Metode Penelitian Persiapan sampel
Buah duwet matang warna ungu kehitaman dan kubis merah disortasi lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan
pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil. Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80
o
C secara terpisah selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong
plastik polietilena PE dan disimpan pada suhu -20
o
C. Ekstraksi antosianin
Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang, selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender
secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan secara maserasi dengan diaduk stirer. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
adalah etanol, pelarut food grade Francis 1982; Cacace Mazza 2003. Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 bv. Ekstraksi secara maserasi dilakukan
pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus 3552 g selama 10 menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan
vakum evaporator putar pada suhu 40
o
C untuk mendapatkan ekstrak aqueous antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan
dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20
o
C sampai digunakan untuk analisa.
Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode perbedaan pH Giusti Wrolstad 2001. Ekstrak juga diukur nilai pH dengan pH-
meter dan total padatan menggunakan refraktometer.
Pengukuran kandungan total antosianin monomerik
Kandungan total antosianin monomerik diukur berdasarkan metode perbedaan pH Giusti Wrolstad 2001. Sampel dalam jumlah tertentu
dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan bufer kalium klorida 0,025 M pH 1 hingga volume menjadi 5 mL. Tabung
reaksi kedua ditambahkan larutan bufer natrium asetat 0,4 M pH 4,5 hingga
volume menjadi 5 mL. Absorbans dari kedua perlakuan pH diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm setelah
didiamkan selama 15 menit. Nilai absorbans dihitung dengan rumus: A = [A
520
- A
700 pH 1
- A
520
- A
700 pH 4,5
]. Kandungan antosianin dihitung sebagai sianidin-3- glikosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 29 600 dan bobot
molekul sebesar 448,8. Kandungan antosianin mgL = A x BM x FP x 1000 ε
x 1, A adalah absorbans, BM adalah berat molekul, FP adalah faktor pengencer, dan
ε adalah koefisien ekstingsi molar. Kandungan total antosianin monomerik dinyatakan sebagai mg CyEg sampel.
Gambar 4.1 Ekstrak antosianin kulit buah duwet.
Karakterisasi warna antosianin pada nilai pH 1-8
Setiap sampel pigmen disiapkan pada pH 1-8 menggunakan larutan bufer kalium klorida 0,025 M untuk pH 1-4 dan bufer natrium asetat 0,4 M untuk pH
5-8. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 1
vis-maks
pada pH 1. Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang kemudian dilakukan pengukuran spektra dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 350-700 nm.
Stabilitas warna antosianin dalam minuman model
Pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin dilakukan dalam minuman model menggunakan bufer sitrat 0,1 M;
asam sitrat-natrium sitrat pada pH 3 yang mewakili kondisi pH pada pangan berbasis asam. Kalium sorbat 0,05 bv ditambahkan untuk mencegah
pertumbuhan mikroba selama perlakuan. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 0,75-0,8 pada
panjang gelombang penyerapan maksimum di daerah visibel
vis-maks
.
Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang untuk mencapai kesetimbangan. Stabilitas warna antosianin dianalisis terhadap pengaruh suhu
pemanasan, cahaya, dan kondisi penyimpanan. Pengaruh suhu pemanasan terhadap stabilitas warna antosianin
dilakukan dengan merendam botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin di dalam penangas air pada suhu 80 and 98
o
C selama interval waktu 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Pengaruh cahaya terhadap
stabilitas warna antosianin dilakukan dengan menyinari botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan lampu fluoresens
putih lampu Philip, 23 watt didalam kotak berukuran 58 x 72 x 60 cm sehingga diperoleh intensitas pencahayaan 4000 lux. Pencahayaan dilakukan selama
interval waktu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari pada suhu 32
o
C. Kontrol untuk perlakuan suhu pemanasan dan pencahayaan dibuat dengan membungkus
botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan aluminium foil kemudian disimpan pada suhu ruang untuk perlakuan
suhu pemanasan dan disimpan pada suhu 32
o
C untuk perlakuan pencahayaan. Pengujian stabilitas antosianin terhadap kondisi penyimpanan dilakukan pada
suhu refrigerasi dan ruang selama 8 minggu pada kondisi gelap. Masing-masing sampel pigmen pada setiap perlakuan dihitung nilai
persen retensi warna menggunakan persamaan: Retensi warna = A
t
A x 100,
dimana t = waktu; A
t
= absorbans setelah perlakuan waktu t; A = absorbans
sebelum perlakuan waktu 0 Cevallos-Casals Cisneros-Zevallos 2004.
Warna polimerik dan indeks degradasi
Warna polimerik WP dan indeks degradasi ID juga dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya degradasi warna antosianin. Kandungan warna
polimerik polymeric color dalam minuman model dianalisa menggunakan metode bleaching bisulfit Giusti Wrolstad 2001. Kandungan warna polimerik
dinyatakan sebagai dari total densitas warna colour density. Indeks degradasi dihitung sebagai nisbah antara A
420nm
and A
λvis-maks
Cevallos-Casals Cisneros-Zevallos 2004. Pengukuran warna polimerik dan indeks degradasi
dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Perbedaan nilai WP dan ID sebelum dan setelah perlakuan dinyatakan sebagai n
ilai ΔWP dan ΔID. Semakin tinggi nilai ΔWP dan ΔID menunjukkan terjadinya degradasi antosianin selama
perlakuan semakin besar.
Pengukuran warna dengan kromameter
Pengukuran warna menggunakan alat Minolta Chroma CR-310 colorimeter
menggunakan sistem pengukuran CIELAB. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Parameter-parameter yang diukur meliputi L
lightness, a redness, b yellowness, C chroma, H hue angle, and ΔE
perbedaan warna secara keseluruhan. Perbedaan warna secara keseluruhan dihitung menggunakan persamaan,
ΔE = [ΔL
2
+ ΔC
2
+ ΔH
2
]
12
. Nilai ΔE
merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna kromasitas secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan perubahan
warna sampel selama perlakuan semakin besar Gonnet 1998.
Kinetika degradasi antosianin
Degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan mengikuti
kinetika reaksi orde pertama. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada orde pertama Kirca Cemeroglu 2003; Cevallos-Casals
Cisneros-Zevallos 2004; Wang Xu 2007. Konstanta laju reaksi k dan waktu paruh t
12
, waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kerusakandegradasi antosianin sebesar 50, untuk reaksi orde pertama dihitung menggunakan
persamaan berikut : lnA
t
A
o
= -kt + C ln retensi warna = -kt + C
t
12
= -ln 0.5 x k
-1
A = absorbansi sebelum perlakuan waktu 0, A
t
= absorbansi setelah perlakuan waktu t; k = konstanta laju reaksi; t
12
= waktu paruh.
Analisa data secara statistik
Data hasil pengujian dianalisis secara statistika dengan menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi menggunakan aplikasi Microsoft Office EXCEL
2007 serta analisis sidik ragam uji ANOVA kemudian dihitung nilai bedanya dengan uji beda Duncan Multiple Range Test pada taraf 5 p 0,05
menggunakan aplikasi SPSS 17.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ekstrak Antosianin
Ekstrak antosianin yang digunakan dalam pengujian stabilitas meliputi ekstrak antosianin dari buah duwet dan kubis merah, serta pewarna enosianin
pewarna antosianin komersial yang berbentuk bubuk. Kandungan antosianin dalam ekstrak buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut
sebesar 4,37 mgmL; 1,83 mgmL; dan 1,73 mgmL. Nilai pH untuk ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut
sebesar 3,74; 5,25; dan 3,23. Ekstrak antosianin dan pewarna enosianin mempunyai nilai pH yang lebih asam. Nilai total padatan terlarut untuk ekstrak
antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin berturut-turut sebesar 11,00; 9,50; dan 15,50 Brix . Total padatan terlarut ekstrak antosianin buah duwet
lebih tinggi dari ekstrak antosianin kubis merah karena kandungan gula yang lebih tinggi dalam ekstrak antosianin buah duwet. Total padatan terlarut dalam
pewarna enosianin paling tinggi karena kandungan gula pada anggur dan adanya penambahan bahan pengisi dalam pembuatan bubuk pewarna.
Komposisi antosianin buah duwet terdiri dari delfinidin, sianidin, petunidin, peonidin, dan malvidin, yang semuanya dalam bentuk 3,5-diglukosida tanpa
gugus asil dari asam aromatik. Antosianin utama dalam buah duwet adalah delfinidin 3,5-diglukosida 41, petunidin 3,5-diglukosida 28, dan malvidin
3,5-diglukosida 26. Komposisi antosianin buah duwet didasarkan pada hasil penelitian pada tahap I Sari et al. 2009 dan Brito et al. 2007. Berdasarkan
hasil identifikasi yang dilakukan oleh Hrazdina et al. 1977; Giusti et al. 1999; Dyrby et al. 2001; Wu dan Prior 2005b diperoleh bahwa komposisi antosianin
pada kubis merah sangat komplek mengandung antosianidin sianidin glikosilasi dengan 2 jenis gula yang berbeda dan terasilasi dengan beberapa jenis asam
aromatik. Komposisi antosianin utama dalam kubis merah adalah sianidin-3,5- diglukosida 20 dan sianidin-3-soforosida-5-glukosida 80 yang terasilasi
dengan asam sinapat, ferulat, kumarat, dan kafeat. Pewarna enosianin yang dibuat dari kulit anggur merah Vitis vinifera mempunyai komposisi antosianin
terdiri dari 3-glukosida dan 3-asetilglukosida dari malvidin, peonidin, delpinidin, petunidin, dan sianidin serta malvidin-3-kumarilglukosida Bridle Timberlake
1997; Wu Prior 2005a; Gόmez-Plaza et al. 2006. Malvidin 3-glukosida adalah
antosianin utama dalam anggur Malien-Aubert et al. 2001. Informasi struktur
dan komposisi antosianin yang terkandung dalam suatu bahan atau ekstrak berhubungan dengan karakteristik stabilitas dan intensitas warna antosianin.
Antosianin buah duwet semuanya dalam bentuk diglikosida, antosianin kubis merah merupakan di- dan tri-glikosida yang terasilasi, sedangkan antosianin
pewarna enosianin merupakan monoglikosida. Menurut Francis 1989, umumnya diketahui asilasi pada antosianin dapat membuat warna antosianin
lebih stabil, tetapi pada konsentrasi yang rendah bersifat tidak stabil.
Karakterisasi Warna Antosianin pada Nilai pH 1-8
Warna antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin dikarakterisasi pada kisaran nilai pH 1-8 untuk melihat perubahan warna
antosianin pada kondisi pH asam, netral, dan basa. Perubahan warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam sistem bufer pH 1-8
ditampilkan pada Gambar 4.2 dan spektra absorbans dari masing-masing antosianin ditampilkan pada Gambar 4.3.
Nilai absorbans dan warna antosianin buah duwet pada pH 1-2 menunjukkan nilai yang tinggi dan berwarna merah, begitu juga pada antosianin
kubis merah dan pewarna enosianin. Hal ini disebabkan pada pH di bawah 2, struktur antosianin utamanya berada dalam bentuk kation flavilium yang
berwarna merah Mazza Brouillard 1987. Pada pH 3 warna merah antosianin buah duwet mulai pudar, sedangkan pada antosianin kubis dan pewarna
enosianin masih menunjukkan warna merah dan nilai absorbans lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet. Pada ketiga sampel antosianin yang
diujikan, terlihat kecenderungan nilai absorbans yang menurun dengan meningkatnya pH hingga pH 6 Gambar 4.3. Penurunan nilai absorbans secara
tajam terjadi pada antosianin buah duwet terutama pada pH 4-6. Sistem bufer yang mengandung antosianin buah duwet pada kisaran pH 4-6 menjadi tidak
berwarna yang menunjukkan terbentuknya struktur antosianin tidak berwarna. Pada kondisi ini, kation flavilium merah mengalami hidrasi menjadi bentuk
struktur tidak berwarna karbinol Mazza Brouillard 1987. Pada antosianin kubis merah pada kisaran pH 4-6 masih menunjukkan warna merah keunguan
disebabkan adanya gugus asil. Keberadaan gugus asil dapat menyebabkan peningkatan intensitas warna dan perubahan warna menjadi merah keunguan
serta terjadi pergeseran panjang gelombang yang lebih tinggi dibandingkan pada antosianin tanpa asilasi fenomena kopigmentasi intramolekular. Pada pH 1-6,
antosianin pewarna enosianin masih terlihat berwarna merah serta mempunyai nilai absorbans pada
vis-maks
yang paling tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh
Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004 yang juga melakukan karakterisasi warna dari pewarna antosianin komersial anggur merah enosianin
pada pH 1-11,7. Hasil penelitian menunjukkan warna antosianin anggur merah enosianin pada pH 4-6 tidak berwarna. Adanya perbedaan hasil penelitian
kemungkinan karena perbedaan sampel pewarna yang digunakan. Pada penelitian disertasi ini digunakan sampel dalam bentuk bubuk yang mungkin
sudah ditambahkan agensia peningkat warna color enhancer, sedangkan pada penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004 menggunakan pewarna
antosianin komersial dari anggur merah enosianin bentuk konsentrat cair. Warna antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan
antosianin duwet dan pewarna enosianin berwarna merah Gambar 4.2. Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez 2003 menjelaskan bahwa antosianin kubis
merah menunjukkan warna merah keunguan pada nilai pH diatas 3. Keberadaan asilasi asam sinamat berpengaruh pada karakteristik spektra dan warna yang
menyebabkan pergeseran batokromik pada
vis-maks
, dengan sedikit efek biru bluing effect.
Pergeseran batokromik terjadi pada semua pewarna yang diujikan pada pH4, serta terjadi peningkatan nilai absorbans pada kisaran panjang gelombang
570-600 nm pada pH 7-8 Gambar 4.3. Hal ini disebabkan pembentukan struktur kuinonoidal biru yang tidak stabil pada perlakuan pH tinggi. Peningkatan pH akan
menyebabkan terjadinya kehilangan proton deprotonisasi yang menghasilkan struktur kuinonoidal biru yang tidak stabil Mazza Brouillard 1987. Hal ini
diperjelas pada Gambar 4.2 dimana terlihat pada pH 7-8 untuk antosianin buah duwet dan kubis merah menunjukkan warna biru sedangkan untuk pewarna
enosianin berwarna coklat kehitaman.
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Buah duwet Kubis merah Enosianin
Gambar 4.2 Warna antosianin pada kisaran nilai pH 1-8.
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
350 400
450 500
550 600
650 700
Panjang g elo mb ang nm 3
1 2
8 7
4 , 5 , 6
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
350 400
450 500
550 600
650 700
Panj ang g el o mb ang nm 1
2 3
4 , 5 , 6 7
8
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
350 400
450 500
550 600
650 700
Panjang g elo mb ang nm 1
2 3
4 5
6 7
8
Gambar 4.3 Pola spektrum absorpsi dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin pada kisaran nilai pH 1-8 setelah
ekuilibrium selama 1 jam.
Warna antosianin berubah sebagai respon dari pH. Secara umum dapat dijelaskan, berkurangnya intensitas warna dengan meningkatnya pH disebabkan
terjadi reaksi kesetimbangan antara 4 spesies antosianin: basa kuinonoidal A, kation flavilium AH
+
, karbinol atau pseudobasa B, dan kalkon C. Di dalam larutan asam, 4 spesies antosianin berada dalam kesetimbangan, Gambar 4.4.
Interkonversi antara 4 struktur antosianin dijelaskan sesuai skema pada Gambar 4.4.
Pada kondisi pH di bawah 2, antosianin berada utamanya dalam bentuk kation flavilium merah AH
+
. Peningkatan pH menyebabkan terjadinya kehilangan proton secara cepat dari gugus hidroksil C-4’, C-5, atau C-7 kation
flavilium menghasilkan bentuk kuinonoidal biru A. Lebih lanjut terjadi reaksi hidrasi oleh nukleofilik molekul air yang menyerang kation flavilium pada posisi
C-2 menghasilkan struktur karbinol tidak berwarna atau pseudobasa B yang akan membentuk kesetimbangan dengan struktur kalkon C Brouillard 1982;
Mazza Brouillard 1987. MacDougall 2002, juga menjelaskan pada pH rendah
Buah Duwet Kubis merah
Enosianin
pH 1, warna antosianin adalah merah AH
+
, sebagai pH ditingkatkan maka antosianin
mengalami dua
kemungkinan pathway
: 1
deprotonisasi menghasilkan senyawa kuinonoidal biru A atau 2 hidrasi menghasilkan kalkon
C.
Gambar 4.4 Pengaruh pH pada interkonversi dan perubahan warna antosianin. Glc = glukosa Kidmose et al. diacu dalam MacDougall 2002;
Mazza Brouillard 1987.
Pada Gambar 4.2 dan 4.3 juga terlihat bahwa antosianin buah duwet mempunyai intensitas warna merah atau biru yang lebih rendah pada semua pH
yang diujikan dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna enosianin. Hal ini berhubungan dengan struktur antosianin buah duwet yang
semua struktur glikosilasi adalah 3,5-diglukosida. Menurut Mazza dan Brouillard 1987, pada nilai pH yang diujikan, antosianin 3-glikosida memiliki karakteristik
lebih berwarna dibandingkan dengan antosianin 3,5-diglikosida dan 5-glikosida.
Kesetimbangan asam-basa 1 Kesetimbangan hidrasi 2
Kesetimbangan tautomerik ring-chain 3
Basa kuinoidal biru Kation flavilium merah
Pseudobasa karbinol tidak berwarna Kalkon tidak berwarna
A AH
+
B C
Penelitian yang dilakukan oleh Brouillard dan Delaporte 1977 yang disitasi oleh Mazza dan Brouillard 1987 menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida
memiliki karakteristik kurang berwarna dibanding malvidin 3-glukosida. Hal ini terjadi karena nilai pK
h
untuk kesetimbangan antara bentuk kation flavilium dan karbinol pseudobasa dari diglukosida satu unit pH lebih rendah dari bentuk
monoglukosida. Eksperimen yang dilakukan pada larutan malvidin 3,5- diglukosida pada kondisi diatas pH 4 juga menunjukkan perubahan warna larutan
menjadi tidak berwarna. Lebih lanjut dijelaskan oleh Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez 2003, substitusi gula juga berperanan penting pada warna
antosianin. Terjadinya pergeseran hipsokromik disebabkan oleh keberadaan glikosilasi pada antosianin.
Stabilitas Warna Antosianin
Selama pengolahan pangan, antosianin diekspos pada kondisi pH, suhu, dan pencahayaan yang ekstrim sehingga antosianin mudah mengalami
degradasi Delgado-Vargas Paredes-Lopez 2003. Untuk itu perlu dilakukan pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet terhadap pengaruh
pemanasan, pencahayaan, serta kondisi penyimpanan suhu dingin dan ruang yang dapat menyebabkan degradasi antosianin.
Umumnya pewarna berbasis antosianin digunakan pada bahan pangan yang memiliki kisaran nilai pH 3 Nielsen et al. 2002. Dyrby et al. 2001;
Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004 juga melakukan pengujian stabilitas warna antosianin dalam minuman model pada pH 3. Selain itu,
antosianin memiliki karakterteristik yang lebih stabil pada kondisi asam pH rendah dibandingkan pada kondisi larutan alkali Brouillard 1982; Elbe von
Schwartz 1996. Pada penelitian ini, pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet dilakukan pada pH 3 yang mewakili pH kebanyakan pangan berbasis
asam. Gambar 4.5 menunjukkan minuman model yang dibuat dari bufer sitrat pH 3 yang telah ditambahkan ekstrak antosianin buah duwet, kubis merah dan
pewarna enosianin. Karakteristik warna kromasitas antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam buffer sitrat pH 3 disajikan pada
Tabel 4.1. Antosianin kubis merah berwarna merah keunguan, sedangkan antosianin buah duwet dan pewarna enosianin berwarna merah.
Gambar 4.5 Minuman model bufer sitrat pH 3 mengandung antosianin buah duwet A, kubis merah B, dan pewarna enosianin C
Tabel 4.1. Karakteristik warna kromasitas antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin
Parameter warna CIELAB Ekstrakpewarna
antosianin L
C H
Buah duwet 50,94
34,92 353,90
Kubis merah 49,68
43,33 341,97
Enosianin 46,59
30,49 1,57
L, kecerahanlightness; C, kromachroma; H, sudut warnahue angle.