kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu dipersendian, nafsu makan menurun atau bertambah, dan nafsu seks juga menurun.
b. Aspek Mental Dalam aspek mental biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat
menerima kenyataan menyangkal, menolak, terkejut, sedih, bingung, gelisah, pikiran kacau tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, acuh tak acuh, selalu berpikir dan
merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa, rasa putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak
berarti lagi, merasa sendiri atau kesepian, dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri.
c. Aspek Spritual Dalam aspek ini gejala yang namapak adalah gejala seperti rasa berdosa,
mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat berkonsentrasi misalkan berdoa, membaca kitab suci, mendengarkan kotbah rohani, tidak berminat mengikuti
kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok keagamaannya, kadang muncul tawar-menawar dengan Tuhan.
d. Aspek Sosial Yang terakhir adalah aspek sosial, gejala kedukaannya adalah suka
menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan tentang sesuatu atau orang yang hilang secara berlebihan, suka mengunjungi makan atau tempat-tempat yang
berhiubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan orang lain, membenci atau marah pada orang lain juga, bersikap kasar atau berlebihan dalam
berbagai hal. Sering peristiwa kehilangan menimbulkan perselisihan antara anggota keluarga. Selanjutnya persoalan sosial seperti ketagihan, bergosip, merokok, melacur,
terlibat dalam penggunaan obat terlarang dan minuman keras mungkin saja berakar pada sebuah peristiwa kedukaan.
C. TAHAP DUKACITA
Grestberg dalam Wiryasaputra 2003 menyebutkan dalam bukunya ‘good grief’ membagi proses dukacita dalam sepuluh tahap, yaitu: kaget 1, mencurahkan perasaan
2, muncul tanda-tanda fisik menangis, mati rasa, dll 3, sedih 4, panik 5, perasaan
bersalah 6, marah 7, diam 8, berpengharapan 9, pasrah menerima kenyataan 10. Ada juga pandangan lain dari seorang psikolog klinis di Amerika Serikat mengenai
tahapan dukacita yang ia dapatkan dari kliennya adalah terkejut 1, tanpa tujuan 2, emosi berubah-ubah dengan cepat 3, perasaan bersalah 4, kesepian 5, merasa lega
6 dan pulih kembali 7. Di samping itu menurut pandangan seorang psikiater sosial, pandangannya didasarkan observasi dan wawancara dengan ribuan pasien yang
ditanganinya, ia mebuat kesimpulan dalam lima tahap dukacita, yaitu: penolakan 1, marah 2, tawar-menawar 3, depresi 4, dan penerimaan 5.
Dari seluruh pandangan-pandangan para psikolog dan psikiater yang memandang dari bidangnya, Wiryasaputra 2003 menyimpulkannya kedalam gejala utama proses
dukacita, yaitu seperti dibawah ini: air mata dan kepedihan hati 1, stress 2, penolakan 3, marah 4, depresi 5, muram, tertekan batinya 6, putus asa 7, rasa bersalah 8,
serta menerima kenyataan 9.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DUKACITA
Dukacita dipengaruhi oleh beberapa variabel Wiryasaputra, 2003, antara lain: a.
Intensitas Hubungan dengan ‘yang hilang’ Intensitas hubungan dengan orang yang hilang mewarnai kedalaman guncangan
emosi. Jika pribadi yang mati tidak memainkan peranan yang urgen, maka respon duka tidak mendalam. Sebaliknya, jika peran orang yang hilang sangat signifikan, maka respon
kedukaan menjadi lebih mendalam dan kompleks. b.
Struktur Kepribadian Penduka Struktur kepribadian orang yang kehilangan mewarnai respon kedukaan. Jika penduka
adalah tipe orang tergantung kepada orang yang hilang, atau mengidolakannya, maka duka yang muncul akan sangat dalam bahkan mampu melumpuhkannya. Individu yang
tergantung pada orang yang hilang sering mengalami ketidakberdayaan. Sebaliknya, jika orang yang berduka adalah sosok yang mandiri dan kuat, sekalipun yang hilang adalah
oknum yang sangat penting, kedukaan yang mucul tidak merusak kepribadiannya.
Simptom dan proses emosi dukacita juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, cara pandang, dan struktur nilai. Tidak semua orang yang berduka mengalami depresi. Orang
yang memandang kematian sebagai hal yang wajar, akan mampu mengelola guncangan akibat realitas kematian. Disisi lain, pribadi yang melihat kematian sebagai maut
cenderung terpuruk dan merasa dunia berakhir ketika ditinggalkan oleh yang dikasihinya. Individu yang memiliki sejarah kedukaan akut rentan terpuruk menghadapi kematian
orang yang dicintainya. c. Sosio-Budaya Penduka
Dukacita tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kepribadian tetapi juga berakar pada sistem sosial. Jika lingkungan sosial mengerti seluk-beluk kedukaan dan menyediakan
sarana pendukung kesembuhan pribadi secara internal, maka penduka dapat segera pulih dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Sebaliknya, jika iklim sosial masyarakat adat
dan masyarakat umum tidak bersahabat dan memandang dukacita sebagai hal negatif, maka kedukaan dapat mejadi patologis. Untuk memahami kedukaan seseorang sangat
penting untuk mengerti iklim sosialnya. d. Nilai Pribadi yang Hilang
Nilai orang yang hilang memberi kontribusi dalam proses kedukaan. Dukacita tidak langsung disebabkan oleh individu yang hilang, melainkan karena nilai yang diberikan
kepadanya. Sebagai contoh, orang yang memberi nilai tinggi kepada sosok ibu akan mengalami duka yang dalam jika ditinggal mati oleh ibunya. Semakin berharganya orang
yang hilang, semakin dalam duka ditimbulkannya. Nilai individu berkaitan dengan sistem budaya dan kekluargaan yang dianut. Volkart dalam Wirysaputra, 2003 menambahkan
bahwa sistem kekeluargaan dan persaudaraan mempengaruhi reaksi kedukaan. Ketika seorang amerika meninggal, yang berduka adalah orang tua, saudara kandung, pasangan
dan anak-anaknya, sebab merekalah keluarga inti pribadi yang hilang. Orang dari kepulauan Trobriand Trobriand Islanders, yang menekankan garis ibu bilinial sangat
berduka jika kehilangan saudara dari garis ibu. Ironisnya, mereka lebih berduka jika kehilangan sepupu dari pasangan sendiri.
e. Tingkat hubungan emosional Tingkat hubungan antara orang yang kehilangan dengan sesuatu atau seseorang
yang hilang merupakan faktor yang cukup memengaruhi dukacita sesorang. Makin tinggi nilai yang diberikan pada sesuatu atau seseorang maka dalam pula hubungan yang
diciptakan. Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan emosional, oleh sebabnya semakin dalam hubungan emosional sesorang dengan objek yang hilang
maka semakin kompleks dan berkepanjangan dukacita itu datang. Sebaliknya, semakin dangkal atau renggang hubungan emosional seseorang dengan sesuatu atau seseorang
yang hilang, maka semakin ringan dan sederhana kedukaannya.
f. Kebudayaan dan adat istiadat
Faktor terakhir yang cukup mempengaruhi dukacita ialah kebudayaan dan adat istiadat. Dalam hal ini termasuk pola pikir dan hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang
berduka dalam relasinya di lingkungannya. Sampai batas-batas tertentu, termasuk pola penduka menghadapi kedukaanya. Hal ini mempengaruhi cara mereka memproses
dukacitanya. Pada dasarnya, setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk menolong
masyarakatnya dalam masa duka, namun persoalanya bahwa perangkat dan kebijaksanaan budaya biasanya hanya terfokus pada kehilangan karena meninggal, dan
belum merambah pada masalah lain seperti kehilangan akan sesuatu harta, keperawanan, dan sebagainya.
E. PENGARUH DUKACITA PADA PSIKOLOGIS