Penerapan Undang-Undang Hak Cipta Dalam Bidang Karya Sinematografi (Studi Di Kota Medan)

(1)

PENERAPAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA DALAM

BIDANG KARYA SINEMATOGRAFI

(STUDI DI KOTA MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200362

EGA PRANATA SEMBIRING

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan karya cipta dinilai belum membuahkan hasil yang maksimal. Berbagai macam pelanggaran terus berlangsung seperti pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, bagaimanakah budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan, dan bagaimanakah peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistis. Penelitian deskriptif analistis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

Penegakan hukum yang selama ini berlaku belum memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, sebab walaupun peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah mengatur secara tegas larangan dan sanksi terhadap pembajakan karya sinematografi, namun pelaksanaan undang-undang ini tampaknya belum terselanggara sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat diketahui dari masih maraknya peredaran DVD dan VCD bajakan di hampir setiap sudut Kota Medan. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan masih terlihat sangat rendah. Dikatakan demikian karena meskipun hampir seluruh penjual DVD dan VCD bajakan mengetahui bahwa telah ada undang-undang yang melarang keberadaan DVD dan VCD bajakan, namun mereka masih terus saja melakukan aktivitas memperjualbelikan DVD dan VCD bajakan tersebut. Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan belum terliat, sebab belum ada tindakan proaktif dari pihak Kepolisan (dalam hal ini Polresta Medan) untuk menegakkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara umum dan ketentuan hak penjualan yang diatur Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara khusus.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas kehadirat-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan, ketabahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi penulis adalah “Penerapan Undang-Undang Hak Cipta Dalam Bidang Karya Sinematografi (Studi Di Kota Medan)”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulis menjalani perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan penyelesaiannya.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis dengan penuh sukacita menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan. 2. Bp. Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fak. Hukum USU

yang juga telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M. Hum, selaku Ketua Pembantu Dekan I Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah


(4)

begitu terbuka memberikan bantuan, masukan, arahan dan dorongan kepada penulis sehingga penulis begitu selalu terdorong untuk menjadi lebih baik lagi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 4. Bp. Dr. Dedi Hariyanto, SH. M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berkenan membantu dan memperhatikan mahasiswanya.

5. Bp. Prof. Dr. Tan Kamelo, SH. M. Hum, selaku Pembimbing satu penulis, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta dorongan kepada penulis agar senantiasa mempergunakan waktu untuk menulis dengan sebaik-baiknya. Kepadanya penulis mengucapkan banyak terima kasih. 6. Bp. OK. Saidin, SH, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

begitu sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menulis dengan lebih baik lagi, terima kasih.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 8. Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Kedua orang tua dan saudara-saudara yang telah banyak memberikan

dukungan secara moril dan materil.

10. Seluruh kawan-kawan, khususnya Stb 05 PRM

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan membuka seluruh cakrawala berfikir yang baru bagi kita semua.

Medan, September 2011


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM HAK CIPTA ... 21

A. Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual ... 21

B. Sistem Pendaftaran Hak Cipta ... 23

C. Hak Cipta dalam Persetujuan TRIP’s dan Bern Convention ... 26

D. Pelanggaran Terhadap Hak Cipta ... 34

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP KARYA SINEMATOGRAFI ... 41

A. Ruang Lingkup Karya Sinematografi ... 41

B. Perkembangan Karya Sinematografi dalam Perfilman Indonesia dan Dunia ... 43


(6)

D. Pembajakan terhadap Karya Sinematografi ... 50

E. Hubungan Karya Sinematografi dengan Hak Cipta ... 53

BAB IV PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA BIDANG SINEMATOGRAFI DI KOTA MEDAN ... 56

A. Karya Sinematografi dalam Bentuk DVD dan VCD ... 56

B. Produksi, Penjualan, dan Harga Penjualan DVD dan VCD Hasil Karya Sinematografi Bajakan di Beberapa Toko Penjualan Kota Medan ... 58

C. Budaya Hukum Masyarakat Penjual dan Pembeli DVD dan VCD hasil Karya Sinematografi Bajakan di Kota Medan ... 60

D. Peranan Aparat Penegak Hukum atas Peredaran DVD dan VCD hasil Karya Sinematografi Bajakan di Kota Medan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71


(7)

ABSTRAK

Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan karya cipta dinilai belum membuahkan hasil yang maksimal. Berbagai macam pelanggaran terus berlangsung seperti pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, bagaimanakah budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan, dan bagaimanakah peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistis. Penelitian deskriptif analistis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

Penegakan hukum yang selama ini berlaku belum memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, sebab walaupun peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah mengatur secara tegas larangan dan sanksi terhadap pembajakan karya sinematografi, namun pelaksanaan undang-undang ini tampaknya belum terselanggara sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat diketahui dari masih maraknya peredaran DVD dan VCD bajakan di hampir setiap sudut Kota Medan. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan masih terlihat sangat rendah. Dikatakan demikian karena meskipun hampir seluruh penjual DVD dan VCD bajakan mengetahui bahwa telah ada undang-undang yang melarang keberadaan DVD dan VCD bajakan, namun mereka masih terus saja melakukan aktivitas memperjualbelikan DVD dan VCD bajakan tersebut. Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan belum terliat, sebab belum ada tindakan proaktif dari pihak Kepolisan (dalam hal ini Polresta Medan) untuk menegakkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara umum dan ketentuan hak penjualan yang diatur Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara khusus.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) bukanlah hal yang baru dikenal dalam sistim perundang-undangan di Indonesia. Secara historis pengaturan tentang HKI di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda yaitu sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1885, Undang-Undang Merek mulai diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan disusul dengan diberlakukannya Undang-Undang Paten pada tahun 1910. Dua tahun kemudian, diberlakukanlah Undang-Undang Hak Cipta yaitu Auteurswet 1912,

staadblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September 1912.1

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan perundang-undangan tentang Hak Cipta yang pertama sekali berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 17 Mei 1997. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang berlaku pada tanggal 29 Juli 2003 yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999.2

Pengertian Hak Cipta diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yaitu sebagai hak eksklusif

1

Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 6-7.

2

Suyud Margono dan Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum


(9)

bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian Hak Cipta tersebut diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya hak eksklusif diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, hak eksklusif itu timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan. Sedangkan yang dimaksud hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan meliputi kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.3

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka Hak Cipta dapat didefenisikan sebagai hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta lainnya yang dalam

3

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.


(10)

implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Berpijak pada uraian tersebut, harus diakui bahwa sebenarnya konsep yang menyangkut perlindungan hak cipta bukanlah ide asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, karena konsep tentang hak cipta yang bersifat eksklusif dan tidak berwujud (immateril) sangat berbeda dengan konsep bangsa Indonesia yang pada umumnya di bawah payung pandangan komunal memahami benda sebagai barang yang berwujud (materil). Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya memahami benda sebagai barang yang riil, dapat dilihat, disentuh dan sebagai objek yang nyata.

5

Masyarakat lokal Indonesia adalah masyarakat komunal yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu, meskipun itu tidak berarti pula bahwa individu kehilangan hak-haknya.6

Selain adanya perbedaan konsep pemahaman tersebut, pelanggaran hak cipta di Indonesia juga sering tidak terlepas dari faktor ekonomi yang berkisar pada keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para Pemegang Hak Cipta. Pelanggaran tersebut bila Konsep pemahaman masyarakat lokal yang bersifat komunal tersebut memiliki perbedaan dengan konsep HKI yang individualistik dalam hal ini memandang hak cipta sebagai hak eksklusif yang diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya.

4

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004 ), hal. 3.

5

Sebagaimana pernyataan Ismail Saleh dalam H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak

Kekayaan Intelektual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 47. 6

Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 170.


(11)

terus dibiarkan berlarut-larut akan memberikan dampak yang besar terhadap tatanan kehidupan bangsa baik di bidang ekonomi maupun hukum.7

Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan karya cipta dinilai belum membuahkan hasil yang maksimal. Berbagai macam pelanggaran terus berlangsung seperti pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.8

Dalam berbagai laporan atau pemberitahuan pers beberapa tahun terakhir sering terdengar kabar semakin besar dan meluasnya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia termasuk hak cipta, bahkan Indonesia disebut sebagai sarang pembajakan hak cipta.9

Keadaan tersebut menunjukkan terjadinya pelanggaran hak cipta yang pada pokoknya terdiri dari 2 (dua) macam hak yang sifatnya mutual eksklusive yaitu antara hak ekonomi (economic right) di satu pihak dan hak moral (moral

right) di lain pihak.10

7

Sebagaimana juga disebut dalam H.OK. Saidin., Op. cit., 158.

Di dalam hak ekonomi tersebut ada hak menyewakan (rental right) dari Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Hak menyewakan adalah hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer maupun produser rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau

8

Suyud Margono dan Amir Angkasa, Op. cit., 22 9

Salah satunya adalah Sri Katonah dalam : ”Problem Pembajakan Dalam Era Global,”

http://www.haki.lipi.go.id., diunduh tanggal 3 Mei 2011. 10

Klasifikasi yang demikian untuk lengkapnya dapat dibaca di Suyud Margono dan Amir Angkasa . Op. cit. 21-22.


(12)

pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk tujuan komersial.11

Terkait dengan penelitian ini, maka untuk karya sinematografi jika penjualan menimbulkan penyalinan secara meluas yang merugikan hak khusus penggandaan yang diberikan oleh Pencipta kepada Pemegang Hak Ciptanya maka negara yang terikat kepada perjanjian TRIPs termasuk Indonesia harus mengatur tentang rental right.12

Untuk pertama kalinya di dalam undang-undang hak cipta Indonesia, ketentuan tentang hak penjualan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 yang kemudian disempurnakan oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mengatur bahwa:

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 11 TRIPs yang mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk mengatur masalah hak penjualan tersebut di dalam undang-undang Hak Cipta di tingkat nasional masing-masing.

”Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.”

Namun walau ketentuan hak penjualan telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, hingga kini penegakan hukum terhadap hak penjualan ini dinilai belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Penilaian tersebut

11

Ibid, hal. 12 12


(13)

didasarkan kepada hasil survey awal yang dilakukan peneliti,13

Kondisi pemahaman kepemilikan yang demikian selaras dengan pernyataan Dias yang menyatakan bahwa pemilikan mempunyai arti tersendiri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat tempat ia diterima sebagai konsep hukum. Apabila mulai membicarakan dalam arti yang demikian itu, berarti mulai membicarakan pemilikan dalam konteks sosial, tidak lagi sebagai kategori yuridis.

yang menemukan fakta bahwa pelaku usaha penjualan karya sinematografi dalam bentuk Video

Compact Disc (untuk penulisan selanjutnya disebut DVD dan VCD) belum

mematuhi ketentuan Hak penjualan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Umumnya mereka beranggapan dengan membeli DVD dan VCD secara sah telah terjadi peralihan hak milik secara langsung dan penuh dari penjual kepada pembeli, sehingga mereka beranggapan bahwa DVD dan VCD tersebut bisa diapakan saja termasuk dijual kepada pihak lain dengan tanpa perlu meminta izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya.

14

Uraian di atas mengindikasikan adanya keterkaitan antara upaya penegakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan faktor budaya masyarakat Indonesia yang belum mengenal adanya perlindungan Hak Cipta sebagai bagian HKI. Budaya masyarakat Indonesia cenderung

13

Dalam survey pendahuluan yang dilakukan peneliti di 5 (lima) usaha penjualan DVD DAN VCD di Kota Medan pada tanggal 3-4 Mei 2011, ditemukan bahwa tidak pelaku usaha penyewaan DVD DAN VCD yang mengajukan izin kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan tidak pernah ada razia oleh aparat terkait berkaitan usaha penyewaan DVD DAN VCD tersebut.

14


(14)

menganggap bahwa HKI merupakan public domain dan bukan merupakan suatu hak individu yang membutuhkan perlindungan hukum secara optimal. Dengan demikian perbedaan konsep kepemilikan tadi dapat menjadi kendala dalam kerangka penegakan undang-undang hak cipta di Indonesia. Realitas permasalahan penegakan hukum hak penjualan karya sinematografi, ditandai dengan temuan sementara dari peneliti di lapangan bahwa pelaku usaha penjualan, dalam hal ini pelaku usaha penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD tidak atau belum mengajukan izin kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagai wujud pelaksanaan hak penjualan karya sinematografi, tidak atau belum adanya tuntutan dari Pencipta ataupun Pemegang Hak Cipta terhadap penyebarluasan DVD dan VCD melalui usaha penjualan tanpa izin.

Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat. Padahal, pembajakan hak cipta atau penggandaan secara ilegal produk-produk hak cipta jelas-jelas melanggar hak ekonomi Pencipta yang disebut dengan hak memperbanyak ciptaan atau reproduction right.15

B. Permasalahan

15

Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu,


(15)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD?

2. Bagaimanakah budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan?

3. Bagaimanakah peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui penegakan hukum yang selama ini berlaku apakah telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD

b. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan

c. Untuk mengetahui peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan


(16)

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna-manfaat dalam mengembangkan konsep perlindungan dan mekanisme penegakan hukum di bidang hak cipta khususnya hak cipta karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD di Indonesia.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam menanggulangi pelanggaran atas HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Penerapan Undang-Undang Hak Cipta dalam Bidang Karya

Sinematografi (Studi di Kota Medan)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa

lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.


(17)

1. Pengertian hak cipta

Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh St. Moh. Syah pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung pada bulan Oktober 1951 (yang kemudian diterima oleh kongres tersebut) sebagai penggantian dari istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. “Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yakni

Auters Recht”.16

Istilah hak cipta ini merupakan pengganti Auters Recht atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, dibandingkan jika menggunakan istilah hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-undang Hak Cipta (1982) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.17

Perkataan hak cipta itu sendiri terdiri dari dua kata hak dan cipta, kata “hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Dan kata “cipta” tertuju kepada hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karenanya, hak cipta berkaitan dengan intelektualitas manusia itu sendiri berupa hasil kerja otak.18

Hak cipta (copyright) adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Umum

Hak-16

Ajip Rosidi, UNDANG-UNDANG Hak Cipta, Pandangan Seorang Awam (Jakarta: Djambatan, 1994), hal. 3

17

Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi

Hukumnya di Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), hal. 85-86 18


(18)

hak Asasi Manusia) dan UN International Covenants (Perjanjian Internasional PBB) dan juga hak hukum yang sangat penting yang melindungi karya budaya. Karya budaya adalah apa saja yang dihasilkan seseorang yang memperkaya alam pikiran dan perasaan manusia. Karya budaya tidak mencakup hal-hal yang secara langsung menyumbang pada gaya hidup sehingga kehidupan atau pekerjaan lebih nyaman, seperti, misalnya, mesin atau teknologi. Mesin dan teknologi tidak termasuk karya budaya karena sebagian besar berkaitan dengan pengembangan peradaban di bidang teknologi dan karena itu hak-hak hukum yang melindunginya terpisah dari hak cipta.19

2. Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta

Apabila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu dari Prancis. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang (droit d’auteur, author rights) terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta.

Untuk hak ekonomi diartikan sebagai hak yang dipunyai oleh si pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Menurut Djumhana hak ekonomi umumnya di setiap negara meliputi jenis hak:20

19

Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook Indonesian Version (Asia/ Pacific Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, 2004), hal. 2

20

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan


(19)

a. Hak Reproduksi atau Penggandaan

Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, ini merupakan penjabaran dari hak ekonomi si pencipta. Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini dapat dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film.

b. Hak adaptasi

Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur baik dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convention).

c. hak distribusi

Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat.

Dari hak distribusi itu dapat dimungkinkan timbul hak berupa foreign

right, yaitu suatu hak yang dilindungi di luar negaranya. Misalnya satu

karya cipta berupa buku, karena merupakan buku yang menarik, maka sangat digemari di negara lain, dengan demikian buku itu didistribusikan


(20)

ke negara tersebut, sehingga mendapatkan perlindungan sebagai foreign

right.

d. Hak Penampilan atau Performance Right

Hak untuk penyajian kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau presentasi suara, juga menyangkut penyiaran film, dan rekaman suara pada media televisi, radio dan tempat lain yang menyajikan tampilan tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukkan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak performing tersebut. Keadaan ini terasa menyulitkan bagi orang yang akan meminta izin pertunjukan tersebut maka diadakan suatu lembaga yang mengurus hak pertunjukan itu yang dikenal sebagai Performing Right Society.

e. Hak penyiaran atau broadcasting right

Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang dan mentransmisikan ulang. Ketentuan hak ini telah diatur dalam Konvensi Berne, maupun Konvensi Universal, juga konvensi tersendiri misalnya Konvensi Roma 1961; dan Konvensi Brussel 1974 yang dikenal dengan

Relating on the Distribution Programme carrying Signals transmitted by Satellite. Hanya saja di beberapa negara, hak penyiaran ini masih

merupakan cakupan dari hak pertunjukan. f. Hak program kabel

Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu,


(21)

dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan. Jadi siaran sudah pasti bersifat komersial.

g. Droit de suite

Droit de Suite adalah hak pencipta. Hak ini mulai diatur dalam Pasal 14

bis Konvensi Berne revisi Brussel 1948, yang kemudian ditambah lagi dengan Pasal 14 ter hasil revisi Stockholm 1967. Ketentuan droit de suite ini menurut petunjuk dari WIPO yang tercantum dalam buku Guide to the

Berne Convention, merupakan hak tambahan. Hak ini bersifat kebendaan.

h. Hak Pinjam Masyarakat atau Public Lending Right

Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.

3. Pengertian sinematografi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf (k) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa bahwa sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dalam pita seluloid, piringan video, pita video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.

Kata sinematografi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “cinematography” yang asal katanya bersumber dari Bahasa Latin yaitu “kinema” yang artinya


(22)

gambar. Dalam pengertian umum Sinematografi adalah segala hal mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Dunia sinematografi dalam hal ini menyangkut pemahaman estetik melalui paduan seni akting, fotografi, teknologi optik, komunikasi visual, industri perfilman, ide, cita-cita dan imajinasi yang sangat kompleks. Pemahaman estetika dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayatan dalam menghadapi karya seni (termasuk film). Sinema (perfilman) merupakan sebuah proses kreatif, ada ekspresi/ide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi. Sedangkan objek dalam film terdapat aspek material yang harus dipahami seperti medium celluloid, serat optik dalam compact disk (audio),

video compact disc (audio dan visual), dll. Aspek formal berbentuk gambar,

gambaran ruang dan waktu secara virtual, dan film dibuat berdasarkan penyusunan skenario yang didasarkan atas ide kehidupan manusia secara virtual.21

Di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses

21

Pengertian ini sebagaimana dijelaskan dalam http://dunia-sinematografi.blogspot.com , diunduh tanggal 3 Mei 2011.


(23)

lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.22

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka sifat penelitian yang sesuai adalah deskriptif analistis. Penelitian deskriptif

analistis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang

menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law

as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui

proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)23. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.24

22

Sebagaimana rumusan di dalam Pasal 1 angka (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

23

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal 118.

24

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal 3.


(24)

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolegal (sosio-legal approach).25 Studi sosiolegal melakukan studi tekstual, Pasal-Pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum, dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam Pasal-Pasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara bagaimana.26

Melalui pendekatan sosiolegal ini juga bahwa hukum tidak dipandang hanya sebagai peraturan atau kaedah-kaedah saja, akan tetapi meliputi bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat serta bagaimana hukum berinteraksi dengan lingkungan hukum itu diberlakukan.

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk meneliti dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya, khususnya Hak Cipta atas karya cipta sinematografi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, dan makalah.27

25

Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 177-178.

26 Ibid 27


(25)

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan artikel pada majalah, surat kabar, atau internet.

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:

a. Wawancara (interview); dilakukan terhadap 3 orang penjual DVD/ VCD bajakan di tiga lokasi di Kota Medan dengan cara terarah dan terstruktur (directive interview) yang berdasar kepada sesuatu daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disusun terlebih dahulu. Jadi di sini lebih terarah kepada informan yang diwawancarai untuk memberi penjelasan menurut kemauannya sendiri berdasarkan pertanyaan yang diajukan peneliti.

b. Mempelajari dokumen tertulis yang diharapan dapat berguna dalam penelitian ini, berupa perundang-undangan dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep rancangan undang-undang, sumbersumber hukum, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya baik nasional maupun internasional, pendapat para ahli hukum dan eksiklopedi. Disamping itu dikumpulkan pula bahan-bahan dari data sekunder yang bersifat publik,terutama data statistik dari instansi-instansi pemerintah.

3. Metode Analisis Data

Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis, dan konsisten, dilakukan penelaahan


(26)

data yang lebih terperinci dan mendalam. Dari data primer yang telah berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, melalui wawancara, maka dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu peneliti memaparkan dan menggambarkan (interpretatif) realita atas permasalahan yang ada di lapangan baik berupa uraian kata maupun bentuk tabel yang sifatnya menunjang dalam rangka hasil penelitian di lapangan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas aspek-aspek hukum hak cipta, yang memuat tentang hak cipta sebagai hak kekayaan intelektual, Sistem pendaftaran hak cipta, hak cipta dalam persetujuan TRIP’s dan

Bern Convention, dan pelanggaran terhadap hak cipta

BAB III: Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap karya sinematografi, yang mengulas tentang ruang lingkup karya sinematografi, perkembangan karya sinematografi dalam perfilman indonesia dan dunia, industri karya sinematografi di indonesia, pembajakan terhadap karya sinematografi, dan hubungan karya sinematografi dengan hak cipta


(27)

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pelaksanaan undang-undang hak cipta bidang sinematografi di Kota Medan, yang membahas dan menganalisa Karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, Produksi, penjualan, dan harga penjualan DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di beberapa toko penjualan Kota Medan, Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan, dan Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan

BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(28)

BAB II

ASPEK-ASPEK HUKUM HAK CIPTA

A. Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual

Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang bermaksud mengganggu hak itu. Siapa saja wajib menghormati pelaksanaan hak kebendaan itu. Sebaliknya, hak perseorangan hanya dapat dipertahankan untuk sementara terhadap orang-orang tertentu saja. Karena itu, hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) dan hak perseorangan bersifat relatif (nisbi).

Wirjono Prodjodikoro menyatakan, bahwa hak kebendaan itu bersifat mutlak. Dalam hak gangguan oleh orang ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga yang mengganggunya dan orang pengganggu ini dapat ditegur oleh pemilik hak benda berdasar atas hak benda itu. Ini berarti, bahwa di dalam hak kebendaan tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada campur tangan dari orang lain. Sedang hak perseorangan, tetap ada hubungan antara orang-orang, meskipun ada terlihat suatu benda di dalam perhubungan hukum.28

Di dalam praktik pembedaan antara hak kebendaan dan hak perseorangan itu sangat sumier, tidak mutlak lagi. Sifat-sifatnya yang bertentangan itu tidak tajam lagi. Pada tiap-tiap hak itu terdapat hak kebendaan dan hak perseorangan tersebut, dengan titik berat yang berlainan, mungkin pada hak kebendaan atau

28

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT.Intermasa, 1981), hal. 13-14.


(29)

mungkin pada hak perseorangan.29

Pasal 56 dikaitkan dengan Pasal 73 Undang-Undang Hak CIpta Tahun 2002 menyatakan bahwa pemegang hak cipta berhak meminta kepada Pengadilan Niaga untuk melakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan Ciptaan yang dilanggarnya, yang untuk selanjutnya dimusnahkan oleh Negara, terkecuali Ciptaanya bersifat unik dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan. Bahkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar sebelum menjatuhkan putusan akhir, hakim dapat Apabila dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang Hak Cipta tahun Tahun 1997 maupun Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, yang menyatakan bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang berarti hak yang semata-mata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dengan kata lain Hak Cipta memberikan hak khusus kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada orang lain yang boleh menggunakan atau melakukan hak untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan milik orang lain, terkecuali dengan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.

29

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 27-28


(30)

memerintah pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/ atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Pemegang Hak Cipta juga berhak meminta seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukkan, atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta. Pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 secara tegas juga memberikan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga karena merasa dirugikan atau dilanggarnya Hak Ciptaannya. Hal ini berhubung karya karya cipta dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tadi merupakan hak milik pribadi dan manunggal dengan dirinya, yang tidak dapat dialihkan atau disita daripadanya dan tetap mengikuti diri Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dimana saja dia berada. Dengan demikian, dari ketantuan Pasal 56 dihubungkan dengan Pasal 75 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, tampak sekali kalau Hak Cipta itu bagian daripada hak Kebendaan, yang merupakan hak mutlak serta bersifat mengikuti Ciptaannya, walaupun tidak mendapat perlindungan hukum di Negara ini.

B. Sistem Pendaftaran Hak Cipta

Salah satu perbedaan yang dianggap cukup penting antara Auteurswet dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah tentang Pendaftaran Hak Cipta. Auteurswet 1912 tidak ada memberi ketentuan tentang pendaftaran Hak Cipta ini. Menurut KoIIewijn sebagaimana yang dikutip oleh Widya Pramono


(31)

menyebutkan, Ada 2 (dua) jenis pendaftaran atau stelsel pendaftaran, yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.30

Stelsel konstitutif berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan hukum. Stelsel deklaratif bahwa pendaftaran itu, bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau prasangka saja bahwa menurut undang-undang orang yang ciptaannya terdaftar itu adalah yang berhak atas ciptaannya.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian hak pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran Hak Cipta.

Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 dinyatakan bahwa pendaftaran Hak Cipta Program Computer

(Software) dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian dalam hal terjadi

sengketa mengenai Hak Cipta Program Komputer. Pendaftaran ini tidak mutlak diteruskan, karena tanpa pendaftaran Hak Cipta Program Komputer dilindungi. Hanya mengenai ciptaan atas suatu Program Komputer yang tidak didaftarkan akan sukar dan lebih memakan waktu dalam pembuktiannya.

Hal yang penting lagi dari pendaftaran ini adalah dengan pendaftaran dapat memberikan semacam kepastian hukum serta lebih memudahkan dalam prosedur pengalihan hak.31

30

Widyo Pramono, Tindak Pidana Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal. 72 31

Andi Hamzah, Undang-Undang Hak Cipta yang telah Diperbaharui, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 60.


(32)

Dalam Pasal 35 Undang-undang Hak Cipta hanya disebutkann, Dirjen menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam daftar umum ciptaan. Jadi disini terlihat, bahwa untuk mendapatkan pengakuan hak cipta perlu pendaftaran. Tata cara pendaftaran hak cipta diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-H.C.03.0.1.1987, tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan.

Dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut disebutkan:

Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui Direktur Paten dan Hak Cipta dengan surat rangkap 2 (dua), ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas folio berganda; 2 (dua) Surat Permohonan tersebut berisi:

a. Nama, Kewarganegaraan dan alamat pencipta;

b. Nama, Kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; c. Nama, Kewarganegaraan dan alamat kuasa;

d. Jenis dan judul ciptaan;

e. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali; f. Uraian ciptaan rangkap 3 (tiga).

Surat permohonan pendaftaran hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan. Selanjutnya dalam Pasal 11 disebutkan, pengumuman pendaftaran ciptaan dalam Tambahan Berita Negara RI.32 Dengan terdaftarnya hak cipta seseorang dalam daftar ciptaan, secara teoritis hak cipta maupun pemegang hak cipta sudah aman. Untuk itu, apabila ada pihak lain yang mengklaim bahwa yang terdaftar tersebut adalah miliknya, maka pihak mengklaimlah yang wajib membuktikan kebenaran haknya. Keuntungan lain yang diperoleh bagi pencipta yang mendaftarkan ciptaannya, dapat menggugat pelanggar hak cipta tersebut.

32

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.H.C.03.0.1.1987 tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan


(33)

C. Hak Cipta dalam Persetujuan TRIP’s dan Bern Convention

Berkembangnya perdagangan internasional dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan terhadap perlindungan HKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya diawali dengan dibentuknya Paris

Convention for The Protection of Industrial Property (disingkat Paris Convention

atau Konvensi Paris) yang merupakan suatu perjanjian internasional mengenai perlindungan terhadap hak kekayaan perindustrian yang diadakan pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris. Tidak lama kemudian pada tahun 1886, dibentuk pula sebuak konvensi untuk perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan

International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works

(disingkat Bern Convention atau Konvensi Bern) yang ditandatangani di Bern.33 Untuk mengelola kedua konvensi itu, melalui Konferensi Stockholm tahun 1967 telah diterima suatu konvensi khusus untuk pembentukan organisasi dunia untuk Hak Kekayaan Intelektual ( Convention Establishing the World Intelektual

Property Organization/WIPO) dan Indonesia menjadi anggotanya bersama

dengan ratifikasi Konvensi Paris.

Sementara itu, General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dibentuk pada tahun 1947. Pada awalnya GATT diciptakan sebagai bagian dari upaya penataan kembali struktur perekonomian dunia dan mempunyai misi untuk mengurangi hambatan berupa bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan

33


(34)

lainnya (non-tariff barrier). Setelah sistem ini berjalan selama 40 tahun, akhirnya dengan ditandatangainya naskah akhir Putaran Uruguay timbul kesepakatan untuk membentuk organisasi internasional yang mempunyai wewenang substantif dan cukup komprehensif yaitu World Trade Organization (WTO) yang akan menggantikan GATT sebagai organisasi internasional.34

Pada Putaran Uruguay, negara-negara maju berhasil membentuk koalisi yang bertujuan untuk memasukkan perlindungan HKI kedalam sistim GATT, dimana usulan itu menunjukkan bahwa negara-negara maju terutama Amerika Serikat ingin memasukkan issu HKI ke dalam kerangka GATT yang disebabkan terutama karena Amerika Serikat telah mengalami berbagai kerugian akibat terjadinya pelanggaran HKI dalam perdagangannya dengan negara lain.

WTO yang akan mengelola seluruh persetujuan dalam Putaran Uruguay bahkan persetujuan GATT serta hasil-hasil putaran setelah itu.

Kemudian atas desakan Amerika Serikat dan beberapa negara maju, topic perlindungan HKI di negara-negara berkembang muncul sebagai suatu isu baru dalam sistem perdagangan internasional. HKI sebagai issu baru muncul di bawah topik Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks, komprehensif, dan ekstensif.35 TRIPs merupakan kesepakatan internasional paling lengkap berkenaan dengan perlindungan HKI.36

34

H.S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI-Press, 1997), hal. 18.

35

Ibid. 253. 36


(35)

Indonesia kemudian meratifikasi perjanjian TRIPs ini melalui Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The

World Trade Organization (Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia) yang

diundangkan pada tanggal 2 Nopember tahun 1994.

Persetujuan TRIPs ditujukan untuk mendorong terciptanya iklim perdagangan dan investasi yang lebih kondusif dengan:37

1. menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistim hukum nasional negara-negara anggota WTO;

2. menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI; 3. menciptakan suatu mekanisme yang transparan;

4. menciptakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat diprediksi untuk menyelesaikan sengketa HKI di antara para anggota WTO;

5. memungkinkan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem HKI nasional mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang telah diterima luas;

6. menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan sistem HKI. Selain ciri-ciri pokok tersebut, persetujuan TRIPs pun mengandung unsur-unsur yang perlu diperhatikan dari segi peraturan perundang-undangan nasional tentang HKI, yaitu:38

1. Memuat norma-norma baru; 37

Eddy Damian dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pte.Ltd., bekerjasama dengan Penerbit Alumni Bandung, 2002, hal. 4.

38 Ibid


(36)

2. Memiliki standar yang lebih tinggi;

3. Memuat ketentuan penegakan hukum yang taat.

Berpijak dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kesepakatan TRIPs tidak lepas dari desakan dari negara-negara maju untuk melindungi kepentingan mereka di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ketika negara-negara berkembang tidak memberikan perlindungan terhadap HKI, maka investor dari negara-negara maju enggan untuk datang membawa teknologi mereka dan menanamkan modalnya ke negara-negara berkembang. Bahkan bagi Amerika Serikat perlindungan HKI menjadi salah satu syarat penting untuk meningkatkan investasi.39

Hak Kekayaan Intelektual sebagai sebuah “hak” tidak dapat dilepaskan dari persoalan ekonomi. Diakui bahwa HKI merupakan sebuah rezim yang sama sekali berbeda dengan karakteristik dari pengetahuan tradisional di negara-negara berkembang. Pada perkembangannya berkaitan dengan perdagangan dunia yang semakin mengglobal, HKI lebih bersifat rezim individualis untuk memonopoli teknologi guna melindungi investasi (modal). HKI tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pemilik modal. Tidak ada riset untuk tujuan mencapai new invention yang tidak memerlukan biaya besar. Pelaksanaan hasil riset (berupa invensi yang

patenable) pun memerlukan modal yang tidak sedikit. Dengan demikian antara

HKI, khususnya paten, dan modal layaknya seperti dua sisi mata uang yang sama,

39

Agus Sardjono mengutip William C. Revelos, “Paten Enforcemen Difficulties in


(37)

sehingga perlindungan HKI cenderung ditafsirkan sebagai perlindungan pemilik modal.40

Prinsip HKI yang demikian tentu memiliki perbedaan dengan prinsip kepemilikan masyarakat tradisional di banyak negara berkembang yang lebih bersifat komunal. Menurut Agus Sardjono, referensi yang digunakan oleh pembuat Undang Undang Hak Cipta di Indonesia bukan sistem nilai atau norma yang bersumber dari masyarakat Indonesia pada umumnya, sebab masyarakat Indonesia pada umumnya tidak terbiasa atau tidak memahami sistem yang bercorak induvidualistik-kapitalistik sebagaimana rezim HKI tersebut. Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai karakter atau corak komunalistik dan spritualistik, yang sangat berbeda dengan dasar filosofi system HKI. Itulah sebabnya menjadi sangat mudah untuk ditebak bahwa referensi yang digunakan untuk menyususn perundang-undangan HKI Indonesia adalah hasil Konvensi Internasional seperti Paris Convention, Berne Convention, dan lain-lainnya. Itulah sebabnya rezim HKI hingga hari ini dianggap sebagai rezim yang asing bagi sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Bahkan mungkin masih banyak sarjana hukum Indonesia yang tidak memahami sistem HKI itu sendiri.41

Berpijak dari uraian di atas, peneliti berpendapat bahwa ketidaksinkronan antara prinsip HKI yang bersifat individualistis dan lebih ditujukan sebagai perlindungan terhadap investasi dari negara-negara maju dengan pola kepemilikan dalam kebanyakan masyarakat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia

40

Ibid. hal. 147. 41

Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), hal. 16-17.


(38)

yang bersifat komunal, walau berarti tidak mengakui hak-hak individu menjadi salah satu hambatan dalam penegakan undang-undang HKI.

Konvensi Bern 1886, pada garis besarnya memuat tiga prinsip dasar, berupa sekumpulan ketentuan yang mengatur standar minimum sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara-negara berkembang. Tiga prinsip dasar yang dianut konvensi Bern, yaitu:42

1. Prinsip National Tratment

Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu citaan seseorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan disalah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh seorang pencipta warga negara sendiri.

2. Prinsip Automatic Protection

Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (must not be conditional upon compliance

Independence with any formality).

3. Prinsip Independence of Protection

Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindngan hukum negara asal pencipta. Mengenai pengaturan standar-standar minimum perlindungan hukum ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta

42

Edy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), hal. 61.


(39)

dan jangka waktu perlindungan yang diberikan, pengaturannya adalah sebagaiberikut:43

a. Ciptaan yang dilindungi, adalah semua ciptaan dibidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni, dalam bentuk apapun perwujudannya.

b. Kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi (reservation), pembatasan

(limitation) atau pengecualian (exeption), yang tergolong sebagai hak-hak

eksklusif:

1) Hak untuk menterjemahkan;

2) Hak mempertunjukkan di muka umum suatu ciptaan sastra, drama musik, dan ciptaan musik;

3) Hak mendeklamasikan (to recite) di muka umum semua ciptaan sastra. 4) Hak penyiaran (broadcast)

5) Hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun. 6) Hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan audio

visual.

7) Hak membuat arransemen dan adaptasi dari suatu ciptaan.

Selain dari pada hak-hak eksklusif, dalam konvensi Bern juga mengatur apa yang dinamakan dengan hak moral. Hak dimaksud iniadalah hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan yang dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta.44

43

Ibid, hal. 61-62 44


(40)

Standar berlaku mengenai jangka waktu berlakunya perlindungan hukum hak cipta, konvensi Bern menentukan sebagai ketentuan umum: selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Terhadap ciptaan yangtidak diketahui atau penciptaanya memakai nama samaran atau pencipta merahasiakan jati dirinya, jangka waktu perlindungan adalah 50 tahun, semenjak pengumumannya secara sah dilakukan, kecuali jikapencipta yang memakai nama samaran atau merahasiakan namanyadiketahui identitas pribadinya, jangka waktu perlindungan diberikansesuai dengan ketentuan yang berlaku umum, yaitu selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah meninggal dunia.

Selanjutnya konvensi Bern mengatur jangka waktuperlindungan hukum ciptaan-ciptaan audiovisual, jangka waktu minimum perlindungan hukum adalah 50 tahun sejak ciptaan direkam dan dapat diperoleh oleh konsumen. Atau jika tidak direkam dan tidak dapat diperoleh konsumen perlindungan hukumnya adalah minimum 50 tahun semenjak diciptakan. Untuk ciptaan-ciptaan yang tergolong seni terapan dan fotografi, jangka waktu minimum perlindungan diberikan adalah 25 tahun semenjak diciptakan.

D. Pelanggaran Terhadap Hak Cipta

Hak cipta sebagai salah satu kekayaan intelektual telah dikenal sejak lama. Namun, ironisnya, pelanggaran akan hak cipta ini lebih banyak terjadi


(41)

dibandingkan kekayaan intelektual lainnya. Oleh karena itu, hak cipta merupakan salah satu Hak Atas Kekayaan Intelektual yang sangat rentan dieksploitasi sehingga diperlukan pengaturan komprehensif di setiap negara sebagai langkah antisipatif.45

Pelanggaran berarti tindakan yang melanggar hak cipta, seperti penggunaan hak cipta, yang adalah hak pribadi milik pencipta, tanpa izin, dan pendaftaran hak cipta oleh orang lain yang bukan pemegang hak cipta. Jika seseorang mencuri barang milik orang lain yang diperolehnya dengan kerja keras atau mengambil dan menggunakannya tanpa izin, ini termasuk kejahatan besar. Setiap orang tahu bahwa mencuri barang milik orang lain itu salah. Tetapi dalam hal barang tidak dapat diraba seperti hak cipta, orang tampaknya tidak merasa bersalah bila mencurinya. Namun, hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta adalah hak milik yang berharga, hak yang diberikan kepada ciptaan yang dihasilkan secara kreatif dalam proses intelektual, seperti berpikir dan merasa.

Perlindungan hak cipta secara individual pada hakikatnya merupakan hal yang tidak dikenal di Indonesia. Suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap secara tradisional sebagai milik bersama. Tumbuhnya kesadaran bahwa ciptaan itu perlu perlindungan hukum setelah dihadapinya bahwa ciptaan itu mempunyai nilai ekonomi. Adapun dalam pandangan tradisional segi nilai moral hak cipta lebih menonjol daripada nilai ekonomisnya. Baru setelah menonjol nilai ekonomis dari hak cipta, terjadilah pelanggaran terhadap hak cipta, terutama dalam bentuk tindak

45

Ahmad M. Ramli, Fathurahman, Film Independen dalam Perspektif Hukum Hak Cipta


(42)

pidana pembajakan lagu atau musik, buku dan penerbitan, film dan rekaman video serta komputer.

Pada dasarnya, pelanggaran hak cipta terjadi apabila materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dan harus ada kesamaan antara dua karya yang ada. Si penuntut harus membuktikan bahwa karyanya ditiru atau dilanggar atau dijiplak, atau karya tersebut berasal dari karya ciptaannya. Hak cipta juga dilanggar bila seluruh atau bagian substansial dari ciptaan yang telah dilindungi hak cipta telah dikopi.

Tindak pidana hak cipta biasanya dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan perdagangan. Motifnya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara melanggar hukum. Modus operandinya yang terbanyak adalah menggandakan dalam jumlah besar untuk dijual kepada masyarakat. Adapun alat yang digunakan berteknologi cukup canggih, seperti alat-alat komputer, mesin-mesin industri, alat-alat kimia, alat transportasi, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya guna mensukseskan usaha mereka. Hasil produksi bajakannya pun sangat baik, sehingga sulit untuk membedakan antara karya cipta yang asli dengan hasil bajakan.

Lokasi untuk melakukan tindak pidana hak cipta pada umumnya dilakukan di lokasi pabrik pembuatan hasil produksinya dan di rumah-rumah perorangan yang dianggap aman dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Korban atau sasaran mereka adalah pencipta ataupun pengusaha/pedagang yang memegang hak cipta dari pencipta untuk memperbanyak ciptaan dari penciptanya.


(43)

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 (Konsolidasi), ada 2 (dua) klasifikasi pelaku kejahatan pelanggaran Hak Cipta, yaitu:

1. Pelaku utama, baik perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar Hak Cipta. Termasuk pelaku utama adalah pembajak Ciptaan atau rekaman.

2. Pelaku pembantu, yaitu pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum Ciptaan atau rekaman yang diketahuinya melanggar Hak Cipta. Termasuk pelaku pembantu adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual, pengedar, pihak yang menyewakan Ciptaan atau rekaman hasil pembajakan.

Menurut siaran IKAPI 15 Februari 1984, kejahatan pelanggaran Hak Cipta dibedakan menjadi dua macam, yaitu:46

1. Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah itu ciptaan sendiri, atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah itu ciptaan sendiri. Perbuatan ini dapat terjadi antara lain pada buku, lagu dan notasi lagu.

2. Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk, isi, Pencipta, penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut pembajakan (piracy). Perbuatan ini banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu, kaset lagu dan gambar (DVD dan VCD).

46

Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual (Lampung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 221


(44)

Undang-undang Hak Cipta telah menyediakan dua sarana hukum, yang dapat dipergunakan sekaligus untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yakni sarana hukum pidana dan hukum perdata. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dituntut secara pidana dan perdata sekaligus.

Dalam Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal 43B Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997 dinyatakan bahwa: Hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta. Berdasarkan Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal 43B Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997, pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, selain dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Demikian Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 juga telah menyediakan dua sarana hukum untuk yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan hukum perdata. Bahkan, dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, penyelesaian sengketa lainnya dapat dilakukan di luar Pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam Pasal 66 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 dinyatakan bahwa:

Hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 65 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran Hak Cipta.

Ini berarti berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, pelaku pelanggaran Hak Cipta, selain dapat dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Berhubung hak moral tetap melekat pada


(45)

penciptanya, pencipta atau ahli waris suatu ciptaan berhak untuk menuntut atau menggugat seseorang yang telah meniadakan nama penciptanya yang tercantum pada ciptaan itu, mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, mengganti atau mengubah judul ciptaan itu, atau mengubah isi ciptaan itu tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Hak ini dinyatakan dalam Pasal 41 Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997 dan Pasal 65 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:

1. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu: 2. mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaannya;

3. mengganti atau mengubah judul Ciptaan itu; atau 4. mengubah isi Ciptaan.

Menurut Pasal 15 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta suatu perbuatan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan:

1. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan wajar dari Pencipta; 2. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna

keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

3. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

a. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

b. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; 4. perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra

dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;


(46)

5. perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;

6. perubahan yang dilakukan beradasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;

7. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri. Mengacu pada Undang-undang Hak Cipta, maka ciptaan yang mendapat perlindungan hukum ada dalam lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Untuk ciptaan yang ada dalam ketentuan Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta ciptaan ini dilindungi dalam wilayah dalam negeri maupun luar negeri, sementara itu untuk ciptaan yang terdapat pada ketentuan Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta sifat perlindungannya hanya berlaku ketika ciptaan itu digunakan oleh orang asing.

Salah satu Ciptaan yang mendapat perlindungan Hak Cipta adalah buku.47

Pelanggaran terhadap hak cipta telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan saat ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta. Dalam pengertian yang lebih luas, Suatu karya tulis yang diterbitkan penerbit dengan wujud buku yang memuat tulisan tentang esai ilmu hukum adalah suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta karena buku semacam ini merupakan ciptaan baik yang termasuk ilmu pengetahuan (= ilmu hukum), maupun seni (= susunan perwajahan karya tulis), dan sastra (= esai). Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.

47


(47)

pelanggaran tersebut juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluas-luasnya.


(48)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP KARYA SINEMATOGRAFI

A. Ruang Lingkup Karya Sinematografi

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf (k) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa bahwa sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dalam pita seluloid, piringan video, pita video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.

Kata sinematografi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “cinematography” yang asal katanya bersumber dari Bahasa Latin yaitu “kinema” yang artinya gambar. Dalam pengertian umum Sinematografi adalah segala hal mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Dunia sinematografi dalam hal ini menyangkut pemahaman estetik melalui paduan seni akting, fotografi, teknologi optik, komunikasi visual, industri perfilman, ide, cita-cita dan imajinasi yang sangat kompleks. Pemahaman estetika dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayatan dalam menghadapi karya seni (termasuk film). Sinema (perfilman) merupakan sebuah proses kreatif, ada ekspresi/ide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi. Sedangkan objek dalam film terdapat aspek material yang


(49)

harus dipahami seperti medium celluloid, serat optik dalam compact disk (audio),

video compact disc (audio dan visual), dll. Aspek formal berbentuk gambar,

gambaran ruang dan waktu secara virtual, dan film dibuat berdasarkan penyusunan skenario yang didasarkan atas ide kehidupan manusia secara virtual.48

Di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.49

Kata sinematografi sering diidentikkan dengan kata “film”, terkait sejarahnya di mana pertama sekali media penyimpanan dari karya simeatografi tersebut adalah memakai pita film (pita seluloid) yaitu sejenis bahan plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Alat inilah yang dipakai sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan industri sinematografi tersebut. Media penyimpanan (perekaman) itu sendiri kemudian berkembang mengikuti perkembangan teknologi seperti antara lain memakai cakram optik dalam compact disk (audio),

video compact disc (audio dan visual).

50

48

Pengertian ini sebagaimana dijelaskan dalam http://dunia-sinematografi.blogspot.com , diunduh tanggal 12 Mei 2011

49

Sebagaimana rumusan di dalam Pasal 1 angka (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

50 Ibid


(50)

Terkait dengan penelitian ini maka yang menjadi objek pembahasan adalah karya sinematografi dengan medium penyimpanan cakram optik padat video yang dikenal dengan Video Compact Disc (DVD dan VCD) atau dalam penelitian ini disebut karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD. Rekaman video yang dikenal di Indonesia pada awalnya adalah video kaset yang beredar di tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Keberadaan video kaset ini kemudian menghilang seiring dengan munculnya teknologi Laser Disc di awal tahun1990-an. Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan Laser Disc ini juga tidak bertahan lama, ketika pada tahun 1995 mulai masuk format baru, yaitu DVD dan VCD yang sebenarnya secara kualitas jauh di bawah laser disc. Namun demikian dengan harga yang relatif lebih murah, keberadaan DVD dan VCD ini secara perlahan hingga kemudian pada tahun 1997 berhasil menggeser format Laser Disc dari peredaran rekaman video di Indonesia.

B. Perkembangan Karya Sinematografi dalam Perfilman Indonesia dan Dunia

Pada setiap masa dan zaman, para kreator (seniman) memiliki kesimpulan bahwa bentuk dan warna tidkalah cukup untuk membuat sebuah representasi lengkap mengenai kehidupan. Bahkan juru gambar di zaman batu sekalipun telah terdorong hatinya untuk menciptakan gambar yang dapat memberikan kesan bergerak.


(51)

Dahulu ketika teknologi sinematografi ditemukan di Amerika dan Perancis pada akhir abad 19, Indonesia masih merupakan koloni Belanda.51 Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum, berlangsung di Paris, Perancis pada tanggal 28 Desember 1895.52

Di Indonesia sendiri, film pertama kali baru diperkenalkan pada tanggal 5 Desember 1900 oleh Belanda sebagai penjajah Indonesia kala itu.

Peristiwa tersebut sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia.

53

Film pertama di Indonesia adalah sebuah film dokumentasi dari Eropa. Sedangkan film cerita baru pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 melalui film-film impor dari Amerika yang pada tahun-tahun berikutnya diikuti dengan masuknya film-film cerita impor dari Eropa, India bahkan Cina.54 Seluruh film yang diputar hingga tahun 1923 masih berupa film bisu. Adapun pelopor usaha film kala itu adalah orang-orang Eropa. Sedangkan bagi etnis Cina pada awalnya memiliki hubungan hanya sebatas penyewaan gedung-gedung milik mereka untuk pemutaran.55

Film lokal (Indonesia) baru pertama kali diproduksi pada tahun 1926, sebuah film bisu yang memang agak terlambat mengingat di belahan dunia lain film bersuara mulai diproduksi.

Di lain pihak, peranan pribumi hanya sebatas penonton semata.

56

51

Misbach Yusa Biran, Perkenalan Selintas mengenai Perkembangan Film di Indonesia (Tulisan khusus yang dibuat untuk penerbitan Asia University, Tokyo, 1990), hal. 1.

Film lokal pertama yang berjudul “Loetoeng Kasarung” itu dimainkan oleh kalangan pribumi. Setelah diproduksi film itu,

52

Viktor C. Mambor, “satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”, (diakses dari http://kunci.or.id/victorI.htm, pada tanggal 5 Mei 2011.

53 Ibid 54

Ibid 55

Misbach Yusa Biran, Op. cit, hal. 2 56

Industri film local baru dapat memproduksi sendiri film bersuara pada tahun 1931. Victor C. Mambor, Loc. cit


(52)

kemudian bermunculan beberapa perusahaan film yang menghasilkan film-film lokal.

Produksi film Indonesia mengalami masa panen pertama kali pada tahun 1941 yang menghasilkan 41 judul film, serta melahirkan pemain-pemain popular seperti Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young.57 Tetapi dimulainya penjajahan Jepang tahun berikutnya mengakibatkan produksi film local menurun drastiis. Hal tesebut terjadi karena film-film yang boleh diputar hanyalah film documenter yang menampilkan kegagahan Jepang dan Sekutunya, sedangkan film Amerika dilarang beredar.58 Namun demikian dalam kurun waktu berakhirnya penjajahan Jepang hingga tahun 1970, perfilman Indonesia kembali dibangun walaupun amat lamban. Usaha pembangunan perfilman tersebut misalnya dengan kembali mengimpor film-film asing, pendirian perusahaan Film Nasional Indonesia (Parfini) dan Perseroan Artis Republik Indonesia, lahirnya Festival Film Indonesia dan sebagainya, tetapi usaha-usaha itu belum cukup menggairahkan produksi film lokal.59

Baru pada tahun 1970, industri film menunjukkan gairahnya kembali. Dalam kurun waktu 1970-1980 terjadi tingkat produksi tertinggi60 yakni pada tahun 1977, alasannya tak lain karena peraturan pemerintah yang mengharuskan para importer film untuk memproduksi film lokal.61

57

Misbach Yusa Biran, Sejarah Film Indonesia, (Jakarta: Badan Pelaksana F.F.I, 1982), hal. 11.

Selanjutnya di era tahun 80’-an produksi film nasional semakin meningkat seiring deng80’-an meningkatnya

58

Victor C. Mambor, Loc. cit 59

Ibid 60

Ibid 61


(53)

jumlah penonton dan bioskop baik di kota-kota besar, daerah-daerah pinggiran kota. Bioskop-bioskop tersebut telah mengakibatkan tersegmentasinya kelas tontonan dan penontonnya.62 Namun demikian, keadaan itu selama beberapa tahun justru menjadikan perhatian bioskop-bioskop besar kepada film-film Hollywood yang lebih menjanjikan profit, sedangkan film local dengan tema semakin monoton, mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan pinggiran, itu pun masih harus bersaing dengan film-film India yang sejak awal menjadi konsumsi pasar kelas menengah ke bawah, apalagi di akhir era 80-an minat kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasion televisi swasta yang menyajikan film-film impor, sinema elektronik dan telenovela.63

Pada dekade 90’-an kondisi film Indonesia belum juga bangkit dari keterpurukannya.64 Dalam masa ini harus diakui terdapat bebeapa film yang dianggap berkualitas dan sukes bersaing dengan film-film impor seperti “cinta dalam sepotong roti”, “daun di atas bantal” yang diciptakan oleh Garin Nugroho, namun demikian kesuksesan tersebut tidak diikuti dengan lahirnya kreativitas film berkualitas dari sineas lainnya sehingga film Indonesia dilanda sepi. Masalah tersebut ditambah lagi dengan krisis bagi film-film nasional yang harus menghadapi persaingan dengan maraknya tayangan dari televise swasta.65

62 Ibid

Bahkan semakin memburuk, masyarakat yang mulai mengenai teknologi digital lebih senang menikmati film-film impor melalui teknologi laser disc, VCD, namun

63 Ibid 64

Misbach Yusa Biran, Perkenalan……., Op. cit, hal. 60. 65


(54)

terdapat sisi baik dari hadirnya teknologi digital bagi dunia pefilman Indonesia, yakni terbangunnya komunitas film-film independen.66

Mulai akhir dekade 90’an hingga saat ini, sebenarnya dapat dilihat antusiasme pencipta film untuk melahirkan karya-karyanya. Tidak sedikit karya film dalam beberapa tahun terakhir bahkan mendapat minat besar dari masyarakat penonton bioskop. Namun demikian, hal tersebut oleh banyak kalangan masih disangsikan sebagai kebangkitan perfilman nasional, mengingat dalam catatan sejarah film Indonesia dari waktu ke waktu terus timbul dan tenggelam.

C. Industri Karya Sinematografi di Indonesia

Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film independen bisa dimulai dari awalnya, yakni tahun tujuh puluhan ketika berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan film pertama di Indonesia. Pada saat itu, mulai popular media film 8 mm yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ-TIM membuat Lomba Film Mini yang mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para seniman di luar film, dan mahasiswa termasuk mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Gerakan ini mencoba memunculkan karya-karya film dengan media 8 mm dengan semangat yang besar untuk menantang tata cara

66 Ibid


(1)

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa kasus pelanggaran Hak Cipta bukanlah kasus yang menjadi prioritas bagi pihak kepolisian di wilayah hukum Polresta Medan, sehingga tindakan proaktif dari pihak kepolisian untuk menegakkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta masih belum tampak nyata.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum yang selama ini berlaku belum memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, sebab walaupun peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah mengatur secara tegas larangan dan sanksi terhadap pembajakan karya sinematografi, namun pelaksanaan undang-undang ini tampaknya belum terselanggara sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat diketahui dari masih maraknya peredaran DVD dan VCD bajakan di hampir setiap sudut Kota Medan.

2. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan masih terlihat sangat rendah. Dikatakan demikian karena meskipun hampir seluruh penjual DVD dan VCD bajakan mengetahui bahwa telah ada undang-undang yang melarang keberadaan DVD dan VCD bajakan, namun mereka masih terus saja melakukan aktivitas memperjualbelikan DVD dan VCD bajakan tersebut.


(3)

3. Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan belum terliat, sebab belum ada tindakan proaktif dari pihak Kepolisan (dalam hal ini Polresta Medan) untuk menegakkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara umum dan ketentuan hak penjualan yang diatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara khusus.

B. Saran

1. Perlu adanya penegakan hukum yang serius terhadap terjadinya pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta yang sudah menjadi budaya masyarakat penjual DVD dan VCD bajakan, khususnya di Kota Medan, khususnya peran aktif aparat penegak hukum dalam penyelenggaraan penegakan hukum tersebut.

2. Perlu adanya sosialisasi dan teguran terhadap masyarakat penjual DVD dan VCD bajakan tentang larangan dan sanksi undang-undang terhadap aktivitas jual beli DVD dan VCD bajakan. Selanjutnya apabila tidak ada perubahan budaya masyarakat atas jual beli DVD dan VCD bajakan tersebut, maka tindakan tegas tentunya harus menjadi pilihan alternatif. 3. Hendaknya aparat penegak hukum harus aktif menjalankan ketentuan

undang-undang dengan mengambil peran aktif dalam penanggulangan peredaran DVD dan VCD bajakan ini, sebab proses pembiaran yang dilakukan aparat penegak hukum (dalam hal ini kepolisian) akan semakin membuat marak penjual dan aktivitas jual beli DVD/ VCD bajakan ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad M. Ramli, Fathurahman, Film Independen dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan Hukum Perfilmn Indonesia, Bandung: Ghalia Indonesia, 2004. Ali, Achmad, Menguak Takbir Hukum: Suatu Kajian Sosiologis dan Filisofis

Jakarta: Gunung Agung, 2002.

Bintang, Sanusi, Hukum Hak Cipta (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Biran, Misbach Yusa, Sejarah Film Indonesia, Jakarta: Badan Pelaksana F.F.I,

1982.

Biran, Misbach Yusa, Perkenalan Selintas mengenai Perkembangan Film di Indonesia (Tulisan khusus yang dibuat untuk penerbitan Asia University, Tokyo, 1990).

Damian, Eddy dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pte.Ltd., bekerjasama dengan Penerbit Alumni Bandung, 2002. Damian, Edy, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional,

Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999.

Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, R, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Hamzah, Andi, Undang-Undang Hak Cipta yang telah Diperbaharui, Jakarta:

Sinar Grafika, 1992.

Hasibuan, Otto, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung: Alumni, 2008. Hozumi, Tamotsu, Asian Copyright Handbook Indonesian Version (Asia/ Pacific

Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, 2004.

Kartadjoemena, H.S, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI-Press, 1997.

Irianto, Sulistyowati & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.


(5)

Margono, Suyud dan Angkasa, Amir, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Edisi 1 Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002. Muhammad, Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual

Lampung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Prakosa, Gatot, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Jakarta: Yayasan Layar Putih, 2001.

Pramono, Widyo, Tindak Pidana Hak Cipta, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta: PT.Intermasa, 1981.

Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin, M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Rosidi, Ajip, Undang-Undang Hak Cipta, Pandangan Seorang Awam Jakarta: Djambatan, 1994.

Saidin, OK, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Sardjono, Agus, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Sardjono, Agus, Membumikan HKI di Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2009. Satjipto Rahardjo, Edisi ke-5 Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1981.

Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.

Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Grace N Situmorang, Perjanjian Penayangan Film Produksi Asing pada Stasiun Televisi Swasta di Indonesia (skripsi), Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998.


(6)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.H.C.03.0.1.1987 tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan

Ansori Sinungan, “Pembajakan Produk di Indonesia Makin Parah”, http.///www. antaranews.com, diunduh pada tanggal 12 Mei 2011.

Internet

http://dunia-sinematografi.blogspot.com , diunduh tanggal 3 Mei 2011.

http://dunia-sinematografi.blogspot.com/2009/06/perkembangan-film-indie-di-indonesia.html. Diakses tanggal 12 Mei 2011.

Sri Katonah”Problem Pembajakan Dalam Era Global,” http://www.haki.lipi.go.id., diunduh tanggal 12 Mei 2011.

Viktor C. Mambor, “satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”, (diakses dari http://kunci.or.id/victorI.htm, pada tanggal 5 Mei 2011.