Pengadaan Dissolved Oxygen dari High-Blow dengan Sumber Energi Surya dalam Pemeliharaan Juvenil Udang Vaname Litopenaeus vannamei

(1)

ABSTRACT

RAHMA VIDA ANANDASARI. C14070058. Dissolved oxygen supplay of high-blow to the solar energy resources in the white shrimp Litopenaeus vannamei

juvenile rearing. Supervised by Eddy Supriyono and Harton Arfah.

The critical energy of PLN in supplying the electrical energy, influence the high-blow ability in work to supply the dissolved oxygen. So it’s important to search for other sources of electrical energy which are low cash, stable, regenerable and always available to supply the electrical energy to the high-blow. This research aims to compare the provision of aeration produced by high-blow between solar energy sources and PLN energy sources in the white shrimp

Litopenaeus vannamei juvenile rearing. It was termed by stability of electric power (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), the effectiveness of high-blow (E), the survival rate (SR), as well as the specific growth rate (SGR). Treatment was applied, by using of a high-blow (for 2 fiber tub) with solar energy sources (SES) and the use of a high-blow (for 2 fiber tub) with PLN energy sources (SEP). Based on observations, it was known that P in the treatment of SEP was relatively more stable around 129.09-149.85 watt while P in the treatment of SEP was ranged from 80.80-174.80 watt. P in the treatment of SEP had 0 watt (power off). DO in the treatment of SES ranges from 7 s.d.8 mg/Liter, while the DO in the treatment of SEP ranged up to 6.8 8 mg/liter. OTR in the treatment of SES was 9.6 x 10-4 kg O2/jam, whereas the treatment of SEP OTR

was 8.7 x 10-4 kg O2/jam. The E of the treatment of SES was 60.6%, while the E

treatment of SEP was 57.3%. SR in the treatment of SES was 90%, while the SR in the treatment of SEP was 96%. SGR on SES treatment of 18.69%, while the SGR in the treatment of SEP was 19.49%. White shrimp juvenile rearing using aeration of different energy sources did not provide a significant influence on the survival rate (SR) and growth (SGR) of white shrimp juvenile indicated by the SR ranged around 90% and 18.5% of SGR. Thus the energy source of solar power could be an alternative source of electrical energy for the seeding of white shrimp.

Key words: solar energy sources, PLN energy sources, aeration, white shrimp juvenile.


(2)

ABSTRAK

Rahma Vida Anandasari. C14070058. Pengadaan dissolved oxygen dari high-blow dengan sumber energi surya dalam pemeliharaan juvenil udang vaname

Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh Eddy Supriyono dan Harton Arfah.

Terjadinya krisis energi pada PLN dalam menyediakan energi listrik, mempengaruhi kinerja high-blow dalam menyediakan oksigen terlarut. Maka perlu dicari alternatif sumber energi listrik lainnya yang lebih murah, stabil, terbaharukan, dan selalu tersedia dalam menyediakan energi listrik ke high-blow. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengadaan aerasi yang dihasilkan oleh high-blow menggunakan sumber energi surya dengan high-blow

menggunakan sumber energi PLN dalam pemeliharaan juvenil udang vaname yang dilihat dari segi kestabilan daya listrik (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), serta laju pertumbuhan spesifik (SGR). Perlakuan yang diterapkan yaitu pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi surya (SES) dan pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi PLN (SEP). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa P harian perlakuan SES relatif lebih stabil dengan nilai berkisar 129,09 s.d. 149,85 watt sedangkan P pada perlakuan SEP berkisar 80,80 s.d. 174,80 watt. P pada perlakuan SEP pernah 0 watt (mati listrik). DO pada perlakuan SES berkisar 7 s.d. 8 mg/Liter, sedangkan DO pada perlakuan SEP berkisar 6,8 s.d. 8 mg/Liter. OTR pada perlakuan SES bernilai 9,6 x 10-4 kg O2/jam, sedangkan OTR pada

perlakuan SEP bernilai 8,7 x 10-4 kg O2/jam. E pada perlakuan SES adalah

60,6%, sedangkan E pada perlakuan SEP adalah 57,3%. SR pada perlakuan SES adalah 90%, sedangkan SR pada perlakuan SEP adalah 96%. SGR pada perlakuan SES sebesar 18,69%, sedangkan SGR pada perlakuan SEP sebesar 19,49%. Pemeliharaan juvenil udang vaname yang menggunakan aerasi dari sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) dan pertumbuhan (SGR) juvenil udang vaname yang ditunjukkan oleh nilai SR berkisar 90% dan SGR berkisar 18,5%. Dengan demikian sumber energi listrik tenaga surya dapat dijadikan alternatif sumber energi listrik bagi kegiatan pembenihan udang vaname.

Kata kunci: sumber energi surya, sumber energi PLN, aerasi, juvenil udang vaname.


(3)

1

I. PENDAHULUAN

Budidaya perairan hingga saat ini masih mengandalkan lahan yang dekat dengan sumber air yang baik. Sumber air yang masih baik ini sulit didapatkan di kota besar karena pengaruh limbah dari pabrik maupun limbah rumah tangga. Maka kebanyakan lokasi budidaya perairan terletak di daerak terpencil.

Daerah terpencil memiliki kendala untuk dijadikan tempat budidaya, salah satunya adalah pengadaan energi listrik. Suatu sistem budidaya semi intensif, intensif maupun superintensif sangat bergantung kepada ketersediaan energi listrik. Energi listrik dibutuhkan pada sistem budidaya untuk menghidupkan alat aerasi yang biasa disebut high-blow.

Indonesia masih mengandalkan PLN dalam menyediakan energi listrik, padahal PLN sering mengalami krisis energi dalam menyuplai energi listrik untuk keperluan masyarakat dan industri termasuk di dalamnya untuk keperluan budidaya perairan. Hal itu dibuktikan dengan masih adanya pemadaman bergilir di beberapa tempat. Menurut Okezone.com (2012) terjadi pemadaman bergilir di beberapa tempat di Indonesia seperti di Pekanbaru (Kecamatan Limapuluh, Sukajadi, dan di kawasan Panam) dan di Depok (di daerah Kampung Lio Hek, Citayam, Cipayung). Selain itu, PLN juga belum menjangkau sebagian besar tempat budidaya di daerah terpencil seperti Pantai Gesing Girikarto Kecamatan Panggang, Pantai Drini Desa Banjarejo Kecamatan Tanjungsari, Pantai Krakal, Sundak dan Ngandong Desa Sidoharjo Kecamatan Tepus serta Pantai Siung Desa Purwodadi Kecamatan Tepus (Berita WALHI 2011), dan Sulawesi Barat (Okezone.com 2011). Oleh karena itu, maka harus dicari alternatif sumber energi yang murah, berkelanjutan dan terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik ke dalam sistem budidaya yang tidak bergantung pada sumber energi PLN.

Energi surya merupakan salah satu energi alternatif gratis yang sangat potensial untuk dikembangkan apalagi di negara tropis karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 1 kilowatt per meter persegi, pancaran cahayanya mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini (Adiyana 2011). Kelebihan sumber energi tenaga surya diantaranya:


(4)

2 sumber energi tersedia secara gratis dan terus-menerus (untuk daerah tropis), alat bekerja secara otomatis sepanjang terdapat sumber energi cahaya, tidak menimbulkan polusi baik polusi suara maupun polusi bagi lingkungan pada saat operasional, perawatan sederhana dan mudah, dapat digunakan di mana-mana dan dapat diintegrasikan pada bangunan ataupun konstruksi yang lain, berbentuk modular sehingga jumlah sel surya yang dipakai dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Di Indonesia, pemanfaatan energi surya merupakan komitmen nasional tertuang dalam buku Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) 1992 (Hutchinson 1950 dalam Buletin Keteknikan Pertanian 1998). Artinya tidak lama lagi seharusnya negara kita melakukan konversi energi dari basis energi migas menjadi energi terbarukan termasuk di dalamnya energi surya. Di sebagian kecil daerah tak terjangkau PLN telah diterapkan penggunaan energi surya sebagai sumber energi instalasi listrik pada hatchery budidaya namun hal ini belum sampai dilakukan pada instalasi aerasi.

Biota perairan mutlak mendapat dissolved oxygen (DO) agar kehidupan, pertumbuhan, maupun reproduksinya dapat berlangsung. Akan terjadi kematian massal pada udang dan ikan jika perairan anaerob (Garno 2004). Pada sistem budidaya, biasanya digunakan alat bantu suplai oksigen yang dinamakan dengan

high-blow yang berfungsimengalirkan udara bebas ke dalam air.

Salah satu biota perairan yang memerlukan oksigen cukup tinggi adalah udang vaname Litopenaeus vannamei yakni dengan kisaran DO optimum bagi udang adalah >5 mg/Liter (Yang 1990 dalam Budiardi 2008). Udang ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Permintaan pasar terhadap udang vaname mengalami peningkatan setiap tahunnya karena udang vaname memiliki nilai gizi yang tinggi dan sangat diminati oleh masyarakat. Permintaan terhadap udang vaname sudah menembus pasar luar negeri sehingga mendatangkan devisa bagi negara. Target KKP dalam periode 2010-2014, produksi udang diharapkan dapat meningkat sebesar 74,75%, yaitu dari 400 ribu ton menjadi 699 ribu ton, yang terdiri atas udang vaname dan udang windu (Fajar Online 2009). Apalagi bagi pembudidaya, udang ini relatif lebih mudah untuk dipelihara karena pertumbuhannya cepat, dapat mengisi semua kolom air sehingga dapat dibudidaya dengan densitas tinggi, memiliki kandungan daging yang lebih banyak dibanding udang lainnya, hemat pakan, bersifat euryhalin, serta lebih tahan terhadap serangan penyakit (Erwinda 2008). Letak budidaya udang


(5)

3 vaname biasanya terpencil (jauh dari jangkauan PLN). Maka harus diupayakan penerapan energi yang memungkinkan (dalam hal ini tenaga surya) untuk disambungkan dengan instalasi aerasi (high-blow) dalam rangka memenuhi kebutuhan DO udang vaname.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengadaan aerasi yang dihasilkan oleh high-blow menggunakan sumber energi surya dengan high-blow

menggunakan sumber energi PLN dalam pemeliharaan juvenil udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dilihat dari segi kestabilan daya listrik (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), serta laju pertumbuhan spesifik (SGR).


(6)

4

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Alat dan Bahan

Bahan yang akan digunakan pada persiapan penelitian adalah kaporit, sodium thiosulfat, detergen, dan air tawar. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah juvenil udang vaname (PL 10) dengan panjang rata-rata 0,87±0,09 cm dan bobot rata-rata 0,003; air laut; sodium sulfit (Na2SO3); dan

pakan udang protein 30%. Alat yang digunakan pada persiapan serta penelitian ini adalah bak fiber kapasitas 500 liter, rangkaian panel surya, high-blow, DO meter, pH meter, refrakto meter, spektrometer, pompa air, beker glass, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram, penggaris, selang sipon, kran aerasi, selang aerasi, pompa celup, dan batu aerasi.

2.1.2 Prosedur Persiapan Sistem Pemeliharaan

Persiapan sistem pemeliharaan terdiri dari persiapan wadah, instalasi listrik dan aerasi, dan bahan. Wadah budidaya udang yang akan digunakan berupa bak fiber dengan kapasitas 500 liter sebanyak 4 buah, setiap wadah dipasang 4 buah selang aerasi yang dihubungkan pada high-blow. Bak fiber ini dibersihkan menggunakan detergen dan air tawar kemudian dikeringanginkan selama 24 jam.

Instalasi listrik tenaga surya dirangkai secara parallel yang meliputi: 8 papan panel dengan kapasitas setiap panel 100 watt peak, 12 Volt; 4 charge controller dengan kapasitas setiap charge controller 12 Volt, 20 Ampere; dan 8 aki (baterai) dengan kapasitas setiap aki 100 Ampere hour, 12 Volt. Energi matahari yang ditangkap panel dalam bentuk arus searah (DC) akan disimpan di dalam aki melalui chargecontroller. Charge controller berfungsi sebagai pengatur besarnya arus dan voltase yang masuk ke aki. Kemudian arus listrik dalam aki tersebut dialirkan ke high-blow melalui inverter yang berfungsi sebagai pengubah arus serarah (DC) menjadi bolak-balik (AC). Sebanyak 8 buah aki dipasang secara parallel dan dihubungkan pada 1 high-blow. Antara high-blow dengan inverter dipasang 1 data loger. Data loger berfungsi sebagai alat monitoring voltase dan arus listrik yang keluar masuk aki. Instalasi listrik tenaga surya dapat dilihat pada Lampiran 1. Instalasi listrik yang menggunakan sumber energi PLN


(7)

5 220 Volt; langsung dihubungkan dengan high-blow. Monitoring kuat arus dan voltase PLN diukur menggunakan Tang Ampere (Lampiran 2). Instalasi aerasi dipasang high-blow dipasang 8 selang aerasi, setiap wadah pemeliharaan mendapatkan 4 selang (Lampiran 3).

Air yang dijadikan media pemeliharaan adalah air laut dengan salinitas 30 ppt. Air sebanyak 500 liter yang telah dimasukkan ke dalam bak fiber pemeliharaan di-treatment dengan 30 ppm klorin dan diaerasi kuat, setelah 24 jam kemudian air diberi tiosulfat dengan dosis 15 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam. Sebelum digunakan, bagian dasarnya disipon terlebih dahulu.

2.1.3 Prosedur Pemeliharaan

Prosedur pemeliharaan terdiri dari penebaran benih, pemberian pakan, dan pengelolaan kualitas air. Biota yang digunakan adalah udang vaname

Litopenaeus vannamei PL10. Udang ini akan dipelihara dengan padat tebar 200 ekor/m3 (Samocha dan Lawrence 1992) selama 20 hari. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi yakni udang yang masih berada dalam plastik diapungkan di air laut yang akan dijadikan media pemeliharaan, kemudian udang dimasukkan ke dalam baskom dan dialiri air laut sedikit demi sedikit hingga air laut yang baru tercampur homogen dengan air yang telah ditransportasikan bersama udang. Udang siap di tebar setelah 12 jam dibiarkan di dalam baskom yang diberi aerasi. Setiap wadah yang berisi 500 liter air diberi udang 100 ekor, adapun pengukuran panjang dan bobot udang dilakukan pada 30 ekor udang yang tidak akan ikut ditebar.

Pemeliharaan udang dilakukan selama 20 hari. Pemberian pakan udang dilakukan 4 kali, yakni pada pukul 07.00, 12.00, 17.00, dan 22.00 WIB secara

restricted. Pakan yang diberikan adalah pakan powder dengan kadar protein 40%. Setiap pemberian pakan diberikan dosis 2 ppm.

Analisa kualitas air yang diukur setiap 7 hari sekali yakni: pH, CO2, total

amoniak nitrogen (TAN), dan salinitas. Sedangkan DO dan suhu diamati setiap hari. Pergantian air dilakukan setiap 2 hari, sebanyak 10-15% sekaligus dilakukan penyiponan.

2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 kali ulangan setiap perlakuan.


(8)

6 Perlakuan yang diterapkan yaitu pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi surya (SES) dan pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi PLN (SEP). Dari masing-masing high-blow akan dialiri listrik selama pemeliharaan. Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Yij = µ + τi + εij

Keterangan:

Yij = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai tengah data

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

2.3 Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0, yang meliputi Analisis Ragam (ANOVA) dan uji F pada selang kepercayaan 95%. Program tersebut digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya pengaruh perlakuan terhadap daya listrik, dissolved oxygen (DO), suhu, pH, NH3, tingkat

kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan spesifik (SGR).

2.4 Parameter yang Diukur

Parameter penelitian yang diukur adalah daya listrik (P), kualitas air (DO, suhu, pH, total amoniak nitrogen (TAN), CO2, dan salinitas. oxygen transfer rate

(OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan spesifik (SGR).

2.4.1 Daya Listrik

Daya listrik didefinisikan sebagai laju hantaran energi listrik dalam rangkaian listrik. Satuan SI daya listrik adalah watt. Arus listrik yang mengalir dalam rangkaian dengan hambatan listrik menimbulkan kerja. Peranti mengkonversi kerja ini ke dalam bentuk yang berguna seperti panas, cahaya, kinetik, dan suara. Listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik atau penyimpan energi seperti baterai. Listrik arus bolak-balik (listrik AC-alternating current) adalah arus listrik dimana besar dan arahnya arus berubah-ubah secara


(9)

bolak-7 balik (Harnovi 2011). Rumus untuk menghitung daya listrik adalah sebagai berikut:

P = V I Keterangan: P = Daya (watt)

V = Perbedaan potensial (Volt) I = Kuat arus (Ampere)

Pengukuran terhadap voltase dan kuat arus dilakukan pada pukul 07.00, 13.00, dan 19.00 WIB setiap harinya, hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran dilakukan setiap 3 jam. Alat yang digunakan untuk mengukur voltese dan kuat arus listrik adalah Tang Ampere. Arus listrik diukur dengan colokan pendeteksi arus listrik dari Tang Ampere, sedangkan voltase diukur dengan penjepit ujung paling atas pada Tang Ampere.

2.4.2 Parameter Kualias Air: DO, Suhu, pH, Total Amoniak Nitrogen (TAN), CO2, dan Salinitas.

Pengukuran DO dan suhu dilakukan pada pukul 07.00, 14.30, dan 22.00 WIB setiap harinya; hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran dilakukan 3 jam sekali. Pengukuran kualitas air selain DO dan suhu dilakukan pada hari pertama, ke-7, ke-14, dan ke-20. Berikut ini akan dipaparkan mengenai alat dan metode yang digunakan pada pengukuran parameter kualitas air.

Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika dan kimia air

Parameter Satuan Alat/Metode

Suhu oC DO meter

Ph - pH meter

DO mg/Liter DO meter TAN mg/Liter Spektrofotometer CO2 mg/Liter Titrasi Salinitas g/Liter Refraktometer

2.4.3 Laju Transfer oksigen (Oxygen Transfer Rate, OTR)

Oxygen Transfer Rate (OTR) menggambarkan seberapa besar oksigen yang ditransfer dari udara ke dalam perairan melalui kinerja aerator. Stuckenberg et al. (1977) dalam Boyd (1982) membahas prosedur baku untuk mengevaluasi berbagai alat aerasi dengan menghilangkan oksigen dalam air terlebih dahulu dengan Na2SO3 dengan dosis 7,9 mg/Liter untuk menghilangkan 1 mg/Liter


(10)

8 oksigen terlarut, untuk memastikan oksigen hilang sempurna umumnya ditambahkan 1,5-2 kali dari dosis. Biasanya OTR maupun E diukur pada suhu 20oC dan pada oksigen 0 mg/Liter. Namun dapat juga menghitung OTR pada

suhu yang lainnya. Pada penelitian ini, OTR diukur pada wadah yang berukuran 60 cm x 35 cmx 25 cm. 1 wadah untuk high-blow menggunakan SES, 1 wadah

untuk high-blow menggunakan SEP, dan 1 wadah untuk kontrol (tanpa diaerasi menggunakan high-blow). Waktu yang digunakan adalah 0,5 jam, dengan suhu 26 oC.

Eckenfelder and Ford (1968) dalam Boyd (1982) menyajikan persamaan berikut untuk menghitung koefisien transfer oksigen :

(KLa) 20 =

Keterangan:

(KLa) 20 = koefisien transfer pada suhu 20oC (/jam)

Cs = kejenuhan dengan oksigen (mg/Liter) C1 = konsentrasi oksigen awal (mg/Liter) C2 = konsentrasi oksigen akhir (mg/Liter)

t1 = waktu awal aerasi (jam)

t2 = waktu akhir aerasi (jam)

Nilai (KLa) 20 dapat dipakai untuk menghitung nilai (KLa) untuk suhu lain yaitu

(KLa) T dengan rumus:

(KLa) T = (KLa) 20 x 1,024 T-20

(KLa) T = x 1,024 T-20

Keterangan:

(KLa) T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan (/jam)

T = suhu (°C)

Setelah penghitungan koefisien transfer oksigen, kemudian dilanjutkan dengan penghitungan jumlah oksigen yang ditransfer persatuan waktu dengan (OTR) 20 dengan sebagai berikut:

(OTR) 20 = (KLa) 20 x Cs x volume tangki (Liter) : 106 (mg/kg)

Sehingga rumus untuk menghitung OTR di suhu yang lain adalah: (OTR) T = (KLa) T x Cs x volume tangki (Liter) : 106 (mg/kg)


(11)

9 Keterangan :

(OTR) T = oksigen yang ditransfer persatuan waktu pada suhu yang diinginkan (kg O2/jam)

(KLa) T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan (/jam)

Cs = kejenuhan oksigen untuk suhu dan tekanan yang ada (mg/Liter)

2.4.4 Efektivitas Alat Aerasi (E)

Efektivitas dari sebuah aerator bisa digunakan sebagai indikator yang menunjukkan seberapa besar gas yang ditransfer dari udara ke dalam sebuah perairan atau pengurangan jumlah gas yang berlebih dalam air (supersaturated). Efektivitas aerator juga bisa digunakan untuk membandingkan berbagai tipe aerator, tetapi harus diuji dalam sistem dan kondisi yang sama. Rumus dari efektivitas aerator menurut Lekang (2007) adalah sebagai berikut :

E = [(Cout – Cin) / (Csat – Cin)] x 100

Keterangan :

E = efektivitas aerator (%)

Cout = konsentrasi gas terlarut yang keluar dari sebuah sistem (mg/Liter)

Cin = konsentrasi gas terlarut yang masuk ke dalam sebuah sistem (mg/Liter)

Csat = konsentrasi gas terlarut dalam keadaan jenuh/saturasi (mg/Liter)

2.4.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR)

Tingkat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentasi jumlah ikan yang berpeluang untuk hidup selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah budidaya. Tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname atau sintasan (SR) menurut Effendi (2004) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SR = x 100%

Keterangan:

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

No = Jumlah udang pada awal pemeliharaan Nt = Jumlah udang hidup pada akhir pemeliharaan


(12)

10

2.4.6 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate,SGR)

Laju pertumbuhan spesifik merupakan laju pertambahan bobot maupun panjang individu dalam persen Effendi (2004) dan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

SGR = {( - 1 ) x 100%

Keterangan:

SGR = laju pertumbuhan spesifik udang (%) t = lama waktu pemeliharaan udang (hari) Wo = bobot rata-rata awal pemeliharaan udang (mg) Wt = bobot rata-rata akhir pemeliharaan udang (mg)


(13)

11

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, pH, NH3, CO2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan

efektivitas high-blow (E).

3.1.1 Kestabilan Sumber Energi

Kestabilan sumber energi yang berbeda dilihat dari kestabilan daya listrik. Daya listrik didapatkan dari perkalian antara voltase (Volt) dan arus listrik (Ampere).

Gambar 1. Grafik kestabilan daya listrik harian pada high-blow menggunakan sumber energi yang berbeda selama penelitian.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap harinya daya listrik pada perlakuan SES relatif stabil dengan nilai berkisar antara 129,09 s.d. 149,85 watt; sedangkan daya listrik pada perlakuan SEP lebih tidak stabil dengan nilai berkisar antara 80,80 s.d. 174,80 watt. Terjadi mati listrik (daya 0 watt) pada SEP pada hari ke-4, 7, dan ke-19 (Gambar 1).


(14)

12 Gambar 2. Grafik daya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan

sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa SES memiliki daya listrik yang lebih stabil. Sedangkan pada SEP, daya listrik mengalami penurunan dari 166,30±11,29 watt menjadi 128,00±2,50 watt pada minggu ke-1, kemudian stabil pada minggu ke-2, dan turun lagi hingga 110,83±10,77 watt pada minggu ke-3.

3.1.2 Parameter Kualitas Air 3.1.2.1 Dissolved Oxygen (DO)

Kelarutan oksigen merupakan parameter kualitas air utama yang diamati pada penelitian ini, Berikut ini ditampilkan grafik pengukuran DO setiap harinya.

Gambar 3. Grafik DO harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.

Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa nilai DO harian pada kedua perlakuan hampir sama. DO harian pada high-blow yang menggunakan


(15)

13 SES berkisar antara 7 s.d. 8 mg/Liter sedangkan DO pada high-blow yang menggunakan SEP berkisar antara 6,8 s.d. 8 mg/Liter.

Gambar 4. Grafik DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 4. dapat diketahui bahwa DO yang menggunakan SES maupun SEP mengalami penurunan pada minggu ke-1 berturut-turut dari 7,7±0,28 mg/Liter menjadi 7,1±0,18 mg/Liter dan dari 7,7±0,26 mg/Liter menjadi 7,1±0,14 mg/Liter. Pada minggu ke-2, DO dari perlakuan SES naik menjadi 7,6±0,04 mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP DO naik menjadi 7,5±0,03 mg/Liter. Pada minggu ke-3, DO perlakuan SES hanya turun hingga 7,5±0,05 mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP turun hingga menjadi 7,1±0,25 mg/Liter.

3.1.2.2 Suhu

Gambar 5. Grafik suhu harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.


(16)

14 Berdasarkan grafik suhu harian media pemeliharaan dapat diketahui bahwa nilai suhu harian dari kedua perlakuan relatif sama. Setiap harinya suhu media dengan perlakuan SES berkisar 26,0 s.d. 27,3 oC; sedangkan suhu harian media dengan perlakuan SEP berkisar antara 26,0 oC s.d. 27,3 oC.

Gambar 6. Grafik suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan pengamatan suhu harian rata-rata, dapat diketahui bahwa suhu pada kedua perlakuan mengalami kenaikan pada minggu ke-1 kemudian mengalami penururunan sampai minggu ke-3.

3.1.2.3 pH, CO2, salinitas, dan NH3

Pengukuran kualitas air berupa parameter CO2 dan salinitasdapat dilihat

pada Tabel 5. Sedangkan pengukuran pH dan NH3 dapat dilihat pada Gambar7.

dan Gambar 8.

Tabel 2 Parameter kualitas air (CO2 dan salinitas)

Minggu

ke- CO2 (mg/Liter) Salinitas (ppt) A1 A2 B1 B2 A1 A2 B1 B2 0 0 0 0 0 30 30 30 30 1 0 0 0 0 29 30 29 29 2 0 0 0 0 30 30 30 30 3 0 0 0 0 30 30 30 30

Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan setiap 7 hari, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air tidak jauh berbeda. CO2 dengan


(17)

15 perlakuan SES maupun SEP adalah 0 mg/Liter. Salinitas pada semua perlakuan berkisar antara 29 s.d. 30 ppt.

Gambar 7. Grafik pH media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 7. Dapat diketahui secara umum pH pada kedua perlakuan mengalami penurunan. Meskipun demikian, kedua pH masih di atas nilai 8. pH dengan SES turun hingga 8,13±0,028 sedangkan pH dengan SEP turun hingga 8,25±0,071.

Gambar 8. Grafik amoniak (NH3) media pemeliharaan udang vaname pada

minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 8. dapat diketahui bahwa NH3 mengalami kenaikan

pada minggu pertama. Kemudian NH3 yang menggunakan SES terus mengalami

penurunan hingga akhir penelitian. Sedangkan NH3 yang menggunakan SEP


(18)

16

3.1.3 Oxygen Transfer Rate (OTR) dan Efektivitas High-Blow (E)

Tabel 3 Oxygen transfer rate (OTR) dan efektivitas high-blow (E)

A (E. Surya) B (PLN)

OTR (kg O2/jam) 9,6 x 10-4 8,7 x 10-4

E (%) 60,6 57,3

Berdasarkan pengukuran OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES dan SEP memiliki nilai yang hampir sama yakni sebesar 9,6 x 10-4 kg O2/jam dan 8,7 x 10-4 kg O2/jam. E pada

perlakuan energi surya dan PLN juga memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6% dan 57,3%.

3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR)

Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 9. Grafik kelangsungan hidup (SR) udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.

Hasil kegiatan penelitian menunjukkan bahwa SR udang vaname selama pemeliharaan 20 hari tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 90±0,00% dan 96±5,60%.


(19)

17

3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik

(

Specific Growth Rate

, SGR)

Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SGR bobot udang vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 18,69±0,04% dan 19,49±0,09%.

Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 11. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname selama 20 hari pemeliharaan.

Hasil kegiatan penelitian menunjukan bahwa laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname vaname tidak berbeda nyata antara perlakuan SES dengan SEP yakni 5,26±0,37% dan 4,9±0,60%.


(20)

18

3.2 Pembahasan

Pada kegiatan budidaya perairan khususnya di hatchery, listrik sangat diperlukan untuk menghidupkan high-blow yang berfungsi untuk aerasi. Penyediaan oksigen pada media pemeliharaan sangat penting. Jika ikan atau udang tidak mendapatkan oksigen dalam jumlah yang cukup, akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian massal (Garno 2004).

Energi surya merupakan salah satu energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini. Hal ini sangat memungkinkan diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis (Adiyana 2011).

Panel surya/ solar cells menghasilkan energi listrik tanpa biaya dengan mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (disebut juga solar cells) yang disinari matahari/ surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah panel surya rnenghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya l2 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan l7 Volt tegangan maksimum) (Adiyana 2011). Pada penelitian ini panel disusun secara parallel. Rangkaian parallel digunakan pada panel-panel dengan tegangan output yang sama untuk memperoleh penjumlahan arus keluaran.

Charge controller digunakan untuk mengatur pengisian baterai. Inverter adalah perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah (DC - direct current) menjadi tegangan bolak balik (AC - alternating current) alat ini penting dipasang karena alat penelitian yang digunakan adalah high-blow yang hanya bisa memanfaatkan arus AC. Baterai adalah perangkat kimia untuk menyimpan tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari.

Berdasarkan analisa statistik daya listrik (Lampiran 4.) daya listrik dengan sumber energi yang berbeda menunjukkan bahwa daya listrik pada minggu ke-0, 2, dan 3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Pengamatan terhadap daya listrik


(21)

19 harian, menunjukkan bahwa daya listrik yang dihasilkan oleh SES cukup stabil pada 132,73±2,46s.d. 140,03±9,78 watt. Kestabilan ini terjadi karena ada charge controller yang dapat mengatur kestabilan arus listrik yang masuk ke baterai. Selain itu, SES relatif lebih kontinyu dibanding SEP, sebab sumber energi surya terus-menerus menyuplai energi listrik ke high-blow. Daya listrik pada SEP tidak stabil yakni daya yang diamati setiap 6 jam sekali range-nya agak jauh berkisar 110,83±10,77 s.d. 166,30±11,29 watt, selain itu SEP sering mengalami mati listrik yang menyebabkan high-blow tidak hidup (daya 0 watt) dan akhirnya suplai oksigen terhenti. Mati listrik selama masa pemeliharaan terjadi pada hari ke-4 pada pukul 08.40 s.d. 08.41 WIB, hari ke-8 pukul 13.5 s.d. 14.30 WIB, hari ke-11 pada pukul 15.23 s.d. 15.24 WIB, pada hari ke-12 pada pukul 18.28 s.d. 18.54 WIB, hari ke-18 pada pukul 19.00 s.d. 21.21 WIB, dan pukul 21.22 s.d. 19.45 WIB (hari ke-19). Dari besarnya kapasitas energi yang dapat disuplai sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa kemampuan kedua sumber energi hampir sama dalam memenuhi kebutuhan minimum energi listrik yang diperlukan

high-blow. Daya minimum yang digunakan high-blow sebesar 80,8 watt. SES dapat mensuplai energi listrik sebesar 135,082 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 167,2% sedangkan SEP dapat mensuplai 127,263 watt dengan persentase kapasitas suplai daya listrik 157,5%.

Kelarutan oksigen/dissolved oxygen (DO) merupakan faktor kritis dalam kegiatan budidaya perairan menurut Hardjojo (2005) DO merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, DO yang terlalu rendah akan menyebabkan kematian pada ikan. DO berperan penting dalam pengkondisian lingkungan perairan yang baik, karena parameter kimia ini akan mempengaruhi parameter kimia fisika perairan yang lainnya. Menurut Boyd (1991) kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan salinitas. Pada keadaan saturasi di suhu 26 oC dan salinitas 32 ppt, DO yang terlarut dapat sebesar 6,98 mg/Liter (Toonen 2006) namun pada penelitian yang dilakukan pada perlakuan SES maupun SEP, DO media pemeliharaan mengalami supersaturasi yakni memiliki kisaran DO 7 s.d. 8 mg/Liter dan 6,8 s.d. 8 mg/Liter. Hal ini berarti padat tebar juvenil udang masih berpeluang besar ditambah karena DO tersedia sangat banyak. Penurunan DO yang terjadi pada hari ke-19 hingga menjadi 6,8 disebabkan oleh daya yang diterima high-blow

tidak ada (0 watt), high-blow tidak dapat menyuplai oksigen karena mati listrik, hanya pada hari tersebut DO mengalami penurunan kelarutan yang drastis


(22)

20 sebab pada mati listrik sebelumnya, DO tidak banyak terpengaruh sebab mati listrik terjadi tidak lama. Berdasarkan analisa statistik DO (Lampiran 5.), dapat diketahui bahwa DO yang dihasilkan high-blow menggunakan SES dengan high-blow menggunakan SEP tidak berbeda nyata .

DO dalam air bersumber dari difusi oksigen yang terkandung di udara ke dalam air, baik secara alami maupun karena proses aerasi, serta hasil fotosintesis biota nabati berklorofil (Batara 2004). Namun budidaya intensif tidak dapat mengandalkan oksigen dari difusi alami saja apalagi jika lingkungannya sudah sangat dikontrol seperti hatchery, maka salah satu cara untuk mempertahankan tingkat kelarutan oksigen dalam air adalah dengan pengaerasian, yaitu penambahan oksigen secara mekanik ke dalam air hingga konsentrasinya meningkat (Boyd 1982). Pada Gambar 3. mengenai DO harian, dapat diketahui bahwa DO lebih rendah pada awal pemeliharaan, sewaktu udang masih kecil hal ini dapat terjadi karena konsumsi oksigen udang kecil lebih besar dibanding udang besar sebab organisme berukuran kecil laju metabolisme tubuhnya lebih tinggi daripada yang berukuran besar (Spotte 1970). Selain itu, pakan yang terbuang pasti lebih banyak (pakan diberikan 2 ppm dari awal hingga akhir pemeliharaan) maka bahan buangan ini akan membutuhkan banyak oksigen untuk oksidasinya, menurut Hardjojo (2005) penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut di dalam air adalah bahan-bahan buangan yang mengkosumsi oksigen.

Oksigen terlarut sangat berhubungan erat dengan suhu, semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses biologi serta kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat pula (Boyd 1982). Pada grafik suhu harian rata-rata (Gambar 2.) dan grafik oksigen harian rata-rata (Gambar 4.) dapat diamati bahwa pernyataan Boyd ini benar. Di saat suhu naik di minggu ke-1, di saat yang sama DO turun. Pada minggu ke-2 suhu mengalami penurunan sedangkan disaat yang sama, DO meningkat. Pada minggu ke-3 suhu tetap mengalami penurunan, sedangkan DO cukup stabil kecuali DO pada perlakuan SEP. DO mengalami penurunan disebabkan oleh

high-blow yang berhenti mensuplai oksigen ke media pemeliharaan. High-blow

berhenti bergerak disebabkan karena listrik dari SEP mati. Berdasarkan analisa statistik suhu media pemeliharaan (Lampiran 6.) menunjukkan bahwa sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu. Hal


(23)

21 ini menjelaskan bahwa aerasi yang juga berfungsi sebagai pengaduk media pemeliharaan pada penelitian ini berlangsung baik (Boyd 1982).

Secara umum semua parameter kualitas air yang diukur berada pada kisaran optimum kebutuhan udang vaname untuk hidup dan tumbuh. Parameter kualitas air pada perlakuan SES dengan perlakuan SEP hampir sama. Air pemeliharaan udang selalu berada pada pH >8, kisaran pH yang optimum bagi udang adalah 7,5-8,5 (Law 1988, Chien 1992 dalam Budiardi 2008). Berdasarkan analisa statistik (Lampiran 7.), pH media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. CO2 pada media pemeliharaan dengan perlakuan sumber energi yang

berbeda seluruhnya bernilai 0 mg/Liter, menurut Hardjojo (2005) pada pH 8 ke atas dengan KH bernilai 1, CO2 bernilai 0 mg/Liter. Salinitas juga berada pada

kisaran optimum untuk udang yakni 29 s.d. 30 ppt, menurut Boyd (1991) kisaran salinitas optimum udang vaname adalah 15 ppt - 25 ppt, namun udang vaname juga berhasil dibudidayakan di salinitas yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran tersebut. Berdasarkan analisa statistik NH3 (Lampiran 8.) menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata pada minggu ke-0, 2, dan 3, sedangkan pada minggu ke-1 menunjukkan haasil yang berbeda nyata. NH3 pada perlakuan

energi surya berkisar antara 0,003 s.d. 0,021 mg/Liter sedangkan pada perlakuan PLN berkisar antara 0,004 s.d. 0,021 mg/Liter. Menurut Wickins 1976 dan Liu 1989 dalam Budiardi 2008, amoniak untuk pemeliharaan udang yang optimum adalah <0,10 mg/Liter.

NH3 diperngaruhi oleh suhu dan pH. Semakin tinggi suhu, NH3 semakin

banyak (Boyd 1990). Hal ini dibuktikan dengan Gambar 6. tentang suhu harian rata-rata serta Gambar. 8 tentang NH3. Pada saat minggu ke-1 suhu mengalami

kenaikan begitu pula dengan NH3, ketika minggu ke-2 maupun ke-3 suhu turun,

begitu pula dengan NH3. Semakin rendah pH, maka NH3 semakin sedikit (Boyd

1982). Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 7. dan Gambar 8. Pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 perlakuan SES pH mengalami penurunan, disaat yang sama NH3 semakin sedikit. Adapun ketika di minggu ke-2 dan ke-3 pH perlakuan SEP

turun, sedangkan NH3 mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan karena

terjadi mati listrik pada minggu ke-3, sehingga pasokan oksigen terhenti. Juvenil udang dapat menjadi stress jika aerasi mati/DO drastis turun, jika stress biasanya nafsu makan juvenil udang menurun, kemudian sisa pakan menjadi lebih banyak. Sisa pakan dapat menambah konsentrasi NH3 dalam perairan (Boyd 1982). pH


(24)

22 pada perlakuan memiliki kedenderungan turun. Hal ini disebabkan karena bahan organik yang terakumulasi menyebabkan penurunan pH (Boyd 1990).

Pada penelitian ini juga diuji berapa nilai oxygen transfer rate (OTR) serta efektivitas high-blow (E). Besar kecilnya nilai kelajuan transfer oksigen dipengaruhi oleh: kekurangan oksigen dalam air, luas permukaan air yang menyentuh udara, dan derajat turbulensi. Kelajuan transfer oksigen sangat penting diketahui karena berhubungan dengan kelangsungan ketersediaan DO. OTR harus memenuhi DO yang telah dikonsumsi. Berdasarkan tabel OTR dan E dapat diketahui bahwa OTR yang dihasilkan high-blow pada perlakuan SES

sebesar 9,6 x 10-4 kg O2/jam sedangkan pada perlakuan SEP adalah sebesar

8,7 x 10-4 kg O2/jam. Efektivitas high-blow pada perlakuan SES dan SEP juga

memiliki nilai yang hampir sama yakni 60,6% dan 57,3%. Kedua nilai ini tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kedua high-blow baik yang diberi perlakuan SES maupun SEP memiliki kemampuan yang hampir sama dalam transfer oksigen.

Tingkat kelangsungan hidup (SR) udang vaname dari perlakuan energi surya tidak berbeda nyata. SR pada perlakuan sumber energi surya adalah 90±0,04%, sedangkan SR udang dari perlakuan PLN adalah 96±0,09%, Mati listrik yang menyebabkan DO turun hingga 6,9 tidak menyebabkan udang menjadi mati sebab DO 6,9 masih sangat cukup dalam memenuhi kebutuhan oksigen oleh udang. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap tngkat kelangsungan hidup juvenil udang vaname.

Laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot dan panjang juvenil udang vaname yang menggunakan sumber energi yang berbeda, tidak berbeda nyata. SGR bobot perlakuan SES adalah 18,69±0,04% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 19,49±0,09%. SGR panjang juvenil udang vaname menggunakan perlakuan SES adalah 5,26±0,37% sedangkan pada perlakuan SEP adalah 4,9±0,60%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa kedua sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan juvenil udang vaname.


(25)

23 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan.

Daya listrik pada sumber energi surya relatif lebih stabil dan kontinyu dibandingkan sumber energi dari PLN dalam memasok energi listrik untuk menghidupkan/menggerakkan high-blow.

Penggunaan energi listrik dari sumber yang berbeda untuk menghidupkan

high-blow sebagai alat aerasi pada media pemeliharaan juvenil udang vaname tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kualitas air terutama konsentrasi oksigen terlarut dalam kisaran nilai yang optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan juvenil udang vaname. Hal tersebut ditunjang dengan kinerja

high-blow berdasarkan nilai oxygen transfer rate (OTR) maupun efektivitas high-blow (E) yang relatif sama.

Pemeliharaan juvenil udang vaname yang menggunakan aerasi dari sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) dan pertumbuhan (SGR) juvenil udang vaname dengan SR berkisar 90% dan SGR bobot berkisar 18,5%.

Dengan demikian sumber energi listrik tenaga surya dapat dijadikan alternatif sumber energi listrik bagi kegiatan pembenihan udang vaname.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil perhitungan ekonomis dari sumber energi surya maupun PLN, maka disarankan untuk menerapkan solar cell di daerah yang tidak terjangkau PLN seperti daerah terpencil yg terisolir serta di daerah yang sumber energinya sangat tidak stabil.

Perlu dilakukan penelitian mengenai penggunaan sumber energi surya yang diterapkan oleh alat aerasi yang lain seperti paddle weel.


(26)

PENGADAAN

DISSOLVED OXYGEN

DARI

HIGH-BLOW

DENGAN SUMBER ENERGI SURYA

DALAM PEMELIHARAAN JUVENIL UDANG VANAME

Litopenaeus vannamei

RAHMA VIDA ANANDASARI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(27)

ABSTRACT

RAHMA VIDA ANANDASARI. C14070058. Dissolved oxygen supplay of high-blow to the solar energy resources in the white shrimp Litopenaeus vannamei

juvenile rearing. Supervised by Eddy Supriyono and Harton Arfah.

The critical energy of PLN in supplying the electrical energy, influence the high-blow ability in work to supply the dissolved oxygen. So it’s important to search for other sources of electrical energy which are low cash, stable, regenerable and always available to supply the electrical energy to the high-blow. This research aims to compare the provision of aeration produced by high-blow between solar energy sources and PLN energy sources in the white shrimp

Litopenaeus vannamei juvenile rearing. It was termed by stability of electric power (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), the effectiveness of high-blow (E), the survival rate (SR), as well as the specific growth rate (SGR). Treatment was applied, by using of a high-blow (for 2 fiber tub) with solar energy sources (SES) and the use of a high-blow (for 2 fiber tub) with PLN energy sources (SEP). Based on observations, it was known that P in the treatment of SEP was relatively more stable around 129.09-149.85 watt while P in the treatment of SEP was ranged from 80.80-174.80 watt. P in the treatment of SEP had 0 watt (power off). DO in the treatment of SES ranges from 7 s.d.8 mg/Liter, while the DO in the treatment of SEP ranged up to 6.8 8 mg/liter. OTR in the treatment of SES was 9.6 x 10-4 kg O2/jam, whereas the treatment of SEP OTR

was 8.7 x 10-4 kg O2/jam. The E of the treatment of SES was 60.6%, while the E

treatment of SEP was 57.3%. SR in the treatment of SES was 90%, while the SR in the treatment of SEP was 96%. SGR on SES treatment of 18.69%, while the SGR in the treatment of SEP was 19.49%. White shrimp juvenile rearing using aeration of different energy sources did not provide a significant influence on the survival rate (SR) and growth (SGR) of white shrimp juvenile indicated by the SR ranged around 90% and 18.5% of SGR. Thus the energy source of solar power could be an alternative source of electrical energy for the seeding of white shrimp.

Key words: solar energy sources, PLN energy sources, aeration, white shrimp juvenile.


(28)

ABSTRAK

Rahma Vida Anandasari. C14070058. Pengadaan dissolved oxygen dari high-blow dengan sumber energi surya dalam pemeliharaan juvenil udang vaname

Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh Eddy Supriyono dan Harton Arfah.

Terjadinya krisis energi pada PLN dalam menyediakan energi listrik, mempengaruhi kinerja high-blow dalam menyediakan oksigen terlarut. Maka perlu dicari alternatif sumber energi listrik lainnya yang lebih murah, stabil, terbaharukan, dan selalu tersedia dalam menyediakan energi listrik ke high-blow. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengadaan aerasi yang dihasilkan oleh high-blow menggunakan sumber energi surya dengan high-blow

menggunakan sumber energi PLN dalam pemeliharaan juvenil udang vaname yang dilihat dari segi kestabilan daya listrik (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), serta laju pertumbuhan spesifik (SGR). Perlakuan yang diterapkan yaitu pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi surya (SES) dan pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi PLN (SEP). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa P harian perlakuan SES relatif lebih stabil dengan nilai berkisar 129,09 s.d. 149,85 watt sedangkan P pada perlakuan SEP berkisar 80,80 s.d. 174,80 watt. P pada perlakuan SEP pernah 0 watt (mati listrik). DO pada perlakuan SES berkisar 7 s.d. 8 mg/Liter, sedangkan DO pada perlakuan SEP berkisar 6,8 s.d. 8 mg/Liter. OTR pada perlakuan SES bernilai 9,6 x 10-4 kg O2/jam, sedangkan OTR pada

perlakuan SEP bernilai 8,7 x 10-4 kg O2/jam. E pada perlakuan SES adalah

60,6%, sedangkan E pada perlakuan SEP adalah 57,3%. SR pada perlakuan SES adalah 90%, sedangkan SR pada perlakuan SEP adalah 96%. SGR pada perlakuan SES sebesar 18,69%, sedangkan SGR pada perlakuan SEP sebesar 19,49%. Pemeliharaan juvenil udang vaname yang menggunakan aerasi dari sumber energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup (SR) dan pertumbuhan (SGR) juvenil udang vaname yang ditunjukkan oleh nilai SR berkisar 90% dan SGR berkisar 18,5%. Dengan demikian sumber energi listrik tenaga surya dapat dijadikan alternatif sumber energi listrik bagi kegiatan pembenihan udang vaname.

Kata kunci: sumber energi surya, sumber energi PLN, aerasi, juvenil udang vaname.


(29)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENGADAAN

DISSOLVED OXYGEN

DARI

HIGH-BLOW

DENGAN SUMBER ENERGI SURYA DALAM PEMELIHARAAN

JUVENIL UDANG VANAME

Litopenaeus vannamei

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Rahma Vida Anandasari C14070058


(30)

PENGADAAN

DISSOLVED OXYGEN

DARI

HIGH-BLOW

DENGAN SUMBER ENERGI SURYA

DALAM PEMELIHARAAN JUVENIL UDANG VANAME

Litopenaeus vannamei

RAHMA VIDA ANANDASARI

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(31)

Judul Skripsi : Pengadaan Dissolved Oxygen dari High-Blow dengan Sumber Energi Surya dalam Pemeliharaan Juvenil Udang Vaname Litopenaeus vannamei.

Nama Mahasiswa : Rahma Vida Anandasari.

NRP : C14070058.

Disetujui

Pembimbing l Pembimbing ll

Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc.

NIP. 196302 12198903 1 003 NIP. 19661111 199103 1 003

Ir. Harton Arfah, M.Si.

Mengetahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

NIP. 19591222 198601 1 001 Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc.


(32)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Pengadaan Dissolved Oxygen dari High-Blow dengan Sumber Energi Surya dalam Pemeliharaan

Juvenil Udang Vaname Litopenaeus vannamei” dapat diselesaikan. Penelitian

dilaksanakan dari tanggal 17 Desember 2011 s.d. 3 Februari 2012, bertempat di Laboratorium Lingkungan 2, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua Orang tua, Kakak, Adik, Kakek dan Nenek yang sangat berjasa. Bapak Dr. Eddy Supriyono, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan juga tema penelitian, Bapak Ir. Harton Arfah, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, Ibu Dr. Sri Nuryati, S.Pi., M.Si. selaku dosen penguji skripsi, Bapak Dr. Sukenda, M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Kukuh Adiyana ST. selaku peneliti muda dari Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan-Balitbang KP yang telah memberi arahan, bantuan dana, dan bantuan alat selama penelitian, Bapak Ir. Ondang selaku wakil kepala hatchery udang dari PT. Suri Tani Pemuka yang telah memberikan bantuan berupa benih udang, M. Faisol Riza Ghozali, M.Si., dan M. Fachruddin, S.IK. yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pak Jajang, Bang Abe, Pak Mar, Mbak Yuli, Kang Asep, rekan penelitian (Ima Febriya), teman-teman BDP ’44 (Astri, Tina, Retno, Iqbal, Opik, Feby, Tika, Novi, Khodijah, Rully, Icha, Agus, Wahyu, Vika, Recky, Dimas F., Fatah, Wildan, Azis, Tiar), Vamdi (Mbak Yofi, Mbak Dian), KAMMI (Rodiah dkk.), BDP’43 (Kak Zamzam, Kak Catur, Mbak Yayan), dan BDP‘45 (Anggih, May) atas bantuannya selama penelitian ini berlangsung serta kepada sahabat saya Nuning, Rischa, Finsa, Rengga, Kahfi, Vivi, dan Rifky yang banyak memberikan dukungan. Semoga skripsi ini mendapat ridho dari Allah SWT, serta dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Maret 2012 Penulis


(33)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lumajang, tanggal 4 Juni 1989 dari Bapak Ir. Mu’ashol dan Ibu Ir. Hanawati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah dilalui penulis adalah SMAN 2 Lumajang dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di Balai Budidaya Air Tawar, Sempur dan praktek lapangan akuakultur di Balai Besar Budidaya Air Payau, Situbondo. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Kimia Perairan semester genap 2010/2011, koordinator asisten praktikum mata kuliah Engineering Akuakultur semester genap 2010/2011, koordinator asisten praktikum mata kuliah Manajemen Kualitas Air semester ganjil 2011/2012, asisten dosen program studi Kualitas Air dan Tanah Diploma IPB semester ganjil 2011/2012, dan asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Islam semester ganjil dan genap 2009 s.d. 2011. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Penelitian yang didanai DIKTI pada tahun 2008/2009, 2009/2010, 2010/2011 serta PKM-Gagasan Tertulis didanai DIKTI pada tahun 2010/2011.

Selain itu, penulis juga aktif menjadi pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM-TPB) periode 2007/2008, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) periode 2007/2013, Organisasi Mahasiswa Daerah Lumajang (OMDA) periode 2007/2012, Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2009/2010, dan DuaCare periode 2011/2013. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis

skripsi yang berjudul “Pengadaan Dissolved Oxygen dari High-Blow dengan

Sumber Energi Surya dalam Pemeliharaan Juvenil Udang Vaname


(34)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 4 2.1 Prosedur Penelitian ... 4 2.1.1 Alat dan Bahan ... 4 2.1.2 Prosedur Persiapan Sistem Pemeliharaan ... 4 2.1.3 Prosedur Pemeliharaan... 5 2.2 Rancangan Penelitian ... 5 2.3 Analisis Data ... 6 2.4 Parameter yang Diukur... 6 2.4.1 Daya Listrik... 6 . 2.4.2 Parameter Kualitas Air: DO, Suhu, pH, Total Amoniak Nitrogen (TAN), CO2, dan Salinitas ... 7

2.4.3 Laju Transfer Oksigen (Oxygen Trasfer Rate, OTR) ... 7 2.4.4 Efektivitas Alat Aerasi (E) ... 9 2.4.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR) ... 9 2.4.6 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate, SGR) ... 10

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11 3.1 Hasil ... 11 3.1.1 Kestabilan Sumber Energi ... 12 3.1.2 Parameter Kualitas Air ... 12 3.1.2.1 Dissolved Oxygen (DO) ... 12 3.1.2.2 Suhu ... 13 3.1.2.3 pH, CO2, Salinitas, dan NH3 ... 14

3.1.3 Oxygen Trasfer Rate (OTR) dan Efektivitas High-Blow (E) ... 16 3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR) ... 16 3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate, SGR) ... 17 3.2 Pembahasan ... 18

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 23 4.1 Kesimpulan ... 23 4.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24


(35)

ii

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter

fisika dan kimia air ... 7 2. Parameter kualitas air (CO2 dan salinitas). ... 14


(36)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Grafik kestabilan daya listrik harian pada high-blow menggunakan

sumber energi yang berbeda selama penelitian ... 11 2. Grafik daya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan

sumber energi yang berbeda ... 12 3. Grafik DO harian pada media pemeliharaan udang vaname selama

penelitian ... 12 4. Grafik DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber

energi yang berbeda ... 13 5. Grafik suhu harian pada media pemeliharaan udang vaname

selama penelitian ... 13 6. Grafik suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber

energi yang berbeda ... 14 7. Grafik pH media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda ... 15 8. Grafik amoniak (NH3) media pemeliharaan udang vaname pada

minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda ... 15 9. Grafik kelangsungan hidup (SR) udang vaname selama 20 hari

pemeliharaan ... 16 10. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) bobot udang vaname

selama 20 hari pemeliharaan ... 17 11. Grafik laju pertumbuhan spesifik (SGR) panjang udang vaname


(37)

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Instalasi listrik tenega surya yang digunakan pada kegiatan penelitian . 26 2. Alat-alat penelitian... 28 3. Instalasi listrik dan instalasi aerasi ... 29 4. Analisa statistik daya listrik (P) ... 30 5. Analisa statistik oksigen terlarut (DO) ... 31 6. Analisa statistik suhu media pemeliharaan... 32 7. Analisa statistik pH media pemeliharaan ... 33 8. Analisa statistik amoniak (NH3) ... 34

9. Analisa statistik tingkat kelangsungan hidup (SR). ... 35 10. Analisa statistik laju pertumbuhan spesifik (SGR). ... 35 11. Tabel pengamatan daya listrik harian selama pemeliharaan... 36 12. Tabel pengamatan daya listrik setiap 3 jam pada awal, tengah, dan

akhir pemeliharaan ... 38 13. Tabel pengamatandaya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3

dengan sumber energi yang berbeda ... 38 14. Tabel pengamatan DO harian selama pemeliharaan ... 39 15. Tabel pengamatan DO setiap 3 jam pada awal, tengah, dan akhir

pemeliharaan ... 41 16. Tabel pengamatan DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3

dengan sumber energi yang berbeda. ... 41 17. Tabel pengamatan suhu harian selama pemeliharaan ... 42 18. Tabel pengamatan suhu setiap 3 jam pada awal, tengah, dan akhir

pemeliharaan. ... 44 19. Tabel pengamatan suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3

dengan sumber energi yang berbeda. ... 44 20. Tabel pengamatan pH media pemeliharaan udang vaname pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. ... 45

21. Tabel pengamatan NH3 media pemeliharaan udang vaname pada

minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda. ... 45 22. Tabel pengukuran oxygen transfer rate (OTR) dan efektivitas

high-blow (E) ... 45 23. Analisa usaha per siklus (20 hari) ... 46 24. Grafik daya listrik (P), DO, dan suhu setiap 3 jam di awal, tengah,


(38)

1

I. PENDAHULUAN

Budidaya perairan hingga saat ini masih mengandalkan lahan yang dekat dengan sumber air yang baik. Sumber air yang masih baik ini sulit didapatkan di kota besar karena pengaruh limbah dari pabrik maupun limbah rumah tangga. Maka kebanyakan lokasi budidaya perairan terletak di daerak terpencil.

Daerah terpencil memiliki kendala untuk dijadikan tempat budidaya, salah satunya adalah pengadaan energi listrik. Suatu sistem budidaya semi intensif, intensif maupun superintensif sangat bergantung kepada ketersediaan energi listrik. Energi listrik dibutuhkan pada sistem budidaya untuk menghidupkan alat aerasi yang biasa disebut high-blow.

Indonesia masih mengandalkan PLN dalam menyediakan energi listrik, padahal PLN sering mengalami krisis energi dalam menyuplai energi listrik untuk keperluan masyarakat dan industri termasuk di dalamnya untuk keperluan budidaya perairan. Hal itu dibuktikan dengan masih adanya pemadaman bergilir di beberapa tempat. Menurut Okezone.com (2012) terjadi pemadaman bergilir di beberapa tempat di Indonesia seperti di Pekanbaru (Kecamatan Limapuluh, Sukajadi, dan di kawasan Panam) dan di Depok (di daerah Kampung Lio Hek, Citayam, Cipayung). Selain itu, PLN juga belum menjangkau sebagian besar tempat budidaya di daerah terpencil seperti Pantai Gesing Girikarto Kecamatan Panggang, Pantai Drini Desa Banjarejo Kecamatan Tanjungsari, Pantai Krakal, Sundak dan Ngandong Desa Sidoharjo Kecamatan Tepus serta Pantai Siung Desa Purwodadi Kecamatan Tepus (Berita WALHI 2011), dan Sulawesi Barat (Okezone.com 2011). Oleh karena itu, maka harus dicari alternatif sumber energi yang murah, berkelanjutan dan terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik ke dalam sistem budidaya yang tidak bergantung pada sumber energi PLN.

Energi surya merupakan salah satu energi alternatif gratis yang sangat potensial untuk dikembangkan apalagi di negara tropis karena suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebenarnya sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 1 kilowatt per meter persegi, pancaran cahayanya mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan panel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini (Adiyana 2011). Kelebihan sumber energi tenaga surya diantaranya:


(39)

2 sumber energi tersedia secara gratis dan terus-menerus (untuk daerah tropis), alat bekerja secara otomatis sepanjang terdapat sumber energi cahaya, tidak menimbulkan polusi baik polusi suara maupun polusi bagi lingkungan pada saat operasional, perawatan sederhana dan mudah, dapat digunakan di mana-mana dan dapat diintegrasikan pada bangunan ataupun konstruksi yang lain, berbentuk modular sehingga jumlah sel surya yang dipakai dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Di Indonesia, pemanfaatan energi surya merupakan komitmen nasional tertuang dalam buku Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) 1992 (Hutchinson 1950 dalam Buletin Keteknikan Pertanian 1998). Artinya tidak lama lagi seharusnya negara kita melakukan konversi energi dari basis energi migas menjadi energi terbarukan termasuk di dalamnya energi surya. Di sebagian kecil daerah tak terjangkau PLN telah diterapkan penggunaan energi surya sebagai sumber energi instalasi listrik pada hatchery budidaya namun hal ini belum sampai dilakukan pada instalasi aerasi.

Biota perairan mutlak mendapat dissolved oxygen (DO) agar kehidupan, pertumbuhan, maupun reproduksinya dapat berlangsung. Akan terjadi kematian massal pada udang dan ikan jika perairan anaerob (Garno 2004). Pada sistem budidaya, biasanya digunakan alat bantu suplai oksigen yang dinamakan dengan

high-blow yang berfungsimengalirkan udara bebas ke dalam air.

Salah satu biota perairan yang memerlukan oksigen cukup tinggi adalah udang vaname Litopenaeus vannamei yakni dengan kisaran DO optimum bagi udang adalah >5 mg/Liter (Yang 1990 dalam Budiardi 2008). Udang ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Permintaan pasar terhadap udang vaname mengalami peningkatan setiap tahunnya karena udang vaname memiliki nilai gizi yang tinggi dan sangat diminati oleh masyarakat. Permintaan terhadap udang vaname sudah menembus pasar luar negeri sehingga mendatangkan devisa bagi negara. Target KKP dalam periode 2010-2014, produksi udang diharapkan dapat meningkat sebesar 74,75%, yaitu dari 400 ribu ton menjadi 699 ribu ton, yang terdiri atas udang vaname dan udang windu (Fajar Online 2009). Apalagi bagi pembudidaya, udang ini relatif lebih mudah untuk dipelihara karena pertumbuhannya cepat, dapat mengisi semua kolom air sehingga dapat dibudidaya dengan densitas tinggi, memiliki kandungan daging yang lebih banyak dibanding udang lainnya, hemat pakan, bersifat euryhalin, serta lebih tahan terhadap serangan penyakit (Erwinda 2008). Letak budidaya udang


(40)

3 vaname biasanya terpencil (jauh dari jangkauan PLN). Maka harus diupayakan penerapan energi yang memungkinkan (dalam hal ini tenaga surya) untuk disambungkan dengan instalasi aerasi (high-blow) dalam rangka memenuhi kebutuhan DO udang vaname.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengadaan aerasi yang dihasilkan oleh high-blow menggunakan sumber energi surya dengan high-blow

menggunakan sumber energi PLN dalam pemeliharaan juvenil udang vaname

Litopenaeus vannamei yang dilihat dari segi kestabilan daya listrik (P), dissolved oxygen (DO), oxygen transfer rate (OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), serta laju pertumbuhan spesifik (SGR).


(41)

4

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Alat dan Bahan

Bahan yang akan digunakan pada persiapan penelitian adalah kaporit, sodium thiosulfat, detergen, dan air tawar. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah juvenil udang vaname (PL 10) dengan panjang rata-rata 0,87±0,09 cm dan bobot rata-rata 0,003; air laut; sodium sulfit (Na2SO3); dan

pakan udang protein 30%. Alat yang digunakan pada persiapan serta penelitian ini adalah bak fiber kapasitas 500 liter, rangkaian panel surya, high-blow, DO meter, pH meter, refrakto meter, spektrometer, pompa air, beker glass, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram, penggaris, selang sipon, kran aerasi, selang aerasi, pompa celup, dan batu aerasi.

2.1.2 Prosedur Persiapan Sistem Pemeliharaan

Persiapan sistem pemeliharaan terdiri dari persiapan wadah, instalasi listrik dan aerasi, dan bahan. Wadah budidaya udang yang akan digunakan berupa bak fiber dengan kapasitas 500 liter sebanyak 4 buah, setiap wadah dipasang 4 buah selang aerasi yang dihubungkan pada high-blow. Bak fiber ini dibersihkan menggunakan detergen dan air tawar kemudian dikeringanginkan selama 24 jam.

Instalasi listrik tenaga surya dirangkai secara parallel yang meliputi: 8 papan panel dengan kapasitas setiap panel 100 watt peak, 12 Volt; 4 charge controller dengan kapasitas setiap charge controller 12 Volt, 20 Ampere; dan 8 aki (baterai) dengan kapasitas setiap aki 100 Ampere hour, 12 Volt. Energi matahari yang ditangkap panel dalam bentuk arus searah (DC) akan disimpan di dalam aki melalui chargecontroller. Charge controller berfungsi sebagai pengatur besarnya arus dan voltase yang masuk ke aki. Kemudian arus listrik dalam aki tersebut dialirkan ke high-blow melalui inverter yang berfungsi sebagai pengubah arus serarah (DC) menjadi bolak-balik (AC). Sebanyak 8 buah aki dipasang secara parallel dan dihubungkan pada 1 high-blow. Antara high-blow dengan inverter dipasang 1 data loger. Data loger berfungsi sebagai alat monitoring voltase dan arus listrik yang keluar masuk aki. Instalasi listrik tenaga surya dapat dilihat pada Lampiran 1. Instalasi listrik yang menggunakan sumber energi PLN


(42)

5 220 Volt; langsung dihubungkan dengan high-blow. Monitoring kuat arus dan voltase PLN diukur menggunakan Tang Ampere (Lampiran 2). Instalasi aerasi dipasang high-blow dipasang 8 selang aerasi, setiap wadah pemeliharaan mendapatkan 4 selang (Lampiran 3).

Air yang dijadikan media pemeliharaan adalah air laut dengan salinitas 30 ppt. Air sebanyak 500 liter yang telah dimasukkan ke dalam bak fiber pemeliharaan di-treatment dengan 30 ppm klorin dan diaerasi kuat, setelah 24 jam kemudian air diberi tiosulfat dengan dosis 15 ppm dan diaerasi kuat selama 24 jam. Sebelum digunakan, bagian dasarnya disipon terlebih dahulu.

2.1.3 Prosedur Pemeliharaan

Prosedur pemeliharaan terdiri dari penebaran benih, pemberian pakan, dan pengelolaan kualitas air. Biota yang digunakan adalah udang vaname

Litopenaeus vannamei PL10. Udang ini akan dipelihara dengan padat tebar 200 ekor/m3 (Samocha dan Lawrence 1992) selama 20 hari. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi yakni udang yang masih berada dalam plastik diapungkan di air laut yang akan dijadikan media pemeliharaan, kemudian udang dimasukkan ke dalam baskom dan dialiri air laut sedikit demi sedikit hingga air laut yang baru tercampur homogen dengan air yang telah ditransportasikan bersama udang. Udang siap di tebar setelah 12 jam dibiarkan di dalam baskom yang diberi aerasi. Setiap wadah yang berisi 500 liter air diberi udang 100 ekor, adapun pengukuran panjang dan bobot udang dilakukan pada 30 ekor udang yang tidak akan ikut ditebar.

Pemeliharaan udang dilakukan selama 20 hari. Pemberian pakan udang dilakukan 4 kali, yakni pada pukul 07.00, 12.00, 17.00, dan 22.00 WIB secara

restricted. Pakan yang diberikan adalah pakan powder dengan kadar protein 40%. Setiap pemberian pakan diberikan dosis 2 ppm.

Analisa kualitas air yang diukur setiap 7 hari sekali yakni: pH, CO2, total

amoniak nitrogen (TAN), dan salinitas. Sedangkan DO dan suhu diamati setiap hari. Pergantian air dilakukan setiap 2 hari, sebanyak 10-15% sekaligus dilakukan penyiponan.

2.2 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 kali ulangan setiap perlakuan.


(43)

6 Perlakuan yang diterapkan yaitu pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi surya (SES) dan pemakaian 1 high-blow (untuk 2 bak fiber) dengan sumber energi PLN (SEP). Dari masing-masing high-blow akan dialiri listrik selama pemeliharaan. Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Yij = µ + τi + εij

Keterangan:

Yij = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai tengah data

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

2.3 Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0, yang meliputi Analisis Ragam (ANOVA) dan uji F pada selang kepercayaan 95%. Program tersebut digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya pengaruh perlakuan terhadap daya listrik, dissolved oxygen (DO), suhu, pH, NH3, tingkat

kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan spesifik (SGR).

2.4 Parameter yang Diukur

Parameter penelitian yang diukur adalah daya listrik (P), kualitas air (DO, suhu, pH, total amoniak nitrogen (TAN), CO2, dan salinitas. oxygen transfer rate

(OTR), efektivitas high-blow (E), tingkat kelangsungan hidup (SR), dan laju pertumbuhan spesifik (SGR).

2.4.1 Daya Listrik

Daya listrik didefinisikan sebagai laju hantaran energi listrik dalam rangkaian listrik. Satuan SI daya listrik adalah watt. Arus listrik yang mengalir dalam rangkaian dengan hambatan listrik menimbulkan kerja. Peranti mengkonversi kerja ini ke dalam bentuk yang berguna seperti panas, cahaya, kinetik, dan suara. Listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik atau penyimpan energi seperti baterai. Listrik arus bolak-balik (listrik AC-alternating current) adalah arus listrik dimana besar dan arahnya arus berubah-ubah secara


(44)

bolak-7 balik (Harnovi 2011). Rumus untuk menghitung daya listrik adalah sebagai berikut:

P = V I Keterangan: P = Daya (watt)

V = Perbedaan potensial (Volt) I = Kuat arus (Ampere)

Pengukuran terhadap voltase dan kuat arus dilakukan pada pukul 07.00, 13.00, dan 19.00 WIB setiap harinya, hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran dilakukan setiap 3 jam. Alat yang digunakan untuk mengukur voltese dan kuat arus listrik adalah Tang Ampere. Arus listrik diukur dengan colokan pendeteksi arus listrik dari Tang Ampere, sedangkan voltase diukur dengan penjepit ujung paling atas pada Tang Ampere.

2.4.2 Parameter Kualias Air: DO, Suhu, pH, Total Amoniak Nitrogen (TAN), CO2, dan Salinitas.

Pengukuran DO dan suhu dilakukan pada pukul 07.00, 14.30, dan 22.00 WIB setiap harinya; hanya pada hari pertama, ke-10, dan ke-20 pengukuran dilakukan 3 jam sekali. Pengukuran kualitas air selain DO dan suhu dilakukan pada hari pertama, ke-7, ke-14, dan ke-20. Berikut ini akan dipaparkan mengenai alat dan metode yang digunakan pada pengukuran parameter kualitas air.

Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika dan kimia air

Parameter Satuan Alat/Metode

Suhu oC DO meter

Ph - pH meter

DO mg/Liter DO meter TAN mg/Liter Spektrofotometer CO2 mg/Liter Titrasi Salinitas g/Liter Refraktometer

2.4.3 Laju Transfer oksigen (Oxygen Transfer Rate, OTR)

Oxygen Transfer Rate (OTR) menggambarkan seberapa besar oksigen yang ditransfer dari udara ke dalam perairan melalui kinerja aerator. Stuckenberg et al. (1977) dalam Boyd (1982) membahas prosedur baku untuk mengevaluasi berbagai alat aerasi dengan menghilangkan oksigen dalam air terlebih dahulu dengan Na2SO3 dengan dosis 7,9 mg/Liter untuk menghilangkan 1 mg/Liter


(45)

8 oksigen terlarut, untuk memastikan oksigen hilang sempurna umumnya ditambahkan 1,5-2 kali dari dosis. Biasanya OTR maupun E diukur pada suhu 20oC dan pada oksigen 0 mg/Liter. Namun dapat juga menghitung OTR pada

suhu yang lainnya. Pada penelitian ini, OTR diukur pada wadah yang berukuran 60 cm x 35 cmx 25 cm. 1 wadah untuk high-blow menggunakan SES, 1 wadah

untuk high-blow menggunakan SEP, dan 1 wadah untuk kontrol (tanpa diaerasi menggunakan high-blow). Waktu yang digunakan adalah 0,5 jam, dengan suhu 26 oC.

Eckenfelder and Ford (1968) dalam Boyd (1982) menyajikan persamaan berikut untuk menghitung koefisien transfer oksigen :

(KLa) 20 =

Keterangan:

(KLa) 20 = koefisien transfer pada suhu 20oC (/jam)

Cs = kejenuhan dengan oksigen (mg/Liter) C1 = konsentrasi oksigen awal (mg/Liter) C2 = konsentrasi oksigen akhir (mg/Liter)

t1 = waktu awal aerasi (jam)

t2 = waktu akhir aerasi (jam)

Nilai (KLa) 20 dapat dipakai untuk menghitung nilai (KLa) untuk suhu lain yaitu

(KLa) T dengan rumus:

(KLa) T = (KLa) 20 x 1,024 T-20

(KLa) T = x 1,024 T-20

Keterangan:

(KLa) T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan (/jam)

T = suhu (°C)

Setelah penghitungan koefisien transfer oksigen, kemudian dilanjutkan dengan penghitungan jumlah oksigen yang ditransfer persatuan waktu dengan (OTR) 20 dengan sebagai berikut:

(OTR) 20 = (KLa) 20 x Cs x volume tangki (Liter) : 106 (mg/kg)

Sehingga rumus untuk menghitung OTR di suhu yang lain adalah: (OTR) T = (KLa) T x Cs x volume tangki (Liter) : 106 (mg/kg)


(46)

9 Keterangan :

(OTR) T = oksigen yang ditransfer persatuan waktu pada suhu yang diinginkan (kg O2/jam)

(KLa) T = koreksi oksigen transfer pada suhu yang diinginkan (/jam)

Cs = kejenuhan oksigen untuk suhu dan tekanan yang ada (mg/Liter)

2.4.4 Efektivitas Alat Aerasi (E)

Efektivitas dari sebuah aerator bisa digunakan sebagai indikator yang menunjukkan seberapa besar gas yang ditransfer dari udara ke dalam sebuah perairan atau pengurangan jumlah gas yang berlebih dalam air (supersaturated). Efektivitas aerator juga bisa digunakan untuk membandingkan berbagai tipe aerator, tetapi harus diuji dalam sistem dan kondisi yang sama. Rumus dari efektivitas aerator menurut Lekang (2007) adalah sebagai berikut :

E = [(Cout – Cin) / (Csat – Cin)] x 100

Keterangan :

E = efektivitas aerator (%)

Cout = konsentrasi gas terlarut yang keluar dari sebuah sistem (mg/Liter)

Cin = konsentrasi gas terlarut yang masuk ke dalam sebuah sistem (mg/Liter)

Csat = konsentrasi gas terlarut dalam keadaan jenuh/saturasi (mg/Liter)

2.4.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR)

Tingkat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentasi jumlah ikan yang berpeluang untuk hidup selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah budidaya. Tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname atau sintasan (SR) menurut Effendi (2004) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SR = x 100%

Keterangan:

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

No = Jumlah udang pada awal pemeliharaan Nt = Jumlah udang hidup pada akhir pemeliharaan


(47)

10

2.4.6 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate,SGR)

Laju pertumbuhan spesifik merupakan laju pertambahan bobot maupun panjang individu dalam persen Effendi (2004) dan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

SGR = {( - 1 ) x 100%

Keterangan:

SGR = laju pertumbuhan spesifik udang (%) t = lama waktu pemeliharaan udang (hari) Wo = bobot rata-rata awal pemeliharaan udang (mg) Wt = bobot rata-rata akhir pemeliharaan udang (mg)


(48)

11

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, pH, NH3, CO2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan

efektivitas high-blow (E).

3.1.1 Kestabilan Sumber Energi

Kestabilan sumber energi yang berbeda dilihat dari kestabilan daya listrik. Daya listrik didapatkan dari perkalian antara voltase (Volt) dan arus listrik (Ampere).

Gambar 1. Grafik kestabilan daya listrik harian pada high-blow menggunakan sumber energi yang berbeda selama penelitian.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap harinya daya listrik pada perlakuan SES relatif stabil dengan nilai berkisar antara 129,09 s.d. 149,85 watt; sedangkan daya listrik pada perlakuan SEP lebih tidak stabil dengan nilai berkisar antara 80,80 s.d. 174,80 watt. Terjadi mati listrik (daya 0 watt) pada SEP pada hari ke-4, 7, dan ke-19 (Gambar 1).


(49)

12 Gambar 2. Grafik daya listrik rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan

sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa SES memiliki daya listrik yang lebih stabil. Sedangkan pada SEP, daya listrik mengalami penurunan dari 166,30±11,29 watt menjadi 128,00±2,50 watt pada minggu ke-1, kemudian stabil pada minggu ke-2, dan turun lagi hingga 110,83±10,77 watt pada minggu ke-3.

3.1.2 Parameter Kualitas Air 3.1.2.1 Dissolved Oxygen (DO)

Kelarutan oksigen merupakan parameter kualitas air utama yang diamati pada penelitian ini, Berikut ini ditampilkan grafik pengukuran DO setiap harinya.

Gambar 3. Grafik DO harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.

Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa nilai DO harian pada kedua perlakuan hampir sama. DO harian pada high-blow yang menggunakan


(50)

13 SES berkisar antara 7 s.d. 8 mg/Liter sedangkan DO pada high-blow yang menggunakan SEP berkisar antara 6,8 s.d. 8 mg/Liter.

Gambar 4. Grafik DO rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan Gambar 4. dapat diketahui bahwa DO yang menggunakan SES maupun SEP mengalami penurunan pada minggu ke-1 berturut-turut dari 7,7±0,28 mg/Liter menjadi 7,1±0,18 mg/Liter dan dari 7,7±0,26 mg/Liter menjadi 7,1±0,14 mg/Liter. Pada minggu ke-2, DO dari perlakuan SES naik menjadi 7,6±0,04 mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP DO naik menjadi 7,5±0,03 mg/Liter. Pada minggu ke-3, DO perlakuan SES hanya turun hingga 7,5±0,05 mg/Liter, sedangkan pada perlakuan SEP turun hingga menjadi 7,1±0,25 mg/Liter.

3.1.2.2 Suhu

Gambar 5. Grafik suhu harian pada media pemeliharaan udang vaname selama penelitian.


(51)

14 Berdasarkan grafik suhu harian media pemeliharaan dapat diketahui bahwa nilai suhu harian dari kedua perlakuan relatif sama. Setiap harinya suhu media dengan perlakuan SES berkisar 26,0 s.d. 27,3 oC; sedangkan suhu harian media dengan perlakuan SEP berkisar antara 26,0 oC s.d. 27,3 oC.

Gambar 6. Grafik suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang berbeda.

Berdasarkan pengamatan suhu harian rata-rata, dapat diketahui bahwa suhu pada kedua perlakuan mengalami kenaikan pada minggu ke-1 kemudian mengalami penururunan sampai minggu ke-3.

3.1.2.3 pH, CO2, salinitas, dan NH3

Pengukuran kualitas air berupa parameter CO2 dan salinitasdapat dilihat

pada Tabel 5. Sedangkan pengukuran pH dan NH3 dapat dilihat pada Gambar7.

dan Gambar 8.

Tabel 2 Parameter kualitas air (CO2 dan salinitas)

Minggu

ke- CO2 (mg/Liter) Salinitas (ppt) A1 A2 B1 B2 A1 A2 B1 B2 0 0 0 0 0 30 30 30 30 1 0 0 0 0 29 30 29 29 2 0 0 0 0 30 30 30 30 3 0 0 0 0 30 30 30 30

Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan setiap 7 hari, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air tidak jauh berbeda. CO2 dengan


(1)

42

Lampiran 17. Tabel pengamatan suhu harian selama pemeliharaan.

Hari ke- Waktu (WIB) A1 (oC) A2 (oC) B1 (oC) B2 (oC)

1 7:00 26,7 26,5 26,3 26,4

14:30 26,4 26,3 26,4 26,4

22:00 26,5 26,4 26,4 26,5

2 7:00 26,4 26,3 26,3 26,4

14:30 26,4 26,5 26,4 26,4

22:00 26,3 26,3 26,4 26,4

3 7:00 26,5 26,3 26,1 26,3

14:30 27,2 26,9 26,5 26,6

22:00 26,7 26,5 26,3 26,4

4 7:00 26,6 26,4 26,3 26,3

14:30 26,5 26,5 26,3 26,6

22:00 26,4 26,3 26,3 26

5 7:00 26,7 26,7 26,6 26,7

14:30 27,4 27,2 27,2 27

22:00 26,7 26,8 26,8 26,8

6 7:00 26,6 26,4 26,4 26,4

14:30 26,9 26,9 26,9 26,8

22:00 27,3 27,3 27,2 27,3

7 7:00 26,9 26,9 26,9 26,9

14:30 27,3 27,2 27,1 27,2

22:00 27,2 27,2 27,1 27,1

8 7:00 27,1 27 27 27,1

14:30 26,7 26,7 27 27

22:00 26,9 26,9 26,9 26,9

9 7:00 26,5 26,7 26,7 26,7

14:30 26,8 26,8 26,8 26,8

22:00 26,6 26,6 26,7 26,8

10 7:00 26,6 26,6 26,7 26,7

14:30 26,9 26,9 26,8 26,8


(2)

43

Hari ke- Waktu (WIB) A1 (oC) A2 (oC) B1 (oC) B2 (oC)

11 7:00 26,7 26,7 26,6 26,6

14:30 26,8 26,8 26,7 26,8

22:00 26,9 26,9 26,9 26,9

12 7:00 26,6 26,6 26,6 26,6

14:30 27 27 27 27

22:00 27,1 27,1 27 27

13 7:00 26,6 26,6 26,6 26,6

14:30 26,5 26,7 26,7 26,7

22:00 26,4 26,4 26,5 26,4

14 7:00 26,5 26,5 26,5 26,4

14:30 26,8 26,8 26,6 26,6

22:00 26,6 26,6 26,5 26,6

15 7:00 26,7 26,6 26,6 26,6

14:30 26,8 26,8 26,8 26,8

22:00 26,6 26,7 26,7 26,6

16 7:00 26,7 26,7 26,7 26,6

14:30 26,6 26,3 26,5 26,5

22:00 26,4 26,5 26,5 26,5

17 7:00 26,4 26,3 26,3 26,3

14:30 26,6 26,6 26,7 26,6

22:00 26,6 26,6 26,7 26,5

18 7:00 26,5 26,5 26,5 26,5

14:30 26,5 26,4 26,5 26,4

22:00 26 26 26 26

19 7:00 26,2 26 26,2 26,1

14:30 26,6 26,6 26,6 26,6

22:00 26,4 26,4 26,4 26,4

20 7:00 26,3 26,3 26,3 26,3

14:30 26,4 26,4 26,5 26,5


(3)

44

Lampiran 18. Tabel pengamatan suhu setiap 3 jam pada awal, tengah, dan

akhir pemeliharaan.

Hari ke- Waktu (WIB) A1 A2 B1 B2

1 07:00 26,7 26,5 26,3 26,4

10:00 26,4 26,3 26,4 26,4

13:00 26,4 26,4 26,4 26,5

16:00 26,4 26,4 26,4 26,4

19:00 26,5 26,4 26,5 26,5

22:00 26,5 26,4 26,4 26,5

01:00 26,5 26,4 26,4 26,4

04:00 26,5 26,3 26,3 26,4

10 07:00 26,6 26,6 26,7 26,7

10:00 26,6 26,6 26,7 26,7

13:00 26,8 26,8 26,8 26,8

16:00 26,6 26,7 26,7 26,7

19:00 26,7 26,6 26,6 26,6

22:00 26,9 26,8 26,8 26,8

01:00 27,1 27,1 27,1 27,1

04:00 26,5 26,5 26,6 26,5

20 07:00 26,3 26,3 26,3 26,3

10:00 26,5 26,5 26,5 26,6

13:00 26,4 26,4 26,5 26,5

16:00 26,4 26,4 26,4 26,4

19:00 26,5 26,3 26,4 26,3

22:00 26,5 26,3 26,3 26,3

01:00 26,4 26,2 26,2 26,2

04:00 26,2 26,2 26,2 26,2

Lampiran 19. Tabel pengamatan suhu rata-rata pada minggu ke-0, 1, 2, dan

3 dengan sumber energi yang berbeda.

Minggu ke- A (E. Surya, oC) B (PLN, oC)

0 26,5±0,13a 26,4±0,05a

1 27,1±0,19a 27,1±0,13a

2 26,6±0,15a 26,5±0,08a


(4)

45

Lampiran 20. Tabel pengamatan pH media pemeliharaan udang vaname

pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang

berbeda

Minggu ke- A (E. Surya) B (PLN)

0 8,42±0,141a 8,48±0,049a

1 8,39±0,028a 8,32±0,014a

2 8,22±0,028a 8,25±0,064a

3 8,13±0,028a 8,25±0,071a

Lampiran 21. Tabel pengamatan NH

3

media pemeliharaan udang vaname

pada minggu ke-0, 1, 2, dan 3 dengan sumber energi yang

berbeda

Minggu ke- A (E. Surya, mg/Liter) B (PLN, mg/Liter)

0 0,005±0,003a 0,005±0,001a

1 0,020±0,001a 0,014±0,001b

2 0,008±0,001a 0,013±0,003a

3 0,006±0,004a 0,018±0,005a

Lampiran 22. Tabel pengukuran oxygen transfer rate (OTR) dan efektivitas

high-blow (E).

A (E. Surya) B (PLN) Kontrol

Cs (mg/l) 6,98 6,98 6,98

C1 (mg/l) 2,1 2,6 2,5

C2 (mg/l) 5,6 5,6 3

T (°C) 26 26 26

t1 (jam) 14.50 14.50 15.17

t2 (jam) 15.20 15.20 15.47

Volume air (Liter) 52 52 52

KLa (/jam) 2,91 2,66 0,27

OTR (kg O2/jam) 1,06 x 10-3 0,97 x 10-3 9,9 x 10-5 9,6 x 10-4 8,7 x 10-4

E (%) 71,7 68,5 11,2


(5)

46

Lampiran 23. Analisa usaha 20 tahun

Satuan

Harga Satuan

Umur

Ekonomis Harga Harga

(Rp) (tahun) Total SES (Rp) Total SEP (Rp)

1. Penerimaan

Udang PL 30 ekor 55 118800000 118800000

Total Penerimaan 118800000 118800000

2. Pengeluaran 2.1 Biaya Penyusutan

8 Panel Surya buah 2450000 30 13068000 -

8 Accu buah 1800000 5

57600000

-

1 High-Blow buah 480000 5 1920000 1920000

4 Wadah Pemeliharaan buah 250000 10 2000000 2000000

1 Inverter buah 500000 5 2000000 -

1 Timbangan Buah 100000 7 286000 286000

Peralatan Aerasi 70000 3

466700

466700

4 Alat Sampling Buah 12000 5

192000

192000

2.2 Biaya Tetap

Listrik Bulan 150000 - 36000000

2.3 Biaya Variabel

Udang PL 10 Ekor 12

28800000

28800000

Pakan Udang Kg 15000 1152000 1152000

Bahan Desinfeksi 200000 200000

2.4 Faktor resiko

4 x Gagal Panen Siklus 495000 - 39600000

Total Pengeluaran 107684700 110616700

3. Keuntungan 11115300 8183300

4. R/C Rasio 1,103220792 1,073978884

Asumsi:

Faktor resiko pada penggunaan SEP yaitu terjadi mati listrik 4 kali atau 4 siklus

dalam 1 tahun.

Tingkat Kelangsungan Hidup/SR = 90%.

Padat tebar juvenil udang = 5 ekor/Liter.

1 high-blow dengan daya 130 watt dapat mengaerasi 2000 Liter air.

Listrik penerangan mampu dipenuhi oleh sumber energi surya.


(6)

47

Lampiran 24. Grafik daya listrik (P), DO, dan suhu setiap 3 jam di awal,

tengah, dan akhir penelitian.