Nyamuk dapat menjadi vektor jika memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain; umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan manusia, terdapat
parasit, dan sumber penularan. Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali antara lain An. sundaicus, An. aconitus, An. balabancencis, dan An. maculatus.
An. sundaicus dan An. subpictus banyak terdapat di daerah pantai, sedangkan An.
balabancencis dan An. maculatus ditemukan di daerah pegunungan. Tempat
perindukan An. aconitus, An. barbirostris, An. tessellatus, An. nigerimus, dan An. sinensis
di Jawa dan Sumatera adalah sawah, terkadang dapat ditemukan juga di genangan-genangan air yang ada disekitar persawahan Dinkes 2007.
An. balabancencis dan An. letifer di Kalimantan dinyatakan sebagai vektor
malaria. An. farauti, An. punctulatus, An. bancrofti, An. karwari, dan An. koliensis merupakan nyamuk yang terdapat di Irian Jaya. Spesies nyamuk Anopheles yang
banyak ditemukan di NTT adalah An. sundaicus, An. subpictus, dan An. barbirostris
. Adapun di Sumatera spesies nyamuk Anopheles yang sudah dinyatakan sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. maculatus, An. nigerimus,
An. sinensis, An. tessellatus, dan An. letifer Dinkes 2007.
Keanekaragaman spesies Anopheles di Asia Tenggara dalam lingkungan domestik sangat tinggi. Spesies nyamuk Anopheles yang dianggap sebagai vektor
utama malaria berbeda setiap daerah. Namun demikian status vektor sangat bervariasi. Pada daerah dengan kasus malaria rendah sering sekali sulit untuk
mengidentifikasi spesies Anopheles sebagai vektor. Oleh sebab itu perilaku spesies Anopheles vektor yang berbeda-beda sangat menentukan status mereka.
Hal ini menjadi bagian penting untuk mengevaluasi kelayakan vektor kontrol Trung 2005; CDC 2008.
2.4. Bioekologi Nyamuk Anopheles
2.4.1. Jenis Karakteristik Habitat
Larva nyamuk Anopheles spp. ditemukan pada berbagai habitat, tetapi setiap habitat memliki sifat umum dalam penyediaan makanan, terdiri dari
mikroorganisme, bahan organik, dan biofilm. Sumber makanan pada setiap habitat berbeda pada lokasi yang berbeda. Permukaan air kaya akan bahan organik dan
mikoorganisme yang digunakan larva nyamuk Anopheles spp. untuk mempertahankan hidupnya Clement 2000.
Suhu air berpengaruh terhadap perkembangbiakan larva. Suhu mempengaruhi laju pertumbuhan serta perkembangan larva nyamuk Clement
2000. Selain itu suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Suhu yang optimum berkisar 20-30 °C. Semakin tinggi suhu menyebabkan masa
inkubasi ekstrinsik sporogoni semakin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu maka masa inkubasi ekstrinsik semakin panjang. Larva An. farauti di Desa Doro,
Halmahera Selatan ditemukan pada habitat dengan suhu 20-35 °C. Adapun larva An. vagus
dan An. punctulatus pada suhu 25-28 °C, An. kochi 26-28 °C, dan An. minimus
pada suhu 25-26 °C Mulyadi 2010. Derajat keasaman pH mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan
organisme yang berkembangbiak di akuatik. Derajat keasaman air tergantung kepada temperatur air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation
serta jenis stadium organisme. An. sundaicus dan An. peditaniatus dapat hidup pada air dengan pH 6.7 di daerah Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang Sunarsih
2009. Hasil penelitian Mulyadi 2010 di Desa Doro, Halmahera Selatan kisaran air yang paling disukai oleh semua jenis Anopheles adalah pH 6.8-7.1.
Beberapa nyamuk Anopheles dapat hidup di air yang mengandung garam. Banyak spesies Anopheles hidup di air payau atau air dengan kadar garam tinggi
air asin Sigit dan Hadi 2006. Kadar garam kolam dipengaruhi oleh tumbuhan maupun tanah yang menahan resapan air sungai sebelum memasuki kolam
Sembiring 2005. An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18‰ dan tidak dapat berkembang pada kadar garam 40‰ atau
lebih. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula tempat perindukan An. sundaicus pada air tawar Harijanto 2000. Begitu juga An. punctulatus, An. vagus, An.
kochi, dan An. minimus di Desa Doro, Halmahera Selatan yang berkembangbiak
pada habitat air tawar dengan salinitas 0‰. Adapun An. farauti ditemukan pada air tawar maupun air payau dengan dengan salinitas antara 0-7‰ Mulyadi 2010.
Pada dasarnya zat organik merupakan makanan bagi mikroorganisme yang ada di dalam air dan mendukung perkembangbiakannya sehingga menambah
kekeruhan air Sutriati dan Brahmana 2007. Larva An. sundaicus di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara lebih banyak ditemukan pada habitat air
keruh Sembiring 2005. Selain itu beberapa spesies dari An. farauti, An.
punctulatus, An. vagus, dan An. kochi juga terdapat pada air keruh Mulyadi
2010. Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang airnya dangkal.
Perairan yang dangkal akan menyebabkan besarnya produktivitas makhluk air dan tumbuhan air, termasuk larva nyamuk. Kedalaman habitat An. punctulatus
dan An. minimus antara 2-20 cm, An. vagus 5-80 cm, An. kochi antara 5-10 cm, sedangkan An. farauti pada kedalaman 5-120 m. Hasil penelitian Mulyadi 2010
juga menyebutkan larva Anopheles ditemukan pada tipe perairan dangkal. Larva Anopheles spp. memanfaatkan tanaman di atas permukaan air sebagai
tempat meletakkan telur dan berlindung dari predator Dinkes 2007. Ketersediaan makanan pada habitat larva sangat dipengaruhi vegetasi di tempat perindukan.
Sumber makanan bagi larva adalah berbagai macam organisme bersel satu di perairan, terutama plankton. Makanan larva nyamuk juga berupa ganggang bersel
satu, Flagellata, Cilliata, berbagai hewan mengapung, dan tumbuhan. Adanya tanaman yang membusuk mengakibatkan berkumpulnya mikroflora dan
mikrofauna tersebut sebagai makanan larva Anopheles Rao 1981. Habitat larva yang ada di Desa Doro, Halmahera Selatan terdapat tanaman air ganggang dan
bakau Mulyadi 2010. Habitat perairan larva Anopheles di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan terdapat tumbuhan berkayu Setyaningrum
et al. 2007. Predator juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keberadaan larva di suatu tempat. Pada habitat larva di Desa Doro, Halmahera Selatan ditemukan predator seperti udang, larva capung, ikan dan berudu
Mulyadi 2010.
2.4.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles