30
lembaga litigasi seperti Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri maupun lembaga non litigasi seperti Badan Syari’ah Nasional Basyarnas.
5. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, maka analisa data dilakukan dengan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya, untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis.
Selanjutnya dianalisis secara kualitatif,
36
yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan mengamati hal-hal yang khusus untuk kemudian
menarik kesimpulan pada hal-hal yang umum. Selanjutnya hasil analisis disusun dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas
dan benar dan sesuai dengan masalah yang dibahas.
36
Analisis data dibedakan berdasarkan sifat datanya menjadi analisis yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan pada data yang tidak bisa dihitung
datanya tidak berupa angka-angka statistik. Lihat : Rianto Adi. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hlm .128.
Universitas Sumatera Utara
31
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM AKAD PERJANJIAN
SYARI’AH OLEH PARA PIHAK DI KOTA BANDA ACEH A. Perekonomian dan Perbankan Syariah
Ekonomi syariah
merupakan cabang
ilmu pengetahuan
sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam yang
berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan Welfare State. Berkembangnya perekonomian Islam merupakan dampak krisis
ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa
yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil.
37
Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu,
ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.
38
Dengan demikian, sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan
pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir
37
Wikipedia, Ekonomi_Syariah, http:id.wikipedia.orgwiki. Diakses Maret 2012
38
Ibid.
31
Universitas Sumatera Utara
32
semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan
bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan.
Ekonomi dalam
Islam harus
mampu memberikan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
pelaku usaha. Perekonomi syariah atau sistem ekonomi menurut hukum Islam merupakan
ilmu yang mempelajari perilaku muslim yang beriman dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.
Ekonomi dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al ’iqtisad, yang secara
bahasa berarti: kesederhanaan, dan kehematan. Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan
pribadi, kelompok keluarga, suku bangsa, organisasai dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber yang terbatas.
39
Kata iqtisad ekonomi dalam Al-Qur’an hanya disebutkan tiga kali, yaitu dalam bentuk isim fa’il: muqtasid dan muqtasidah. Kata muqtasidah terdapat dalam
QS. Al-Ma’idah 5 : 66, Allah SWT berfirman: ”Dan sekiranya mereka sungguh menjalankan hukum Taurat, Injil dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka
39
Elias Anton dan Edward E. Elias, Dalam Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah , Cetakan
Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2005, hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
33
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan
alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. Sedangkan kata muqtasid terdapat dalam QS. Luqman 31 : 32 dan QS. Fatir 35 : 32. Dalam QS.
Fatir 35 : 32, Allah SWT, berfirman yang arinya : Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara ada yang pertengahan dan diantara mereka ada
pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”.
Kata muqtasid dalam ayat tersebut ini mengandung makna sifat yang terdapat diantara sifat terpuji dan sifat tercela. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, muqtasid
adalah golongan yang berada di antara al-dalim inafsihi dan al-sabiq al-akhirat. Dan golongan ini, lanjut Ibnu Katsir, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, nantinya akan
masuk surga dengan rahmat Allah SWT.
40
Ali Fikri, mendefinisikan ekonomi Islam adalah kumpulan dari dasardasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta dari
tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah lingkungan dan setiap zaman. Pada definisi tersebut terdapat dua hal
pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi Islam yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang mana hukumhukumyang diambil dari kedua landasan pokok
40
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm.
28-29
Universitas Sumatera Utara
34
tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap tidak dapat berubah kapan pun dan di mana saja, akan tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi
tertentu bisa saja berlaku luwes atau murunah dan ada pula yang bisa mengalami perubahan.
41
Umer Chapra yang dikutip Amdiar Amin secara mendalam juga menjelaskan bahwa :
Ekonomi Islam
sebagai cabang
ilmu pengetahuan
yang membantu
mewujudkan kesejateraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber- sumber daya langka sesuai dengan al-’iqtisad al-syariah atau tujuan
ditetapkannya syariah,
tanpa mengekang
kebebasan individu
secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi,
atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat.
Ekonomi dalam
pandangannya harus
mengaitkan antara
persoalan ekonomi dengan persoalan sosial kemanusiaan yang menjadi tujuan syariat Islam. Jadi tidak semata-mata pemenuhan kebutuhan material
sebagaimana yang dikemukakan para ekonom kapitalis.
42
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para pemikir ekonomi Islam melihat persoalan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi,
dan distribusi berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan yang bernilai ekonomis. Akan tetapi, lebih dari itu mereka melihat persolan ekonomi
sangat terkait dengan persoalan moral, ketidakadilan, ketauhidan dan sebagainya.
41
Ali Fikri, Dalam Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 112
42
M. Umer Chapra, The Future of Economic: An Islamic Perspective, diterjemahkan oleh Amdiar Amin dkk, “Landscape Baru Perekonomian Masa Depan”, SEBI, Jakarta, 2001,
hlm. 131.
Universitas Sumatera Utara
35
Sehingga para pakar menempatkan individu manusia sebagai objek kajian ekonomi dengan konsep mengkaji nilai-nilai Islam sebagai dasar pijakannya.
Hal inilah yang membedakannya dengan konsep ekonomi barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya. Nilai-nilai Islam tidak
hanya berkaitan dengan proses ekonomi tapi juga berkaitan dengan tujuan dari kegiatan ekonomi. Islam menempatkan bahwa tujuan ekonomi tidak hanya
kesejahteraan duniawi saja, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih utama yaitu kesejahteraan ukhrawi.
Dalam menjelaskan apa saja yang menjadi sistem ekonomi Islam tentuanya tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam penerapannya
prinsip ekonomi Islam juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan para pemikir ekonomi Islam. Khurshid Ahmad, mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam
pada : Prinsip tauhid, rub’biyyah, khilafah, dan tazkiyah.
43
Mahmud Muhammad Babali, menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam
Islam, yaitu: al-ukhuwwah persaudaraan, al-ihsan berbuat baik, al-nasihah memberi nasihat, al-istiqamah teguh pendirian, dan al-taqwa bersikap takwa.
44
Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constribution to Islamic Ekonomic Theory menjelaskan bahwa ekonomi
Islam didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: 1 the principle of tawheed and
43
Kurshid Ahmad, Dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit. hlm. 37
44
Ibid. , hlm 38.
Universitas Sumatera Utara
36
brotherhood prinsip tauhid dan persaudaraan, 2 the principle of work and productivity prinsip kerja dan produktifitas, dan 3 the principle of distributional
equity prinsip pemerataan dalam distribusi.
45
Berdasarkan pembagian di atas, pada dasarnya bahwa prinsip-prinsip dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:
46
a. Prinsip Tauhid
Tauhid dalam ajaran Islam merupakan suatu yang sangat fundamental dan bahkan misi utama para Rasul Allah kepada umat manusia adalah dalam rangka
penyampaian tabliq ajaran tauhid, yaitu menghimbau manusia untuk mengakui kedaulatan tuhan serta berserah diri kepada-Nya, sekaligus sebagai tujuan utama
kenabian. b.
Prinsip Keseimbangan Kegiatan ekonomi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan
kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan umum. c.
Prinsip Khilafah Manusia adalah khalifah wakil tuhan di muka bumi yang harus menjalankan
aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan pemberi ”mandat” kekhalifahan, Allah SWT.
45
Ibid.
46
Ibid., hlm. 38-43
Universitas Sumatera Utara
37
d. Prinsip Keadilan.
Keadilan adalah salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayat-
ayat Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan
hukum alam, dimana alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam ekonomi dapat diterapkan dalam penentuan harga, kualitas
produk, perlakuan terhadap para pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan.
Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki
keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang paling utama adalah
yang melekat pada konsep build in concept dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai
alternative pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya halal atau haram masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang
keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam
menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya.
Islam sebagai ajaran yang universal dan integral, telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan maupun bidang ekonomi dan keuangan. Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai Islam di tengah masyarakat setelah runtuhnya ajaran komunisme yang
Universitas Sumatera Utara
38
berpusat di Sovyet tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Hantington menyatakan bahwa setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban
Islam.
47
Tujuan utama Syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan kebaikan dan mencegah kemafsadatan kerusakan, Syari’at menetapkan lima kebutuhan pokok
manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu : agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan, sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai
rahmatan lil alamiin sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat begi seru sekalian
alam”.
48
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk memahami dan mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini, maka akan didasarkan pada teori aksi action
theory yang dicetuskan oleh Max Weber. Teori aksi sebagaimana kedua teori lainnya teori
interaksionisme simbolik
simbolik interaksionism
dan fenomenologi
phenomenology.
49
Ketiga teori ini mendasarkan pada suatu ide dasar, yaitu : 1. Manusia adalah merupakan aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosial;
2. Realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan fakta sosial. Artinya tindakan manusia tersebut tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan,
nilai-nilai dan
sebagainya yang
kesemuanya itu tercakup dalam konsep fakta sosial; 3. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas
kontrol dari fakta sosial.
50
47
Yusuf Al-Qardawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Era Intermedia, Solo, 2001 hlm 330-335.
48
Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35.
49
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerjemah: Alimandan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1992, hlm. 49.
50
Ibid, hlm 50
Universitas Sumatera Utara
39
Sebagai, Max Weber pencetus teori aksi yang dikutip Robert W Hefner, Geger Tengger mengatakan bahwa
Konsep tindakan individual yang bermakna pada pusat teorinya tentang masyarakat. Konsep tersebut menekankan bahwa realitas sosial tidaklah
berwujud secara obyektif. Kehidupan sosial, secara rumit dibentuk oleh kultur dan makna, karena para pelaku menggunakan pengetahuan mereka, untuk
menyesuaikan diri dan mengubah dunia,
di mana mereka
menjadi bagiannya.
51
Walaupun manusia tidak mempunyai kebebasan total, karena adanya pembatasan dari berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma, serta
situasi penting lainnya, tetapi aktor mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Kemampuan inilah yang oleh Talcott Parsons disebut
sebagai voluntarism kesukarelaan, yaitu kemampuan individu melakukan tindakan, dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam
rangka mencapai tujuannya.
52
Bagi hasil menurut terminologi asing Inggris dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi di artikan sebagai laba. Secara definitif profit
sharing di artikan distrubusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.
53
Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk produk penghimpunan dan penyertaan modal, baik penyertaan
menyeluruh maupun sebagian atau bentuk bisnis korporasi kerjasama. Keuntungan
51
Robert W Hefner, Geger Tengger Perubahan Sosial Dan Perkelahian Politik, LKIS bekerjasama dengan The Asia Foundation, Yogyakarta, 1999, hlm. xiv.
52
George Ritzer, Op.Cit. hlm. 57
53
Muhammad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 22
Universitas Sumatera Utara
40
yang dibagi hasilkan harus di bagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya.
Dalam sistem ekonomi Islam, tingkat bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah deposan diganti dengan persentase atau porsi bagi hasil, dan tingkat bunga
yang diterima oleh bank dari debitur akan diganti dengan persentase bagi hasil. Dua bentuk rasio keuntungan di jadikan instrumen untuk memobilisasi tabungan dan
disalurkan pada aktivitas aktivitas bisnis produktif. Walaupun para ahli ekonomi muslim menekankan bahwa ada kekuatan built–in dalam sistem ekonomi Islam dalam
menjamin stabilitas. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa dalam mekanisme bagi hasil tidak akan ada faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan
ekonomi. Nejatullah Siddiqi melakukan analisis terhadap perilaku bagi hasil terhadap kondisi stabilitas ekonomi, bahwa: ”the introduction of ratios of profit sharing to
replace rate of interest will not destabilize the economy and that the change in the entrepreneural profit will not get communicated back all along the line”.
54
Pernyataan ini menetapkan bahwa sistem ekonomi berdasarkan bagi hasil akan menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan terjadinya distribusi
pendapatan yang lebih sesuai. Analisis terhadap persoalan peran bagi hasil terhadap ppencapaian stabilitas ekonomi harus dengan menggunakan pendekatan analisis
keseimbangan equilibrium.
Mekanisme analisis
keseimbangan menyajikan
bagaimana mekanisme penentuan supply dan deman atas tabungan.
55
54
Ibid, hlm 27
55
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
41
Dasar hukum pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia terbagi dalam dua bagian yaitu dasar hukum normatif dan dasar hukum formal. Keduanya secara
simultan memberikan kekuatan hukum berlakunya perbankan syariah di Indonesia. Dasar hukum normatif berasal dari hukum Islam yabg bersumber dari Al Qur’an,
Sunnah dan Ijtihad. Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kekuatan mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa itu
hanya mengikat, pertama bagi yang mengeluarkan atau yang mengfatwakannya, dan kedua mengikat bagi yang menerimanya atau yang menundukan diri atas fatwa itu
56
. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu, maka berlakunya belum secara mutlak bagi
seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari Al Qur’an dan Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat islam di Indonesia. Hukum
Islam yang terbangun dari dari sumber yang pokok dan terbentuk dari proses ijtihad merupakan norma atau kaidah hukum yang hanya memiliki kekuatan mengikat jika
diakui, diterima, dan di laksanakan oleh umat Islam sesuai dengan tingkat kesadaran dan keimanannya. Sedangkan dasar hukum formal merupakan ketentuan yang telah
melalui proses positivisasi atau formalisasi oleh Negara melalui lembaga Legislatif dan Bank Indonesia sebagai lembaga yang memiliki otoriter terhadap Perbankan
Indonesia. Dasar hukum peraturan perundang undangan nasional
1. Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
56
H.M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam Ekonomi Syariah Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 134
Universitas Sumatera Utara
42
2. Undang-Undang Dasar 1945 3. Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan
Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 4. Undang-Undang Nomor 21Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 624PBI2004 tertanggal 14 oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Dan
untuk BPRS
yaitu Peraturan
Bank Indonesia
Nomor 617PBI2004 tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah
serta berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis lainnya. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa
ummat Islam Indonesia, dan belahan dunia lainnya, menginginkan perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai
dan Prinsip Syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan dan dalam transaksi antar ummat yang didasarkan pada aturan-aturan Syari’ah. Keinginan ini
didasari oleh kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya
sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, masukklah kamu kedalam Islam secara kaffah utuhmenyeluruh.
57
Ayat ini dengan tegas mengingatkan kepada ummat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah bukan secara parsial, Islam
tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata, dan dimarginalkan dari dunia politik, ekonomi, perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek,
transaksi ekspor-impor dan lain-lain, apabila hal ini terjadi, maka ummat Islam telah menjauhkan Islam dari kehidupannya.
57
Surah Al-Baqarah Ayat 85 dan 208, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Karya Toha
Putra, Semarang, 1995.
Universitas Sumatera Utara
43
Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis
dalam kehidupan
perekonomian suatu
negara. Lembaga
tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana
surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan,
dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian.
Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat
dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah.
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang
perkembagannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Perbankan dalam melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari
masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa.
Bank berasal dari kata Italia banca yang artinya banku Banku inilah yang dipergunakan oleh bankir Italia untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para
nasabah, istilah banku secara resmi dan popular menjadi Bank.
58
Rumusan Bank secara yuridis seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
58
H.Malayu SP. Hasibuan. Dasar-dasar Perbankkan. Bumi Aksara, 2001, hlm.1
Universitas Sumatera Utara
44
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Pengertian sebagaimana diatur Undang-Undang tersebut di atas menegaskan
adanya beberapa hal : a. Bank adalah suatu badan usaha, bukan perorangan
b. Kegiatan bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyakat.
c. Tujuan bank adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, jadi bukan semata-mata mencari keuntungan
Sedangkan menurut Kamus Perbankan, Bank adalah Badan Usaha di bidang keuangan yang menarik uang dan menyalurkannya ke dalam masyarakat terutama
dengan memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
59
Namun demikian untuk lebih mempertegas tentang hal-hal yang menyangkut pengertian bank dikutip pula beberapa
pendapat para ahli untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud perbankan tersebut :
1. Pierson ahli ekonomi dari Belanda
Memberikan suatu definisi Bank is a company wiet accept credit, but didn’t give credit’ yang artinya bank adalah badan usaha yang menerima kredit, tetapi
59
S.Kertopati Dkk, Kamus Perbankkan, Lembaga Pendidikan Perbankkan Indonesia, Jakarta, 1980, hlm.54
Universitas Sumatera Utara
45
tidak memberi kredit”
60
Teori Pierson ini menyatakan bahwa bank dalam operasionalnya hanya bersifat pasif saja,yaitu hanya menerima titipan uang saja.
2. G.M. Verrijn Stuart
Pengertian bank menurut G.M. Verrijn Stuart yang dikutip Pratama Rahardja adalah “badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-
alat pembayarannya sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain. atau dengan jalan mengeluarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.
61
Dengan demikian bank adalah badan yang menerima kredit berupa giro,deposito dan tabungan, memberikan kredit baik berjangka pendek, menengah
maupun panjang serta memberikan jasa-jasa bank lainnya berupa kiriman uang transfer, wesel, letter of credit, bank garansi, dan sebagainya. Keuntungan dari bank
semacam ini adalah dari hasil selisih bunga dan provisi komisi atas jasa yang diberikan pihak bank. Jadi bank dalam hal ini telah melakukan operasi pasif dan
aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan Surplus Spending Unit SSU dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana
Defisiit Spending Unit DSU 3.
Somary Somary adalah seorang bankir yang memberikan definisi yang juga Pratama
Rahardja Bank sebagai sebuah badan yang aktif memberikan kredit kepada
60
H.Malayu SP Hasibuan, Op Cit. hlm.2
61
Pratama Rahardja, Uang dan Perbankkan, Rineka Cipta.Jakarta, 1990, hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
46
nasabah, baik dalam bentuk kredit berjangka pendek, berjangka menengah dan panjang“.
62
Dana yang diperlukan dalam pemberian kredit tersebut berasal dari modal yang disisihkan dari anggaran belanja negara untuk bank pemerintah dan
modal saham untuk bank swasta. Keuntungan bank semacam ini diperoleh dari selisih bunga
dari kredit yang diberikan dengan bunga kredit yang diterima kredit likuiditas pinjaman bank, obligasi dan sertifikat bank.
Dari uraian definisi tersebut di atas nampak bahwa bank merupakan suatu badan atau lembaga pemberi atau penyalur kredit kepada pihak yang membutuhkan
dengan dana yang berasal dari bank itu sendiri maupun dana masyarakat dengan perantara bank, sehingga dengan demikian betapa pentingnya peran bank sebagai
lembaga intermediasi
sekaligus berperan
dalam mendorong
pertumbuhan perekonomian suatu bangsa, hal ini dikarenakan bank adalah :
a. Pengumpul dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana.
b. Tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat c. Pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran dengan aman praktis dan
ekonomis d. Menjamin penyelesaian perdagangan dengan menerbitkan LC.
e. Penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank garansi
62
Ibid., hlm 67
Universitas Sumatera Utara
47
Memasuki ekonomi global muncul suatu kajian issue yang membutuhkan perhatian, seperti yang dinyatakan secara gamblang oleh Naisbitt dalam Global
Paradox yaitu trend-trend dunia secara luar biasa menuju ke arah kebebasan politik dan pemerintahan sendiri pada satu pihak dan pembentukan aliansi ekonomi pada
pihak lain.
63
Dari kajian ini nampak bahwa salah satu titik sentral dari issue yang muncul adalah kepentingan ekonomi dan dimana kepentingan ekonomi secara luas pada
hakekatnya dapat menentukan berbagai kepentingan yang lain, termasuk didalamnya adalah kesiapan dunia perbankan menyongsong globalisasi ekonomi tersebut
Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki
keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang paling utama adalah
yang melekat pada konsep build in concept dengan berorientasi pada kebersamaan yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga
yang selama ini hukumnya halal atau haram masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya lebih baru daripada
bank-bank konvensional, Bank Islam menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya.
Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis
dalam kehidupan
perekonomian suatu
negara. Lembaga
tersebut
63
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi” Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
48
dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack
of funds. Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian. Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai
dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan
yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai bentuk terapi
untuk memulihkan kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992, tentang Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Perubahan-perubahan pada
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dominan berkaitan dengan dua aspek, yaitu : aspek semakin
kuatnya kewenangan Bank Indonesia dan aspek akomodasinya sistem perbankan Islam dalam sistem perbankan nasional.
64
Jadi saat ini tidak hanya mengenal dual banking system, tetapi juga lebih mempertegas bahwa keberadaan bank dengan
prinsip syariah sejajar dengan bank konvesional dengan sistem bunga.
64
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.
Universitas Sumatera Utara
49
Bank syariah secara harfiah dapat diartikan sebagai bank Islam atau bank sesuai syariah atau bank yang operasional sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Untuk lebih jelas tentang pengertian bank syariah dijelaskan oleh Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, yaitu “Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan Hadis”.
65
Bank syariah menurut Heri Sudarsono adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
66
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 angka 13 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah aturan perjanjian
berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana danatau pembiayaan kegiatan usaha usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
mudharabah, pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal musyarakah, prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan murabahah, atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan ijarah, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain ijarah waiqtina.
65
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan; Teori dan Aplikasi, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm. 593.
66
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia – FE UII, Yogyakarta, 2003, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
50
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah itu tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya sesuai dengan peraturan
kebijakan perbankan yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk pembiayaan
dan atau
bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, namun di antara keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada prinsip operasional yang digunakan. Bank syariah
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Dengan kata lain bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah
adalah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada bank konvensional sebagai kreditur dan debitur.
Ide dasar sistem perbankan Islam sebenarnya dapat dikemukakan dengan
sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama berdasarkan pada prinsip PLS porfit-and-loss-sharing-Bagi-untung-dan-rugi.
Prinsip bagi
hasil ini
dalam keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relevan
untuk mengatasi masalah alokasi dana yang terbatas, baik yang berupa dana pinjaman atau tabungan dengan maksud supaya pengelolaan dan pembiayaan bisnis secara
efektif dapat tercapai. Bank Islam syariah pen. tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai.
Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan
antara bank Islam syariah pen. dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para
Universitas Sumatera Utara
51
nasabah investasi - sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha produktif - di pihak lain.
67
Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi profit and loss sharing memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh
masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat
strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama
Islam Muslim, tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu, bank syariah dengan
sistem bagi basil profit and loss sharing lebih mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai
kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif.
68
Diskriminatif yang dimaksudkan disini adalah adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat rakyat kecil atau ekonomi lemah, dimana pemilik modal
yang mempunyai dana besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian yang dialami oleh
nasabah yang penting uang tabungan dengan bunganya dapat kembali, sementara masyarakat biasa yang menjadi nasabah peminjam uang di bank tetap harus
67
Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10
68
M. Sood at.al. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah Dalam Struktur PT. Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan
Produk Fatwa Dewan Syariah Nasional, Laporan Penelitian, Kerja Sama Antara Bank Indonesia Dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2005, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
52
membayar pokok pinjaman ditambah bunga, walaupun usaha mereka mengalami kerugian akibat dari keadaan yang memaksa overmacht.
69
Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dengan yang kekurangan dana
yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bank syariah atau bank Islam, berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi
intermediary institution, yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut dalam bentuk pembiayaan.
70
Perbankan syariah juga merespon permintaan nasabah dalam rangka memajukan perusahaan investasi atau bisnis pengusaha, selama aktivitas perusahaan
tersebut tidak dilarang oleh Islam. Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah
dengan mitra
bisnisnya antara
lain dengan
menggunakan prinsip
mudharabah, musyarakahsyirkah dan murabahah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan mengembangkan pelayanan produk-produknya berdasarkan prinsip-
prinsip Islam. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan pembiayaan dengan mitra bisnisnya menggunakan prinsip bagi hasil profit sharing.
71
Menurut Muhammad ada beberapa ciri utama bank syariah diantaranya: a. Beban biaya. Besarnya beban biaya tidak kaku dan dapat dilakukan tawar-
menawar dalam batasan-batasan yang wajar. Beban biaya hanya dikenakan
69
Ibid.
70
Dawam M. Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, LSAF, Jakarta, 1999, hlm. 410.
71
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
53
sampai batas waktu yang telah disepakati bersama. Dalam suatu kontrak baru untuk menyelesaikannya.
b. Tidak menggunakan persentase. Pembebanan kewajiban membayar dalam semua kontrak bank syariah selalu dihindarkan penggunaan persentase, karena
akan mempunyai potensi untuk melipatgandakan. c. Menciptakan
rasa kebersamaan.
Bank syariah
menciptakan suasana
kebersamaan antara pemilik modal dengan pengguna dana. Keduanya berusaha untuk menghadapi resiko secara adil, dan rasa kebersamaan ini
mampu membuat seorang pengguna dana merasa tenang sehingga dapat mengerjakan proyeknya dengan baik.
d. Tidak ada keuntungan yang pasti. Pada dasarnya yang dilarang dalam kegiatan muamalah adalah mencantumkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan pada
waktu pengikatan kontrak pembiayaan. Sedangkan yang diperkenankan dalam sistem muamalah adalah kontrak yang dilakukan yang hakekatnya merupakan
sistem yang didasarkan pada penyertaan dengan sistem bagi hasil.
e. Jual beli uang yang sama dilarang. Pada dasarnya kegiatan transaksi yang dilarang dalam operasionalisasi bank syariah adalah seolah-olah melakukan
jual beli atau sewa-menyewa uang dari bentuk mata uang yang sama dengan memperoleh keuntungan darinya.
f. Jaminan kebendaan terhadap utang. Pada bank konvensional bahwa jaminan kebendaan terhadap utang dari peminjam merupakan hal yang sangat
menentukan dalam persetujuan pemberian pinjaman. Sebaliknya,
dalam bank syariah pemberian pembiayaan dalam bentuk talangan dana untuk pembelian barangaktivabarang modal tersebut, maka pada dasarnya tidak
mengutamakan jaminan kebendaan dari pengguna dana. Sebab barang yang ditalangi pembeliannya oleh bank masih menjadi milik bank sepenuhnya
selama utang peminjam belum lunas.
72
Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan
pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan bank syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada
pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram. Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama
72
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba
Empat, Jakarta 2002, hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
54
dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP,
proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
73
Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional pada sistem yang dianut. Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional
karena sistem keuangan dan perbankan syariah adalah subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Prinsip utama yang dianut oleh bank
syariah antara lain larangan bunga dalam berbagai transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut
syariah, dan menumbuhkembangkan zakat. Dalam menjalankan eksistensinya bank syariah memiliki struktur yang sama
dengan bank konvensional dalam hal komisaris dan direksi, namun unsur utama yang membedakannya adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
74
Dewan Pengawas Syariah berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan
73
M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Tazkia Cendekia,
Jakarta, 2001, hlm 29.
74
Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. hlm.103.
Universitas Sumatera Utara
55
Pengawas Syariah dan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham RUPS, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut mendapat rekomendasi dari
Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia yang secara eks-officio diketuai oleh Ketua Majelis Ulama
Indonesia.
75
Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan
pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan Bank Syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu
ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram.
B. Pengertian Sengketa dan Sengketa Perbankan Syariah
Sengketa adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan pengertian antara sengketa dengan konflik adapula yang membedakannya. Bagi yang
menyamakannya sengketa atau konflik diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonistis berlawanan, berseberangan, bertentangan, atau hubungan antara dua
pihak atau lebih yang memilikimerasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi yang membedakannya, maka yang dimaksud dengan konflik adalah kedaan dimana
para pihak menyadarimengetahui tentang adanya perasaan tidak puas, sedangkan
75
Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm.34.
Universitas Sumatera Utara
56
sengketa adalah dimana konplik tersebut dinyatakan dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga.
76
Setiap kontrak perjanjian yang dalam ekonomi syariah dikenal dengan istilah akad yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau
itikad baik, namun dalam kenyataannya hal tersebut seringkali dilanggar, sehingga pada akhirnya memunculkan sengketa di antara para pihak yang terlibat dalam
kontrak tersebut. Pada dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa ekonomi
terdapat tiga aspek, yakni: 1. Aspek yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau
perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan. Sehingga sessuatu yang terjadi itu sebenarnya merupakan hal yang
secara normatif seharusnya tidak boleh terjadi atau tidak boleh dilakukan. 2. Aspek sosiologis, yakni adanya fakta yang membuat suatu pihak merasa
dirugikan oleh pihak lawan yang membuat melakukan faktakejadian itu, dan tidak mau secara suka rela mengganti kerugian atau menyelesaikan dengan
damai dan masing-masing pihak tidak mau mengalah atau mengalah salah satunya.
3. Aspek psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang
memunculkan adanya sengketa.
77
Oleh karena setiap sengketa mempunyai 3 tiga aspek, maka setiap sengketa memiliki 3 tiga sifat yang melekat padanya, yang melambangkan unsur-unsur
tersebut, yaitu:
76
Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Artikel dalam Syariah jurnal Hukum dan Pemikiran, Nomor 1 tahun 2, Januari-Juni 2002
Banjarmasin, 2002, hlm. 8-9.
77
A. Mukti Arto, Op.Cit., hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
57
1. Sifat formal, yakni sifat sengketa yang melekat pada nilai atau norma hukum yang mengaturnya, mungkin karena nilai norma hukumnya kurang jelas,
terdapat beberapa aturan yang berbeda beda atau saling berlawanan, adanya keragu raguan atau ketidakpastian hukum, atau belum adanya aturan dan lain
sebagainya.
2. Sifat substansial, yakni sifat sengketa yang melekat pada objek sengketa atau benda yang disengketakan, mungkin bendanya berbeda atau berlainan dan
sebagainya. 3. Sifat emosional, yakni sifat sengketa yang melekat pada manusianya,
mungkin karena perasaan yang meliputi etika dan estitika, pemikirannya anggapan, penilaian, pandangan, penguraian, analisis, cara berpikir dan
keyakinannyakeinginan atau kepentingan yang berbeda atau berlawanan.
78
Dengan demikian, maka potensi konflik atau sengketa kepentingan antara lembaga keuangan dan pihak pengguna dana dapat pula disebabkan
adanya perbedaan pesepsi atau interpretasi mengenai kewajiban dan hak yang harus mereka
penuhi. Timbulnya perbedaan tersebut antara lain karena hal-hal berikut: 1. Lembaga keuangan ingin mencapai tujuan memproleh keuntungan tanpa
mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan pengguna dana dan jangka waktu penggunaan dana. Sedangkan pihak pengguna dana ingin mencapai
tujuan memperoleh keuntungan tanpa pengawasan atau kontrol dari pihak lembaga keuangan penyedia dana.
2. Aturan hukum yang berlaku atau perjanjian yang menjadi dasar hubungan hukum kedua pihak tidak jelas, kurang lengkap, belum ada aturan pelaksana,
atau tidak ada pengaturan sama sekali. Dengan demikian kedua belah pihak berfikir dan bertindak menurut kehendak dan cara mereka sendiri, tidak ada
kesamaan persepsi.
3. Terjadi keadaan darurat force majeur yang tidak dapat diatasi oleh siapa saja, termasuk kedua belah pihak. Lembaga keuangan mengklaim pengguna
dana yang bertanggung jawab, sedangkan pengguna dana menolak tanggung jawab karena dia merasa tidak bersalah.
79
Kemudian kalau dilihat dari kegiatan ekonomi syariah yang diawali adanya perjanjian atau akad, maka potensi terjadinya konflik atau sengketapun juga tidak
78
Ibid.
79
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya, bandung, 2000., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
58
terlepas dari hal tersebut. Meskipun saat pembuatan transaksi bisnisakad pada kegiatan-kegiatan ekonomi syariah telah diupayakan secara terencana dengan baik
berdasarkan sistem analisa dan kehati-hatian yang seksama, bukan merupakan jaminan mutlak untuk tidak terjadi konflik dan sengketa di kemudian hari,
Bagaimanapun jelinya penyusunan rumusan perjanjian, konflik dan sengketa tidak mungkin dapat dihindarkan sepenuhnya.
Terjadinya sengketa dalam aktvitas bisnis pada dasarnya merupakan resiko logis dari adanya suatu hubungan bisnis itu sendiri, sehingga perlu adanya antisipasi
para pihak terhadap kemungkinan terjadinya di kemudian hari. Kemungkinan munculnya sengketa adalah disebabkan oleh wanprestasi menyalahi perjanjian,
perbuatan melawan hukum dan resiko usaha tanggung rugi.
80
Sengketa di bidang ekonomi syariah yang dapat berupa : a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah dengan nasabahnya. b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah. c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang orang yang beragama
Islam, yang di dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatankegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip prinsip
syariah.
81
Sebagai contoh misalnya pada kegiatan bank syariah, maka dengan melihat fungsi bank syariah sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana di masyarakat,
80
Yusna Zaida : Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Sengketa Ekonomi Syariah AL- BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007, hlm 26
81
Abdul manan, Op.Cit., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
59
maka berpotensi untuk munculnya konfliksengketa antara bank dengan nasabah dalam bank syariah terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yakni
sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam praktik perbankan, sengketa yang muncul dan sering terjadi adalah
pada hubungan hukum antara bank dengan nasabah penerima dana khususnya dalam kegiatan pembiayaan. Potensi konflik itu sendiri dalam realita sosial di antaranyan
terjadi karena konflik data yang disebabkan lack of information, karena konflik kepentingan interest conflict dan konflik hubungan relationship conflict.
82
Hal ini dibuktikan dengan melihat kasus kasus yang diselesaikan pada Badan arbitrase
syariah nasional Basyarnas, adalah mengenai akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna
dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain.
83
Demikian juga dengan adanya sengketa yang muncul dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah kredit macet yang disebabkan oleh kesulitan keuangan
yang dihadapi nasabah. Adapun penyebab kesulitan keuangan perusahaan nasabah dapat dibagi kepada:
82
Syaifuddin, Wewenang Peradilan Agama Terhadap Sengketa Perbankan Syariah, makalah di sampaikan pada stadium general semester genap pada Fakultas Syariah IAIN
Antasari Banjarmasin, 2004, hlm. 3.
83
Rifyal Kabah, Praktek Ekonomi Syariah di Indonesia, Makalah disampaikan pada Pelatihan Ekonomin Syariah Banjarmasin, 2006, hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
60
a. Faktor internal, yakni faktor yang ada di dalam perusahaan sendiri, dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan
keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor-faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan
penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihanpada aktipa tetap, permodalan
yang tidak cukup dan lain-lain.
b. Faktor ekternal., yakni faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan,
seperti bencana
alam, peperangan,
perubahan kondisi
peekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain- lain.
84
Guna menentukan langkah yang perlu diambil dalam menghadapi kredit macet terlebih dahulu perlu diteliti sebab-sebab terjadinya kemacetan. Bila kemacetan
tersebut karena faktor eksternal seperti bencana alam, bank tidak perlu lagi
melakukan analisis lebih lanjut. Hal yang perlu dilakukan bank adalah membantu nasabah untuk segera mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi.
Akan tetapi bila penyebab kredit macet tersebut adalah faktor internal misalnya karena sebab manejerial, maka bank perlu mengoreksi lagi sistem
pengawasan. Kalau ternyata hal tersebut sudah maksimal dilakukan, maka perlu diteliti lagi sebab-sebab lain secara lebih mendalam. Kalau ternyata hal tersebut
disengaja oleh pihak manajemen perusahaan nasabah, ini berarti pengusaha telah melakukan
hal-hal yang tidak
jujur. Misalnya
dengan sengaja
pengusaha menggunakan dana untuk keperluan kegiatan usaha lain di luar objek pembiayaan
yang disepakati. Bila kemacetan tersebut akibat kelalaian, pelanggaran atau kecurangan
nasabah, maka bank dapat meminta agar nasabah menyelesaikan segera. Termasuk
84
Ibid
Universitas Sumatera Utara
61
menyerahkan barang yang diagunkan kepada bank. Namun bila cara cara di luar pengadilan tidak dapat dicapai, maka bank dapat menempuh saluran penyelesaian
dengan jalur hukum melalui lembaga peradilan Peradilan Agama. Demikian juga pada kegiatan bisnis pasar modal, potensi terjadinya konflik atau sengketa dapat
terjadi antara: a. Emiten dan penjamin pelaksana emisi atas pelaksanaan perjanjian penjaminan
emisi; b. Penjamin pelaksana emisi dan agen penjualan atau;
c. Emiten dan badan administrasi efek; d. Perusahaan
sekuritas sebagai
pialang dengan
nasabahnya investorcustomer.
85
Kegiatan pasar modal konvensional, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada kegiatan pasar modal berbasis syariah seperti pada obligasi syariah.
Dalam hal ini Peradilan Agama juga merupakan salah satu pilihan pranata penyelesaian sengketa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa sengketa ekonomi syariah ialah sengketa dalam bidang hukum ekonomi syariah. Ekonomi syariah diartikan hukum
ekonomi Indonesia yang bersumber dari syariah. Hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan putusan putusan hukum yang secara khusus mengatur
kegiatan dan kehidupan ekonomi. Potensi
munculnya sengketa
pada bidang
ekonomi syariah
dan penyelesaiannya di peradilan agama terkait dengan kontrak perjanjian yang dalam
85
Hikmahamto Juwana, Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam UU Pasar Modal, Artikel dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, 2001, hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
62
ekonomi syariah dikenal dengan istilah akad. Dengan demikian maka potensi konflik atau sengketa kepentingan antara lembaga keuangan dan pihak pengguna dana dapat
pula disebabkan adanya perbedaan persepsi atau interpretasi mengenai kewajiban dan hak yang harus mereka penuhi.
Terjadinya sengketa dalam aktvitas bisnis pada dasarnya merupakan resiko logis dari adanya suatu hubungan bisnis itu sendiri, sehingga perlu adanya antisipasi
para pihak terhadap kemungkinan terjadinya di kemudian hari. Dalam hal ini Peradilan Agama juga merupakan salah pilihan pranata penyelesaian sengketa
tersebut. Pemilihan lembaga peradilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis
ekonomi syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan
lembaga peradilan agama yang merupakan representasi lembaga peradilan Islam, dan juga selaras dengan aparat hukumnya yang beragama Islam serta menguasai hukum
Islam.
C. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam Hukum Islam
Dalam hukum perikatan Islam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan mengadopsi berdasarkan tradisi Islam klasik, maupun
berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam hukum Islam tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Berdasarkan Tradisi Islam
Klasik
Universitas Sumatera Utara
63
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah apabila ditelaah berdasarkan tradisi Islam klasik terdiri dari :
a. Al Sulh
Perdamaian
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh”
berarti suatu
jenis akad
atau perjanjian
untuk mengakhiri
perselisihanpertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.
86
Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa ayat
126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus
dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu
telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya.
Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu,
maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada
bebarapa hal sebagai berikut :
86
AW Munawir,
Kamus Al
Munawir, Pondok
Pesantren Al
Munawir, Yogyakarta,1984, hlm.843
Universitas Sumatera Utara
64
a. Hal yang menyangkut subyek Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap
bertindak menurut hukum. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti pertama : wali atas harta
benda orang yang berada dibawah perwaliannya, kedua : pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, ketiga : nazir pengawas
wakaf atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.
b. Hal yang menyangkut obyek Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni pertama :
berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan
bermanfaat, kedua : dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan
pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
c. Persoalan yang boleh didamaikan disulh-kan Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh
didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain,
persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.
d. Pelaksana perdamaian Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar
sidang Pengadilan atau melalui sidang Pengadilan. Diluar sidang Pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri yang
melakukan perdamaian tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah wasit, itulah yang kemudian disebut
dengan arbitrase, atau dalam syariat Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang Pengadilan dilangsungkan pada
saat perkara sedang diproses dalam sidang Pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat
juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para
pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan
perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati.
87
87
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada
hari Rabu, tanggal 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta, hlm 5-6.
Universitas Sumatera Utara
65
Perjanjian perdamaian sulh yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah
pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktek di beberapa negara Islam, terutama dalam hal perbankkan syariah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq”
perundingan dan penyesuaian. Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern Bank, khususnya Bank dan lembaga-lembaga
keuangan pemerintah.
88
b. Tahkim
Arbitrase
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim
berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.
89
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini
yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang
menyelesaikan disebut dengan “Hakam”. Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad pengertian tahkim menurut istilah
fiqih adalah sebagai bersandarnya dua 2 orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang
bersengketa.
90
Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian
88
Asyur Abdul Jawad Abdul Hamid, An Nidham Lil Bunuk al Islami, Al Ma’had al Alamy lil Fikr al Islamy, Cairo,Mesir,1996, hlm.230, dalam Abdul Manan, Ibid, hlm 6
89
Liwis Ma’luf,
Al Munjid
al Lughoh
wa al-A’lam,
Daar al
Masyriq, Bairut,tt,hal.146, Ibid., hlm 6
90
Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, Darr Al Fikr, Kairo, Mesir,1976, hal.84, dalam Abdul Manan, Ibid., hlm 7
Universitas Sumatera Utara
66
“tahkim” yang mengutip pendapat kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah :
Memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang
mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafiiyah yaitu memisahkan pertikaian
antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib
dilaksanakannya.
91
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada
persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui juru damai wasit yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa.
Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra
Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Ada juga yang
berkembang di Madinah, tetapi lebih banyak dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian, sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris.
Nabi Muhammad SAW. sendiri sering mejadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi baik di Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah
berkembang lebih luas, mediator ditunjuk dari kalangan shahabat dan dalam menjalan tugasnya tetap berpedoman pada al Qur’an, al Hadis dan ijtihad menurut
91
Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia,BAMUI BMI, Jakarta,1994,hal.48-49
Universitas Sumatera Utara
67
kemampuannya. Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut “huququl Ibad” hak-hak perorangan secara penuh, yaitu aturan-aturan
hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri seseorang yang telah merusak
harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan hutang piutang. Oleh karena tujuan dari
Arbitrase itu hanya menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang dapat diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima
untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Menurut Wahbah Az Zuhaili, para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanbaliah berpendapat bahwa :
Tahkim berlaku dalam masalah harta benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Ahmad al Qadhi Abu Ya’la salah seorang mazhab ini bahwa tahkim dapat dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam bidang nikah, li’an,
qazdaf, dan qisas. Sebaliknya ahli hukum dikalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkim itu dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam
bidang hudud dan qisas, Sedangkan dalam bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak saja. Ahli hukum Islam dikalangan
mazhab Malikiyah mengatakan bahwa tahkim dibenarkan dalam syari’at Islam hanya dalam bidang harta benda saja tetapi tidak dibenarkan dalam
bidang hudud, qisas dan li’an, karena masalah ini merupakan urusan Peradilan.
92
92
Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV 2005 Dar El Fikr, Damaskus Syria, hlm.752, Abdul Manan, Ibid., hlm.7
Universitas Sumatera Utara
68
Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh kalangan ahli hukum Islam. Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam kehidupan
masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari’ah. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhum bahwa wilayah tahkim itu
hanya yang berhubungan dengan harta benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas.
93
Di Indonesia sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang ADR dijelaskan bahwa sengketa-
sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa- sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian. Ruang lingkup ekonomi yang mencakup perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual dan sejenisnya
termasuk yang bisa dilaksanakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanannya.
Para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam arbitrase
langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian
ahli hukum di kalangan mazhab Syafi’i. Alasan mereka ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa apabila mereka sudah sepakat mengangkat
hakam untuk menyelesaikan persengketaan yang diperselisihkannya, kemudian
93
Muhammad Ibnu Farhum,Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam, Darr al Maktabah al Ilmiah,Jilid I,Bairut,Libanon,1031,tt. hlm.19
Universitas Sumatera Utara
69
putusan hakam itu tidak mereka patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah SWT. Di samping itu, barang siapa yang
diperbolehkan oleh syari’at untuk memutus suatu perkara, maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat, sama halnya dengan hakim di Pengadilan
yang telah diberi wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara. c.
Wilayat al Qadha Kekuasaan Kehakiman
1 Al Hisbah, yaitu lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk
menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya.
Menurut Al Mawardi Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni :
Pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan,
Kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan
makanan yang sudah kadaluarsa dan Ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang
padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.
94
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan
melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada kebaikan terbagi kepada tiga bagian, yakni pertama : menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan
hak-hak Allah misalnya menyuruh orang untuk melaksanakan sholat jum’at
94
Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal.134
Universitas Sumatera Utara
70
jika ditempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum mereka jika terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat
jum’at tersebut, kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib
berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya, ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak
manusia, misalnya menyuruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laik-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai
untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan iddahnya.
2 Al Madzalim, yaitu badan yang dibentuk untuk membela orang-orang
teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan
masyarakat.
95
d. Al Qadha
Peradilan
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa
untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang
95
Al Mawardi, Op.cit, hlm.244
Universitas Sumatera Utara
71
dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah masalah keperdataan,
termasuk didalamnya hukum keluarga, dan masalah jinayat yakni hal-hal yang menyangkut pidana.
96
Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut dengan qadhi hakim. Dalam catatan sejarah Islam, seorang yang pernah
menjadi qadhi hakim yang cukup lama adalah al Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode sejarah, yakni pada masa
penghujung pemerintah Khulafaurrasyidin masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib dan masa awal dari pemerintahan Bani Umayyah. Di samping tugas-tugas
menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara, misalnya
menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim.
Melihat ketiga wilayah al Qadha kekuasaan kehakiman sebagaimana tersebut di atas, bila dipadankan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia,
nampaknya dua dari tiga kekuasaan kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya,
wilayah al mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, wilayah al al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan Umum dan
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
72
Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi tugasnya mirip dengan polisi atau Kamtibmas, Satpol PP.
2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Tradisi Hukum
Positif Indonesia
Apabila ditelaah berdasarkan tradisi hukum positif Indonesia penyelesaian sengketa perbankan syariah terdiri dari :
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR
Konsep sulh perdamaian sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk
menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu
pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu,
tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia.
Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh perdamaian pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah
masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution ADR. Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah
didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya
pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
73
dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses tehnis pelaksanaan hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh
negara. UU No. 30 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riel dan lebih spesifik dalam upaya negara mengaplisikan dan mensosialisasikan institusi
perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah
sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.
Suyud Margono mengatakan bahwa dipilihnya Alternative Dispute Resolution ADR oleh masyarakat atas pertimbangan :
Pertama : kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding
dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni
dengan jalan Arbitrase, Kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI
mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak
berdiri sendiri
sendiri, melainkan
mengikuti dengan
klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya
tidak berhasil diselesaikan.
97
Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI. Dengan
demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
97
Suyud Margono,ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia,Jakarta,2000,hlm. 82 14
Universitas Sumatera Utara
74
Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian
ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan- batasan secara rinci dan jelas. Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat
tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut : a. Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien
dengan penasehat hukumnya” atau juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang pihak terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata
ADR dalam prakteknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya menyelesaikan suatu masalah.
b. Negosiasi adalah proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan kepentingan yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan
secara kompromis dan memberikan kelonggaran. c. Konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu
sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan
maksud untuk menghindari proses legitasi. d. Pendapat atau Penilaian Ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52 UU
No. 30 Tahun 1999 bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan
hukum tertentu dari suatu perjanjian.
98
b. Arbitrase
Tahkim
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara
mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan, yaitu langsung ke lembaga Pengadilan atau
melalui lembaga di luar pengadilan yaitu arbitrase choice of forumchoice of jurisdiction. Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak
98
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
75
ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka choice of law.
Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah UU No. 30 Tahun 1999. Adapun ketentuan-ketentuan
mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan
syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat
subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan
dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengarahkan para pihak menyelesaikan sengketa yang ada melalui di luar
persidangan. Hal ini dianggap karena penyelesaian di luar persidangan dapat diambil keputusan yang tidak merugikan ke dua belah pihak dan juga prosesnya
tidak terlalu lama. c.
Proses Litigasi Pengadilan
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh perdamaian maupun secara tahkim arbitrase akan diselesaikan melalui lembaga Pengadilan.
Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat 1 UU Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 menyatakan
Universitas Sumatera Utara
76
bahwa : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan
Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari.ah. Dalam penjelasan
Undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari.ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari.ah
yang meliputi bank syari.ah, asuransi syari.ah, reasuransi syari.ah, reksadana syari.ah, obligasi syari.ah dan surat-surat berharga berjangka menengah syari.ah,
sekuritas syari.ah, pembiayaan syari.ah, pergadaian syari.ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari.ah, dan lembaga keuangan mikro syari.ah yang tumbuh
dan berkembang di Indonesia. Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip
syari.ah melalui mekanisme litigasi Pengadilan terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun
Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi
Universitas Sumatera Utara
77
syari.ah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai
hukum syari.ah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis ekonomi syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana.
Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan
representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam. Sementara
itu hal-hal yang berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pengadilan
Agama dapat
dikemukakan argumentasi
bahwa pelimpahan
wewenang mengadili perkara ekonomi syari.ah ke Pengadilan Agama pada dasarnya tidak akan berbenturan dengan asas personalitas ke Islaman yang
melekat pada Pengadilan Agama. Hal ini sudah dijustifikasi melalui kerelaan para pihak untuk tunduk pada aturan syari.at Islam dengan menuangkannya
dalam klausula kontrak yang disepakatinya. Selain kekuatiran munculnya kesan eksklusif dengan melimpahkan wewenang mengadili perkara ekonomi syariah ke
Pengadilan Agama sebenarnya berlebihan, karena dengan diakuinya lembaga ekonomi syari.ah dalan undang-undang tersebut berarti Negara sudah mengakui
eksistensinya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari.ah kepada siapa saja, termasuk juga kepada yang bukan beragama Islam.
Kemudian setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, para pelaku bisnis syariah telah mendapat kepastian hukum untuk
Universitas Sumatera Utara
78
menjalankan bisnis yang murni syariah termasuk dalam hal ini perbankan syariah dalam hal penyelesaian sengketa Pasal 55 ayat :
1Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama.
2Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai isi Akad. 3Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
99
Dalam penjelasan UU No. 21 Tahun 2008 juga dijelaskan bahwa “Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan
dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi
perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak”.
100
Penjelasan Pasal 55 Ayat 2 Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. Musyawarah;
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas atau lembaga arbitrase
lain; danatau d.
Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
99
Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah
100
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah
Universitas Sumatera Utara
79
Adanya ketentuan tersebut tentunya menimbulkan dualisme lembaga dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya penyelesaian melalui lembaga
litigasi, di mana pada Pasal 55 ayat 1 disebukan menjaid kewenangan pengadilan agama namun di dalam penjelasan Pasal 55 ayat dua terbuka kemungkinan
dilakukan melalui pengadilan negeri selain penyelesaian diluar pengadilan lainnya.
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perjanjian Syari’ah Oleh Para Pihak Di Kota Banda Aceh
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perekonomian syariah yang berkembang dewasa ini mencakup bidang ekonomi yang
tidak hanya membahas tentang aspek perilaku manusia yang berhubungan cara mendapatkan uang dan
membelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat.
Oleh karena itu, konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi syariah juga harus sejalan dengan prinsip universal
Islam yang tetap dipandang sahih dan aktual semanjang masa. Islam mengatur kegiatan kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di
dunia perbankan
juga berkembang
pesat sehubungan
dengan pemberdayaan perbankan nasional secara optimal diperlukan pemberdayaan seluruh
potensi perbankan Indonesia termasuk perbankan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam perkembangannya perbankan syari’ah dan
perkembangan lembaga keuangan syari’ah lainnya memerlukan pengaturan kegiatan operasional yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum.
Universitas Sumatera Utara
80
Dalam pelaksanaan kontrak atau akad pada perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, seperti pada perbankan umum maupun lembaga
keuangan konvensional lainnya sering terjadi perselisihan pendapat baik dalam penafsiran maupun dalam implementasi isi perjanjian. Adanya kesalahan penafsiran
maupun dalam pelaksanaan perjanjian ini tentunya berakibat terjadinya sengketa memerlukan adanya upaya penyelesaian.
Persengketaan tersebut harus segera diantisipasi dengan cermat untuk menemukan solusi bagi pihak bank syariah maupun lembaga keuangan sebagai
kreditur maupun nasabah sebagai debitur. Guna mengantisipasi persengketaan ekonomi syari’ah yang terjadi pada bank syariah dan lembaga keuangan syariah, baik
masyarakat, Lembaga Keuangan Syariah baik Bank maupun non Bank, serta para pengguna jasanya dapat menempuh berbagai upaya penyelesaian.
Namun demikian, mengingat hubungan hukum yang dibuat didasarkan pada prinsip syariah tentunya diperlukan adanya metode dan cara penyelesaian yang juga
mengikuti prinsip syariah. Menyadari hal tersebut para pihak dalam perikatan atau perjanjian dengan prinsip syariah tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum
apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah. Hal ini disebabkan karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda. Sebelum diberlakukannya Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah tersebut diselesaikan oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI yang kini
namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
81
Berdasarkan hasil penelaahan dan penelitian yang dilakukan dalam praktik selama ini para pelaku ekonomi di bidang perbankan syariah, bank dalam
menjalankan kegiatannya
berdasarkan syariah
dengan serta
merta akan
melangsungkan hubungan dengan kemitraan dengan sistem syariah pula. Oleh karena itu, bilamana hubungan tersebut terjadi atau berakhir dengan sebuah kecederaan
perilaku salah satu pihak dalam istilah lain perselisihan, maka kedua belah pihak dapat memusyawarahkannya terlebih dahulu sebagaimana yang disebutkan di atas,
dan jika hal tersebut juga tidak tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak dapat menunjuk seorang atau lembaga yang diyakini mampu untuk adil dalam
menyelesaikan perkara mereka.
101
Hal ini juga dibenarkan oleh Aidi Sofyan staf bagian pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Muttaqin di Banda Aceh bahwa dalam suatu hubungan hukum
yang didasarkan pada prinsip syariah seperti melalui pembiayaan dengan berbagai macam bentuk yang disalurkan bank syariah, baik pihak bank maupun nasabah dalam
penandatanganan akad selalu dilakukan dengan lebih dahulu di musyawarahkan. Akan tetapi, perselisihan yang diakibatkan kesalahan dalam pemahaman terhadap
akad dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan akad yang berpeluang tetap saja terjadi
dan tentunya
memerlukan adanya
cara penyelesaian
yang saling
menguntungkan bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.
102
101
Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26
Maret 2012
102
Aidi Sofyan, Staf Bagian Pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Muttaqin,
Wawancara tanggal 6 April 2012
Universitas Sumatera Utara
82
Berbagai perselisihan yang terjadi disebabkan karena pelaku bisnis khususnya pelaku bisnis di bidang perbankan dengan prinsip syariah juga manusia biasa yang
tidak terlepas dengan masalah, maka masalah yang bisa berawal dari diri para pihak sendiri sendiri atau dapat juga berawal dari pihak rekan atau mitra bisnis, untuk itu
kedua belah pihak membutuhkan solusi agar ketenangan hidup yang didambakan oleh setiap manusia dalam bermasyarakat dapat terwujud.
103
Guna mengatasi perselisihan ini disebabkan karena para pihak dalam bidang bisnis perbankan dengan prinsip syariah, pihak lembaga keuangan syariah seperti
halnya bank syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya dapat tindakan yang dapat dilakukan oleh para pihak dengan cara :
1 Membuat suatu perjanjian tersendiri yang khusus menyatakan keinginan para pihak tersebut untuk menyerahkan masalahnya diadili secara arbitrase,
perjanjian khusus ini ada dibuat setelah perjanjian pokok disebut sebagai akta kompromis
2 Mencantumkan dalam perjanjian pokoknya suatu bagian atau klausula yang berisi tentang keinginan para pihak untuk menyerahkan masalah yang timbul
dan perjanjian tersebut diselesaikan secara arbitrase atau melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas.
104
103
Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal
26 Maret 2012
104
Alfina dan Muchsin Putra Hespy, Notaris praktek di Banda Aceh, Wawancara tanggal 10 dan 11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
83
Basyarnas yang merupakan lembaga permanen yang didirikan oleh MUI Indonesia yang berfungi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah
yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, untuk itu lembaga ini harus menampilkan kemampuan dalam menyelesaikan persengketaan secara baik dan
memuaskan. Peraturan Bank Indonesia No. 7462005 yang juga terkait dengan penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah, dalam ketentuan Bab II Pasal 20
tentang penyelesaian sengketa bank dengan nasabah, menentukan bahwa ”Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam
akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka penyelesaian dilakukan dengan musyawarah, dalam musyawarah dimaksud tidak tercapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah”.
105
Keterangan di atas menunjukkan bahwa adanya peluang peluang dan jalan terhadap penyelesaian sengketa syariah selain di pengadilan yaitu di Badan Arbitrase
Syariah Nasional Basyarnas. Penyelesaian melalui Basyarnas ini baru dapat dilakukan dengan syarat bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan
masalah mereka di Basyarnas tersebut, tetapi jika salah satu pihak tidak setuju maka persoalan atau sengketa tersebut tidak dapat dengan jalan Arbitrse yang dimaksud.
Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase boleh dilakukan oleh para pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif dilakukan oleh para
105
Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal
11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
84
pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif cepat, kerahasiaan para pihak yang bersengkata tetap terjaga mengingat sidang arbitrase adalah tertutup untuk
umum. Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang selama ini dilakukan
oleh pihak bank adalah karena manfaat yang lebih besar dibandingkan harus melalui lembaga peradilan karena yang menjadi hakim adalah pilihan para pihak dan sudah
merupakan orang yang ahli dalam masalahnya, prosesnya cepat apabila dibandingkan dengan lembaga peradilan, karena umumnya merupakan keputusan yang sudah final
dan mengikat dan menurut Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase menyebutkan : penyelesaian sengketa harus sudah diselesaikan
dalam waktu 180 hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk dan putusan arbitrase ini dapat dilaksanakan eksekusi di luar negeri.
106
Akan tetapi, dalam perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak para pihak tidak menyebutkan Basyarnas sebagai tempat penyelesaian sengketa bila terjadi
perselisihan, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa lembaga yang berwenang dalam menyelesaian sengketa di bidang perekonomian syariah adalah Pengadilan
Agama berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49 poin i menyebutkan bahwa ”Peradilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
106
Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal
11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
85
wasiat, hibah,
zakat, infaq,
shadaqah dan
ekonomi syariah”.
Di Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda Aceh kewenangan ini adalah merupakan kewenangan Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah adalah yang
merupakan nama lain dari Pengadilan Agama di Provinsi Aceh yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Mahkamah
Syari’ah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syari’ah Provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut, telah dengan tegas menyebutkan bahwa perkara ekonomi syariah
menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah untuk menyelesaikannya, dalam hal ini ekonomi syariah merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah yang meliputi dari Bank Syariah Oleh karena itu, mengingat luasnya ruang lingkup perekonomi an syariah dapat dilihat dalam dua disiplin ilmu
yaitu Ilmu Ekonomi dan Ilmu Hukum Ekonomi Islam. Dengan demikian alasan disiplin ilmu ini merupakan salah satu alasan bahwa sengketa ekonomi syariah dalam
Pasal 49 poin i menjadi wewenang lembaga Peradilan Agama. Kemudian karena berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi maka para hakim di lingkungan Peradian
Agama harus lebih memperdalam pengetahuannya tentang hukum ekonomi syariah lebih lanjut.
107
Menurut analisis penulis selain ketentuan tersebut, alasan lain yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menangani sengketa di Bank
Syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya adalah dilihat dari para pihak atau
107
Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal
26 Maret 2012
Universitas Sumatera Utara
86
orang-orang yang berada di lingkungan peradilan umum, bukan ahlinya di bidang syariah. Kemudian para hakimnya pun tidak berlatar belakang pendidikan syariah.
Oleh sebab itu, sudah tepat bila terjadi gugatan syariah diserahkan ke Mahkamah Syar’iyah yang pada umumnya para hakimnya mempunyai latar belakang pendidikan
syariah. Namun
demikian, dapat
saja terjadi
dalam pelaksanaan
penyaluran pembiayaan perbankan ditemui adanya penggunaan sertifikat tanah milik pihak ketiga
sebagai agunan pembiayaan. Dalam pelaksanaan pembiayaan tertunggak sehingga mengharuskan bank syariah melakukan eksekusi agunan sebagai upaya pelunasan
pembiayaan. Hal ini tentunya merugikan pemilik sertifikat sehingga mengajukan gugatan kepada pihak debitur bank ke Pengadilan Negeri dan mengikutsertakan bank
sebagai tergugat. Padahal gugatan tersebut dapat saja diajukan ke
Mahkamah Syariah atau Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU Bank Syariah. Kondisi
seperti ini dapat juga terjadi pada perjanjian atau akad yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah lainnya.
108
Kondisi ini terjadi karena dalam akad pembiayaan yang dibuat antara bank dan nasabah juga dicantumkan adanya ketentuan yang mengatur bahwa :
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan bagian-bagian dari isi atau terjadi perselisihan dalam
melaksanakan Perjanjian ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha
untuk menyelesaikannya
secara musyawarah
untuk mufakat.
108
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
87
Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan
yang disepakati oleh kedua belah pihak, Maka dengan ini NASABAH dan BANK sepakat untuk menunjuk
dan menetapkan serta memberi kuasa kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh danatau Pengadilan Negeri di daerah setempat untuk
memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh dan berlaku di Badan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh danatau Pengadilan Negeri di daerah setempat bersifat final dan mengikat.
109
Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa pada akad pembiayaan perbankan syariah walaupun telah ada ketentuan penyelesaian perselisihan dibidang
perbankan syariah melalui pengadilan agamamahkamah syariah, namun di dalamnya juga dimuat ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui
pengadilan negeri. Kondisi ini tentunya dengan sendirinya berpeluang meresahkan masyarakat terutama
bagi dunia bisnis perbankan, sebab bagi pelaku bisnis penyelesaian yang menimbulkan permusuhan akan dapat mengganggu kinerja
pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian mereka. Untuk itu, diperlukan suatu institusi baru yang lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa dan
melahirkan kesepakatan yang bersifat win-win solution menjadi kerahasiaan para pihak dan menyelesaikan masalah secara komperehensif di dalam kebersamaan
dengan tetap menjaga hubungan baik. Sebenarnya konflik akan terjadi bila dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan yang kemudian berkembang menjadi sebuah sengketa baik pihak yang merasa dirugikan karena merasa tidak puas atas keprihatinannya baik
109
Akad Pembiayaan Al Musyarakah pada pada Bank Syariah Mandiri Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
88
secara langsung terhadap pihak yang dianggap atau penyebab kerugiannya tersebut. Sepintas sebenarnya penyelesaian melalui peradilan masih dianggap sebahagian
orang dapat memberikan keputusan yang adil, namun bagi sebahagian lainnya menganggap peradilan belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menumbuh kembangkan permusuhan diantara
para pihak yang bersengketa. Akan tetapi, pada prinsipnya penegakan hukum hanya dapat dilakukan salah
satunya dengan kekuasaan kehakiman judical power yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut dengan badan yudikatif, dengan demikian
wewenang memeriksa, mengadili sengketa hanya badan peradilan yang berwenang sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang juga merupakan derivate dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan
peradilan hanya badan peradilan, baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Mahkamah
Konstitusi. Hasil penelitian menunujukkan bahwa walaupun masih tetap terjadi tarik
menarik wewenang terhadap penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini, dengan bukti masih banyak Bank syariah yang belum memilih penyelesaian sengketa melalui
Peradilan Agama sebagai tempat penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam akad atau kontrak pembiayaan dimaksud.
Kondisi ini juga didukung oleh adanya
Universitas Sumatera Utara
89
ketentuan Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah yang menentukan bahwa : 1 Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada yat 1,
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2008 juga dijelaskan
bahwa “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya berupa musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain; danatau melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Adanya ketentuan tersebut, juga memperjelas adanya beberapa alasan yang
menyebabkan peradilan umum dalam hal ini pengadilan negeri masih dianggap sebagai institusi penyelesaian sengketa syariah, yaitu sebagai berikut :
1 Bahwa realisasi dari kontrak bisnis di lembaga keuangan syariah termasuk pembiayaan pada bank syariah sebahagianya masih mengacu pada KUH
Perdata tentang perikatan sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tidak terlepas dari pada KUH Perdata yang ada.
2 Wewenang Pengadilan Umum juga menangani di bidang bisnis, maka pada Pengadilan umum tersebut dapat disediakan kamar yang memeriksa kasus
bisnis syariah seperti Pengadilan Niaga yang berada di bawah pengadilan Umum
Universitas Sumatera Utara
90
3 Menghindari gesekan-gesekan politis yang masih a priori terhadap Islam sehingga memperlambat lajunya pelaksanaan sistem ekonomi syariah.
Namun demikian penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum seperti halnya pengadilan negeri juga terdapat kelemahan, antara lain :
1 Para hakim di Peradilan Umum belum tentu menguasai permasalahan syariah, lagi pula dalam memeriksa dan mengadili sengketa di Peradilan Umum,
hakim tidak merujuk kepada ketentutan hukum syariah 2 Meskipun telah ada hukum materil yang mengatur perbankan syariah para
hakim di Pengadilan Umum, akan sulit untuk menerapkan hukum yang berlandaskan syariah Islam.
110
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang terjadi di wilayah Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda
Aceh, sebagaimana dikemukakan oleh pelaku bisnis perbankan bahwa bagi para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum yang dilakukan melalui akad dengan
prinsip syariah oleh lembaga keuangan syariah maupun bank syariah dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad yang dibuat sebelumnya. Dalam hal ini, jika harus
mendapat persoalan atau sengketa antara nasabah dengan pihak bank maupun pihak ketiga lainnya tentang hal yang tercantum dalam akad, para pihak lebih
mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, karena dengan musyawarah lebih mencerminkan prinsip ke Islaman dan melahirkan hasil yang
110
M. Amin Said, Advokad dan Penasehat Hukum di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 25 juni 2012
Universitas Sumatera Utara
91
memuaskan bagi para pihak yang bersengketa. Jika tidak tercapai kata sepakat antara nasabah dan bank atau lembaga keuangan, maka persoalan tentang yang
disengketakan mereka dapat menunjuk Badan Arbitrase Syariah Nasional yang ada di daerah, dan jika tidak dapat terselesaikan hal ini baru diselesaikan melalui lembaga
litigasi baik melalui Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan prinsip yang dianut oleh operasional bank syariah maupun pengadilan negeri sebagaimana termuat dalam
akad.
111
Dengan demikian, pilihan penyelesaian sengketa dalam sengketa perbankan syariah termasuk pada bank-bank yang menjalankan prinsip syariah di Kota Banda
Aceh, masih berpatokan kepada aturan yang lama dan belum mengacu pada
ketentuan UU No.3 Tahun 2006 Jo UU No. 50 tentang Peradilan Agama yang
menentukan kewenangan Peradilan Agama atau ketentuan tentang Mahkamah Syariyah di Provinsi Aceh untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah, dan tidak
terbatas penyelesaian sengketa di bank syariah. Namun demikian, menurut hasil penelitian yang dilakukan sampai dengan
periode tahun 2012 di Kota Banda Aceh belum ada sengketa pembiayaan yang disalurkan bank syariah yang berlanjut hingga ditempuh penyelesaian melalui jalur
pengadilan negeri maupun melalui jalur Basyarnas. Hal ini disebabkan karena pihak bank mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dengan pihak nasabah jika
terjadi perselisihan termasuk perselisihan akibat akad pembiayaan. Dengan demikian
111
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
92
dapat dikatakan bahwa penyelesaian perselisihan perbankan syariah antara nasabah dengan bank syariah, lebih mengutamakan penyelesaian dengan cara musyawarah
walaupun dalam klausul akad cantumkan pengadilan negeri yang dipilih sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Upaya penyelesaian dengan cara musyawarah ini
dirasakan lebih efektif dan mengurangi beban biaya bagi pihak Bank.
112
Penyelesaian perselisihan dengan jalan musyawarah ini merupakan prinsip penyelesaian dalam hukum Islam, lagi pula penyelesaian sengketa dengan jalan
perdamaian atau musyawarah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan kultur masyarakat yang beradat dan bersendikan syara’. Namun untuk menangani
perselisihan dengan menempuh jalan musyawarah, diperlukan sumberdaya manusia yang berilmu, professional, jujur, adil dan bijaksana, sehingga nilai-nilai terkandung
dalam syariah Islam dilaksanakan secara utuh kaffah.
112
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
93
BAB III AKAD PADA PERBANKAN SYARIAH DAN LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya
Akad yang berasal dari kata al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb. al-Rabtb yang berarti, ikatan, mengikat.
113
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang
dimaksud al-Rabtb yang dikutib oleh Ghufron A.Mas’adi yakni ; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.”
114
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu yakni ikatan yang bersifat indrawi hissi seperti mengikat sesuatu dengan tali
atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli.
115
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad menurut bahasa intinya sama yakni akad secara
bahasa adalah pertalian antara dua ujung sesuatu. Guna terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad, hanya saja,
di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur
113
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, Mutiara, Jakarta, 1964, hlm. 112
114
Mustafa al-Zarqa’, al-Madkal al-Fiqh al-‘amm, Darul Fikri, 1967 – 1968, Beirut, hlm. 291. Dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75
115
Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, ‘Aqad al-Muqawalah, Maktabah al-Mulk, Riyad,
2004, hlm. 25.
93
Universitas Sumatera Utara
94
pembentuk tersebut rukun dan syarat akad. Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad 2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui
pernyataan ijab dan qabul.
116
Kata “akad” berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan atau secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Akad
dikatakan ikatan al-rabath yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.
117
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Gemala
Dewi mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, bahwa istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
118
Menurut fiqh Islam, kata “akad” berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan ittifaq. Dalam kaitan ini
peranan Ijab pernyataan melakukan ikatan dan Qabul pernyataan menerima ikatan sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan
ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
119
116
Afdawaiza, Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, hal 182, dalam Wahbah Az-Zuhaili. 1989. A l-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV. 92.
117
H.M. Azhari, Jenis-Jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah tabarru dan tijari, http:www.pa-tanahgrogot.net Diakses April 2011.
118
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005, hlm 43.
119
H.M. Azhari, Op.Cit., http:www.pa-tanahgrogot.net Diakses April 2010.
Universitas Sumatera Utara
95
Musthafa Az-Zarka yang dikutip H.M.Azhari bahwa : Suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau
beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya
masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
120
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus
ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan
tujuan akad harus jelas dan diakui syara’. Kemudian Hasbalah Thaib mengatakan bahwa suatu perjanjian menurut
jumhur ulama dikatakan dengan akad, dan secara terminilogi akad didefinisikan dengan pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan
penerima sesuai dengan kehendak syaria’at yang mempengaruhi pada objek perikatan.
121
Lebih lanjut pengertian akad menurut istilah yakni terdapat definisi banyak beragam diantaranya :
1 Ibnu ‘Abidin dalam Kitabnya Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutib oleh Nasrun Haroen. Definisi akad yakni : Pertalian ijab pernyataan
melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat berpengaruh pada obyek perikatan.
122
2 Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Al Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutib oleh Rachmat Syafei. Artinya “Ikatan
120
Ibid.
121
M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm. 1.
122
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, dikutib oleh Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm 97.
Universitas Sumatera Utara
96
antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”.
123
3 Definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam karya ilmiahnya ‘Aqad al-Maqawalah yang maksudnya “Pertalian ijab dan qabul
sesuai dengan kehendak syariat pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.
124
4 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah : perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan
kedua belah pihak.
125
Berdasarkan definisi
di atas
jelaslah bahwa
akad meliputi
subyek atau pihak-pihak, obyek dan ijab qabul. Akad merupakan perbuatan ijab qabul yang
menyatakan para pihak melakukan persesuaian kehendak sesuai dengan syari’at dan berpengaruh pada objek perikatan. Adapun dasar akad diantaranya :
a. Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 yang artinya hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
126
Ketentuan ayat di atas menghendaki agar setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan
maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat tersebut adalah merupakan asas
‘Uqud.
127
b. Dalam kaidah fiqh dikemukakan pula bahwa “hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku
sahnya yang diakadkan”. Keridhaan yang dimaksud adalah keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah
apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak.
128
123
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, dikutib oleh Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal. 43.
124
‘Abd. Ar-Rahman Bin ‘Aid, ‘Aqad., hlm. 26
125
T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Bulan Bintang,
Jakarta, hlm. 21
126
Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahan, CV Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 156
127
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1993, Juz.
VI. hlm. 81
128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
97
Hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah
sebagai berikut : a. asas kebebasan berkontrak
b. asas perjanjian itu mengikat c. asas konsensualisme
d. asas ibadah e. asas keadilan dan keseimbangan prestasi.
f. asas kejujuran amanah.
129
Asas kebebasan
berkontrak didasarkan
firman Allah
dalam Surat
Maidah ayat 1 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhi aqad-aqad itu …. “.
130
Kebebasan berkontrak pada ayat ini disebutkan dengan kata “akad-akad” atau dalam teks aslinya adalah al-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman
artinya orang boleh membuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum Islam ada batas-
batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah Surat An Nisaa’ ayat 29 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu
………………“.
131
129
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah”, Makalah disampaikan dalam rangka Stadium General Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
diselenggarakan F.H. UMY, Yogyakarta tanggal 14 Maret 2006.
130
Departemen Agama RI., Op.Cit., hlm. 156
131
Ibid., hlm. 122
Universitas Sumatera Utara
98
Asas perjanjian itu mengikat dalam Al Qur’an memerintahkan memenuhi
perjanjian seperti pada surat Al ‘Israa ayat 34 yang artinya, “ …dan penuhilah janji : sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
132
Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama. Asas ibadah merupakan asas
yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “hukum asal dalam
semua bentuk
muamalah adalah
boleh dilakukan
kecuali ada
dalil yang
mengharamkannya”.
133
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan
antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima. Asas
kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah. Menurut Abdul Manan
asas-asas akad adalah sebagai berikut : a. kebebasan, b. persamaan dan kesetaraan, c. keadilan, d. kerelaan, e. tertulis. Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi
dkk, menambah dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran.
134
Akad dalam pelaksanaan juga harus memenuhi rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Di dalam pembahasan ini hanya mengenai rukun dan syarat
132
Ibid., hlm. 429
133
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih. Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 130
134
Abdul Manan, “Hukum Kontrak “Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah”. Dalam Varia Peradilan. No. 247. Th. Ke. XXI. hlm. 33. Gemala Dewi dkk.,
Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
99
akad sebagai unsur dalam membentuk akad. Di dalam Fiqh muamalah untuk terbentuknya akad yang sah dan mengikat harus dipenuhi rukun-rukun akad dan
syarat-syarat akad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Rukun-rukun Akad