161 Strategi Pengelolaan Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan (Studi Kasus Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan)

hasil pengukuran menunjukkan kisaran 6,18- 8,35. Satheeshkumar et al. 2011 mangrove dapat tumbuh dengan baik pada oksigen terlarut berkisar 3.71 –5.33 mgL dan pH berkisar 7.05-8.36. Ditambahkan Khaula et al. 2008, oksigen terlarut 3.24 -5.47 mgL, pH air 7.15- 8.17 dan pH tanah 7.68-8.72 merupakan kisaran yg optimal untuk tumbuhnya mangrove. Struktur Vegetasi Mangrove di Lokasi Penelitian Jenis mangrove yang mendominasi di Kecamatan Teluk Bintan adalah Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum. Mangrove jenis ini tumbuh pada tanah berlumpur halus, banyak dijumpai di sepanjang sungai pasang surut dan perairan yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Terdapat kemiripan jenis yang ditemukan di masing- masing stasiun karena habitat tumbuh jenis mangrove mayoritas sama setiap stasiun. Noer et al. 2006, menyatakan bahwa mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatum biasanya tumbuh pada tanah yang halus dan tergenang pada saat pasang normal, seringkali tumbuh mengelompok dalam jumlah besar dan di lingkungan payau yang tidak terlalu asin. Ditambahkan oleh Udoh 2016, pasokan air tawar dari hulu yang terus menerus biasanya membawa lumpur, sedimen dan bahan organik sehingga semua memainkan peran dalam regenerasi, pertumbuhan dan produktivitas bakau. Pada stasiun 7 ditemukan jenis mangrove Lumnitzera racemose dimana jenis ini tidak ditemukan di stasiun lain, hal ini karena stasiun ini di dominasi oleh substrat yang padat dan berada di sepanjang sungai. Ditemukan juga mangrove jenis Lumnitzera littorea distasiun 3, 8 dan 9 karena pada stasiun ini didominasi oleh substrat halus dan berlumpur sehingga jenis Lumnitzera littorea dapat tumbuh subur . Nypah hanya ditemukan di stasiun 8 karena pada stasiun ini berada di pinggir sungai yang masukan air tawarnya tinggi sehingga cocok bagi kehidupannya. Ali et al. 2009 menyebutkan bahwa nypa sebagai palma hidup menjalar di tanah, batang terendam lumpur dan hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah sehingga menampakkan seolah- olah tidak berbatang. Palma ini dapat tumbuh di dalam wilayah perairan yang berlumpur, agak tawar sepanjang masih dipengaruhi pasang-surut air laut. Kerapatan relatif pada lokasi penelitian yang paling tinggi didominasi oleh Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea dan Excoecaria agallocha. Kerapatan vegetasi mangrove dalam suatu ekosistem memberikan perlindungan terhadap biota yang menempati tempat ini dari faktor alam dan hewan predator. Menurut Skilleter dan Warren 1999 dalam Schaduw 2008, kerapatan pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya, ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang hidup didalamnya seperti ikan dan moluska. Nilai frekuensi relatif jenis yang paling mendominasi adalah Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum, Scyphiphora hydrophyllacea, Brugueira gymnorhiza dan Excoecaria agallocha. Hal ini menunjukkan bahwa jenis- jenis tersebut yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Simbala 2007, menyatakan bahwa jenis yang memiliki nilai frekuensi dan nilai kerapatan tertinggi merupakan kategori jenis yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks nilai penting dilokasi penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata, Xylocarpus granatum dan Scyphiphora hydrophyllacea . Indek nilai penting INP merupakan parameter kuantitatif yang dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi tingkat penguasaan spesies-spesies dalam komunitas mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat Himmah et al. 2010; Nativadad et al. 2015, bahwa indeks nilai penting dipakai untuk menyatakan tingkat penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain dalam suatu komunitas. Ditambahkan oleh Nabi dan Rao 2012, bahwa indeks nilai penting digunakan untuk mengungkapkan dominasi dan keberhasilan ekologisnya dalam suatu ekosistem. Tingkat dominasi INP antara 0-300 menunjukkan keterwakilan jenis mangrove yang berperan dalam ekosistem, sehingga jika INP 300 berarti mengrove memiliki peran yang penting dalam lingkungan pesisir Bengen 2001 Tingkat Kerusakan dan Perubahan Luasan Mangrove Kerapatan fase pohon yang masuk dalam kategori baik sangat padat terdapat di 5 stasiun pengamatan dan dalam kategori baik sedang terdapat di 3 stasiun. Jumlah fase pohon yang banyak pada stasiun diatas disebabkan karena tingkat eksploitasi oleh masyarakat sekitar masih sedikit dan karena lokasinya yang tidak berdekatan langsung dengan pemukiman penduduk sekitarnya, mengakibatkan penduduk lebih memilih untuk memanfaatkan mangrove yang berada lebih dekat dengan pemukimannnya. Selain itu pada stasiun tersebut kondisi lingkungan dalam kondisi yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya mangrove sehingga kerapatan pohon sangat padat. Stasiun penelitian yang masuk dalam kategori rusak jarang terdapat pada tiga stasiun . Berkurangnya jumlah individu yang terdapat pada stasiun ini karena sebagian besar masyarakat pada umumnya lebih cenderung memanfaatkan mangrove pada lokasi tersebut untuk diambil kayunya sebagai kayu bakarkayu untuk bangunan, lokasinya pun dekat dengan pemukiman warga. Sesuai dengan pendapat Bayan 2014, bahwa Kondisi mangrove yang letaknya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan muara sungai seiring dengan pertumbuhan pembangunan akan merubah kondisi lingkungan disekitar mangrove yaitu tersebarnya sampah diseluruh permukaan substrat yang akan berdampak pada penurunan kualitas habitat mangrove dan mengakibatkan tidak tersedianya media untuk pertumbuhan mangrove terutama pada tingkat semai yang akhirnya akan berdampak pada tidak ada keberlanjutan ekosistem mangrove dan berakhir dengan hilangnya populasi mangrove di kawasan ini. Penentuan kriteria baku kerusakan mangrove tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove yang menyatakan bahwa untuk menentukan kondisi mangrove diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu: a baik sangat padat dengan kerapatan ≥ 1500 pohonha; b baik sedang dengan kerapa tan ≥ 1000- ≥ 1500 pohonha; dan c rusak jarang dengan kerapatan 1.000 pohonha. Banyaknya jumlah anakan dan semai yang ditemukan menunjukan bahwa substrat yang ada pada setiap stasiun masih cukup subur dan daerahnya secara alami masih terlindung, sehingga kemampuan mangrove untuk tumbuh kembali cukup tinggi dapat dilihat dari jumlah anakan dan semaian. Jenis mangrove yang paling tinggi individunya adalah jenis Rhizophora apiculata, Scyphiphora hydrophyllacea dan Xylocarpus granatum, karena pada lokasi penelitian ini pada umumnya didominasi oleh jenis substrat pasir berlumpur. Sehingga kedua jenis mangrove ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan lingkungannnya. Tingginya tingkat kerapatan vegetasi mangrove pada fase anakan dan fase semai berpengaruh terhadap fungsi ekologis fungsi fisik dan biologi vegetasi mangrove yang terdapat di Kecamatan Teluk Bintan. Fungsi ekologis fisik yang dimaksud adalah sebagai peredam gelombang dan penahan abrasi, mencegah intrusi air laut ke darat, sebagai penahan lumpur dan perangkap sedimen. Sedangkan fungsi biologis adalah fungsi vegetasi mangrove sebagai penghasil detritus dan tempat berlindungnya biota laut seperti udang dan kepiting, sehingga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan penangkap ikan di kawasan ekosistem mangrove Kecamatan Teluk Bintan. Selain itu, tingginya tingkat kerapatan vegetasi mangrove pada fase anakan dan fase semai merupakan sumberdaya yang cukup potensial untuk menutupi rendahnya tingkat kerapatan vegetasi mangrove pada fase pohon di beberapa lokasi penelitian. Pengelolaan vegetasi mangrove fase anakan dan fase semai dengan baik dalam jangka waktu tertentu, akan berdampak kepada tingginya tingkat kerapatan fase pohon di ekosistem Kecamatan Teluk Bintan. Kerusakan ekosistem mangrove berpengaruh terhadap luasan mangrove saat ini. Hasil analisis luasan mangrove dari tahun 1990 hingga tahun 2013 luasan mangrove berkurang sekitar 501,39 hektar. Penyebab berkurangnya vegetasi mangrove karena terjadi penebangan pohon mangrove untuk bahan bakar pembuatan genteng dan pembangunan infrakstruktur seperti jalan raya, pelabuhan tangkahan untuk nelayan serta adanya pembuatan tambak udang. Kecamatan Teluk Bintan merupakan wilayah pesisir barat Kabupaten Bintan yang pada tahun 2011 telah dilakukannya pembangunan jalan raya dan jembatan untuk menghubungkan ke wilayah Kecamatan Tanjung Uban. Dampak dari pembangunan tersebut adalah berkurangnya pohon mangrove terutama di lokasi yang terdapat sungainya seperti sungai Kangboy, sungai Bintan, sungai Tanah Merah, sungai Ekang Anculai. Selain itu, di beberapa lokasi seperti kampung Beloreng, Bengko, Guntung, Keter Tengah dan Pulau Ladi dibangun pelabuhan tangkahan nelayan, yang pembangunanya di aliran sungai kecil tempat mangrove tumbuh. Walaupun tidak sigfinikan tetapi pembangunan tersebut menjadi faktor pengurangn luasan mangrove. Sesuai dengan pendapat Hossain et al. 2009; Polidoro et al. 2010; Spalding et al. 2010, bahwa ancaman utama untuk semua jenis mangrove adalah perusakan habitat dan pengalihan daerah mangrove untuk pertanian, pembangunan infrastruktur perkotaan dan pesisir. Gambar 11 Pembangunan infrastruktur yang mengurangi luasan mangrove Penebangan kayu mangrove juga masih terjadi, kayu mangrove yang diambil adalah jenis Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp.. Kayu jenis ini digunakan untuk bahan bakar pembuatan genteng yang di wilayah Kabupaten Bintan. Kayu ini dipilih karena mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Sesuai dengan pernyataan Tumisem dan Suwarno 2008, bahwa kayu dengan kepadatan yang tinggi akan menjadi lebih berat rata-rata 0,9 ms, keras, mempunyai daya keawetan yang lama dan merupakan bahan bakar yang baik dengan panas yang ditimbulkan cukup tinggi serta nyala apinya cukup lama. Pembuatan tambak di Desa Tanah Merah yang tidak memperhatikan konsep silvofishery berperan terhadap pengurangan luasan mangrove. Kegiatan pembangunan tambak memicu terjadinya laju degradasi hutan mangrove yang mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi hutan mangrove. Duke et al. 2007; Giri et al. 2007; Guimaraes et al. 2010; Nfotabong-Atheull dan Din 2013, menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mangrove yang tinggi di negara berkembang tidak hanya karena bencana alam, tetapi juga konversi menjadi tambak dan pemanenan produk kayu. Gambar 12 Pembuatan tambak dan penebangan kayu sehingga mengurangi luasan mangrove Hasil analisis vegetasi menggunakan NDVI menunjukkan penurunan luas kerapatan mangrove tiap tahun pengamatan, seperti dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini: Tabel 17 analisis luas kerapatan vegetasi mangrove menggunakan NDVI Sumber : Hasil Olah penelitian 2015 Hasil analisis menggunakan NDVI pada tahun terakhir pengamatan yaitu tahun 2013, mangrove dalam kategori baik seluas 171,99 hektar, kategori sedang Kategori Tahun dan luasan hektar 1990 2003 2013 Baik 1142,46 1116,54 171,99 Sedang 691,29 415,17 401,04 Rusak 13,68 24,39 774,01 Total 1847,43 1556,10 1346,04 401,04 hektar dan kategori rusak 774,01 hektar. Berdasarkan hasil analisis bahwa mangrove di Kecamatan Teluk Bintan masuk dalam kategori rusak. Persepsi Stakeholder Terhadap Keberadaan Ekosistem Mangrove Secara garis besar masyarakat Kecamatan Teluk Bintan telah memahami mengenai istilah, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove terutama sebagai pendukung sumberdaya perikanan. Walaupun dalam kehidupan sehari- hari mereka jarang memanfaatkan secara langsung sumberdaya ikan ekonomis penting dari ekosistem mangrove. Sesuai dengan pendapat Barbier 2000; Nagelkerken et al. 2008,ekosistem ini merupakan habitat yang ideal untuk berbagai spesies hewan, termasuk spesies ikan komersial yang penting, sehingga mendukung populasi ikan dan perikanan. Masyarakat juga menyadari bahwa kondisi vegetasi mangrove berdampak kepada peningkatan hasil tangkapan sumberdaya ikan, sehingga dapat meningkat perekonomian mereka. Sesuai dengan pernyataan Walters et al. 2008, bahwa di negara berkembang manusia secara langsung bergantung pada sumberdaya pesisir termasuk ekosistem mangrove sebagai pendukung perikanan untuk sumber pendapatan mereka. Salah satu faktor yang mempercepat laju degradasi mangrove yaitu rendahnya kesadaran masyarakat, baik itu dari perangkat pemda maupun perangkat masyarakat. Oleh karena itu, sangat diharapkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove. Pemerintah juga harus intensif mengadakan penyuluhanpelatihanpembinaan kepada masyarakat agar masyarakat mempunyai wawasan tentang pengelolaan ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil penelitian Musyafar 2009, pengetahuan masyarakat pesisir tentang ekosistem mangrove berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam melestarikan ekosistem mangrove, sedangkan sikap masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove lebih besar pengaruhnya terhadap niat yang selanjutnya melakukan pelestarian ekosistem mangrove. Ditambahkan oleh Nfotabong-Atheull et al. 2011 bahwa pengetahuan ekologi, pengalaman masyarakat lokal dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan pelestarian mangrove oleh masyarakat disebabkan minimnya intensitas sosialisasi dan lemahnya penegakan hukum di Kawasan ekosistem mangrove Kecamatan Teluk Bintan. Bentuk pelanggaran yang terjadi antara lain: penimbunan untuk pembangunan infrakstruktur dan rumah warga; alih fungsi lahan mangrove sebagai tambak; masyarakat belum memahami dengan baik terkait fungsi dan manfaat ekosistem mangrove; dan penebangan pohon mangrove. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatasi berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi sangat dibutuhkan untuk kelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan. Duke et al. 2007, menyatakan bahwa struktur pemerintahan yang efektif, kebijakan risiko sosial ekonomi, dan strategi mengenai pengetahuan masyarakat dibutuhkan masyarakat di seluruh dunia untuk membalikkan trend penurunan mangrove dan memastikan bahwa generasi mendatang menikmati jasa ekosistem yang disediakan oleh ekosistem alam yang berharga seperti ekosistem mangrove. Beberapa bentuk pelibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, antara lain: melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan mangrove; pelatihan pengolahan buah mangrove; melakukan penanaman mangrove. Penanaman mangrove tersebar di beberapa lokasi, diantaranya pada tahun 2013 di Desa Tembeling dengan luas 70 hektar, kelurahan Tembeling Tanjung 35 hektar. Tahun 2014 dilakukan penanaman mangrove di Desa Penaga dengan luas 3,78 hektar, dan tahun 2015 di rencanakan luasan bertambah menjadi 3,03 hektar. Walaupun pemerintah telah melibatkan masyarakat, tetapi hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat 57,3 responden menjawab jarang dan 28,5 respoden menjawab agak sering. Ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. Potensi tersebut mencakup pengembangan ekowisata mangrove; pemanfaatan buah mangrove dan potensi pengembangan perikanan di kawasan ekosistem mangrove. Salampessy et al. 2015, beberapa masyarakat di beberapa desa di Maluku memiliki pandangan keyakinanbudaya dimana bakau mangrove adalah pohon kehidupan yang merupakan sumber makana utama bagi keberadaan ikan, udang dan siput. Agar ikan selalu banyak tersedia maka keberadaan mangrove sebagai sumber makanan harus dipertahankan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk terlibat secara sukarela baik individu maupun kelompok untuk melestarikan ekosistem mangrove. Ditambahkan oleh Masood et al. 2015 bahwa upaya manusia dalam melakukan penanaman mangrove merupakan salah satu usaha dalam meningkatkan luasan tutupan mangrove. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan adalah investarisasi pendataan potensi mangrove; belum adanya aturan tertulis dari pemerintah daerah; kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan mangrove; status kawasan ekosistem mangrove; rendahnya APBD untuk pengelolaan mangrove; dan belum adanya kelembagaan yang fungsinya sebagai pengawasan dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Sesuai dengan pendapat Din et al. 2008, bahwa salah satu kendala dalam pengelolaan mangrove adalah tidak memadainya undang-undang tentang perlindungan mangrove. Sebenarnya telah ada aturan mengenai pengelolaan ekosistem mangrove yang tertulis di Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 62; UU No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan; dan Perda No 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bintan 2011-2031, tetapi belum terkoordinasi dengan baik sehingga kurang optimalnya upaya dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Macintosh dan Ashton 2003, menyatakan bahwa diperlukan lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan mangrove, lembaga utama yang bersangkutan harus mendukung mekanisme kerjasama yang efektif antar lembaga terkait dengan semua pemangku kepentingan . Mengatasi kendala tersebut, pemerintah daerah harus segera membuat aturan tertulis dalam rencana pengelolaan bersama terkait pengelolaan ekosistem mangrove agar ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan tetap lestari dan berkelanjutan. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan kegiatan penyuluhan tentang pemanfaatan mangrove non kayu seperti pengolahan buah mangrove, ekosistem mangrove sebagai ekowisata, dan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk perikanan. Kegiatan ini bernilai ekonomi sehingga menambah penghasilan masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove dan dapat mengalihkan pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat. Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove di Kecamatan Teluk Bintan Ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan baik secara langsung mau pun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitarnya. Berdasar hal tersebut maka diperlukan suatu konsep pengelolaan, yang diawali dengan mengetahui seberapa besar nilai ekonomi dari hutan mangrove, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat pilihan. Nilai ekonomi tersebut tidak termasuk nilai ekonomi total mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, karena belum semua klasifiksi dan fungsi dari masing- masing manfaat belum dilakukan perhitungan. National Research Council of the National Academies 2005, menyatakan bahwa ekonom menguraikan nilai total ekonomi ekosistem mangrove diperoleh dari perhitungan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan nilai keberadaan. Manfaat langsung pemanfaatan hasil perikanan yang berasal dari perhitungan nilai ekonomi udang, kepiting, rajungan dan ikan sebesar Rp 910.385.000; menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan mempunyai potensi perikanan yang besar. Hal ini karena sebagian besar wilayah kondisi lingkungan sekitar mangrove tergolong baik untuk pertumbuhan jenis ikan. Pendapat Nagelkerken et al. 2008, bahwa banyak penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara ekosistem mangrove dan kegiatan menangkap ikan. Hubungan ini diamati terutama berasal dari spesies ekonomis. Studi tersebut memberikan informasi tentang hubungan mangrove dan perikanan dan sebagai dasar untuk penilaian ekonomi. Data dari BPS Kecamatan Teluk Bintan 2014, jumlah nelayan ada 2261 orang, terdiri dari 1881 nelayan tangkap dan 380 pembudidaya. Nelayan di Kecamatan Teluk Bintan merupakan nelayan kecil yang memanfaatkan perikanan sebagai sumber pendapatan mereka. Hal ini dilihat dari ukuran perahu dan jarak lokasi penangkapan. Hasil wawancara dengan nelayan terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan dalam 5 tahun terakhir di sebagian wilayah Kecamatan Teluk Bintan. Kondisi mangrove yang baik berkaitan dengan hasil tangkapan ikan di sekitar mangrove. Rajendra 2004, mangrove menyediakan lapangan kerja kepada 0,5 juta nelayan dan 1 juta pekerjaan diseluruh dunia yang berkaitan langsung dengan perikanan. Oleh sebab itu penting adanya identifikasi dan estimasi melalui valuasi ekonomi yang tepat mangrove sebagai habitat ikan. Manfaat langsung lainnya adalah dari pengambilan kayu dan bibit mangrove sebesar Rp 37.440.000,00. Nilai ekonomi tersebut memang tidak besar, tetapi masih bisa menyumbang penghasilan masyarakat sekitar. Pemanfaatan kayu mangrove sudah berkurang sejak ditutupnya pembuatan genteng yang menggunakan kayu mangrove sebagai pembakarannya. Manfaat ekonomi lain adalah usaha tambak yang ada di desa Tanah Merah. Kegiatan usaha tambak di Kecamatan Teluk Bintan memanfaatkan lahan hasil dengan menebang mangrove dan dibentuk tambak tanah dengan ukuran 1-2 hektartambak. Pengembangan usaha tambak udang, ikan kerapu dan ikan kakap merupakan tambak tradisional, lahan menggunakan lahan sendiri ataupun lahan sewa. Pada umumnya, dalam melakukan kegiatan usaha tambak di Kecamatan Teluk Bintan komoditas dilakukan selama 2 musim panen dalam setahun. Hasil analisis menunjukkan pendapatan dari tambak adalah Rp 143.330.000,00 tahun, dimana penerimaan paling tinggi adalah udang. Hasil pengamatan diketahui bahwa penerimaan dan harga produk mempengaruhi nilai pendapatan petambak. Menurut Yulianda 2012, menyatakan bahwa semakin banyak hasil produksi maka semakin besar pula penerimaan yang akan diterima oleh petambak. Demikian juga dengan tingkat harga, semakin tinggi harga dari satu jenis komoditas maka semakin besar pula penerimaan yang akan diperoleh petambak. Secara ekonomi, usaha tambak yang dilakukan menguntungkan masyarakat, tetapi karena sistem yang digunakan tidak tepat sehingga mangrove dilokasi tersebut rusak. Selain itu bahwa nilai manfaat tambak sebenarnya mempunyai nilai ekonomi yang lebih kecil dibandingkan manfaat langsung mangrove lainya. Seharusnya pada pembuatan tambak dapat menggunakan konsep silvofishery, dimana pola ini mengkombinasikan antara konservasi mangrove dan lahan tambak. Menurut Sambu et al. 2013, silvofishery model komplangan merupakam model yang tepat diterapkan karena merupakan penyempurnaan antara empang parit dan empat parit disempurnakan. Model ini, lahan mangrove sebagai area konservasi terpisah dari lahan tambak sebagai area budidaya yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu terpisah, dimana 40 lahan mangrove dan 60 lahan tambak. Salah satu manfaat tidak langsung dari mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Hasil penelitian ITTO yang bekerja sama dengan BPDAS Tanjungpinang pada tahun 2013 bahwa mangrove Kecamatan Teluk Bintan mempunyai nilai rata- rata sebagai penyimpan karbon adalah 188,2 C tonhektar. Harga karbon berdasarkan FAO 2012 sebesar US 6.1 atau sebesar Rp 85,735.50; dengan kurs dolar Amerika Rp 14.282; sehingga didapatkan nilai ekonomi sebesar Rp 21,729,885,00;. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar sebagai penyimpan karbon. Pendapat Alongi 2012, ekosistem mangrove termasuk peringkat paling kaya kandungan karbonnya diantara ekosistem hutan. Ditambahkan oleh Liu et al. 2013, hutan mangrove menyediakan jasa ekosistem sebagai penyimpan karbon dilautan dan permukaan tanah. Cadangan karbon yang besar artinya penyerapan karbon pun besar sehingga mengurangi dampak perubahan iklim. Sesuai dangan pendapat Lasco 2002, bahwa untuk mengurangi dampak perubahan iklim dapat dilakukan dengan penyerapan karbon dan menurunkan emisi karbon. Potensi penting lainnya ekosistem mangrove adalah nilai keanekaragaman hayatinya. Nilai ekonomi keanekaaragaman hayati ekosistem mangrove adalah Rp 283,778,000;. Nilai tersebut mengacu pada Ruitenbek 1994 dalam Baderan 2013, yaitu US 1500 kmtahun atau US 15 hektartahun. Turner et al. 2000 dalam Yulianda et al. 2013, menyatakan keanekaragaman hayati memberikan manfaat kepada kesejahteraan manusia dalam konteks ecosystem life support functions , sistem produksi barang dan jasa dan aspek bioetik yang merefleksikan pandangan moral manusia terhadap keanekaragaman hayati. Nilai ekonomi dari keberadaan ekositem mangrove adalah Rp 55,980,000;. Nilai keberadaan diperoleh dari kesedian masyarakat membayar dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh ekosistem mangrove. Ghani 2006 menyatakan pengakuan tentang keberadaan mangrove juga dapat divaluasi. Hal ini mengungkapkan tentang nilai intrinstik mangrove, nilai budaya, estetika, warisan dan aspek keindahan alam. Ditambahkan Deghani et al. 2010, untuk menilai keberadaan mangrove diperoleh dengan meminta kesedian untuk membayar dengan adanya keberadaan mangrove. Salah satu penyebab dari terjadinya degradasi ekosistem mangrove karena masalah kurang menghargai terhadap nilai ekonomi sebenarnya yang dihasilkan dari ekosistem mangrove tersebut. Hal ini mengindikasikan kurangnya informasi terkait nilai ekonomi dari ekosistem mangrove. Chan 2011 dalam Oundenhoven et al. 2015, menyatakan mengingat konsekuensi nilai ekonomi dalam hal layanan ekosistem sangat penting diperlukan kebijakan dan keputusan yang tepat dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Sebagaian besar keputusan pengelolaan mangrove didasarkan pada keuntungan ekonomi, perlindungan keanekaragaman hayati dan penyerapan tenaga kerja. Kompensasi Kerusakan dan Biaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Luas ekosistem yang menurun harus dikompensasi dengan penanaman mangrove agar kembali ke kondisi baseline besarnya dipengaruhi oleh skenario yang telah dibuat sebelumnya. Berdasarkan data dari injury yang terjadi di Kecamatan Teluk Bintan kurun waktu 1990-2013 yaitu sebesar 501,39 hektar dari kondisi baseline 1847.43 hektar. Nilai keseluruhan luas yang harus di kompensasi dengan penerapan skenario memperlihatkan nilai yang berbeda. Jika suku bunga 7,5 dan waktu yang dibutuhkan untuk rehabilitasi selama 15 tahun maka luas mangrove yang harus dikompensasi seluas 1.091,727 hektar. Waktu yang dibutuhkan untuk rehabilitasi selama 30 tahun maka luas mangrove yang harus dikompensasi seluas 1.743,406 hektar. Viehman et al. 2009 menyatakan bahwa cepat dan efektifnya restorasirehabilitasi dimaksudakan untuk mengurangi hilangnya sumberdaya alam dan jasa ketika terjadi kerusakan hingga kembali ke kondisi awal. Luas area yang harus di kompensasi hasil penerapan HEA menunjukkan nilai yang lebih besar dari total luas mangrove yang rusak. Hal ini menunjukkan adanya akumulatif jasa ekologi yang hilang dan dikompensasi yaitu semenjak terjadinya injury hingga mampu ke kondisi baseline. Besarnya luas yang harus dikompensasi menggambarkan jasa ekologi selama terjadinya injury tidak dapat dirasakan karena hilang untuk sementara akibat injury tersebut. Kohler dan Dodge 2006 berpendapat kompensasi menyediakan layanan yang diperoleh hanya sebagian karena terbatas waktu, oleh karenanya area yang lebih dari kompensasi diperlukan untuk menyeimbangkan hilangnya layanan sumberdaya. Kompensasi kerusakan dapat dilakukan dengan rehabilitasi, yaitu upaya untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi hutan mangrove mendekati kondisi baseline . Cacela et al. 2005, menyatakan bahwa skala restorasirehabilitasi menggunakan HEA memperkirakan pengaruh dari manfaat rehabilitasirestorasi tersebut agar setara dengan kerugian akibat degradasi habitat. Ditambahkan oleh Dunford et al. 2004 bahwa kompensasi dengan rehabilitasi memberikan keuntungan agar jasa layanan sumberdaya alam yang mengalami degradasi kembali ke kondisi jasa layanan awal sebelum adanya degradasi. Rehabilitasi tersebut membutuhkan biaya dalam pelaksanaanya dan tergantung komponen yang terdapat di dalam rehabilitasi tersebut. Biaya yang dibutuhkan dalam skala proyek rehabilitasi per hektar selama 3 tahun adalah Rp 27.820.500 lampiran 11. Rehabilitasi selama 15 tahun dengan 3 tahun melakukan penanamam biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 30.372.391.000. Skenario rehabilitasi selama 30 tahun diasumsikan secara langsung tidak membutuhkan biaya, karena mangrove dalam jangka waktu tersebut akan kembali ke kondisi awal atau secara alami melakukan suksesi sekunder. Namun demikian untuk menjaga keberlangsungan proses rehabilitasi peran masyarakat setempat menjadi sangat penting karena secara langsung atau tidak langsung masyarakat akan mendapatkan manfaat dari ekosistem mangrove tersebut. Strategi Kebijakan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Landasan strategi untuk memperoleh rumusan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan adalah hasil dari serangkaian analisis yang telah dilakukan. Rumusan kebijakan yang dibangun harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Rumusan arahan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Kecamatan Teluk Bintan adalah sebagai berikut: A. Kebijakan Membuat Peraturan Daerah Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari seluruh stakeholder yang ada, kawasan ini jarang sekali mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun lembaga swasta pemerhati lingkungan. Masih lemahnya koordinasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan baik dari pemerintah ke masyarakat maupun sebaliknya membuat koordinasi antar pemangku kepentingan masih kacau dan sering terjadi tumpang tindih kebijakan. Proses penegakan hukum yang tidak tegas menjadi kendala dalam pengelolaan mangrove. Penegakan hukum yang terjadi selama ini tidak disertai dengan pemberian sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dengan membuat peraturan daerah terkait pengelolaan ekosistem mangrove. Kebijakan pengelolaan mangrove secara nasional telah diatur dalam Peraturan Presiden Perpres nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Prepres tersebut merupakan kebijakan dan program nasional untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Perpres dimaksud mengamanatkan bahwa untuk melaksanakan strategi pengelolaan ekosistem mangrove, maka pemerintah Daerah baik Provinsi maupun KabupatenKota perlu menyusun Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tingkat Provinsi dan Tingkat KabupatenKota. Strategi pengelolaan mangrove tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi para pihak dalam pemanfaatan kawasan mangrove secara lestari. Macintosh dan Ashton 2003, menyatakan pemerintah harus memastikan bahwa kerangka hukum, kelembagaan dan administrasi yang dikembangkan di tingkat lokal, nasional harus berjalan efektif untuk mendukung pengelolaan mangrove. Ditambahkan oleh Sasidhar dan Rao 2015, perencanaan untuk konservasi dan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk meningkatkan generasi vegetasi membutuhkan peraturan yang tepat untuk keberlanjutan ekosistem mangrove. Strategi untuk mengatasi tekanan pada ekosistem mangrove sangat diperlukan, agar mampu menjamin bahwa perubahan yang terjadi tidak membahayakan kelestarian fungsi-fungsi ekologi, dan sosial ekonomi yang dapat merugikan kehidupan generasi sekarang maupun di masa mendatang. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, maka perencanaan pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dilakukan secara terpadu dan terintegrasi dengan pembangunan sektor lain. Prinsip – prinsip dalam pemanfaatan kawasan mangrove dapat memprioritaskan pada hal –hal berikut: 1. Pemanfaatan kawasan mangrove untuk kegiatan ekowisata, perikanan dan pengembangan hasil hutan bukan kayu; 2. Peran masyarakat setempat dalam pemanfaatan kawasan mangrove; 3. Melakukan konservasi untuk perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Melakukan rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas ekosistem mangrove; 5. Mengembangkan penelitian dan pengembangan sebagai pendukung dalam memperkuat pengelolaan kawasan mangrove secara lestari.

B. Kebijakan Mengenai Pembentukan Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan kondisi kawasan mangrove di Kecamatan Teluk Bintan, serta pedoman strategi pengelolaan mangrove dan kebijakan pemberdayaan masyarakat disekitar hutan, maka kebijakan dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan dilaksanakan dengan pendekatan pemanfaatan yang lestari berbasis pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah membentuk hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Menurut PP No 88Menhut-II2014, pemberdayaan masyarakat yaitu untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Arah kebijakan dari pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat ditujukan untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip yang harus diterapkan dalam hutan kemasyarakatan diantaranya tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan; pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman; mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya; menumbuh kembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa; meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan; memerankan masyarakat sebagai pelaku utama; adanya kepastian hukum; transparansi dan akuntabilitas publik; dan partisipatif dalam pengambilan keputusan. Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan meliputi: penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan; perizinan dalam hutan kemasyarakatan; hak dan kewajiban; pembinaan, pengendalian dan pembiayaan dan sanksi. Di Kabupaten Bintan, sudah terbentuk hutan kemasyarakatan yaitu di Kecamatan Sri Koala Lebam, yang terdiri dari dua kelompok yaitu Ketapang Putih di desa Busung dan kelompok Medang Kenanga di desa Kuala Sempang. Dalam pelaksanaanya kedua kelompok HKm tersebut belum berjalan efektif dikarenakan ada kendala dalam pelaksanaanya, diantaranya mengalami kendala dalam kemasan dan pemasaran hasil olahan mangrove; kurangnya promosi wisata mangrove dan kurangnya pemahaman dalam penerapan program kelompok HKm tersebut. Terlepas dari kendala tersebut, pengelolaan mangrove berbasis HKm bisa di terapkan di Kecamatan Teluk Bintan mengingat besarnya potensi pemanfaatan mangrove di Teluk Bintan.

C. Kebijakan Konservasi dan Rehabilitasi Kawasan Mangrove

Secara umum kondisi mangrove di Kecamatan Teluk Bintan pada beberapa kawasan telah mengalami kerusakan sebagai akibat terjadinya pengembangan pemukiman masyarakat, pengembangan infrastruktur transportasi darat, serta pembalakan oleh masyarakat. Kerusakan kawasan mangrove tersebut diperkirakan akan semakin besar pada masa yang akan datang, karena adanya perkembangan masyarakat serta kepentingan pembangunan ekonomi di Kabupaten Bintan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, perlunya dilakukan rehabilitas mangrove di kawasan yang rusak. Strategi yang bisa lakukan diantaranya dengan menyusun rencana teknis rehabilitasi kawasan mangrove dan mengembangkan pembibitan mangrove. Selain itu diperlukannya monitoring dan evaluasi rehabilitasi mangrove agar program dilakukan dapat berjalan dengan baik untuk kelestarian mangrove. Ngololo et al. 2015, menyatakan upaya pemulihan mangrove merupakan solusi parsial, diperlukan perlindungan dan konservasi terhadap ekosistem yang tersisa agar tidak semakin banyak yang hilang. Berdasarkan hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Kecamatan Teluk Bintan mempunyai nilai ekonomi yang besar artinya jika terjadi perubahan luas mangrove yang positif semakin bertambah, maka nilai ekonomi mangrove bernilai positif meningkat dan sebaliknya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan keberadaannya agar fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan nilai jasa lingkungannya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sasidhar dan Rao 2015, menyatakan bahwa dengan kondisi ekosistem mangrove yang rentan terhadap tekanan, maka di perlukanya upaya konservasi dan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Program dalam upaya Kebijakan Membuat Peraturan Daerah Pengelolaan Ekosistem Mangrove

1. Perencanaan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Tujuan : Mempertahankan keberadaan dan fungsi ekosistem mangrove Progam : 1 Penetapan dan pemasangan batas kawasan lindung oleh pemerintah daerah khususnya Kecamatan Teluk Bintan 2 Pelaksanaan kegiatan inventarisasi kondisi ekologi mangrove di Kecamatan Teluk Bintan

2. Konservasi dan Rehabilitasi Mangrove

Tujuan : 1. Melakukan rehabilitasi mangrove yang rusak 2. Meningkatkan kualitas ekosistem mangrove Program : 1 Penetapan mekanisme proses konversi mangrove; 2 Penyusunan rencana teknis rehabilitasi kawasan mangrove; 3 Pengembangan pembibitan dan penanaman mangrove; 4 Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove sesuai dengan kerusakan yang terjadi; dan 5 Pemberian insentif terhadap institusi perorangan yang berhasil dalam kegiatan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove.

3. Penyuluhan Pelestarian Mangrove

Tujuan : 1 Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan, status, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove; dan 2 Meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Program : 1 Penyusunan materi modul, pedoman penyelenggaraan penyuluhan, pelatihan, dan pendidikan lingkungan ekosistem mangrove oleh Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bintan; 2 Pengembangan dan membangun stasiun-stasiun kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan karateristik wilayah seperti contoh di desa Tembeling; 3 Membentuk kader Penyuluh Swadaya Masyarakat PSM optimalkan SDM karang taruna masing-masing desa; dan 4 Inventarsisasi dan penguatan kearifan lokal dalam pemanfaatan mangrove seperti dalam pengolahan buah mangrove;

4. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Mangrove

Tujuan : Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan nilai manfaat kawasan mangrove secara lestari berbasis masyarakat. Program : 1 Pengembangan ekowisata mangrove, lokasi yang mempunyai potensi yaitu kawasan mangrove di Sungai Kangboy dan Sungai Bintan; 2 Pengembangan budidaya perikanan ramah lingkungan yaitu bisa dengan cara silvofishery, dan membuat kolam pembesaran Kepiting bakau seperti yang pernah dilakukan di Desa Tembeling; dan 3 Pengembangan pangan alternative berbahan baku mangrove seperti dodol mangrove, sirup mangrove.

5. Penguatan Kelembagaan Masyarakat

Tujuan : 1 Meningkatkan peran pemangku kewenangan pengelolaan ekosistem mangrove; dan 2 Meningkatkan kapasitas kelompok dan lembaga desa dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Program : 1 Pendampingan dan pembentukan kelompok dan lembaga desa yang berpotensi menjadi Hutan Kemasyarakatan, seperti Desa Tembeling; 2 Pelatihan manajemen dan fasilitasi pengembangan Hutan Kemasyarakatan bagi kelompok atau lembaga desa 3 Pelatihan teknis dan studi banding pengelolaan mangrove bagi kelompok dan lembaga desa

6. Penegakan Hukum

Tujuan : Memperkecil pelanggaran dalam pengelolaan mangrove Program : 1 Peningkatan pengawasan pemanfaatan mangrove oleh masyarakat dan instasi terkait seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan. 2 Pelaksanaan penegakan hukum apabila melakukan pelanggaran pemanfaatan mangrove oleh aparat penegakan hukum di Kabupaten Bintan Beberapa kebijakan peraturan daerah khususnya yang terkait masalah pengelolaan ekosistem mangrove telah banyak dikeluarkan, seperti yang terlampir pada tabel 20 berikut ini: Tabel 20 Beberapa contoh peraturan daerah terkait pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia No Wilayah Kebijakan 1 Provinsi Sulawesi Selatan Peraturan daerah Provinsi Sulawesi Selatan No 05 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove 2 Provinsi Jawa Barat Peraturan daerah Provinsi Jawa Barat No 06 Tahun 2011 tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai 3 Kabupaten Raja Ampat Peraturan daerah Kabupaten Raja Ampat No 08 Tahun 2012 tentang Perlindungan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai 4 Kabupaten Penajam Paser Utara Peraturan daerah Kabupaten Penajam Paser Utara No 24 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove 5 Kabupaten Bulungan Peraturan daerah Kabupaten Bulungan No 4 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Muara Sungai dan Pantai dalam Wilayah Kabupaten Bulungan