Permasalahan Keaslian Penulisan Sistematika Penulisan

menganggap bahwa HKI merupakan public domain dan bukan merupakan suatu hak individu yang membutuhkan perlindungan hukum secara optimal. Dengan demikian perbedaan konsep kepemilikan tadi dapat menjadi kendala dalam kerangka penegakan undang-undang hak cipta di Indonesia. Realitas permasalahan penegakan hukum hak penjualan karya sinematografi, ditandai dengan temuan sementara dari peneliti di lapangan bahwa pelaku usaha penjualan, dalam hal ini pelaku usaha penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD tidak atau belum mengajukan izin kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagai wujud pelaksanaan hak penjualan karya sinematografi, tidak atau belum adanya tuntutan dari Pencipta ataupun Pemegang Hak Cipta terhadap penyebarluasan DVD dan VCD melalui usaha penjualan tanpa izin. Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat. Padahal, pembajakan hak cipta atau penggandaan secara ilegal produk-produk hak cipta jelas-jelas melanggar hak ekonomi Pencipta yang disebut dengan hak memperbanyak ciptaan atau reproduction right. 15

B. Permasalahan

15 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung: Alumni, 2008, hal. 11. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD? 2. Bagaimanakah budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan? 3. Bagaimanakah peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui penegakan hukum yang selama ini berlaku apakah telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD b. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan c. Untuk mengetahui peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan

2. Manfaat

Universitas Sumatera Utara a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan berguna-manfaat dalam mengembangkan konsep perlindungan dan mekanisme penegakan hukum di bidang hak cipta khususnya hak cipta karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD di Indonesia. b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam menanggulangi pelanggaran atas HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Penerapan Undang-Undang Hak Cipta dalam Bidang Karya Sinematografi Studi di Kota Medan” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Universitas Sumatera Utara

1. Pengertian hak cipta

Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh St. Moh. Syah pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung pada bulan Oktober 1951 yang kemudian diterima oleh kongres tersebut sebagai penggantian dari istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. “Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yakni Auters Recht”. 16 Istilah hak cipta ini merupakan pengganti Auters Recht atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, dibandingkan jika menggunakan istilah hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-undang Hak Cipta 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912. 17 Perkataan hak cipta itu sendiri terdiri dari dua kata hak dan cipta, kata “hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Dan kata “cipta” tertuju kepada hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karenanya, hak cipta berkaitan dengan intelektualitas manusia itu sendiri berupa hasil kerja otak. 18 Hak cipta copyright adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Right Deklarasi Umum Hak- 16 Ajip Rosidi, UNDANG-UNDANG Hak Cipta, Pandangan Seorang Awam Jakarta: Djambatan, 1994, hal. 3 17 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia Bandung: Alumni, 2003, hal. 85-86 18 Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 1 Universitas Sumatera Utara hak Asasi Manusia dan UN International Covenants Perjanjian Internasional PBB dan juga hak hukum yang sangat penting yang melindungi karya budaya. Karya budaya adalah apa saja yang dihasilkan seseorang yang memperkaya alam pikiran dan perasaan manusia. Karya budaya tidak mencakup hal-hal yang secara langsung menyumbang pada gaya hidup sehingga kehidupan atau pekerjaan lebih nyaman, seperti, misalnya, mesin atau teknologi. Mesin dan teknologi tidak termasuk karya budaya karena sebagian besar berkaitan dengan pengembangan peradaban di bidang teknologi dan karena itu hak-hak hukum yang melindunginya terpisah dari hak cipta. 19

2. Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta

Apabila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral moral rights dan hak ekonomi economic rights. Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu dari Prancis. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang droit d’auteur, author rights terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta. Untuk hak ekonomi diartikan sebagai hak yang dipunyai oleh si pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Menurut Djumhana hak ekonomi umumnya di setiap negara meliputi jenis hak: 20 19 Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook Indonesian Version Asia Pacific Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, 2004, hal. 2 20 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 72 Universitas Sumatera Utara a. Hak Reproduksi atau Penggandaan Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, ini merupakan penjabaran dari hak ekonomi si pencipta. Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini dapat dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film. b. Hak adaptasi Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur baik dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal Universal Copyright Convention. c. hak distribusi Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat. Dari hak distribusi itu dapat dimungkinkan timbul hak berupa foreign right, yaitu suatu hak yang dilindungi di luar negaranya. Misalnya satu karya cipta berupa buku, karena merupakan buku yang menarik, maka sangat digemari di negara lain, dengan demikian buku itu didistribusikan Universitas Sumatera Utara ke negara tersebut, sehingga mendapatkan perlindungan sebagai foreign right. d. Hak Penampilan atau Performance Right Hak untuk penyajian kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau presentasi suara, juga menyangkut penyiaran film, dan rekaman suara pada media televisi, radio dan tempat lain yang menyajikan tampilan tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukkan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak performing tersebut. Keadaan ini terasa menyulitkan bagi orang yang akan meminta izin pertunjukan tersebut maka diadakan suatu lembaga yang mengurus hak pertunjukan itu yang dikenal sebagai Performing Right Society. e. Hak penyiaran atau broadcasting right Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang dan mentransmisikan ulang. Ketentuan hak ini telah diatur dalam Konvensi Berne, maupun Konvensi Universal, juga konvensi tersendiri misalnya Konvensi Roma 1961; dan Konvensi Brussel 1974 yang dikenal dengan Relating on the Distribution Programme carrying Signals transmitted by Satellite. Hanya saja di beberapa negara, hak penyiaran ini masih merupakan cakupan dari hak pertunjukan. f. Hak program kabel Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu, Universitas Sumatera Utara dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan. Jadi siaran sudah pasti bersifat komersial. g. Droit de suite Droit de Suite adalah hak pencipta. Hak ini mulai diatur dalam Pasal 14 bis Konvensi Berne revisi Brussel 1948, yang kemudian ditambah lagi dengan Pasal 14 ter hasil revisi Stockholm 1967. Ketentuan droit de suite ini menurut petunjuk dari WIPO yang tercantum dalam buku Guide to the Berne Convention, merupakan hak tambahan. Hak ini bersifat kebendaan. h. Hak Pinjam Masyarakat atau Public Lending Right Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.

3. Pengertian sinematografi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf k Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa bahwa sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak moving images antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dalam pita seluloid, piringan video, pita video, cakram optik danatau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Kata sinematografi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “cinematography” yang asal katanya bersumber dari Bahasa Latin yaitu “kinema” yang artinya Universitas Sumatera Utara gambar. Dalam pengertian umum Sinematografi adalah segala hal mengenai sinema perfilman baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Dunia sinematografi dalam hal ini menyangkut pemahaman estetik melalui paduan seni akting, fotografi, teknologi optik, komunikasi visual, industri perfilman, ide, cita-cita dan imajinasi yang sangat kompleks. Pemahaman estetika dalam seni secara luas, bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayatan dalam menghadapi karya seni termasuk film. Sinema perfilman merupakan sebuah proses kreatif, ada ekspresiide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi. Sedangkan objek dalam film terdapat aspek material yang harus dipahami seperti medium celluloid, serat optik dalam compact disk audio, video compact disc audio dan visual, dll. Aspek formal berbentuk gambar, gambaran ruang dan waktu secara virtual, dan film dibuat berdasarkan penyusunan skenario yang didasarkan atas ide kehidupan manusia secara virtual. 21 Di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, danatau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses 21 Pengertian ini sebagaimana dijelaskan dalam http:dunia-sinematografi.blogspot.com , diunduh tanggal 3 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, danatau lainnya. 22

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka sifat penelitian yang sesuai adalah deskriptif analistis. Penelitian deskriptif analistis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku law as it is written in the book, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan law it is decided by the judge through judicial process 23 . Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif- kualitatif. 24 22 Sebagaimana rumusan di dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. 23 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal 118. 24 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hal 3. Universitas Sumatera Utara Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolegal sosio-legal approach. 25 Studi sosiolegal melakukan studi tekstual, Pasal-Pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum, dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam Pasal-Pasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara bagaimana. 26 Melalui pendekatan sosiolegal ini juga bahwa hukum tidak dipandang hanya sebagai peraturan atau kaedah-kaedah saja, akan tetapi meliputi bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat serta bagaimana hukum berinteraksi dengan lingkungan hukum itu diberlakukan.

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian kepustakaan library research dan penelitian lapangan field research. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk meneliti dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, yaitu: a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya, khususnya Hak Cipta atas karya cipta sinematografi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, dan makalah. 27 25 Sulistyowati Irianto Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, 177-178. 26 Ibid 27 Sri Mamuji, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006, hal 12. Universitas Sumatera Utara c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan artikel pada majalah, surat kabar, atau internet. Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui 3 tiga cara, yaitu: a. Wawancara interview; dilakukan terhadap 3 orang penjual DVD VCD bajakan di tiga lokasi di Kota Medan dengan cara terarah dan terstruktur directive interview yang berdasar kepada sesuatu daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disusun terlebih dahulu. Jadi di sini lebih terarah kepada informan yang diwawancarai untuk memberi penjelasan menurut kemauannya sendiri berdasarkan pertanyaan yang diajukan peneliti. b. Mempelajari dokumen tertulis yang diharapan dapat berguna dalam penelitian ini, berupa perundang-undangan dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep rancangan undang-undang, sumbersumber hukum, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya baik nasional maupun internasional, pendapat para ahli hukum dan eksiklopedi. Disamping itu dikumpulkan pula bahan-bahan dari data sekunder yang bersifat publik,terutama data statistik dari instansi- instansi pemerintah.

3. Metode Analisis Data Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan

penginterpretasian secara logis, sistematis, dan konsisten, dilakukan penelaahan Universitas Sumatera Utara data yang lebih terperinci dan mendalam. Dari data primer yang telah berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, melalui wawancara, maka dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu peneliti memaparkan dan menggambarkan interpretatif realita atas permasalahan yang ada di lapangan baik berupa uraian kata maupun bentuk tabel yang sifatnya menunjang dalam rangka hasil penelitian di lapangan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas aspek-aspek hukum hak cipta, yang memuat tentang hak cipta sebagai hak kekayaan intelektual, Sistem pendaftaran hak cipta, hak cipta dalam persetujuan TRIP’s dan Bern Convention, dan pelanggaran terhadap hak cipta BAB III: Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap karya sinematografi, yang mengulas tentang ruang lingkup karya sinematografi, perkembangan karya sinematografi dalam perfilman indonesia dan dunia, industri karya sinematografi di indonesia, pembajakan terhadap karya sinematografi, dan hubungan karya sinematografi dengan hak cipta Universitas Sumatera Utara BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pelaksanaan undang-undang hak cipta bidang sinematografi di Kota Medan, yang membahas dan menganalisa Karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, Produksi, penjualan, dan harga penjualan DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di beberapa toko penjualan Kota Medan, Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan, dan Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas. Universitas Sumatera Utara

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM HAK CIPTA

A. Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang bermaksud mengganggu hak itu. Siapa saja wajib menghormati pelaksanaan hak kebendaan itu. Sebaliknya, hak perseorangan hanya dapat dipertahankan untuk sementara terhadap orang-orang tertentu saja. Karena itu, hak kebendaan bersifat mutlak absolut dan hak perseorangan bersifat relatif nisbi. Wirjono Prodjodikoro menyatakan, bahwa hak kebendaan itu bersifat mutlak. Dalam hak gangguan oleh orang ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga yang mengganggunya dan orang pengganggu ini dapat ditegur oleh pemilik hak benda berdasar atas hak benda itu. Ini berarti, bahwa di dalam hak kebendaan tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada campur tangan dari orang lain. Sedang hak perseorangan, tetap ada hubungan antara orang-orang, meskipun ada terlihat suatu benda di dalam perhubungan hukum. 28 Di dalam praktik pembedaan antara hak kebendaan dan hak perseorangan itu sangat sumier, tidak mutlak lagi. Sifat-sifatnya yang bertentangan itu tidak tajam lagi. Pada tiap-tiap hak itu terdapat hak kebendaan dan hak perseorangan tersebut, dengan titik berat yang berlainan, mungkin pada hak kebendaan atau 28 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta: PT.Intermasa, 1981, hal. 13-14. Universitas Sumatera Utara