Perkembangan Karya Sinematografi dalam Perfilman Indonesia dan Dunia

Terkait dengan penelitian ini maka yang menjadi objek pembahasan adalah karya sinematografi dengan medium penyimpanan cakram optik padat video yang dikenal dengan Video Compact Disc DVD dan VCD atau dalam penelitian ini disebut karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD. Rekaman video yang dikenal di Indonesia pada awalnya adalah video kaset yang beredar di tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Keberadaan video kaset ini kemudian menghilang seiring dengan munculnya teknologi Laser Disc di awal tahun1990- an. Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan Laser Disc ini juga tidak bertahan lama, ketika pada tahun 1995 mulai masuk format baru, yaitu DVD dan VCD yang sebenarnya secara kualitas jauh di bawah laser disc. Namun demikian dengan harga yang relatif lebih murah, keberadaan DVD dan VCD ini secara perlahan hingga kemudian pada tahun 1997 berhasil menggeser format Laser Disc dari peredaran rekaman video di Indonesia.

B. Perkembangan Karya Sinematografi dalam Perfilman Indonesia dan Dunia

Pada setiap masa dan zaman, para kreator seniman memiliki kesimpulan bahwa bentuk dan warna tidkalah cukup untuk membuat sebuah representasi lengkap mengenai kehidupan. Bahkan juru gambar di zaman batu sekalipun telah terdorong hatinya untuk menciptakan gambar yang dapat memberikan kesan bergerak. Universitas Sumatera Utara Dahulu ketika teknologi sinematografi ditemukan di Amerika dan Perancis pada akhir abad 19, Indonesia masih merupakan koloni Belanda. 51 Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum, berlangsung di Paris, Perancis pada tanggal 28 Desember 1895. 52 Di Indonesia sendiri, film pertama kali baru diperkenalkan pada tanggal 5 Desember 1900 oleh Belanda sebagai penjajah Indonesia kala itu. Peristiwa tersebut sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. 53 Film pertama di Indonesia adalah sebuah film dokumentasi dari Eropa. Sedangkan film cerita baru pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 melalui film-film impor dari Amerika yang pada tahun-tahun berikutnya diikuti dengan masuknya film- film cerita impor dari Eropa, India bahkan Cina. 54 Seluruh film yang diputar hingga tahun 1923 masih berupa film bisu. Adapun pelopor usaha film kala itu adalah orang-orang Eropa. Sedangkan bagi etnis Cina pada awalnya memiliki hubungan hanya sebatas penyewaan gedung-gedung milik mereka untuk pemutaran. 55 Film lokal Indonesia baru pertama kali diproduksi pada tahun 1926, sebuah film bisu yang memang agak terlambat mengingat di belahan dunia lain film bersuara mulai diproduksi. Di lain pihak, peranan pribumi hanya sebatas penonton semata. 56 51 Misbach Yusa Biran, Perkenalan Selintas mengenai Perkembangan Film di Indonesia Tulisan khusus yang dibuat untuk penerbitan Asia University, Tokyo, 1990, hal. 1. Film lokal pertama yang berjudul “Loetoeng Kasarung” itu dimainkan oleh kalangan pribumi. Setelah diproduksi film itu, 52 Viktor C. Mambor, “satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”, diakses dari http:kunci.or.idvictorI.htm, pada tanggal 5 Mei 2011. 53 Ibid 54 Ibid 55 Misbach Yusa Biran, Op. cit, hal. 2 56 Industri film local baru dapat memproduksi sendiri film bersuara pada tahun 1931. Victor C. Mambor, Loc. cit Universitas Sumatera Utara kemudian bermunculan beberapa perusahaan film yang menghasilkan film-film lokal. Produksi film Indonesia mengalami masa panen pertama kali pada tahun 1941 yang menghasilkan 41 judul film, serta melahirkan pemain-pemain popular seperti Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young. 57 Tetapi dimulainya penjajahan Jepang tahun berikutnya mengakibatkan produksi film local menurun drastiis. Hal tesebut terjadi karena film-film yang boleh diputar hanyalah film documenter yang menampilkan kegagahan Jepang dan Sekutunya, sedangkan film Amerika dilarang beredar. 58 Namun demikian dalam kurun waktu berakhirnya penjajahan Jepang hingga tahun 1970, perfilman Indonesia kembali dibangun walaupun amat lamban. Usaha pembangunan perfilman tersebut misalnya dengan kembali mengimpor film-film asing, pendirian perusahaan Film Nasional Indonesia Parfini dan Perseroan Artis Republik Indonesia, lahirnya Festival Film Indonesia dan sebagainya, tetapi usaha-usaha itu belum cukup menggairahkan produksi film lokal. 59 Baru pada tahun 1970, industri film menunjukkan gairahnya kembali. Dalam kurun waktu 1970-1980 terjadi tingkat produksi tertinggi 60 yakni pada tahun 1977, alasannya tak lain karena peraturan pemerintah yang mengharuskan para importer film untuk memproduksi film lokal. 61 57 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film Indonesia, Jakarta: Badan Pelaksana F.F.I, 1982, hal. 11. Selanjutnya di era tahun 80’- an produksi film nasional semakin meningkat seiring dengan meningkatnya 58 Victor C. Mambor, Loc. cit 59 Ibid 60 Ibid 61 Ibid Universitas Sumatera Utara jumlah penonton dan bioskop baik di kota-kota besar, daerah-daerah pinggiran kota. Bioskop-bioskop tersebut telah mengakibatkan tersegmentasinya kelas tontonan dan penontonnya. 62 Namun demikian, keadaan itu selama beberapa tahun justru menjadikan perhatian bioskop-bioskop besar kepada film-film Hollywood yang lebih menjanjikan profit, sedangkan film local dengan tema semakin monoton, mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan pinggiran, itu pun masih harus bersaing dengan film-film India yang sejak awal menjadi konsumsi pasar kelas menengah ke bawah, apalagi di akhir era 80-an minat kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasion televisi swasta yang menyajikan film-film impor, sinema elektronik dan telenovela. 63 Pada dekade 90’-an kondisi film Indonesia belum juga bangkit dari keterpurukannya. 64 Dalam masa ini harus diakui terdapat bebeapa film yang dianggap berkualitas dan sukes bersaing dengan film-film impor seperti “cinta dalam sepotong roti”, “daun di atas bantal” yang diciptakan oleh Garin Nugroho, namun demikian kesuksesan tersebut tidak diikuti dengan lahirnya kreativitas film berkualitas dari sineas lainnya sehingga film Indonesia dilanda sepi. Masalah tersebut ditambah lagi dengan krisis bagi film-film nasional yang harus menghadapi persaingan dengan maraknya tayangan dari televise swasta. 65 62 Ibid Bahkan semakin memburuk, masyarakat yang mulai mengenai teknologi digital lebih senang menikmati film-film impor melalui teknologi laser disc, VCD, namun 63 Ibid 64 Misbach Yusa Biran, Perkenalan……., Op. cit, hal. 60. 65 Victor C. Mambor, Loc. cit Universitas Sumatera Utara terdapat sisi baik dari hadirnya teknologi digital bagi dunia pefilman Indonesia, yakni terbangunnya komunitas film-film independen. 66 Mulai akhir dekade 90’an hingga saat ini, sebenarnya dapat dilihat antusiasme pencipta film untuk melahirkan karya-karyanya. Tidak sedikit karya film dalam beberapa tahun terakhir bahkan mendapat minat besar dari masyarakat penonton bioskop. Namun demikian, hal tersebut oleh banyak kalangan masih disangsikan sebagai kebangkitan perfilman nasional, mengingat dalam catatan sejarah film Indonesia dari waktu ke waktu terus timbul dan tenggelam.

C. Industri Karya Sinematografi di Indonesia