continium untuk mendefinisikan batasan sehat, kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien
disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal.
Respon terhadap perasaan dukacita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas
klien. Berbagai macam tingkatan reaksi dukacita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien
Reed, 2003. Hal yang serupa sesuai dengan gagasan Neuman dalam Reed, 2003 mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada
kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja dukacita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk
mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan
mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal sehat. Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap
perasaan kehilangan pada masa prenatal Adler Boxley, 1985 Gilbert, 1989, maka respon terhadap pengalaman dukacita bagi masing-masing orang tidak akan sama,
termasuk rentang waktu pemulihannyapun berbeda.
2. Kompleksitas Kedukaan
Setiap manusia dihampiri oleh dukacita, namun tidak semua mampu menyelesaikannya. Duka dapat diekspresikan, direpresi, atau disupresi. Orang yang
ekspresif akan mampu menyelesaikan dukanya, namun yang menolak dan menekan perasaan menjadi korban kedukaan. Kompleksitas kedukaan ditentukan oleh sikap
terhadap kehilangan. Duka yang diekspresikan akan selesai, tetapi duka yang direpresi atau disupresi akan menjadi duka yang tidak terselesaikan. Menurut Wirysaputra 2003
kompleksitas kedukaan antara lain:
a. Duka yang diselesaikan Kondisi ini dukacita ini adalah pada saat penduka menyadari bahwa ia sedang
berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima realitas adalah pintu masuk ke dalam
proses penyembuhan. b. Duka yang belum diselesaikan
Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya, ia akan mengalami duka yang tidak terselesaikan.
Unfinished grief terdiri dari 3 kategori, yaitu: a.
Duka yang Berkepanjangan Duka yang berkepanjangan ini terjadi karena orang yang berduka
membawa dukanya terus menerus dari waktu ke waktu. Dia mengakui sedang berduka namun dalam waktu yang lama tetap tidak mampu menerima kenyataan kehilangan. Ia
tetap mengenang keistimewaan individu yang hilang. Hal ini merupakan dampak proses idealisasi. Duka yang berkepanjangan dapat muncul dalam bentuk duka warisan. Cerita
konflik yang diteruskan kepada generasi selanjutnya turut mewariskan kedukaan kepada orang yang lebih muda.
b. Duka yang Ditunda
Duka yang ditunda muncul sebagai hasil internalisasi orang yang berduka. Penduka bisa menunda kedukaan karena tujuan tersendiri. Ia memerintah diri
sendiri agar tidak merasakan duka. Menunda kedukaan bermanfaat jika berlangsung dalam waktu singkat sebab penundaan yang lama atau permanen mengakibatkan duka
patologis. Yang menjadi masalah adalah manusia cenderung terlena dalam penundaan dan menganggap hal tersebut sebagai tanda kemampuan untuk menghadapi kedukaan.
c. Duka yang Tidak Penuh
Sedikit berbeda dengan kedukaan yang ditunda. Kedukaan yang tidak penuh timbul karena pengaruh eksternal seperti contohnya penghiburan yang terburu-buru
menjadikan duka tidak penuh.
G. PENDEKATAN PSIKOLOGI INDIGENOUS