Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) Kabupaten Buru

(1)

PENGGUNAAN BAHAN ADSORBEN DAN PENGKELAT PADA

PROSES PEMURNIAN MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca

leucadendron LINN.) KABUPATEN BURU

SKRIPSI

WA HESTY

F34080143

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

The using of Adsorbent and Chelating Agent for Cajuput Oil

(Melaleuca leucadendron Linn) Purification

Wa Hesty and Chilwan Pandji

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, P.O. Box 220 Bogor 16002

West Java, Indonesia

e-mail: hesty.tin45@gmail.com, chilwanpandji@yahoo.com

ABSTRACT

Purification is one of method to improve the quality of cajuput oil. This study aims to identify and analyze the effect of citric acid and bentonite using to the yield, limpidity, metal content, and Buru cajuput oil quality based on SNI 06-3954-2006 (scent, color, specific gravity, index of refraction, optical rotation, and solubility in 70% ethanol). Variable process conditions studied were type of material purification (citric acid and bentonite) and their concentration were 0%, 1%, 2%, and 3%. The citric acid and bentonite using had an affect on yield, specific gravity, optical rotation and hadn’t an in with a limpidity and index of refraction based on statistical tests were performed using the SAS (Statistical Analysis System). Despitefully, citric acid using produced oil have been resulted on tranparent until greenish yellow colored, whereas the use of bentonite have produced oil that it is yellowed. The scent of cajuput oil hasn’t changed after the purification process. The best treatment was selected based on the value of limpidity, it was a purification treatment using 1% citric acid. Three types metals content (Cu, Fe, and Mg) decreased after purification using 1% citric acid. Other that, the content of cineol increased after purified from 40.73% to 43.82%. The results of refining oil by using citric acid and bentonite have meet in accordance with the ISO (2006).


(3)

Wa Hesty. F34080143. Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) Kabupaten Buru dibawah bimbingan Chilwan Pandji. 2012

RINGKASAN

Sebagai salah satu penghasil minyak atsiri terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut, 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yakni nilam, serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenanga, kayu putih dan kemukus.

Minyak kayu putih (MKP) merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak dikembangkan dan dimanfaatkan di Indonesia. Pada umumnya, minyak ini digunakan di bidang farmasi. Di samping itu, MKP digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan permen. Daerah sentra produksi minyak kayu putih terbesar di Indonesia adalah pulau Buru. Namun, sebagian besar teknologi penyulingan yang digunakan oleh petani MKP pada daerah masih bersifat tradisional dan warna yang dihasilkan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) serta masih mengandung logam yang terbawa pada saat penyulingan.

Berdasarkan SNI 06-3954-2006 tentang syarat mutu MKP, warna minyak yang dihasilkan adalah jernih sampai kuning kehijauan. Sebagian besar minyak yang dihasilkan masih berwarna hijau dan dalam bentuk minyak kasar tanpa dilakukan pemurnian lanjutan. Agar warna minyak yang dihasilkan sesuai dengan SNI tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemurnian yang baik untuk digunakan dengan membandingkan antara penggunaan bahan adsorben dan pengkelat terhadap rendemen dan mutu dari MKP tersebut.

Penelitian ini terdiri atas dua tahap yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku, jenis dan konsentrasi bahan pemurnian yang akan digunakan pada penelitian utama berdasarkan nilai kejernihan paling tinggi. Pengujian karakteristik bahan baku berdasarkan SNI MKP tahun 2006 meliputi pengujian fisiko-kimia (warna, bau, bobot jenis, indeks bias, kelarutan alkohol, putaran optik, dan sineol), nilai kejernihan, dan kandungan logam. Dari hasil yang didapatkan, secara umum karakteristik fisiko-kimia minyak kayu putih telah memenuhi SNI tersebut kecuali pada uji warna dan kandungan sineol. Berikut ini adalah data karaktersitik bahan baku yang digunakan yakni warna (hijau bening), bau (khas MKP), bobot jenis (0,9235), indeks bias (1,468), kelarutan dalam etanol 70% (1:6 jernih), putaran optik (-0,8°), kandungan sineol (40,73%), dan nilai kejernihan (81,30%). Uji kadar logam yang dilakukan meliputi kadar Cu, Fe, dan Mg dengan nilai masing-masing adalah 18,16 mg/l, 8,76 mg/l, dan 0,300 mg/l. Bahan-bahan pemurnian yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah tiga jenis bahan pengkelat (Asam Sitrat, Asam Tartarat, dan EDTA) dan tiga jenis bahan adsorben (Bentonit, Zeolit, dan Arang Aktif) dengan konsentrasi masing-masing bahan yang digunakan adalah 2%. Berdasarkan nilai kejernihan yang didapatkan, asam sitrat dan bentonit merupakan bahan pemurnian yang baik dengan nilai kejernihan (% transmitan) masing-masing adalah 99,95% dan 99,4%. Kedua jenis bahan ini digunakan sebagai bahan pemurnian pada penelitian utama dengan konsentrasi masing-masing yang digunakan terdiri atas empat konsentrasi, yakni 0%, 1%, 2%, dan 3%. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian utama adalah rendemen, pengujian fisiko-kimia sesuai SNI 06-3954-2006, kadar logam, dan kejernihan.

Rendemen minyak rata-rata yang dihasilkan adalah sebesar 87%. Rendemen tertinggi sebesar 92% diperoleh dari pemurnian MKP dengan menggunakan asam sitrat sebanyak 1%. Sedangkan rendemen terendah sebesar 84% yang diperoleh dari pemurnian MKP dengan bentonit 3%. Nilai transmitan rata-rata MKP hasil pemurnian adalah sebesar 88,87%. Nilai transmitan tertinggi sebesar


(4)

96,88% diperoleh dari hasil pemurnian MKP dengan menggunakan asam sitrat 1%. Nilai terendah sebesar 81,88% diperoleh dari hasil pemurnian dengan menggunakan kombinasi asam sitrat 3% dan bentonit 3%. Nilai kejernihan minyak kayu putih hasil pemurnian meningkat jika dibandingkan dengan nilai kejernihan sebelum pemurnian.

Analisa fisiko-kimia minyak kayu putih yang dilakukan terdiri atas uji bau, uji warna, bobot jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam etanol 70%, dan kandungan sineol dengan GC-MS. Bau MKP tidak mengalami perubahan setelah dilakukan proses pemurnian dimana bau yang ditunjukkan adalah khas minyak kayu putih. Warna minyak kayu putih setelah pemurnian adalah bening – kuning kehijaun dan kuning – kuning keemasan. Warna bening – kuning kehijauan dihasilkan dari penggunaan asam sitrat, sedangkan warna kuning – kuning keemasan dihasilkan dari penggunaan bentonit. Warna ini telah sesuai dengan SNI 2006 jika dibandingkan dengan warna MKP sebelum pemurnian yakni hijau. Nilai bobot jenis, putaran optik, indeks bias, dan kelarutan dalam etanol 70% minyak setelah pemurnian telah sesuai dengan standar SNI 2006. Adapun nilai bobot jenis yang didapatkan berkisar antara 0,9180 sampai dengan 0,9235. Berdasarkan SNI, kisaran nilai bobot jenis adalah 0,900-0,930. Nilai putaran optik setelah pemurnian berkisar antara -0,8° sampai dengan 0°. Berdasarkan SNI, kisaran nilai putaran optik adalah -4º sampai dengan 0°. Nilai indeks bias setelah pemurnian berkisar antara 1,467 sampai dengan 1,468. Berdasarkan SNI, kisaran nilai indeks bias adalah 1,450-1,470. Pada uji kelarutan dalam etanol 70%, MKP setelah pemurnian dapat larut (menjadi jernih) dalam kisaran volume etanol sebanyak 7 – 9 ml.

Perlakuan terbaik yang dipilih berdasarkan nilai kejernihan pada penelitian utama adalah MKP hasil pemurnian dengan menggunakan asam sitrat 1%. Pengujian kandungan logam dan kadar sineol dilakukan pada minyak tersebut. Dari hasil yang didapatkan, terlihat adanya penurunan kadar logam minyak setelah dilakukan proses pemurnian. Kandungan logam yang diuji terhadap MKP sebelum dan setelah pemurnian adalah tembaga (Cu), besi (Fe), dan magnesium (Mg). Kandungan logam MKP sebelum pemurnian adalah sebesar 18,16 mg/l, Fe (8,76 mg/l), dan Mg (0,300 mg/l). Sedangkan kandungan logam minyak setelah pemurnian adalah sebagai berikut Cu (<0,015 mg/l), Fe (7,50 mg/l), dan Mg (0,220 mg/l). dari data tersebut. Di samping itu, kandungan sineol mengalami peningkatn setelah dilakukan proses pemurnian. Kandungan sineol MKP setelah pemurnian menjadi 43,82%.

Pemucatan minyak kayu putih dengan menggunakan asam sitrat 1% tersebut ternyata dapat meningkatkan kejernihan minyak dari 81,30 % menjadi 96,88% dan menurunkan kandungan logam khususnya pada logam tembaga (Cu). Selain itu, proses pemurnian tersebut relatif tidak mengubah komposisi kimia, sedangkan sifat fisiknya berubah tetapi nilainya masih berada pada kisaran standar mutu yang ditetapkan SNI 2006 kecuali pada kadar sineol. Meski demikian, terjadi peningkatan kadar sineol setelah proses pemurnian.


(5)

PENGGUNAAN BAHAN ADSORBEN DAN PENGKELAT PADA

PROSES PEMURNIAN MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca

leucadendron LINN.) KABUPATEN BURU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

WA HESTY

F34080143

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

Judul skripsi : Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) Kabupaten Buru

Nama : Wa Hesty

NIM : F34080143

Menyetujui, Pembimbing,

(Drs. Chilwan Pandji, Apt., M.Sc) NIP 19491209 198011 1 001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul “Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron

Linn.) Kabupaten Buru” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan,

(Wa Hesty) F34080143


(8)

© Hak cipta milik Wa Hesty, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(9)

RIWAYAT HIDUP

Wa Hesty dilahirkan di Ambon pada tanggal 9 September 1989 sebagai anak

pertama dari empat bersaudara dari pasangan La Ndjai dan Wa Ridju. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN 79 kota Ambon pada tahun 1995-2001, dan melanjutkan ke SLTPN 14 kota Ambon pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2007, penulis menamatkan pendidikan di SMKN 1 Kabupaten Buru dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Pada tahun yang sama (2007), penulis mengikuti program Pra Universitas selama satu tahun (2007-2008) dan kemudian mengambil pilihan Departemen Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Minyak, Emulsi, dan Oleokimia pada tahun 2012. Pada tahun 2010, penulis mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan yang mendapatkan dana hibah dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Selain itu, penulis juga pernah melaksanakan program praktik lapang di PT. Takasago Indonesia dengan judul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses di PT. Takasago Indonesia, Purwokerto”. Pada tahun 2011, penulis diberikan kesempatan untuk mengikuti International Conference di Daegu, Korea Selatan. Pada masa perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa dari Pemda Kabupaten Buru. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) Kabupaten Buru” dibawah bimbingan Drs. Chilwan Pandji Apt, M. Sc.


(10)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah ىلاعت و هناحبس yangtelah melimpahkan segala rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “Penggunaan Bahan Adsorben dan Pengkelat Pada Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) Kabupaten Buru”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium DIT, dan Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB mulai bulan September hingga November 2012.

Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan baik secara moril maupun materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Keluarga tercinta khususnya kedua orang tua (ayah dan ibu) yang selalu menjadi sandaran baik suka maupun duka, yang telah memberikan segenap kasih saying, do’a, motivasi, dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya.

2. Drs. Chilwan Pandji, Apt. M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi atas segala bantuan dalam memberikan arahan, do’a, serta kesabaran dalam membimbing penulis. 3. Dr.Ir. Mulyorini Rahayuningsih M.Si dan Dr.Endang Warsiki, S.TP., M.Si selaku dosen

penguji atas segala bantuan berupa kritik, saran, masukan, motivasi serta nasehat yang telah diberikan demi kelancaran dalam menyelesaikan tugas skripsi ini.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah – IPB pada tahun 2007.

5. Staf pegawai TIN khususnya pegawai laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian. 6. Teman-teman di Asrama Putri Darmaga (APD) khususnya angkatan tengsin yang tercinta,

teh Via, ceu Am, dan angkatan tumbang ( rE.tik & rE.gen).

7. Keluarga besar TIN45 atas kebersamaan, semangat, dan bantuannya.

8. Reny, Mitut, Comel, dan mb Yuyun atas kebersamaan, bantuan dan perhatiannya. 9. Isma dan Priska sebagai teman satu bimbingan atas dorongan, saran, dan semangatnya. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu

Dengan segala kekurangan yang masih banyak terdapat di dalamnya, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga tulisan ini menjadi satu amalan baik penulis di hadapan Allah ىلاعت و هناحبس . Amin.

Bogor, Februari 2013


(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Minyak Atsiri ... 3

2.2. Tanaman Kayu Putih ... 6

2.3. Minyak Kayu Putih ... 7

2.4. Pemurnian Minyak Kayu Putih ... 10

2.5. Bentonit ... 12

2.6. Asam Sitrat ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1. BAHAN DAN ALAT ... 14

3.2. METODE PENELITIAN ... 14

3.3. RANCANGAN PERCOBAAN ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1. Penelitian Pendahuluan ... 18

4.1.1. Bahan Baku ... 18


(12)

4.2. Penelitian Utama ... 20

4.2.1. Rendemen ... 20

4.2.2. Kejernihan (% Tarnsmitan) ... 21

4.2.3. Ion Logam ... 23

4.2.4. Sifat Fisikokimia berdasarkan SNI (2006) ... 24

4.2.4.1. Bau dan Warna ... 24

4.2.4.2. Bobot Jenis ... 25

4.2.4.3. Indeks Bias ... 26

4.2.4.4. Kelarutan dalam Etanol 70% ... 27

4.2.4.5. Putaran Optik ... 28

4.2.4.6. Kromatografi Gas (GC-MS) ... 30

4.3. Analisa Finansial ... 33

4.3.1. Investasi ... 33

4.3.2. Biaya Produksi ... 34

4.3.3. Pendapatan ... 34

4.3.4. Keuntungan Per Tahun ... 35

4.3.5. Pertimbangan Usaha ... 35

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 36

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(13)

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih 8

Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Kayu Putih (SNI 06-3954-2006) 9

Tabel 3. Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Kasar 18

Tabel 4. Data Kelarutan Minyak Kayu Putih dalam Etanol 70% 28

Tabel 5. Data Putaran Optik Minyak Kayu Putih 29

Tabel 6. Komponen Kimia dalam Minyak Kayu Putih 31

Tabel 7. Perbandingan Karakteristik Minyak Kayu Putih dengan SNI 06-3954-2006 32

Tabel 8. Rincian Biaya Tetap Pemurnian Minyak Kayu Putih 34


(15)

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Struktur Asam Sitrat... 13 Gambar 2. Prosedur Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih... 16

Gambar 3. Histogram Nilai Kejernihan masing-masing Bahan Pemurnian 20

Gambar 4. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Rendemen Minyak Kayu Putih 20 Gambar 5. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Nilai Kejernihan (% transmisi) 22 Gambar 6. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Bobot Jenis Minyak Kayu Putih 25 Gambar 7. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Indeks Bias Minyak Kayu Putih 27


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Prosedur Analisa Mutu Minyak Kayu Putih 38

Lampiran 2 Rendemen Hasil Pemurnian Minyak Kayu Putih 44

Lampiran 3 Nilai Kejernihan (% Transmitan) Minyak Kayu Putih 46

Lampiran 4 Gambar Warna Minyak Kayu Putih 48

Lampiran 5 Bobot Jenis Minyak Kayu Putih 49

Lampiran 6 Indeks Bias Minyak Kayu Putih 51

Lampiran 7 Putaran Optik Minyak Kayu Putih 53

Lampiran 8 Kromatogram Minyak Kayu Putih 55


(18)

(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Sebagai salah satu penghasil minyak atsiri terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut, 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yakni nilam, serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenanga, kayu putih dan kemukus (Rizal dan Muhammad 2006). Salah satu jenis minyak atsiri yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah Minyak Kayu Putih. Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri yang disuling dari daun tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn) atau M.cajeputi Roxb. (famili Myrtaceae) yang dikenal juga sebagai kayu gelam. Jenis lain yang banyak diusahakan adalah M.minor Smith, dan M.viridiflora Gartn (Guenther 1987).

Industri minyak kayu putih (MKP) yang telah ada hingga sekarang ini memberikan implikasi yang cukup baik bagi perekonomian masyarakat sekitar hutan maupun kegunaannya. Sebagian besar minyak kayu putih digunakan dalam industri farmasi sebagai obat-obatan. Minyak ini dapat digunakan sebagai obat dalam dan obat luar. Minyak kayu putih sangat efesien dalam menanggulangi masuk angin dan kolera. Sebagai obat luar, minyak ini digunakan untuk menghangatkan badan dengan menggosokkan pada bagian anggota tubuh serta pelindung tetanus. Saat ini, minyak kayu putih juga dapat digunakan bahan baku dalam pembuatan permen (Cajuput candy). Menurut Halimah (1997 ) cajuput candy memiliki flavor top note yang baik karena kesan karaktersitik flavor khas saat mengkonsumsinya.

Berbagai manfaat yang didapatkan dari MKP tersebut, memberikan pengaruh terhadap penggunaannya oleh masyarakat Indonesia maupun dunia. Pemanfaatan tersebut tidak didukung dengan kualitas yang baik. Salah satu sentra produksi MKP terbesar di Indonesia adalah pulau Buru. Sebagian besar industri MKP di pulau Buru masih berskala kecil atau menengah dengan teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana dan tradisional. Hal ini terlihat dari minyak yang dihasilkan tidak sesuai dengan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) khususnya dari segi warna dan kandungan lainnya.

Menurut Standar Nasional Indonesia (2006), warna MKP yang dihasilkan adalah bening hingga kuning kehijauan. Sebagian besar warna MKP yang dihasilkan industri kecil di Kabupaten Buru adalah hijau. Hal ini dikarenakan penggunaan teknologi yang masih bersifat tradisional dimana ketel yang digunakan terbuat dari tembaga (Cu). Menurut Guenther (1990), warna hijau dari minyak kayu putih terjadi karena pembentukan kelat dengan logam wadah distilasi. Di samping itu, logam yang terkandung dalam minyak nabati dapat berasal dari tanah, pupuk, dan peralatan pengolahan (Bati dan Chen dalam Hasrul et al.

2011). Keberadaan logam tersebut akan mempengaruhi perubahan kualitas minyak (bau, rasa, dan warna) serta stabilitas minyak. Di samping itu, keberadaan logam ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan dimana penggunaannya berkaitan dengan kulit dan organ dalam manusia. Menurut Supriyanto (2007), logam akan membahayakan kesehatan manusia jika dikonsumsi secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Di samping itu, efek utama yang timbul akibat penggunaan bahan yang mengandung logam adalah terjadinya kerusakan ataupun iritasi pada selaput lendir yang berhubungan dengan hidung akibat debu atau uap tembaga (Winarno


(20)

1992). Menurut Mardiyono dan Hidayati (2009), penumpukan jumlah Cu di dalam hati dapat menyebabkan keracunan akut (nekrosis atau serosis hati).

Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas mutu warna minyak yang sesuai dengan SNI dan menurunkan kadar logam yang terkandung pada minyak sehingga aman dalam penggunaannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan proses pemurnian. Pemurnian merupakan suatu proses untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia ataupun fisika. Pemurnian secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik dan lebih rumit. Untuk metode pemurnian kimiawi, bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan adsorben atau senyawa pengomplek tertentu (Hernani dan Tri 2006).

Dua bahan yang sering digunakan adalah bentonit dan asam sitrat. Bentonit merupakan activated clay yang mempunyai efisiensi pemurnian cukup tinggi. Sedangkan asam sitrat merupakan senyawa pembentuk kompleks yang dapat mengikat ion logam sehingga aktivitas ion logam dalam suatu produk dapat dihambat. Penelitian-penelitian mengenai pemurnian minyak atsiri dengan bentonit dan asam sitrat telah banyak dilakukan. Menurut Rohayati (1997), pemurnian dengan menggunakan bentonit 2% akan meningkatkan mutu warna minyak akar wangi dari coklat gelap menjadi kuning kecoklatan. Selain itu, Marwati et al. (2005), menyatakan bahwa pemurnian minyak dengan menggunakan bentonit 3% akan menghasilkan minyak dengan kejernihan warna yang lebih baik. Marshall et al. (1999) menyatakan bahwa asam sitrat mampu melakukan penyerapan terhadap logam Cu dalam suatu cairan dan air limbah. Pemurnian secara pengkelatan dengan asam sitrat 0,6% juga menunjukkan peningkatan kejernihan dan kualitas minyak (Marwati et al 2005).

1.2.

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui jenis bahan adsorben dan pengkelat terbaik untuk memurnikan minyak kayu putih.

2. Mengetahui pengaruh jenis adsorben dan pengkelat terbaik terhadap rendemen, nilai kejernihan, dan analisa mutu minyak kayu putih.

3. Mengetahui perlakuan terbaik dari proses adsorbsi dan pengkelatan serta membandingkannya dengan minyak sebelum pemurnian.

4. Menganalisis dan membandingkan minyak hasil pemurnian perlakuan terbaik berdasarkan SNI 06-3954-2006.


(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan campuran berbagai senyawa organik yang mudah menguap, mudah larut dalam pelarut organik dan mempunyai bau khas sesuai dengan tumbuhan penghasilnya. Selain itu, minyak atsiri merupakan senyawa organik yang berasal dari tumbuhan dan bersifat mudah menguap, mempunyai rasa getir, dan bau mirip tanaman asalnya. Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang atau sering pula disebut dengan essential oil. Menurut Guenther (1987) istilah minyak eteris digunakan untuk minyak yang mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan metode ekstraksi. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan minyak/lemak dengan minyak atsiri dari tanaman penghasilnya yang berbeda. Bahan baku minyak ini diperoleh dari berbagai bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, kulit batang, akar, dan rimpang.

Minyak atsiri sangat banyak digunakan berdasarkan jenis tumbuhan asalnya. Minyak atsiri digunakan sebagai bahan baku dalam perisa maupun pewangi (flavour dan

fragrance ingerdients). Tanaman minyak atsiri dan produk turunan metabolisme sekundernya memiliki kegunaan yang baik dan populer untuk industri obat-obatan (kedokteran), perasa makanan, parfum, dan farmasi (Satil dalam Alma et al. 2007). Industri kosmetik dan parfum menggunakan minyak atsiri kadang sebagai bahan pewangi pembuatan sabun, pasta gigi, samphoo, lotion dan parfum. Industri makanan menggunakan minyak atsiri setelah mengalami pengolahan sebagai perisa atau menambah cita rasa. Industri farmasi menggunakannya sebagai obat anti nyeri, anti infeksi, dan pembunuh bakteri. Fungsi minyak atsiri sebagai fragrance juga digunakan untuk menutupi bau tak sedap pada bahan-bahan lain seperti obat pembasmi serangga yang diperlukan oleh industri bahan pengawet dan bahan insektisida. Menurut Koul et al. (2008) pestisida yang berasal dari minyak atsiri atau kandungan utamanya mampu mengatasi serangan hama pengganggu dan beberapa jamur patogen tanaman pertanian yang menyebabkan penyakit pada pro dan

pasca panen.

2.1.1.

Komposisi Kimia

Komposisi kimia minyak atsiri berhubungan erat dengan jenis tanaman penghasil, iklim, tanah, umur panen, metode pengolahan dan cara penyimpanan. Beberapa senyawa kimia yang mudah menguap pada minyak atsiri adalah alkohol, aldehid, keton, dan ester. Senyawa ini terdapat dalam minyak atsiri dalam jumlah kecil. Sebagian besar komponen – komponen minyak atsiri merupakan senyawa yang hanya mengandung atom karbon dan atom hidrogen, atau senyawa yang mengandung atom karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatis. Senyawa-senyawa ini secara umum disebut terpenoid (Achmad dalam Sembiring 2011). Menurut Guenther (1987), campuran senyawa kimia minyak atsiri terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), dan sulfur (S). Di samping itu, komponen yang menyusun minyak atsiri dapat tebagi dua golongan, yaitu golongan hidrokarbon dan hidrokarbon beroksigen (oxygenated hydrocarbon).


(22)

2.1.1.1.

Golongan Hidrokarbon

Senyawa ini tersusun dari unsur-unsur hidrogen (H) dan karbon (C) yang terdapat dalam bentuk terpen, parafin, olefin, dan hidrokarbon aromatik. Terpen merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh dengan unit yang tersusun dari unit isoprene (C5H8). Unit ini yang berkondensasi dengan cara persambungan antara kepala dengan ekor isopentenilpirofosfat dan dimetil alilpirofosfat sehingga menghasilkan geranil pirofosfat yang selanjutnya mengalami reaksi sekunder seperti hidrolisa, isomerisasi, , oksidasi, reduksi maupun dehidrasi untuk menghasilkan senyawa terpen maupun senyawa terpenoid yang terdapat didalam tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan jumlah isopren, terpen dapat dibedakan atas monoterpen (dua unit isopren), seskuiterpen (tiga unit isopren), diterpen (empat unit isopren), dan politerpen.

Senyawa terpen kurang berbau wangi, sukar larut dalam alkohol encer dan tidak tahan terhadap cahaya dan udara. Santonin merupakan jenis terpen yang menyebabkan senyawa terpen tidak berbau (Sirait 2007). Jika disimpan dalam waktu yang lama akan terpolarisasi dan membentuk sejenis resin yang sukar larut dalam alkohol (Guenther 1987).

2.1.1.2.

Golongan

Hidrokarbon

Beroksigen

(

Oxygenated

Hydrocarbon

)

Komponen kimia golongan hidrokarbon beroksigen terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Ikatan atom karbon yang terdapat dalam molekulnya terdiri dari ikatan jenuh atau tidak jenuh. Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah alkohol, aldehid, keton, oksida, eter, ester, dan fenol. Golongan hidrokarbon terkoksigenasi merupakan senyawa yang penting dalam minyak atsiri karena aromanya yang lebih wangi.

2.1.2.

Sifat Fisikokimia

Setiap minyak atsiri mempunyai sifat-sifat yang berebeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sifat tersebut tergantung dari komposisi kimia yang menyusunnya, terutama senyawa terpen yang tidak jenuh, ester, asam, aldehid, alkohol, eter, dan keton (Guenther 1987) Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu kamar, larut dalam alkohol encer yang konsentrasinya kurang dari 70 persen. Oleh karena itu, minyak atsiri disebut sebagai minyak terbang. Sifat-sifat fisika minyak atsiri yakni bau yang karaktersitik, bobot jenis, indeks bias yang tinggi, larut dalam alkohol, dan bersifat optis aktif.

a. Bobot Jenis

Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu 25°C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Penentuan bobot jenis menggunakan alat piknometer. Berat jenis minyak atsiri umumnya berkisar antara 0,800-1,180 Bobot jenis


(23)

merupakan salah satu kriteria penting dalam penentuan mutu dan kemurnian minyak atsiri (Guenther 1987).

b. Indeks Bias

Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Penentuan indeks bias menggunakan alat Refraktometer. Prinsip penggunaan alat adalah penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda, kemudian terjadi pembiasan (perubahan arah sinar) akibat perbedaan kerapatan media. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu zat dan deteksi ketidakmurnian (Guenther 1987).

c. Putaran Optik

Setiap jenis minyak atsiri memiliki kemampuan memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kiri atau kanan. Besarnya pemutaran bidang polarisasi ditentukan oleh jenis minyak atsiri, suhu, dan panjang gelombang cahaya yang digunakan. Penentuan putaran optik menggunakan alat Polarimeter (Ketaren 1985). Pada umumnya, minyak atsiri bersifat optis aktif dan memutar bidang polarisasi dengan rotasi yang spesifik karena banyak komponen penyususun yang memiliki atom C asimetrik (Gunawan dan Mulyani 2004).

d. Kelarutan Dalam Alkohol

Sebagian besar minyak atsiri larut dalam pelarut organik pada berbagai tingkat konsentrasi. Salah satunya adalah alkohol. Penentuan kelarutan minyak ini tergantung pada kecepatan daya larut dan kualitas minyak. Minyak atsiri yang kaya akan komponen oxygenated lebih mudah larut dalam alkohol dibandingkan kandungan terpen. Konsentrasi alkohol yang sering digunakan untuk menentukan kelarutan minyak atsiri adalah 50%, 60%, 70%, 80%, 95%, dan kadang-kadang 65% dan 75%.

Menurut Guenther (1987), minyak atsiri yang baru diekstrak biasanya berwarna kekuning-kuningan atau tidak berwarna. Beberapa minyak atsiri ada yang berwarna kemerah-merahan, kehijauan dan ada pula yang kebiruan. Warna minyak yang kekuning-kuningan, kemerah-merahan atau kecoklatan terjadi jika minyak disuling dalam alat penyuling yang terbuat dari besi. Selain itu, warna hijau dihasilkan dari penyulingan minyak dengan menggunakan alat penyuling yang terbuat dari tembaga.

Minyak atsiri dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan perubahan sifat kimia minyak atsiri yaitu dengan proses oksidasi, hidrolisa, dan resinifikasi.

a. Oksidasi

Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida yang bersifat labil akan berisomerisasi dengan adanya air, sehingga membentuk senyawa aldehid, asam organik, dan keton yang menyebabkan perubahan bau yang tidak dikehendaki.


(24)

b. Hidrolisis

Proses hidrolisis terjadi pada minyak atsiri yang mengandung ester. Proses hidrolisis ester merupakan proses pemisahan gugus OR dalam molekul ester sehingga terbentuk asam bebas dan alkohol. Ester akan terhidrolisis secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai katalisator.

c. Resinifikasi

Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin, yang merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk

selama proses pengolahan (ekstraksi) minyak yang

mempergunakan tekanan dan suhu tinggi selama penyimpanan.

2.2.

Tanaman Kayu Putih

Kayu putih (Melaleuca leucadendron) adalah pohon perdu yang banyak tumbuh di kepulauan Hindia Timur (Indonesia), Semenanjung Malaya, dan di beberapa tempat di sekitarnya. Di Malaysia, hutan kayu putih terdapat di daerah pantai dan pegunungan. Sedangkan di Pulau Buru dan Seram, daun kayu putih dalam jumlah besar dapat diperoleh dari pohon kayu putih yang tumbuh liar sehingga tidak perlu dibudidayakan (Guenther 1990). Menurut Core (1955) dalam Sunanto (2003), dalam sistematika tanaman kayu putih (M. leucadendronLinn) memiliki susunan klasifikasi seperti berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Subkelas : Archichlamideae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Melaleuca

Species : Melaleuca leucadendron Linn

Pohon kayu putih dapat mencapai ketinggian 45 kaki. Pohon ini sangat kuat dan resisten, serta dapat mematikan tanaman lainnya dan tidak dapat dimusnahkan dengan cara menebang atau membakar (Guenther 1990). Kayu putih memiliki kayu yang agak keras dan berat, berserabut panjang, bewarna putih kelabu dengan sedikit merah menyelusur diantaranya. Kulit dari pohon kayu putih berukuran setebal jari dan terdiri atas lembaran-lembaran kecil yang lembut, sangat tipis dan tak terhitung jumlahnya. Di pulau Buru, kulit pohon kayu putih digunakan sebagai bahan pada pembungkus botol-botol minyak kayu putih (Heyne 1985).

Perbungaan majemuk bentuk bulir, bunga bebentuk seperti lonceng, daun mahkota berwarna putih kekuningan, keluar di ujung percabangan. Buah panjang 2,5 – 3 mm, lebar 3 – 4 mm, warnanya coklat muda sampai coklat tua. Bijinya halus, sangat ringan seperti sekam, berwarna kuning. Buahnya sebagai obat tradisional disebut merica bolong. Ada beberapa varietas pohon kayu putih. Ada yang kayunya berwarna meah, dan ada yang kayunya berwarna putih. Rumphius membedakan kayu putih dalam varietas daun besar dan varietas daun kecil. Varietas yang berdaun kecil digunakan untuk bahan baku pembuatan minyak kayu putih.


(25)

Tanaman kayu putih telah banyak dimanfaatkan masyarakat Indonesia untuk berbagai keperluan terutama sebagai bahan untuk mengatasi berbagai macam gangguan kesehatan. Pemanfaatan tanaman kayu putih ini telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebelum adanya teknologi. Daun kayu putih digunakan untuk mengurangi gatal atau pembengkakan karena gigitan serangga. Daun kayu putih juga diekstrak atau dikeringkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan ramuan untuk penambah stamina. Selain itu, tanaman kayu putih pada saat ini mulai banyak ditanam di pekarangan rumah sebagai pengusir nyamuk karena aromanya yang khas.

Di Kalimantan Barat, tanaman kayu putih ini juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat lokalnya, seperti bagian kulit batang kayu putih dapat dimanfaatkan sebagai penutup celah-celah atau lubang-lubang pada perahu agar tidak bocor dan buahnya dapat digunakan sebagai jamu atau obat-obatan tradisional. Selain itu, tanaman kayu putih ini merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri dari tanaman kayu putih dapat diperoleh dari penyulinga daun kayu putih. Minyak ini biasa disebut dengan minyak kayu putih atau dalam perdagangan internasional disebut dengan cajeput oil

(cajuput oil).

2.3.

Minyak Kayu Putih

Minyak kayu putih (MKP) merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Minyak ini berasal dari daun kayu putih segar dan ranting (terminal branchlet) dari beberapa spesies Melaleuca, yang diperoleh melalui proses penyulingan (Guenther 1990). Daun yang digunakan adalah daun yang berasal dari tanaman muda sebab kandungan minyaknya lebih tinggi. menurut Guenther (1990), warna hijau dari minyak kayu putih terjadi karena pembentukan kelat dengan logam wadah destilasi, dan warna kuning terjadi jika minyak kayu putih disimpan dalam drum besi digalvanisir selama 2-3 bulan. Selain itu, penyulingan daun kayu putih dengan menggunakan alat stainless stell menghasilkan minyak yang berwarna kuning. Warna minyak kayu putih bervariasi, dari tidak berwarna, kuning, sampai hijau dengan aroma champor yang aromatik dan rasa champor yang pahit (James 1989).

Minyak kayu putih sedikit larut dalam air dan larut dalam etanol 80%, kloroform, eter, dan karbon disulfida. Menurut Heyne (1985), pemalsuan minyak kayu putih banyak sekali terjadi dan umumnya dilakukan dengan penambahan minyak tanah atau bensin. Minyak kayu putih kadang-kadang juga dicampur dengan asam lemak oleh petani produsen atau pedagang perantara. Bau minyak kayu putih sedemikian kerasnya, sehingga saat dilakukan penambahan keosen atau asam lemak, minyak kayu putih tersebut tidak menunjukkan perubahan bau. Uji sederhana yang digunakan oleh pedagang pribumi adalah dengan cara mengocok minyak kayu putih dalam botol. Jika terbentuk busa dan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan tidak segera hilang, hal ini menandakan bahwa minyak kayu putih tersebut telah dipalsukan.

2.3.1.

Komposisi Kimia

Konstituen utama dalam minyak kayu putih memiliki rumus empiris molekuler C10H18O yang disebut dengan cajuput hydrate dan cajuputol. Kedua senyawa ini kemudian dikenal dengan sineol. Selain sineol, menurut Duke (1992), minyak kayu putih juga mengandung 10% senyawa kristalin fenolic,


(26)

3,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon. Menurut Budavari (1989), minyak kayu putih mengandung 50-60% sineol, L-pinene, terpineol, valeric, butyric, benzoic, dan aldehid lainnya. Di samping itu, senyawa-senyawa utama yang terdapat pada minyak kayu putih terdapat pada tabel sebagai berikut (Guenther 1990) :

Tabel 1. Komponen Penyusun Minyak Kayu Putih

No Komponen Rumus Molekul Titik Didih (°C)

1 Cineol C10H18O 174-177

2 Terpineol C10H17OH 218

3 Pinene C10H18 156-160

4 Benzaldehyde C6H5O 179,9

5 Limonene C10H16 175-176

6 Sesquiterpene C15H24 230-277

2.3.2.

Sifat Fisikokimia dan Mutu Minyak Kayu Putih

Minyak atsiri yang berasal dari daun minyak kayu putih yang diperoleh melalui proses penyulingan. Daun yang digunakan adalah daun yang berasal dari tanaman muda (tidak lebih dari 6 bulan) sebab kandungan minyaknya lebih tinggi. Pemalsuan minyak kayu putih banyak sekali terjadi dan umumnya dilakukan dengan penambahan minyak tanah atau bensin (Heyne 1985).

Warna minyak kayu putih adalah hijau bening, yang disebabkan karena tembaga dari ketel-ketel penyulingan minyak kayu putih dan senyawa organik yang kemungkinan adalah klorofil. Warna hijau minyak atsiri disebabkan karena tembaga, maka warna tersebut dapat dipisahkan dengan minyak kayu putih aslinya dengan menggunakan larutan asam tartarat pekat. Namun apabila warna hijau tersebut disebabkan karena klorofil atau bahan organik lainnya, maka minyak itu dapat dipucatkan dengan menggunkan karbon aktif. Proses rektifikasi juga dapat mengeliminasi warna. Namun demikian, rektifikasi minyak kayu putih tidak dilakukan di daerah-daerah produksi.

Menurut James (1989) warna minyak kayu putih bervariasi, dari tidak berwarna, kuning sampai hijau dengan aroma champor yang aromatik dan rasa champor yang pahit, mengandung 10% senyawa kristalin fenolic,5-dimetil-4,6-di-o-metilfloroasetopinon. Senyawa ini dianggap memiliki daya antiseptik menurut Guenther (1990).

Minyak kayu putih kadang-kadang dicampur dengan asam lemak atau dengan kerosen oleh petani produsen atau pedagang perantara. Bau minyak kayu putih sedemikian kerasnya sehingga saat dilakukan penambahan kerosen atau asam lemak, minyak kayu putih tersebut tidak menunjukkan perubahan bau. Uji sederhana yang digunakan oleh pedagang pribumi adalah dengan cara mengocok minyak kayu putih di dalam botol. Jika terbentuk busa dan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan tidak segera hilang, hal ini menandakan bahwa adanya penambahan kerosen atau bensin kedalamnya

.

Mutu merupakan gabungan sifat-sifat khas suatu bahan yang akan mempengaruhi tingkat penerimaan dari konsumen. Sifat tersebut dapat berasal dari


(27)

faktor alami (intrinsik) ataupun dari proses pengolahan (ekstrinsik) (Wijandi 1981). Mutu suatu produk sebagai keluaran dari proses pengolahan atau industri sangat dipengaruhi oleh mutu bahan baku sebagai masukan dan teknologi proses pengolahannya. Dalam perdagangan dan perindustrian skala besar telah digunakan standarisasi yang lebih baku. Badan Standarisasi Nasional Indonesia telah menetapkan SNI 06-3954-2006 sebagai standar minyak kayu putih. Berikut ini adalh syarat mutu minyak kayu putih berdasarkan SNI 06-3954-2006.

Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Kayu Putih (SNI 06-3954-2006)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan -

1.1. Warna - Jernih sampai kuning kehijauan

1.2. Bau - Khas kayu putih

2 Bobot Jenis 20°C/20°C - 0,900-0,930

3 Indeks Bias (nD20) - 1,450-1,470

4 Kelarutan dalam etanol 70% - 1:1 sampai 1:10 jernih

5 Putaran Optik - (-4)° s/d 0°

6 Kandungan Sineol % 50-65

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak kayu putih antara lain adalah perlakuan terhadap bahan baku penghasil minyak atsiri, jenis alat penyulingan, perlakuan minyak atsiri setelah ekstraksi, pengemasan dan penyimpanan bahan ataupun produk berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri (Guenther 1987).

2.4.

Pemurnian Minyak Kayu Putih

Warna dalam minyak atsiri sangat mempengaruhi mutu, penggunaan, dan harga. Minyak yang keruh dan berwarna gelap mempunyai mutu yang rendah. Kotoran yang terkandung dalam minyak dapat mempercepat kerusakan minyak terutama selama penyimpanan dan pengolahan selanjutnya (Muchlis dan Rusli 1988).

Untuk memperbaiki penampakan minyak yang gelap, diperlukan perlakuan khusus sehingga dihasilkan minyak yang jernih dan bening. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk pemurnian minyak atsiri, yaitu dengan redistilasi (penyulingan ulang) dan penggunaan bahan pemurnian. Bahan pemurnian dapat berupa adsorben atau senyawa pembentuk kompleks (senyawa pengkelat).

Pemurnian merupakan proses pemisahan zat warna dalam minyak. Proses pemurnian sering dilakukan dengan menggunakan adsorben yang mempunyai sifat menyerap warna dalam minyak. Selain itu, pemurnian dapat dilakukan dengan menggunakan zat kimia atau dengan pemanasan.

Menurut Kirk dan Othmer (1985), warna suatu substrat dapat dimurnikan dengan suatu bahan pemurnian melalui proses fisik dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi,, atau adsorpsi yang membuat suatu benda berwarna atau kotor menjadi lebih mudah lepas dan mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat pula melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk


(28)

menyerap cahaya, dengan mengubah derajat ketidakjenuhannya atau melalui reaksi kimia yang dapat membentuk kompleks.

Proses pemurnian dapat mengurangi kandungan komponen-komponen lain yang tidak diinginkan, seperti asam lemak bebas, peroksida, dan hasil pemecahannya (seperti aldehida dan keton) serta logam-logam transisi (Habile et al. 1992). Menurut Boki et al. (1992), pengurangan kandungan senyawa-senyawa tersebut akan mengurangi proses otooksidasi di dalam minyak karena senyawa-senyawa tersebut merupakan penginduksi proses otooksida.

Pemurnian minyak nabati telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis bahan pemurnian pada proses adsorbsi dan pengkelatan. Dua diantaranya adalah dengan menggunakan asam sitrat dan bentonit. Pemucatan minyak kelapa sawit secara adsorpsi dengan lempeng alam yang dikombinasikan dengan silika lempung alam yang dikombinasikan dengan silika sintetik mampu menurunkan kadar logam Cu (33%), Fe (98%), Pb (90%) dan P (93%) dalam minyak sawit (Rossi et al. 2003). Siew et al. (1994) menyatakan bahwa kemampuan lempung dalam menghilangkan warna, fosfor dan besi dalam minyak sawit dapat ditingkatkan dengan penambahan silika sintetik. Rossi et al.

(2001), menemukan bahwa lempung yang dicampur dengan silika sintetik dapat menghilangkan 20-50 % karotenoid. Menurut Rohayati (1997), pemucatan dengan bentonit 2% efektif dilakukan untuk meningkatkan mutu minyak akar wangi sedangkan pemurnian minyak menggunakan bentonit 3 % akan menghasilkan minyak dengan kejernihan dan warna yang lebih baik dari pada menggunakan arang aktif, asam sitrat dan asam tartarat (Marwati et al. 2005). Pada proses pemurnian minyak daun cengkeh dengan bentonit 1 s/d 10% diketahui bahwa dengan peningkatan konsentrasi bentonit terjadi peningkatan kejernihan, kecerahan, dan warna minyak (Marwati 2005).

2.4.1.

Pemurnian Minyak dengan Adsorben

Adsorpsi adalah proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Dalam adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul lainnya (Microsoft dalam Marwati (2005) yang melibatkan ikatan intaramolekuler diantara keduanya (Osmotics dalam Marwati 2005). Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses ini dapat menghilangkan warna (Rossi et al. 2001) dan logam (Rossi et al 2003). Komponen yang terserap disebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap disebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam cairan atau benda dalam gas (Walstra 2003).

Adsorben yang umum digunakan untuk pemurnian adalah dari tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik) (Putra 1998). Jenis-jenis adsorben polar ialah silika gel, alumina yang diaktivasi, dan beberapa jenis tanah liat (clay) (Cussler 1997). Adsorben tipe ini umumnya digunakan jika zat warna yang akan dihilangkan lebih polar daripada cairannya. Sedangkan jenis adsorben non polar adalah arang (karbon dan batubara) dan arang aktif, yang biasa digunakan untuk menghilangkan zat warna yang kurang polar. Adsorben tipe ini secara kualitatif sangat mirip satu sama lain dalam hal selektivitas untuk menyerap komponen dari beberapa campuran (Kirk dan Othmer 1985).


(29)

Menurut Ketaren (1985), adsorben yang digunakan untuk memurnikan minyak terdiri dari tanah pemucat (bleaching clay) dan arang (bleaching carbon). Zat warna dalam minyak akan diserap oleh permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak, misalnya peroksida. Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari jenis dan tipe zat warna dalam minyak, dan sampai seberapa seberapa jauh warna tersebut akan dihilangkan. Daya serap adsorben terhadap warna akan lebih efektif jika adsorben tersebut mempunyai berat jenis yang lebih tinggi, kadar air tinggi, ukuran partikel halus, dan pH mendekati netral (Ketaren 1985). Daya serap

bleaching clay disebabkan karena ion Al+++ pada permukaan partikel adsorben, dapat mengadsoprsi partikel zat warna. Daya pemucatan bleaching clay tergantung dari perbandingan komponen SiO2 dan Al2O3 di dalamnya.

2.4.2.

Pemurnian Minyak dengan Senyawa Pembentuk Kompleks

Pengkelatan adalah pengikatan logam dengan cara menambahkan senyawa pengkelat dan membentuk kompleks logam senyawa pengkelat. Logam yang menyebabkan perubahan kualitas minya (bau, rasa, dan warna) dapat dipisahkan dari minyak dengan cara penambahan bahan kimia yang membentuk kompleks (chelating agent), misalnya asam tartarat, asam sitrat, dan EDTA (Karmelita 1997). Menurut Treybal dalam Rohayati (1997), jika suatu partikel padat telah terpisah dengan baik dan telah bereaksi secara elektrolitik, maka partikel-partikel tersebut akan tolak menolak dan tetap terpisah. Jika ke dalam campuran ditambahkan senyawa dengan muatan berbeda (seperti agen penggumpal), maka partikel tersbut dapat membentuk gumpalan (flokulan) atau kumpulan yang lebih besar dan lebih cepat mengendpa. Endapan ini biasanyaberupa kotoran.

Senyawa pembentuk kompleks merupakan sejenis molekul organik atau inorganik (ligand), yang menyebabkan sebuah ion logam mempunyai lebih dari satu posisi, misalnya melalui dua atau lebih dari grup elektron donor dalam ligand. Senyawa pembentuk kompleks digolongkan menjadi dua, yakni berdasarkan jumlah grup koordinasi yang dihasilkan dan jumlah cincin pengikat yang dapat terbentuk dengan ion logam. Aplikasi dari senyawa pembentuk kompleks digunakan dalam beberapa bidang berbeda, dan potensial digunakan untuk pembentukan kompleks dengan logam. Aplikasi yang telah diterapkan yakni dalam bidang kimia analitik, pertumbuhan dan gizi hewan, obat-obat kimia, pemisahan logam, pembersihan produk-produk alamiah, detergen, dan pembersihan logam (Kirk dan Othmer 1985). Aplikasi penggunaan bahan pengikat diklasifikasikan menjadi tiga grup yaitu penggunaannya sebagai bahan yang berfungsi mengurangi aktivitas ion logam sampai tingkat yang cukup rendah, sehingga ion tersebut dapat dianggap inaktif, penggunaannya sebagai buffer dan untuk tujuan preparatif dimana senyawa bereaksi membentuk kompleks ikatan logam yang mempunyai sifat yang khas.

Penggunaan senyawa pembentuk kompleks sebagai penghambat aktivitas logam digunakan dalam mengurangi aktivasi ion-ion logam pengotor di dalam produk, penghilangan ion-ion logam yang membentuk endapan yang tidak diinginkan, dan mengurangi sifat racun dari ion-ion logam beracun. Bahan-bahan yang mempunyai sifat tersebut ialah asam sitrat, oksalat, tartarat, glukonat, asam


(30)

etilen diamin tetraasetat (EDTA), asam nitriotriasetat (NTA), polifosfat, poliamin, dan isoaskorbat.

2.5.

Bentonit

Bentonit merupakan istilah perdagangan untuk lempung mineral yang mengandung montmorillonite sebagai komponen utamanya. Bentonit berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah fragmen mineral-mineralnya. Bentonit bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah, dan terasa seperti sabun. Selain itu, bentonit mudah menyerap air dan mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi (Patterson 1982). Berat jenis bentonit berkisar 2,4-2,8 (Priatna 1982).

Senyawa penyusun utama bentonit (MgCa)O.Al2O3.5SiO2nH2O adalah silika dan alumina dengan kandungan lain yaitu Fe, Mg, Ca, Na, Ti, dan K (Oscan dan Ozcan, 2004). Ukuran partikel koloid bentonit sangat kecil dan mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi dengan penukaran ion terutama diduduki oleh ion-ion Ca dan Mg.

Pada keadaan awal, bentonit memiliki kemampuan adsoprsi yang rendah. Tetapi dengan teknik pemanasan atau dengan penambahan asam mineral akan meningkatkan kemampuan adsorpsinya. Aktivasi adalah semua proses untuk menaikkan kapasitas adsorpsi untuk memberikan sifat yang diinginkan sehubungan dengan penggunaannya. Pengaktifan bertujuan untuk memperluas permukaan melalui pembentukan struktur yang porous, dan berguna untuk mempertinggi daya adsorpsinya.

Berdasarkan teori, ada dua cara perlakuan untuk meningkatkan daya serap bentonit, yaitu aktivasi dengan pemanasan dan aktivasi dengan pengasaman. Aktivasi dengan pemanasan bertujuan untuk menguapkan air yang terikat di celah-celah molekul sehinngga meningkatkan porositasnya. Sedangkan pengaktifan dengan pengasaman dapat menaikkan angka perbandingan antara SiO2 dan Al2O3. Pengaktifan dengan pengasaman ini dilakukan dengan cara melarutkan bentonit ke dalam asam (H2SO4 atau HCl) pada konsentrasi tertentu pula.

2.6.

Asam Sitrat

Asam sitrat (C6H8O7) dengan tiga asam karbosil dalam bentuk strukturnya dapat membentuk kompleks dengan logam. Asam sitrat ini bersifat sebagai senyawa pengkelat (chelating agent) paling efesien untuk logam seperti Fe, Ca, Mg, Zn, Mn, Cu, Pb, dan Cd (Ekholm et al 2003). Chelating agent ini sangat diperlukan sebagai katalisator (penghambat) dalam reaksi-reaksi biologis (Winarno dan Laksmi 1974).

Asam sitrat juga banyak digunakan dalam pembuatan gelatin, agar-agar buah maupun agar-agar pektin untuk permen, sebagai pengasam dalam senyawa karbonat serta digunakan dalam industri tekstil. Kemampuan memebentuk kompleks dari asam sitrat telah digunakan sebagai pembersih logam. Bahan kimia ini digunakan dalam pencucian endapan logam. Adapun rumus bangun dari asam sitrat dapat dilihat pada gambar 1.


(31)

HO C

Gambar 1. Struktur Asam Sitrat (Maryati 2006)

Kemampuan asam sitrat sebagai senyawa pengkelat terhadap logam telah dibuktikan dan diteliti. Abrahamson et al. (1994) melaporkan bahwa asam sitrat terbukti merupakan senyawa pengkelat yang efektif terhadap logam Fe. Marshall et al. ( 1999) menyatakan bahwa asam sitrat mampu melakukan penyerapan terhadap logam Cu dalam suatu cairan dan air limbah. Chen et al. (2003) menemukan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi asam sitrat sebagai senyawa pengkelat, maka kompleks logam Pb dan Cd dengan asam sitrat yang terbentuk semakin banyak. Selanjutnya,kemampuan asam sitrat sebagai senyawa pengkelat terhadap logam Mg dan Ca telah dibuktikan Donmez et al. (2009). Pemurnian secara pengkelatan dengan asam sitrat 0,6% meningkatkan kejernihan kualitas minyak cengkeh (Marwati et al. 2005).

CH2

CH2

CO2H

CO2H


(32)

III.

METODE PENELITIAN

3.1.

Bahan dan Alat

3.1.1.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kayu putih kasar yang berwarna hijau hasil penyulingan skala tradisional dari alat penyulingan tembaga. Sedangkan bahan kimianya terdiri dari Na2SO4 anhidrid, etanol 70%, asam tartarat, asam sitrat, bentonit, arang aktif, dan bahan kimia lainnya untuk analisis.

3.1.2.

Alat

Peralatan yang digunakan terdiri dari alat shaker, piknometer, AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer), refraktometer, spektrofotometer, timbangan analitik, GC-MS polarimeter, dan alat-alat lainnya untuk analisa.

3.2.

Metode Penelitian

3.2.1.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan karakteristik minyak kayu putih yang akan digunakan dan mengetahui jenis dan konsentrasi bahan pemurnian yang akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan ini didasarkan pada nilai kejernihan tertinggi yang didapatkan dari nilai kejernihan (% transmitan) yang didapatkan baik dari penggunaan adsorben atau senyawa pengkelat.

a. Karakteristik Bahan Baku

Minyak kayu putih yang akan digunakan sebagai bahan baku perlu diketahui karakteristiknya. Karakteristik terhadap bahan baku yang dilakukan antara lain adalah uji kejernihan (% transmitan), uji kadar logam, dan uji fisiko-kimia berdasarkan SNI 06-3954-2006 (bau, warna, bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 70%, kandungan sineol dengan GC-MS). Metode analisis karakteristik bahan baku dpat dilihat pada Lampiran 1.

b. Penentuan Jenis dan Jumlah Bahan Pemurnian

Penentuan jenis dan konsentrasi bahan pemurnian dilakukan dengan melihat nilai kejernihan (% transmitan) paling tinggi dari penggunaan salah satu bahan adsorben atau bahan pengkelat yang kemudian akan digunakan pada penelitian utama. Bahan adsorben yang digunakan adalah arang aktif, bentonit, dan zeolit, sedangkan untuk bahan pengkelat yang digunakan adalah asam sitrat, asam tartarat, dan EDTA (Asam Etilen Diamin Tetraasetat). Keenam jenis pemurnian ini dipilih karena lebih murah, mudah didapatkan, dan sangat efektif


(33)

dihunakan untuk pemurnian minyak atsiri. Konsentrasi yang digunakan untuk masing-masing bahan pemurnian tersebut adalah 2%.

3.2.2.

Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan kombinasi konsentrasi bahan pemurnian yang menghasilkan persen transmisi tertinggi yang diperoleh dari penelitian pendahuluan yakni bentonit dan asam sitrat. Perlakuan yang diberikan pada penelitian utama adalah kombinasi dua bahan pemurnian dengan konsentrasi tertentu yakni 0% (tanpa bahan pemurnian), 1%, 2%, dan 3%. Pengamatan terhadap minyak hasil pemucatan meliputi rendemen yang diperoleh, analisa fisiko-kimia berdasarkan SNI MKP 2006 (warna, bau, bobot jenis, putaran optik, kelarutan dalam alkohol 70%, indeks bias, dan kadar sineol dengan GC-MS), nilai kejernihan, dan kadar logam (Lampiran 1).

3.2.3.

Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih

Secara umum, proses pemurnian minyak kayu putih pada penelitian pendahuluan dan utama sama (gambar 2). Perbedaannya adalah pada penggunaan jenis dan konsentrasi bahan adsorben dan pengkelat. Pada penelitian pendahuluan, jenis bahan pemurnian yang digunakan terdiri atas arang aktif, bentonit, zeolit, asam sitrat, asam tartarat, adan EDTA dengan konsentrasi masing-masing bahan pemurnian yang digunakan adalah 2%. Pada penelitian utama, bahan pemurian yang digunakan adalah bentonit dan asam sitrat dengan konsentrasi yang digunakan adalah 0% (tanpa bahan pemurnian), 1%, 2%, dan 3%.

Minyak kayu putih sebanyak 50 ml dicampur dengan sejumlah bahan pemurnian yang sesuai dengan perlakuan ke dalam gelas erlenmeyer 100 ml. Selanjutnya gelas dipasang pada shaker dengan suhu 55°C, untuk proses pengadukan selama 30 menit. Setelah itu, minyak disaring dengan kertas saring setelah dingin. Ke dalam minyak hasil penyaringan ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk menyerap sisa air yang terdapat pada minyak, diaduk kembali selama 15 menit dan disaring kembali dengan kertas saring sehingga dihasilkan minyak kayu putih hasil pemurnian.


(34)

Gambar 2. Prosedur Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih Pemanasan dan Pengadukan

(alat sha er bath dengan T=55°C dan t= 30’)

Penyaringan I (saringan manual dengan kertas saring dan corong penyaring)

Analisa Mutu Minyak Minyak Kayu Putih Kasar

50 ml

Arang Aktif, Bentonit, Zeolit, As. Sitrat, As. Tartarat, dan EDTA (kosentrasi masing-masing = 2%)

(Penelitian Pendahuluan) Bentonit, dan As. Sitrat

(0%), 1%, 2%, dan 3%) (Penelitian Utama)

Bahan pemurnian dan kotoran yang tertinggal di

kertas saring Na2SO4

anhidrid 0,1 gr

Penyaringan II (saringan manual dengan kertas saring dan corong penyaring) Pengadukan tanpa pemanasan dengan

menggunakan shaker (t= 15 menit)

Na2SO4 anhidrid dan air Minyak Kayu Putih Pucat


(35)

3.3.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan.

Perlakuan pada penelitian utama terdiri dari : a. Jumlah asam sitrat (A), dengan empat taraf

A0= tanpa asam sitrat (0%) A1= 1 %

A2= 2% A3= 3%

b. Jumlah bentonit (B), dengan tiga taraf B0=tanpa bentonit (0%)

B1= 1 % B2= 2% B3= 3%

Model matematis untuk rancangan acak lengkap faktorial (Sudjana 1985) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + A i+ Bj + ABij + BAji +

ε

(ij)

Yij : respon percobaan karena pengaruh faktor A pada taraf ke-i, faktor B pada taraf ke-j pada ulangan ke-n

µ : pengaruh rata-rata sebenarnya Ai : pengaruh faktor A pada taraf ke-i Bj : pengaruh faktor B pada taraf ke-j

ABij : pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dengan faktor B pada taraf ke-j BAji : pengaruh interaksi dari faktor B taraf ke-j dengan faktor A pada taraf ke-i

ε

(ij) : pengaruh dari unit percobaan ke-r dalam kombinasi perlakuan (ij)

Selain itu, analisa/ pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan program aplikasi Microsoft Office dan salah satu jenis program aplikasi pengolahan data statistik yang disebut dengan SAS (Statistical Analysis System).


(36)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

PENELITIAN PENDAHULUAN

4.1.1.

Bahan Baku

Minyak kayu putih yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini berwarna hijau bening dengan karakteristik seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih

Karakteristik Hasil Pengamatan SNI (2006)

Warna Hijau bening Jernih sampai kuning kehijauan

Bau Khas MKP Khas MKP

Bobot Jenis 0,924 0,900-0,930

Indeks Bias 1,468 1,450-1,470

Putaran Optik -1 (-)4° s/d 0°

Kelarutan Etanol 70% 1: 6jernih 1:1 s/d 1:10 jernih

Kejernihan 81,30 -

Pada dasarnya karakteristik minyak kayu putih tersebut telah memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI (2006), kecuali pada warna. Oleh karena itu, mutu minyak kayu putih perlu ditingkatkan sehingga sesuai dengan standar tersebut. Warna minyak kayu putih yang berwarna hijau ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor peralatan dan kandungan tanaman itu sendiri. Warna hijau pada minyak kayu putih tersebut disebabkan oleh penggunaan alat penyulingan yang terbuat dari logam tembaga dan kandungan klorofil pada daun yang terbawa pada saat penyulingan. Mutu minyak kayu putih dipengaruhi oleh jenis tanaman, tempat tumbuh, cara penanganan bahan baku dan penanganan pasca penyulingan.

Untuk mengetahui jenis logam pengotor yang terdapat dalam minyak, dilakukan analisis ion logam dengan menggunakan SpektrofotometriSerapan Atom (AAS). Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa minyak kayu putih kasar mengandung logam Cu, Fe, dan Mg masing-masing sebesar 18,16 mg/l, 8,76 mg/l, dan 0,300 mg/l.

4.1.2.

Bahan Pemurnian

Bahan pemurnian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis bahan adsorben (bentonit, arang aktif, dan zeolit) dan tiga jenis bahan pengkelat (asam sitrat, asam tartarat, dan EDTA). Keenam bahan pemurnian tersebut merupakan jenis bahan pemurnian yang mudah didapatkan dan banyak digunakan untuk pemurnian minyak atsiri. Menurut Hernani dan Marwati (2006), adsorpsi menggunakan adsorben tertentu seperti zeolit, arang aktif, dan bentonit, sedangkan untuk larutan senyawa pembentuk kompleks yang dipakai adalah asam sitrat dan asam tartarat (Sait dan Satyaputra 1995). Konsentrasi yang digunakan untuk tiap-tiap bahan pemurnian adalah sebanyak 2%. Menurut Kusdiana dalam Rohayati


(37)

(1997), minyak atsiri dapat dipucatkan dengan menggunakan 2% bubuk asam tartarat. Penggunaan konsentrasi tersebut untuk menentukan jenis dan konsentrasi bahan pemucat yang akan digunakan pada penelitian utama dengan melihat nilai persen transmisi tertinggi. Minyak kayu putih hasil pemurnian diuji dengan menggunakan alat Spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Semakin jernih minyak, maka nilai persen transmisi makin tinggi, karena cahaya yang dapat melewati minyak tersebut semakin banyak.

Minyak hasil pemurnian pada penelitian pendahuluan memiliki nilai persen transmisi yang beragam. Pada proses adsorbsi, nilai kejernihan yang didapatkan yaitu bentonit (99,40%), zeolit (98,35%), dan arang aktif (97,50%). Nilai kejernihan berdasarkan penggunaan masing-masing bahan pemurnian pada proses pengkelatan adalah sebagai berikut asam sitrat (99,95%), asam tartarat (98,85%), dan EDTA (98,7%). Jika dibandingkan dengan minyak kayu putih sebelum pemurnian yakni 81,30%, terlihat adanya peningkatan nilai kejernihan. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa bentonit dan asam sitrat memiliki nilai paling tertinggi yang mewakili jenis bahan pemurnian pada proses adsorbsi atau proses pengkelatan.

Peningkatan kejernihan tersebut disebabkan adanya pengikatan logam, penyerapan air dan warna yang menyebabkan kekeruhan pada minyak dapat terserap. Menurut Patterson (1992) bentonit memiliki sifat mudah menyerap air yang menyebabkan kekeruhan pada minyak dan menghasilkan minyak yang jernih. Selain itu, bentonit dan asam sitrat juga dapat menyerap logam yang terdapat dalam minyak. Dengan berkurangnya logam dalam minyak, maka minyak menjadi lebih jernih (Rossi et al. 2003). Peningkatan kejernihan pada pengkelatan tersebut disebabkan karena asam sitrat mengikat logam yang terdapat dalam minyak, membentuk kompleks logam-asam sitrat (Muller et al., 1997).

Nilai persen transmisi minyak hasil pemucatan dapat dilihat pada grafik di bawah ini (Gambar 3). Untuk memperoleh minyak yang lebih jernih, dilakukan pemucatan dengan kombinasi jenis dan jumlah bahan pemucat. Untuk penelitian utama, digunakan konsentrasi 0% (tanpa asam sitrat atau bentonit), 1%, 2%, dan 3% untuk masing-masing bahan pemurnian. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian pemurnian minyak atsiri terdahulu yang telah dilakukan . Pemurnian minyak menggunakan bentonit 3 % akan menghasilkan minyak dengan kejernihan dan warna yang lebih baik (Mulyono dan Marwati 2005). Di samping itu, pemurnian terhadap minyak akar wangi yang bermutu rendah (berwarna kehitaman) dengan menggunakan bentonit 2 % akan meningkatkan mutu minyak (Rohayati 1997).


(38)

Gambar 3. Histogram Nilai Kejernihan masing-masing Bahan Pemurnian

4.2.

Penelitian Utama

4.2.1.

Rendemen

Rendemen merupakan faktor penting yang akan menentukan tingkat efisiensi proses pemucatan. Rendemen minyak kayu putih hasil pemucatan berkisar antara 84% sampai dengan 92% dengan rata-rata 87%. Rendemen tertinggi diperoleh dari minyak yang dipucatkan dengan asam sitrat 1%, sedangkan rendemen terendah diperoleh dari penambahan bentonit 3%.

Gambar 4. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Rendemen Minyak Kayu Putih 96.00 96.50 97.00 97.50 98.00 98.50 99.00 99.50 100.00 Nila i K ej er nih a n ( % tra ns m it a n)

Jenis Bahan Pemurnian (2%)

75 80 85 90 95 100

0 1 2 3

Rendem

en

Jumlah Bentonit (%)

As. Sitrat 0% As. Sitrat 1% As. Sitrat 2% As. Sitrat 3%


(39)

Pada gambar 4, dapat dilihat histogram pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap rendemen minyak kayu putih. Berdasarkan histogram tersebut, terlihat adanya pengaruh dari jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan. Penggunaan bentonit atau asam sitrat 1, 2, dan 3 persen menghasilkan rendemen minyak hasil pemurnian yang semakin menurun. Hal ini juga terjadi pada penggunaan kombinasi bentonit dan asam sitrat. Perbedaan jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan menghasilkan rendemen minyak yang berbeda pula. Dari hasil uji statistik (Lampiran 2) diketahui juga bahwa jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan untuk setiap hasil yang berbeda nyata. Secara umum, semakin banyak jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan maka rendemen minyak semakin kecil. Hal ini karena dengan banyaknya bahan pemurnian yang ditambahkan maka minyak yang tertinggal pada bahan pemucat tersebut akan cukup besar. Menurut Fahmi dalam Ardiana (2006), semakin tinggi konsentrasi bahan pemucat maka penyusutan yang dialami akan semakin tinggi. Pada proses pengkelatan, kotoran dan logam pada minyak akan tertinggal bersama asam sitrat dan membentuk gumpalan. Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan endapan oleh asam sitrat yang berikatan dengan logam yang terlepas dari senyawa utama pada minyak tersebut. Selain itu, ssam sitrat dapat mengadsorpsi senyawa logam disertai reaksi kimia yang membentuk senyawa kimia kompleks yang tidak terlarut dalam minyak sehingga proses pemisahan antara padatan hasil reaksi dengan minyak dapat dilakukan dengan penyaringan (Syabanu dan Cahyaratri 2009)

Penambahan bentonit dan asam sitrat berpengaruh juga terhadap rendemen minyak. Minyak dapat tertinggal pada bentonit dan asam sitrat sehingga mengurangi rendemen yang diperoleh. Penurunan rendemen minyak yang dipucatkan dengan 0, 1, 2, dan 3 persen asam sitrat dan bentonit tidak terlalu besar yakni 2-3 persen. Pemucatan dengan kombinasi kedua pemucat tersebut tidak menyebabkan kehilangan yang terlalu besar kecuali pada kombinasi bahan pemurnian dengan 3% asam sitrat dan 3% bentonit. Oleh karena itu, pemurnian dengan kombinasi tersebut tidak efektif.

4.2.2.

Kejernihan (% Transmisi)

Kejernihan minyak kayu putih dilihat dari persen transmisinya yang diukur dengan alat Spektrofotometer pada panjang gelombang 540. Persen transmisi adalah radiasi sinar yang dapat diteruskan oleh sumber cahaya yang melalui suatu laruutan dalam wadah transparan dengan intensitas tertentu. Semakin besar nilai persen transmisi berarti semakin banyak cahaya yang dapat dilewatkan dan minyak semakin jernih. Nilai transmisi minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara 81,30% – 96,88%. Persen tertinggi diperoleh dari minyak yang dipucatkan dengan asam sitrat 1%, sedangkan nilai terendah diperoleh dari minyak yang dipucatkan dengan kombinasi 3% asam sitrat dan 3% bentonit.

Pada gambar 5, dapat dilihat hubungan pengaruh jumlah bahan pemurnian dengan persen transmisi minyak kayu putih. Perbedaan konsentrasi bahan pemurnian yang ditambahkan menghasilkan minyak dengan nilai persen transmisi yang beragam. Dari data tersebut, terlihat bahwa nilai kejernihan akan semakin meningkat sesuai dengan konsentrasi bentonit yang digunakan. Hal ini berbeda pada penggunaan asam sitrat dimana nilai kejernihan yang dihasilkan berbanding terbalik dengan konsentrasi asam sitrat yang digunakan. Hal ini disebabkan tidak terjadinya


(40)

pengikatan ion logam, tetapi dispersi asam sitrat dengan minyak sehingga kejernihan minyak berkurang. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan (Lampiran 3), perlakuan penambahan asam sitrat atau bentonit tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan (% transmisi) minyak kayu putih sebelum dan sesudah pemurnian. Sedangkan interaksi kedua bahan tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan. Semakin banyak kedua bahan tersebut ditambahkan, nilai persen transmisi minyak relatif makin rendah atau makin tinggi. Peningkatan jumlah asam sitrat yang ditambahkan menyebabkan penurunan nilai persen transmisi minyak. Hal ini disebabkan tidak terjadinya pengikatan ion logam, tetapi dispersi asam sitrat dengan minyak sehingga kejernihan minyak berkurang.

Perlakuan terbaik yang menghasilkan nilai persen transmisi tertinggi adalah minyak yang dimurnikan dengan asam sitrat 1%, yaitu sebesar 96,88%. Kemampuan penyerapan maksimum adalah asam sitrat 1% dimana dengan jumlah pemakaian yang tidak terlalu banyak. Dengan tingginya nilai persen transmisi ini, maka minyak ini mampu menyerap cahaya yang cukup banyak bila dibandingkan dengan minyak hasil perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh penyerapan ion logam pada minyak kayu putih dengan menggunakan asam sitrat 1% lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 2% atau 3%. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil analisa statistik Marwati (2005), semakin besar jumlsh ion logam yang terpisah dari minyak maka nilai kejernihan minyak akan semakin tinggi.

Gambar 5. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Nilai Kejernihan (% transmisi) Minyak Kayu Putih

4.2.3.

Ion Logam

Penambahan asam sitrat dimaksudkan untuk menghilangkan ion logam yang terdapat dalam minyak kayu putih dengan cara membentuk ikatan kompleks antara logam dengan asam sitrat. Asam sitrat mampu mengikat beberapa ion logam. Ikatan kompleks tersebut akan mengendap dan dapat dipisahkan dari minyak 70 75 80 85 90 95 100

0 1 2 3

Nila i K ej er nih a n ( % T ra ns m it a n)

Jumlah Bentonit (%)

As. Sitrat 0% As. Sitrat 1% As. Sitrat 2% As. Sitrat 3%


(41)

melalui penyaringan. Analisis keragaman dengan menggunakan SAS tidak dilakukan, karena analisis ion logam hanya dilakukan terhadap minyak kayu putih sebelum dipucatkan dan minyak kayu putih hasil pemurnian yang memiliki tingkat kejernihan (% transmitan) paling tinggi.

Minyak yang memiliki tingkat kejernihan paling tinggi yaitu minyak hasil pemurnian dengan menggunakan 1% asam sitrat. Minyak tersebut memiliki kandungan logam Cu, Fe, dan Mg masing-masing sebesar <0,015 mg/l, 7,50 mg/l, dan 0,220 mg/l. Sedangkan minyak kayu putih yang belum dimurnikan mengandung kadar logam Cu (18,16 mg/l), Fe (8,76 mg/l), dan Mg (0,300 mg/l). Logam-logam tersebut merupakan pengotor yang terdapat dalam minyak kayu putih. Menurut Djatmiko dan Ketaren dalam Herwanda (2011), logam Fe, Mg, dan Cu merupakan salah satu jenis kelompok komponen pengotor yang tidak larut dalam minyak atau lemak (fat insoluble dan terdispersi dalam minyak). Logam dalam minyak nabati merupakan kontaminan dan jarang ditemukan. Logam-logam tersebut dapat berasal dari tanah atau peralatan pengolahan. Kontaminan yang berasal dari tanah adalah Fe dan Cu (Hasibuan dan Nuryanto 2011).

Terlihat bahwa terjadi penurunan kadar logam jika dibandingkan dengan minyak kayu putih sebelum dimurnikan, sehingga proses pemurnian ini efektif dilakukan. Penurunan logam Cu, Mg, dan Fe masing-masing sebesar 100%, 36,37%, dan 16,8% dibandingkan dengan kandungan logam pada minyak sebelum pemrunian. Hal ini dikarenakan adanya proses pengikatan logam oleh asam sitrat. Hal ini sesuai dengan Abrahamson et al. (1994) yang melaporkan bahwa asam sitrat terbukti merupakan senyawa pengkelat yang efektif terhadap logam Fe. Dispersi partikel asam sitrat akan lebih baik dan juga akan memperbaiki interaksi antara minyak dan asam sitrat sehingga jumlah Fe yang terkelat akan semakin besar. Marshall et al.

( 1999) menyatakan bahwa asam sitrat mampu melakukan penyerapan terhadap logam Cu dalam suatu cairan dan air limbah. Chen et al. (2003) menemukan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi asam sitrat sebagai senyawa pengkelat, maka kompleks logam Pb dan Cd dengan asam sitrat yang terbentuk semakin banyak.

4.2.4.

Sifat Fisikokimia berdasarkan SNI (2006)

4.2.3.1.

Bau dan Warna

Bau minyak setelah pemurnian tidak mengalami perubahan. Bau minyak kayu putih sebelum dan sesudah pemurnian telah sesuai persyaratan SNI (2006) yang telah ditetapkan. Hal ini karena bau kamfor mirip sineol dengan falvor yang agak menyengat (burning flavor) sehingga bau minyak akan tetap bertahan tanpa mengalami penghilangan bau. Di samping itu, penggunaan asam sitrat dan bentonit tidak berpengaruh nyata terhadap bau dari minyak kayu putih sebelum dan setelah pemurnian. Hal ini dikarenakan karena komposisi kimia penyebab bau pada minyak kayu putih tidak mengalami perubahan pada proses pemurnian dengan menggunakan asam sitrat dan bentonit. Bau minyak atsiri satu dengan yang lainnya berbeda-beda dan sangat tergantung dari macam dan intensitas bau dari masing-masing komponen penyusunnya (Gunawan dan Mulyani 2004). Menurut Guenther (2006), hilangnya bau khas minyak atsiri mengindikasikan adanya perubahan-perubahan pada komposisi minyak atsiri asalnya yang sebanding dengan destruksi senyawa nitrogen akibat


(42)

penguapan. Kandungan senyawa kimia utama pada minyak kayu putih adalah kandungan sineol.

Warna telah dijadikan sebagai indeks kualitas minyak selama bertahun-tahun (Febriansyah R). Minyak kayu putih sebelum dipucatkan berwarna hijau bening. Warna ini disebabkan oleh adanya ikatan antara kandungan klorofil pada daun dan logam tembaga dari ketel penyulingan yang digunakan. Menurut Guenther (1990) warna hijau pada minyak kayu putih disebabkan oleh kandungan klorofil pada daun kayu putih dan ketel penyulingan yang terbuat dari tembaga (Cu). Menurut Yagan (2007) adanya kandungan logam Fe, Cu, dan Ni dalam jumlah yang sedikit akan mempengaruhi kualitas minyak yakni bau, rasa, dan warna.

Warna ini masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3954-2006). Warna minyak kayu putih menurut SNI 2006 tersebut berwarna bening hingga kuning kehijauan. Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 4), warna minyak kayu putih setelah pemurnian mengalami perubahan. Penggunaan asam sitrat menghasilkan warna kuning kehijauan bening, sedangkan warna minyak setelah pemurnian berubah menjadi kuning keemasan setelah ditambahkan bentonit. Perubahan warna ini berkaitan dengan penyerapan warna, pengikatan logam, dan tingkat kejernihan. Berdasarkan niali kejernihan yang didapatkan, nilai kejernihan paling tertinggi dihasilkan pada penggunaan asam sitrat 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan asam sitrat menghasilkan warna yang lebih jernih sehingga cahaya yang dilewati pada pengukuran % transmisi dapat diteruskan dengan baik sehingga nilai % transmitannnya meningkat. Asam sitrat tsangat efektif dalam mengikat dan menyerap logam dalam suatu cairan. Menurut Maria (2001), semakin tinggi konsentrasi adsorben yang digunakan, semakin banyak kotoran (ion logam) yang teradsorpsi sehingga cenderung menurunkan kadar Fe dalam minyak jarak pucat. Asam sitrat mengikat logam yang ada pada minyak sehingga minyak akan terlihat lebih jernih. Asam sitrat sangat efektif dalam, pengikatan logam pada suatu cairan. Hal ini menunjukkan bahwa daya adsorbsi bentonit sangat tinggi dalam penyerapan warna setelah diaktifkan terlebih dahulu.

4.2.3.2.

Bobot Jenis

Komponen kimia yang terdapat dalam minyak kayu putih berpengaruh terhadap bobot jenis. Semakin tinggi fraksi berat dalam minyak, maka nilai bobot jenis semakin tinggi. Menurut Formo (1979), nilai bobot jenis semakin besar dengan semakin banyaknya jumlah ikatan rangkap suatu senyawa anorganik. Selain dipengaruhi berat molekul, berat jenis juga dipengaruhi oleh reaksi oksidasi dan polimerisasi pada senyawa organik. Di samping itu, bobot jenis dipengaruhi oleh jenis dan kompoisi minyak tersebut (Ketaren 1986). Nilai bobot jenis ini digunakan untuk melihat kemurnian dan kejernihan minyak atsiri.

Bobot jenis minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara 0,9180 sampai dengan 0,9235 dengan nilai rata-rata 0,9210. Kisaran nilai tersebut telah memenuhi standar mutu bobot jenis minyak kayu putih berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2006). Nilai tertinggi diperoleh dari minyak yang menggunakan kombinasi 3% asam sitrat dan 3% bentonit, sedangkan nilai terendah diperoleh dari penggunaan bentonit 3%. Nilai


(43)

bobot jenis minyak kayu putih sebelum pemucatan adalah 0,9235. Dari hasil yang didapatkan, terlihat bahwa nilai bobot jenis yang didapatkan lebih kecil dari 1,000. Menurut Guenther (1987), nilai bobot jenis minyak atsiri pada umumnya lebih kecil dari 1,0000.

Gambar 6. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Bobot Jenis Minyak Kayu Putih Gambar di atas (Gambar 6) memperlihatkan histogram hubungan pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap nilai bobot jenis minyak kayu putih. Penambahan asam sitrat dan atau bentonit memberikan penurunan nilai bobot jenis meskipun selisih penurunan sangat sedikit. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam sitrat dan atau bentonit berpengaruh nyata (Lampiran 5). Hal ini juga menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat atau bentonit serta kombinasi keduanya tidak signifikan mempengaruhi struktur dan komposisi kimia dari minyak tersebut. Umumnya perbedaan jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan menghasilkan bobot jenis minyak yang berbeda.

4.2.3.3.

Indeks Bias

Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam suatu zat dengan kecepatan cahaya di udara (Ardiana 2006). Nilai indeks bias dipengaruhi oleh kekentalan dan kerapatn minyak. Semakin tinggi kerapatan minyak, maka nilai indeks bias minyak tersebut makin tinggi. menurut Formo (1979), komponen-komponen kimia yang terdapat dalam minyak termasuk fraksi berat akan meningkatkan kerapatan minyak, sehingga sinar yang datang akan dibiaskan mendekati garis normal. Nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap suatu senyawa. Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan tak jenuh maka semakin tinggi indeks bias. Hal ini 0.9150 0.9160 0.9170 0.9180 0.9190 0.9200 0.9210 0.9220 0.9230 0.9240

0 1 2 3

B o bo t J enis

Jumlah Bentonit (%)

As. Sitrat 0% As. Sitrat 1% As. Sitrat 2% As. Sitrat 3%


(44)

disebabkan karena fraksi berat minyak yang banyak mengandung molekul-molekul yang berantai panjang.

Nilai indeks bias minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara 1,467 – 1,468 dengan rata-rata 1,468. Kisaran nilai tersebut telah memenuhi standar mutu bobot jenis minyak kayu putih berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2006).

Pada gambar di bawah ini (Gambar 7), dapat dilihat hubungan pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap nilai indeks bias minyak kayu putih. Dari gambar tersebut, terlihat adanya perubahan nilai indeks bias minyak kayu putih untuk masing-masing perlakuan yang relatif kecil.

Dari gambar terlihat, penambahan asam sitrat atau bentonit menyebabkan penurunan nilai indeks bias. Penurunan nilai indeks bias minyak disebabkan karena terjadi proses hidrolisa minyak yang membetuk asam dan alkohol yang menyebabkan kerapatan minyak berkurang, sehingga sinar lebih mudah untuk dibiaskan. Selain itu, penurunan nilai indeks bias ini dapat disebabkan karena hilangnya komponen-komponen pembentuk warna yang diadsorpsi oleh asam sitrat dan bentonit serta pengikata ion logam oleh asam sitrat. Kombinasi kedua bahan pemurnian menyebabkan nilai indeks bias mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya penambahan kerapatan dan penurunan efektifitas bahan pemurnian dalam menyerap warna, kotoran, dan pengikatan ion logam karena bahan pemurnian tersebut telah mencapai titik jenuhnya.

Gambar 7 . Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Indeks Bias Minyak Kayu Putih

Analisis keragaman menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap nilai indeks bias minyak kayu putih demikian juga dengan interaksi kedua bahan tersebut (Lampiran 6). Secara umum, nilai indeks bias untuk semua perlakuan relatif sama. Hal ini terjadi karena kerapatan minyak hasil pemurnian dan jumlah kotoran yang tertinggal relatif sama sehingga sinar yang melewati minyak dibiaskan membentuk sudut yang relatif sama pula. Di samping itu, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan asam sitrat dan bentonit tidak memberikan banyak 1.465 1.466 1.466 1.467 1.467 1.468 1.468

0 1 2 3

Ind ek s B ia s

Jumlah Bentonit (%)

As. Sitrat 0% As. Sitrat 1% As. Sitrat 2% As. Sitrat 3%


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)