5 220 Volt; langsung dihubungkan dengan high-blow. Monitoring kuat arus dan
voltase PLN diukur menggunakan Tang Ampere Lampiran 2. Instalasi aerasi dipasang high-blow dipasang 8 selang aerasi, setiap wadah pemeliharaan
mendapatkan 4 selang Lampiran 3. Air yang dijadikan media pemeliharaan adalah air laut dengan salinitas
30 ppt. Air sebanyak 500 liter yang telah dimasukkan ke dalam bak fiber pemeliharaan di-treatment dengan 30 ppm klorin dan diaerasi kuat, setelah 24
jam kemudian air diberi tiosulfat dengan dosis 15 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam. Sebelum digunakan, bagian dasarnya disipon terlebih dahulu.
2.1.3 Prosedur Pemeliharaan
Prosedur pemeliharaan terdiri dari penebaran benih, pemberian pakan, dan pengelolaan kualitas air. Biota yang digunakan adalah udang vaname
Litopenaeus vannamei PL10. Udang ini akan dipelihara dengan padat tebar 200 ekorm
3
Samocha dan Lawrence 1992 selama 20 hari. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi yakni udang yang masih berada dalam plastik diapungkan
di air laut yang akan dijadikan media pemeliharaan, kemudian udang dimasukkan ke dalam baskom dan dialiri air laut sedikit demi sedikit hingga air
laut yang baru tercampur homogen dengan air yang telah ditransportasikan bersama udang. Udang siap di tebar setelah 12 jam dibiarkan di dalam baskom
yang diberi aerasi. Setiap wadah yang berisi 500 liter air diberi udang 100 ekor, adapun pengukuran panjang dan bobot udang dilakukan pada 30 ekor udang
yang tidak akan ikut ditebar. Pemeliharaan udang dilakukan selama 20 hari. Pemberian pakan udang
dilakukan 4 kali, yakni pada pukul 07.00, 12.00, 17.00, dan 22.00 WIB secara restricted. Pakan yang diberikan adalah pakan powder dengan kadar protein
40. Setiap pemberian pakan diberikan dosis 2 ppm. Analisa kualitas air yang diukur setiap 7 hari sekali yakni: pH, CO
2
, total amoniak nitrogen TAN, dan salinitas. Sedangkan DO dan suhu diamati setiap
hari. Pergantian air dilakukan setiap 2 hari, sebanyak 10-15 sekaligus dilakukan penyiponan.
2.2 Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap RAL dengan 2 kali ulangan setiap perlakuan.
6 Perlakuan yang diterapkan yaitu pemakaian 1 high-blow untuk 2 bak fiber
dengan sumber energi surya SES dan pemakaian 1 high-blow untuk 2 bak fiber dengan sumber energi PLN SEP. Dari masing-masing high-blow akan
dialiri listrik selama pemeliharaan. Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Y
ij
= µ + τ
i
+ ε
ij
Keterangan: Y
ij
= data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ
= nilai tengah data τ
i
= pengaruh perlakuan ke-i ε
ij
= galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
2.3 Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0, yang
meliputi Analisis Ragam ANOVA dan uji F pada selang kepercayaan 95. Program tersebut digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya pengaruh
perlakuan terhadap daya listrik, dissolved oxygen DO, suhu, pH, NH
3
, tingkat
kelangsungan hidup SR, dan laju pertumbuhan spesifik SGR. 2.4 Parameter yang Diukur
Parameter penelitian yang diukur adalah daya listrik P, kualitas air DO, suhu, pH, total amoniak nitrogen TAN, CO
2
, dan salinitas. oxygen transfer rate OTR, efektivitas high-blow E, tingkat kelangsungan hidup SR, dan laju
pertumbuhan spesifik SGR. 2.4.1 Daya Listrik
Daya listrik didefinisikan sebagai laju hantaran energi listrik dalam rangkaian listrik. Satuan SI daya listrik adalah watt. Arus listrik yang mengalir
dalam rangkaian dengan hambatan listrik menimbulkan kerja. Peranti mengkonversi kerja ini ke dalam bentuk yang berguna seperti panas, cahaya,
kinetik, dan suara. Listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik atau penyimpan energi seperti baterai. Listrik arus bolak-balik listrik AC-alternating current
adalah arus listrik dimana besar dan arahnya arus berubah-ubah secara bolak-
7 balik Harnovi 2011. Rumus untuk menghitung daya listrik adalah sebagai
berikut: P = V I
Keterangan: P = Daya watt V = Perbedaan potensial Volt
I = Kuat arus Ampere Pengukuran terhadap voltase dan kuat arus dilakukan pada pukul 07.00,
13.00, dan 19.00 WIB setiap harinya, hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran dilakukan setiap 3 jam. Alat yang digunakan untuk mengukur voltese
dan kuat arus listrik adalah Tang Ampere. Arus listrik diukur dengan colokan pendeteksi arus listrik dari Tang Ampere, sedangkan voltase diukur dengan
penjepit ujung paling atas pada Tang Ampere.
2.4.2 Parameter Kualias Air: DO, Suhu, pH, Total Amoniak Nitrogen TAN, CO
2
, dan Salinitas.
Pengukuran DO dan suhu dilakukan pada pukul 07.00, 14.30, dan 22.00 WIB setiap harinya; hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran
dilakukan 3 jam sekali. Pengukuran kualitas air selain DO dan suhu dilakukan pada hari pertama, ke-7, ke-14, dan ke-20. Berikut ini akan dipaparkan mengenai
alat dan metode yang digunakan pada pengukuran parameter kualitas air. Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika
dan kimia air
Parameter Satuan
AlatMetode Suhu
o
C DO meter
Ph -
pH meter DO
mgLiter DO meter
TAN mgLiter
Spektrofotometer CO
2
mgLiter Titrasi
Salinitas gLiter
Refraktometer
2.4.3 Laju Transfer oksigen Oxygen Transfer Rate, OTR
Oxygen Transfer Rate OTR menggambarkan seberapa besar oksigen yang ditransfer dari udara ke dalam perairan melalui kinerja aerator. Stuckenberg
et al. 1977 dalam Boyd 1982 membahas prosedur baku untuk mengevaluasi berbagai alat aerasi dengan menghilangkan oksigen dalam air terlebih dahulu
dengan Na
2
SO
3
dengan dosis 7,9 mgLiter untuk menghilangkan 1 mgLiter
8 oksigen terlarut, untuk memastikan oksigen hilang sempurna umumnya
ditambahkan 1,5-2 kali dari dosis. Biasanya OTR maupun E diukur pada suhu 20
o
C dan pada oksigen 0 mgLiter. Namun dapat juga menghitung OTR pada suhu yang lainnya. Pada penelitian ini, OTR diukur pada wadah yang berukuran
60 cm x 35 cmx 25 cm. 1 wadah untuk high-blow menggunakan SES, 1 wadah untuk high-blow menggunakan SEP, dan 1 wadah untuk kontrol tanpa diaerasi
menggunakan high-blow. Waktu yang digunakan adalah 0,5 jam, dengan suhu 26
o
C. Eckenfelder and Ford 1968 dalam Boyd 1982 menyajikan persamaan
berikut untuk menghitung koefisien transfer oksigen : K
L
a 20 = Keterangan:
K
L
a 20 = koefisien transfer pada suhu 20
o
C jam Cs
= kejenuhan dengan oksigen mgLiter C1
= konsentrasi oksigen awal mgLiter C2
= konsentrasi oksigen akhir mgLiter t1
= waktu awal aerasi jam t2
= waktu akhir aerasi jam Nilai K
L
a 20 dapat dipakai untuk menghitung nilai KLa untuk suhu lain yaitu K
L
a T dengan rumus: K
L
a T = K
L
a 20 x 1,024
T-20
K
L
a T = x 1,024
T-20
Keterangan: K
L
a T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan jam
T = suhu °C
Setelah penghitungan koefisien transfer oksigen, kemudian dilanjutkan dengan penghitungan jumlah oksigen yang ditransfer persatuan waktu dengan
OTR 20 dengan sebagai berikut: OTR 20 = K
L
a 20 x Cs x volume tangki Liter : 10
6
mgkg Sehingga rumus untuk menghitung OTR di suhu yang lain adalah:
OTR T = K
L
a T x Cs x volume tangki Liter : 10
6
mgkg
9 Keterangan :
OTR T = oksigen yang ditransfer persatuan waktu pada suhu yang
diinginkan kg O
2
jam K
L
a T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan jam
Cs = kejenuhan oksigen untuk suhu dan tekanan yang ada mgLiter
2.4.4 Efektivitas Alat Aerasi E
Efektivitas dari sebuah aerator bisa digunakan sebagai indikator yang menunjukkan seberapa besar gas yang ditransfer dari udara ke dalam sebuah
perairan atau pengurangan jumlah gas yang berlebih dalam air supersaturated. Efektivitas aerator juga bisa digunakan untuk membandingkan berbagai tipe
aerator, tetapi harus diuji dalam sistem dan kondisi yang sama. Rumus dari efektivitas aerator menurut Lekang 2007 adalah sebagai berikut :
E = [C
out
– C
in
C
sat
– C
in
] x 100 Keterangan :
E = efektivitas aerator
C
out
= konsentrasi gas terlarut yang keluar dari sebuah sistem mgLiter C
in
= konsentrasi gas terlarut yang masuk ke dalam sebuah sistem mgLiter C
sat
= konsentrasi gas terlarut dalam keadaan jenuhsaturasi mgLiter
2.4.5 Tingkat Kelangsungan Hidup Survival Rate, SR
Tingkat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentasi jumlah ikan yang berpeluang untuk hidup selama masa pemeliharaan
tertentu dalam suatu wadah budidaya. Tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname atau sintasan SR menurut Effendi 2004 dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut: SR =
x 100 Keterangan:
SR = Tingkat kelangsungan hidup
No = Jumlah udang pada awal pemeliharaan
Nt = Jumlah udang hidup pada akhir pemeliharaan
10
2.4.6 Laju Pertumbuhan Spesifik Specific Growth Rate,SGR
Laju pertumbuhan spesifik merupakan laju pertambahan bobot maupun panjang individu dalam persen Effendi 2004 dan dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut: SGR = {
- 1 x 100 Keterangan:
SGR = laju pertumbuhan spesifik udang t
= lama waktu pemeliharaan udang hari Wo
= bobot rata-rata awal pemeliharaan udang mg
Wt = bobot rata-rata akhir pemeliharaan udang mg
11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air DO, suhu, pH, NH
3
, CO
2
, dan salinitas, oxygen transfer rate OTR, dan efektivitas high-blow E.
3.1.1 Kestabilan Sumber Energi
Kestabilan sumber energi yang berbeda dilihat dari kestabilan daya listrik. Daya listrik didapatkan dari perkalian antara voltase Volt dan arus listrik
Ampere.
Gambar 1. Grafik kestabilan daya listrik harian pada high-blow menggunakan sumber energi yang berbeda selama penelitian.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap harinya daya listrik pada perlakuan SES relatif stabil dengan nilai berkisar antara 129,09 s.d. 149,85 watt;
sedangkan daya listrik pada perlakuan SEP lebih tidak stabil dengan nilai berkisar antara 80,80 s.d. 174,80 watt. Terjadi mati listrik daya 0 watt pada SEP
pada hari ke-4, 7, dan ke-19 Gambar 1.
12 Gambar 2. Grafik daya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan
sumber energi yang berbeda. Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa SES memiliki daya listrik
yang lebih stabil. Sedangkan pada SEP, daya listrik mengalami penurunan dari 166,30±11,29 watt menjadi 128,00±2,50 watt pada minggu ke-1, kemudian stabil
pada minggu ke-2, dan turun lagi hingga 110,83±10,77 watt pada minggu ke-3.
3.1.2 Parameter Kualitas Air 3.1.2.1 Dissolved Oxygen DO
Kelarutan oksigen merupakan parameter kualitas air utama yang diamati pada penelitian ini, Berikut ini ditampilkan grafik pengukuran DO setiap harinya.
Gambar 3. Grafik DO harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.
Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa nilai DO harian pada kedua perlakuan hampir sama. DO harian pada high-blow yang menggunakan
13 SES berkisar antara 7 s.d. 8 mgLiter sedangkan DO pada high-blow yang
menggunakan SEP berkisar antara 6,8 s.d. 8 mgLiter.
Gambar 4. Grafik DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan Gambar 4. dapat diketahui bahwa DO yang menggunakan SES maupun SEP mengalami penurunan pada minggu ke-1 berturut-turut dari
7,7±0,28 mgLiter menjadi 7,1±0,18 mgLiter dan dari 7,7±0,26 mgLiter menjadi 7,1±0,14 mgLiter. Pada minggu ke-2, DO dari perlakuan SES naik menjadi
7,6±0,04 mgLiter, sedangkan pada perlakuan SEP DO naik menjadi 7,5±0,03 mgLiter. Pada minggu ke-3, DO perlakuan SES hanya turun hingga
7,5±0,05 mgLiter, sedangkan pada perlakuan SEP turun hingga menjadi 7,1±0,25 mgLiter.
3.1.2.2 Suhu
Gambar 5. Grafik suhu harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.
14 Berdasarkan grafik suhu harian media pemeliharaan dapat diketahui
bahwa nilai suhu harian dari kedua perlakuan relatif sama. Setiap harinya suhu media dengan perlakuan SES berkisar 26,0 s.d. 27,3
o
C; sedangkan suhu harian media dengan perlakuan SEP berkisar antara 26,0
o
C s.d. 27,3
o
C.
Gambar 6. Grafik suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan pengamatan suhu harian rata-rata, dapat diketahui bahwa suhu pada kedua perlakuan mengalami kenaikan pada minggu ke-1 kemudian
mengalami penururunan sampai minggu ke-3.
3.1.2.3 pH, CO
2
, salinitas, dan NH
3
Pengukuran kualitas air berupa parameter CO
2
dan salinitas dapat dilihat
pada Tabel 5. Sedangkan pengukuran pH dan NH
3
dapat dilihat pada Gambar7. dan Gambar 8.
Tabel 2 Parameter kualitas air CO
2
dan salinitas
Minggu ke-
CO
2
mgLiter Salinitas ppt
A1 A2
B1 B2
A1 A2
B1 B2
30 30
30 30
1 29
30 29
29 2
30 30
30 30
3 30
30 30
30
Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan setiap 7 hari, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air tidak jauh berbeda. CO
2
dengan
15 perlakuan SES maupun SEP adalah 0 mgLiter. Salinitas pada semua perlakuan
berkisar antara 29 s.d. 30 ppt.
Gambar 7. Grafik pH media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan Gambar 7. Dapat diketahui secara umum pH pada kedua perlakuan mengalami penurunan. Meskipun demikian, kedua pH masih di atas
nilai 8. pH dengan SES turun hingga 8,13±0,028 sedangkan pH dengan SEP turun hingga 8,25±0,071.
Gambar 8. Grafik amoniak NH
3
media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan Gambar 8. dapat diketahui bahwa NH
3
mengalami kenaikan pada minggu pertama. Kemudian NH
3
yang menggunakan SES terus mengalami penurunan hingga akhir penelitian. Sedangkan NH
3
yang menggunakan SEP mengalami penurunan pada minggu ke-2, dan kembali naik pada minggu ke-3.
16
3.1.3 Oxygen Transfer Rate OTR dan Efektivitas High-Blow E
Tabel 3 Oxygen transfer rate OTR dan efektivitas high-blow E A E. Surya
B PLN OTR kg O
2
jam 9,6 x 10
-4
8,7 x 10
-4
E 60,6
57,3 Berdasarkan pengukuran OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang
dihasilkan high-blow pada perlakuan SES dan SEP memiliki nilai yang hampir sama yakni sebesar 9,6 x 10
-4
kg O
2
jam dan 8,7 x 10
-4
kg O
2
jam. E pada perlakuan energi surya dan PLN juga memiliki nilai yang hampir sama yakni
60,6 dan 57,3.
3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Survival Rate, SR
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata P0,05.
Gambar 9. Grafik kelangsungan hidup SR udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.
Hasil kegiatan penelitian menunjukkan bahwa SR udang vaname selama pemeliharaan 20 hari tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP
yakni 90±0,00 dan 96±5,60.
17
3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik
Specific Growth Rate, SGR
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata P0,05.
Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan spesifik SGR bobot udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SGR bobot udang vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 18,69±0,04 dan
19,49±0,09.
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata P0,05.
Gambar 11. Grafik laju pertumbuhan spesifik SGR panjang udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.
Hasil kegiatan penelitian menunjukan bahwa laju pertumbuhan spesifik SGR panjang udang vaname vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan
SES dengan SEP yakni 5,26±0,37 dan 4,9±0,60.
18
3.2 Pembahasan
Pada kegiatan budidaya perairan khususnya di hatchery, listrik sangat diperlukan untuk menghidupkan high-blow yang berfungsi untuk aerasi.
Penyediaan oksigen pada media pemeliharaan sangat penting. Jika ikan atau udang tidak mendapatkan oksigen dalam jumlah yang cukup, akan
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian massal Garno 2004.
Energi surya merupakan salah satu energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima
oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali
konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1 saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10
sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Hal ini sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis Adiyana
2011. Panel surya solar cells menghasilkan energi listrik tanpa biaya dengan
mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon disebut juga solar cells yang disinari matahari surya, membuat photon yang menghasilkan arus
listrik. Sebuah panel surya rnenghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya l2 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel untuk menghasilkan
l7 Volt tegangan maksimum Adiyana 2011. Pada penelitian ini panel disusun secara parallel. Rangkaian parallel digunakan pada panel-panel dengan
tegangan output yang sama untuk memperoleh penjumlahan arus keluaran. Charge controller digunakan untuk mengatur pengisian baterai. Inverter adalah
perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah DC - direct current menjadi tegangan bolak balik AC - alternating current alat ini penting dipasang
karena alat penelitian yang digunakan adalah high-blow yang hanya bisa memanfaatkan arus AC. Baterai adalah perangkat kimia untuk menyimpan
tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari.
Berdasarkan analisa statistik daya listrik Lampiran 4. daya listrik dengan sumber energi yang berbeda menunjukkan bahwa daya listrik pada minggu ke-0,
2, dan 3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengamatan terhadap daya listrik
19 harian, menunjukkan bahwa daya listrik yang dihasilkan oleh SES cukup stabil
pada 132,73±2,46 s.d. 140,03±9,78 watt. Kestabilan ini terjadi karena ada charge
controller yang dapat mengatur kestabilan arus listrik yang masuk ke baterai. Selain itu, SES relatif lebih kontinyu dibanding SEP, sebab sumber energi surya
terus-menerus menyuplai energi listrik ke high-blow. Daya listrik pada SEP tidak stabil yakni daya yang diamati setiap 6 jam sekali range-nya agak jauh berkisar
110,83±10,77 s.d. 166,30±11,29 watt, selain itu SEP sering mengalami mati listrik yang menyebabkan high-blow tidak hidup daya 0 watt dan akhirnya suplai
oksigen terhenti. Mati listrik selama masa pemeliharaan terjadi pada hari ke-4 pada pukul 08.40 s.d. 08.41 WIB, hari ke-8 pukul 13.5 s.d. 14.30 WIB, hari ke-11
pada pukul 15.23 s.d. 15.24 WIB, pada hari ke-12 pada pukul 18.28 s.d. 18.54 WIB, hari ke-18 pada pukul 19.00 s.d. 21.21 WIB, dan pukul 21.22 s.d. 19.45
WIB hari ke-19. Dari besarnya kapasitas energi yang dapat disuplai sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa kemampuan kedua sumber energi
hampir sama dalam memenuhi kebutuhan minimum energi listrik yang diperlukan high-blow. Daya minimum yang digunakan high-blow sebesar 80,8 watt. SES
dapat mensuplai energi listrik sebesar 135,082 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 167,2 sedangkan SEP dapat mensuplai 127,263
watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 157,5.
Kelarutan oksigendissolved oxygen DO merupakan faktor kritis dalam kegiatan budidaya perairan menurut Hardjojo 2005 DO merupakan kebutuhan
dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, DO yang terlalu rendah akan menyebabkan kematian pada ikan. DO berperan penting dalam
pengkondisian lingkungan perairan yang baik, karena parameter kimia ini akan mempengaruhi parameter kimia fisika perairan yang lainnya. Menurut Boyd
1991 kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Pada keadaan saturasi di suhu 26
o
C dan salinitas 32 ppt, DO yang terlarut dapat sebesar 6,98 mgLiter Toonen 2006 namun pada penelitian yang
dilakukan pada perlakuan SES maupun SEP, DO media pemeliharaan mengalami supersaturasi yakni memiliki kisaran DO 7 s.d. 8 mgLiter dan 6,8 s.d.
8 mgLiter. Hal ini berarti padat tebar juvenil udang masih berpeluang besar ditambah karena DO tersedia sangat banyak. Penurunan DO yang terjadi pada
hari ke-19 hingga menjadi 6,8 disebabkan oleh daya yang diterima high-blow tidak ada 0 watt, high-blow tidak dapat menyuplai oksigen karena mati listrik,
hanya pada hari tersebut DO mengalami penurunan kelarutan yang drastis
20 sebab pada mati listrik sebelumnya, DO tidak banyak terpengaruh sebab mati
listrik terjadi tidak lama. Berdasarkan analisa statistik DO Lampiran 5., dapat diketahui bahwa DO yang dihasilkan high-blow menggunakan SES dengan high-
blow menggunakan SEP tidak berbeda nyata . DO dalam air bersumber dari difusi oksigen yang terkandung di udara ke
dalam air, baik secara alami maupun karena proses aerasi, serta hasil fotosintesis biota nabati berklorofil Batara 2004. Namun budidaya intensif tidak
dapat mengandalkan oksigen dari difusi alami saja apalagi jika lingkungannya sudah sangat dikontrol seperti hatchery, maka salah satu cara untuk
mempertahankan tingkat kelarutan oksigen dalam air adalah dengan pengaerasian, yaitu penambahan oksigen secara mekanik ke dalam air hingga
konsentrasinya meningkat Boyd 1982. Pada Gambar 3. mengenai DO harian, dapat diketahui bahwa DO lebih rendah pada awal pemeliharaan, sewaktu udang
masih kecil hal ini dapat terjadi karena konsumsi oksigen udang kecil lebih besar dibanding udang besar sebab organisme berukuran kecil laju metabolisme
tubuhnya lebih tinggi daripada yang berukuran besar Spotte 1970. Selain itu, pakan yang terbuang pasti lebih banyak pakan diberikan 2 ppm dari awal hingga
akhir pemeliharaan maka bahan buangan ini akan membutuhkan banyak oksigen untuk oksidasinya, menurut Hardjojo 2005 penyebab utama
berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah bahan-bahan buangan yang mengkosumsi oksigen.
Oksigen terlarut sangat berhubungan erat dengan suhu, semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses biologi serta
kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat pula Boyd 1982. Pada grafik suhu harian rata-rata Gambar 2. dan grafik oksigen harian
rata-rata Gambar 4. dapat diamati bahwa pernyataan Boyd ini benar. Di saat suhu naik di minggu ke-1, di saat yang sama DO turun. Pada minggu ke-2 suhu
mengalami penurunan sedangkan disaat yang sama, DO meningkat. Pada minggu ke-3 suhu tetap mengalami penurunan, sedangkan DO cukup stabil
kecuali DO pada perlakuan SEP. DO mengalami penurunan disebabkan oleh high-blow yang berhenti mensuplai oksigen ke media pemeliharaan. High-blow
berhenti bergerak disebabkan karena listrik dari SEP mati. Berdasarkan analisa statistik suhu media pemeliharaan Lampiran 6. menunjukkan bahwa sumber
energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu. Hal
21 ini menjelaskan bahwa aerasi yang juga berfungsi sebagai pengaduk media
pemeliharaan pada penelitian ini berlangsung baik Boyd 1982. Secara umum semua parameter kualitas air yang diukur berada pada
kisaran optimum kebutuhan udang vaname untuk hidup dan tumbuh. Parameter kualitas air pada perlakuan SES dengan perlakuan SEP hampir sama. Air
pemeliharaan udang selalu berada pada pH 8, kisaran pH yang optimum bagi udang adalah 7,5-8,5 Law 1988, Chien 1992 dalam Budiardi 2008.
Berdasarkan analisa statistik Lampiran 7., pH media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata. CO
2
pada media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda seluruhnya bernilai 0 mgLiter, menurut Hardjojo 2005 pada pH 8 ke
atas dengan KH bernilai 1, CO
2
bernilai 0 mgLiter. Salinitas juga berada pada kisaran optimum untuk udang yakni 29 s.d. 30 ppt, menurut Boyd 1991 kisaran
salinitas optimum udang vaname adalah 15 ppt - 25 ppt, namun udang vaname juga berhasil dibudidayakan di salinitas yang lebih rendah atau lebih tinggi dari
kisaran tersebut. Berdasarkan analisa statistik NH
3
Lampiran 8. menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada minggu ke-0, 2, dan 3, sedangkan pada
minggu ke-1 menunjukkan haasil yang berbeda nyata. NH
3
pada perlakuan energi surya berkisar antara 0,003 s.d. 0,021 mgLiter sedangkan pada
perlakuan PLN berkisar antara 0,004 s.d. 0,021 mgLiter. Menurut Wickins 1976 dan Liu 1989 dalam Budiardi 2008, amoniak untuk pemeliharaan udang yang
optimum adalah 0,10 mgLiter. NH
3
diperngaruhi oleh suhu dan pH. Semakin tinggi suhu, NH
3
semakin banyak Boyd 1990. Hal ini dibuktikan dengan Gambar 6. tentang suhu harian
rata-rata serta Gambar. 8 tentang NH
3
. Pada saat minggu ke-1 suhu mengalami kenaikan begitu pula dengan NH
3
, ketika minggu ke-2 maupun ke-3 suhu turun, begitu pula dengan NH
3
. Semakin rendah pH, maka NH
3
semakin sedikit Boyd 1982. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 7. dan Gambar 8. Pada minggu ke-2
hingga minggu ke-3 perlakuan SES pH mengalami penurunan, disaat yang sama NH
3
semakin sedikit. Adapun ketika di minggu ke-2 dan ke-3 pH perlakuan SEP turun, sedangkan NH
3
mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi mati listrik pada minggu ke-3, sehingga pasokan oksigen terhenti. Juvenil
udang dapat menjadi stress jika aerasi matiDO drastis turun, jika stress biasanya nafsu makan juvenil udang menurun, kemudian sisa pakan menjadi lebih banyak.
Sisa pakan dapat menambah konsentrasi NH
3
dalam perairan Boyd 1982. pH
22 pada perlakuan memiliki kedenderungan turun. Hal ini disebabkan karena bahan
organik yang terakumulasi menyebabkan penurunan pH Boyd 1990. Pada penelitian ini juga diuji berapa nilai oxygen transfer rate OTR serta
efektivitas high-blow E. Besar kecilnya nilai kelajuan transfer oksigen dipengaruhi oleh: kekurangan oksigen dalam air, luas permukaan air yang
menyentuh udara, dan derajat turbulensi. Kelajuan transfer oksigen sangat penting diketahui karena berhubungan dengan kelangsungan ketersediaan DO.
OTR harus memenuhi DO yang telah dikonsumsi. Berdasarkan tabel OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES
sebesar 9,6 x 10
-4
kg O
2
jam sedangkan pada perlakuan SEP adalah sebesar 8,7 x 10
-4
kg O
2
jam. Efektivitas high-blow pada perlakuan SES dan SEP juga memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6 dan 57,3. Kedua nilai ini tidak
berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kedua high-blow baik yang diberi perlakuan SES maupun SEP memiliki kemampuan yang hampir sama dalam
transfer oksigen. Tingkat kelangsungan hidup SR udang vaname dari perlakuan energi
surya tidak berbeda nyata. SR pada perlakuan sumber energi surya adalah 90±0,04, sedangkan SR udang dari perlakuan PLN adalah 96±0,09, Mati
listrik yang menyebabkan DO turun hingga 6,9 tidak menyebabkan udang menjadi mati sebab DO 6,9 masih sangat cukup dalam memenuhi kebutuhan
oksigen oleh udang. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap tngkat kelangsungan hidup juvenil
udang vaname. Laju pertumbuhan spesifik SGR bobot dan panjang juvenil udang vaname
yang menggunakan sumber energi yang berbeda, tidak berbeda nyata. SGR bobot perlakuan SES adalah 18,69±0,04 sedangkan pada perlakuan SEP
adalah 19,49±0,09. SGR panjang juvenil udang vaname menggunakan perlakuan SES adalah 5,26±0,37 sedangkan pada perlakuan SEP adalah
4,9±0,60. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan juvenil udang vaname.
23
I V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.