METODE Strategi Pengelolaan Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan (Studi Kasus Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan)

Tabel 4 Jenis dan sumber data dalam penelitian No Tujuan Jenis Data Sumber Data Analisis Output 1. Mengkaji laju kerusakan dan faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan Data Primer: Vegetasi Mangrove  Kerapatan Jenis  Frekuensi Jenis  Dominasi Jenis  Indeks Keanekaragaman Tingkat Kerusakan  Penutupan  Kerapatan Data Sekunder Sosial masyarakat Tingkat Kerusakan  In situ  In situ  BPS, pemerintah desa, Bapedda  DKP, Dinas kehutanan  Analisis vegetasi Kordi 2012  Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove Kepmen LH 201 thn 2004  Analisis NDVI dan Deskriptif  Sistem Informasi Geografis, Penginderaan jauh Santos et al. 2014; Li et al. 2013  Vegetasi ekosistem mangrove  Sosial masyarakat sekitar ekosistem mangrove dan Persepsi masyarakat tentang ekosistem mangrove  Faktor Penyebab kerusakan ekosistem mangrove 2. Menghitung nilai ekonomi total dan klaim kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan Data Primer: Nilai ekonomi total  Manfaat langsung  Manfaat tidak langsung  Manfaat pilihan  Nilai manfaat total Nilai klaim kerusakan  Luas kompensasi  Biaya rehabilitasi  In situ  Wawancara dan Quisioner  Observasi  Wawancara dan Quisioner  Valuasi ekonomi ekosistem mangrove  Habitat Equivalency Analisys  Deskriptif  Informasi nilai manfaat total ekonomi di Teluk Bintan dari kegiatan masyarakat  Informasi mengenai luas kompensasi dan biaya rehabilitasi akibat kerusakan ekosistem mangrove 3. Merumuskan strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang terletak di Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan.  Wawancara  Studi literature  Analytical Hierarchy Process AHP  Rumusan Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan 14 15 Metode Pengumpulan Data Data Citra Data citra yang digunakan pada penelitian ini meliputi informasi mengenai penutupan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dengan waktu yang berbeda, untuk mengidentifikasi perubahan luasan penutupan mangrove di kawasan tersebut. Data citra yang digunakan yaitu citra satelit landsat 7 ETM+ tahun 1990, 2003 dan 2013 dalam format digital, dengan penutupan awan kurang dari 20, dan peta rupa bumi. Data citra landsat dapat di peroleh di http:earthexplorer.usgs.gov. Pengambilan Data Lingkungan Ekosistem Mangrove Parameter pengamatan dalam penelitian ini adalah parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi kondisi ekosistem mangrove. Pengambilan data dilakukan secara insitu. Parameter yang diamati dalam penelitian disajikan pada Tabel 5 . Tabel 5 Paramater pengamatan yang diukur No Faktor Lingkungan Satuan Metodealat Keterangan A Fisika- Kimia Perairan 1 Suhu C Termometer Insitu 2 Salinitas psu Handrefraktometer Insitu 3 pH C pH mater Insitu 4 Oksigen terlarut mgl DO meter Insitu, Laboratorium 5 Tekstur sediment Sediment trap Laboratorium Pengumpulan Vegetasi Mangrove Pengambilan data vegetasi mangrove dan tingkat kerusakan mangrove dengan cara survey langsung di lapangan dengan metode transek garis dan petak contoh Kusmana et al. 2008. Metode ini dilakukan dengan membuat garis transek sepanjang 100 meter dengan lebar 10 m, selanjutnya dibuat plot ukuran 10 x 10 m pohon yang ditentukan secara purposive sampling, dan plot ukuran 5 x 5 m anakan dan 1 m x 1 m semai ditentukan berdasarkan random sampling. Setiap stasiun dilakukan 3 garis transek dengan 3 petak contoh untuk masing-masing garis transek. Keterangan : : plot semai, ukuran 1 x 1 m : plot anakan, ukuran 5 x5 m : plot pohon, ukuran 10 x 10 m Gambar 3 Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove Darat Laut 16 Data Produksi Perikanan Pengambilan data produksi ikan dari hasil pemanfaatan di ekosistem mangrove diperoleh melalui wawancara mendalam secara langsung menggunakan kuisioner kepada masyarakat yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari ikan maupun data sekunder dari dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. Data Sosial Masyarakat Data sosial masyarakat dikumpulkan melalui data observasi, wawancarakuisioner, diskusi dan penelusuran berbagai pustakadokumen. Data sosial yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data penduduk dan riwayatnya, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk, tingkat pemanfaatan mangrove oleh masyarakat, serta pandanganpersepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Responden dipilih secara purposive sampling. Penentuan jumlah sampel diambil dengan cara random sampling berdasarkan estimasi proporsi denga rumus berikut ini Nazir 2003: � = � − � − + � − � Dimana n=jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D=B 2 4 B adalah bound of error = 0,10, dan p estimator dari proporsi populasi = 0,1. Data Untuk Analisis Strategi Pengelolaan Metode pengumpulan data untuk strategi pengelolaan dilakukan dengan menggunakan teknik sampling non probability sampling terhadap para penentu kebijakan dan stakeholders lainnya. Pengumpulan data terhadap responden akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara berpedoman pada kuesioner. Kuesioner strategi pengelolaan bertujuan untuk mengetahui peruntukan dan pemanfaatan ekosistem mangrove menggunakan kuesioner terbuka dengan respoden yang ditentukan secara selektif, terdiri dari orang yang ahli dan berpengalaman dalam pengelolaan ekosistem mangrove, yaitu terdiri dari pihak pemerintah; pihak perguruan tinggi; swasta dan tokoh masyarakat. Analisis Data Analisis Vegetasi Mangrove Identifikasi jenis mangrove mengacu pada Noor et al. 2006. Komposisi jenis dan struktur vegetasi dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Natividad et al. 2015, yaitu: a. Kerapatan suatu jenis K, dihitung dengan rumus: K = a a 17 b. Kerapatan relatif KR, dihitung dengan rumus: KR = a a a a a a a a � c. Frekuensi F, F = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot d. Frekuensi relatif, dihitung dengan rumus: FR = F a F a x e. Penutupan Jenis, dihitung dengan rumus: D = ∑ , BA = µ 4 f. Penutupan relatif DR, dihitung dengan rumus: DR = Ci ∑ C x g. Indeks Nilai Penting : INP = KR + FR + DR Analisis Tingkat Kerusakan Mangrove Metode yang digunakan untuk menghitung tingkat kerusakan mangrove berpedoman kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 6 Kriteria baku dan pedoman kerusakan mangrove No. Kriteria Penutupan Kerapatan PohonHa 1. Baik padat ≥ 75 ≥ 1500 PohonHa 2. Sedang ≥ 50 sampai 75 ≥ 1000 - 1500 PohonHa 3. Rusak ≥ 50 ≥ 1000 PohonHa kriteria baku tersebut, di hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a Penutupan adalah perbandingan antara luas areal penutupan jenis I Ci dan Luas total areal penutupan seluruh jenis ∑ C, atau : RC i = C i ∑ C x 100 C i = ∑ BAA BA = µ DBH 2 4 Keterangan : RC i = Penutupan A = Luas Total Area Pengambilan Sampel contoh BA = Basal Area Μ = 3,1416 konstanta DBH 2 = CBHμ lingkar pohon setinggi dada 18 b Kerapatan Pohon adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I ni dan jumlah total seluruh tegakan jenis Σn, atau : Rd i = ni∑ n x 100 Keterangan : Rdi = Kerapatan pohon hektar Ni = Jumlah tegakan jenis I ∑ n = Jumlah total seluruh jenis tegakan Analisis Data Citra Satelit Analisis citra menggunakan software Arc Gis 10.1 Santos et al. 2014; Li et al . 2013; Nguyen et al. 2013. Tahapanya adalah sebagai berikut: a. Pra processing citra satelit, terdiri dari pemotongan citra, koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometric bertujuan memperbaiki kualitas visul citra dan nilai-nilai pixel yang tidak sesuai. Koreksi geometrik bertujuan meletakkan posisi obyek citra sesuai dengan posisi sebenarnya dilapangan; b. Penajam citra, yaitu melakukan komposit pada citra sehingga didapatkan kenampakkan citra lebih jelas. Komposit yang digunakan adalah RGB 453, karena komposit ini lebih menonjolkan obyek vegetasi mangrove; c. Klasifikasi tutupan lahan untuk mendapatakan peta tutupan lahan. Setelah itu, dilakukan pemisahan untuk obyek mangrove. Pemisahan obyek mangrove dengan tutupan lahan yang lain bertujuan untuk mendapatkan peta sebaran mangrove; dan d. Ground Truth, pengamatan lapangan meliputi pengamatan terhadap kecocokan data citra dengan kondisi lapangan Analisis Kerapatan Menggunakan NDVI Menghitung nilai kerapatan hutan mangrove digunakan metode rasio band Inframerah dekat NIR dan band merah Green et al. 2000 dalam Waas dan Nababan 2010; Umroh et al. 2016 dengan formula di bawah ini : NDVI = NIR − red NIR + red Nilai NDVI di reklasifikasi ulang menjadi 3 kelas, yaitu jarang 0,01-0,25, sedang 0,25-0,50, dan lebat 0,50-1,00. Perhitungan interval kelas kerapatan berdasarkan rumus Setiawan 2013 sebagai berikut: KL = xt − xr k KL= Class interval, xt: maximum value, xr: minimum value, k:number of class Analisis Karateristik dan Pandangan Stakeholder tentang Pengelolaan Mangrove Karateristik sosial masyarakat yang bermukim di sekitar ekosistem mangrove Teluk Bintan diperoleh dari data responden dengan melakukan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi dan grafik. Pandangan stakeholder terhadap keberadaan dan pengelolaan ekosistem mangrove dianalisis dari hasil kuisioner kepada stakeholder yang terkait. Jumlah responden dalam penelitian ini 19 berjumlah 65 orang yang terdiri dari 60 masyarakat yang terdiri dari 55 nelayan dan 5 tokoh masyarakat serta 5 orang unsur pemerintah. Masyarakat yang dijadikan responden merupakan masyarakat yang berasal dari desa Tembeling Tanjung, desa Tembeling, desa Penaga, dan desa Pengujan. Unsur pemerintah terdiri dari Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupatan Bintan, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan, Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Bintan dan pemerintah Kecamatan Teluk Bintan. Pertanyaan yang diajukan selama penelitian menyangkut sikap dan pendapat responden masyarakat terhadap pengelolaan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan. Jawaban responden atas pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner kemudian direkapitulasi untuk ditentukan keputusan atas masing masing item pertanyaan. Persentase terbesar atas pilihan jawaban responden, dijadikan sebagai keputusan akhir untuk masing-masing item pertanyaan. Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Manfaat Langsung Nilai manfaat langsung direct use value adalah barang dan jasa yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan. Harga pasar dari suatu sumberdaya akan digunakan untuk menghitung nilai guna langsung dari ekosistem mangrove. Untuk menduga nilai ekonomi langsung pemanfaatan produk akhir ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dengan menggunakan metode effect on production EOP digunakan data hasil pengolahan tabel fekuensi yang terdiri dari nilai kumulatif dan nilai persentase persepsi masyarakat. Adapun langkah-langkah analisis manfaat langsung ekosistem mangrove sebagai berikut Andrianto 2006: a. Menentukan fungsi pemanfaatan langsung ekosistem mangrove, dengan fungsi sebagai berikut: Q = β0+ β 1 X 1 + β 2 X 2 + …… βnX n + …. Dimana: Q = Jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan X 1 = Harga sumberdaya ikan, udang,kepiting, kayu Rp X 2 = Umur Nelayan tahun X 3 = Lamanya pendidikan tahun X 4 = lamanya menjadi nelayan tahun X 5 = Pendapatan Rptahun X 6 = Frekuensi menangkap triptahun b. Melakukan transformasi fungsi penggunaan menjadi fungsi linier agar dapat diestimasi koefisien masing-masing parameter dengan menggunakan teknik regresi linier, sebagai berikut: LnQ = β0+ β 1 LnX 1 + β 2 LnX 2 + …… βnLnX n + … LnQ = β0+ β 2 LnX 2 … + βnLnXn + …… β 1 LnX 1 + … LnQ = β’+β 1 LnX 1 20 c. Kemudian persamaan 5 ditransformasikan kembali ke fungsi asal untuk mendapatkan fungsi pemanfaatan langsung ekosistem mangrove, yang ditunjukan dengan persamaan berikut: Q = exp β’ X ’�’ atau Q = β X ’�’ d. Menstransformasi fungsi permanfaatan menjadi bentuk persamaan harga non- linier dengan persamaan berikut: β X ’�’ = ’� � e. Untuk mengetahui nilai total WTP, maka selanjutnya diduga nilai utilitas dari pemanfaatan langsungekosistem mangrove didapat dari persamaan berikut. U= ∫ � � � � � Dimana: U = Ulititas permintaan terhadap sumberdaya a = Jumlah seumberdaya maksimum Q = Fungsi permintaan f. Selanjutnya untuk menduga nilai konsumen surplus merupakan nilai langsung pemanfaatan langsung ekosistem mangrove persatuan individu, sebagai berikut. CS = U- C Selanjutnya untuk mengetahui nilai ekonomi dari pemanfaatan langsung ekosistem mangrove maka nilai konsumen surplus dikalikan dengan luas per satuan hektar kawasan mangrove di Teluk Bintan, dengan persamaan sebagai berikut. NET = CS x Q Dimana: CS = Konsumen surplus individu Q = Jumlah Sumber daya keseluruhan kgtahun C = Harga yang dibayarkan Rp NET = Konsumen surplus populasi Analisis Pendapatan Usaha Tambak Analisis pendapatan merupakan kemampuan suatu usaha dalam mencari keuntungan. dari besaran pengeluaran modal yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan tersebut menurut Wullur et al. 2013. π = TR − TC Keterangan: TR : Total hasil produksi � : Total pendapatan TC : Total pengeluaran Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai tidak langsung adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut. Adapun manfaat tidak langsung di Teluk Bintan adalah sebagai penyimpan karbon. Nilai penyimpan karbon diformulasikan sebagai berikut: IUV 2 = JK x HK x LH 21 Dimana: IUV 2 = Nilai penyimpan karbon JK = Jumlah karbon per hektar per tahun HK = Harga karbon rupiah, FAO, 2012 yaitu 6.1 per ton LH = Luas hutan mangrove hektar Nilai Pilihan Manfaat pilihan adalah Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati biodiversity hutan mangrove di Indonesia mengacu Ruitenbek 1994 dalam Baderan 2013, yaitu US 1500 KmTahun 15 hektartahun. Manfaat pilihan dapat dituliskan sebagai berikut: MP = MPbi x LH Keterangan : MP = Manfaat Pilihan Rphektartahun; MPbi = Manfaat Pilihan biodiversity dimasukkan dalam nilai rupiah LH = Luas mangrove hektar Nilai Manfaat Eksistensi Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan hutan mangrove dari manfaat lainnya. Manfaat eksistensi dapat dituliskan sebagai berikut : ME = ∑ �� � �= Keterangan : ME = Manfaat Eksistensi MEi = Manfaat eksistensi dari responden ke-i n = Jumlah Responden Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total adalah jumlah total dari nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat eksistensi. Nilai ekonomi total manfaat mangrove adalah : NET = ML + MLT + MP + ME Keterangan : NET = Nilai ekonomi total ML = Manfaat langsung MTL = Manfaat tidak langsung MP = Manfaat pilihan ME = Manfaat eksistensi Habitat Equivalency Analysis Penurunan Luas Ekosistem Mangrove Perhitungan luas mangrove yang mengalami injury dapat diketahui dengan analisis deskriptif dan analisa kuantitatif dari data yang ada. Mengestimasi luas ekosistem mangrove yang harus dikompensasi akibat kerusakan menggunakan software Habitat Equivalency Analysi 2.61. 22 Luasan Kompensasi Ekosistem Mangrove Perhitungan luas mangrove yang mengalami kerusakan dapat diketahui dengan analisis deskriptif dan analisa kuantitatif dari data yang ada. Mengestimasi luas ekosistem mangrove yang harus dikompensasi akibat kerusakan menggunakan software Habitat Equivalency Analysis 2.61 Menurut Kohler dan Dogde 2006, parameter yang dibutuhkan dalam menghitung luasan kompensasi antara lain: 1 Parameter area yang ter- injury berupa a tingkat jasa ekologi yang dihasilkan pada saat kondisi baseline; b luasan yang terkena injury dan tingkat penurunan jasa ekologi dari kondisi baseline pada lokasi yang terkena injury; c tingkat penambahan jasa ekologi setelah restorasirehabilitasi dan tingkat maksimum jasa ekologi yang akan tercapai; c periode waktu pemulihan yang dibutuhkan oleh area yang mengalami injury, waktu ketika pemulihan dimulai dan ketika tingkat maksimum jasa ekologi akan tercapai, dan 2 Parameter area pengganti seperti a tingkat awal dari jasa ekologi yang dihasilkan oleh proyek pengganti. Diukur sebagai persentase dari jasa ekologi baseline pada lokasi yang terkena injury; b tingkat penambahan jasa ekologi dan tingkat jasa maksimum dari jasa ekologi pada lokasi proyek pengganti; c periode waktu yang dibutuhkan dalam memulihkan sumberdaya, waktu ketika jasa ekologi mulai meningkat dan ketika tingkat maksimum jasa ekologi akan tercapai; dan d pemulihan atau jangka waktu proyek. Nilai Klaim Kerusakan Biaya rehabilitasi yang diperlukan untuk mengkompensasi injury yang terjadi dapat diketahui melalui studi literature dengan melihat biaya proyek rehabilitasi yang pernah dilakukan. Rumus yang digunakan untuk mengetahui biaya rehabilitasi total adalah sebagai berikut Wahyuni 2010. TBR = BR x LAR Keterangan: TBR = Total biaya rehabilitasi Rp BR = Biaya rehabilitasi berdasarkan tahun penetapan biaya rehabilitasi Rpha LAR = Luas area yang akan direhabilitasi hektar Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Analisis pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan dengan mengidentifikasi permasalahan dalam pengelolaan secara deskriptif melalui wawancara mengggunakan kuisioner. Metode analisis data digunakan untuk mengidentifiksi dan menganalisis kebijakan yang telah dilakukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan adalah dengan menggunakan metode AHP Analytic Hierarchy Process yang mengacu pada Saaty 1993. Analytical Hierarchy Process AHP digunakan sebagai tindak lanjut proses membuat urutan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. AHP dilakukan untuk mendapatkan pilihan langkah operasional dari pandanganaspirasi stakeholder terkait dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Pemilihan responden ditentukan oleh keterlibatannya dalam penentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove terkait dengan pelaksanaan kebijakan dan pencapaian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kelompok stakeholder tersebut adalah pemerintah, swasta, LSM, 23 tokoh masyarakat dan penelitiperguruan tinggi. Saaty 1993, mengemukakan bahwa tahap-tahap dalam menganalisis AHP dapat diproses dengan meggunakan bantuan software expert choice 2000. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty 1993 : 1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi dilakukan dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para pakarahli yang memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. 2. Penyusunan struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling rendah. Penentuan tujuan berdasarkan permasalahan yang ada. Sedangkan penentuan kriteria dan alternatif diperoleh dari hasil pra-survei dan diskusi dengan keypersons. 3. Menyebarkan kuesioner kepada responden, sehingga dapat diketahui pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing aspek atau kriteria dengan membuat perbandingan berpasangan pairwise comparison. Perbandingan berpasangan, yaitu setiap elemen dibandingkan berpasangan terhadap suatu aspek atau kriteria yang ditentukan. Berikut adalah dari arti skala banding berpasangan yang disajikan pada Tabel 7 . Tabel 7 Skala banding berpasangan. Nilai 1 Kedua faktor sama pentingnya Nilai 3 Faktor yang satu sedikit lebih penting daripada faktor yang lainnya Nilai 5 Faktor satu esensial atau lebih penting daripada faktor Lainnya Nilai 7 Satu faktor jelas lebih penting daripada faktor lainya Nilai 9 Satu faktor mutlak lebih penting daripada faktor lainnya Nilai 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan. Sumber: Saaty 1993 4. Menyusun matriks pendapat individu dan pendapat gabungan dari hasil rata- rata yang di dapat dari responden. Kemudian hasil tersebut diolah menggunakan expert choice versi 9.0 untuk mengukur nilai inkonsistensi serta vektor prioritas dari elemen-elemen hirarki. Jika nilai konsistensinya lebih dari 0,1 maka hasil jawaban responden tersebut tidak konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,1 maka hasil jawaban responden tersebut dikatakan konsisten. Nilai konsekuensi tersebut dihasilkan dengan menggunakan rata-rata geometric. Dari hasil tersebut juga dapat diketahui kriteria dan alternatif yang diprioritaskan. 5. Selanjutnya skala prioritas dari kriteria dan alternatif tersebut digunakan untuk mencapai variabel hirarki dengan tujuan menyusun strategi pengelolaan mangrove. Gambar 4 Kerangka Penelitian Analisis pengelolaan ekosistem mangrove Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Analytical Hierarchy Process AHP Status ekologi mangrove Status sosial mangrove INPUT PROCES Pembuatan tambak Penebangan pohon mangrove Vegetasi mangrove Konversi lahan OUTPUT  Analisis citra menggunakan ArcGIS  Anaslisi deskriptif  Analisis NDVI Tingkat kerusakan mangrove Nilai ekonomi dan nilai klaim kerusakan ekosistem mangrove  Valuasi ekonomi  Habitat Equivalency Analysis Status Ekologi Ekosistem Mangrove  Analisis vegetasi  Analisis deskriptif Analisis deskriptif Persepsi masyarakat Peraturan daerah Partisipasi masyarakat Status Sosial Ekosistem Mangrove OUTCOME

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL Administrasi Kabupaten Bintan Kabupaten Bintan merupakan kabupaten yang berbentuk kepulauan karena wilayahnya terdiri dari beberapa gugusan pulau – pulau besar maupun kecil yang jumlahnya mencapai 241 pulau. Luas wilayah Kabupaten Bintan adalah 86.092 Km 2 , namun luas daratannya hanya 1.946,13 Km 2 atau 2,2 dari luas wilayah kabupaten. Kondisi ini menunjukan bahwa wilayah Kabupaten Bintan didominasi oleh ekosistem pantai yang sifatnya spesifik serta mempunyai keragaan biodiversiti dan sumberdaya genetika yang tinggi. Sebagai daerah kepulauan, sebagian wilayahnya ditumbuhi mangrove dengan lebar beberapa meter sampai ratusan meter dan memiliki historis perkembangan yang relatif berbeda-beda. Kawasan mangrove di Kabupaten Bintan memiliki fungsi yang sangat penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta sebagai sistem penyangga kehidupan. Secara geografis gugus Kabupaten Bintan terletak antara 0º06’17”- 1º34’52”Lintang Utara dan 104º12’47”Bujur Timur di sebelah barat 108º02’27” Bujur Timur di sebelah Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Kabupaten Natuna, Anambas dan Malaysia - Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga - Sebelah Timur : Kota Batam dan Kota Tanjungpinang - Sebelah Barat : Provinsi Kalimantan Barat BPS Kabupaten Bintan 2014 Administrasi Kecamatan Teluk Bintan Berdasarkan Perda No. 11 Tahun 2007 tentang pembentukan kelurahandesa dan kecamatan baru maka tahun 2007 kecamatan Teluk Bintan terdiri dari 5 desa dan 1 kelurahan, yaitu Desa Pangkil, Desa Pengujan, Desa Penaga, Desa Tembeling, Desa Bintan Buyu dan Kelurahan Tembeling Tanjung. Kecamatan Teluk Bintan terletak antara 0 59’11 sampai 1 05’33” Lintang Utara dan 104 21 ’52”sampai 104 29 ’50” Bujur Timur. Kecamatan Teluk Bintan merupakan daerah yang berbukit dan sebagian wilayahnya terletak dipinggiran pantai. Perairan Kecamatan Teluk Bintan terdiri dari perairan pantai yang berlumpur campur pasir yang merupakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan mangrove. Wilayah Kecamatan Teluk Bintan berbatasan dengan: - Sebelah Utara : Kecamatan Teluk Sebong - Sebelah Selatan : Kota Tanjung Pinang - Sebelah Timur : Kecamatan Seri Koala Lobam - Sebelah Barat : Kecamatan Toapaya Luas wilayah Kecamatan Teluk Bintan mencapai 411,97 km 2 , dengan luas daratan 185 km 2 44,90 dan luas lautan 226,97 km 2 55,10 . Desa terluas adalah desa Bintan Buyu dengan luas 49,2 km 2 dan desa terkecil adalah desa Tembeling dengan luas 20,2 km 2 . Luas wilayah masing- masing desakelurahan seperti pada Gambar 5 berikut ini: Gambar 5 Luas wilayah masing- masing desakelurahan Kecamatan Teluk Bintan Km 2 . Sumber: BPS Kabupaten Bintan, Teluk Bintan dalam Angka 2014 Profil Kependudukan Penduduk merupakan faktor penting pada perkembangan suatu wilayah dan merupakan pelaku kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut. Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Bintan adalah 10.299 jiwa yang terdiri dari 5.383 berjenis kelamin laki- laki dan 4.916 berjenis kelamin perempuan. Penduduk di wilayah Kecamatan Teluk Bintan sebagian besar terdiri dari golongan etnis Melayu sebagai penduduk asli atau penduduk lokal yang telah turun temurun bermukim di daerah ini dan sebagian lainnya berasal dari suku Jawa, Tionghoa, Bugis Sulawesi dan dari daerah lainnya di Sumatera. Berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk adalah laki-laki. Berikut ini, dapat dilihat jumlah penduduk Kecamatan Teluk Bintan pada masing-masing desa kelurahan pada Gambar 6: Gambar 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin masing-masing desakelurahan di Kecamatan Teluk Bintan jiwa Sumber: BPS Kabupaten Bintan, Teluk Bintan dalam Angka 2014 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan memliki pengaruh sangat penting dalam proses pembangunan khususnya di Kecamatan Teluk Bintan. Tingkat pendidikan formal responden nelayan tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan nelayan adalah tidak tamat SD dan tamat SD yaitu masing- masing 45 dan 30 . Responden yang berpendidikan rendah, motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa upah dari kegiatan penanaman mangrove. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan fungsi ekonomi dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman fungsi fisik dan ekologi. Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito 2012 memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki motivasi partisipasi lebih variatif. Selain motivasi karena kesadaran mereka terhadap pentingnya ekosistem mangrove, mereka juga bisa mencari keuntungan dengan mengikuti kegiatan seperti pelatihan-pelatihan, sehingga mereka bisa menerapkan tambak ramah lingkungan berbasis penghijauan pesisir, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dari pelatihan dan memiliki nilai ekonomi bagi mereka. Berikut ini, dapat dilihat tingkat pendidikan dilokasi penelitian pada Gambar 7. Gambar 7 Tingkat pendidikan responden Umur Responden Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Berdasarkan perbedaan kemampuan mental dan pengalaman yang dimiliki seseorang dikaitkan dengan umurnya. Selain itu, tindakan seseorang akan berbeda sesuai dengan umur yang dimilikinya. Berikut ini produktivitas umur responden dilokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Persentase produktivitas umur responden Hasil dari penelitian berdasarkan kategori umur, masyarakat yang menjadi responden pada penelitian ini memiliki kelompok umur yang berbeda. 68,3 responden memiliki umur diatas 50 tahun dan sebagian besar adalah nelayan. Sedangkan, 28,6 responden memiliki umur 26-50 tahun yang merupakan kategori umur produktif. Halim 1992 menjelaskan bahwa umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakan dengan berdasarkan usia yang dimiliki. Kondisi Kualitas Perairan Ekosistem Mangrove Kualitas lingkungan perairan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan secara umum masih berada pada batas normal. Walaupun mengalami fluktuasi, kondisi lingkungan perairan tersebut masih dapat ditolerir oleh biota- biota penghuni ekosistem mangrove. Hasil pengukuran parameter fisika dan kualitas perairan dilokasi penelitian disajikan dalam Tabel 8 dibawah ini: Tabel 8 Data parameter fisika dan kimia lokasi penelitian Stasiun Suhu o C Salinitas psu DO pH Tekstur Subtrat 1 27,65 25,40 4,90 6,18 Lempung 2 25,20 29,00 4,40 7,40 Lempung berdebu 3 28,20 29,50 5,11 7,10 Lempung berpasir 4 27,00 28,50 6,46 6,70 Lempung berpasir 5 26,00 27,40 5,35 7,00 Lempung berpasir 6 25,65 28,40 4,70 6,80 Lempung 7 28,10 31,00 5,26 8,35 Lempung berdebu 8 27,65 25,50 5,02 8,20 Lempung berpasir 9 27,20 31,00 4,40 8,00 Lempung berdebu 10 27,40 30,00 5,52 7,10 Lempung berpasir 11 29,60 28,80 6,34 7,00 Lempung berpasir Suhu air merupakan faktor yang menentukan kehidupan dan pertumbuhan mangrove. Suhu hasil pengukuran berkisar antara 25,20 °C – 29,60 °C. Salinitas juga menjadi faktor penyebaran tumbuhan mangrove. Salinitas hasil pengukuran dilokasi penelitian berkisar antara 25,40 - 31 psu. Oksigen terlarut hasil pengukuran di setiap stasiun berkisar antara 4,40 - 6.46 mgL. Sedangkan nilai pH hasil pengukuran menunjukkan kisaran 6,18 - 8,35. Hasil pengamatan substrat di lokasi penelitian adalah lempung, lempung berpasir dan lempung berdebu. Struktur Vegetasi Mangrove di Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi mangrove di lokasi penelitian, didapatkan kondisi vegetasi mangrove di Kecamatan Teluk Bintan terdiri dari 16 spesies, yaitu Acanthus ilicifolius, Acanthus ebracteatus, Avicennia alba, Avicennia lanata, Brugueira cylindrica, Brugueira gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemose, Nypah, Rhizophora apicullata, Rhizophora mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia ovata, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus mollucensis. Hasil pengamatan dilokasi penelitian, penyebaran jenis mangrove terlihat lebih bervariasi. Hal ini terlihat dari ditemukannya perbedaan jumlah jenis disetiap stasiun pengamatan. Stasiun 1, 2 dan 11 ditemukan 8 jenis mangrove dengan komposisi yang berbeda. Stasiun 7, 8 dan 10 ditemukan 7 jenis mangrove sedangkan stasiun 3 dan 10 terdapat 10 jenis mangrove. Stasiun yang sedikit ditemukan jenis mangrove adalah stasiun 6 yaitu hanya di dominasi oleh Rhizophora apicullata, dan Xylocarpus granatum. Komposisi jenis mangrove yang terdapat di Kecamatan Teluk Bintan pada umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Combretaceae, Sonneratiaceae dan Meliaceae, tetapi dari keempat famili yang ditemukan tersebut, famili Rhizophoraceae lebih mendominasi. Hal ini karena sebagaian besar substrat yang ada pada lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur dan lumpur berpasir. Komposisi jenis mangrove yang tersebar pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Komposisi jenis mangrove yang tersebar pada lokasi penelitian Kerapatan Jenis, Penutupan Jenis, Frekuensi Jenis dan Nilai Penting Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove di Teluk Bintan didapatkan hasil yang berbeda di setiap stasiun pengamatan. Stasiun 3 mempunyai kerapatan jenis paling tingggi dengan nilai 0,28 dan stasiun 2 paling rendah dengan nilai 0,07. Frekuensi jenis paling tinggi di stasiun 3 dengan nilai 5,33 dan paling rendah di stasiun 1 dengan nilai 2,66. Stasiun 2 mempunyai penutupan jenis paling tinggi dengan nilai 2,006 dan stasiun 1 paling rendah dengan nilai 0,57. Hasil analisis vegetasi mengrove dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil analisis pada lampiran 1, Rhizophora apiculata memiliki kerapatan relatif yang paling tinggi pada stasiun 3 dengan nilai 32,1 , stasiun 6 dengan nilai 55,66 , stasiun 7 dengan nilai 38,46 , stasiun 8 dengan nilai 34,29 dan stasiun 9 dengan nilai 18,18 . Kerapatan relatif Xylocarpus granatum paling tinggi pada stasiun I dengan nilai 38,4 , stasiun 2 dengan nilai 28,57 , stasiun 5 dengan nilai 36 dan 11 dengan nilai 33,33 . Stasiun 4 dan 9 kerapatan paling tinggi adalah Scyphiphora hydrophyllacea dengan nilai 18,18- 32,14 , sedangkan pada stasiun 10 terdapat tiga jenis mangrove yang kerapatan relatif sama dengan 23, 80 yaitu Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum dan Excoecaria agallocha. Hasil rata- rata setiap stasiun kerapatan relatif paling tinggi adalah Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum. Hal ini menunjukkan setiap stasiun memiliki kondisi ekologi yang sesuai untuk mangrove jenis ini tumbuh dengan baik. Frekuensi relatif hasil analisis tiap stasiun menunjukkan nilai yang berbeda- beda. Pada stasiun1, Xylocarpus granatum dan Excoecaria agallocha mempunyai nilai paling tinggi yaitu 25 . Sedangkan pada stasiun 2 Excoecaria agallocha mempunyai nilai paling tinggi yaitu 25 . Hasil analisis pada stasiun III menunjukkan Rhizophora apiculate dan Brugueira gymnorhiza memiliki nilai frekuensi relatif paling tinggi dengan 18,75 . Excoecaria agallocha dan Scyphiphora hydrophyllacea memiliki nilai frekuensi relatif paling tinggi pada stasiun 4 dengan nilai 23,08 , sama halnya pada stasiun 5 dan 7 Scyphiphora hydrophyllacea mempunyai nilai frekuensi relatif paling tinggi dengan 27,2 - 37,5. Stasiun yang sama yaitu stasiun 7, Lumnitzera racemose mempunyai nilai frekuensi paling tinggi yaitu 27,27 . Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum mempunyai nilai frekuensi paling tinggi pada stasiun 6 dengan nilai 50 dan stasiun 10 dengan nilai 25 . Rhizophora apiculata masih mempunyai nilai frekuensi paling tinggi pada stasiun 8 dengan nilai 27,27 , stasiun 9 dengan nilai 21,43 dan stasiun 11 dengan nilai 30 . Tingginya nilai frekuensi relatif setiap stasiun pengamatan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang memungkian mangrove untuk tumbuh optimal. Hasil analisis tentang penutupan jenis relatif menunjukan pada setiap stasiun, Xylocarpus granatum mempunyai nilai yang paling tinggi, kecuali pada stasiun 10 dimana Rhizophora apiculata mempunyai nilai paling tinggi yaitu 20,42 . Pada stasiun 6, Xylocarpus granatum menunjukkan nilai paling tinggi dengan 56,41 dan stasiun 9 nilai penutupan jenis relatif Xylocarpus granatum menunjukkan nilai rendah dengan 20,49 . Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks nilai penting dilokasi penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum dan Scyphiphora hydrophyllacea dengan perbedaan nilai setiap stasiun. Pada stasiun 4 didominasi oleh jenis Scyphiphora hydrophyllacea dengan nilai INP 83,61 . Mangrove jenis Xylocarpus granatum mendominasi pada stasiun 1, 2, 5 6, 9 dan 11, dimana paling tinggi nilai INP distasiun 6 yaitu 150,86 dan paling rendah di stasiun 9 dengan 49,92 . Sedangkan pada stasiun 3, 7, 8 dan 10 didominasi oleh jenis Rhizophora apiculate, dengan nilai paling tinggi distasiun 8 yaitu 91,17 dan nilai paling rendah distasiun 3 yaitu 59,14 . Tingginya indeks nilai penting Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum dan Scyphiphora hydrophyllacea menunjukkan jenis mangrove tersebut berperan cukup penting dalam menjaga keberlangsungan ekosistem. Tingkat Kerusakan Mangrove di Kecamatan Teluk Bintan Berdasarkan hasil analisis kriteria baku dan pedoman kerusakan mangrove KEPMENLH 201 tahun 2004, mangrove di Teluk Bintan masuk dalam kriteria baik sangat padat dan sedang dan kriteria rusak jarang. Hal ini didasarkan oleh jumlah kerapatan pohonhektar hasil pengamatan disetiap stasiun pengamatan. Hasil kerapatan mangrove di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Tingkat kerusakan di lokasi penelitian Kerapatan fase pohon yang masuk dalam kategori baik sangat padat dan paling tinggi di ditemukan pada stasiun 3 yaitu 2800 pohonhektar, lalu berturut- turut stasiun 6 dengan 2700 pohonhektar, stasiun 1 yaitu 2600 pohonhektar, stasiun 11 yaitu 2100 pohon hektar,, dan stasiun 7 yaitu 1734 pohon hektar,. Selanjutnya fase pohon yang masuk dalam kategori baik sedang berada di stasiun 8 dengan kerapatan pohon 1167 pohon hektar, stasiun 9 dengan 1100 pohon hektar, dan stasiun 10 yaitu 1300 pohon hektar. Stasiun penelitian yang masuk dalam kategori rusak jarang dan paling sedikit jumlah pohon hektar, berada di stasiun 2 dengan 700 pohon hektar, lalu berturut- turut stasiun 5 yaitu 834 pohon hektar, dan stasiun 4 yaitu 934 pohon hektar. Hasil pengamatan dilokasi penelitian terlihat bahwa jumlah individu kategori anakan dan semai berjumlah cukup besar, yaitu anakan paling banyak ada di stasiun III dengan 3000 individuhektar, dan paling sedikit jumlahnya ada di stasiun V, yaitu 1343 individu hektar. Sama halnya dengan semai dengan jumlah paling banyak ditemukan di stasiun IX yaitu 2233 individu hektar, dan paling sedikit jumlahnya di stasiun VI yaitu 567 individu hektar. Perubahan Luasan Mangrove di Teluk Bintan Analisis perubahan tutupan mangrove pada penelitian ini dilakukan pada tiga tahun pengamatan, yaitu tahun 1990, 2003, dan 2013. Berdasarkan interpretasi visual terhadap data penginderaan jauh, didapatkan informasi bahwa luas tutupan mangrove mengalami penurunan tiap tahun pengamatan. Berturut turut luasan tutupan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan pada tahun 1990 dengan luas 1847, 43 hektar, tahun 2003 dengan luas 1556,1 hektar dan tahun 2013 dengan luas 1346,43 hektar. Dari tahun 1990 hingga 2013 luasan mangrove mengalami penurunan sebesar 501,39 hektar atau 27,1 . Informasi luas dan perubahan luas tutupan mangrove tersebut dapat dilihat pada Tabel dan Gambar 9 berikut ini. Tabel 9 Perubahan luasan mangrove Tahun Luasan hektar Persentase luasan mangrove Luasan berkurang tahun Luasan hektar Persentase luasan berkurang 1990 1847,43 100 1990- 2003 291,33 15,8 2003 1556,10 84,2 2003- 2013 210,06 11,3 2013 1346,04 72,9 1990- 2013 501,39 27,1 Gambar 9 Perubahan luasan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan Tahun 1990 sampai 2013 Persepsi Stakeholder Terhadap Keberadaan Ekosistem Mangrove Pertanyaan yang diajukan selama penelitian menyangkut sikap dan pendapat responden masyarakat terhadap pengelolaan mangrove di ekosistem mangrove Kecamatan Teluk Bintan. Hasil rekapitulasi jawaban dapat dilihat pada Tabel 10, 11, 12, 13. Tabel 10 Pemahaman tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya Tabel 11 Persepsi masyarakat mengenai kondisi ekosistem mangrove No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 1 Keadaaan ekosistem mangrove saat ini 33.3 41.7 25 2 Kondisi sumberdaya biotahewan di ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dalam 10 tahun terakhir 3.3 8.3 78.3 10 3 Kondisi ukuran jenis ikan,udang dan kepiting di ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dalam 10 tahun terakhir 25 75 4 Kondisi hasil tangkapan ikan, kepiting dan udang di ekosistem mangrove Teluk Bintan dalam 10 tahun terakhir 6.7 58.3 26.7 8.3 Tabel 12 Keterlibatan pemerintah dalam pelestarian ekosistem mangrove No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 1 Pemahaman dengan istilah ekosistem mangrove 5 81.7 10 3.3 2 Pemahaman mengenai fungsi dan manfaat dari ekosistem mangrove 66.7 20 13.3 3 Peraturan desaadat yang mengatur tentang pemanfaatan hutan mangrove 100 4 Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan kayu bakar, bangunan dan arang 5 20 16.7 55 3.3 5 Mencari kepiting atau kerang di mangrove 8.3 6.7 58.3 26.7 6 Keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, kepiting, dan udang 20 80 No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 1 Pemerintah memprogramkan melaksanakan pelestarian hutan mangrove 5 78.3 16.7 2 Pemerintah mengadakan penyuluhan pelatihan pembinaan kepada masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove 33.3 66.7 3 Kebijakan serta koordinasi instansi terkait dengan masyarakat dalam bidang pelestarian hutan mangrove 56.7 36.7 6.7 4 Apabila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian hutan mangrove 21.7 78.3 Tabel 13 Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove Keterangan: 5 : Sangat mengertiBanyakSangat Sering ≥10 kaliSangat BerpengaruhSangat BaikSemakin Banyak JenisnyaSemakin BesarSangat MeningkatSangat Setuju 4 : MengertiAdaSering 7 –9 kali BerpengaruhBaikBanyak JenisnyaBesarMeningkatSetuju 3 : Kurang MengertiTidak AdaAgak Sering 4 –6 kaliAgak BerpengaruhSedangSama SajaKurang SetujuKurang Baik 2 : Tidak MengertiTidak TahuJarang 1-3 kaliTidak Berpengaruh RusakBerkurang JenisnyaSemakin KecilBerkurangTidak SetujuBuruk 1 : Sangat Tidak Mengerti Sangat Tidak BerpengaruhSangat RusakSangat KecilSangat BerkurangSangat Tidak SetujuTidak Pernah 0 kaliSangat BurukSangat Berkurang Hasil analisis kuisioner menunjukkan bahwa 86,67 masyarakat sekitar kawasan ekosistem mangrove Kecamatan Teluk Bintan mengerti dengan ekosistem mangrove. Pemahaman ini tidak hanya dengan istilah, tetapi juga mengenai fungsi dan manfaat dari ekosistem mangrove tersebut, yaitu dengan 66,67 jawaban dari masyarakat. Sehingga 58,3 masyarakat agak sering 4 – 6 kalibulan dalam mencari ikan, kepiting kerang. Sama halnya dengan pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan kayu bakar, bangunan dan arang, 55 masyarakat mengaku jarang intensitas 1-3 kali dan 20 sering dengan instensitas 7-9 kali dalam sebulan. Masyarakat menyadari bahwa kondisi vegetasi mangrove berdampak kepada peningkatan hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting sehingga 80 responden menjawab berpengaruh dan 20 repondeng menjawab sangat berpengaruh. Namun yang terjadi belum ada peraturan desaadat yang mengatur tentang pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan. No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 Mengikuti kegiatan pelestarian dan pengelolaan mangrove perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembaga lain 11.7 88.3 2 Melakukan penanamanpemeliharaan mangrove atas kehendak sendiri 100 3 Mengikuti kegiatan penanaman mangrove oleh pemerintah dan Lembaga lain 6.7 16,7 76.7 4 Apabila dalam pelestarian ekosistem mangrove perlu dilakukan pengawasan oleh pemerintah 25 75 5 Apabila pemerintah melakukan program pembinaan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove 20 80 Mengenai kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, 41,67 responden menjawab dalam kondisi sedang 33,33 responden kondisi baik dan 25 responden dalam kondisi rusak. Kondisi ekosistem mangrove berpengaruh terhadap sumberdaya biotahewan di ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dalam 10 tahun terakhir dengan 78,3 responden menjawab berkurang. Selain berkurangnya sumberdaya hewan, 75 responden menyatakan bahwa ukuran jenis ikan, udang dan kepiting di ekosistem mangrove semakin kecil. Hal ini berdampak terhadap hasil tangkapan masyarakat, sehingga 58,33 responden menjawab sama saja, 26,67 responden menajwab berkurang. Partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove masih sangat rendah, diketahui bahwa 88,33 tidak pernah mengikuti kegiatan pelestarian dan pengelolaan mangrove perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembaga lain. Tingkat swadaya masyarakat dalam upaya penanaman mangrove di sekitar Kecamatan Teluk Bintan masih rendah, 76,67 responden tidak pernah melakukan penanaman mangrove yang dilakukan pemerintah dan lembaga lain dan 83,9 reponden tidak pernah sama sekali melakukan penanaman mangrove atas kehendak sendiri. Masyarakat sangat mendukung upaya pengelolaan di Kacamatan Teluk Bintan, hal ini dapat diketahui dari 80 reponden setuju apabila pemerintah melakukan program pembinaan kepada masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove. Kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah masih jarang dilaksanakan karena 66,7 responden menjawab tidak pernah pemerintah mengadakan penyuluhanpelatihanpembinaan kepada masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove. Masyarakat menilai kebijakan serta koordinasi instansi terkait dengan masyarakat dalam bidang pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove berjalan dengan baik. Oleh karena itu, 78,33 responden setuju apabila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian hutan mangrove. Pertanyaan yang diajukan kepada stakeholder pemerintah menyangkut tentang peran aktif masing-masing Dinas terkait dalam pengelolaan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan. Hasil rekapitulasi jawaban dapat dilihat di tabel 14. Tabel 14 Pemahaman tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 1 Sosialisasi peraturan perundangan tentang perlindungan dan pelestarian mangrove dalam satu tahun terakhir 14, 2 71, 4 14, 2 2 Pelanggaran peraturan perundangan tentang perlindungan dan pelestarian mangrove satu terakhir yang sering dilakukan masyarakat 28, 5 71, 5 Tabel 14 Pemahaman tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya No Pertanyaan Jawaban 5 4 3 2 1 4 Sistem penanganan dalam penyelesaian pelanggaran oleh masyarakat - Memberikan himbauan kepada pemangku kawasan - Menurunkan tim lapangan untuk menelusuri permasalahan yang terjadi - Memberikan teguran lisan dan tertulis - Menghentikan aktivitas pengrusakan yang terjadi 5 Peran serta dalam memberikan bantuan pemberdayaan masyarakat dalam satu tahun terakhir 42, 8 57, 1 6 Terlibat langsung dalam pengawasan ekosistem mangrove dalam satu terakhir 28, 5 57, 1 14, 2 7 Melibatkan masyarakat untuk melakukan penanggulangan kerusakan ekosistem mangrove 14, 2 28, 5 57, 3 8 Bentuk pelibatan kepada masyarakat - Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan mangrove - Pelatihan pengolahan buah mangrove - Melakukan penanaman mangrove - Membentuk Hutan Kemasyarakatan Mangrove 9 Melakukan kajian, monitoring terhadap ekosistem mangrove dalam satu tahun terakhir 28, 5 71, 5 10 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem mangrove - Investarisasi pendataan potensi mangrove - Belum ada aturan tertulis pemerintah daerah - Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan mangrove - Status kawasan mangrove - Belum adanya Kelembagaan yang fungsinya sebagai pengawasan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Tabel 14 Pemahaman tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya No Pertanyaan Jawaban 11 Cara Mengatasi kendala dalam pengelolaan ekosistem mangrove - Perlu adanya peraturan tertulis daerah terkait pengelolaan ekosistem mangrove - Melakukan pendataan mengenai potensi mangrove - Memberikan kegiatan yang bisa menambah penghasilan masyarakat untuk mengalihkan perambahan hutan oleh masyarakat - Melakukan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang pentingnya melestarikan hutan mangrove 12 Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove - Pembinaan secara teknis terkait penanaman mangrove - Melarang pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan mangrove - Mengembangkan ekowisata di kawasan mangrove 13 Aturan larangan konversi mangrove - Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 62 - UU No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan - Perda No 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bintan 2011-2031 14 Teknologi Pemanfaatan mangrove dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat - Sebagai lokasi ekowisata mangrove - Pengolahan buah mangrove 15 Kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove - Kerjasama dengan ITTO melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Kerjasama dengan pihak Banyan tree melalui CSRnya - Kerjasama dengan pihak Yayasan Ekowisata Tunas Harapan YETHAS mengenai ekowisatanya Keterangan: Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Teluk Bintan Tabel 14 Pemahaman tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya No Pertanyaan Jawaban 16 Menyikapi pembukaan tambak yang mengurangi dan merusak mangrove - Didalam RTRW Kabupaten Bintan 2013-2031 sebenarnya sudah jelas bahwa lokasi tersebut adalah hutan lindung, oleh karena itu tidak diizinkan adanya pembukaan tambak. Hal yang harus disikapi adalah tentang proses perizinannya. Langkahsikap yang diambil - Melaksanakan rehabilitasi mangrove dilahan kritis - Melakukan pencegahan dengan cara pendekatan dan penyadaran kepada pemilik lahan tentang teknologi tepat guna mengenai tambak di mangrove yaitu dengan sistem silvofishery - Melakukan penyuluhan kepada masyarakat di desa-desa yang berdekatan dengan mangrove tentang pentingnya ekosistem mangrove 17 Menyikapi pertambangan bauksit yang merusak ekosistem mangrove - Pasti merusak, pelajari lagi mengenai AMDALnya sehingga ekosistem mangrove tetap terjaga dengan baik Langkahsikap yang diambil - Memberi saran kepada pemangku kekuasaan untuk menelusuri mengenai perizinan, jika terbukti melanggar izin di berikan sanksi tegas - Sosialisasi dan penyuluhan bersama dinas terkait melaksanakan pengawasan dan perlindungan ekosistem mangrove 18 Potensi pengembangan kawasan ekosistem mangrove - Potensi pengembangan untuk ekowisata mangrove yang sangat baik dengan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan perekonomian masyarakat - Pengembangan perikanan tangkap di kawasan ekosistem mangrove 5 : Sangat Sering ≥10 kali 4 : Sering 7 –9 kali 3 : Agak Sering 4 – 6 kali 2 : Jarang 1-3 kali 1 : Tidak Pernah 0 kali Perhitungan nilai ekonomi dalam penelitian ini dibatasi pada ekonomi yang selama telah ada di Kecamatan Teluk Bintan. Nilai ekonomi yang dihitung adalah nilai ekonomi ekosistem mangrove dari direct use value sektor perikanan, manfaat kayu dan bibit mangrove, indirect use value penyimpan karbon dan bibit mangrove non use value keanekaragaman hayati ekosistem mangrove dan existence value . Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rekapitulasi estimasi nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan No Tipologi Nilai Klasifikasi Fungsi dan manfaat Nilai Ekonomi Rptahun 1 Direct use value Kepiting 206.061.000; Udang 371.193.000; Rajungan 265.215.000; Ikan 211.246.000; Kayu 18.240.000; Bibit mangrove 19.200.000; 2 Indirect use value Penyimpan karbon 21.729.885.000; 3 Option value Nilai keanekaragaman hayati ekosistem mangrove 283.778.000; 4 Existence value Nilai keberadaan mangrove 55.980.000; Nilai Ekonomi Rptahun 23.160.798.000; Nilai Ekonomi Rphektartahun 17.206.619; Sumber: Hasil olah penelitian 2015 Nilai ekonomi direct use value keberadaan ekosistem mangrove didekati dengan menggunakan teknik perhitungan effect on production EOP. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan fungsi pemanfaatan sumberdaya perikanan ekosistem hutan mangrove, seperti yang diadaptasi dari Adrianto 2006 in Yulianda et al. 2010 yaitu X = Jumlah hasil tangkapan Kgtahun, X 1 = Harga ikan P, X 2 = Umur responden tahun, X 3 = Lamanya pendidikan tahun, X 4 = Lamanya sebagai nelayan tahun, X 5 = Pendapatan Rptahun, X 6 = Frekuensi menangkap tahun. Nilai manfaat langsung diperoleh dari hasil perikanan, pemanfaatan kayu, perhitungan persemaian bibit mangrove dan nilai dari tambak. Indirect use value diperoleh dari dan mangrove sebagai penyimpan karbon. Variabel yang digunakan dalam nilai estimasi sebagai penyimpan karbon adalah jumlah karbon tonhektar, harga karbon dan luas mangrove. Hasil penelitian ITTO yang bekerja sama dengan BPDAS Tanjungpinang pada tahun 2013 bahwa mangrove Kecamatan Teluk Bintan mempunyai nilai rata-rata sebagai penyimpan karbon adalah 188,2 C tonha. Harga karbon berdasarkan FAO 2012 sebesar US 6.1 atau sebesar Rp 85,735.50; dengan kurs dolar Amerika saat ini. Option value diperoleh dari nilai keanekaragaman hayati biodeversity hutan mangrove di Indonesia yang mengacu pada Ruitenbek 1994 dalam Baderan 2013, yaitu US 1500 kmtahun atau US 15 hektartahun. Existence value diperoleh dari kesedian masyarakat membayar dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh ekosistem mangrove. Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan adalah Rp 23.160.798.000;tahun atau Rp 17.206.619;hektartahun. Hasil perhitungan masing-masing nilai manfaat terdapat pada lampiran. Kompensasi Kerusakan dan Biaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Perhitungan besarnya luas ekosistem mangrove yang harus dikompensasai dalam penelitian ini akan dilakukan dengan skenario, pertama menggunakan waktu rehabilitasi selama 15 tahun 3 tahun dengan penanaman dan 12 tahun secara alami. Hal ini berdasarkan PERMENHUT P.9Menhut-II2013, bahwa rehabilitasi hutan mangrove dilakukan melalui tahapan: tahun pertama penanaman, tahun kedua pemeliharaan I dan tahun ketiga pemeliharaan II. Kedua, waktu rehabilitasi 30 tahun tumbuh secara alami. Hal ini menurut Lewis 2010, bahwa hutan mangrove dapat memulihkan diri sendiri tanpa upaya penanaman yaitu melalui suksesi sekunder pada periode 15 hingga 30 tahun. Perhitungan luasan yang harus dikompensasi membutuhkan beberapa komponen, yaitu: 1. Tahun klaim kerusakan adalah tahun dilakukannya penelitian, yaitu tahun 2015 2. Luasan yang terkena injury yaitu luasan ekosistem mangrove sebesar 501,39 hektar 3. Nilai rasio yang digunakan yaitu satu dengan kata lain 100 dari kerusakan akan dikompensasi. Hal ini diasumsikan bahwa kondisi jasa yang hilang sama dengan jasa yang diperoleh 4. Persentase jasa ekosistem mangrove sebelum terjadi injury yaitu sebesar 100. Hal ini berdasarkan data paling lampau luas hutan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan yaitu pada tahun 1990. Luas hutan mangrove pada tahun tersebut adalah kondisi baseline sehingga jasa yang dihasilkan masih bersifat full service 5. Persentas jasa ekologi ekosistem mangrove setelah adanya kerusakan dan sebelum adanya upaya rehabilitasi adalah sebesar 25 . Kerusakan diasumsikan sebanding dengan penurunan jasa ekologis hutan mangrove. 6. Komponen waktu yang dibutuhkan dalam proses rehabilitasi dan tingkat suku bunga yang dipakai dibuat dalam bentuk skenario. Skenario pertama yaitu, rehabilitasi 15 tahun dengan 3 tahun penanaman dan 12 tahun secara alami, dan waktu 30 tahun tumbuh secara alami. Skenario selanjutnya dengan melihat perubahan suku bunga. Analisis ini menggunakan dasar nilai Bank Indonesia sebesar 7,5 . Nilai keseluruhan yang harus dikompensasi dan biaya rehabilitasi dengan penerapan skenario dilihat pada Tabel 16: Tabel 16 Luas yang harus dikompensasi dan biaya rehabilitasi ekosistem mangrove Waktu Rehabilitasi tahun Luas Kompensasi Ha Biaya Rehabilitasi Rp 15 1.091,727 Rp 30.372.391.000; 30 1.743,406 - Sumber: Hasil Olah penelitian 2015 Strategi Kebijakan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Formulasi strategi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove sangat menentukan arah dan tujuan perencanaan dan pengembangan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu berkelanjutan. Strategi pemanfaatan ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi dengan mengakomodir semua aspek yang terkait dengan perencanaan pemanfaatan ekosistem secara strategis. Aspek tesebut yaitu, aspek ekologis, sosial ekonomi dan kelembagaan. Pada tahapan ini akan dikaji mengenai pemilihan sektor prioritas yang potensial untuk pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Hasil analisis Analytical Hierarchy Process di tampilkan pada diagram hierarki berikut: Gambar 10 Diagram hierarki prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Gambar 10 menunjukkan penyusunan hierarki pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process dengan aktor adalah pemerintah daerah, masyarakat dan kolaborasi yang pemerintah dan masyarakat. Sedangkan kriteria yang menjadi pertimbangan dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah ekologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Alternatif kebijakan terdiri dari melakukan rehabilitasi dan konservasi, membentuk hutan kemasyarakatan dan membuat peraturan daerah dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan dan lestari. Hasil analisis Analytical Hierarchy Process menggambarkan beberapa alternatif kebijakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi wilayah Kecamatan Teluk Bintan, yaitu kondisi potensi dan permasalahan ekosistem mangrove. Berdasarkan gambar 10 menunjukkan bahwa aktor yang Kolaborasi 0,594 Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan Pemerintah 0,249 Masyarakat 0,157 Ekologi 0,223 Tujuan Aktor Sosial Ekonomi 0,179 Kelembagaan 0,598 Kriteria Alternatif Peraturan Daerah

0, 630

Hutan Kemasyarakatan

0, 209

Rehabilitasi

0, 161

mempunyai peran besar dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah kolaborasi yaitu pemerintah dan masyarakat dengan skor 0,594. Kemudian, kriteria yang menjadi prioritas utama adalah aspek kelembagaan dengan skor 0,598. Sedangkan, prioritas utama kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yaitu membuat peraturan daerah dengan skor 0,630. Alternatif ini dipilih karena kebijakan dan koordinasi antar sektor belum sinergis dan efektif serta penegakan hukum terhadap pelanggaran belum dilakukan secara tegas. PEMBAHASAN Kondisi Ekosistem Mangrove Perairan Teluk Bintan sebagai sebuah sistem ekologi yang memiliki peran dan fungsi saling mendukung, secara fisik sebagai perairan semi tertutup serta merupakan habitat mangrove. Secara alami, mangrove yang tumbuh membentuk ekosistem mangrove. Kondisi mangrove di kecamatan Teluk Bintan mengalami kerusakan sebagai akibat terjadinya pengembangan pemukiman masyarakat, pengembangan infrastruktur transportasi darat, serta pembalakan oleh masyarakat. Pham dan Yashino 2013, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tekanan penduduk telah mengakibatkan penipisan yang parah terhadap hutan mangrove di dunia. Konversi kawasan mangrove untuk udang, budidaya pembesaran kepiting bakau, pertanian, dan pemukiman manusia telah memberi kontribusi hilangnya dan degradasi hutan mangrove. Kualitas perairan faktor fisika-kimia dapat mempengaruhi pertumbuhan ekosistem mangrove dan kondisi kehidupan biota dikawasan pesisir. Parameter yang yang diamati adalah suhu, salinitas, DO dan pH. Perry et al. 2009, menyatakan bahwa faktor-faktor fisika kimia lingkungan merupakan penentu utama pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Suhu air merupakan faktor yang menentukan kehidupan dan pertumbuhan mangrove. Suhu hasil pengukuran berkisar antara 25,20 °C –29,60 °C, suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20° C. Khaula et al. 2008 suhu air yang baik untuk pertumbuhan mangrove adalah 20,8° – 32,8° C sedangkan suhu tanah 20,1 °C–34,8 °C. Salinitas didaerah mangrove dipengaruhi oleh tinggi dan waktu penggenangan air pasang surut serta adanya aliran sungai. Salinitas juga menjadi faktor penyebaran tumbuhan mangrove. Salinitas hasil pengukuran dilokasi penelitian berkisar antara 25,40 – 31 psu. Kondisi salinitas yang tinggi diatas 33 psu, mangrove masih bisa tumbuh tetapi akan terganggu pola pertumbuhanya, seperti diameter dan tinggi batang yang akan berbeda dengan kondisi salinitas yang normal. Menurut Supriharyono 2007, mangrove dari spesies Bruguiera dapat bertahan pada salinitas air antara 10-25 psu dan salinitas tanah 10 psu Satheeshkumar et al. 2011 mangrove dapat tumbuh dengan baik di salinitas yang berkisar antara 10,26-35,20 psu. Oksigen terlarut DO mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan biota- biota di ekosistem mangrove terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Oksigen terlarut hasil pengukuran di setiap stasiun berkisar antara 4,40 - 6.46 mgL. Sedangkan nilai pH hasil pengukuran menunjukkan kisaran 6,18- 8,35. Satheeshkumar et al. 2011 mangrove dapat tumbuh dengan baik pada oksigen terlarut berkisar 3.71 –5.33 mgL dan pH berkisar 7.05-8.36. Ditambahkan Khaula et al. 2008, oksigen terlarut 3.24 -5.47 mgL, pH air 7.15- 8.17 dan pH tanah 7.68-8.72 merupakan kisaran yg optimal untuk tumbuhnya mangrove. Struktur Vegetasi Mangrove di Lokasi Penelitian Jenis mangrove yang mendominasi di Kecamatan Teluk Bintan adalah Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum. Mangrove jenis ini tumbuh pada tanah berlumpur halus, banyak dijumpai di sepanjang sungai pasang surut dan perairan yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Terdapat kemiripan jenis yang ditemukan di masing- masing stasiun karena habitat tumbuh jenis mangrove mayoritas sama setiap stasiun. Noer et al. 2006, menyatakan bahwa mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum biasanya tumbuh pada tanah yang halus dan tergenang pada saat pasang normal, seringkali tumbuh mengelompok dalam jumlah besar dan di lingkungan payau yang tidak terlalu asin. Ditambahkan oleh Udoh 2016, pasokan air tawar dari hulu yang terus menerus biasanya membawa lumpur, sedimen dan bahan organik sehingga semua memainkan peran dalam regenerasi, pertumbuhan dan produktivitas bakau. Pada stasiun 7 ditemukan jenis mangrove Lumnitzera racemose dimana jenis ini tidak ditemukan di stasiun lain, hal ini karena stasiun ini di dominasi oleh substrat yang padat dan berada di sepanjang sungai. Ditemukan juga mangrove jenis Lumnitzera littorea distasiun 3, 8 dan 9 karena pada stasiun ini didominasi oleh substrat halus dan berlumpur sehingga jenis Lumnitzera littorea dapat tumbuh subur . Nypah hanya ditemukan di stasiun 8 karena pada stasiun ini berada di pinggir sungai yang masukan air tawarnya tinggi sehingga cocok bagi kehidupannya. Ali et al. 2009 menyebutkan bahwa nypa sebagai palma hidup menjalar di tanah, batang terendam lumpur dan hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah sehingga menampakkan seolah- olah tidak berbatang. Palma ini dapat tumbuh di dalam wilayah perairan yang berlumpur, agak tawar sepanjang masih dipengaruhi pasang-surut air laut. Kerapatan relatif pada lokasi penelitian yang paling tinggi didominasi oleh Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea dan Excoecaria agallocha. Kerapatan vegetasi mangrove dalam suatu ekosistem memberikan perlindungan terhadap biota yang menempati tempat ini dari faktor alam dan hewan predator. Menurut Skilleter dan Warren 1999 dalam Schaduw 2008, kerapatan pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya, ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang hidup didalamnya seperti ikan dan moluska. Nilai frekuensi relatif jenis yang paling mendominasi adalah Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Brugueira gymnorhiza dan Excoecaria agallocha. Hal ini menunjukkan bahwa jenis- jenis tersebut yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Simbala 2007, menyatakan bahwa jenis yang memiliki nilai frekuensi dan nilai kerapatan tertinggi merupakan