Beauveria bassiana Bals. Vuill. Myrothecium roridum Tode ExFR. Myrothecium roridum Mekanisme Infeksi

12 kecambah pada kelembapan di atas 90, namun demikian Milner et al. 1997 melaporkan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar PDA, jagung, dan beras. Metarhizium anisopliae tergolong ke dalam patogen fakultatif, dapat hidup dan berkembang biak pada serangga hidup maupun pada bahan organik. Cendawan tersebut bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman Alexopoulus dan Mims 1996. Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, dan Isoptera Starck 2003. M. anisopliae telah terbukti mampu mematikan Plutella xylostella dari ordo Lepidoptera yang menyerang tanaman kubis Winarto dan Nazir 2004. M. anisopliae juga mampu mematikan Ostriania furnacalid Guenee pada tanaman jagung Freimosser et al. 2003. Kemampuan entomopatogenitas M. anisopliae dikarenakan cendawan M. anisopliae menghasilkan destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Efek destruxin berpengaruh pada organel sel mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus, menyebabkan paralisis sel dan ganguan fungsi tabung malphigi, hemocyt dan jaringan otot Tanada dan Kaya 1993.

2. Beauveria bassiana Bals. Vuill.

Beauveria bassiana tergolong ke dalam divisi Eumycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes, dan ordo Moniliales. Karakteristik utama cendawan tersebut adalah bentuk konidiofornya yang bercabang-cabang dengan pola zig-zag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia. Konidia keras, bersel satu, berbentuk agak bulat, hialin, berukuran 2-3 mµ dan muncul dari setiap ujung percabangan konidiofor. Hifa B. bassiana hialin, berdiameter 1,5-2,0 mµ, bersekat 13 dan bercabang. Miselia berwana putih atau kuning pucat, berupa benang-benang halus, tampak seperti kapas atau kapur Tanada dan Kaya 1993. Koloni cendawan B. bassiana berwarna putih pada medium Saboraud dextrose Aagar with yeast extract SDAY dan selanjutnya berubah kekuningan dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan cendawan relatif lambat, yaitu baru mencapai diameter sekitar 4 cm dalam waktu 14 hari pada medium SDAY Wiryadiputra 1994.

3. Myrothecium roridum Tode ExFR. Myrothecium roridum

termasuk dalam divisi Deuteromycotina. Sporodochianya struktur grup konidiofor yang panjang bertangkai seperti synnemata berdiameter 60-750 µm, muncul dari perkembangan stroma struktur hifa yang kompak, konidiofor hialin, tepi seta kadang-kadang juga hialin, bercabang, cabang terakhir merupakan phialit berukuran 11-16 x1,5-2,0 µm. Konidia dihasilkan pada bagian terminal, konidia hialin hingga gelap, berbentuk oval memanjang berukuran 5,5-7,0 x 1,5-2 µm. Bersifat parasit atau sapropit Barnet HL Hunter BB 1998. Temperatur optimal untuk pertumbuhan 25- 27ºC, dengan kisaran pH 2,8-9,2. Diameter koloni 4-6 cm selama 14 hari pada media PDA dan miselium berwarna putih kemerahan. Tulloch et al. 1970 dalam Domsch et al. 1980.

4. Mekanisme Infeksi

Menurut Ferron 1985 ada empat proses serangan penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembapan udara yang tinggi dan bahkan kadang- kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Cendawan dalam melakukan penetrasi menembus integumen membentuk tabung kecambah appresorium Bidochka et al. 2000. Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. 14 Penetrasi dilakukan dapat secara mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim seperti lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase serta toksin Freimoser et al. 2003. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya Strack 2003. Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toxin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Cendawan tidak selalu tumbuh ke luar menembus integumen serangga, apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan Ferron 1985. Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi, genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua faktor lingkungan saling berinteraksi, interaksi yang komplek dan dinamik ini menentukan efikasi cendawan Inglis et al. 2001. 15

5. Persistensi Cendawan Entomopatogen