Persistensi Cendawan Entomopatogen Patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah coptotermes curvignathus holmgren dan schedorhinotermes javanicus kemmer (Isoptera Rhinotermitidae)

15

5. Persistensi Cendawan Entomopatogen

Kemampuan patogen untuk bisa hidup dan bertahan di lingkungan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengendalian hayati. Propagul cendawan yang memiliki persistensi yang baik akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk bisa kontak dengan serangga dan menimbulkan penyakit Inglis et al. 2001. Tanah merupakan habitat untuk inisiasi infeksi cendawan pada serangga karena kandungan air dalam tanah tinggi, suhu yang sedang dan terlindung dari radiasi ultraviolet. Akan tetapi kemampuan konidia cendawan untuk bertahan dalam tanah sangat tegantung pada kerentanan konidia terhadap mikroflora tanah Roberts Capbell 1977 dalam Daoust Pereira 1986. Berbagai macam faktor tanah seperti tipe tanah tekstur tanah, kandungan bahan organik, pH, kadar air tanah dan adanya mikroflora tanah mempengaruhi persistensi cendawan entomopatogen dalam tanah Inglis et al. 2001. 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Januari 2008 di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor IPB. Pengujian lapang dilaksanakan dari bulan Agustus 2007 sampai Juni 2008 di Areal Asrama Mahasiswa TPB, IPB. Spesies Rayap Tanah yang Digunakan Rayap tanah yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit C. curvignathus Holmgren yang diperoleh dari Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB dan S. javanicus Kemmer dari areal Asrama TPB IPB. Koleksi dan Perbanyakan Isolat Cendawan Entomopatogen Isolat M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Isolat ditumbuhkan pada medium Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract SDAY dekstrose 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g, kloramfenikol 0,5 g, dan aquadest 1 l Samuels et al. 2002. Isolasi M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum dari serangga yang terinfeksi dilakukan dengan cara mengambil miselia atau konidianya dan ditumbuhkan pada media SDAY, kemudian dilakukan pemurnian pada media yang sama. Isolat diinkubasi pada suhu 25 o C selama 15 hari. Untuk mempertahankan virulensi isolat yang diuji, isolat tersebut diinokulasi kembali pada rayap dan dari rayap yang terinfeksi diisolasi kembali dan dimurnikan pada media SDAY. Identifikasi Cendawan Entomopatogen Identifikasi dilakukan secara makroskopis dengan mengamati pertumbuhan koloni isolat-isolat cendawan pada media SDAY dalam cawan petri, 17 sedangkan untuk pengamatan secara mikroskopis isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture Becnel 1997. Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur Barnett Hunter 1972 yaitu dengan melihat karakter morfologi yang dimiliki oleh setiap isolat. Perbanyakan M. brunneum dan M. anisopliae pada Media Beras Isolat M. brunneum dan M. anisopliae diperbanyak pada media beras dan diinkubasi pada suhu 25 o C selama 3 minggu. Perbanyakan isolat pada media beras dilakukan dengan cara memasak beras selama 10 menit kemudian beras yang sudah agak lunak dimasukkan ke dalam setiap kantong plastik sebanyak 20 gramkantong dan ditutup kemudian disterilisasi di dalam autoclave pada suhu 121 o C selama 30 menit. Setelah dingin ke dalam kantong plastik diinokulasikan konidia cedawan dari biakan murni yang ditumbuhkan pada media SDAY, sesudah 1 minggu setiap kantung diperiksa yang terkontaminasi dibuang yang tidak terkontaminasi dapat digunakan setelah tiga minggu. Penyiapan Suspensi Konidia Cendawan Entomopatogen Suspensi konidia M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum diperoleh dengan menambahkan 10 ml aquades steril ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu dan diberi surfaktan Triton X-100 dengan konsentrasi 0,05. Konidia dilepaskan dari medium dengan menggunakan kuas halus kemudian jumlah konidianya dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus. Kerapatan konidia yang digunakan untuk uji mortalitas terhadap C. curvignathus dan S. javanicus adalah 0, 10 5 , 5x10 5 , 10 6 , 5x10 6 dan 10 7 konidiaml. Setiap unit percobaan terdiri atas 20 ekor rayap pekerja dan 2 ekor rayap prajurit. Masing-masing C. curvignathus dan S. javanicus dicelupkan ke dalam suspensi konidia sesuai perlakuan, dan kontrol dicelupkan ke dalam air steril tidak mengandung suspensi konidia, kemudian langsung ditempatkan pada cawan petri 18 berdiameter 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber pakan rayap. Setiap perlakuan diulang lima kali. Mortalitas rayap dihitung setiap hari hingga hari keenam setelah inokulasi. Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Tubuh Rayap C. curvignathus Rayap C. curvignathus yang telah mati pada uji patogenisitas dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah dilapisi dengan tissu steril sesuai dengan masing-masing perlakuan, kemudian diinkubasi pada suhu 24 C dan RH 95 selama 5 sampai 7 hari. Setiap perlakuan diulang 5 kali. Persentasi sporulasi pada tubuh rayap yang telah mati dihitung dengan rumus: Rayap terkolonisasi Sporulasi = X 100 Jumlah rayap perlakuan Daya Kecambah Konidia Cendawan Entomopatogen Daya kecambah konidia ditentukan menurut metode Junianto dan Sukamto 1995. Media SDAY Ø 0,5 cm dan tebal 1-2 mm diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian di atas media diteteskan suspensi konidia yang mengandung 10 6 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan diinkubasi pada suhu 24 C selama 12-24 jam. Setiap perlakuan diulang 5 kali. Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia dinyatakan telah berkecambah apabila panjang tabung kecambah germ tubes telah melebihi diameter konidia. Deteksi Lokasi Kehadiran Rayap S. javanicus Pembuatan Kayu Umpan Kayu umpan yang digunakan terbuat dari kayu pinus berukuran 2,5 x 4,0 x 28 cm 3 dalam keadaan kering udara. Kayu pinus termasuk jenis kayu yang memiliki kelas keawetan dan berat jenis yang rendah yaitu kelas awet 3-4 dengan berat jenis 0,55 serta kekerasan sisi yang rendah, oleh karena itu kayu tersebut secara alami sangat rentan terhadap serangan rayap dan aktivitas makan rayap akan meningkat dengan menurunya kekersan kayu Supriana 1983. 19 Pemasangan Kayu Umpan dan Pembuatan Stasiun Pengamatan Tanah digali sehigga membentuk liang berdiameter 17 cm dengan kedalaman 13 cm, kemudian pipa polivinychoride PVC berdiameter 17 cm, tinggi 15 cm, tebal 0,8 cm dimasukkan secara vertikal ke dalam masing-masing liang tersebut untuk membatasi tanah dan ruangan yang terbentuk oleh rongga pipa PVC. Kayu umpan kemudian dibenamkan secara vertikal ke dalam tanah sedalam 23 cm, bagian kayu umpan yang muncul ke atas permukaan tanah setinggi 5 cm dan jarak antar kayu umpan ± 100 meter. Pengamatan kayu umpan dilakukan setelah satu bulan, selanjutnya stasiun pengamatan ditetapkan pada kayu umpan yang terserang rayap. Bagian atas PVC ditutup dengan ember plastik, setelah kayu umpan habis dimakan rayap, ke dalam rongga PVC segera ditempatkan kayu umpan yang baru. Karakterisasi Rayap S. javanicus

1. Penentuan Berat Rata-Rata Tubuh Rayap S. javanicus