kecerahanlightness; C, kromachroma; H, sudut warnahue angle.

Gambar 4.5 Minuman model bufer sitrat pH 3 mengandung antosianin buah duwet A, kubis merah B, dan pewarna enosianin C Tabel 4.1. Karakteristik warna kromasitas antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin Parameter warna CIELAB Ekstrakpewarna antosianin L C H Buah duwet 50,94 34,92 353,90 Kubis merah 49,68 43,33 341,97 Enosianin 46,59 30,49 1,57

L, kecerahanlightness; C, kromachroma; H, sudut warnahue angle.

Stabilitas terhadap Pemanasan Salah satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin adalah suhu pemanasan Francis 1989; Elbe von Schwartz 1996; Jackman Smith 1996. Suhu pemanasan yang digunakan untuk pengujian stabilitas warna antosianin adalah 80 dan 98 o C yang dipilih berdasarkan perlakuan panas yang umum untuk bahan pangan misal blansing, pasteurisasi, dan perebusan. Stabilitas warna antosianin sebagai fungsi suhu dan lama pemanasan dinyatakan sebagai persen retensi warna antosianin Gambar 4.6. Pemanasan dapat menstimulasi pembentukan senyawa hasil degradasi antosianin seperti karbinol dan turunannya yang tidak berwarna sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan. Pada pemanasan suhu 80 o C, antosianin buah duwet dan enosianin menunjukkan stabilitas warna lebih baik dibandingkan pada suhu 98 o C. Nilai retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan masing-masing menjadi 74 dan 84 pada pemanasan suhu 80 o C setelah pemanasan selama 120 menit. Sedangkan pada pemanasan suhu 98 o C, nilai retensi warna antosianin buah duwet dan enosianin mengalami penurunan hingga 41 dan 68. Waktu paruh t 12 untuk antosianin buah duwet dan enosianin pada pemanasan suhu 80 o C masing-masing sebesar 4,94 jam dan 8,29 jam, sedangkan pada pemanasan suhu 98 o C sebesar 1,58 jam untuk A A B B C C antosianin buah duwet dan 3,73 jam untuk antosianin enosianin Tabel 4.2. Dari nilai retensi warna dan waktu paruh ini belum dapat digunakan untuk menentukan tingkat stabilitas dari antosianin buah duwet dan enosianin, masih diperlukan data penunjang lainnya seperti nilai ΔID perbedaan indeks degradasi, dan ΔWP perbedaan warna polimerik, ΔE perbedaan total warna kromasitas, yang ditampilkan pada Tabel 4.2. Gambar 4.6 Pengaruh perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C pada retensi warna antosianin dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3.  , buah duwet 80 o C;  , buah duwet 98 o C;  , kubis merah 80 o C;  , kubis merah 98 o C;  , enosianin 80 o C;  , enosianin 98 o C. Tabel 4.2 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi EkstrakPewarna Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW K t 12 jam Pemanasan 80 o C Duwet 0,13 b 10,03 b 5,50 b 25,83 c 0,0024 4,94 a Kubis merah 0,08 a 4,77 a 2,23 a 0,00 a 0,0005 28,88 c Enosianin 0,16 c 13,86 c 12,62 c 15,65 b 0,0014 8,29 b Pemanasan 98 o C Duwet 0,28 b 15,24 b 16,86 b 58,92 c 0,0073 1,59 a Kubis merah 0,09 a 6,86 a 5,88 a 4,33 a 0,0016 7,33 c Enosianin 0,31 c 20,77 c 18,24 c 31,95 b 0,0031 3,73 b Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berlaku untuk masing-masing perlakuan pemanasan menunjukkan hasil uji berbeda nyata p0,05. Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan total warna kromasitas sistem CIELAB. KW, kehilangan warna nilai absorbans. k, konstanta laju degradasi antosianin. t 12 , waktu paruh. Pemanasan selama 120 menit. Meskipun nilai retensi warna dan waktu paruh dari antosianin enosianin lebih tinggi daripada antosianin buah duwet, namun dari hasil pengukuran ΔE, 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 30 60 90 120 Waktu m enit R et en si w ar na p ad a m a x ΔID, dan ΔWP dari enosianin menunjukkan nilai lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet pada kedua perlakuan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa antosianin enosianin mengalami kerusakan lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet. Secara visual, warna antosianin buah duwet pada pemanasan 80 o C masih menunjukkan warna merah pudar dan pada suhu 98 o C menunjukkan warna merah kecoklatan, sedangkan warna antosianin enosianin pada pemanasan 80 dan 98 o C berubah warna menjadi kecoklatan. Warna kecoklatan dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya pembentukan senyawa degradasi antosianin selama proses pemanasan yang dapat di lihat dari nilai ΔID dan ΔWP yang tinggi. Nilai indeks degradasi ID dan warna polimerik WP mengukur pembentukan senyawa degradasi polimerik berwarna coklat. Selama proses pemanasan terjadi peningkatan pembentukan warna polimerik yang terjadi karena monomerik antosianin mengalami polimerisasi. Pembentukan warna polimerik dan produk-produk degradasi lainnya berwarna coklat paling tinggi terjadi pada pewarna enosianin. Hasil ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet memiliki stabilitas warna yang lebih tinggi dibandingkan antosianin dari pewarna enosianin. Nilai retensi warna dari pewarna enosianin lebih tinggi dibandingkan buah duwet karena dipengaruhi oleh adanya produk degradasi antosianin yang berwarna coklat. Warna coklat dalam minuman model dapat mempengaruhi hasil pengukuran dengan spektrofotometer yang dapat memberikan nilai absorbans yang tinggi. Pada Gambar 4.6 juga dapat diperoleh informasi, bahwa antosianin kubis merah mempunyai stabilitas yang paling tinggi pada kedua suhu pemanasan, 80 dan 98 o C. Selama pemanasan pada kedua suhu terjadi peningkatan nilai retensi warna melebihi nilai 100. Penurunan nilai retensi warna hingga 95 hanya terjadi pada pemanasan suhu 98 o C pada waktu pemanasan 120 menit. Namun demikian, kecenderungan grafik menunjukkan terjadi penurunan nilai retensi warna atau degradasi antosianin yang relatif lambat. Terjadinya peningkatan nilai retensi warna selama perlakuan pemanasan juga ditemukan pada antosianin ubi jalar merah yang juga mengandung gugus asil pada bufer pH 1 selama proses pemanasan 98 o C sampai pemanasan 60 menit, namun tidak dijumpai pada bufer pH 3. Antosianin ubi jalar ungu menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin wortel ungu, jagung ungu, dan anggur merah selama proses pemanasan pada suhu 98 o C Cevallos-Casals Cisneros-Zevallos 2004. Penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. 2001 juga menunjukkan bahwa antosianin kubis merah juga mempunyai karakteristik stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan blackcurrant, kulit anggur, dan elderberry terhadap perlakuan pemanasan pada suhu 25-80 o C. Pada Tabel 4.2 juga dapat dilihat nilai ΔID, ΔWP, ΔE, KW dari antosianin kubis merah lebih kecil pada kedua suhu pemanasan 80 dan 98 o C yang menunjukkan antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas yang tinggi terhadap panas. Antosianin kubis merah mempunyai waktu paruh t 12 sebesar 28,88 jam pada pemanasan suhu 80 o C dan 7,33 jam pada pemanasan 98 o C dalam minuman model pH 3. Waktu paruh kubis merah lebih tinggi dibandingkan waktu paruh dari antosianin buah duwet dan enosianin pada kedua suhu pemanasan. Secara umum, antosianin kubis merah memiliki karakteristik stabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan antosianin buah duwet dan enosianin pada perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C, dengan urutan stabilitas: antosianin kubis merah buah duwet enosianin. Hal ini disebabkan struktur antosianin yang terkandung dalam kubis merah yang merupakan antosianin terasilasi kopigmentasi intramolekular. Asilasi pada antosianin dapat memperbaiki stabilitas melalui penyusunan struktur secara sandwich dari gugus asil pada cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin Jackman Smith 1996; Delgado-Vargas et al. 2000 terutama dengan adanya perlakuan pemanasan. Penyusunan molekul kopigmen gugus asil pada planar polarizable dari antosianin dapat mencegah serangan nukleofilik air pada posisi C-2 dari cincin pirilium yang dapat memicu pembentukan hemiasetal yang tidak berwarna dan kalkon Dangles 1997 diacu dalam Malien-Aubert et al. 2001. Antosianin buah duwet memliki karakteristik stabilitas yang lebih tinggi dari antosianin enosianin karena struktur antosianin buah duwet dalam bentuk glikosilasi 3,5-diglukosa diglikosida sedangkan antosianin enosianin bentuk glikosilasi adalah 3-glukosida monoglikosida. Hasil penelitian García-Viguera dan Bridle 1999 menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa adanya asam askorbat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Timberlake dan Bridle 1977 diacu dalam García-Viguera dan Bridle 1999, antosianin 3,5-diglikosida sedikit lebih mudah mengalami serangan elektrofilik dibandingan 3-glikosida. Substitusi glikosil pada C-5 mengurangi serangan dari nukleofilik. Meskipun antosianin enosianin mengandung gugus asil namun tidak mampu memperbaiki stabilitas, kemungkinan dikarenakan jumlahnya yang sedikit dan jenis gugus asil yang berikatan. Struktur antosianin enosianin anggur dominan dalam bentuk monoglikosida. Penelitian Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004 menunjukkan pewarna antosianin komersial dari anggur merah enosianin memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan antosianin ubi jalar ungu dan wortel ungu pada perlakuan pemanasan 98 o C dalam larutan buffer pH 3 serta mempunyai stabilitas yang hampir sama dengan antosianin jagung ungu. Proses termal dapat menyebabkan degradasi warna antosianin yang terjadi karena berubahnya kation flavilium yang berwarna merah menjadi basa karbinol dan akhirnya menjadi kalkon yang tidak berwarna dan berakhir pada produk degradasi berwarna coklat. Menurut Elbe dan von Schwartz 1996, panas mengubah kesetimbangan terhadap kalkon yang tidak berwarna dan reaksi kebalikan lebih lambat dari reaksi kedepan. Brouillard 1982 juga mengemukakan bahwa suhu tinggi dapat mengubah kation flavilium ke formasi kalkon. Setelah cincin terbuka, degradasi berlanjut ke produk berwarna coklat. Lebih lanjut Jackman dan Smith 1996; Francis 1989 menyebutkan bahwa koumarin glikosida telah diidentifikasi sebagai produk degradasi termal dari antosianidin 3,5-diglikosida, sedangkan antosianidin 3 glikosida tidak membentuk koumarin. Markakis 1982 juga menjelaskan bahwa antosianin yang dipanaskan pada pH 2-4, pertama kali akan mengalami hidrolisis pada ikatan glikosidik posisi C-3, diikuti konversi dari aglikon ke bentuk kalkon, kemudian menghasilkan alfa diketon. Secara lengkap Elbe dan von Schwartz 1996 menjelaskan mekanisme degradasi termal yang kemungkinan melalui tiga lintasan Gambar 4.7 tergantung pada jenis atau tipe antosianin dan suhu degradasi. Koumarin 3,5-glikosida adalah produk degradasi termal untuk antosianidin 3,5-diglikosida. Pada lintasan a, kation flavilium dirubah ke bentuk kuinonoidal basa, kemudian ke beberapa senyawa intermediet dan akhirnya membentuk turunan koumarin dan senyawa berhubungan dengan cincin B. Pada lintasan b, kation flavilium dirubah ke bentuk basa karbinol tidak berwarna kemudian ke bentuk kalkon dan terakhir ke produk degradasi berwarna cokelat. Lintasan c mempunyai mekanisme yang hampir sama dengan lintasan b yang berbeda pada produk degradasi kalkon. Stabilitas selama Penyimpanan Kondisi dan lama penyimpanan juga dapat mempengaruhi degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin seperti terlihat pada Gambar 4.8 dan Tabel 4.3. Penyimpanan minuman model yang mengandung antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin pada suhu refrigerasi ~5 o C dapat memperlambat degradasi warna antosianin. Terjadinya peningkatan suhu dari ~5 o C suhu refrigerasi ke ~27 o C suhu ruang dapat mempercepat laju degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin seperti terlihat pada penurunan nilai retensi warna Gambar 4.8 serta peningkatan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE Tabel 4.3. Nilai waktu paruh t 12 antosianin yang disimpan pada suhu refrigerasi memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan waktu paruh antosianin yang disimpan pada suhu ruang. Peningkatan suhu dapat meningkatkan laju reaksi Moss 2002 sehingga laju degradasi antosianin pada suhu ruang lebih tinggi dibandingkan pada suhu refrigerasi. Nilai retensi warna digunakan untuk mengukur stabilitas warna antosianin Gambar 4.8. Nilai retensi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 94,64; 95,70; dan 94,89 setelah penyimpanan 8 minggu pada suhu refrigerasi. Waktu paruh t 12 untuk antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 25,11; 23,73; dan 27,94 bulan pada penyimpanan suhu refrigerasi. Berdasarkan waktu paruh t 12 menunjukkan bahwa ketiga sampel antosianin memiliki stabilitas yang hampir sama karena perbedaan nilai waktu paruh yang kecil. Selama penyimpanan pada suhu refrigerasi, warna antosianin buah duwet dan kubis merah sedikit mengalami perubahan warna yang dapat dilihat dari nilai ΔE. Secara visual warna antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah agak pudar dan tidak terlihat pembentukan warna coklat. Antosianin enosianin mengalami perubahan warna lebih besar yang dapat dilihat dari nilai ΔE lebih tinggi dan secara visual warna antosianin enosianin pada penyimpanan suhu refrigerasi sedikit berwarna coklat. Nilai ΔID dan ΔWP antosianin enosianin juga lebih tinggi dibandingkan dengan n ilai ΔID dan ΔWP antosianin buah duwet dan kubis merah. Parameter nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE digunakan sebagai parameter penentu stabilitas antosianin enosianin. Pada penyimpanan suhu refrigerasi, antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas yang hampir sama dengan antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin enosianin. Gambar 4.8 Pengaruh kondisi penyimpanan suhu refrigerasi dan ruang pada retensi warna dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3, kondisi perlakuan tanpa cahaya.  , buah duwet suhu refrigerasi;  , buah duwet suhu ruang;  , kubis merah suhu refrigerasi;  , kubis merah suhu ruang;  , enosianin suhu refrigerasi;  , enosianin suhu ruang. Tabel 4.3 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3 pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan ruang Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi Pewarna Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW k t 12 bulan Penyimpanan suhu refrigerasi 5 o C Duwet 0,04 a 2,44 a 0,95 a 5,36 b 0,0069 25,11 a Kubis merah 0,08 b 5,79 b 0,79 a 4,30 a 0,0073 23,73 a Enosianin 0,10 c 7,49 c 2,35 b 5,11 ab 0,0062 27,94 a Penyimpanan suhu ruang 27 o C Duwet 0,18 b 16,99 b 10,57 b 36,02 c 0,0520 3,36 a Kubis merah 0,13 a 11,16 a 6,67 a 28,63 b 0,0391 4,43 b Enosianin 0,32 c 19,38 c 20,34 c 12,92 a 0,0153 11,37 c Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berlaku untuk masing-masing perlakuan penyimpanan menunjukkan hasil uji berbeda nyata p0,05. Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna kromasitas sistem CIELAB. KW, kehilangan warna nilai absorbans. k, konstanta laju degradasi antosianin. t 12 , waktu paruh. Penyimpanan selama 8 minggu. Pada penyimpanan suhu ruang, penurunan nilai retensi warna antosianin buah duwet lebih besar dibandingkan antosianin kubis merah selama penyimpanan 8 minggu. Nilai retensi warna antosianin buah duwet sebesar 64 dan antosianin kubis merah sebesar 71 setelah penyimpanan 8 minggu. Pada Gambar 4.8 memperlihatkan nilai retensi warna dari antosianin enosianin lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Namun secara 50 60 70 80 90 100 110 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu m inggu R et en si w ar na pa da m a x visual warna antosianin enosianin menunjukkan perubahan warna menjadi kecoklatan selama penyimpanan pada suhu ruang. Tingginya nilai retensi warna pada antosianin enosianin disebabkan adanya pembentukan produk degradasi antosianin berwarna coklat yang mempengaruhi pengukuran nilai absorbans. Nilai retensi warna yang tinggi tidak selalu menunjukkan stabilitas yang lebih baik. Hal ini juga ditunjang dengan nilai ΔE, ΔWP, dan ΔID dari antosianin enosianin yang mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan antosianin buah duwet dan kubis merah. Nilai waktu paruh t 12 untuk antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin berturut-turut sebesar 3,36; 4,43; dan 11,37 bulan pada penyimpanan suhu ruang Tabel 4.3. Pada penyimpanan suhu ruang, antosianin buah duwet menunjukkan stabilitas lebih rendah dibandingkan stabilitas antosianin kubis merah serta menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan antosianin enosianin dengan urutan stabilitas: kubis merah duwet enosianin. Stabilitas warna antosianin berhubungan dengan struktur antosianin. Hrazdina dan Franzese 1974 diacu dalam García-Viguera dan Bridle 1999 menyebutkan bahwa dalam larutan asam, malvidin 3,5-diglukosida dioksidasi lebih cepat daripada malvidin terasilasi. Menurut Jackman dan Smith 1996; Delgado-Vargas et al. 2000, asilasi pada antosianin dapat memperbaiki stabilitas melalui penyusunan struktur sandwich dari gugus asil dengan cincin pirilium antosianin sehingga dapat menjaga struktur dasar antosianin terhadap faktor-faktor penyebab degradasi antosianin. Hasil penelitian García-Viguera dan Bridle 1999 juga menunjukkan bahwa malvidin 3,5-diglukosida kehilangan warna lebih lambat dari malvidin 3-glukosida dengan keberadaan atau tanpa adanya asam askorbat selama penyimpanan 17 hari. Kehilangan warna dan pembentukan warna cokelat selama penyimpanan minuman model bufer sitrat pH 3 pada suhu refrigerasi dan ruang terjadi karena serangan nukleofilik air penambahan air pada C-2 kation flavilium yang menghasilkan senyawa hemiasetal tidak berwarna dan pembukaan cincin pirilium. Degradasi antosianin berlanjut pada pembentukan senyawa berwarna coklat terutama dengan keberadaan oksigen Markakis 1982; Elbe von Schwartz 1996. Degradasi antosianin pada perlakuan penyimpanan suhu refrigerasi dan ruang mempunyai mekanisme yang sama dengan mekanisme degradasi antosianin selama proses pemanasan suhu tinggi, secara detail seperti dipaparkan di bagian sebelumnya. Stabilitas terhadap Cahaya Cahaya dapat menyebabkan degradasi antosianin Markakis 1982; Francis 1989; Elbe Schwartz 1996; Jackman Smith 1996. Perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens menyebabkan terjadinya degradasi antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin yang ditandai dengan terjadinya penurunan nilai retensi warna dan waktu paruh t 12 serta peningkatan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE Gambar 4.9 dan Tabel 4.4. Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa nilai retensi warna dari antosianin buah duwet, kubis merah dan pewarna enosianin yang tidak terpapar cahaya kontrol menunjukkan nilai retensi yang masih tinggi berkisar di atas 90. Bahkan pada antosianin kubis merah terjadi peningkatan nilai persen retensi warna di atas 100 selama penyimpanan 7 hari. Adanya pencahayaan dengan lampu fluoresens menyebabkan terjadinya penurunan nilai retensi warna. Pada awal perlakuan pencahayaan, antosianin kubis merah menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi dan selanjutnya mengalami degradasi yang hampir sama dengan antosianin buah duwet dan enosianin. Pada akhir pencahayaan 7 hari, antosianin buah duwet menunjukkan karakteristik yang sedikit lebih stabil dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan enosianin berdasarkan nilai retensi warna. Hal ini juga didukung dengan nilai ΔID, ΔWP, dan ΔE dari antosianin buah duwet yang lebih rendah dibandingkan dengan kubis merah dan enosianin Tabel 4.4. Secara visual, minuman model yang mengandung antosianin buah duwet dan kubis merah berwarna merah pudar setelah pencahayaan 7 hari, sedangkan minuman model yang mengandung antosianin enosianin mulai berwarna kecoklatan pada pencahayaan hari ke 5. Warna coklat pada minuman model yang mengandung antosianin enosianin juga dapat dilihat dari nilai ΔID dan ΔWP yang tinggi yang menunjukkan ketidakstabilan antosianin enosianin terhadap cahaya. Pencahayaan juga dapat menyebabkan terbentuknya produk degradasi polimerik yang berwarna coklat. Pada perlakuan pencahayaan, antosianin buah duwet mempunyai nilai waktu paruh lebih tinggi 16,04 hari dibandingkan dengan antosianin kubis merah 11,07 hari dan pewarna enosianin 13,51 hari. Nilai waktu paruh antosianin enosianin lebih tinggi dari antosianin kubis merah karena pengaruh pembentukan produk degradasi berwarna coklat yang tinggi dan terukur pada waktu pengukuran dengan spektrofotometer. Gambar 4.9 Pengaruh pencahayaan dengan lampu fluoresens pada retensi warna dari antosianin buah duwet, kubis merah, dan pewarna enosianin dalam minuman model buffer sitrat pH 3.  , buah duwet control;  , buah duwet cahaya;  , kubis merah kontrol;  , kubis merah cahaya;  , enosianin kontrol;  , enosianin cahaya. Tabel 4.4 Perubahan warna dan waktu paruh antosianin dalam minuman model bufer sitrat pH 3 pada perlakuan pencahayaan fluoresens Parameter Perubahan Warna Kinetika Degradasi Pewarna Antosianin ΔID ΔWP ΔE KW k t 12 hari Duwet 0,13 a 7,31 a 4,06 a 26,93 a 0,0432 16,04 c Kubis merah 0,20 b 16,51 b 10,73 b 32,10 c 0,0626 11,07 a Enosianin 0,45 c 20,99 c 20,08 c 30,25 b 0,0513 13,51 b Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata p0,05. Perubahan warna dihitung dari nilai pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. ΔID, perbedaan indeks degradasi. ΔWP, perbedaan warna polimerik. ΔE, perbedaan warna kromasitas sistem CIELAB. KW, kehilangan warna nilai absorbans. k, konstanta laju degradasi antosianin. t 12 , waktu paruh. Pencahayaan fluoresens selama 7 hari. Secara keseluruhan, stabilitas warna antosianin terhadap perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens dapat diurutkan: antosianin buah duwet kubis merah pewarna enosianin. Komposisi dan struktur antosianin berpengaruh terhadap stabilitas terhadap cahaya. Van Buren et al. 1968 dalam Markakis 1982 melaporkan bahwa asilasi, metilasi diglikosida adalah antosianin yang paling stabil dalam wine yang dipapar cahaya; diikuti non-asilasi diglikosida lalu monoglikosida yang paling tidak stabil. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet yang mengandung struktur diglikosida sedikit lebih stabil dibandingkan antosianin kubis merah yang mengandung struktur antosianin diglikosida terasilasi. Hal ini kemungkinan karena konsentrasi antosianin kubis merah yang ditambahkan dalam minuman model lebih kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antosianin buah duwet sedikit lebih stabil terhadap perlakuan pencahayaan dengan lampu fluoresens dibandingkan 40 50 60 70 80 90 100 110 120 1 2 3 4 5 6 7 Waktu hari R et en si w ar na p ad a m a k s antosianin kubis merah. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyrby et al. 2001 yang mendapatkan hasil bahwa antosianin kubis merah memiliki sensitivitas yang rendah terhadap fotodegrasi. Perbedaan ini mungkin disebabkan penggunaan sumber cahaya untuk reaksi fotokimia berbeda. Pada penelitian ini digunakan lampu fluoresens dengan intensitas 4000 lux sedangkan penelitian Dyrby et al. 2001 menggunakan cahaya monokromatik dengan panjang gelombang 313, 366, dan 436 nm ultraviolet dan visibel. Sedangkan hasil penelitian dari Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos 2004 diperoleh bahwa antosianin ubi jalar merah mengandung gugus asil juga mengalami degradasi selama pencahayaan dengan lampu fluoresens putih. Profil laju degradasi antosianin dari kubis merah pada penelitian disertasi ini hampir sama dengan laju degradasi antosianin pada ubi jalar merah. Setelah pencahayaan selama 7 hari diperoleh nilai retensi warna antosianin ubi jalar berkisar 45. Nilai ini lebih rendah dari nilai retensi warna antosianin buah duwet dan kubis merah berturut-turut berkisar 73 dan 68 setelah pencahayaan selama 7 hari. Antosianin memiliki kecenderungan yang kuat mengabsorpsi sinar tampak dan energi radiasi sinar menyebabkan reaksi fotokimia pada spektrum tampak yang dapat merusak struktur antosianin sehingga mengakibatkan perubahan warna yaitu kehilangan warna merah. Furtado et al. 1993 menjelaskan bahwa reaksi degradasi antosianin oleh cahaya melibatkan eksitasi dari kation flavilium. Selama degradasi fotokimia, pembentukan produk akhir degradasi dijumpai sama seperti pada reaksi termal. Degradasi antosianin secara fotokimia melalui lintasan kinetika berbeda yang melibatkan eksitasi dari kation flavilium. Mekanisme degradasi secara fotokimia langsung dari kation flavilium sesuai persamaan: AH + produk degradasi, pembentukan produk degradasi melalui eksitasi kation flavilium. Sedangkan Maccarone et al. 1987 mengusulkan mekanisme yang berbeda, degradasi fotokimia terjadi melalui pembentukan senyawa tidak berwarna, misalnya dari kation flavilium melalui karbinol pseudobase menjadi kalkon. SIMPULAN Warna antosianin buah duwet dipengaruhi oleh pH. Warna antosianin buah duwet menunjukkan perubahan warna dari merah menjadi tidak berwarna pudar serta mengalami penurunan nilai absorbans dengan meningkatnya pH hv dari pH 1 ke pH 6. Pada pH 7-8 terjadi peningkatan nilai absorbans dan warna antosianin berubah menjadi biru. Struktur antosianin buah duwet dengan glikosilasi 3,5-diglukosida memberikan intensitas warna yang rendah pada kisaran nilai pH 1-8. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik relatif tidak stabil selama perlakuan pemanasan suhu 80 dan 98 o C, pencahayaan dengan lampu fluoresens putih, serta penyimpanan pada suhu refrigerasi dan ruang. Antosianin buah duwet menunjukkan karakteristik lebih stabil dibandingkan pewarna enosianin pewarna antosianin komersial selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik stabilitas yang hampir sama dengan antosianin kubis merah pada perlakuan pencahayaan dan penyimpanan. Antosianin terasilasi pada kubis merah memberikan karakteristik kestabilan warna yang tinggi selama pemanasan suhu 80 dan 98 o C dibandingkan dengan antosianin buah duwet diglikosida dan enosianin monoglikosida. Pada kondisi penyimpanan suhu refrigerasi dan tanpa pencahayaan dapat mempertahankan warna antosianin buah duwet lebih lama.

5. PERBAIKAN INTENSITAS DAN STABILITAS WARNA ANTOSIANIN BUAH DUWET Syzygium cumini SECARA

KOPIGMENTASI INTERMOLEKULAR PENDAHULUAN Antosianin buah duwet berpotensi digunakan sebagai pewarna alami untuk pangan. Antosianin buah duwet dapat diperoleh dari bagian kulit buah yang memiliki kandungan antosianin lebih tinggi dibandingkan antosianin anggur yang selama ini digunakan sebagai bahan baku untuk pewarna enosianin pewarna antosianin komersial. Antosianin buah duwet memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan antosianin dari pewarna enosianin disebabkan struktur antosianin buah duwet yang keseluruhannya dalam bentuk diglukosida, yaitu delfinidin 3,5-diglukosida; petunidin 3,5-diglukosida; malvidin 3,5- diglukosida; sianidin 3,5-diglukosida; dan peonidin 3,5-diglukosida Brito et al. 2007; Sari et al. 2009. Namun demikian terdapat keterbatasan dalam penggunaan antosianin buah duwet terutama intensitas warna yang rendah dan relatif kurang stabil dalam minuman model selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan. Intensitas warna antosianin buah duwet kurang kuat disebabkan glikosilasi pada antosianin merupakan diglukosida. Hal ini diperkuat oleh Mazza dan Brouillard 1987 yang menyebutkan bahwa struktur antosianin terutama malvidin 3,5-diglukosida menunjukkan warna yang kurang kuat dibandingkan bentuk monoglukosida pada medium asam dan menjadi tidak berwarna pada pH diatas 4. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki intensitas dan stabilitas warna antosianin buah duwet. Menurut Francis 1989; Jackman dan Smith 1996; Eiro dan Heinonen 2002; Castañeda-Ovando et al. 2009, warna dan stabilitas antosianin dapat diperbaiki melalui reaksi kopigmentasi secara intramolekular dan intermolekular sehingga intensitas warna antosianin dapat ditingkatkan dan lebih stabil. Kopigmentasi antosianin melalui interaksi intramolekuler dan intermolekuler dapat memberikan warna lebih cerah, kuat, dan stabil. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki intensitas dan stabilitas warna antosianin buah duwet melalui reaksi kopigmentasi intermolekular menggunakan asam sinamat asam sinapat, asam kafeat, dan asam ferulat dan ekstrak polifenol rosemary sebagai kopigmen. BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center Gedung PAU, IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA, IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duwet matang berwarna ungu kehitaman yang diperoleh dari hutan di Probolinggo, Jawa Timur. Sampel buah duwet telah mendapat pengesahan determinasi jenis tanaman dari LIPI Biologi, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah daun rosemary kering yang diperoleh dari Aljazair. Bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analisis. Asam klorida HCl, kalium klorida, natrium asetat, asam sitrat, natrium sitrat, kalium sorbat, dan natrium meta bisulfit diperoleh dari Merck Darmstadt, Jerman. Asam kafeat, asam sinapat, dan asam ferulat diperoleh dari Sigma-Aldrich St. Louis, MO. Etanol teknis 96 dan gas nitrogen diperoleh dari suplier bahan kimia di Bogor. Peralatan yang digunakan adalah pisau baja tahan-karat, hand blender, timbangan analitik, pengadukstirer, batang stirer, sentrifugasi, kertas Whatman no 1, pompa vakum, vakum evaporator putar, pH-meter, pipet mikrometer, vortek, spektrofotometer UV-Vis, lemari pendingin, lampu fluoresens putih, penangas air, kromameter CR-310, dan alat-alat kaca. Metode Penelitian Persiapan sampel Buah duwet segar yang matang warna ungu kehitaman dicuci dengan air bersih dan ditiriskan. Kulit buah duwet dikupas menggunakan pisau baja tahan-karat. Kulit buah duwet diblansir uap 80 o C selama 3 menit. Selanjutnya kulit buah duwet dikemas dalam kantong plastik polietilen PE dan disimpan pada pendingin suhu -20 o C sampai digunakan untuk pengujian.