menampung tak hanya narapidana tapi juga tahanan, yang jumlahnya makin banyak. Selain itu warga binaan Lapas terdiri dari berbagai latar belakang, seperti kejahatan pembunuhan, narkotika, dan warga binaan wanita. Karena itulah tantangan penanggulangan HIV di Lapas sangat memeras otak. Pertama soal risiko penularan HIV, kedua soal pelaksanaan terapi pengobatan dan perawatan orang dengan HIVAIDS Odha di Lapas. Di antaranya adalah sulitnya mengawasi perilaku- perilaku beresiko dalam penularan HIV. Misalnya pembuatan tato atau tindik tubuh dengan jarum yang tidak steril. Darah adalah media penularan HIV yang cepat. Apalagi menggunakan jarum atau benda tajam yang telah terinfeksi HIV kemudian masuk ke jaringan darah. Warga binaan juga banyak yang keluar masuk. Setelah bebas, lalu masuk lagi. Ini membutuhkan penyuluhan yang kontinyu serta petugas yang cukup. Karena itu Pokja Lapas atau tim AIDS Lapas harus membuat berbagai program penanggulangan HIV, berlomba dengan kemungkinan resiko penularan HIV yang cepat di Lapas. Kondisi sanitasi dan over kapasitas tentu makin mempercepat Odha mendapatkan gejala penyakit. Selain itu, risiko penularan juga makin tinggi jika pemerintah dan pejabat lembaga pemasyarakatan tidak bergerak cepat. Risiko tidak hanya bagi warga binaan tapi juga pasangan dan anak-anak mereka di luar Lapas yang tidak mengetahui suami atau istrinya telah terinfeksi HIV. Keterbatasan sarana dan hal-hal di atas akan menjadi panghambat dalam pelaksanaan penanggulangan HIVAIDS di LapasRutan. Karena mau tidak mau pencegahan dan penanggulan HIVAIDS harus didukung dengan fasilitas dan sarana yang memadai. Juga perlu diingatkan kembali bahwa pecegahan dan penanggulangan HIVAIDS memerlukan tes HIV, perawatan kesehatan dasar dan program terapi serta pengalihan dari ketergantungan dari Narkoba. Masalah-masalah psikologis dan kultural seperti rasa malu untuk berbicara terbuka, kebiasaan yang melarang berbicara soal seks, dan hukuman sosial yang dijatuhkan kepada penderita AIDS masih menjadi kendala pendidikan pencegahan HIVAIDS di Indonesia. 62 60 Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata-cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ps. 21 ayat 1-3. Hal di atas juga menjadi masalah dalam 61 “30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS,” loc. cit., 1 mei 2009. 62 “Masalah Psikologis masih menjadi penghambat”, http:www.stmikmj.ac.idberitastmik-mj41-masalah-psikologis-masih- jadi kendalapencegahan- hivaids.html, 1 Mei 2009. masyarakat pada umumnya dalam menilai penderita HIVAIDS. Hal ini termasuk ketakutan menghadapi stigma, yang menghambat para warga binaan untuk mengambil obat di lingkungan yang ramai, staf yang tidak dapat dipercaya, pindah ke Lapas lain, dukungan sosial yang buruk setelah bebas. Di sisi lain kondisi Lapasrutan yang sangat ramai dan over kapasitas membuat adanya rasa takut dari narapidana yang masih sehat, bila sewaktu-waktu dapat ketularan HIV. Ketakutan yang secara psikologis ini makin kuat manakala melihat kondisi Lapas yang amat rentan untuk terjadinya penularan HIV. Keadaan usai menjalani hukuman juga menjadi kendala. Karena bila tidak didukung oleh masyarakat maka mantan narapidana tersebut menjadi takut untuk kembali ke masyarakat. Sebab muncul perasaan tidak diterima lagi oleh keluarga dan masyarakatnya. Untuk membantu proses perawatannya seharusnya keluarga tetap berpikir postif bahwa HIVAIDS hanya mungkin menular dengan cara-cara tertentu.

e. Kendala dari luar Lembaga Pemasyarakatan

1 Pendanaan. Salah satu faktor penting yang menjadi kendala adalah pendanaan. Kendala ini dapat diatasi dengan menjalin koordinasi diantara instansi yang terlibat dalam penanggulangan HIVAIDS. Pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam penanggulangan HIVAIDS dengan adanya kewenangan otonomi daerah sehingga dapat menyediakan dana yang cukup. Pada umumnya anggaran Lapas rutan jumlahnya sangat minim sekali sehingga dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan, pengamanan dan perawatan kesehatan. Dengan anggaran yang ada diusahakan semaksimal mungkin dapat memenuhi kebutuhan kantor maupun penghuni dan khususnya dalam penanggulanga HIVAIDS. Untuk melaksanakan program penanggulangan HIVAIDS dibutuhkan dana yang besar. Dana penanggulangan HIVAIDS berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakatpihak swasta dan bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri hendaknya dalam bentuk hibah, atau bentuk pinjaman lunak. Bantuan luar negeri yang tidak mengikat baik bersifat bantuan bilateral maupun multilateral tetap diharapkan dan digunakan secara proporsional sesuai kebutuhan baik untuk pemerintah maupun LSM, dengan berpegang pada prinsip efektif dan efisien. Diperlukan pelibatan masyarakat termasuk swastadunia usaha dalam penggalangan dana nasional dan daerah. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi dan KabupatenKota dapat mengambil prakarsa untuk menggerakkan masyarakat dan sektor swasta dunia usaha dalam pengumpulan dana. Pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS di dalam Lapasrutan, anggaran juga merupakan faktor yang berguna menjamin kelancaran program kegiatan. Kendala yang pertama adalah Lapasrutan tidak bisa memeriksa orang masuk ke dalam Lapasrutan untuk diperiksa apakah orang tersebut telah terjangkit HIV AIDS atau tidak. Jadi narapidana atau tahanan hanya diperiksa secara fisik saja dan tidak diambil darahnya. Hal itu disebabkan mahalnya biaya untuk pemeriksaan darah guna mengetahui terjangkit HIV atau tidak. Sebab proses pemeriksaan darah tersebut harus melalui proses pemeriksaan di laboratorium. Karena kecilnya dana, maka untuk mengatasi itu sebelumnya menjelaskan bahwa layanan kesehatan yang akan disediakan bagi penghuni Lapas yang menderita AIDS antara lain berupa pengobatan penyakit Infeksi Menular Seksual IMS, tes dan konseling sukarela VCT, pengobatan dengan Antiretroviral ARV, pengobatan infeksi oportunistik, pengurangan resiko atau Harm Reduction dengan terapi Metadon dan promosi penggunaan kondom. Sebagai gambaran, pada bulan Mei 2005, dana kesehatan di wilayah Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta, bila dihitung, maka hanya sebesar Rp. 80 pertahun. 64 2 Kesulitan dengan akses kesehatan. Dengan minimnya anggaran kesehatan dan tidak adanya anggaran khusus untuk penanggulangan HIVAIDS, sehingga mengakibatkan tidak dapat mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS. Karena seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa untuk menanggulangi penyebaran HIVAIDS di Lapasrutan diperlukan sarana, fasilitas dan programprogram yang kesemuannya memerlukan dana. Kecilnya dana pelayanan kesehatan di Lapasrutan bertambah buruk manakala akses kesehatan narapidana mendapat hambatan. Tidak mudah bagi narapidana untuk mendapat akses kesehatan seperti rawat inap di rumah sakit di luar Lapas. Hal ini terjadi karena biasanya narapidana tak mempunyai alamat yang jelas sehingga kebanyakan dari mereka tidak punya kartu identitas. Tak pelak, mereka sulit memperoleh surat miskin yang untuk saat ini hanya dapat diterbitkan oleh pamong warga, seperti lurah, karena ada persyaratan fotokopi KTP, atau surat-surat lain yang anggap perlu. Hal di atas disebabkan pula karena masih adanya pandangan bahwa karena narapidana adalah sampah masyarakat. Maka tidak perlu untuk diberi bantuan atau akses kesehatan. 3 Keluarga narapidana penderita HIVAIDS. Bila ada narapidana yang terkena HIVAIDS keluarganya menjadi seakan tidak peduli. Bahkan kebanyakan dari keluarga menyerahkan kepada Lapas. Demikian halnya bila narapidana tersebut sakit dan harus dirawat dirumah sakit. Belum tentu keluarga mau mengurusnya dan menanggung biaya rumah sakit. Dengan demikian biaya perawatan dirumah sakit harus ditanggung pihak Lapas. Dengan demikian hal ini akan semakin memberatkan anggaran dan pendanaan dari layanan kesehatan Lapas. Lalu juga misalnya, narapidana yang menderita HIVAIDS tersebut meninggal karena penyakitnya belum tentu keluarga mau menerimannya. Hal ini di karena terkena atau mengidap HIVAIDS adalh aib yang amat besar bagi keluarga. Hal ini akan menjadi kendala-kendala dalam 63 “30 Penghuni LAPAS Banceuy Positif HIV-AIDS”, loc. cit., 1 Mei 2009. 64 Sri Yuwono, op. cit., hal. 105. kurang. Karena dianggap sebagai aib dan membuat narapidana tidak berani secara langsung bicara secara terbuka. Seharusnya apapun yang terjadi jangan dikatakan suatu aib, karena akan menyusahkan dalam penanganannya. 4 Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan narapidana Seperti yang telah dijelaskan pada di bagian sebelumnya bahwa penderita HIVAIDS di Lapasrutan merupakan pengguna narkoba suntik penasun. Namun demikian tidak semua narapidana atau tahanan yang merupakan pengguna narkoba suntik tidak pasti merupakan HIVAIDS. Untuk itu, sebagai usaha preventif, maka narapidana atau tahanan yang baru masuk seharusnya diperiksa. Namun untuk memeriksa atau untuk melakukan tes darah, bukan hal yang mudah. Karena untuk melakukan pemeriksaan HIVAIDS untuk memastikan positif terjangkit HIVAIDS, tidak boleh dengan cara paksaan. Untuk melakukan pemeriksaan darah tersebut harus berdasarkan dan dengan persetujuan dari narapidana atau tahanan yang bersangkutan. Selain itu juga harus disosialisasikan terlebih dahulu agar napi dengan penuh kesadaran untuk di tes darahnya. Di sinilah pentingnya VCT. Narapidana diajak dengan kesadaran dan kemauannya sendiri untuk melakukan. Tes. Tentunya terlebih dahulu diberi tahu apa manfaatnya bagi narapidana atau tahanan itu sendiri. Mengapa banyak narapidana dan tahanan yang tidak bersegera untuk diperiksa darahnya. Hal berkaitan dengan psikologisnya. Narapidana atau tahanan tersebut merasa belum siap dan takut manakala benar, ia telah mengidap HIVAIDS. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belum ada peraturan yang dapat memaksa narapidana untuk di ambil darahnya guna keperluan tes HIVAIDS. Namun demikian saat ini dalam pedoman penanggulangan HIVAIDS di Lapas telah disebutkan langkah atau prosedur yang harus dijalankan manakala menerima tahanan dan narapidana baru. Tapi kesadaran dan kemauan dari tahanan atau narapidana adalah yang utama. Selain itu juga berdasarkan penelitian yang ada, menunjukkan bahwa adanya kemungkinan besar terjadi penularan, karena selain pemakaian pisau cukur bersama, pembuatan tato dan tindik serta narapidana berkelahi yang mengakibatkan pendarahan, dan itu semua menjadi sangat rentan terjadinya penularan HIV AIDS di dalam Lapas rutan. HIVAIDS di Lapasrutan. Proses pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS saat ini dapat dikatakan belum maksimal. Masih banyak permasalahan dan kendala yang harus segera ditangani. Misalnya saja pelayanan kesehatan narapidana dan tahanan yang masih belum memadai. Di satu sisi keadaan sel di Lapasrutan yang juga mengalami over kapasitas membuat Narapidanatahanan yang menderita HIV menjadi semakin parah penyakitnya. Sering juga didapati Narapidana yang meninggal dunia karena telah menderita HIVAIDS. Kondisi Lapas Rutan yang buruk tersebut dapat dikatakan membuat narapidana atau tahanan yang menderita HIVAIDS menderita secara fisik maupun secara psikologis. Perlakuan Petugas juga tak jarang menjadi bentuk penghukuman tersendiri untuk narapidana penderita HIV. Misalnya ketika penyakitnya telah memasuki fase yang parah, namun petugas tidak segera merujuk ke Rumah sakit dengan peralatan dan fasilitas yang lebih memadai. Alasannya yang klasik menjadi argumen dari pihak Lapasrutan, yakni bahwa tidak ada biaya atau anggaran untuk melakukan rawat inap di rumah sakit. Apakah perlakuan dan keadaan lingkungan Lapasrutan yang demikian itu dapat dikatakan sebagai bentuk pemidanaan baru. Sudarto mengatakan, “Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”. 65 a. Pidana terdiri atas: Walau mengadung penderitaan tentunya keadaan yang dialami oleh narapidanatahanan yang menderita HIVAIDS tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penghukuman. Sebab sebagaimana diketahui bahwa bentuk-bentuk hukuman berdasarkan pasal 10 KUHP dirumuskan tentang pidana sebgai berikut: 66 Dari bentuk-bentuk hukuman yang ada saat ini, hukuman penjara adalah bentuk hukuman yang paling sering diberikan kepada terdakwa. Hukuman pencabutan kemerdekaan tersebut dirasa cukup 1 Pidana Pokok 2 Pidana mati, 3 Pidana penjara, 4 Kurungan, 5 Denda. 6 Pidana tutupan b. Pidana Tambahan 1 Pencabutan hak-hak tertentu, 2 Perampasan barang-barang tertentu, 3 Pengumuman putusan hakim. 65 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1975, hal.7. 66 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 10. dijatuhkannya hukuman penjara pada pengguna narkoba dan psikotropika yang tengah mengidap HIVAIDS. Namun pada kenyataannya kerena seringnya menjatuhkannya hukuman penjara maka akan hanya membuat kondisi Lapas rutan semakin ramai. Akibatnya Lapas mengalami over load karena jumlah narapidana yang lebih banyak dari jumlah hunian yang tersedia. Bila lembaga pemasyarakatan bertujuan atau berfungsi untuk melakukan proses resosialisasi dan pembinaan maka pembinaan mestinya tidak hanya dapat dilakukan di Lapas saja dan dengan menjatuhkan hukuman penjara. Serta bila lembaga pemasyarakatan berfungsi agar narapidana yang telah dibina tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Maka perlu dilihat kembali teori ulitarian dalam konteks pencegahan. Berikut ini beberapa karakteristik dari teori utilitarian sebagai berikut: 1 Tujuan pidana adalah pencegahan prevensi; 2 Pencegahan bukanlah pidana akhir, tetapi merupakan saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; 3 Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja misal karena kesengajaan atau culpa yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4 Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; 5 Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 67 Artinya bahwa bila memang untuk melakukan pencegahan tidak harus selalu melakukan pemberian hukuman pidana penjara. Lagi pula dengan majunya berkembangan masyarakat dan bentuk-bentuk kejahatan yang ada maka, pemidanaan narapidana tidak bisa lagi hanya dengan untuk melakukan pembalasan atas perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan terhukum. Serta tidak harus selalu memberikan hukuman penjara. Misalnya dewasa ini ada tindak pidana yang memerlukan perlakukan khusus kepada para pelaku. Hal ini perlu dilakukan agar pelaku tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. Pengguna narkoba salah satunya yang harusnya diperlakukan dengan khusus. Dalam hal ini walaupun telah menjalani hukuman penjara namun tidak menjalankan perawatan dan pembinaan khusus maka ada kemungkinan terpidana akan kembali masuk ke dalam Lapas. Sebab kondisi dirinya yang mendorong untuk terus menggunakan narkotika dan psikotripika yang oleh undang-undang dan masyarakat dinyatakan sebagai tindak pidana. Sebagai solusi alternatif tidak salahnya untuk kembali mengkaji sanksi tindakan. Sanksi yang berupa tindakan bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan bagi yang bersangkutan, manakala tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, bagaimana pun itu bukanlah yang menjadi tujuan. Penderitaan dalam konteks yang demikian itu merupakan efek samping dari usaha membina narapidana. Dalam konteks 67 Muladi dan Arif, op. cit., hal. 17. narapidana yang menderita HIVAIDS itu. Sebab seperti diketahui HIVAIDS tergolong penyakit yang belum bisa disembuhkan. Ditambah gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit ini menyiksa bagi pengidapnya. Jenis sanksi berupa tindakan dan sanksi yang berupaya merehabilitasi narapidana menjadi semakin penting karena dianggap lebih manusiawi. Bahkan terdapat pembaharuan yang bersifat radikal yang ingin mengadakan perombakan hukum pidana secara total, yakni dengan menggantikannnya dengan sistem tindakan. 68 Menurut Packer tujuan utama dari “treatment” adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “treatment” ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. 69 Melihat kondisi saat ini dimana banyak sekali terpidana yang lebih butuh rehabilitasi dan perlakuan khusus dibandingkan penghukuman. Misalnya saja terpidana kasus narotika dimana terpidana hanya merupakan pengguna dari Narkotika dan menderita HIVAIDS. Akan lebih baik dan manusiawi untuk merehabilitasi terpidana seperti ini bila dibandingkan hanya menempatkannya di dalam sel dengan tujuan pembalasan. Namun demikian memang seharusnya penjatuhan sanksi tindakan yang semacam itu harus bersikap selektif. Sebab tidak semua pengidap HIV bisa mendapatkan keringanan dengan mendapatkan sanksi tindakan. Secara bijaksana bila sanksi tindakan harus diberikan, yakni memberikan perlakuan dan perawatan khusus hanya untuk narapidana yang menderita HIVAIDS pada stadium yang berat. Hal ini tentunya harus melipatkan pihak-pihak terkait, seperti dokter ahli. Penjatuhan sanksi tindakan semacam mungkin saja bisa dilakukan sebab saat ini tak adanya pedoman yang jelas dalam menerapkan dan menjatuhkan hukuman menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan. Apa yang dimaksud dengan disparitas pemidanaan yakni penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindakan pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan. Tak hanya di Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara di dunia, mengalami apa yang disebut “the disturbing disparity of sentencing”. Namun demikian perlakuan yang mengakibatkan disparitas pemidanaan mungkin akan mengganggu rasa keadilan masyarakat. Misalnya karena menderita HIVAIDS tidak menjalankan hukuman sebagai mana orang pada umumnya. Walau pemberian sanksi tindakan kepada penderita HIVAIDS bisa diterapkan namun akan terganjal dengan berbagai peraturan yang ada. Bahwa sejauh ini dalam penghapusan dan peringanan pidana tidak pernah berdasarkan karena seseorang mengidap penyakit fisik mematikan tetapi karena unsur-unsur yang telah disebutkan dalam KUHP. Kemudian juga disebutkan dalam KUHP bentuk- 68 Muladi, op. cit., hal. 24. 69 Muladi dan Arief, op.cit., Hal. 5-6. sanksi tindakan. Dalam KUHP yang berlaku sekarang terdapat jenis tindakan berupa: a. Pemasukan ke dalam rumah sakit jiwa Pasal 44 70 5 Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 6 jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai percobaan. b. Penyerahan kepada pemerintah pasal 45 jo. 46 71 Uraian di atas menunjukan, bahwa betapa pun pidana penjara khususnya dipandang sebagai sesuatu hal yang negatif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu masih tetap diperlukan. Bahkan bisa jadi penghapusan sanksi hukum berupa pidana akan menghilangkan hakekat dari hukum pidana itu sendiri. Dalam suatu sanksi pidana, penderitaan atau nestapa merupakan unsur yang penting, sama pentingnya dengan unsur-unsur pidana lainnya. Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di alas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. 72 70 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 44. 71 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ps. 45 Jo. ps. 46. 72 Suwanto. op. cit., hal. 44. Walau demikian hal tersebut yakni pelaksanaan saknsi pidana tidak boleh digunakan sebagai sarana pembalasan atau untuk menyiksa narapidana, tapi tidak lebih hanya sebagai shock therapy bagi narapidana agar ia sadar. Dalam hukum pidana, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pada akhirnya, sebagaimana telah disebutkan bahwa kebijakan sosial mengintegrasi kebijakan kriminal didalamnya. Atau pula karena kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan dari kebijakankebijakan lain maka, setiap usaha untuk melindungi masyarakat harus dipandang secara utuh. Utuh agar antar kebijakan tidak saling bertabrakan dan bertentangan. Agar tujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan itu tercapai. Tak lepasnya kebijakan hukum pidana dari kebijakan lain, termasuk didalamnya kebijakan sosial bertujuan untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju progresif lagi sehat. Bisa dikatakan bahwa menurut Marc Ancel kebijakan pidana haruslah melibatkan pihak-pihak terkait seperti sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum, sehingga bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang komprehesif. Melihat kondisi sosial dan mempertimbangan kebijakan sosial, bahwa masalah penularan HIVAIDS adalah masalah yang serius. Maka seharusnya pihak-pihak yang merumuskan kebijakan hukum pidana bisa melakukant terobosan-terobosan dalam bidang hukum pidana untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Lapasrutan khususnya yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS agar lebih menjadi solusi yang berkeadilan. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan