Latar Belakang Uji RPM Pada Alat Pembuat Pakan Ikan Lele Bentuk Pelet

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagian dari perkembangan itu bermakna positif dan sebagian yang lain bermakna negatif.Usaha Pemerintah dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi merupakan usaha yang positif. Di sisi lain, akibat arus globalisasi dan modernisasi,mengakibatkan berbagai persoalan sosial dan persoalan kriminalitas yang terus bermuculan. Sebagaimana dikatakan oleh Barda Nawawi : “... bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisikondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah- masalah ini justru merupakan posisi kunci dan strategis dilihat dari sudut politik kriminal.” 1 Dari jumlah tersebut, 70 hingga 75 persen adalah narapidana kasus Narkoba. Hal ini menjadi kecurigaan bahwa kasus kematian pengguna narkoba umumnya berlatar belakang penyalahgunaan narkoba yang kerap bergandengan dengan HIVAIDS. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia hingga 31 Desember 2006, ada 8194 kasus HIV AIDS di seluruh Indonesia. Seperti fenomena gunung es, tentu masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Bahkan Badan Narkotika Nasional menyebutkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika telah menyentuh 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau lebih 3 juta orang pada tahun 2006, sebagian dari mereka adalah pengguna narkotika. Rantai peredaran narkoba yang sulit diputus merupakan satu dari banyak masalah pelik yang mendera Indonesia. Bahkan dengan hukuman mati yang mengancam para pelaku kejahatan narkotika dan psikotropika tampaknya belum mampu menghentikan laju bisnis narkoba dan psikotropika di Indonesia. Sudah banyak para pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika yang ditangkap dan dibina di Lembaga Pemasyarakatan Lapas. Namun banyak juga yang kerap kembali melakukan tindak pidana yang sama. Hal yang menarik ialah bahwa banyak dari narapidana kasus narkotika dan psikotropika yang menderita HIVAIDS. 2 Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa narapidana yang terjangkit HIVAIDS berasal dari mereka yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika. Hal tersebut sangat wajar sebab salah satu proses penular HIVAIDS, ialah melalui jarum suntik.Namun demikian narapidana yang menderita HIVAIDS tidak selalu dari narapidana yang terlibat kasus narkotika dan psikotropika. Sebab penuralan 1 Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,2002, hal. 9. 2 “LP Narkoba Terpadu di Yogya: Menjadi Percontohan se-Asia Pasifik,”http:Lapas.aidsina.orgmodules.php?name=Newsfile=articlesid=29, 20 September 2010. ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam membran mukosa atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim vaginal, anal, ataupun oral, transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. 3 a. Teori absolut atau teori pembalasan retributivevergeldings theorieen Dewasa ini, HIVAIDS menyebar dengan luas. Penyakit ini dapat menyebar melalui hubungan seksual, jarum suntik dan kontak darah. Jadi bisa saja seseorang narapidana baru terjangkit HIVAIDS setelah berada di dalam penjara. Menanggulangi HIVAIDS bukanlah hal yang mudah. Pasalnya penyakit ini, belum bisa disembuhkan. Namun demikian dengan penanganan medis yang tepat maka dapat memperpanjang usia penderita. Kondisi Lapas dan rutan yang kotor dan tidak memadai untuk menampung narapidana, memungkinkan terjadinya penularan HIVAIDS. Kamar sel yang over capacity tanpa disadari bisa menularkan HIVAIDS bila mana terjadi kontak darah atau kontak seksual. Bukan berita baru bila di dalam lembaga pemasyarakatan kerap terjadi hubungan seksual sesama jenis sodomi. Berbicara mengenai narapidana dan pembinaan narapidana tentunya tidak akan terlepas dari teori- teori pemidanaan. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu: b. Teori relatif atau teori tujuan utilitarian doeltheorieen 4 Ada juga teori rehabilitasi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kembali. Di Indenesia kebanyakan dari kasus-kasus pidana selalu berujung pada pemidanaan penjara. Walau sebenarnya banyak juga alternatif pidana lain. Hal demikian itu menyebabkan penjara-penjara yang ada menjadi kelebihan penghuni. Bahkan beberapa rumah tahanan negara berubah fungsi menjadi tempat untuk membina narapidana. Andi Hamzah dalam seminar tentang hukum pidana di Semarang, Senin 26 April 2004 mengungkapkan, 5 3 “AIDS,” http:id.wikipedia.orgwikiAIDS, 27 Nopember 2010 4 “AIDS,” loc. cit. 5 Pidana Penjara Kurang Efektif, http:www2.kompas.comkompascetak 040428Politikhukum995849.htm, 30 September 2010. ada seorang guru besar yang mengusulkan negara tanpa penjara. Ide ini muncul karena pemenjaraan, walaupun disebut pemasyarakatan-kurang berhasil mengurangi atau mencegah kejahatan. Lalu sistem apa yang akan menggantikannya? Inilah yang perlu dipikirkan pakar hukum pidana dan kriminolog. terutama untuk hukuman singkat, karena ketidakefektifannya. Pidana itu bisa diganti dengan denda harian, seperti di negara Skandinavia. Terkait dengan tujuan pemidanaan, penting diketahui bagaimana seharusnya memperlakukan dan membina narapidana yang menderita HIVAIDS. Disatu sisi mereka adalah warga binaan yang perlu mendapat binaan agar menjadi individu yang dapat diterima di masyarakat. Dengan demikian hukuman penjara sebagai bentuk hukuman harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, narapidana yang mengidap HIVAIDS memerlukan suatu perawatan dan perlakuan khusus atas penyakit yang mereka derita. Kebutuhan khusus inilah yang seharusnya menjadi perhatian pihak-pihak pembuat kebijakan hukum pidana. Keberadaan narapidana yang menderita HIVAIDS secara tidak langsung menjadi ancaman bagi narapidana lain. Namun untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi narapidana penderita HIVAIDS perlu untuk ditempatkan di sel tersendiri. Komisi Penanggulangan HIVAIDS Nasional KPHAN mendesak pemerintah pusat segera merevisi undang-undang nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Selain itu pemerintah didesak mengkaji ulang pemenjaraan para pengguna narkoba untuk mencegah meluasnya penyebaran Human Immunodeficiency VirusAcqired Immune Deficiency Syndrome HIVAIDS di kalangan narapidana. Sebaliknya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Kota Tangerang meminta Direktorat Jenderal Ditjen Lembaga Pemasyarakatan untuk mengisolasi narapidana yang diduga terjangkit HIV. 6 Tentunya terjangkitnya seorang narapidana dengan penyakit mematikan seperti HIVAIDS tidak akan membuatnya lepas dari proses pemidanaan atau bahkan sekedar peringanan pemidanaan. Sebab sebagaimana digambarkan dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Pemasyarakatan: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 7 Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan, khususnya pasal 14 mengenai hak-hak narapidana, narapidana harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Sesungguhnya arti penting penting pembinaan narapidana adalah agar narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah diperbuat. Agar tidak merasa didiskrimansikan maka narapidana penderita HIVAIDS harus mendapatkan perlakuan yang layak. 6 “Narapidana Terjangkit AIDS Diminta Diisolasi,” http:www.sinarharapan.co.idberita070404nas07.html, 21 Nopember 2010, 7 Indonesia, Undang-undang tentang Pemasyarakatan. UU no. 12 tahun 1995. ps. 1 ayat 2. manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Perlu untuk selalu disadari bahwa, pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis-normatif dan sistematik-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan komparatif; bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. 8

B. Perumusan Permasalahan