berwarna abu-abu, halus, pecah-pecah, dan bersisik. Daunnya berbentuk hati dengan bagian atas daun berwarna hijau tua dan mengkilap. Sedangkan sisi bawah
daun berwarna kekuningan. Buahnya berdaging, berbentuk bulat tidak teratur, massal, dan berbiji banyak, serta berwarna coklat kemerahan Orwa et al. 2009.
2.2.2 Syarat Tempat Tumbuh Longkida
Longkida biasanya tumbuh pada jenis tanah alluvial di sepanjang pinggiran sungai. Jenis ini juga dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang
sering terjadi banjir. Longkida termasuk jenis pionir, tumbuh pada ketinggian tempat 0
–500 m dpl, suhu tahunan rata-rata 25 °C, dan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 800
–3.800 mm Orwa et al. 2009.
2.2.3 Kegunaan Longkida
Longkida dibudidayakan karena kayunya dapat digunakan sebagai bahan ukiran, bahan baku pembuatan kertas, serta dapat digunakan untuk kebutuhan
interior bangunan, seperti kusen dan lantai. Kayunya mudah dipotong cheesewood, tetapi tidak tahan terhadap paparan cuaca dalam waktu yang lama.
Selain itu, kayu longkida telah terbukti dapat menjadi racun bagi rayap Cryptotermes domesticus.
Akan tetapi, kayu gubalnya rentan terhadap serangan Lyctus.
Daun dan kulit batangnya digunakan sebagai obat sakit perut, gigitan binatang, dan luka. Bunga-bunganya yang berwarna kuning merupakan sumber
nektar untuk pemeliharaan lebah. Di Malaysia, buah longkida dimanfaatkan sebagai sumber makanan bekantan Nasalis larvatus. Buahnya juga dimakan oleh
penduduk asli Australia, rubah terbang, dan burung, meskipun terasa pahit Orwa et al.
2009.
2.3 Ketahanan Resistensi terhadap Toksik
Fitter dan Hay 1991 menyatakan bahwa beberapa jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah-tanah yang mengandung tingkat ion toksik yang dapat
mematikan untuk spesies lain. Ada empat mekanisme utama hingga hal tersebut dapat terjadi, diantaranya:
1. Penghindaran escape fenologis, apabila stress yang terjadi pada tanaman
bersifat musiman, tanaman menyesuaikan dengan siklus hidupnya, sehingga tumbuh dalam musim yang sangat cocok saja.
2. Eksklusi, dengan cara mengenali ion yang toksik dan mencegah agar tidak
terambil, sehingga tidak mengalami toksisitas. 3.
Penanggulangan ameliorasi, dengan cara mengabsorbsi ion tersebut, tetapi bertindak sedemikian rupa untuk meminimumkan pengaruhnya.
Jenis ini meliputi pembentukan kelat chelation, pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi, dengan cara mengembangkan sistem metabolis yang dapat
berfungsi pada konsentrasi toksik yang potensial, mungkin dengan molekul enzim.
Adanya berbagai alasan, tidaklah mungkin satu tanaman menyingkirkan ion toksik. Jika konsentrasi internal harus dihadapi, ion-ion akan dipindahkan dari
tempat sirkulasi dengan beberapa jalan atau menjadi toleran di dalam sitoplasma. Bentuk preoses yang pertama tersebut didefinisikan di sini sebagai ameliorasi.
Terdapat empat pendekatan, yaitu: 1.
Lokalisasi, intra atau ekstra seluler dan biasanya di dalam akar. 2.
Ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk, atau secara pasif dengan akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun lepasnya
daun. 3.
Dilusi melemahkan, terutama penting dalam kaitan dengan salinitas. 4.
Inaktivasi secara kimia, sehingga ion ada dalam bentuk kombinasi dengan toksisitas yang berkurang.
2.4 Air Asam Tambang
Air Asam Tambang AAT atau Acid Mine Drainage AMD adalah air yang terdapat atau berasal dari areal pertambangan yang bersifat asam sebagai
hasil reaksi oksidasi antara batuan yang mengandung mineral sulfida seperti pirit FeS
2
dan pirotit FeS dengan udara dan air, yang dikatalisasi oleh bakteri Thiobacillus ferrooxidans
Johnson dan Hallberg 2005. Nugraha 2010 menyatakan ada beberapa mineral sulfida yang umum ditemukan pada kegiatan
pertambangan, yaitu pyrite FeS
2
, chalcocite Cu
2
S, cuvellite CuS, chalcopyrite
CuFeS
2
, molybdenite MoS
2
, millerite NiS, galena PbS, sphalerite
ZnS, dan arsenopyrite FeAsS. Gautama et al. 2003 dalam
Wahyuni 2008 menyatakan bahwa pirit FeS
2
merupakan penghasil air asam tambang yang paling signifikan di areal pertambangan batubara.
Nugraha 2010 mengemukakan bahwa penanganan masalah air asam tambang dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan pembentukan air asam tambang
dan penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, khususnya yang akan keluar dari lokasi kegiatan penambangan. Pencegahan pembentukan air asam
tambang dapat dilakukan dengan mengurangi kontak antara mineral sulfida dengan air dan oksigen di udara. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut, yaitu
menempatkan batuan PAF Potentially Acid Forming di bawah permukaan air, dengan penetrasi oksigen terhadap lapisan air yang sangat rendah atau dikenal
dengan istilah wet cover systems, atau di bawah lapisan batuanmaterial tertentu dengan tingkat infiltrasi air dan difusiadveksi oksigen yang rendah, umumnya
disebut sebagai dry cover system. Dengan menerapkan metode ini, diharapkan pembentukan air asam tambang dapat dihindari.
Penanganan air asam tambang yang telah terbentuk, yang berpotensi keluar dari lokasi penambangan, dilakukan untuk mencapai kondisi kualitas air
seperti yang disyaratkan dalam peraturan pemerintah tentang kualitas air Nugraha 2010. Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menghilangkan kandungan
logam terlarut dan meningkatkan pH ke kondisi netral Skousen et al. 1998 dalam Kirby dan Cravotta 2005 dalam Fajrin 2006. Teknik pengendalian air asam
tambang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni perlakuan aktif active treatment
dan perlakuan pasif passive treatment. Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH dan menurunkan
kelarutan logam Skousen et al. 1990 dalam Munawar 2007. Prinsip perlakuan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami
Munawar 2007. Skousen dan Ziemkiewicz 1996 dalam Munawar 2007 menyatakan bahwa perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan
intensif. Faulkner dan Skousen 1994 dalam Munawar 2007 menyatakan bahwa pengendalian pasif air asam tambang juga sangat beragam, di antaranya adalah
lahan basah buatan constructed wetland. Munawar 2007 menyatakan bahwa pada teknik ini bahansubstrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan
penting. Skousen et al. 1996 dalam Munawar 2007 menyatakan bahwa
tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti:
1. Konsolidasi substrat oleh akar tanaman dengan cara memegang substrat
bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland. 2.
Stimulasi proses jasad renik melalui penyediaan tapak site oleh tanaman untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya,
menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof. 3.
Tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi satwa liar, sehingga dapat membentuk habitat satwa liar.
4. Lahan basah dengan tanamannya lebih enak dipandang mata estetika.
5. Akumulasi logam.
Keppler dan McClearly 1994 dalam Johnson dan Hallberg 2005 menyatakan bahwa secara umum terdapat empat metode penanganan air asam
tambang secara pasif. Masing-masing metode memiliki keunggulan serta kelemahan, sehingga perlu dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang
optimum. Metode-metode tersebut adalah: 1.
Aerobic Wetland, umumnya digunakan dalam penanganan air asam tambang tipe net alkalin. Hal ini disebabkan karena ion H
+
yang dihasilkan dari reaksi oksidasi Fe
2+
dan hidrolisis Fe
3+
dalam proses remediasi pada sistem akan menurunkan pH air asam tambang. Air asam tambang
dialirkan pada permukaan wetland yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis cat tail Typha
sp. yang tumbuh di atas tanah atau substrat organik.
2. Organic Substrate Wetland, juga disebut dengan istilah kompos wetland.
Pada wetland jenis ini, air asam tambang mengalir melalui lapisan organik yang relatif tebal. Lingkungan anaerobik yang terbentuk dalam lapisan
organik tersebut menstimulasi terjadinya proses mikrobiologis yang menghasilkan alkalinitas dan sulfida yang mampu meningkatkan pH dan
mengendapkan logam. Oleh karena itu, sistem ini tepat digunakan dalam pengolahan air asam tambang net acid dengan konsentrasi logam yang
tinggi.
3.
Anoxic Limestone Drainage ALD adalah pengolahan air asam tambang
dengan memanfaatkan batu gamping dalam sebuah konstruksi yang tertutup untuk membentuk kondisi aerobik. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya filtrasi oksigen yang menyebabkan timbulnya armoring
pada batu gamping. Peningkatan pH air asam tambang pada sistem tersebut berlangsung melalui reaksi keterlarutan CaCO
3
batu gamping yang menghasilkan alkalinitas.
4. Successive Alkalinity Producing System SAPS adalah sistem pengolahan
yang mengkombinasikan penggunaan kompos wetland dan ALD.
2.5 Rawa Buatan untuk Reklamasi Daerah Pertambangan