PENGARUH DUKACITA PADA PSIKOLOGIS PENDEKATAN PSIKOLOGI INDIGENOUS

e. Tingkat hubungan emosional Tingkat hubungan antara orang yang kehilangan dengan sesuatu atau seseorang yang hilang merupakan faktor yang cukup memengaruhi dukacita sesorang. Makin tinggi nilai yang diberikan pada sesuatu atau seseorang maka dalam pula hubungan yang diciptakan. Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan emosional, oleh sebabnya semakin dalam hubungan emosional sesorang dengan objek yang hilang maka semakin kompleks dan berkepanjangan dukacita itu datang. Sebaliknya, semakin dangkal atau renggang hubungan emosional seseorang dengan sesuatu atau seseorang yang hilang, maka semakin ringan dan sederhana kedukaannya. f. Kebudayaan dan adat istiadat Faktor terakhir yang cukup mempengaruhi dukacita ialah kebudayaan dan adat istiadat. Dalam hal ini termasuk pola pikir dan hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang berduka dalam relasinya di lingkungannya. Sampai batas-batas tertentu, termasuk pola penduka menghadapi kedukaanya. Hal ini mempengaruhi cara mereka memproses dukacitanya. Pada dasarnya, setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk menolong masyarakatnya dalam masa duka, namun persoalanya bahwa perangkat dan kebijaksanaan budaya biasanya hanya terfokus pada kehilangan karena meninggal, dan belum merambah pada masalah lain seperti kehilangan akan sesuatu harta, keperawanan, dan sebagainya.

E. PENGARUH DUKACITA PADA PSIKOLOGIS

Menurut Martono 1997 dalam Darmojo 2004: 40, beberapa masalah psikologis pada individu dalam menghadapi kematian antara lain: a. Kesepian, yang dialami oleh individu pada saat meninggalnya pasangan hidup. b. Dukacita, dimana pada periode dukacita ini merupakan periode yang sangat rawan bagi individu. meninggalnya pasangan hidup, temen dekat, atau bahkan hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya. Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu periode depresi. c. Depresi, pada individu yang mengalami dukacita stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan kemampuan beradaptasi yang semakin menurun. d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan ganggua obsesif-kompulsif. e. Syndrome diagnose, merupakan suatu keadaan dimana indivdiu menunjukkan penampilan perilaku yang sangat mengganggu dalam menanggapi keadaan dukanya.

F. KONSEP DAN KOMPLEKSITAS DUKACITA

1. Konsep Dukacita menurut Model Sistem Neuman

Model Sistem Neuman 1982 dapat digunakan untuk menjelaskan kerangka konsep dukacita. Variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem klien, yaitu: fisiologis, psikologis, rohani, perkembangan, dan sosial budaya, dapat digunakan untuk menguraikan atribut dari dukacita. Kehilangan di masa lalu dapat dijelaskan sebagai sebuah stresor, dan akibat dari dukacita diartikan sebagai suatu proses yang serupa dengan konsep Neuman yaitu rekonstitusi. Intervensi untuk membantu klien dalam menghadapi pengalaman dukacita dapat dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier Reed, 2003. Penggunaan terminologi dari teori Neuman untuk menguraikan konsep dukacita dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya. Dalam terminologi Neuman ini, kejadian di masa lalu yang merupakan stressor adalah perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan mungkin bersifat intra-personal misalnya: kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan peran atau fungsi, interpersonal misalnya: berpisah dengan pasangannya, anak, atau orang tua, atau ekstra-personal misalnya: hilangnya pekerjaan, rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal. Neuman 1995 menyatakan bahwa “dampak dari stressor dapat didasarkan pada dua hal yaitu kekuatan stressor dan banyaknya stressor” h.147. Modifikasi terhadap respon dukacita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan kehadiran sistem pendukung. Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan dukacita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon dukacita sama halnya dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel fisik, psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan rohani. Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri seseorang pengalaman sebelumnya dengan dukacita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya dapat dibandingkan dengan variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal dan garis perlawanan. Masing- masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan, sementara garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan perasaan kehilangan dan dukacita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari gangguan stres yang menimpa individu Reed, 1993. Cowles dan Rodgers 1993: 78 sebelumnya telah mendefinisikan “kondisi respon seseorang yang normal terhadap perasaan dukacita”. Namun, penjelasan mengenai batasan normal dan batas waktu proses dukacita tersebut sebagian besar didasarkan pada pandangan dan pengetahuan perawat bukan berasal dari klien yang sedang mengalaminya sendiri. Reed 2003 mencoba untuk mendeskripsikannya tidak hanya sebatas pada respon normal saja, namun sampai pada cakupan respon itu sendiri. Serupa dengan Neuman 1995 yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit wellness-illness continium untuk mendefinisikan batasan sehat, kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal. Respon terhadap perasaan dukacita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas klien. Berbagai macam tingkatan reaksi dukacita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien Reed, 2003. Hal yang serupa sesuai dengan gagasan Neuman dalam Reed, 2003 mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja dukacita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal sehat. Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap perasaan kehilangan pada masa prenatal Adler Boxley, 1985 Gilbert, 1989, maka respon terhadap pengalaman dukacita bagi masing-masing orang tidak akan sama, termasuk rentang waktu pemulihannyapun berbeda.

2. Kompleksitas Kedukaan

Setiap manusia dihampiri oleh dukacita, namun tidak semua mampu menyelesaikannya. Duka dapat diekspresikan, direpresi, atau disupresi. Orang yang ekspresif akan mampu menyelesaikan dukanya, namun yang menolak dan menekan perasaan menjadi korban kedukaan. Kompleksitas kedukaan ditentukan oleh sikap terhadap kehilangan. Duka yang diekspresikan akan selesai, tetapi duka yang direpresi atau disupresi akan menjadi duka yang tidak terselesaikan. Menurut Wirysaputra 2003 kompleksitas kedukaan antara lain: a. Duka yang diselesaikan Kondisi ini dukacita ini adalah pada saat penduka menyadari bahwa ia sedang berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima realitas adalah pintu masuk ke dalam proses penyembuhan. b. Duka yang belum diselesaikan Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya, ia akan mengalami duka yang tidak terselesaikan. Unfinished grief terdiri dari 3 kategori, yaitu: a. Duka yang Berkepanjangan Duka yang berkepanjangan ini terjadi karena orang yang berduka membawa dukanya terus menerus dari waktu ke waktu. Dia mengakui sedang berduka namun dalam waktu yang lama tetap tidak mampu menerima kenyataan kehilangan. Ia tetap mengenang keistimewaan individu yang hilang. Hal ini merupakan dampak proses idealisasi. Duka yang berkepanjangan dapat muncul dalam bentuk duka warisan. Cerita konflik yang diteruskan kepada generasi selanjutnya turut mewariskan kedukaan kepada orang yang lebih muda. b. Duka yang Ditunda Duka yang ditunda muncul sebagai hasil internalisasi orang yang berduka. Penduka bisa menunda kedukaan karena tujuan tersendiri. Ia memerintah diri sendiri agar tidak merasakan duka. Menunda kedukaan bermanfaat jika berlangsung dalam waktu singkat sebab penundaan yang lama atau permanen mengakibatkan duka patologis. Yang menjadi masalah adalah manusia cenderung terlena dalam penundaan dan menganggap hal tersebut sebagai tanda kemampuan untuk menghadapi kedukaan. c. Duka yang Tidak Penuh Sedikit berbeda dengan kedukaan yang ditunda. Kedukaan yang tidak penuh timbul karena pengaruh eksternal seperti contohnya penghiburan yang terburu-buru menjadikan duka tidak penuh.

G. PENDEKATAN PSIKOLOGI INDIGENOUS

Mengapa Indigenous Psychology?, pertanyaan ini kelak akan menjadi tanda tanya yang cukup mengganggu para psikolog atau kita yang mendalami teori-teori psikologi. Di bidang sains, berbagai teori, prinsip, dan hukum harus diverifikasikan secara teoritik empirik daripada diasumsikan secara a priori. Psikologi umum telah berusaha mengembangkan teori-teori yang objektif dan universal tentang perilau-perilaku manusia dengan mengeluarkan aspek-aspek subjektif fungsi manusia. Sementara itu Indigenous Psychology menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, ketrampilan dan keyakinan yang dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan fungsinya dalam konteks keluarga, soisal, kultural dan ekologis mereka. Dalam studi ini, penulis menggunakan pendekatan psikologi indigenous sebagai tolak ukur dalam kajian psikologisnya. Konsep pendekatan psikologi indigenus ini muncul pertama kali di kawasan Asia oleh Hwang 2004. Seperti yang diungkapkannya “kajian ilmiah tentang perilaku atau pikiran manusia yang native asli, yang tidak ditransportasikan dari wilayah lain, dan yang dirancang untuk masyarakatnya” h.8. Menurut Matsumoto dalam Kim Berry 1996 “Budaya tidak dapat terlihat oleh kasat mata atau dirasakan didengar atau diuji. Apa yang nyata serta dapat diamati satu demi satu dari perbedaan dalam perilaku didalam tindakan, pikiran, ritual, tradisi, dan kegemaran. Kita dapat melihat maifestasi dari budaya namun kita tidak dapat melihat budaya itu sendiri h.14. Peneliti menganggap apa yang disampaikannya adalah benar, bahwa kebudayaan ialah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang tidak sekedar dilihat, didengar, dirasakan, ataupun dikecap berdasarkan pemahaman kita sendiri. Manifestasinya nampak dalam perilaku manusianya, sehingga lewat perilaku itulah sebuah kebudayaan dapat dipahami lebih dalam sesuai konteksnya. Pernyataan ini mendukung studi indigenous yang peneliti lakukan, yaitu memahami budaya dari suku Dani dalam perilaku potong jari atau niki paleg. Disamping itu Kim, Hwang dan Yung 2011 dalam beberapa pernyataannya diantaranya: “Indigenous psychology represents an approach in which the content i.e., meaning, values, and beliefs context i.e., family, social, cultural, and ecological are explicitly incorporated into research design” h.3. “It is an involving system of psychological knowldege based on scientific research that it sufficiently compatable with the studied phenomena and their ecological, economic, social, cultural, and historical context” h.245 . Maka dari definisi yang ada Kim, Yang, dan Hwang 2010 mengidentifikasi sepuluh karakteristik psikologi indigenous yang dapat diidentifikasi, yaitu: 1. Indigenous psychology menekankan menelaah fenomena psikologis dalam konteks keluarga. 2. Indigenous psychology dibutuhkan oleh semua kelompok-kelompok kultural, pribumi, dan etnik, termasuk negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara maju. 3. Indigenous psychology merupakan bagian dari tradisi ilmu pengetahuan yang salah satu aspek pentingnya ialah menemukan metode-metode yang tepat untuk fenomena yang sedang diinvestigasi, oleh karenanya dianjurkan untuk menggunakan berbagai metodologi. 4. Diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau orang dalam di sebuah budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural dan bahwa orang luar hanya bisa memiliki pemahaman terbatas. 5. Dalam indigenous psychology peran para penelitilah yang mampu menerjemahkan pengetahuan episodik menjadi bentuk-bentuk analitik agar dapa diuji dan diverifikasi. 6. Indigenous psychology adalah bagian dari tradisi ilmiah yang berusaha menemukan pengetahuan psikologis yang berakar pada konteks budaya. 7. Banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku filsafat untuk menjelaskan fenomena indigenous. Namun analisis-analisis tersebut adalah filsafat spekulatif dan mereka masih harus didukung oleh bukti-bukti empiris. Meskipun mereka telah memberi informasi yang kaya dan basis bagi pengembangan bagi teori-teori formal, masih perlu diuji dan divalidasi secara empiris. 8. Indigenous psychology diidentifikasikan sebagai bagian tradisi ilmu budaya, dimana orang tidak sekedar bereaksi atau beradaptasi dengan lingkungan, tetapi merkea mampu memahami dan mengubah lingkungan, orang lain, dan dirinya. 9. Indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara humanitas misalkan sejarah yang difokuskan pada pengalaman manusia dengan ilmu-ilmu sosial yang difukuskan pada pengetahuan analitis, analitis empirik, dan verifikasi sehingga dapat memberikan pengetahuan dan insight yang berharga. 10.Dua titik awal penelitian dalan indigenous psychology ialah indigenization from without melibatkan teori, konsep yang sudah ada dan memodifikasi mereka agar cocok dengan budaya lokal dan indigenization from within teori, konsep dan metode dikembangkan secara internal, dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama pengetahuan. Disamping itu Heels dan Lock 1981 dalam Kim, Hwang dan Yang 2010 mendefinisikan indigenous psychology sebagai pandangan, teori, dugaan, klasifikasi,a sumsi, da metafora kultural bersama gagasan-gagasan yang melekat pada intitusi-institusi sosial yang menyangkut topik-topik psikologis, dimana pendekatannya menekankan pada isu0isu psikologis dan dialektika mutualisitis dengan budaya. Teori-teori psikologi yang telah ada dianggap tidak universal karena mereka mengeliminasi kualitas-kualitas yang memungkinkan orang untuk memahami, memprediksi, dan mengontrol lingkungannya. Bandura dalam Kim, Yung, Hwang, 2011 menyatakan bahwa ironis bahwa ilmu tentang fungsi manusia harus menanggalkan kapabilitas-kapabilitas orang yang membuat mereka unik dalam kekuatannya untuk membentuk lingkaran dan menentukan takdirnya” hal.49. Sementara itu Hwang dalam Kim Yang, 2011 mereviu berbagai definisi yang pada dasarnya mengeskpresikan tujuan dasar yang sama, yaitu mengembangkan sistem pengetahuan ilmiah yang secara efektif merefleksikan, menjelaskan, atau memahami aktifitas-aktifitas psikologis dan perilaku pada konteks aslinya dalam kaitannya dengan kerangka acuan yang relevan secara kultural” h.8. Dengan adanya indigenous psychology, ilmu yang memahami orang dalam konteksnya merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi. Hal ini juga sebagai bukti bahwa setiap perilaku manusia itu akan selalu dan pasti dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat setempat. Dan seperti yang sudah dikatakan diawal, bahwa lewat pendekatan indigenous psikologi dalam studi ini, analisis deskriptif menjadi titik awal pada penelitian ini, tetapi tidak boleh menjadi menajdi titik akhirnya. Seperti yang diungkapkan oleh Kim, Huang dan Yung 2011 “The descriptive analysis is a starting point of research in indigenous psychology, but they can not be the end point”h.8. Seperti yang telah disebutkan diawal, bahwa indigenous psychology merupakan suatu pendekatan psikologi yang menganalisis hubungan dengan keluarga dan nilai-nilainya, maka penelitian pada suku Dani ini merpresentasikan pendekatan indigenous. Analisis-analisis budayanya memperlihatkan nilai-nilai keluarga dalam budayanya, dan pola-pola universal nilai keluarga yang mengkarakterisasikan keluarga dalam klaster budaya yang berbeda. Satu paradigma “cultures like no other culture” sangat mendukung penelitian ini. Metodologi yang disuguhkan lewat pendekatan ini dapat mengukur fenomena psikologis di tiga tingkat hirarkis yang berbeda: universal, klaster budaya: dan spesifik budaya. Oleh sebabnya, alasan pentingnya indigenous psychology adalah mendorong para pakar psikologi untuk mengkaji secara kreatif berbagai konsep psikologis yang mungkin penting bagi budaya mereka. Akan tetapi, sebuah poin kritis dalam metodologi akan muncul jika dikatakan bahwa variabel atau fenomena psikologis itu unik dalam budaya itu saja.

H. SUKU DANI

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB I

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB II

1 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB IV

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832013008 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita dan Kehilangan Pada Orang Toraja dalam Ritual Ma’nenek: Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832012008 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832009008 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832009008 BAB IV

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous T2 832009008 BAB V

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukacita Suku Dani dalam Ritual Niki Paleg Suatu Analisis Psikologi Indigenous

0 0 40