Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah Di Banda Aceh

(1)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI

PENETAPAN HAKIM MAHKAMAH SYAR’IYAH

DI BANDA ACEH

TESIS

Oleh AHMAD RIDHA

097011147MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI

PENETAPAN HAKIM MAHKAMAH SYAR’IYAH

DI BANDA ACEH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh AHMAD RIDHA

097011147 MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM MAHKAMAH SYAR’IYAH DI BANDA ACEH

Nama Mahasiswa : Ahmad Ridha Nonor Pokok : 097011147

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Anggota

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)

Dekan

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada :

tanggal : 20 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

ABSTRAK

Pasal 1 angka 2 PP No.54/2007 menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh merupakan bagian dari sistem peradilan nasional adalah pengembangan dari Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Kepres No. 11/2003, yang telah memeriksa dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami tentang prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak serta mengetahui dan memahami tentang cara pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh adalah dengan membuat surat permohonan pengangkatan anak dengan memenuhi syarat-syarat pengangkatan anak yang ditentukan oleh Pasal 12 dan 13 PP No.54/2007 dan Permensos RI No. 110/HUK/2009, pemohon selanjutnya membayar panjar biaya perkara dan surat permohonan akan diberi nomor register perkara, pemohon kemudian menunggu panggilan. Pada saat persidangan majelis hakim akan memeriksa tentang bukti pendukung, baik bukti surat maupun saksi-saksi yang memberi keterangan di bawah sumpah. Kemudian hakim akan memberi putusan atau penetapan. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak adalah ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan permohonan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak, pembuktian dari pemohon dan peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan pengangkatan anak. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh hanya sebatas pada pengawasan yang dilakukan sebelum pengangkatan anak terjadi, atau hanya pada kelengkapan administrasi dan prosedural, tidak ada pengawasan setelah pengangkatan anak terjadi, dan belum ada koordinasi yang baik antara instansi terkait dalam melakukan pengawasan terhadap pengangkatan anak.

Perlu dilakukan sosialisasi tentang pelaksanaan pengangkatan anak, kepada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh agar lebih seksama memperhatikan persyaratan pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat, untuk menghindari terjadinya penyimpangan terhadap tujuan pengangkatan anak. Selain itu perlu juga dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak setelah adanya penetapan pengangkatan anak. Disarankan kepada Dinas Sosial serta instansi terkait untuk dapat melaksanakan koordinasi pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak di masyarakat. Diharapkan kepada Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak yang baru terbentuk di Provinsi Aceh untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Untuk mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


(6)

ABSTRACT

Article 1, paragraph 2 of PP No.54/2007 states that an adoption of a child is a legal act which transfers the child from the authority of his/her parents, guardians, or the people who have taken care, educated, and brought him/her up to his/her adoptive parents’ authority. Banda Aceh Sharia Court, one of the national judicial systems, which is developed from the Religious Court stipulated in Kepres No.11/2003, has examined and presided over the case of requesting to adopt a child.

The aim of the research was to know the procedure child adoption implementation through the Judge’s verdict in Banda Aceh Sharia Court which was based on the judge’s consideration in Banda Aceh Sharia Court in investigating the case of requesting to adopt a child and to know and understand the supervision of the implementation of adopting a child in Banda Aceh. The research was descriptive analytic, using judicial normative approach. The data were collected by conducting library research and field research and analyzed qualitatively. The conclusions were drawn by using inductive method.

The results of the research showed that in order to file a request to adopt a child in Banda Aceh Sharia Court was by writing a letter of request to adopt a child by fulfilling some requirements stipulated in Article 12 and 13 of PP No.54/2007 and Permensos RI No.110/HUK/2009. The petitioners paid the cash advance of costs of litigation, the letter of request was given a registration number, and the petitioners waited for the summons. In the Court hearing, the panel of judges would examine the supporting evidence such as testimonies and sworn witnesses and would give their verdict. The considerations given by the judges in Banda Aceh Sharia Court in investigating the case of requesting to adopt a child were based on the Sharia Court competence in investigating and deciding for child adoption, the motivation for adopting a child, the petitioner’s verification, and other regulations concerning the request to adopt a child. The supervision of the implementation of adopting a child in Banda Aceh is only conducted before the child was adopted, or only about the administration and procedural paperwork without supervising it after the child was adopted, and without good coordination among the agencies concerned in supervising the adopting process.

It is recommended that child adoption should be socialized, and Banda Aceh Sharia Court should give full attention to the requirements of adopting a child by adoptive parents in order to avoid the deviation in the objective of adopting a child. Besides, it is necessary to supervise the implementation of child adoption after the regulation is enacted.

It is also recommended that the Social Service and other agencies concerned should coordinate the supervision in the implementation of adopting a child in the society. It is expected that the Advisory Team for Child Adoption License which has been established in Aceh Province can do their job and utilize their function optimally so that the implementation of child adoption does not violate the law.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM MAHKAMAH SYAR’IYAH DI BANDA ACEH”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar BapakProf. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum.dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang kostruktif dalam penulisan tesis ini sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terimakasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, CTM, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Seluruh Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar dibangku perkuliahan. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2009 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Motivator terbesar dalam hidup penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya, Ayahanda Alm. Abubakar Hanafiah dan Ibunda Rohana serta kakak-kakak dan adik-adikku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.


(9)

Teristimewa penulis mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada isteri tercinta dr. Herianti dan anak anak tersayang Ahmad Khalil Akbar dan Ahmad Rezky Febrian, yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan Penulis dan juga dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua, amin ya rabbal alamin.

Medan, Januari 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Kerangka Konsepsional ... 30

G. Metode Penelitian ... 33

1. Sifat Penelitian ... 33

2. Jenis Penelitian ... 33

3. Lokasi Penelitian ... 34

4. Populasi dan Sampel ... 34

5. Teknik Pengumpulan Data ... 35

6. Alat Pengumpulan Data ... 36

H. Analisis Data ... 36

BAB II PROSEDUR PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH ... 38


(11)

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 38 2. Alasan/Motivasi Pengangkatan Anak ... 50

B. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam Memeriksa Perkara Pengangkatan Anak ... 56 C. Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Mahkamah

Syar’iyah Banda Aceh ... 64 D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Melalui Mahkamah

Syar’iyah ... 73 1. Hak dan Kewajiban Anak Angkat ………. ... 73 2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Terhadap Anak

Angkat………... 77 3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak………... 79

BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH

SYAR’IYAH BANDA ACEH DALAM MEMERIKSA

PERKARA PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK . 86

A. Prinsip dan Syarat-syarat Pengangkatan Anak ... 86 1. Prinsip Pengangkatan Anak ... 87 2. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak ... 88 B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

Dalam Memeriksa Perkara Pengangkatan Anak ... 91 1. Ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah

Banda Aceh dalam memeriksa dan memutuskan permohonan pengangkatan anak... 94 2. Alasan atau motivasi permohonan pengangkatan anak 94 3. Pembuktian dari Pemohon ... 99 4. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan


(12)

BAB IV PELAKSANAAN PENGAWASAN PENGANGKATAN

ANAK DI BANDA ACEH ... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 126


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

TABEL 1 PERKARA PENGANGKATAN ANAK PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH ... 62 TABEL 2 LAMANYA PROSES PEMERIKSAAN PERKARA

PENGANGKATAN ANAK DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH ... 71 TABEL 3 ALASAN/MOTIVASI PENGANGKATAN ANAK MELALUI


(14)

ABSTRAK

Pasal 1 angka 2 PP No.54/2007 menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh merupakan bagian dari sistem peradilan nasional adalah pengembangan dari Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Kepres No. 11/2003, yang telah memeriksa dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami tentang prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak serta mengetahui dan memahami tentang cara pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh adalah dengan membuat surat permohonan pengangkatan anak dengan memenuhi syarat-syarat pengangkatan anak yang ditentukan oleh Pasal 12 dan 13 PP No.54/2007 dan Permensos RI No. 110/HUK/2009, pemohon selanjutnya membayar panjar biaya perkara dan surat permohonan akan diberi nomor register perkara, pemohon kemudian menunggu panggilan. Pada saat persidangan majelis hakim akan memeriksa tentang bukti pendukung, baik bukti surat maupun saksi-saksi yang memberi keterangan di bawah sumpah. Kemudian hakim akan memberi putusan atau penetapan. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak adalah ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan permohonan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak, pembuktian dari pemohon dan peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan pengangkatan anak. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh hanya sebatas pada pengawasan yang dilakukan sebelum pengangkatan anak terjadi, atau hanya pada kelengkapan administrasi dan prosedural, tidak ada pengawasan setelah pengangkatan anak terjadi, dan belum ada koordinasi yang baik antara instansi terkait dalam melakukan pengawasan terhadap pengangkatan anak.

Perlu dilakukan sosialisasi tentang pelaksanaan pengangkatan anak, kepada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh agar lebih seksama memperhatikan persyaratan pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat, untuk menghindari terjadinya penyimpangan terhadap tujuan pengangkatan anak. Selain itu perlu juga dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak setelah adanya penetapan pengangkatan anak. Disarankan kepada Dinas Sosial serta instansi terkait untuk dapat melaksanakan koordinasi pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak di masyarakat. Diharapkan kepada Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak yang baru terbentuk di Provinsi Aceh untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Untuk mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


(15)

ABSTRACT

Article 1, paragraph 2 of PP No.54/2007 states that an adoption of a child is a legal act which transfers the child from the authority of his/her parents, guardians, or the people who have taken care, educated, and brought him/her up to his/her adoptive parents’ authority. Banda Aceh Sharia Court, one of the national judicial systems, which is developed from the Religious Court stipulated in Kepres No.11/2003, has examined and presided over the case of requesting to adopt a child.

The aim of the research was to know the procedure child adoption implementation through the Judge’s verdict in Banda Aceh Sharia Court which was based on the judge’s consideration in Banda Aceh Sharia Court in investigating the case of requesting to adopt a child and to know and understand the supervision of the implementation of adopting a child in Banda Aceh. The research was descriptive analytic, using judicial normative approach. The data were collected by conducting library research and field research and analyzed qualitatively. The conclusions were drawn by using inductive method.

The results of the research showed that in order to file a request to adopt a child in Banda Aceh Sharia Court was by writing a letter of request to adopt a child by fulfilling some requirements stipulated in Article 12 and 13 of PP No.54/2007 and Permensos RI No.110/HUK/2009. The petitioners paid the cash advance of costs of litigation, the letter of request was given a registration number, and the petitioners waited for the summons. In the Court hearing, the panel of judges would examine the supporting evidence such as testimonies and sworn witnesses and would give their verdict. The considerations given by the judges in Banda Aceh Sharia Court in investigating the case of requesting to adopt a child were based on the Sharia Court competence in investigating and deciding for child adoption, the motivation for adopting a child, the petitioner’s verification, and other regulations concerning the request to adopt a child. The supervision of the implementation of adopting a child in Banda Aceh is only conducted before the child was adopted, or only about the administration and procedural paperwork without supervising it after the child was adopted, and without good coordination among the agencies concerned in supervising the adopting process.

It is recommended that child adoption should be socialized, and Banda Aceh Sharia Court should give full attention to the requirements of adopting a child by adoptive parents in order to avoid the deviation in the objective of adopting a child. Besides, it is necessary to supervise the implementation of child adoption after the regulation is enacted.

It is also recommended that the Social Service and other agencies concerned should coordinate the supervision in the implementation of adopting a child in the society. It is expected that the Advisory Team for Child Adoption License which has been established in Aceh Province can do their job and utilize their function optimally so that the implementation of child adoption does not violate the law.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah menjadi kodratnya bahwa manusia selalu hidup bersama, ia selalu memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya sejak ia lahir hingga saat meninggal dunia. Salah satu dorongan dari manusia untuk bekerja sama yaitu ingin mengembangkan jenis atau keturunan dengan jalan membentuk sebuah keluarga dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, baik secara agama, adat istiadat maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari perkawinan suami isteri ini diharapkan akan didapatkan keturunan yang dapat menyambung generasi dan cita-cita orang tuanya.

Suatu perkawinan dapat dikatakan belum sempurna jika pasangan suami isteri belum dikaruniai anak, karena anak merupakan salah satu tujuan perkawinan. Akibat dari adanya suatu perkawinan adalah adanya hubungan antara suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak dan juga hubungan dengan harta benda yang lahir dalam perkawinan tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anak akan timbul, apabila dalam keluarga tersebut lahir seorang anak. Dalam hal ini Mudaris Zaini menyatakan bahwa keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia, hal tersebut sejalan dengan


(17)

pembawaan watak kodrati manusia yang merasakan bahwa anak bagian dari darah daging orang tua yang juga akan mewarisi pula sifat-sifat istimewa dari kedua orang tuanya. 1

Sebagai generasi penerus dari orang tuanya, juga sebagai generasi penerus bangsa dan negara, maka anak perlu untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia. Hadirnya seorang anak akan sangat diharapkan dalam kehidupan berkeluarga, karena akan menambah suasana bahagia pasangan suami isteri, walaupun terkadang harapan untuk segera memiliki momongan itu tak kunjung tiba, sehingga kemudian setelah lama menunggu akhirnya mengangkat anak atau adopsi sebagai jalan keluarnya.

Pengangkatan anak bukanlah merupakan hal baru di Indonesia, karena sejak jaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda. Pengangkatan anak dan anak angkat telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah, dengan berbagai istilah dan sebutannya.

Menurut Imam Sudiat, pengangkatan anak menurut hukum adat adalah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar kedalam kerabat, sehingga terjadi suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewenangan biologis. Anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan dipungut masuk ke dalam kerabat yang mengadopsinya,

1

Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 1.


(18)

dengan suatu pembayaran berupa benda-benda magis. Jadi pengangkatan anak tersebut merupakan perbuatan seketika dan tunai. 2

Pengangkatan anak dilakukan bukan hanya oleh mereka yang belum dikaruniai keturunan, akan tetapi juga dilakukan oleh mereka yang telah dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Karena faktanya menunjukkan bahwa lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah dibuat suatu aturan tersendiri tentang pengangkatan anak, dengan dikeluarkannya oleh Pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang mengatur tentang pengangkatan anak yang pertama-tama hanya diberlakukan khusus bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya ternyata banyak masyarakat lain yang ikut menundukkan diri pada Staatsblad tersebut, hal itu karena faktor hanya peraturan itulah yang ada pada masa itu, meskipun Staatsblad itu sebenarnya berangkat dari satu kepercayaan adat Tionghoa yang menganut sistem clan patrilineal, yaitu anak laki-laki

2


(19)

itu dianggap sebagai penerus keturunan keluarga di kemudian hari, dan anak laki-laki diyakini sebagai orang yang dapat memelihara abu leluhur orang tuanya.3

Sementara itu di kalangan umat Islam, yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini, secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat istiadat kebiasaan yang telah dipraktekkan masyarakat muslim di Indonesia yang mendasarkan pada Hukum Islam dan telah merambah pula dalam praktek melalui lembaga peradilan.

Dengan demikian praktek pengangkatan anak telah dikenal luas oleh kalangan masyrakat Indonesia, baik melalui hukum adat, Hukum Islam, maupun hukum perdata Barat.

Di kalangan bangsa Arab pra Islam (Jahiliyah), tempat dimana Islam dilahirkan, praktek pengangkatan anak sudah menjadi tradisi secara turun temurun, bahkan Nabi Muhammad SAW pernah mempraktekkannya dalam kasus Nabi Muhammad SAW mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat, hal ini yang kemudian melatar belakangi turunnya Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4-5.

Pengangkatan anak dalam istilah Arab disebut “tabanny” atau “tabanny at-thifl”

yaitu menjadikan seseorang sebagai anak angkat. Di dalam Al-Qur’an pengangkatan anak dikenal dengan sebutan “da’iyyun” yaitu menghubungkan asal usul kepada seseorang yang bukan ayah kandungnya. Hal inilah yang dilarang dalam Islam dan sangat bertentangan dengan Hukum Islam.

3

Ahmad Kamil dan HM. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, PT Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 25.


(20)

Para pakar Hukum Islam (fuqaha’) sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti pernah dipraktekkan masyarakat pra Islam (Jahiliyah), dalam pengertian terlepasnya anak angkat dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya anak angkat kedalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Sehingga Hukum Islam melarang pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum perdata Barat dan praktek masyarakat pra Islam (Jahiliyah) yaitu : - anak angkat menjadi anak kandung.

- anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. - anak angkat mempunyai hak waris sama dengan hak waris anak kandung. - orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.

Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 :

“…….Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu……….”

Dengan demikian, pengangkatan anak sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 4-5 adalah pembatalan penyebutan dalam arti membangsakan seorang anak, kepada selain ayahnya sendiri. Pengangkatan anak dalam Hukum Islam tersebut semata-mata dengan niat saling membantu, adanya kepedulian sosial, memperhatikan anak yatim, orang miskin dan terlantar. Bentuk kepedulian


(21)

tersebut tentu dapat diwujudkan dengan berbagai macam pola, termasuk menjadikan anak-anak tersebut sebagai anak angkat, dengan ketentuan bahwa tindakan pengangkatan anak tersebut tidak membuat kedudukan antara anak dan orang tua kandung terputus.4

Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama Hukum Islam, telah memberikan pedoman mengenai masalah pengangkatan anak, yaitu :

1. Anak angkat tidak boleh dijadikan sebagai anak kandung (QS. Al-Ahzab : 4). 2. Anak angkat harus tetap dipanggil dengan nasab ayah kandungnya, tidak boleh

dipanggil dengan nasab ayah angkatnya, karena memanggil dengan nama ayah kandungnya lebih adil disisi Allah. (QS. Al-Ahzab : 5 dan 40 serta H.R. Bukhari – Muslim).

3. Seorang anak angkat yang menasabkan dirinya kepada laki-laki lain yang bukan ayahnya, maka haram baginya masuk surga, oleh karena tidak boleh membenci ayahnya sendiri (HR. Muslim).

4. Mantan istri (janda) anak angkat bukan mahram bagi orang tua angkatnya (QS. Al-Ahzab : 37).

5. Anak angkat yang tidak jelas orang tuanya diperlakukan seperti saudara sendiri (QS. Al-Ahzab : 5).

6. Mengangkat anak merupakan bagian dari tolong menolong dalam hal kebajikan (QS. Al-Ma’idah : 2).

7. Islam sangat menganjurkan untuk memberikan perhatian kepada anak-anak terlantar, miskin dan yatim (QS. Al-Insan : 8)

4

A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Pada Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam);Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hal. 5.


(22)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ada 2 (dua) pengangkatan anak (tabanny)

dalam kajian Hukum Islam yaitu, pertama pengangkatan anak yang dilarang sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh masyarakat pra Islam (Jahiliyah) dan Hukum Perdata Barat, kedua pengangkatan anak yang diperbolehkan yaitu pengangkatan anak yang didorong oleh motivasi karena beribadah kepada kepada Allah SWT, dalam konteks menolong (ta’awun).

Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama Islam, selama ini telah menerima perkara permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh orang-orang Islam berdasarkan Hukum Islam. Hal itu terjadi karena adanya perkembangan pengetahuan dan kebutuhan hukum serta kesadaran hukum yang terjadi dalam masyarakat muslim itu sendiri. Oleh karena konsep pengangkatan anak yang ada dalam Staasblad Nomor 129 Tahun 1917 memiliki unsur-unsur dan akibat hukum yang sama dengan praktek pengangkatan anak dalam masyarakat pra Islam (Jahiliyah) yang telah dilarang dalam Al-Qur’an. Sedangkan pengangkatan anak dalam semangat nilai-nilai ta’awun, kemaslahatan, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tetap menjadi bagian yang sangat dianjurkan oleh Islam.

Praktek pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam oleh masyarakat beragama Islam yang diajukan ke Pengadilan Agama tersebut telah banyak ditemukan di beberapa pengadilan di seluruh Indonesia, serta Pengadilan Agama telah memberikan penetapannya, walaupun waktu itu belum ada ketentuan perundang-undangan yang secara eksplisit menyatakan Pengadilan Agama berwenang dalam menangani perkara


(23)

permohonan pengangkatan anak. Praktek tersebut muncul dengan berlakunya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana status anak angkat, hal dan kedudukan anak angkat dan orang tua angkat diakui eksistensinya, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 171 huruf (h) dan Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pasal 171 KHI huruf (h) menyebutkan tentang definisi anak angkat, yaitu “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Selanjutnya Pasal 209 KHI menyatakan :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Dari sinilah masyarakat muslim akhirnya merespon dengan mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama.

Untuk memperkuat landasan hukum praktek yang sudah berjalan selama ini dalam penerimaan, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara permohonan pengangkatan anak, serta semangat dan aspirasi masyarakat Islam di Indonesia untuk mengangkat anak yang sesuai dengan nilai-nilai Hukum Islam, maka pada tanggal 20 April 2006 telah disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas


(24)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang selanjutnya disempurnakan lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

1. perkawinan; 2. waris; 3. wasiat; 4. hibah; 5. wakaf; 6. zakat; 7. infaq;

8. shadaqah; dan 9. ekonomi syari’ah.

Pada penjelasan Pasal 49 huruf (a) antara lain menyatakan : “Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang dilakukan menurut syar’iyah” pada angka 20 menyatakan : “Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam”.

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf (a) angka 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengenai penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam tersebut telah menegaskan secara “resmi” menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Dikatakan “resmi” karena jauh sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disahkan dalam praktek


(25)

di beberapa daerah, Pengadilan Agama telah melaksanakannya, kendati secara formal belum menjadi kewenangan.

Pengangkatan anak dalam konteks ta’awun dan semangat pelurusan hukum sesuai dengan asas komitmen “akidah” sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam, yang merupakan salah satu unsur dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, menjadi salah satu poin penting yang dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara permohonan pengangkatan anak.

Apabila hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertiban praktek hukum pengangkatan anak yang hidup di tengah–tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat. Praktek pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.5

Khusus di Provinsi Aceh yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, istilah Pengadilan Agama dikembangkan menjadi Mahkamah Syar’iyah, yang juga merupakan bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang diresmikan dalam satu upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan

5


(26)

Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tersebut menyebutkan bahwa “

Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar'iyah”.

Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tersebut, menyebutkan bahwa “Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”.

Berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga baru, tetapi mengembangkan Pengadilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah Syar’iyah. Pilihan ini dapat dilihat dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 ayat 3 tentang Peradilan Syar’iat Islam, yang berbunyi “Mahkamah Syar’iyah sebagai mana dimaksud pada ayat 1 merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang sudah ada”. 6

Oleh karena Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka sudah tentu kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah lebih luas dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama.

Oleh karena pengangkatan anak bagi yang beragama Islam merupakan kewenangan baru dari Pengadilan Agama, yaitu berkaitan dengan penetapan asal usul anak dan pengangkatan anak (adopsi), sebagaimana penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20

6

http://ghozali75-alsingkili.blogspot.com/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-aceh-antara.html, Tanggal 29 Juni 2009.


(27)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka kewenangan Pengadilan Agama tersebut tentu saja secara otomatis merupakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yang merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh sebagai salah satu Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh, sejak berlakunya Undang-undang 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, juga telah menerima dan membuat penetapan atas permohonan pengangkatan anak.

Penulisan tesis ini akan mengkaji peristiwa pengangkatan anak melalui penetapan hakim serta dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan pelaksanaan pengawasan terhadap pengangkatan anak tersebut. Oleh karena itu dengan dilatarbelakangi dan didasari uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menulis tesis dengan judul : PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM MAHKAMAH SYAR’IYAH DI BANDA ACEH.

B. Rumusan Masalah

Dalam rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat penulisan karya ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka dalam tesis ini diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat penulisan,


(28)

demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam penelitian sesuai dengan tujuan penelitian 7

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak ?

3. Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh ?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan pasti. Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk memberi petunjuk tuntunan atau arahan dalam melangkah sesuai dengan maksud dari penelitian. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak. 3. Untuk mengetahui dan memahami tentang pengawasan terhadap pelaksanaan

pengangkatan anak di Banda Aceh.

7

Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 13.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis, antara lain sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoritis :

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum baik berupa teori maupun gagasan, khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

b. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat yang beragama Islam di Provinsi Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya, serta pihak-pihak terkait tentang pelaksanaan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil identifikasi serta penelusuran yang dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah tentang “Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh”. Namun sebelumnya ada penelitian yang


(30)

dilakukan oleh Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang bernama Pita Christin Suzanne Aritonang dengan judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Studi di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara)” dengan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung melakukan pengangkatan anak?

2. Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung ?

3. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?

Apabila dilihat dari rumusan masalah dari penelitian tersebut dengan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka jelas terlihat perbedaan, dimana penelitian tersebut lebih membahas tentang pengangkatan anak secara adat Batak Toba, begitu juga terdapat perbedaan pada lokasi penelitiannya.

Selanjutnya terdapat suatu penelitian berupa disertasi yang dibuat oleh A. Hamid Sarong, Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Program Doktor dengan judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi pada Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam)”, dengan rumusan masalah :


(31)

2. Mengapa masyarakat muslim masih enggan melakukan pengangkatan anak secara resmi, padahal praktek pengangkatan anak atau nama lain terus terjadi dalam masyarakat ?

3. Bagaimana realitas hukum masyarakat Aceh yang didasarkan pada masalah yang dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan undang-undang pengangkatan anak.

Apabila melihat pada rumusan masalah dari penelitian A. Hamid Sarong, jelas berbeda dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, begitu juga lingkup pembahasan dan lokasi penelitian yang sifatnya sangat umum, sementara penelitian ini lebih khusus, yaitu Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh.

Dengan demikian penelitian dengan pokok masalah dalam penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. 8

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis, diantara perubahan (variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (frame of thinking)

8


(32)

dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut”. 9

Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.10

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.11

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 12.

Teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kedaulatan negara (staat-Souvereiiteit)13, yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan

9

Bintoro Tjokroaminoto dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.

10

Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal.12.

11

M. Solly Lubis , Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 17.

12Ibid,


(33)

George Jelinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur dan melindungi kehidupan anggota masyarakatnya, terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Teori kedaulatan negara berhubungan dengan teori kedaulatan hukum (recht souvereinteit), dan teori kedaulatan rakyat. Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat.14 Hukum dibuat oleh Parlemen15 melalui wakil-wakil rakyat. Oleh karena itu, wajar bila rakyat mentaati dan melaksanakan ketentuan hukum yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat melalui organ-organ negara, yang dibentuk berdasarkan hukum administrasi negara. Dalam kaitan ini menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh A. Hamid Sarong, mengatakan bahwa “Kata administrasi berasal dari kata ministate (latin) yang berarti to serve atau melayani. Dalam hal ini executif/administrasi negara adalah pihak yang melayani dan warga masyarakat adalah pihak yang dilayani. Dengan demikian, pelayanan oleh administrasi negara adalah berada dalam lingkungan hukum administrasi negara.16 Organ-organ negara itu adalah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus mengayomi anggota masyarakatnya,

13

Soehino, Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 154-155.

14

Budi Ispriyarso, Hubungan Fungsional antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum terhadap Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 19.

15

J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 1005.

16


(34)

terutama perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yatim dan anak-anak miskin. Anak yatim dan anak miskin yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab negara harus ada jalan keluar yang realistik. Tanggung jawab negara tidak hanya dalam bentuk mendirikan panti asuhan, tetapi juga merumuskan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan kepada anak yatim dan anak miskin. Anak yatim dan anak miskin ada kesempatan untuk dijadikan anak angkat dan memang telah lama dipraktekkan oleh masyarakat muslim seperti di Aceh dan hal yang sama juga ada di daerah lain di Indonesia, akan tetapi sampai sekarang belum ada peraturan perundang-undangan dari negara, dimana negara mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan perlindungan hak dari anak angkat ini.

Pengaturan mengenai anak angkat dalam hukum tertulis yang pernah berlaku di Indonesia tidak ditemukan, tetapi praktek masyarakat ternyata terus menerus berlangsung bahkan sudah melembaga, sudah dikenal dalam istilah tersendiri. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak memperkenalkan ”anak angkat”, sedangkan di negeri Belanda sendiri sudah diterima oleh Staten General Nederland, dalam bentuk undang-undang adopsi. Di Indonesia baru dikenal dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). Dalam undang-undang ini diatur tentang anak angkat dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41. Pengaturannya sangat sederhana, hanya mengkonter isu negatif dalam masyarakat, seperti pengangkatan anak tidak boleh memutuskan hubungan dengan orang tua kandung. Berkenaan dengan ini masyarakat muslim telah jauh lebih maju dalam arti telah memberikan


(35)

bagian harta dari orang tua angkat, walaupun dalam bentuk wasiat, sebagaimana ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pengaturan anak angkat dalam sejumlah peraturan merupakan hukum positif yang harus dilaksanakan dan telah ditegaskan langsung oleh perundang-undangan, menjadi hukum positif, karena harus dirasakan langsung hasilnya oleh masyarakat sebab sifatnya positivisme. Arti terhadap positivisme yang sekarang sering diterima adalah pendapat yang diberikan oleh Hart seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yaitu :

1. Hukum adalah perintah;

2. Analisis terhadap konsep-konsep dari studi sosiologis dan historis serta berlainan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas;

3. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegaskan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian;

4. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan yang diinginkan.17

Lembaga legislatif harus segera menjustifikasi praktek masyarakat serta kebutuhan terhadap perwujudan perlindungan anak. Setiap hukum dipraktekkan oleh masyarakat, merupakan hukum yang hidup (living law). Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menunda perumusan undang-undangnya, karena hal itu telah menjadi kebutuhan hukum masyarakat.

Dalam pandangan positivisme, ”Setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma positif. Positivasi norma-norma keadilan (ius) menjadi norma perundang-undangan (lege) merupakan kegiatan yang

17


(36)

harus dilakukan dalam aliran pemikiran hukum positivisme ini”.18 Hukum itu harus dapat ditegakkan, tidak hanya menjadi pajangan. Hukum sebagai implikasi paradigma positivisme, dengan demikian diindikasikan sebagai hukum negara. Hukum negara atau hukum buatan negara itu umumnya dipersepsikan sebagai hukum yang mempunyai kedudukan yang istimewa atau eksklusif, berada di atas semua sistem pengaturan normatif lainnya yang dianggap sebagai sistem normatif yang lebih rendah kedudukannya dan ditegakkan oleh perangkat kelembagaan yang tunggal19 yaitu peradilan yang memaksa kepada orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada hak-hak anak yang terjamin dan pasti menurut hukum positif, termasuk di dalamnya hukum anak angkat. Kalau kelembagaan hukum anak angkat belum jelas akan ditemukan kesulitan ketika dilakukan penegakan hukumnya, yaitu perlindungan hukum anak angkat.

Sehubungan dengan uraian positivisme di atas, maka M. Solly Lubis menyebutkan bahwa :

Alamiah yang dibawa Islam datang untuk menghormati umat manusia semuanya adalah : ”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan manusia khalifah dimuka bumi untuk kepentingan mereka semuanya. Selain manusia, alamiyah juga datang untuk menyatakan bahwa manusia itu sama, tidak ada diskriminasi dalam hal kedudukan dan asalnya yang mulia sebagai manusia, serta dalam tugas dan tanggung jawab dengan penuh kesadaran hukum. 20

18

Dahlan, Pembaharuan Hukum dan Peran Academic Jurist dalam Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 195.

19Ibid,

hal. 196.

20

M. Solly Lubis, Kita dan Perkembangan Global, Makalah Seminar Hukum (Debat Publik tentang Kemungkinan Transformasi Hukum Islam kedalam Hukum Positif di Indonesia, tanggal 30-31 Agustus 2002 (Hotel Darma Deli Medan), Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara, 2002, hal. 5.


(37)

Kesadaran hukum yang dimaksud di sini adalah paduan sikap mental dan tingkah laku terhadap masalah-masalah yang mempunyai segi hukum yang meliputi pengetahuan mengenai seluk beluk hukum, penghayatan atau internalisasi terhadap nilai-nilai keadilan dan ketaatan atau kepatuhan (obidience) terhadap aturan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan kesadaran hukum ini yang disadari atas dasar tidak diskriminasi, kasih sayang serta rasa keadilan.

Tingkat kesadaran hukum yang dimaksud ialah bobot pengetahuan, penghayatan dan ketaatan terhadap hukum yang berlaku, yang diperlihatkan oleh cara-cara berfikir dan berbuat dalam pergaulan sehari-hari. Sebagai anggota masyarakat yang berbeda kepentingan tetapi memerlukan kerukunan dan ketertiban21, yang bertalian dengan hak-hak warga negara22, khususnya hak-hak anak angkat yang harus dipenuhinya.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis tesis ini adalah Teori Keadilan yang merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain. Atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.

21

M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000,hal. 31.

22


(38)

Anak yang telah meninggal dunia orang tuanya, atau orang tua yang telah meninggal anaknya, perlu dicari jalan keluar, sehingga anak-anak yang tidak lagi merasakan kasih sayang dari orang tua kandungnya dapat diperoleh dari orang yang lain yaitu orang tua angkat. Orang tua angkatlah yang memberi kasih sayang dan hak-hak lainnya. Dengan kata lain anak adalah sesuatu yang dapat dilihat sebagai bentuk pribadi yang nyata dimana perkembangannya merupakan gabungan dari struktur khusus yang terbentuk secara spesifik. Dikatakan bahwa, anak bukan saja sebagai suatu konsep analisa untuk ilmu pengetahuan yang tidak hanya dilihat dari suatu konsep perkembangannya secara teoritikal maupun akademik, sebagai proses yang dominan tetapi secara kenyataannya, khususnya sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara kehidupan sosial.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto bahwa, suatu keluarga berfungsi sebagai kelompok dimana individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam mendapat asuhan dan permulaan dari pendidikannya23. Dengan demikian dapat dipahami bahwa masyarakat dalam hidupnya saling mengisi dan menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.

Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah atau ibu dan anak. Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarganya, terutama anak-anak harus diberi perlindungan dan bantuan yang dibutuhkan agar

23


(39)

dapat memiliki sepenuhnya tanggung jawabnya dalam masyarakat”.24 Untuk menjamin terselenggaranya pemenuhan hak-hak anak disamping peranan pemerintah, maka peranan keluarga (orang tua), sekolah dan masyarakat sangat menentukan terwujudnya secara nyata hak-hak anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.25 Pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang telah disebutkan harus dilakukan oleh orang tuanya. Kalau orang tuanya telah meninggal dunia atau orang tuanya tidak sanggup memenuhi kebutuhan perlindungan, maka negara harus memfasilitasi kebutuhan itu. Cara yang paling tepat dan mungkin terealisasi adalah melalui pencarian orang tua pengganti, yaitu orang tua angkat, serta merumuskan persyaratan, prosedur pengangkatan anak tersebut.

Anak sebagai salah satu personalitas, baik orang tuanya masih hidup atau orang tuanya sudah meninggal dunia, orang tua kaya atau orang tua miskin, harus tetap dipenuhi hak-haknya, seperti hak anak untuk mendapatkan belaian kasih sayang, hak sehat serta hidup dalam kesejahteraan. Anjuran untuk pemenuhan hak ini tidak tercapai jika keluarga tidak memenuhi tanggung jawab memberi perlindungan, pendidikan dan bimbingan rohani kepada anak. Anak yang tidak memiliki peluang pada keluarga sendiri, berhak mendapatkan perlindungan khusus melalui pengangkatan anak.

Induk paradigma yuridis adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diiringi oleh undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya

24

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Profesi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 133.

25

Yusuf Thaib, Pengaturan Perlindungan Hak Anak dalam Hukum Positif, BPHN, Jakarta, 1984, hal. 132.


(40)

(organieke verordeningen)26. Hal ini merupakan kesatuan penjabaran dari paradigma filosofis yuridis dan politis. Oleh karena itu nilai-nilai dan asas-asas adalah bagian yang integral dan melekat dalam rangka sistem kehidupan bangsa, yang secara keseluruhan disebut sebagai pandangan hidupnya, yang selanjutnya menentukan pola pikir dan pola tingkah laku.27 Akan tetapi melalui pembuatan peraturan perundang-undangan (law making) dan pelaksanaan aturan hukum itu (law enforcement), belum mampu membuktikan konsistensi penegakan hukum dalam arti hakiki, dan ini terbukti dari produk-produk hukum terlebih-lebih pada upaya penegakan hukum yang masih segar jauh dari idealisme pendekatan kultural melalui jalur-jalur hukum itu,28 khususnya hukum-hukum mengenai pengangkatan anak.

Dengan demikian, masyarakat tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum, tetapi masalah yang mengemuka adalah apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor dan bidang kehidupan bangsa ini umumnya dan khususnya mengenai peraturan anak angkat dalam hukum positif, sebagaimana yang diatur dalam aturan perundang-undangan di negara lain. 29

26

M. Solly Lubis, Mencari Format Konstitusionalisme yang Baru sebagai Landasan Paradigmatik Sistem Manajemen Nasional (Orasi Ilmiah Purnabakti), Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 32.

27

M. Solly Lubis, Sistem Nasional Sebuah Pengantar Studi dengan Pendekatan Sistem dan Pandangan Konseptual Strategis, USU Press, Medan, 1988, hal. 13.

28

M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Op.Cit.,hal. 51.

29

M. Solly Lubis, Pembaharuan Hukum untuk Mendukung Reformasi Sistem Manajemen Kehidupan Bangsa, (Orasi Ilmiah) pada FH dan PPs Notariat USU tanggal 20 Februari 1999, Medan, hal. 8.


(41)

Disamping teori kekuasaan negara dan teori kekuasaan hukum sebagai teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung atau wacana, yaitu teori kemaslahatan atau maslahah mursalah dan teori perwalian. Setiap orang harus ada walinya. Wali itu dapat terdiri dari orang tuanya, atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh pengadilan. Wali ini penting dalam kaitannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan, atau berkaitan dengan pembelaan dalam qishas/diyat.

Di Indonesia belum ada rancangan mengenai undang-undang pengangkatan anak. Padahal kenyataan hukum dalam masyarakat cukup memberi petunjuk ke arah kebutuhan yang sangat mendesak kepada adanya undang-undang dimaksud. Desakan keberadaan undang-undang pengangkatan anak sudah mengarah ke tingkat darurat. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah dilihat dari sudut pandang teori keadilan. Rasanya tidak adil, karena bila telah meninggal orang tua atau karena orang tuanya miskin seorang anak berada pada tahap mencemaskan. Oleh karenanya akan terpenuhi rasa keadilan bila ada orang lain yang bertindak sebagai orang tuanya, memberi perlindungan, kasih sayang, dan hak-hak lain baik moril maupun materiil. Hal lain yang perlu diperimbangkan juga pendapat Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Zainal Arifin Mochtar, bahwa bahan pembuatan hukum yang paling mendasar adalah gagasan atau ide yang muncul dari masyarakat dalam


(42)

bentuk keinginan agar suatu hal diatur oleh hukum, sehingga pada akhirnya menjadi bahan yang benar-benar siap diberi sanksi oleh hukum. 30

Teori perwalian sebagai teori pendukung sangat penting diikutsertakan, karena pada dasarnya semua orang harus ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya. Dalam hal ini dapat dipahami kalau orang tua tidak ada lagi, tentu saja walinya harus dapat mewakilinya. Adanya orang yang bertindak untuk kepentingan orang lain dapat terjadi karena orang dimaksud dianggap tidak mampu bertindak sendiri atau karena ada ketentuan hukum itu sendiri.

Selain itu, juga digunakan teori pengayoman, dimana fungsi hukum adalah pengayoman.31 Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, yaitu memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan pengangkatan anak. 2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat ke pemahaman lain, diluar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu

30

Zainal Arifin Mochtar, Re-Format dan Re-Paradigma Legislasi DPR, Republika, 27 Juli 2005.

31

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245.


(43)

sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis”.32

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (didalam bahasa Belanda begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan definisi yang didalam bahasa latin adalah definition. Definisi tersebut berarti perumusan (di dalam bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.33 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34

Disini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.35

Selanjutnya konsepsional atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Kalau masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah

32

Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hal. 48.

33Ibid

, hal. 59.

34

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 21.

35


(44)

diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsepsional sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsepsional merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.36

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan.

Konsep itu adalah sebagai berikut :

a. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.

b. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

c. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan

36

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21.


(45)

keluarga orang tuanya angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

d. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.

e. Penetapan hakim adalah penetapan terhadap suatu permohonan pengangkatan anak yang diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah yang bentuknya mengacu kepada hukum acara perdata.

f. Mahkamah Syar’iyah adalah pengembangan dari Pengadilan Agama yang merupakan bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkup Peradilan Agama yang berlaku bagi masyarakat Islam yang tinggal di Provinsi Aceh.

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan”.37 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

37


(46)

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”. 38

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normative, (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

3. Lokasi Penelitian

38

Soejono Soekanto, Metode Penelitian Hukum Cetakan 3, UI – Press, Jakarta, 1986, hal. 43.


(47)

Sesuai dengan judul tesis ini, maka lokasi penelitian dilakukan di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dimana Mahkamah Syar’iyah juga telah membuat beberapa penetapan pengangkatan anak.

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Panitera pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Pegawai Dinas Sosial Provinsi Aceh, LBH Anak Aceh dan KKTGA (keduanya adalah lembaga Swadaya Masyarakat/LSM yang perduli terhadap anak), Advokat dan orangtua angkat. Oleh karena pengangkatan anak mempunyai karakteristik tersendiri, maka teknik pengambilan sampel yang paling mendekati adalah dengan teknik purposive sampling.39

Jumlah sampel yang diambil sebanyak 2 (dua) orang Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 2 (dua) orang Panitera Muda Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 2 (dua) orang Pegawai Dinas Sosial Provinsi Aceh, 1 (satu) orang Advokat yang menangani perkara permohonan pengangkatan anak dan 2 (dua) orang tua angkat. Selanjutnya untuk melengkapi data primer, diambil juga data sekunder berupa 23 (dua puluh tiga) Penetapan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tentang Pengangkatan Anak dan data tambahan dari beberapa informan, antara lain :

a. Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh; b. Kepala Dinas Sosial Provinsi Aceh

39


(48)

c. Pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu LBH Anak Aceh dan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA).

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara,yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

b. Penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer dari responden dan informan. dengan melakukan wawancara.40

6. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut :

a. Studi dokumen dengan menggunakan check list, yaitu meneliti dan mempelajari serta menganalisa bahan kepustakaan.

b. Wawancara (interview) langsung dengan para responden dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.

Wawancara yang dilakukan dengan pihak-pihak responden dan informan merupakan wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan cara mempersiapkan terlebih

40

Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 1997, hal. 71.


(49)

dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan sebagai pedoman, namun demikian masih dimungkinkan variasi-variasi pengajuan pertanyaan yang dengan situasi dan kondisi ketika wawancara dilaksanakan.41

7. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.42 Setelah data primer dan data sekunder diperoleh, selanjutnya akan dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap tabulasi dan tahap penarikan kesimpulan.

Pada tahap persiapan, data primer dan data sekunder yang telah diperoleh diedit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah data-data yang diperoleh sudah mencukupi dan juga untuk menghindari kemungkinan terjadi data yang kurang lengkap. Selanjutnya, data primer dan data sekunder yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif. Setelah melakukan analisis, maka kesimpulan yang didapat sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi.

41

Sutrisno Hadi, Metode Research, Jilid II, Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hal 206.

42


(50)

BAB II

PROSEDUR PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

MELALUI PENETAPAN HAKIM

DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

A. Gambaran Umum Tentang Pengangkatan Anak 1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Dalam hukum Indonesia, terdapat pluralisme atau keragaman mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara sendiri-sendiri kriteria tentang anak tersebut. Berikut ada beberapa pengertian anak dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut : a. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 Undang-undang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Di Indonesia, lembaga pengangkatan anak sudah berlangsung lama secara adat, yang dilakukan sejak zaman dahulu sampai sekarang ini. Bahkan sudah bagian dari kultur masyarakat yang tentu dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda sesuai


(1)

melakukan pengangkatan anak serta akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari pengangkatan anak sehingga masyarakat akan lebih paham dan lebih siap dalam melaksanakan pengangkatan anak.

2. Disarankan kepada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh agar lebih seksama memperhatikan syarat-syarat Pengangkatan Anak oleh Calon Orang Tua Angkat, untuk menghindari terjadinya penyimpangan terhadap tujuan pengangkatan anak. Selain itu perlu juga dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak setelah adanya penetapan pengangkatan anak dari Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

3. Disarankan kepada Dinas Sosial serta instansi terkait untuk dapat melaksanakan koordinasi pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak sebelum dan sesudah adanya Penetapan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh pengangkatan anak di masyarakat. Diharapkan kepada Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (Tim PIPA) yang baru terbentuk di Provinsi Aceh untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Untuk mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Andi Samsu Alam dan HK. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta, 2008.

Badudu, J. S.dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Bastian Tafal, B., Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, C.V. Rajawali Press, Jakarta, 1983

Bintoro Tjokroaminoto dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Budi Ispriyarso, Hubungan Fungsional antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum terhadap Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001. Budiarto, M., Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Akademika Presindo,

Jakarta, 1985.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Dahlan, Pembaharuan Hukum dan Peran Academic Jurist dalam Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002.

Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Dipakai dalam Lingkungan Sendiri pada FH-USU, Tanpa Tahun.

Echlas, M. Jhon dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981. Evi Susanti, Praktek Beracara Perkara Perdata, Materi Pelatihan Hukum, Disampaikan

pada Pelatihan Hukum di KKTGA, Banda Aceh, 2011.

Gerungan, W.A., Dipl., Psych, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Cet. V, Eresco, Jakarta, 1977.


(3)

Hasballah Thaib, H. M., 21 Masalah Aktual dalam Perkembangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas, Medan, 1995.

Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 1997.

Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983. Imam Sudiat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Iman Jauhari, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Lexy J. Moleong, Metodologi Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

---,Pembaharuan Hukum untuk Mendukung Reformasi Sistem Manajemen Kehidupan Bangsa, (Orasi Ilmiah) pada FH dan PPs Notariat USU tanggal 20 Februari 1999, Medan.

---,Sistem Nasional Sebuah Pengantar Studi dengan Pendekatan Sistemdan Pandangan Konseptual Strategis, USU Press, Medan, 1988.

---,Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2000.

---,Mencari Format Konstitusionalisme yang Baru sebagai Landasan Paradigmatik Sistem Manajemen Nasional (Orasi Ilmiah Purnabakti), Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002. ---,Kita dan Perkembangan Global, Makalah Seminar Hukum (Debat Publik

tentang KemungkinanTransformasi Hukum Islam kedalam HukumPositif di Indonesia, tanggal 30-31 Agustus 2002 (Hotel Darma Deli Medan), PengadilanTinggi Agama Sumatera Utara, 2002.

Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta,1989.

Meliala, Djaja S. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982. Mazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998.


(4)

Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Profesi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Pustaka Kautsar, Jakarta, 1998

Sarong A. Hamid, Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Pada

Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (Disertasi), Sekolah Pasca Sarjana

Sumatera Utara, Medan, 2008.

Satrio, J., Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Keluarga, Sumur Bandung, Bandung, 2000.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta,1993.

Soehino, Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980. ---,Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981.

---,Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. ---, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986.

---,Metode Penelitian Hukum Cetakan 3, UI – Press, Jakarta, 1986. Sutrisno Hadi, Metode Research, Jilid II, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Yusuf Thaib, Pengaturan Perlindungan Hak Anak dalam Hukum Positif, BPHN, Jakarta, 1984.

Zainal Arifin Mochtar, Re-Format dan Re-Paradigma Legislasi DPR, Republika, 2005.

B. Peraturan Perundang-undangan


(5)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama;

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan

Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak;

Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13/HUK/1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak;

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 37/ HUK/ 2010 tentang Tim Pertibangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 disempurnakan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1983, SEMA Nomor 3 Tahun 2005 prihal Pengangkatan Anak.


(6)

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syar’iat Islam. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak.

Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 463.1/314/2011 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.

Surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 7 Januari 2005 yang ditujukan kepada seluruh Walikota/Bupati se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perihal Penanganan Pengungsi Anak yang Telah Kehilangan Orang Tua,

Surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 360/38607 tanggal 13 Oktober 2008 perihal Adopsi Anak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

C. Website

http://ghozali75-alsingkili.blogspot.com/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-aceh-antara.html.